Anda di halaman 1dari 9

Kelompok 12:

Dina Tirta Hayati 195030401111011


Jessica Halim 195030400111006
Yudha Al Muhaimin Firdaus 185030400111001

RESUME PENAGIHAN DAN PERADILAN PAJAK


PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN
a. Dasar hukum dan dasar pelaksanaan pencegahan dan penyanderaan
• Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
• Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009;
• Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
• Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
• Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian; dan
• Keputusan Menteri Keuangan Nomor 657/KMK.01/2019 tentang Pelimpahan
Kewenangan Menteri Keuangan dalam Bentuk Mandat Kepada Pejabat di
Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
• Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3987);
• Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara
Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak dan Pemberian Ganti
Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 249, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4051);
• Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Nomor M-02.UM.09.01 Tahun 2003 dan Nomor 294/KMK.03/2003
tanggal 25 Juni 2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang disandera
di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
b. Pengertian Pencegahan dan Penyanderaan
• Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak
tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan
tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
• Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak
dengan menempatkannya di tempat tertentu.
c. Keputusan pencegahan
Keputusan Pencegahan memuat sekurang-kurangnya:
- Identitas Penanggung Pajak yang dikenakan Pencegahan
- Alasan untuk melakukan pencegahan
- Jangka Waktu Pencegahan
d. Pelaksanaan dan jangka waktu pencegahan
Jangka Waktu Pencegahan paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama
6 bulan. Keputusan pencegahan disampaikan kepada Penanggung Pajak yang dikenakan
pencegahan, Menteri Kehakiman, Pejabat yang memohon pencegahan atasan pejabat yang
bersangkutan, dan kepala daerah setempat. Pencegahan tidak memngakibatkan hapusnya
utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
e. Tata cara permintaan :
1) pencegahan,
Tata Cara Penyampaian Usulan Gelar Perkara Pencegahan di KPP
a. Dalam rangka mengusulkan gelar perkara ke Kanwil DJP, KPP terlebih dahulu
melakukan:
1) validasi atas Utang Pajak yang menjadi dasar usulan Pencegahan untuk
memastikan bahwa Utang Pajak tersebut:
a) telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) dan Surat Paksa telah
diberitahukan kepada Penanggung Pajak; dan
b) belum daluwarsa Penagihan dengan memperhatikan hal-hal yang
menangguhkan daluwarsa Penagihan.
2) identifikasi dan profiling atas Penanggung Pajak yang hasilnya dituangkan
dalam Ikhtisar Usulan Pencegahan Penanggung Pajak Bepergian ke Luar Negeri,
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a) Pelaksanaan identifikasi dan profiling atas Penanggung Pajak dapat mengacu
antara lain pada data:
(1) akta pendirian dan/atau akta perubahan Wajib Pajak badan;
(2) pelaporan SPT Tahunan dan/atau SPT Masa;
(3) pengajuan upaya hukum Wajib Pajak;
(4) dokumen pendukung yang menunjukkan kedudukannya sebagai:
(a) salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau yang mengurus
harta peninggalan bagi harta warisan yang belum terbagi;
(b) wali bagi anak yang belum dewasa;
(c) pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan;
(5) dokumen pendukung lainnya.
b) Untuk membuktikan serta meyakinkan bahwa Penanggung Pajak yang dilakukan
identifikasi dan profiling merupakan pihak yang menurut kewajaran dan kepatutan
harus dimintai pertanggungjawaban atas pembayaran Utang Pajak, dapat dilakukan
langkah-langkah antara lain:
(1) meminta informasi, keterangan dan/atau dokumen kepada pengurus baru
dan pengurus lama terkait kepengurusan Wajib Pajak badan;
(2) meneliti pihak-pihak yang namanya tercantum dalam akta pendirian
dan/atau akta perubahan Wajib Pajak badan, pengajuan upaya hukum Wajib
Pajak, kepengurusan dalam pelaporan SPT Tahunan dan/atau SPT Masa
dan meneliti juga terkait dengan kemampuan ekonomis, tingkat pendidikan,
serta hubungan hukum dengan pihak-pihak lainnya;
(3) melakukan konfirmasi kebenaran data dan/atau dokumen kepada pihak
ketiga seperti notaris, aparat penegak hukum, aparat kelurahan dan pihak
ketiga lainnya; dan/atau;
(4) melakukan pemeriksaan tujuan lain dalam rangka penagihan pajak dengan
mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018
tentang Kebijakan Pemeriksaan.
b. Penyampaian usulan gelar perkara harus dilengkapi dengan dokumen:
1) Ikhtisar Usulan Pencegahan Penanggung Pajak Bepergian ke Luar Negeri;
2) daftar kelengkapan data pencegahan;
3) daftar sisa tagihan pajak;
4) akta pendirian dan/atau akta perubahan dan/atau data perseroan dari
Sistem Administrasi Badan Hukum Perseroan Terbatas;
5) SPT Tahunan PPh Badan/Orang Pribadi yang terakhir disampaikan,
kecuali Wajib Pajak tidak pernah menyampaikan SPT Tahunan PPh;
6) foto Penanggung Pajak yang dapat teridentifikasi dengan jelas;
7) hasil penelusuran aset Penanggung Pajak; dan
8) identitas Penanggung Pajak.
c. Dalam hal diperlukan, KPP menyampaikan dokumen pendukung lainnya yang
dapat menjadi dasar pertimbangan diusulkannya Pencegahan, antara lain dokumen
data perlintasan Penanggung Pajak bepergian ke luar negeri dari Direktorat
Jenderal Imigrasi dan berita acara tidak diketemukan objek sitaan.
2) perpanjangan pencegahan,
Tata Cara Usulan Perpanjangan Masa Pencegahan di KPP
a. Pencegahan dapat diusulkan perpanjangan oleh kepala KPP dalam hal
Penanggung Pajak masih memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
angka 2 untuk dilakukan Pencegahan.
b. Pencegahan dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali untuk paling lama 6
(enam) bulan.
c. Usulan perpanjangan masa Pencegahan dari KPP harus telah diterima oleh
Dirjen Pajak c.q. Direktur P2 paling lambat 1 (satu) bulan sebelum jangka
waktu Pencegahan berakhir.
d. Usulan perpanjangan masa Pencegahan harus dilengkapi dengan dokumen
berupa:
1) fotokopi keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan
Pencegahan Penanggung Pajak sebelumnya;
2) rekapitulasi pengurang Utang Pajak yang menjadi dasar penetapan
Pencegahan, yang ditandatangani Kasi Penagihan, dan dilampiri
dengan bukti pengurang Utang Pajak; dan
3) daftar sisa tagihan pajak.
e. Tata cara usulan perpanjangan masa Pencegahan di KPP adalah sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

Tata Cara Penyelesaian Usulan Perpanjangan Masa Pencegahan di Kantor Pusat


DJP
a. Konsep keputusan Menteri Keuangan mengenai perpanjangan masa
Pencegahan dan surat Menteri Keuangan terkait perpanjangan masa
Pencegahan ditandatangani oleh Dirjen Pajak paling lama 14 (empat belas)
hari sejak usulan perpanjangan masa Pencegahan diterima lengkap oleh
Dirjen Pajak c.q. Direktur P2.
b. Keputusan Menteri Keuangan mengenai perpanjangan masa Pencegahan
harus disampaikan kepada Penanggung Pajak paling lama 7 (tujuh) hari
sejak tanggal keputusan ditetapkan.
c. Tata cara penyelesaian usulan perpanjangan masa Pencegahan di Kantor
Pusat DJP adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran huruf F yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal ini.
3) pencabutan pencegahan
Tata Cara Pengajuan Usulan Pencabutan Pencegahan di KPP
a.Pencegahan Penanggung Pajak berakhir karena:
1) jangka waktu yang ditetapkan telah habis; atau
2) dicabut berdasarkan keputusan Menteri yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak
atas nama Menteri Keuangan.
b. Usulan pencabutan Pencegahan harus dilengkapi dengan dokumen berupa:
1) fotokopi keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan
Pencegahan atau perpanjangan masa Pencegahan;
2) rekapitulasi pengurang Utang Pajak yang menjadi dasar penetapan
Pencegahan atau perpanjangan masa Pencegahan, yang ditandatangani
oleh Kasi Penagihan, dan dilampiri dengan bukti pengurang Utang
Pajak; dan
3) daftar sisa tagihan pajak.
c. Tata cara pengajuan usulan pencabutan pencegahan di KPP adalah sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

Tata Cara Penyelesaian Usulan Pencabutan Pencegahan di Kantor Pusat DJP


a. Konsep keputusan Menteri Keuangan mengenai pencabutan Pencegahan
dan surat Menteri Keuangan terkait pencabutan Pencegahan ditandatangani
oleh Dirjen Pajak paling lama 14 (empat belas) hari sejak usulan pencabutan
Pencegahan diterima lengkap oleh Dirjen Pajak c.q. Direktur P2.
b. Keputusan Menteri Keuangan mengenai pencabutan Pencegahan harus
disampaikan kepada Penanggung Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak
tanggal keputusan ditetapkan.
c. Tata cara penyelesaian usulan pencabutan pencegahan di Kantor Pusat DJP
adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran huruf H yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
f. Kriteria penanggung pajak yang disandera
• Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya Rp
(seratus juta rupiah).
• Penanggung Pajak diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
• Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang
diterbitkan oleh Menteri atas permintaan pejabat yang bersangkutan.

g. Tempat dan jangka waktu penyanderaan


Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang tidak melunasi
utang pajaknya setelah lewat jangka waktu 14 haru sejak tanggal surat paksa diberitahukan
kepada penanggung pajak.
Penanggung Pajak yang disandera ditempatkan ditempat tertentu sebagai
tempat penyanderaan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
• tertutup dan terasing dari masyarakat;
• mempunyai fasilitas terbatas; dan
• mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai.
h. Perpanjangan penyanderaan
Izin perpanjangan jangka waktu penyanderaan dapat sekaligus diberikan oleh
Menteri/Gubernur yang berwenang pada waktu memberikan izin penyanderaan. Dalam hal
izin perpanjangan penyanderaan sekaligus diberikan maka tidak diperlukan suatu izin baru.
Ketentuan jangka waktu maksimum penyanderaan ini tidak berlaku dalam hal sandera
melarikan diri. Penentuan lamanya penyanderaan didasarkan pada perhitungan besarnya
utang pajak, besarnya jumlah harta yang disembunyikan dan dihubungkan dengan itikad
tidak baik Penanggung Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
i. Prosedur pelaksanaan dan tata tertib penyanderaan
(1) Permohonan izin penyanderaan diajukan oleh Kepala Kantor kepada Menteri Keuangan
melalui Direktur Jenderal Pajak u.p, Direktur Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak
dengan tembusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang bersangkutan
dengan memuat:
a. Identitas Penanggung Pajak yang akan disandera.
b. Jumlah utang pajak yang belum dilunasi, disertai Kartu Pengawasan tunggakan
Pajak Penanggung Pajak yang bersangkutan sampai dengan tanggal usulan
penyanderaan (KP.RIKPA 4.3.1) dan upaya hukum yang ditempuh Wajib
Pajak/Penanggumg Pajak (Keberatan/Peninjauan Kembali, Banding, Gugatan,
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung).
c. Tindakan penagihan pajak, meliputi penagihan pajak persuasif dan represif, yang
telah dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak/ Pajak Bumi dan Bangunan dan
melampirkan fotokopi Surat Paksa badan Berita Acara Penyampaian Surat Paksa.
d. Uraian tentang adanya petunjuk bahwa Penanggung Pajak diragukan Itikad
baiknya dalam pelunasan utang pajak, meliputi:
1. Penanggung Pajak tidak merespon himbauan untuk melunasi utang
pajak;
2. Penanggung Pajak tidak menjelaskan/tidak bersedia melunasi utang
pajak baik sekaligus maupun angsuran;
3. Penanggung Pajak tidak bersedia menyerahkan hartanya untuk
melunasi utang pajak;
4. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya atau berniat untuk itu;
5. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau
yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan
perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukanhya di Indonesia;
6. Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau
menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau
memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau
melakukan perubahan bentuk lainnya.

(2) Bentuk Surat Permohonan ijin Melakukan Penyanderaan sebagai mana ditetapkan dalam
Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

(1) Jurusita Pajak rnenyampaikan Surat Perintah Penyanderaan langsung kepada


Penanggung Pajak dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah
dewasa, dikenai oleh dan dapat dipercaya (Kepala Seksi Penagihan, Koordinator
Palaksana Penagihan atau aparat Desa/Kelurahan).
(2) Dalam melaksanakan penyanderaan Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian
atau Kejaksaan.
(3) Dalam hal Penanggung Pajak Yang akan disandera tidak dapat ditemukan, bersembunyi
atau melarikan diri, Jurusita Pajak melalui Kepala Kantor atau atasannya, dapat meminta
bantuan Kepolisian atau Kejaksaan untuk menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak
dapat ditemukan tersebut.
(4) Bentuk surat permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
ditetapkan dalam Lampiran III dan IV Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.

j. Hak dan kewajiban penanggung pajak yang disandera


Penanggung Pajak yang disandera di rumah tahanan negara berhak untuk:
• Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing di
dalam rumah tahanan negara;
• Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
• Mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman makanan dari
keluarga;
• Memperoleh bahan bacaan dan informasi atas biaya sendiri;
• Menerima kunjungan rohaniavvan dan dokter pribadi atas biaya sendiri setelah
mendapat izin dari Kepala Rumah Tahanan Negara;
• Menerima kunjungan keluarga, pengacara dan sahabat setelah mendapat izin
tertulis dari Kepala Kantor paling banyak 3 (tiga) kali dalam seminggu selama 30
(tiga puluh) menit untuk setiap kali kunjungan (bentuk surat lzin sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran VI Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini);
• Menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas kepada Kepala Rumah Tahanan
Negara atau Kepala Kantor.
Penanggung Pajak yang disandera selama dalam rumah tahanan negara wajib mematuhi
tata tertib dan disiplin di rumah tahanan negara.
Penanggung Pajak yang disandera dilarang membawa telepon genggam, pager, komputer,
atau peralatan elektronik lain yang dapat menghubungi seseorang di luar rumah tahanan
negara.
Jika terbukti Penanggung Pajak Yang disandera melakukan pelanggaran tata tertib dan
disiplin, Kepala Rumah Tahanan Negara memberitahukan kepada Kepala Kantor atau
kepada Kepolisian terdekat.
k. Penghentian penyanderaan
Penanggung Pajak yang disandera dilepas dari rumah tahanan negara apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
• Utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
• Jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah habis;
• Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
atau
• Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan.
l. Rehabilitasi dan pemberian ganti rugi
• Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh Pejabat dalam bentuk 1 (satu) kali
pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran yang
memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
permohonan Penanggung Pajak.
• Besarnya ganti rugi yang diberikan Pejabat kepada Penanggung Pajak adalah
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari selama masa penyanderaan
yang telah dijalaninya.
• Ganti rugi diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
permohonan Penanggung Pajak.
m. Kasus pencegahan dan penyanderaan
DJP Kembali Sandera Penunggak Pajak Senilai Rp 66,3 Miliar
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali melakukan
penyanderaan (gijzeling) terhadap wajib pajak. Kali ini penyanderaan dilakukan oleh
Kanwil Ditjen Pajak Papua dan Maluku dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sorong
terhadap penanggung pajak dengan inisial KJM umur 60 tahun.

Kepala Kanwil DJP Papua Maluku Wansepta Nirwanda mengatakan, KJM merupakan
penanggung pajak dari PT PA yang bergerak di bidang usaha kayu. Nilai tunggakan pajak
KJM mencapai Rp 66,3 miliar atau menjadi yang paling besar selama DJP melakukan
tindak penyanderaan.

Kanwil Ditjen Pajak Papua dan Maluku telah mendapatkan izin untuk melakukan
penyanderaan dari Menteri Keuangan Republik Indonesia berdasarkan Surat Izin
Penyanderaan Nomor: SR-334/MK.03/2017 tanggal 2 Mei 2017. Penyanderaan
dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan Nomor SPRINDERA-
01/WPJ.18/KP.0304/2017 tanggal 19 Juni 2017.
"KJM saat ini dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan klas II A Salemba," ujar dia di Lapas
Salemba, Jakarta, Selasa (20/6/2017).

Wansepta menjelaskan, tunggakan wajib pajak muncul sehubungan hasil pemeriksaan


tahun 2007 untuk tahun pajak 2002 sampai dengan 2004 dan telah diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak. Terhadap wajib pajak tersebut telah menyampaikan Surat Teguran pada
10 Agustus 2007, dan melakukan penyampaian Surat Paksa pada 25 September 2007
dengan Berita Acara Pemberitahuan Surat paksa tertanggal 2 Oktober 2007.

"KPP Pratama Sorong telah melakukan upaya pencegahan terhadap KJM selaku
Penanggung Pajak. Selain itu terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan himbauan untuk
mengikuti program pengampunan pajak termasuk panggilan penyelesaian tunggakan
pajak," jelas dia.

Upaya pelaksanaan penyanderaan dilaksanakan sesuai ketentuan pasal 33 sampai dengan


pasal 36 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

"Penegakan Hukum berupa upaya penyanderaan atas penanggung pajak ini bukanlah yang
pertama dilakukan. Kanwil Ditjen Pajak Papua dan Maluku sebelumnya telah melakukan
kegiatan penyanderaan kepada penunggak pajak lainnya di wilayah KPP Pratama
Jayapura. Penyanderaan hakekatnya adalah pengekangan sementara waktu kebebasan
Penanggung Pajak dengan menempatkannya di rumah tahanan negara," jelas dia.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama
mengatakan, masa penyanderaan paling lama 6 bulan terhitung sejak penanggung pajak
ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6
bulan.

"Kalau sudah 6 bulan plus 6 bulan maka kami lepaskan. Selanjutnya kami mungkin
dilakukan sita harta dan lain-lain," tandas dia.
Sumber: https://www.liputan6.com/bisnis/read/2997929/djp-kembali-sandera-penunggak-
pajak-senilai-rp-663-miliar

Sumber:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 137 TAHUN 2000
(137/2000) TENTANG TEMPAT DAN TATA CARA PENYANDERAAN, REHABILITASI
NAMA BAIK PENANGGUNG PAJAK, DAN PEMBERIAN GANTI RUGI DALAM
RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 218/PJ/2003 TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PENYANDERAAN DAN PEMBERIAN REHABILITASI
NAMA BAIK PENANGGUNG PAJAK YANG DISANDERA

Anda mungkin juga menyukai