Anda di halaman 1dari 12

SANITASI KEDARURATAN BENCANA BANJIR

PENDAHULUAN:

Pada saat terjadinya bencana banjir orang mengkonsentrasikan pemikiran untuk mendapatkan
tempat tinggal yang dapat menjadi tempat berteduh terhindar dari banjir, bagaimana mendapatkan
makanan dan minuman yang cukup secara kwantitativ dan dalam keadaan darurat Keyehatan
Lingkungan/sanitasi terabaikan .

Kita tidak menyadari bahwa kodisi yang buruk dapat mengungkit terjadinya kasus penyakit Diare,
Ifeksi Saluran Pernapasan, Penyakit Kulit, baik pada saat, maupun pasca banjir. Apalagi bila bencana
terjadi dalam durasi waktu yang cukup panjang atau lebih dari satu hari saja masalah sanitasi akan
semakin nampak dan mendesak. Semakin lama durasi bencana semakin jelas peningkatan kasus
penyakit yang berhubungan dengan sanitasi

Pada pasca banjir potensi konflik akibat topik sanitasi juga berpotensi tinggi untuk muncul ,
kemampuan ekonomi menurun bahkan ada yang hartanya habis, untuk memenuhi kebutuhan dasar
pun sulit, masalah sanitasi siapa yang harus mengatasi, dimana harus membuang, orang sudah
sangat lelah, sibuk, dan mengutamakan untuk mengelola rumah masing masing, cenderung
melupakan bahwa masalah sanitasi di lingkungannya sangat memerlukan koordinasi dan kegotong
royongan.

Dalam kedaruratan bencana banjir ini sangat tepat bila sanitarian berperan, baik di lingkungannya
sendiri maupun di tingkat pusat dan daerah. Sumbangan yang dapat di berikan berupa pemikiran ,
kemampuan dan tenaganya dalam tahap Kesiagaan Bencana banjir, Saat Terjadi Banjir dan Pasca
banjir.

Tulisan ini kiranya dapat bermanfaat dan dapat mengungkit pemikiran yang lebuh teknis dan
operasional.

II. PERAN SANITARIAN:

Mendorong diadakannya kesiagaan sanitasi bencana banjir oleh pemerintah , pusat dan daerah,
swasta pengembang , industri, rumahsakit, hotel, penduduk terutama didaerah yang berpotensi
banjir.
Menghimpun sumber daya dan sumber dana untuk kegiatan sanitasi dalam kesiagaan, pada saat ,
pasca banjir.
Memberikan informasi teknis penyelenggaraan sanitasi kesiagaan, saat terjadi dan pasca banjir.
Menggerakan masyarakat untuk menyelenggarakan sanitasi pada saat dan pasca banjir.
Memantau kodisi sanitasi pada saat dan pasca banjir.
Memotivasi untuk memperhitungkan aspek sanitasi pada pemulihan sarana setelah terjadinya banjir.
Melatih SatGas penanggulangan banjir dalam aspek sanitasi.
Melaksanakan Surveilence Penyakit Pasca Banjir.

III. MASALAH SANITASI POTENSIAL

A. Saat terjadinya banjir

1. Air Bersih.
Tidak tersedia air bersih
Sumber air tercemar
Sarana rusak
2. Sampah
Tidak adnya sarana penampungan
Pengelolaan sampah tidak dilaksanakan
Proses pembusukan terjadi setelah melampaui dua hari, bau dan cairan leacet dan lalat muncul.
Sampah dari luar/ sungai masuk kedalam rumah
3. Limbah:
Saluran air limbah tidak berfungsi
Masuknya limbah berbahaya kedalam rumah
Sarana pembuangan kotoran manusia terbatas atau tidak berfungsi
4. Lingkungan fisik
Sarana sanitasi lingkungan rusak/ tidak berfungsi
Lumpur masuk kedalam rumah
Kelembaban tinggi
Suhu rendah
5. Makanan dan minuman
Makanan masak yang diterima tidak terpantau alamat yang memberi dan cara penyelenggaraannya
Lamaya waktu dari saat makanan masak sampai dikonsumsi.
Tempat penyimpanan makanan mentah tidak cukup aman
6. Vektor penyakit dan binatang pengganggu
Lalat, tikus, binatang berbisa, masuk ke rumah/ pemukiman
Tidak tersedia bahan dan alat pemusnah
7. Kecelakaan
Tenggelam/ hanyut
Cedera ringan dan berat
Terkena aliran listrik
Kedinginan

B.Pasca Banjir

Pada pasca banjir masalah yang terjadi pada saat banjir masih tetap ada, ditambah beberapa masalah
spesifik yang muncul paada pasca banjir sebagai berikut:

1.Air Bersih
Rusaknya sarana sumber, distribusi, penampungan
Air yang ada tercemar baik dari fisik , kimia, bakteriologis terutama untuk daerah yang terdapat
industri, rumah sakit berpotensi tercemar limbah bahan berbahaya dan beracun.
2. Sampah
Berserakan tidak tertampung secara tertutup
Tidak terangkut segera kepembuangan akhir
Terjadi proses pembusukan
Bercampur dengan Lumpur
Terdapat bangkai binatang
3. Limbah
Saluran air limbah tersumbat
Sarana rusak fisik atau tidak berfungsi
4. Lingkungan fisik
Dinding, lantai dan alat rumah tangga lembab
Kerusakan bangunan
5. Makanan dan minuman
Bahan makanan yang tersedia sudah rusak karena tersimpan lama ditempat yang tidak baik
Pengolahan makanan pada lokasi di saat belum dilakukan pembersihan bekas banjir memperbesar
kemungkinan terjaadinya pencemaran pada proses penyelenggaraan makanan.
6. Vektor dan binatang pengganggu
Populasi lalat, nyamuk , kecoak dan tikus meningkat
7. Kecelakaan
Terjatuh karena kondisi lingkungan yang belum teratur kembali

IV. KESIAGAAN DI DAERAH BANJIR

1. Air Bersih
Tersedianya sarana pengolahan air bersih sederhana dengan bentuk kecil dengan kemampuan yang
cukup besar untuk mengolah air ditempat pengungsian
Tersedianya SDM disetiap tempat pengungsian yang mampu mengoperasikan sarana pengolahan air
sederhana.
Tersedianya kantong kantong untuk supply air minum yang dapat dilipat dan dimanfaatkan berulang.
Tersedianya bahan desinfeksi air.
2. Sampah
Tersedia nya kantong kantong plastik untuk sampah dan karung untuk menampung Lumpur
Tersedianya SDM yang mempunyai kemampun mengelola sampah minimal di setiap kelurahan
dengan pendekatan memanfaatkan sampah semaksimal mungkin di lingkungan setempat.
3. Limbah
Tersedianya sarana penampungan limbah dan exceta manusia sementara dengan bahan kimia dan
bakteri untuk mempercepat dann mengefisienkan proses pembusukan .
Mengutamakan pengamanan limbah B3 yang belum sempat terolah yang ada di daerah banjir.
Pencegahan masuknya Lumpur kedalam rumah atau mengurangi kemungkinannya dengan
penutupan celah celah pintu dengan keset atau kain kain yang tidak terpakai.
4. Lingkungan fisik
Tersedianya alat pemanas ruangan sederhana dengan bahan bakar non listrik batrei, batu bara atau
batok kelapa untuk mengurangi dingin dan kelembaban
5. Makanan
Tersedianya SDM yang terlatih untuk penyelenggaraan makanan darurat yang saniter.
Tersedianya alat transportasi yang dapat cepat dan aman untuk membawa makanan ketempat lokasi.
Adanya pencatatan Tempat Orang dan waktu pengiriman , penerimaan dan dikonsumsinya makanan.
6. Vektor dan binatang pengganggu
Tersedianya bahan dan alat pembunuh vector dan binatang pengganggu
Adanya kesiagaan masyarakat akan bahaya dan penyakit yang muncul yang berhubungan dengan
serangga dan binatang pengganggu.
7. Kecelakaan :
Tersedianya bahan dan alat serta SDM Pertolongan pertama pada kecelakaan

V. TINDAKAN

A. Saat Banjir

1. Air Bersih
Suply alat dan bahan pengolahan air sederhana
Pengamanan penyelenggaraan supply air minum dari sumber hingga saat dikonsumsinya
2. Sampah
Pengumpulan sampah dalam kantong kantong dan disediakan tempat untuk penampungannya .
Suply kantong sampah
Suply bahan untuk mengurangi bau dan mempercepat proses dekomposisi bila banjir lebih dari dua
hari
3. Limbah
Suply sarana penampungan limbah dan tinja darurat
4. Lingkungan fisik
Suply alat pemanas
Memfungsikan alat ventilasi dan pencahayaan serta ventilaasi alam
5. Makanan Minuman
Penyelenggaraan pencatatan tempat orang dan waktu pengolahan, penerimaan dan konsumsi
makanan jadi serta makanan mentah yang diterima
Pengamanan proses penyelenggaraan makanan di tempat pengungsian
6. Vektor dan binatang pengganggu
Pencegahan dan mencermati kemungkinan terdapatnya vector dan binatang pengganggu
Membasmi vector yang ada.
7. Kecelakaan
Pertolongan Pertama pada kecelakaan yang terjadi dan mengupayakan pertolongan lebih lanjut.

B. Pasca Banjir

1. Air Bersih
Desinfeksi sumber air bersih
Pemeriksaan sarana distribusi dan penampungan dari kerusakan dan kemungkinan kontaminasi
Perbaikan /memfungsikan kembali arana sarana
2. Sampah
Selama masih ada potensi banjir susulan sampah dan Lumpur tetap disimpan dalam kantong dan
dapat ditumpuk dimasukkan dalam bronjong sebagai penghambat banjar
Pemanfatan sampah dan lumpur dalam upaya perbaikan lingkungan misalnya untuk pengurukan
daerah rendah atau meninggikan tanggul.
Pemilahan sampah dalam upaya daur ulang
Suply bahan kimia / bakteri dan teknologi sederhana untuk pengelolaan sampah ditempat.
3. Limbah
Pengembalian fungsi sarana pembuangan limbah dan tinja
Suply bahan dan alat
4. Lingkungan fisik
Penyebaran informasi tentang cara membersihkan rumah dan kebersihan diri pasca banjir
Suply bahan desinfeksi rumah
Memaksimalkan terjadinya penghawaan dan ventilasi alam
Mempercepat proses pengeringan didalam rumah terutama kamar tidur
5. Makanan Minuman
Penekanan kembali peyelenggaraan makanan yang sehat mengingat kondisi lingkungan yang belum
pulih bahkan mungkin memburuk
6. Vektor dan binatang pengganggu
Mewaspadai terdapatnya dan peningkatan perindukan vector dan binatang pengganggu akibat dari
banjir.
Penghapusan serangga dewasa secara masal dan serempak.
7. Kecelakaan
Pertolongan pertama pada kecelakaan yang mungkin timbul pada saat orang melaksanakan
pemulihan lingkungan.

VI. PENUTUP

Upaya Sanitasi dalam keadaan bencana seharusnya dipersiapkan dalam kesiagaan menghadapi
bencana , tidak saja bencana banjir dan tidak hanya terfikir pada saat bencana terjadi sehingga sulit
untuk menyelenggarakanya. bencana terjadi .Kita belajar dari terjadinya bencana banjir yang luar
biasa tahun 2002 ini bahwa kita tidak dapat mengabaikan upaya penyehatan lingkungan dan sanitasi,
dan menganggap upaya tersebut suatu yang hanya membuang biaya dan tidak jelas manfaatnya
serta masuk dalam prioritas terendah dalam perhatian maupun tindakan

Masalah Pemulihan kembali fungsi dan sarana Penyehatan Lingkungan / sanitasi tidak dapat
diselesaikan per individu atau per keluarga tetapi mrupakan upaya kolektif yang harus dijiwai dengan
kebersamaan dan kegotong royongan.

Disusun oleh : Sri Sugirilyati, SKM., MKes.


Post Date : 01 Maret 2005

Tiga Masalah Sanitasi Ini Terjadi


di Daerah Bencana
Kamis 18 Oct 2018 23:16 WIB
Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah

Pasien dan korban gempa berada di tenda darurat di Rumah Sakit Wirabuana, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (29/9).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Pengelolaan sampah juga menjadi masalah karena kondisi pengungsian yang
terbatas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes)


mencatat tiga masalah sanitasi terjadi di daerah-daerah yang baru
terkena bencana seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), hingga Sulawesi
Tengah (Sulteng). Ketiganya yaitu akses air bersih, adanya jamban, hingga
pengelolaan sampah.

Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes Kirana Pritasari mengatakan,


masalah akses air bersih hingga air yang dapat diminum merupakan
masalah yang paling banyak terjadi di lokasi-lokasi bencana. Selain itu, dia
melanjutkan, tiadanya jamban karena semua rumah hancur terkena
bencana gempa juga membuat masyarakat tidak punya tempat untuk
Buang Air Besar (BAB) dan ini juga menjadi masalah. 

Selain itu, dia menambahkan, pengelolaan sampah menjadi masalah


karena masyarakat ketika tinggal di pengungsian merasa serba terbatas.
Akibatnya pengungsi tidak menjaga kebersihan dan buang sampah
sembarangan.

"Karena itu, mereka (masyarakat) harus punya akses," katanya saat


ditemui usai acara penghargaan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM)
Berkelanjutan Eka Pratama, kepada 23 Kab/Kota serta 1 Provinsi yang
telah berhasil mencapai 100 persen terbebas dari perilaku Buang Air Besar
Sembarangan (BABS) atau Open Defecation Free (ODF). 

Ia mengklaim, Kemenkes ingin menjaga kondisi pascabencana agar


masyarakat tidak mengalami hal yang lebih buruk. Dalam situasi darurat,
Kemenkes menargetkan harus tersedia air bersih, jamban, hingga mandi
cuci kakus (MCK). 

"Selain itu air limbah juga disalurkan dengan tepat supaya tidak tergenang
dan jadi sumber penyakit," ujarnya. 

Karena itu, kata dia melanjutkan, Kemenkes berupaya mengatasi masalah


tersebut dengan beberapa langkah nyata. Pertama, Kemenkes bekerja
sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-
PR) serta relawan untuk penyediaan jamban.

Hasilnya, ia mengklaim di Lombok Utara sudah hampir 100 persen bebas


BAB sembarangan. Kedua, ia menyebut Kemenkes menyediakan kantong
sampah di lokasi pengungsian, jadi mereka harus mengumpulkan kantong
sampah untuk memudahkan pengungsi membuang sampah pada
tempatnya. Kendati demikian, ia menyebut dibutuhkan peran pemerintah
daerah untuk melaksanakannya.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menambahkan, langkah


Kemenkes menggandeng Kementerian PU-PR membuat jamban seperti di
Lombok meski kelihatan hal kecil tapi berdampak besar. 

"Kami tidak mau masyarakat sudah terkena bencana, nanti bisa kena
kejadian luar biasa (KLB) penyakit pula," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Kesehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan
Imran Agus Nurali menambahkan, akses sanitasi di daerah
bencana seperti Palu dan Sigi kini sudah 60-70 persen. Ia menambahkan,
Kemenkes berupaya menjaga supaya jangan sampai akses sanitasi di
daerah-daerah bencana turun.

"Karena itu, kami (Kemenkes) bersama-sama mitra dan lintas sektor


bekerja sama mempertahankan jangan sampai sanitasi (di daerah
bencana) turun," ujarnya.

STANDAR SANITASI DARURAT


PADA DAERAH BENCANA
August 13, 2020

Berikut beberapa summary dari dasar pelaksanaan permasalahan sanitasi yang harus


diperhatikan pada daerah bencana:
Dasar pelaksanaan Sanitasi Darurat pada daerah bencana mengacu pada Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 12/MENKES/SK/I/2002 Tentang Pedoman
Koordinasi Penanggulangan Bencana Di Lapangan.
Dasar hukum ini juga mengacu pada beberapa keputusan, baik keputusan Presiden maupun
Menteri yang lain sebagai berikut :

1. UU Nomor 23/1992 tentang kesehatan

2. Keputusan Presiden Nomor : 3/2001 tentang Badan Kordinasi Nasional Penanggulangan

Bencana dan Penanganan Pengungsi ( Bakornas PB-P ).

3. Kepmenkes Nomor : 979/2001 tentang Protap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan

Bencana dan Penanganan Pengungsi.

4. Kepses Bakornas PB-P Nomor : 2/2001 tentang Pedoman Umum Penanggulangan Bencana

dan Penanganan Pengungsi


Manajemen Penanggulangan bencana dilapangan (Tingkat Kabupaten/ Kota)
Penanggulangan korban bencana di lapangan pada prinsipnya harus tetap memperhatikan
faktor safety / keselamatan bagi penolongnya setelah itu baru prosedur di lapangan yang
memerlukan kecepatan dan ketepatan penanganan, secara umum pada tahap tanggap darurat
dikelompokkan menjadi kegiatan sebagai berikut :

1. Pencarian korban (Search)

2. Penyelamatan korban Rescue)


3. Pertolongan pertama (Live Saving)

4. Stabilisasi korban

5. Evakuasi dan rujukan


Upaya ini ditujukan untuk menyelamatkan korban semaksimal mungkin guna menekan angka
morbilitas dan mortalitas. Hal dipengaruhi oleh jumlah korban, keadaan korban, geografi,
lokasi, fasilitas yang tersedia dilokasi, dan sumberdaya yang ada. Faktor lain yang juga
mempengaruhi adalah : Organisasi di lapangan, komunikasi, dokumen dan tata kerja.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 279/MENKES/SK/XI/2001


Tentang Pedoman Penilaian Risiko Bencana Di Provinsi Dan Kabupaten/Kota Menteri
Kesehatan Republik Indonesia

Unsur – unsur Penilaian Risiko


Dalam melaksanakan Penilaian Risiko kita mengenal 2 determinan Yaitu Kelompok jenis
bahaya dan Kelompok variabel. Dari kelompok jenis bahaya, termasuk didalamnya adalah
jenis–jenis bahaya sebagai berikut :

1. Gempa Bumi

2. Letusan Gunung Berapi

3. Tsunami (Gelombang Pasang)

4. Angin Puyuh (Putting Beliung)

5. Banjir (Akibat Cuaca Ekstrim/Dampak La Nina)

6. Tanah Longsor

7. Kebakaran Hutan/Asap (Haze)

8. Kekeringan (Cuaca Ekstrim/Dampak El Nino)

9. KLB (Kejadian Luar Biasa/Wabah Penyakit Menular)

10. Kecelakaan Transportasi/Industri

11. Konflik Dengan Kekerasan Akibat Kerusuhan Sosial


Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1357 / Menkes /SK / XII /
2001 Tentang Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana
dan Penanganan Pengungsi 

Standar Minimal :  Adalah ukuran terkecil atau terendah dari kebutuhan hidup (air bersih dan
sanitasi, persediaan pangan, pemenuhan gizi, tempat tinggal dan pelayanan kesehatan) yang
harus dipenuhi kepada korban bencana atau pengungsi untuk dapat hidup sehat, layak dan
manusiawi.
Pada pasca bencana beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan kajian lebih lanjut
adalah :
1. Perkiraan jumlah orang yang menjadi korban bencana (meninggal, sakit, cacat) dan ciri–ciri

demografinya.

2. Jumlah fasilitas kesehatan yang berfungsi milik pemerintah dan swasta.

3. Ketersediaan obat dan alat kesehatan.

4. Tenaga kesehatan yang masih melaksanakan tugas.

5. Kelompok–kelompok masyarakat yang berisiko tinggi (bayi, balita, ibu hamil, bunifas dan

manula)

6. Kemampuan dan sumberdaya setempat


Kebijakann Dalam Bidang Sanitasi :
Mengurangi risiko terjadinya penularan penyakit melalui media lingkungan akibat
terbatasnya sarana kesehatan lingkungn yang ada ditempat pengungsian, melalui pengawasan
dan perbaikan kualitas Kesehatan Lingkungan dan kecukupan air bersih.
Alur fikir penanganan bencana, sesui Keputusan Menteri Kesehatan ini sebagai berikut :

A. Pengadaan Air.

Semua orang didunia memerlukan air untuk minum, memasak dan menjaga bersihan pribadi.
Dalam situasi bencana mungkin saja air untuk keperluan minumpun tidak cukup, dan dalam
hal ini pengadaan air yang layak dikunsumsi menjadi paling mendesak. Namun biasanya
problema–problema kesehatan yang berkaitan dengan air muncul akibat kurangnya
persediaan dan akibat kondisi air yang sudah tercemar sampai tingkat tertentu.

Tolok ukur kunci


a. Persediaan air harus cukup untuk memberi sedikit–dikitnya 15 liter per orang per hari
b. Volume aliran air ditiap sumber sedikitnya 0,125 liter perdetik.
c. Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter
d. 1 (satu) kran air untuk 80 – 100 orang

Kualitas air
Air di sumber–sumber harus layak diminum dan cukup volumenya untuk keperluan
keperluan dasar (minum, memasak, menjaga kebersihan pribadi dan rumah tangga) tanpa
menyebabakan timbulnya risiko–risiko besar terhadap kesehatan akibat penyakit–penyakit
maupun pencemaran kimiawi atau radiologis dari penggunaan jangka pendek.

Tolok ukur kunci ;

1. Disumber air yang tidak terdisinvektan (belum bebas kuman), kandungan bakteri dari

pencemaran kotoran manusia tidak lebih dari 10 coliform per 100 mili liter

2. Hasil penelitian kebersihan menunjukkan bahawa resiko pencemaran semacam itu sangat

rendah.
3. Untuk air yang disalurkan melalui pipa–pipa kepada penduduk yang jumlahnya lebih dari

10.000 orang, atau bagi semua pasokan air pada waktu ada resiko atau sudah ada kejadian

perjangkitan penyakit diare, air harus didisinfektan lebih dahulu sebelum digunakan sehingga

mencapai standar yang bias diterima (yakni residu klorin pada kran air 0,2–0,5 miligram perliter dan

kejenuhan dibawah 5 NTU)

4. Konduksi tidak lebih dari 2000 jS / cm dan airnya biasa diminum Tidak terdapat dampak

negatif yang signifikan terhadap kesehatan pengguna air, akibat pencemaran kimiawi atau radiologis

dari pemakaian jangka pendek, atau dari pemakain air dari sumbernya dalam jangka waktu yang

telah irencanakan, menurut penelitian yang juga meliputi penelitian tentang kadar endapan bahan–

bahan kimiawi yang digunakan untuk mengetes air itu sendiri. Sedangkan menurut penilaian situasi

nampak tidak ada peluang yang cukup besar untuk terjadinya masalah kesehatan akibat konsumsi air

itu.

5. Prasarana dan Perlengkapan


Tolok ukur kunci :

1. Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang berkapasitas 10–20 liter, dan

tempat penyimpan air berkapasitas 20 liter. Alat–alat ini sebaiknya berbentuk wadah yang berleher

sempit dan/bertutup

2. Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram per bulan.

3. Bila kamar mandi umum harus disediakan, maka prasarana ini harus cukup banyak untuk

semua orang yang mandi secara teratur setiap hari pada jam–jam tertentu. Pisahkan petak–petak

untuk perempuan dari yang untuk laki–laki.

4. Bila harus ada prasarana pencucian pakaian dan peralatan rumah tangga untuk umum, satu

bak air paling banyak dipakai oleh 100 orang.


B. Pembuangan Kotoran Manusia

Jumlah Jamban dan Akses Masyarakat korban bencana harus memiliki jumlah jamban yang
cukup dan jaraknya tidak jauh dari pemukiman mereka, supaya bisa diakses secara mudah
dan cepat kapan saja diperlukan, siang ataupun malam

Tolok ukur kunci :

1. Tiap jamban digunakan paling banyak 20 orang


2. Penggunaan jamban diatur perumah tangga dan/menurut pembedaan jenis kelamin

(misalnya jamban persekian KK atau jamban laki–laki dan jamban permpuan)

3. Jarak jamban tidak lebih dari 50 meter dari pemukiman (rumah atau barak di kamp

pengungsian). Atau bila dihitung dalam jam perjalanan ke jamban hanya memakan waktu tidak lebih

dari 1 menit saja dengan berjalan kaki.

4. Jamban umum tersedia di tempat–tempat seperti pasar, titik–titik pembagian sembako,

pusat – pusat layanan kesehatan dsb.

5. Letak jamban dan penampung kotoran harus sekurang–kurangnya berjarak 30 meter dari

sumber air bawah tanah.

6. Dasar penampung kotoran sedikitnya 1,5 meter di atas air tanah.

7. Pembuangan limbah cair dari jamban tidak merembes ke sumber air mana pun, baik sumur

maupun mata air, suangai, dan sebagainya 1 (satu) Latrin/jaga untuk 6–10 orang
C. Pengelolaan Limbah Padat

1. Pengumpulan dan Pembuangan Limbah Padat Masyarakat harus memiliki lingkungan yang

cukup bebas dari pencemaranakibat limbah padat, termasuk limbah medis.

2. Sampah rumah tangga dibuang dari pemukiman atau dikubur di sana sebelum sempat

menimbulkan ancaman bagi kesehatan.

3. Tidak terdapat limbah medis yang tercemar atau berbahaya (jarum suntik bekas pakai,

perban–perban kotor, obat–obatan kadaluarsa,dsb) di daerah pemukiman atau tempat–tempat

umum.

4. Dalam batas–batas lokasi setiap pusat pelayanan kesehatan, terdapat empat pembakaran

limbah padat yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan secara benar dan aman, dengan lubang

abu yang dalam.

5. Terdapat lubang–lubang sampah, keranjang/tong sampah, atau tempat–tempat khusus

untukmembuang sampah di pasar–pasar dan pejagalan, dengan system pengumpulan sampah

secara harian.

6. Tempat pembuangan akhir untuk sampah padat berada dilokasi tertentu sedemikian rupa

sehingga problema–problema kesehatan dan lingkungan hidup dapat terhindarkan.

7. 7. 2 ( dua ) drum sampah untuk 80 – 100 orang

8. Tempat/lubang Sampah Padat


9. Masyarakat memiliki cara – cara untuk membuang limbah rumah tangga ehari–hari secara

nyaman dan efektif.


Tolok ukur kunci :

1. Tidak ada satupun rumah/barak yang letaknya lebih dari 15 meter dari sebuah bak sampah

atau lubang sampah keluarga, atau lebih dari 100 meter jaraknya dar lubang sampah umum.

2. Tersedia satu wadah sampah berkapasitas 100 liter per 10 keluarga bila limbah rumah

tangga sehari–hari tidak dikubur ditempat.


D. Pengelolaan Limbah Cair (pengeringan)

Sistem pengeringan :  Masyarakat memiliki lingkungan hidup sehari–hari yang cukup bebas
dari risiko pengikisan tanah dan genangan air, termasuk air hujan, air luapan dari sumber–
sumber, limbah cair rumah tangga, dan limbah cair dari prasarana–prasarana medis.
Hal–hal berikut dapat dipakai sebagai ukuran untuk melihat keberhasilan pengelolaan limbah
cair :

1. Tidak terdapat air yang menggenang disekitar titik–titik engambilan/sumber air untuk

keperluan sehari–hari, didalam maupun di sekitar tempat pemukiman

2. Air hujan dan luapan air/banjir langsung mengalir malalui saluran pembuangan air.

3. Tempat tinggal, jalan – jalan setapak, serta prasana – prasana pengadaan air dan sanitasi

tidak tergenang air, juga tidak terkikis oleh air.

Anda mungkin juga menyukai