Anda di halaman 1dari 28

PERSELINGKUHAN DAN LATAR BELAKANGNYA

PERSELINGKUHAN

Perselingkuhan adalah hubungan antara individu baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah
ataupun yang belum menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Walaupun demikian,
pengertian "berselingkuh" dapat berbeda tergantung negara, agama, dan budaya. Pada zaman sekarang,
istilah perselingkuhan digunakan juga untuk menyatakan hubungan yang tidak setia dalam pacaran.

Menurut Vaughan (2003) menyebutkan bahwa perselingkuhan adalah keterlibatan seksual dengan
orang lain yang bukan merupakan pasangan resminya. Data yang diperoleh Hawari (2002) menyebutkan
bahwa perselingkuhan yang terjadi di Jakarta, 90% dilakukan oleh suami dan 10% dilakukan oleh istri. Ia
juga mengemukakan suami mulai berselingkuh ketika usianya diperkirakan 40 tahun.

Perselingkuhan akhir-akhir ini menjadi bahan perbincangan yang menarik dan santer, sebab
perselingkuhan itu sendiri tidak hanya didominasi oleh para pria, tetapi juga wanita di segala lapisan dan
golongan, bahkan tidak memandang usia. Sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota
besar seperti halnya Jakarta, tetapi juga di kota-kota kecil atau pun di daerah. Masalahnya, berita-berita
mengenai perselingkuhan lebih banyak disorot di kota besar karena di kota besar seperti halnya Jakarta
segala sesuatu lebih transparan termasuk dalam hal batasan norma-norma. Di kota besar seperti
Jakarta, segala hal bisa bersifat relatif; artinya, segala sesuatu tidak bisa dinilai dari satu sudut pandang
saja.

Alasan Mengapa orang berselingkuh

Setiap orang yang menikah sudah tentu mendambakan dan mencita-citakan bisa menempuh kehidupan
perkawinan yang harmonis. Namun bagaimana pun juga, kita tidak bisa melupakan bahwa sebuah
perkawinan pada dasarnya terdiri dari 2 orang yang mempunyai kepribadian, sifat dan karakter, latar
belakang keluarga dan problem yang berbeda satu sama lain.

Semua itu sudah ada jauh sebelum keduanya memutuskan untuk menikah. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika kehidupan perkawinan pada kenyataan selanjutnya tidak seindah dan seromantis
harapan pasangan tersebut. Persoalan demi persoalan yang dihadapi setiap hari, belum lagi ditambah
dengan keunikan masing-masing individunya, sering menjadikan kehidupan perkawinan menjadi sulit
dan hambar. Jika sudah demikian, maka kondisi itu semakin membuka peluang bagi timbulnya
perselingkuhan di antara mereka.

Ada beberapa alasan umum seseorang berselingkuh :

a) ingin melarikan diri secara emosional dari pasangannya.

b) ingin bertualang dan ingin mengetahui seperti apa berhubungan seks dengan orang yang bukan
pasangannya.

c) marah, dendam atau permusuhan yang terpendam terhadap pasangannya.


d) ingin melakukan lebih banyak seks atau hal-hal yang menyerupai perbuatan seksual yang tidak ia
dapatkan atau berbeda dari pasangannya.

Debbie Layton-Tholl, seorang psikolog, pada tahun 1998 meneliti alasan-alasan terjadinya
perselingkuhan di antara pasangan setelah sekian lama menikah. Menurut Debbie, biasanya orang
memakai alasan mengapa dirinya berselingkuh adalah karena :

1.      merasakan ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinan

2.      adanya kekosongan emosional dalam kehidupan pasangan tersebut

3.      problem pribadi di masa lalu

4.      kebutuhan untuk mencari variasi dalam kehidupan seksual

5.      sulit untuk menolak “godaan”

6.      marah terhadap pasangan

7.      tidak lagi bisa mencintai pasangan

8.      kecanduan alkohol atau pun obat-obatan

9.      seringnya hidup berpisah lokasi

10.  dorongan untuk membuat pasangan menjadi cemburu

Adapun  faktor penyebab terjadinya selingkuh  yaitu antara lain :

1. Faktor Internal

a). Konflik dalam perkawinan yang tidak kunjung selesai dan terus-menerus oleh perbedaan latar
belakang pendidikan, perkembangan kepribadian, subkultur, serta pola hidup, yang menyebabkan
ketidakserasian relasi antarpasangan.

b). Kekecewaan oleh berbagai macam sebab seperti sifat yang berbeda, cara berkomunikasi yang kurang
terasa pas

c). Ketidakpuasan dalam kehidupan seksual oleh disfungsi seksual atau penyimpangan perilaku seksual
lainnya.

d). Problema finansial.

e). Persaingan antarpasangan baik dalam karier dan perolehan penghasilan.

2. Faktor External

a). Lingkungan pergaulan yang mendorong seseorang untuk mengambil keputusan mencoba menjalin
hubungan perselingkuhan, demi tidak mendapat sebutan STS (suami takut istri) di kalangan rekan
sepergaulannya.
b). Kedekatan dengan teman lain jenis ditempat kerja yang berawal dari saling mencurahkan kesusahan
dan kekecewaan dalam rumah tangga. Dari curhat, terjalin kedekatan emosional yang berlanjut dengan
kontak fisik intim.

c). Godaan erotis-seksual dari berbagai pihak, rekan kerja dan teman dengan motif tertentu.

Perselingkuhan dengan atau tanpa hubungan seks mudah untuk ditemukan, bahkan untuk
dilakukan. Perselingkuhan tak memandang status sosial, tingkat pendidikan, jabatan, bidang profesi,
domisili, bahkan gender. Semoga artikel selingkuh dan perselingkuhan ini bisa anda gunakan sebagai
referensi untuk mencegah dan mengatasi pasangan yang selingkuh.

Beberapa kasus perselingkuhan dari segi pekerjaan :

1. Profesi: PNS

Profesi ini bisa dikatakan sebagai jawara pelaku selingkuh, banyak kasus perselingkuhan PNS diberitakan
di media massa. Seperti salah satunya dikutip dari ANTARA News, “Badan Kepegawaian Daerah (BKD)
Kabupaten Boyolali pada tahun 2008 telah merekomendasikan pemecatan terhadap 12 pegawai negeri
sipil (PNS) setempat karena mereka telah melanggar disiplin kepegawaian. Ke-12 PNS tersebut di
antaranya diberi sanksi akibat melakukan selingkuh dan ada yang tidak masuk kerja selama 15 tahun
karena sakit jiwa,” Minggu (31/08) 2008.

2. Profesi: Pengacara

Profesi ini tak pernah jauh dari berita perselingkuhan dengan kliennya. Intip saja kasak kusuk yang
sedang marak dibicarakan saat ini, sirkuit asmara yang terjalin antara Sunan Kalijaga dan artis cantik
Jennifer Dunn yang sedang tersandung tuduhan kasus narkoba.

3. Profesi: Atlet

Sportif di lapangan belum tentu sportif di arena percintaan. Tercatat beberapa nama besar seperti John
Terry, pria tegap dengan tinggi 188 cm yang menduduki posisi sebagai bek tengah di klub Chealsea F.C
ini terbongkar perselingkuhannya dengan model cantik Vannessa Peroncel, mantan kekasih Wayne
Bridge.

4. Profesi: Aktor

Berbicara soal selebriti yang memang hidup dalam gemerlapnya dunia keartisan, mungkin sudah bukan
suatu hal yang baru jika ada kata selingkuh. Kilas balik beberapa nama aktor yang sempat kepergok
selingkuh seperti, Rhoma Irama, Tora Sudiro, Ferry Irawan, Arie, Mandala Shoji, dan Indra birowo

5. Profesi: Pejabat negara

Profesi mulia ini ternyata tak serta merta membuat seseorang berubah menjadi sosok yang selalu
bertanggung jawab dan diteladani. Jika rocker itu manusia, pejabat juga manusia biasa, yang punya
hasrat dan bisa selingkuh. Sebut saja beberapa nama seperti, Al-Amien (mantan suami pedangdut
Kristina), Yahya Zaini dan Maria Eva, sampai tokoh besar seperti John Edward (saingan berat Barack
Obama dari Partai Demokrat) yang terbukti melakukan perselingkuhan.
6. Profesi: Guru

Guru, digugu dan ditiru, tetapi sebaiknya untuk hal yang satu ini tidak untuk ditiru. Dikutip dari ANTARA
News, “Seorang Kepala SMP di Jatiwangi Majalengka, Jabar, ES (47) dilaporkan ke Polisi diduga terkait
perselingkuhan dengan istri orang bernama ML (34). Kedua tersangka tersebut ditangkap polisi di rumah
kos ML, Jumat sekitar pukul 02.30 WIB,” Jumat, (22/05) 2009.

7. Profesi: Penegak Hukum

“Dua kapolsek, Kapolsek Sleman AKP Rahmawati Wulansari (30) dan Kapolsek Melati AKP Adib Rojikan
(30), dinyatakan terbukti bersalah melakukan pelanggaran asusila yaitu berselingkuh, pada sidang kode
etik yang digelar, Rabu (25/06) 200b, seperti dikutip dari ANTARA News. Menjaga dan melindungi
seseorang dari tindak kriminal mungkin lebih mudah bagi para super hero ini ketimbang menjaga hasrat
hati sendiri.

Ketidakpuasan dalam Kehidupan Perkawinan Karena Harapan dan Impian akan Romantisme

  “Harapan yang terlalu tinggi terhadap pasangan dan terhadap kehidupan perkawinan itu sendiri
dapat menjadi boomerang bagi kelangsungan hidup perkawinan seseorang”

Banyak orang terlalu cepat merasa tidak puas dalam kehidupan perkawinan yang mungkin baru saja
dijalani beberapa saat. Seringkali mereka tidak sadar, bahwa mereka sendiri lah yang membuka peluang
bagi ketidakpuasan tersebut karena sejak awal mereka sudah menaruh harapan dan impian yang terlalu
tinggi baik terhadap pasangan maupun terhadap kehidupan perkawinan itu sendiri. Setelah mereka
menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya, mereka lantas merasa kecewa dan mulai menyalahkan
pasangannya.

Seringkali mereka lupa, bahwa ketidakmatangan pribadi mereka sendiri lah yang ikut mempengaruhi
dinamika yang terjadi dalam menghadapi setiap persoalan rumah tangga. Lama kelamaan, karena
masing-masing tidak berusaha untuk memperbaiki diri malah mencari hiburan dan kompensasinya
sendiri, maka cinta yang menjadi pengikat di antara mereka semakin pudar. Bagaimana pun juga, jika
dalam sebuah keluarga atau pun perkawinan sudah tidak diwarnai oleh perasaan cinta dan afeksi
terhadap pasangan, mudah sekali timbul kebosanan di antara mereka. Jika kebosanan itu tidak segera
ditanggulangi, maka lambat laun akan  mempengaruhi sikap dan perilaku interaksi serta komunikasi
antara pasangan tersebut. Sikap apatis, pasif atau bahkan pasif-agresif bisa menjadi indikasi adanya
masalah dalam kehidupan perkawinan seseorang. Emotional divorce banyak dialami oleh keluarga-
keluarga mulai dari keluarga baru hingga keluarga yang sudah bertahun-tahun lamanya sehingga cinta
kasih yang menggebu pada akhirnya padam dan menjadi dingin. Meskipun secara fisik pasangan suami
istri tersebut tidak hidup secara terpisah (masih tinggal serumah), namun secara emosional sudah
terdapat jarak yang membentang. Dengan pudarnya cinta di antara mereka, semakin longgarlah ikatan
dan komunikasi di antara suami istri tersebut sehingga mendorong salah satu atau keduanya untuk
mencari seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan, entah itu kebutuhan emosional maupun
kebutuhan fisik seperti kebutuhan seksual.

Perselingkuhan karena Problem Pribadi di Masa Lalu

Perselingkuhan yang terjadi antara suami istri sebenarnya tidak lepas dari urusan pribadi masing-
masing. Perlu disadari, bahwa dalam perkawinan terdapat dua orang yang punya karakter dan
kepribadian yang sangat berbeda satu sama lain sebagai hasil bentukan dari pola asuh orang tua di masa
lalu, pengaruh lingkungan dan juga unsur genetika (keturunan).

Banyak dari kita yang belum menyadari, bahwa ternyata diri kita sendiri sebenarnya merupakan pangkal
dari semua masalah akibat ketidakmatangan emosi dan ketidakharmonisan (konflik) yang sedang terjadi
dalam hidup kita secara pribadi. Sayangnya, kedua hal tersebut sering belum selesai bahkan sampai
memasuki dunia perkawinan. Memang di awal perkawinan semua tampak manis dan harmonis karena
keduanya masih berusaha menampilkan diri sebaik-baiknya. Namun lama kelamaan, ibarat orang
menggunakan topeng terus-menerus sehingga akhirnya kecapaian sendiri, maka sama saja halnya
dengan kehidupan suami istri. Lama-lama kita akhirnya harus berhadapan tidak saja dengan realita
tentang pasangan, tetapi juga realita diri sendiri. Kita tidak bisa berlama-lama sembunyi di balik
kepalsuan karena hal itu sangat menguras energi. Lama- kelamaan, keluarlah keaslian diri kita yang
tercermin dalam sikap, perilaku dan pola pikir yang termanifestasi setiap hari, seperti dalam
memandang dan menyelesaikan persoalan, mengambil keputusan, mempersepsi suatu keadaan, nilai
dan prinsip yang dimilikinya, mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi tekanan, dalam
berinteraksi dengan pasangan dan orang lain, pola asuhnya terhadap keturunannya sendiri,  proses
penyesuaian diri, kesehatan mental, masalah kejiwaan yang muncul di kemudian hari, bahkan
mempengaruhi pemilihan terhadap pasangan hidup.

Jadi, sebenarnya jangankan mengurus diri orang lain, mengurus diri sendiri itu lah yang paling sulit
karena berhadapan dengan diri sendiri adalah situasi yang sama sekali tidak menyenangkan bagi
kebanyakan orang. Lama-kelamaan, diri kita yang asli mulai menuntut pasangan kita untuk memenuhi
kebutuhan kita dan memperlakukan kita seperti yang kita inginkan. Kalau kita pelajari secara mendalam,
mungkin kita akan temukan adanya benang merah antara bagaimana orang tua kita dahulu
memperlakukan kita dan memenuhi kebutuhan (emosional dan fisiologis) kita dengan tuntutan kita
terhadap pasangan. Ketidakmatangan emosi yang mungkin masih menjadi bagian dari diri kita pada
dasarnya merupakan akibat dari proses perkembangan psikologis selama masa pertumbuhan; dan hal
itu juga diwarnai oleh pola asuh orang tua, terutama pada masa-masa awal kehidupan seseorang.

Ambil saja contohnya, jika sejak kecil seorang anak tidak memperoleh kasih sayang dan tidak mendapat
pemenuhan kebutuhan terutama kebutuhan emosional, maka dalam perkembangan selanjutnya (jika
selama proses kehidupan selanjutnya situasi ini konstan dan tidak ada perubahan yang positif), ia juga
akan tumbuh menjadi orang yang sulit untuk menunjukkan afeksi, kasih sayang dan perhatian pada
orang lain; bahkan bisa saja muncul elemen ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain karena
waktu masih kecil, tidak ada satu orang pun yang bisa ia percayai (bahkan kedua orang tuanya) yang
secara konstan hadir baginya dan mampu memberikan kasih sayang serta perhatian secara konstan.
Jadi, kelak pada saat ia mencari pasangan, dalam alam bawah sadarnya tindakan ini dilandasi oleh
keinginan dan kebutuhan untuk selalu diperhatikan. Agar ia dapat memastikan bahwa pasangannya itu
selalu ada setiap saat ia membutuhkan (tidak seperti orang tuanya dahulu), maka biasanya akan muncul
kemudian sikap-sikap seperti kecemburuan yang berlebihan, terlalu membatasi kegiatan pasangan,
kecurigaan dan kekhawatiran berlebihan terhadap kesetiaan pasangan, keinginan untuk selalu
diprioritaskan dalam setiap perkara dan tuntutan untuk selalu diperhatikan dan dipenuhi keinginannya.
Jika sang pasangan punya sikap dan tindakan yang di luar keinginannya, ia kemudian merasa dikhianati,
diacuhkan, merasa tidak diperhatikan, merasa dirinya tidak penting lagi, merasa dirinya tidak lagi
dicintai, merasa pasangan sudah tidak menaruh hormat lagi padanya, merasa diri sudah tidak lagi
menarik bagi pasangan, bahkan merasa dirinya hendak disingkirkan secara perlahan-lahan. Pikiran-
pikiran negatif tersebut akhirnya berputar-putar dalam benaknya sehingga secara tidak sadar ia jadi
terlalu sensitif dalam menanggapi kejadian yang sebenarnya masih normal dan wajar. Misalnya, ketika
suami harus pergi ke acara sendirian (karena sifatnya yang formal), istrinya kemudian berpikir dirinya
sengaja tidak diajak karena suaminya ingin mengajak wanita lain, atau merasa suaminya malu membawa
dirinya yang dirasa sudah tidak menarik lagi, atau karena tingkat pendidikannya tidak sebanding dengan
suami atau rekan kerjanya sehingga takut obrolannya tidaknyambung.

Karena sering terjadi hal-hal demikian, maka dapat dipastikan akan  timbul kejengkelan dan salah paham
yang tidak ada ujung pangkalnya karena masing-masing bersikukuh pada pendapat dan keyakinannya
sendiri. Akibatnya, pihak yang tadinya tidak punya maksud apa-apa, jadi kesal, marah dan merasa lelah
akan sikap pasangannya. Lantas, yang tadinya memang pulang larut malam karena tuntutan pekerjaan,
akhirnya sering pulang malam mencari hiburan untuk melepaskan diri dari stress di rumah. Dan karena
setiap orang pada suatu saat perlu seseorang yang dapat menjadi curahan emosi, terbukalah jalan
baginya untuk mencari substitusi dari pasangan yang sudah tidak bisa lagi menjadi teman bicara yang
enak. Kalau ternyata ada seseorang yang mampu memberikan perhatian dan pengertian yang selama ini
tidak ditemukan dalam diri pasangannya yang kerjanya di rumah hanya marah-marah, maka terbukalah
kesempatan untuk menciptakan hubungan yang melibatkan faktor emosi, Jika sudah demikian,
terjadilah perselingkuhan yang selama ini ditakuti atau  pun menjadi bahan kecurigaan istri. Hal ini lah
yang diistilahkan dalam psikologi sebagai self-fulfilling prophecy.

Pola Yang Berulang

Tanpa sadar, ada sebagian dari diri kita yang juga ada pada diri kedua orang tua kita dan akhirnya
mewarnai hubungan kita baik dengan istri atau suami dan dengan anak-anak. Coba saja kita bayangkan.
Apakah cara kita mengasuh anak-anak ada kemiripan dengan cara kita dahulu diasuh dan dididik oleh
ayah dan ibu kita ? Atau apakah cara kita berkomunikasi atau berinteraksi dengan istri/suami hampir
sama atau ada hal-hal yang sama dengan cara orang tua kita dahulu berinteraksi satu sama lain ? Yang
lebih ekstrim lagi, kita coba memperhatikan, apakah sikap dan perilaku anak kita ada kemiripan dengan
sikap dan perilaku kita dahulu (coba saja tanya pada orang tua kita) ?

Dari situ kita bisa menyimpulkan, bahwa apa yang dialami oleh diri kita dan perkawinan kita saat ini,
bukanlah merupakan kasus tunggal yang terjadi begitu saja. Semua itu ada hubungan sebab akibatnya
dengan masa lampau. Jadi, semua problem psikologis, termasuk ketidakmatangan emosional maupun
konflik-konflik dalam diri sendiri pada dasarnya punya akar di masa lalu. Kita memang tidak boleh begitu
saja menyalahkan kedua orang tua kita yang sudah susah payah mendidik dan membesarkan kita
dengan tulus hati, karena bagaimana pun juga hal itu bukanlah kesalahan mereka sepenuhnya, dan lagi
mereka juga tidak melakukannya dengan kesadaran karena pola yang mereka terapkan pada diri kita,
juga mereka terima dari kedua orang tua mereka di masa lalu.

Selama kedua pihak masih bisa berpikir jernih, dan mau memeriksa diri, maka kemungkinan besar masih
bisa mengendalikan diri untuk mencegah terjadinya konflik yang berkepanjangan baik itu yang
terpendam maupun secara terbuka. Namun, jika salah satu pihak atau bahkan keduanya sudah menutup
diri terhadap penyelesaian masalah karena merasa diri yang paling benar dan pasangan kita yang salah,
maka hal itu tidak hanya akan mengakibatkan memburuknya hubungan perkawinan, namun bahkan
yang lebih serius, tidak membuat masing-masing bertumbuh dalam pribadi yang lebih dewasa dan
matang setelah mampu menerima dan kemudian mengolah elemen-elemen negatif diri sendiri untuk
kemudian mentransformasikannya menjadi sesuatu yang positif bagi pertumbuhan jiwa yang sehat.
Kegagalan untuk mempertumbuhkan diri sendiri inilah yang akhirnya akan membawa pada kegagalan
selanjutnya meskipun misalnya orang tersebut menikah lagi. Oleh karena itu, sering kita mendengar ada
orang-orang yang berulang kali kawin-cerai dan selalu karena masalah yang kurang lebih sama sifatnya.
Masalah itu bukan hanya terletak pada orang lain, tapi justru kemungkinan besar terletak pada diri
sendiri yang tampaknya sudah waktunya untuk menjalani transformasi.

Perselingkuhan Untuk Memenuhi Kebutuhan Seksual

Menurut Debbie Layton-Tholl, seorang psikolog, perselingkuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang
sudah menikah pada dasarnya tidak semata-mata didasarkan pada kebutuhan untuk mencari kepuasan
seksual.  Alasan yang terakhir di sebut itu malah mempunyai persentase terendah dibandingkan dengan
alasan yang lain. Alasan paling besar dan kuat yang mendorong perilaku orang untuk selingkuh 90%
karena tidak terpenuhinya kebutuhan emosional dalam hubungan antara suami istri. Kebutuhan seksual
bukanlah menjadi alasan pertama dan utama, tapi justru muncul setelah terjadinya kehancuran
emosional dalam kehidupan perkawinan seseorang karena orang tersebut mencoba mencari orang lain
yang dapat memenuhi kebutuhan emosional. Jadi, perilaku seksual yang sering mewarnai affair atau
pun perselingkuhan sebenarnya merupakan sarana untuk memelihara dan
mempertahankan affair tersebut, dan bukan menjadi alasan utama.

Seorang korban selingkuh pernah diajak berdialog. “Kalau memang masih cinta, kenapa
tidak kau maafkan suamimu?” Tidak terima cintanya dipertanyakan, sang korban berang,
“Seharusnya pertanyaan itu kau ajukan pada suamiku. Tanyakan, kalau dia memang benar
mencintaiku mengapa mesti selingkuh?” Sang mediator terdiam, tidak bisa
menjawab. Statement ini memang benar. Kalau memang cinta, mengapa harus
selingkuh?
Sepertinya, perselingkuhan melibatkan banyak sekali aspek. Mungkin kalau pelaku
perselingkuhan ditanya apakah ia masih cinta pada psangannya, jawabannya adalah,
ya. Ketika kemudian pertanyaan dilanjutkan mengenai alasannya berselingkuh,
jawabannya akan beragam. Paling tidak, ada 6 motif mengapa seseorang melakukan
perselingkuhan.

1. Tidak bahagia dengan pasangan


Ketidakbahagiaan ini bisa dalam bentuk sikap pasangan yang tidak disukai, perbedaan
pola pikir dalam menyikapi sebuah permasalahan, ataupun pelayanan pasangan di
tempat tidur. Ketika kebahagiaan yang diharapkan tidak didapatkan di rumah, terbuka
lebarlah pintu perselingkuhan. Dalil hanya mencari kebahagiaan pun menjadi
pembenaran untuk meredam rasa bersalah dalam hati kecil pelaku perselingkuhan.
2. Bosan dengan pasangan
Seseorang yang sempat diwawancarai MaPI mengatakan, “Kalau setiap hari makan
ayam balado, seenak apa pun masakan tersebut, suatu saat pasti akan bosan juga.”
Tentu saja, ini bukan wawancara kuliner yang selalu menghadirkan hidangan-
hidangan mak nyus. Ini adalah sebuah perumpamaan kebosanan yang dapat melanda
semua rumah tangga, dalam hal ini adalah masalah di atas ranjang. Ketika berbagai
cara dan gaya telah dicoba, bukan tidak mungkin pasangan suami-istri merasakan
kejenuhan dan kebosanan. Ketika kemudian sang suami ataupun sang istri menoleh ke
rumput tetangga yang selalu tampak lebih hijau, keinginan untuk membelai hamparan
hijau tersebut muncul. Ini bukan karena hubungan seks yang dilakukan bersama
pasangan resmi kurang memuaskan. Ini adalah tentang selingan.
3. Tantangan dan petualangan
Kurang lebih sama dengan faktor kebosanan, faktor tantangan bukan berasal dari
kekurangan yang tidak dapat dipenuhi suami atau istri. Lebih mengerikan lagi, faktor
yang satu ini menjadi sebuah kebanggaan dan mempertebal rasa percaya diri
pelakunya. Ketika seorang suami atau istri melakukan affair tanpa ketahuan istri atau
suaminya, itu memerlukan kecerdikan tersendiri dan ini layak dibanggakan. Ketika
pelaku selingkuh mendapatkan partner selingkuh yang lebih baik (misalnya dari segi
fisik) dibandingkah pasangan resminya, dia bisa menceritakan hal itu kepada teman-
temannya dengan bangga. Pun ketika seseorang dapat berselingkuh dengan dua atau
tiga orang dalam waktu yang hampir bersamaan, hal itu mendatangkan kebanggaan
tersendiri.
4. Materi
Pelaku perselingkuhan menyebut motif yang satu ini sebagai transaksi jual beli. Ini
murni one nite stand affair. Ada permintaan, ada penawaran, ada kepuasan, dan ada
pembayaran. Titik. Motif perselingkuhan yang satu ini sangat kental dengan dunia
prostitusi sebagai penyedia jasa pelampiasan nafsu sesaat.
5. Balas dendam
Perselingkuhan yang didasari oleh motif yang satu ini tidak akan menemukan ujung
pangkalnya. Ketika suami-istri saling membalas perselingkuhan yang dilakukan
pasangan masing-masing, semakin panjang pulalah kasus perselingkuhan yang
mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Tanpa disadari, usaha balas dendam
kemudian menjadi ajang pembuktian siapa yang paling hebat.

6. Peluang dan kesempatan


Terkadang untuk melakukan perselingkuhan, pelaku tidak memerlukan motif tertentu.
Cukup berbekal kesempatan. Selama kedua belak pihak suka sama suka dan sepakat
merahasiakan semuanya, perselingkuhan pun terjadi. Ketika kemudian mereka pulang
ke rumah masing-masing, perselingkuhan yang baru saja terjadi telah terlupakan.
Mereka kembali kepada keluarga dengan sikap wajar. Tidak sedikit pun tercium tanda-
tandanya. Segenap kasih sayang, perhatian, cinta, dan kasih yang seharusnya mereka
berikan kepada keluarga tidak berkurang sedikit pun.

Tentu saja, pengungkapan keenam motif perselingkuhan tersebut bukanlah


pembenaran atas perbuatan ini. Kendati seorang suami atau istri tidak menemukan
kebahagiaan yang dicita-citakan dalam sebuah rumah tangga, bukan berarti mereka
berhak melakukan perselingkuhan. Bukankah ada jalan komunikasi yang dapat diambil
untuk membicarakan di mana letak kekurangan dalam rumah tangga mereka?

Kalau kebosanan yang dijadikan motif, alangkah tidak adilnya tindakan tersebut. Ingat,
bahtera rumah tangga yang Anda arungi sudah sejauh ini. Begitu banyak keindahan,
keceriaan, dan kebahagiaan yang telah Anda dapatkan. Apakah Anda akan menafikkan
semua itu dan menghancurkannya hanya untuk kesenangan sesaat?

Tantangan memang diperlukan untuk membuat semangat tetap berkobar. Lantas,


apakah benar perselingkuhan adalah objek yang tepat untuk dijadikan tantangan?
Bukankah masih banyak tantangan lain yang belum Anda taklukkan? Bertualanglah
dalam berbagai hal positif, jangan jadikan perselingkuhan sebagai pelarian.

Anda memang memiliki materi berlebih. Hanya sekadar membayar wanita panggilan,
tidak akan menjadi soal. Pernahkah Anda bertanya, sebandingkah kebagaiaan sesaat
yang didapat dengan materi yang harus dikeluarkan? Kalau jawabannya, ya,
pertanyaan selanjutnya adalah sakitkah hati Anda mengetahui bahwa mereka
mendekat hanya kerena uang? Bukan karena mau menerima Anda apa adanya.

Kalau Anda membalas perselilngkuhan dengan balik berselingkuh, lantas sampai kapan
hal itu Anda lakukan. Ingat, akan banyak sekali korban yang berjatuhan dalam
permainan saling balas yang Anda berdua lakukan. Anak dan nama baik keluarga
adalah dua hal yang harus Anda pikirkan baik-baik. Betapa terlukannya hati anak-anak
melihat orangtua mereka membanggakan perselingkuhan masing-masing.
Peluang dan kesempatan untuk berselingkuh akan selalu ada. Namun demikian, bukan
berarti Anda boleh memperturutkan keisengan yang menggelitik dalam hati. Ingatlah
keluarga nyaris sempurna yang Anda miliki. Mereka mencintai Anda sebagaimana
Anda mencintai mereka. Tegakah Anda mengkhianati cinta mereka?[]

 
Perselingkuhan dan KDRT

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukanlah hal yang
baru. Hal
tersebutseringkali terjadi dan dapat menimpa rumah tangga siapapun. Perselingkuhan dan kekerasa
n dalam rumah tanggaseringkali disebut dengan hidden   crime (kejahatan yang
tersembunyi). Disebut demikian, karena baik pelaku ataupunkorban berusaha untuk menyembunyik
an perbuatan tersebut dari pandangan public karena dianggap sebagai aib.Kadang juga disebut
domestic crime (kekerasan dosmetik), karena terjadinya kekerasan di ranah domestic.

            Dalam kehidupan nyata,
sangatlah sulit untuk mengukur secara tepat seberapa luas perselingkuhan dankekerasan yang
sering terjadi dalam rumah tangga. Hal
tersebut disebabkan karena kasus perselingkuhan dankekerasan dalam rumah tangga telah memas
uki wilayah peka dalam suatu kehidupan rumah tangga,
yang  mana tiapanggota keluarga enggan untuk membicarakannya.

            Banyak sekali mitos
yang  menyatakan bahwa perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga hanyaterjadi pada kel
ompok berpendidikan dan berpenghasilan rendah, tetapi dari banyak data hasil
penelitian justrumenunjukan banyaknya kasus perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga t
erjadi pada kelompok-kelompokberpendidikan menengah keatas. Jadi, perselingkuhan dan kekeras
an dalam rumah tangga dapat terjadi di semua lapisan sosial masyarakat, maupun latar belakang
pendidikan.

            Perselingkuhan dan kekerasan rumah tangga dapat menimpa siapapun baik suami, istri
maupun anak-anak mereka. Namun, yang sering menarik perhatian publik adalah perselingkuhan
dan kekerasan yang menimpa kaum perempuan (istri). Menurut Kantor Menteri Pemberdayaan
Perempuan tingkat kekerasan yang dialami perempuan Indonesia sangat tinggi. Sekitar 24 juta
perempuan atau 11,4% dari total penduduk Indonesia, pernah mengalami tindakan kekerasan dan
perselingkuhan. Tindak kekerasan yang dominan yang dialami oleh perempuan Indonesia adalah
kekerasan dosmetik atau kekerasan dalam rumah tangga, misalnya penganiayaan, perkosaan,
pelecehan, bahkan perselingkuhan yang dilakukan oleh suamipun dianggap sebagai salah satu
bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

Perselingkuhan dan tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah bersama.
Oleh karena itu, masyarakat dan juga negara perlu disadarkan, didesak, dituntut bahkan diawasi
untuk turut bertanggung jawab dalam memadai lagi peraturan untuk digunakan sebagai dasar untuk
melindungi setiap anggota keluarga terutama perempuan.  Undang-undang tentang tindak
kekerasan dalam rumah tangga perlu disusun dan disosialisasikan agar dapat mendorong setiap
masyarakat dan korban untuk lebih terbuka serta lebih berani melaporkan tentang tindak kekerasan
yang dialaminya.

Selain itu, dengan adanya undang-undang tersebut, maka menjadi jelas apa yang dimaksud
dengan perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga. Dengan demikian hal ini dapat
dijadikan pedoman bagi para penegak hukum dalam menangani perkara kekerasan dalam rumah
tangga. Dimana penanganannya berbeda dengan penanganan terhadap kasus-kasus tindak
kekerasan pada delik-delik biasa.

Dengan lahirnya undang-undang mengenai perselingkuhan dan tindak kekerasan dalam


rumah tangga maka akan menjadi jelas sesuatu yang menjadi payung hukum yang dapat memberi
perlindungan bagi para korban.

Oleh karena berbagai kasus dan pernyataan diatas maka penulis mengangkat judul
makalah“Perselingkuhan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga”, dimana didalam makalah ini
akan terdapat pengertian perselingkuhan  dan kekerasan dalam rumah tangga serta peraturan yang
memayunginya secara hukum sehingga setiap orang akan mengerti apa itu perselingkuhan dan
kekerasan dalam rumah tangga serta cara mengatasinya.
B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan perselingkuhan?

2.      Apakah yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga?

3.      Apakah yang menyebabkan perselingkuhan dalam rumah tangga?

4.      Apakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?

5.      Apa saja bentuk dari kekerasan dalam rumah tangga?

6.      Bagaimana upaya untuk mengatasi kasus perselingkuhan dan kekerasan dalam

    rumah tangga?

C.    Tujuan Makalah

Makalah ini ditulis untuk mendeskripsikan tentang:

1.      pengertian perselingkuhan,

2.      pengertian kekerasan dalam rumah tangga,

3.      faktor-faktor yang menyebabkan perselingkuhan,

4.      faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga,

5.      bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, dan

6.      upaya untuk mengatasi kasus perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah

   tangga.

D.    Manfaat Makalah

1.      Mahasiswa

Untuk mahasiswa makalah ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan
mahasiswa tentang perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga serta dapat memberikan
wawasan kepada mahasiswa tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh mahasiswa untuk
mencegah atau mengatasi tindak perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga.

2.      Masyarakat
            Untuk masyarakat makalah ini bermanfaat untuk memberikan wawasan kepada masyarakat
tentang apa itu persdelingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga serta upaya-upaya yang dapat
dilakukan oleh masyarakat untuk mencegah dan mengatasi tindak-tindak perselingkuhan dan
kekerasan yang biasanya terjadi di dalam rumah tangga.
BAB II
PEMBAHASAN
A.         Pengertian Perselingkuhan

Menurut Vaughan (2003) menyebutkan bahwa perselingkuhan adalah keterlibatan seksual


dengan orang lain yang bukan merupakan pasangan resminya. Data yang diperoleh Hawari (2002)
menyebutkan bahwa perselingkuhan yang terjadi di Jakarta, 90% dilakukan oleh suami dan 10%
dilakukan oleh istri. Ia juga mengemukakan suami mulai berselingkuh ketika usianya diperkirakan 40
tahun.

Secara umum, perselingkuhan adalah hubungan antara individu baik laki-laki maupun


perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum menikah dengan orang lain yang bukan
pasangannya. Walaupun demikian, pengertian "berselingkuh" dapat berbeda
tergantung negara, agama, dan budaya. Pada zaman sekarang, istilah perselingkuhan digunakan
juga untuk menyatakan hubungan yang tidak setia dalam pacaran.

Perselingkuhan akhir-akhir ini menjadi bahan perbincangan yang menarik dan santer, sebab
perselingkuhan itu sendiri tidak hanya didominasi oleh para pria, tetapi juga wanita di segala lapisan
dan golongan, bahkan tidak memandang usia. Sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-
kota besar seperti halnya Jakarta, tetapi juga di kota-kota kecil atau pun di daerah.

B.     Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Tindak Kekerasan


Mula-mula pengertian kekerasan dapat kita jumpai pada Pasal 89 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan
dengan menggunakan kekerasan” . Tidak berdaya yang dimaksudkan dalam pasal tersebut adalah
tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat memberikan perlawanan
sedikitpun. Selain itu, pada pasal-pasal dalam KUHP lainnya yang berhubungan dengan tindak
kekerasan seringkali kekerasan dikaitkan dengan ancaman. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kekerasan dapat bersifat fisik dan nonfisik (ancaman kekerasan).

Secara terminologi, tindak kekerasan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1.    Dapat berupa fisik atau nonfisik (psikis)

2.    Dapat dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat)

3.    Dikehendaki atau diminati pelaku

4.    Ada akibat/kemungkinan yang merugikan pada korban baik fisik ataupun psikis yang tidak
dikehendaki oleh korban.
Dari uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa tindak kekerasan tidak hanya berupa fisik tapi
juga nonfisik. Tindakan fisik dapat langsung dirasakan akibatnya oleh korban, serta dapat dilihat
oleh siapa saja, sedangkan tindakan nonfisik (psikis) yang bisa merasakan langsung hanyalah
korban, karena tindakan tersebut langsung menyinggung perasaan seseorang.

2. Pengertian Rumah Tangga


Rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang terbentuk karena
adanya ikatan perkawinan. Biasanya dalam rumah tangga terdiri atas ayah, ibu dan anak. Namun
seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara yang ikut bertempat tinggal, misalnya
kakek, nenek, dan lain sebagainya.

Pengertian rumah tangga atau keluarga juga dapat kita temui dalam Pasal 1 ke 30 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bunyi pasal 1
angka 30 sebagai berikut:

“Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajad tertentu atau hubungan
perkawinan”

3. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang nomor 23 tahun 2004, kekerasan dalam rumah
tangga adalah:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara hukum dalam
lingkup rumah tangga”

Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan bahwa lingkup rumah
tangga dalam undang-undang ini meliputi:

1.      Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi:

a.       Suami, istri, dan anak;

b.      Orang-orang yang memnpunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksudkan pada
huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga, dan

c.       Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

2.      Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai anggota keluarga
dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

C.    Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perselingkuhan

Setiap orang yang menikah sudah tentu mendambakan dan mencita-citakan bisa
menempuh kehidupan perkawinan yang harmonis. Namun bagaimana pun juga, kita tidak bisa
melupakan bahwa sebuah perkawinan pada dasarnya terdiri dari 2 orang yang mempunyai
kepribadian, sifat dan karakter, latar belakang keluarga dan problem yang berbeda satu sama lain.
Semua itu sudah ada jauh sebelum keduanya memutuskan untuk menikah. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika kehidupan perkawinan pada kenyataan selanjutnya tidak seindah dan
seromantis harapan pasangan tersebut. Persoalan demi persoalan yang dihadapi setiap hari, belum
lagi ditambah dengan keunikan masing-masing individunya, sering menjadikan kehidupan
perkawinan menjadi sulit dan hambar. Jika sudah demikian, maka kondisi itu semakin membuka
peluang bagi timbulnya perselingkuhan di antara mereka.

Debbie Layton-Tholl, seorang psikolog, pada tahun 1998 meneliti alasan-alasan terjadinya
perselingkuhan di antara pasangan setelah sekian lama menikah. Menurut Debbie, biasanya orang
memakai alasan mengapadirinya berselingkuh adalah karena:

1.      merasakan ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinan,

2.      adanya kekosongan emosional dalam kehidupan pasangan tersebut,

3.      problem pribadi di masa lalu,

4.      kebutuhan untuk mencari variasi dalam kehidupan seksual,

5.      sulit untuk menolak “godaan”,

6.      marah terhadap pasangan,

7.      tidak lagi bisa mencintai pasangan,

8.      kecanduan alkohol atau pun obat-obatan,

9.      seringnya hidup berpisah lokasi, dan

10.  dorongan untuk membuat pasangan menjadi cemburu.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perselingkuhan yaitu:

1.      Faktor Internal

1. Konflik dalam perkawinan yang tidak kunjung selesai dan terus-menerus oleh perbedaan
latar belakang pendidikan, perkembangan kepribadian, subkultur, serta pola hidup, yang
menyebabkan ketidakserasian relasi antarpasangan.
2. Kekecewaan oleh berbagai macam sebab seperti sifat yang berbeda, cara berkomunikasi
yang kurang terasa pas.
3. Ketidakpuasan dalam kehidupan seksual oleh disfungsi seksual atau penyimpangan perilaku
seksual lainnya.
4. Problem finansial.
5. Persaingan antarpasangan baik karir atau perolehan penghasilan.
2.      Faktor Eksternal

a.       Lingkungan pergaulan yang mendorong seseorang untuk mengambil keputusan mencoba menjalin
hubungan perselingkuhan, demi tidak mendapat sebutan STS (suami takut istri) di kalangan rekan
sepergaulannya.
b.    Kedekatan dengan teman lain jenis ditempat kerja yang berawal dari saling mencurahkan
kesusahan dan kekecewaan dalam rumah tangga. Dari curhat, terjalin kedekatan emosional yang
berlanjut dengan kontak fisik intim.

c.    Godaan erotis-seksual dari berbagai pihak, rekan kerja dan teman dengan motif tertentu.

D.    Faktor-Faktor yang menyebabkan Kekerasan dalam  Rumah Tangga

Menurut sebuah lembaga bantuan hukum untuk perempuan dan keluarga, penyebab
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi 2 faktor, yaitu:

1.      Faktor Internal

Faktor internal yang menyebabkan timbulkan kekerasan dalam rumah tangga menyangkut
kepribadian dari pelaku kekerasan yang menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindak kekerasan
bila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan dan frustasi. Kepribadian yang agresif
biasanya dibentuk melalui interaksi dalam keluarga atau dengan lingkungan sosialnya di masa
kanak-kanak. Apabila tindak kekerasan mewarnai sebuah keluarga, kemungkinan besar anak-anak
akan akan mengalami hal yang sama setelah ia menikah nanti.

2.      Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang sering menyebabkan timbulnya tindak kekerasan dalam rumah
tangga adalah:

1. Masalah Keuangan
Uang seringkali menjadi pemicu timbulnya perselisihan diantara suami dan istri. Gaji yang
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga setiap bulan, sering menimbulkan
pertengkaran, apalagi kalau pencari nafkah yang utama adalah suami. Dapat juga pertengkaran
timbul karena suami kehilangan pekerjaan. Ditambah lagi adanya tuntutan biaya hidup yang tinggi,
akan memicu timbulnya pertengkaran yang akan menyulut tindak kekerasan.

2. Cemburu
Kecemburuan juga dapat menjadi salah satu sebab timbulnya kesalahpahaman,
perselisihan bahkan kekerasan.

3. Masalah Anak
Salah satu pemicu terjadinya perselisihan antara suami dan istri adalah masalah anak.
Perselisihan dapat menjadi semakin runcing kalau terdapat perbedaan pola pendidikan terhadap
anak antara suami dan istri. Hal ini dapat berlaku baik terhadap anak kandung, anak asuh ataupun
anak tiri.

4. Masalah Orang Tua


Orang tua dari pihak suami atau istri dapat menjadi pemicu timbulnya perselisihan antara
suami dan istri. Perselisihan biasanya terjadi karena orang tua dari salah satu pihak selalu ikut
campur dalam amsalah rumah tangga sehingga pihak lain merasa terganggu.

5. Masalah Saudara
Seperti halnya orang tua, saudara yang tinggal satu atap dapat juga menimbulkan
keretakan hubungan kelurga dan hubungan suami istri.

6. Masalah Sopan Santun


Sopan santun seharusnya tetap terpelihara meskipun suami dan istri sudah bertahun-tahun
menikah. Suami dan istri berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda, oleh karena itu perlu
adanya penyesuaian satu sama lain agar tidak terjadi perselisihan hanya karena adanya kebiasaan
dari suami atau istri yang tidak berkenan di hati masing-masing pasangan.

7. Masalah Masa Lalu


Masa lalu merupakan hal yang harusnya di buka satu sama lain sehingga masing-masing
pasangan mengerti bagaimana hidup pasangannya di masa lalu. Namun, seringkali pertengkaran
terjadi di dalam sebuah keluarga dipicu karena masing-masing pihak tidak terbuka dengan kisah
masa lalunya.

8. Masalah Salah Paham


Suami dan istri ibarat dua kutub yang berbeda. Oleh karena itu, usaha penyesuaian diri
serta saling menghormati pendapat masing-masing perlu dipelihara. Karena kalau hal tersebut tidak
dilakukan maka akan menimbulkan pertengkaran yang memicu kekerasan.

9. Suami Mau Menang Sendiri


Dalam beberapa keluarga masih ada suami yang selalu merasa lebih dari sang istri.
Sehingga dalam segala hal suami harus selalu dituruti dan tidak bisa dibantah. Dengan demikian,
apabila terdapat perlawanan dari istri atau penghuni rumah lainnya, maka akan timbul pertengkaran
yang diikuti dengan timbulnya tindak kekerasan ( Hadiati dan Susilaningsih, 1999:42)

E.     Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, bentuk-bentuk KDRT dapat dikelompokkan
menjadi berikut ini:

1.      Kekerasan Fisik

a.      Pembunuhan

b.      Penganiayaan

c.      Perkosaan

2.      Kekerasan Nonfisik/Psikis/Emosional

a.       Penghinaan

b.      Komentar-komentar yang dimaksudkan untuk merendahkan dan melukai harga diri suami/istri

c.       Ancaman-ancaman yang berupa akan mengembalikan istri ke orang tua

d.      Akan diceraikan

e.       Memisahkan istri dari anak-anaknya atau suami dari anak-anaknya, dan lain-lain.

3.      Kekerasan Seksual
a.       Pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya

b.      Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau disetujui istri

c.       Memaksa istri dan anak menjadi pelacur

d.      Memperkosa anak, dan lain-lain.

4.      Kekerasan Ekonomi

a.       Tidak memberi nafkah pada istri

b.      Memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomis untuk mengontrol kehidupan istri

c.       Membiarkan istri bekerja kemudian penghasilanyya dikuasai oleh suami

d.      Memaksa anak untuk mencari nafkah pada usia yang belum matang, kemudian penghasilannya di
kuasai oleh orang tua atau hanya untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat orang tua.

Selanjutnya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan sebab terjadinya dibagi menjadi
2 (dua) bagian, yaitu sebagai berikut:

1.      Kekerasan dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi ledakan emosi bertahap. Kekerasan
ini pertama berawal dari kekerasan nonfisik, mulai dari sikap dan perilaku yang ridak dikehendaki,
maupun lontaran-lontaran ucapan yang menyakitkan dan ditujukan kepada anggota keluarga yang
lain.

2.      Kekerasan dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi ledakan emosional spontan adalah
bentuk kekerasan yang dilakukan tanpa ada perencanaan lebih dahulu, terjadi secara seketika
(spontan) tanpa didukung oleh latar belakang peristiwa yang lengkap.

F.     Upaya untuk Mengatasi Tindak Perselingkuhan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga

1.      Upaya Mencegah dan Mengatasi Tindak Perselingkuhan dan KDRT oleh Pemerintah

a.       Membuat Undang-Undang nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan tindak kekerasan dalam
rumah tangga.

b.      Melakukan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang dituangkan dalam
Undang-Undang RI nomor 7 Tahun 1984.

c.       Membuat peraturan untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan anak serta
eksploitasi pelacuran.

2.      Upaya Mencegah dan Mengatasi Tindak Perselingkuhan dan KDRT oleh Masyarakat

1. Pencegahan KDRT
1)      Keluarga wajib mengamalkan  ajaran agama. Bapak harus menjadi imam bagi isteri,  anak-anak
serta keluarga,  dan Ibu imam bagi anak-anak dan dalam mengatur  urusan rumah tangga.
2)      Harus dikembangkan komunikasi timbal balik antara suami, isteri dan anak-anak.

3)      Isteri wajib  mendidik anak sejak kecil, kalau marah jangan memukul dan berkata kasar.

4)      Kalau ada masalah harus diselesaikan dengan dialog.

5)      Jika terjadi pertengkaran serius, salah satu atau kedua-duanya harus meminta kepada orang yang
dituakan untuk memediasi.

Dalam hal pencegahan KDRT secara dini, Ibu sebagai isteri dan ibu dari anak-anak,
secara dini bisa berperan dalam mencegah KDRT melalui pencerahan dan penyadaran kepada
putra-putrinya. Selain itu, organisasi massa seperti PKK dapat berperan dalam sosialisasi
pentingnya dibangun rumah tangga yg baik, mawaddah (penuh cinta kasih) wa rahmah (penuh
kasih sayang).

2. Penanganan KDRT
1)      Isteri dan suami lakukan dialog. Keduanya harus cari solusi atas masalah yang dihadapi untuk
memecahkan masalah yang menjadi penyebab terjadinya KDRT.  Jika anak-anak sudah mulai
besar, ajak mereka supaya berbicara kepada bapak, kalau KDRT dilakukan bapak (suami).

2)      Selesaikan masalah KDRT dengan kepala dingin. Cari waktu yang tepat untuk sampaikan bahwa
KDRT bertentangan hukum negara, hukum agama, budaya dan adat-istiadat  masyarakat.

3)      Laporkan kepada keluarga yang dianggap berpengaruh yang  bisa memberi jalan keluar terhadap 
penyelesaian masalah KDRT supaya tidak terus terulang.

4)      Kalau sudah parah KDRT seperti korban sudah luka-luka, maka dilakukan visum.

5)      Laporkan kepada yang berwajib telah terjadi KDRT.  Melapor ke polisi merupakan  tindakan paling 
terakhir karena bisa berujung kepada perceraian.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Dari uraian-uraian yang telah dijelaskan dalam makalah ini, maka dapat kami simpulkan
bahwa:
1.      Perselingkuhan adalah hubungan antara individu baik laki-laki maupun perempuan yang sudah
menikah ataupun yang belum menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya.

2.      Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara hukum dalam lingkup rumah tangga.

3.      Ada 2 faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan perselingkuhan, yaitu adanya factor internal
yang berasal dari seseorang itu sendiri dan factor eksternal yang berasal dari luar diri oranng
tersebut.

4.      Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga juga dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu
factor internal dan factor eksternal.

5.      Bentuk-bentuk kekerasan dapat dibagi menjadi 4, yaitu kekerasan fisik, kekerasan nonfisik,
kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Selain itu Menurut sebabnya kekerasan dapat dibagi
menjadi 2, yaitu kekerasan sebagai ekspresi dari ledakan emosi bertahap dan kekerasan sebagai
ekspresi dari ledakan emosi yang spontan.

6.      Banyak sekali usaha yang dapat dilakukan oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan
masyarakat itu sendiri untuk mencegah dan mengatasi tindak perselingkuhan dan kekerasan yang
biasanya terjadi dalam suatu rumah tangga.

B.     SARAN

Demikian yang dapat kami jelaskan semoga bermanfaat bagi pembaca dan dalam makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu kami senantiasa menerima
saran dan kritik yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Soeroso, Moerti Hadiati. 2011. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA, Dalam


Perspektif Yuridis-Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika

A. Pengertian perselingkuhan
Perselingkuhan adalah hubungan pribadi di luar nikah, yang melibatkan sekurangnya satu
orang yang berstatus nikah, dan didasari oleh tiga unsur:
 (1) saling ketertarikan
(2) saling ketergantungan
(3) saling memenuhi secara emosional dan seksual.
Perselingkuhan tidak selalu berarti hubungan yang melibatkan kontak seksual. Sekalipun
tidak ada kontak seksual, tetapi kalau sudah ada saling ketertarikan, saling ketergantungan, dan
saling memenuhi di luar pernikahan, hubungan semacam itu sudah bisa kita kategorikan sebagai
perselingkuhan.
Ada beberapa tahapan perselingkuhan, yaitu :
1. Tahapan ketertarikan, yang terdiri dari ketertarikan secara fisik atau pun emosional.
Karena tertarik pada seseorang, mulailah kita bercakap-cakap dan menjalin hubungan
dengannya.
2. Setelah itu, kita mulai merasa tergantung dengannya. Kita merasa membutuhkan dia.
Saat dia tidak hadir, kita merasa tidak nyaman, sehingga kita mulai menanti-nantikan dia.
Setelah rasa ketergantungan, mulailah proses saling memenuhi. Kita dengan dia merasa
saling memenuhi kebutuhan emosional masing-masing. Misalnya, yang satu punya
problem dengan keluarganya, lalu diceritakan kepada rekan yang dapat memenuhi
kebutuhan emosionalnya, dan terus berlanjut. Biasanya, kalau ada unsur-unsur ini, hanya
tinggal masalah waktu untuk terjadinya hubungan seksual antara kedua orang tersebut[1].
B. Factor yang menyebabkan perselingkuhan
1. Masalah internal.
Emotional divorce (keterpecahan emosi), yang banyak dialami oleh suami-istri, baik yang
baru maupun yang sudah lama menikah, membuat hubungan cinta kasih akhirnya padam dan
menjadi dingin. Meskipun secara fisik pasangan suami-istri masih tinggal serumah, secara
emosional terdapat jarak yang membentang. Dengan pudarnya cinta dan kasih sayang,
semakin longgarlah ikatan dan komunikasi di antara pasangan yang bisa mendorong salah
satu atau keduanya mencari seseorang yang dapat memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan
emosional maupun kebutuhan fisik, termasuk seks. Apalagi jika kemudian masing-masing
pasangan tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan
berumah tangga dan mengatasi persoalan yang muncul menurut ajaran Islam.
2. Masalah eksternal.
Dalam pandangan kapitalis hubungan pria dan wanita merupakan pandangan yang
bersifat seksual semata, bukan pandangan untuk melestarikan keturunan manusia. Oleh
karena itu, mereka sengaja menciptakan fakta-fakta yang terindra dan pikiran-pikiran yang
mengundang hasrat seksual di hadapan pria dan wanita dalam rangka membangkitkan
dorongan seksual untuk dipenuhi. Mereka menganggap bahwa gejolak naluri yang tidak
dipenuhi mengakibatkan kerusakan pada diri manusia, baik terhadap fisik, psikis, maupun
akalnya. Dari sini, kita bisa memahami, mengapa banyak komunitas masyarakat selalu
menciptakan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual (fantasi-fantasi seksual), baik
dalam cerita-cerita, lagu-lagu, maupun berbagai karya mereka lainnya. Belum lagi kebiasaan
gaya hidup campur-baur antara pria dan wanita yang tidak semestinya di dalam maupun di
luar rumah. Semua ini muncul karena mereka menganggap tindakan-tindakan semacam itu
merupakan hal yang lazim dan penting sebagai bagian dari sistem dan gaya hidup mereka[2].
C. Kiat Menghindari Perselingkuhan Secara Islam
1. Menjalankan kehidupan rumah tangga secara islami.
Sebagai sebuah ibadah, pernikahan memiliki sejumlah tujuan mulia. Memahami tujuan
itu sangatlah penting guna menghindarkan pernikahan bergerak tak tentu arah yang akan
membuatnya sia-sia tak bermakna. Tujuan-tujuan itu adalah untuk
mewujudkanmawaddah dan rahmah, yakni terjalinnya cinta-kasih dan tergapainya
ketenteraman hati (sakinah) (QS ar-Rum: 21); melanjutkan keturunan dan menghindarkan
dosa; mempererat tali silaturahmi; sebagai sarana dakwah; dan menggapai mardhatillah. Jika
tujuan pernikahan yang sebenarnya dipahami dengan benar, insya Allah akan lebih mudah
bagi suami-istri meraih keluarga sakinah dan terhindar dari konflik-konflik yang
berkepanjangan. Sebab, kesepahaman tentang tujuan pernikahan sesungguhnya akan menjadi
perekat kokoh sebuah pernikahan.
Islam memandang pernikahan sebagai “perjanjian yang berat (mîtsâq[an]
ghalîdza)” (QS an-Nisa’ [4]: 21) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk
memenuhi hak dan kewajibannya.
Islam mengatur dengan sangat jelas hak dan kewajiban suami-istri, orangtua dan anak-
anak, serta hubungan dengan keluarga yang lain. Islam memandang setiap anggota keluarga
sebagai pemimpin dalam kedudukannya masing-masing. Dengan kata lain, pernikahan
haruslah dipandang sebagai bagian dari amal shalih untuk menciptakan pahala sebanyak-
banyaknya dalam kedudukan masing-masing melalui pelaksanaan hak dan kewajiban dengan
sebaik-baiknya. Ketimpangan atau terabaikannya hak dan kewajiban, misalnya soal nafkah,
pendidikan atau perlindungan, tentu akan dengan sangat mudah menyulut perselisihan dalam
keluarga yang bisa berpeluang untuk terjadi perselingkuhan.
2. Atasi berbagai persoalan suami-istri dengan cara yang benar (islami) dan tidak
melibatkan orang (lelaki atau perempuan) lain.
Dalam kehidupan rumah tangga, tidak selalu mudah menyatukan dua pribadi yang
berbeda dan dengan latar belakang yang berbeda. Konflik menjadi suatu hal yang mudah
terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Kesabaran merupakan langkah utama ketika mulai muncul perselisihan. Islam
memerintahkan kepada suami-istri agar bergaul dengan cara yang baik, serta mendorong
mereka untuk bersabar dengan keadaan masing-masing pasangan; karena boleh jadi di
dalamnya terdapat kebaikan-kebaikan. Jika dibutuhkan orang ketiga untuk membantu
menyelesaikan persoalan maka jangan sekali-sekali melibatkan lawan jenis yang
bukan mahram-nya; seperti teman sekantor, tetangga, kenalan dan sebagainya. Awalnya
mungkin hanya sebatas curhat, tetapi tanpa disadari, jika sudah mulai merasa nyaman,
persoalan mungkin justru tidak terpecahkan, yang kemudian terjadi adalah munculnya rasa
saling ketergantungan dan ketertarikan. Hal ini bisa menjadi awal dari kedekatan di antara
mereka dan peluang untuk terjadinya perselingkuhan
3. Menjaga pergaulan dengan lawan jenis di tengah-tengah masyarakat.
Dalam pandangan Islam hubungan antara pria dan wanita merupakan pandangan yang
terkait dengan tujuan untuk melestarikan keturunan, bukan semata-mata pandangan yang
bersifat seksual. Dalam konteks itulah, Islam menganggap berkembangnya pikiran-pikiran
yang mengundang hasrat seksual pada sekelompok orang merupakan keadaan yang
membahayakan. Oleh karena itu, Islam memerintahkan pria dan wanita untuk menutup aurat,
menahan pandangannya terhadap lawan jenis, melarang pria dan wanita ber-khalwat,
melarang wanita bersolek dan berhias di hadapan laki-laki asing (non-mahram). Islam juga
telah membatasi kerjasama yang mungkin dilakukan oleh pria dan wanita dalam kehidupan
umum serta menentukan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita hanya boleh
dilakukan dalam dua keadaan, yaitu: lembaga pernikahan dan pemilikan hamba sahaya.
4. Poligami.
Islam telah menjadikan poligami sebagai sesuatu perbuatan mubah (boleh), bukan
sunnah, bukan pula wajib. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam An-Nizhâm al-
Ijtimâ’i fî al-Islâm:
Harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban
atas kaum Muslim, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunnah) bagi mereka,
melainkan sesuatu yang mubah, yang boleh mereka lakukan jika mereka berpandangan
demikian.
Dasar kebolehan poligami tersebut karena Allah Swt. telah menjelaskan dengan sangat
gamblang tentang hal ini (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 3).
Poligami bisa menjadi solusi di tengah kehidupan pergaulan lawan jenis seperti sekarang
ini. Anehnya, poligami justru banyak ditentang, sementara perselingkuhan dibiarkan
merajalela. Praktik poligami yang salah di tengah-tengah masyarakat tidak boleh menjadi
alasan untuk menolak poligami. Sebab, realitas itu terjadi karena praktik poligami tidak
dijalankan sesuai dengan tuntunan Islam. Alasan bahwa wanita menjadi sakit hati dan
tertekan karena suaminya menikah lagi juga tidak tepat. Perasaan tersebut hanya akan
muncul akibat adanya anggapan bahwa poligami sebagai sesuatu yang buruk. Itu terjadi
karena kampanye massif yang dilancarkan kalangan antipoligami. Sebaliknya, jika istri
menganggap poligami sebagai sesuatu yang baik, perasaan sakit hati dan tertekan akibat
suaminya berpoligami tidak terjadi. Allah Swt. telah memberikan peringatan yang tegas
kepada para suami yang berpoligami (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 129). Intinya, Allah Swt.
memerintahkan kepada seorang suami untuk menjauhkan diri dari kecenderungan yang
berlebihan kepada salah seorang istrinya dengan menelantarkan yang lain. Hal ini juga
diperkuat dengan sebuah Hadis Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra.
(HR Ahmad).
5. Memberikan hukuman bagi para pelaku perselingkuhan.
Pada hakikatnya perselingkuhan sama dengan perzinaan. Dalam pandangan Islam
seorang yang berselingkuh/berzina mendapatkan hukuman yang sangat berat. Jika belum
menikah, pelakunya harus dicambuk 100 kali, dan untuk yang sudah menikah harus dirajam
sampai mati. Hukuman yang berat ini akan menjadi pelajaran bagi pelakunya hingga
menimbulkan jera sekaligus sebagai penebus dosa atas perbuatan yang dilakukan. Jika
hukuman ini diterapkan, seseorang akan berpikir panjang sebelum melakukan
perselingkuhan[3].
D. Perselingkuhan Dalam Islam
Sudah dijelaskan diatas bahwasanya dalam hal ini pelselingkuhan sama dengan
perzinahan yang sangat jelas hukumnya adalah haram, dalam Islam tidak ada istilah
perselingkuhan mungkin istilah ini bisa diqiyaskan dengan qadzaf yang berarti menuduh
berbuat zina.
Hukum zina
Allah SWT Berfirman:
“ dan orang –orang yang menuduh para wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkn empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera.” (An-nur:4)
Dengan demikian, qadzaf termasuk dosa besar. syariat telah mewajibkan hukuman
delapan puluh kali dera bagi orang yang menuduh berzina (qadzif).
Syarat-syarat dalam qadzaf
1. Islam, berakal, dan .baligh
2. Orang yang menuduh berzina (qadzif) itu dikenal ditengah-tengah masyarakat sebagai
orang yang suci, taat beribadah dan shahih
3. Adanya tuntutan dari maqdzuf (tertuduh berbuat zina) dijatuhkannya hukuman had bagi
qadzif
4. Si qadzif tidak mendatangkan empat saksi, sebagaimana yang difirmankan Allah AWT: ”
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi”
Yang menjadi dasar penetapan had qadzaf
1. Pengakuan dari qadzif sendiri
2. Kesaksian dua orang laki-laki yang adil.[4]
Diharamkannya qadzaf
Allah SWT telah mengharamkan qadzaf ditengah-tengah kaum muslimin, dimana dia
berfirman:
“ dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera. Dan janganlah kalian menerima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.
Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu
dan memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang.” (An-nur 4-5)
Dari abu hurairah R. A bahwa Nabi SAW bersabda:
‫اجتنبو االسبع الموبقات قالو ايارسوهللا وماهن قال الشرك باهلل والسحروقتل النفس التي حرم هللا اال ب@الحق وأك@ل الرباوأك@@ل‬
‫مال اليتيم والتولى يوالزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغافالت‬
“ jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang menghancurkan! Para sahabat bertanya: “ apa
sajakah tujuh perkara tersebut, ya Rosululloh? Nabi menjawab: “ tujuh perkara itu adalah:
menyekutukan Allah, sihir, membunuh manusia Yng diharamkan oleh Allah kecuali dengan
alasan yang benar, memakan barang riba, memakan harta anak yatim, Lari dari perang,
serta menuduh wanita-wanita mukminah yang baik, yang lengah.” (muttafaq alaih)
Gugurnya had qadzaf
Had qadzaf dinyatakan gugur jika si qadzif (penuduh) daapt mendatangkan empat
orang saksi. Karena dengan adanya empat orang saksi itu berarti alternative negative yang
mengharuskan hukuman had, menjadi lenyap. Dengan demikian, saksi-saksi tersebut akn
memperkuat tuduhan perzinahan tiu.
Dan had zina harus diberikan kepada etrtuduh berbuat zina, karena dia benar- benar telah
berzina.
Tuduhan istri berbuat zina terhadap suaminya
Jika seorang istri menuduh suaminya berbuat zina, maka dia harus dijatuhi hukuman had,
jika syarat-syarat untuk menjatuhkannya telah terpenuhi. Tetapi jika suami yang menuduh
istrinya berzina dan dia tidak mendatangkan bukti-bukti konkret, maka dia tidak dapat
dijatuhi id hukuman had, hanya saja dia harus bersumpah lian. Jika suami tidak dapat
mendatangkan bukti-bukti dan juga tidak mau bersumpah lian, maka diapun harus dijatuhi
hukuman had qadzaf[5].

KESIMPULAN
Perselingkuhan bisa menimpa siapa saja, orang Muslim maupun non muslim. menangkal
pernik-pernik perselingkuhan tidak semudah yang kita duga, karena godaan cukup besar.
pernikahan sangat sacral tidak sepatutnya dinodai dengan perselingkuhan. Kita sebagai umat
Islam harus secara tegas menghindari perselingkuhan yang jelas-jelas membawa dampak buruk
pada hubungan pernikahan. Pada hakikatnya perselingkuhan sama dengan perzinahan yang secar
jelas diharamkan dalam Islam, maka sudah sepatutnya kita tidak terjebak dalam perselingkuhan.

Anda mungkin juga menyukai