Anda di halaman 1dari 13

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Technology Acceptance Model (TAM)

Technology Acceptance Model (TAM) adalah model yang mengadopsi

theory of reasoned action yang dikembangkan oleh Fishbein dan Ajzen (1975).

TAM merupakan model yang mengaitkan antara keyakinan kognitif dengan sikap

dan perilaku individual terhadap penerimaan teknologi. TAM kemudian

digunakan untuk menerangkan perilaku penerima individu terhadap teknologi

informasi yang menyimpulkan bahwa persepsi kegunaan dan persepsi kemudahan

penggunaan adalah penentu utama penggunaan teknologi. TAM telah diakui

sebagai model yang kuat untuk menjelaskan dan memprediksi penerimaan

individu terhadap teknologi.

Menurut Davis (1989) Technology Acceptance Model (TAM)

memprediksi penerimaan penggunaan terhadap teknologi berdasarkan pengaruh

dari dua faktor kognitif yaitu persepsi kegunaan (perceived usefulness) dan

persepsi kemudahan (perceived ease of use). TAM mengadopsi rantai sebab

akibat dari keyakinan, sikap, niat, dan perilaku seperti yang telah diajukan oleh

psikolog sosial yang bernama Fishbein dan Ajzen (Fishbein dan Ajzen, 1975) dan

yang menjadi terkenal Theory of Reasoned Action (TRA). Berdasarkan keyakinan

tertentu seseorang membentuk sikap terhadap suatu objek atas dasar niat untuk

berperilaku terhadap suatu objek. Davis (1989) mengadaptasi TRA dengan

mengembangkan dua keyakinan yang secara spesifik pada penggunaan teknologi.


2

Berikut adalah gambar konstruk awal TAM yang diperkenalkan oleh Davis

(1989).

Perceived
Usefulness
(U)
Attitude Behavioral Actual
External
Toward Intention to System
Variables
Using (A) Use (BI) Use
Perceived
Ease of Use
(E)

Gambar 2.1. Technology Acceptance Model (TAM) Davis, Bagozzi dan


Warshaw (1989)

Persepsi Manfaat (Perceived Usefulness) dan Persepsi Kemudahan

Penggunaan (Perceived Ease of Use) mempengaruhi Attitude Toward Using

individu terhadap penggunaan teknologi. Peningkatan pada Perceived Ease of Use

secara instrumental mempengaruhi kenaikan dari Perceived Usefulness karena

sebuah sistem yang mudah digunakan tidak membutuhkan waktu lama untuk

dipelajari sehingga individu memiliki kesempatan untuk mengerjakan sesuatu

yang lain sehingga berkaitan dengan efektifitas kinerja (Davis, Bagozzi dan

Warshaw, 1989: 987). Attitude Toward Using dalam TAM dikonsepkan sebagai

sikap terhadap penggunaan sistem yang berbentuk penerimaan atau penolakan

sebagai dampak bila seseorang menggunakan suatu teknologi dalam

pekerjaannya. Behavioral Intention to Use adalah kecenderungan perilaku untuk

tetap menggunakan suatu teknologi. Tingkat penggunaan sebuah teknologi dapat

dilihat dari sikap pengguna terhadap teknologi tersebut seperti motivasi untuk

tetap menggunakan serta keinginan untuk memotivasi pengguna lain.


3

TAM adalah model perilaku pemanfaatan teknologi informasi dalam

literatur sistem informasi manajemen (Dishaw dan Strong, 1999). Model ini

menyediakan dasar teori untuk menelusuri faktor yang menjelaskan pemakaian

software dan menghubungkannya dengan kinerja pemakai. TAM berfokus pada

sikap terhadap pemakaian teknologi informasi oleh pemakai dengan

mengembangkannya berdasarkan persepsi manfaat dan kemudahan dalam

pemakaian teknologi informasi. TAM banyak digunakan untuk memprediksi

tingkat penerimaan pemakai (user acceptance) dan pemakaian yang berdasarkan

persepsi terhadap kemudahan penggunaan manfaat teknologi informasi (Davis,

1989).

2.2 Niat Beli

Niat beli merupakan sebuah proses konsumen memutuskan apakah akan

menggunakan atau tidak produk yang dirasa bermanfaat bagi dirinya. Menurut

Murwatiningsih dan Apriliani (2013) memiliki makna dan umumnya digunakan

untuk memahami tujuan konsumen dalam melakukan suatu keputusan pembelian.

Mowen dan Minor (2002), menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan

konsumen akan melibatkan proses pencarian, salah satunya faktor risiko produk.

Semakin besar risiko yang dirasakan berhubungan dengan suatu produk, semakin

mungkin para konsumen terlibat dalam pemecahan masalah. Risiko dapat berupa

keuangan, kinerja, psikologis, waktu, sosial, atau fisik.

Niat beli bertujuan untuk menganalisa perilaku konsumen.Konsumen

sebelum melakukan pembelian melakukan kegiatan mengumpulkan informasi


4

tentang produk yang didasarkan pada pengalaman pribadi maupun informasi yang

berasal dari lingkungannya. Setelah informasi dikumpulkan, maka konsumen akan

mulai melakukan penilaian terhadap produk, melakukan evaluasi serta membuat

keputusan pembelian setelah membandingkan produk serta

mempertimbangkannya.

Menurut Assael (1995) niat pembelian merupakan perilaku yang muncul

sebagai respon terhadap obyek yang menunjukkan keinginan pelanggan untuk

melakukan pembelian. Beberapa pengertian dari niat pembelian adalah sebagai

berikut:

1) Niat beli juga mengindikasikan seberapa jauh orang mempunyai kemauan

untuk membeli.

2) Niat beli menunjukkan pengukuran kehendak seseorang dalam membeli.

3) Niat beli berhubungan dengan perilaku membeli yang terus menerus.

Rossiter dan Percy dalam Nababan (2008) mengemukakan bahwa niat

beli merupakan instruksi diri konsumen untuk melakukan pembelian atas suatu

produk, melakukan perencanaan, mengambil tindakan-tindakan yang relevan

seperti mengusulkan (pemrakarsa), merekomendasikan (influencer), memilih, dan

akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan pembelian. Schiffman dan

Kanuk (2007) menyatakan bahwa motivasi sebagai kekuatan dorongan dari dalam

diri individu yang memaksa mereka untuk melakukan tindakan. Jika seseorang

mempunyai motivasi yang tinggi terhadap obyek tertentu, maka dia akan

terdorong untuk berperilaku menguasai produk tersebut. Sebaliknya jika

motivasinya rendah, maka dia akan mencoba untuk menghindari obyek yang
5

bersangkutan. Implikasinya dalam pemasaran adalah untuk kemungkinan orang

tersebut berminat untuk membeli produk atau merek yang ditawarkan atau tidak.

Lima tahap proses keputusan pembelian produk dapat dijelaskan sebagai

berikut Kotler dan Keller (2009) :

1) Pengenalan masalah, proses pembelian dimulai ketika pembeli mengenali

masalah atau kebutuhan. Para pemasar perlu mengidentifikasi keadaan yang

memicu kebutuhan tertentu, dengan mengupulkan informasi dari sejumlah

konsumen sehingga bisa menyusun strategi yang memicu minat konsumen.

2) Pencarian informasi, sumber-sumber informasi utama yang menjadi acuan

konsumen dan pengaruh relatif tiap sumber tersebut terhadap keputusan

pembelian selanjutnya. Sumber informasi konsumen digolongkan ke dalam

empat kelompok yaitu sumber pribadi, sumber komersial, sumber publik,

sumber pengalaman.

3) Evaluasi alternatif, setelah melakukan pencarian informasi sebanyak

mungkin tentang banyak hal, selanjutnya konsumen harus melakukan

penilaian tentang beberapa alternatif yang ada dan menentukan langkah

selanjutnya. Para konsumen akan memberikan perhatian besar pada atribut

yang dicarinya.

4) Keputusan pembelian, setelah tahap-tahap awal tadi dilakukan. Sekarang

tiba saatnya bagi pembeli untuk menentukan pengambilan keputusan apakah

jadi membeli atau tidak. Keputusan menyangkut jenis produk, bentuk

produk, merek, penjual, kualitas dan sebagainya.


6

5) Perilaku setelah pembelian, setelah membeli suatu produk, konsumen akan

mengalami beberapa tingkat kepuasan atau tidak ada kepuasan. Ada

kemungkinan bahwa pembeli tidak puas setelah melakukan pembelian,

karena mungkin harga barang dianggap terlalu mahal, atau mungkin tidak

sesuai dengan keinginan.

2.3 Sikap

Pengertian sikap menurut Swidi (2012) Sikap konsumen berdasarkan

teori perilaku yang direncanakan dirasakan perasaan menguntungkan atau tidak

menguntungkan ketika seseorang melakukan sesuatu. Kazemi (2013) sikap

adalah perasaan umum masyarakat tentang keinginan atau perilaku untuk

melakukan sesuatu. Menurut Wang (2010) sikap merupakan pengakuan

pelanggan dan evaluasi layanan telekomunikasi setelah mereka menggunakan

layanan tersebut.

Menurut Suprapti (2010:135) sikap merupakan suatu ekspresi perasaan

seseorang yang merefleksikan kesukaan atau ketidak sukaanya terhadap sesuatu

obyek. Karena sikap seseorang merupakan hasil dari suatu proses psikologi,

maka hal itu tidak dapat diamati secara langsung tetapi harus disimpulkan dari

apa yang dikatakan atau dilakukannya.

Menurut Simamora (2002) empat fungsi sikap sebagai dasar yang

memotivasi pembentukan dan penguatan sikap positif terhadap suatu obyek yang

memuaskan kebutuhan atau sikap negatif terhadap obyek yang mendatangkan

kerugian, hukumam, atau ancaman. Assael (2004) dalam Suprapti (2010)


7

menyatakan fungsi sikap sebagai berikut: Fungsi utilitas, sikap memandu

konsumen dalam mencapai manfaat yang diinginkannya. Fungsi ekspresi nilai,

pengekspresian citra diri dan sistem nilai konsumen, khususnya bagi produk-

produk dengan keterlibatan tinggi. Nilai-nilai instrumental merupakan pilihan

mengenai berbagai prilaku dan sifat pribadi seperti kejujuran, kepatuhan akan

aturan. Fungsi pertahanan ego, sikap melindungi ego dari kecemasan dan

ancaman. Rasa takut konsumen menjadi terasing dari lingkungan sosial dengan

menunjukan bahwa seseorang akan lebih diterima oleh lingkungan sosial bila

menggunakan produk tertentu. Fungsi pengetahuan, sikap yang membantu

konsumen mengorganisir informasi masal yang dipaparkan kepada konsumen

setiap hari. Fungsi pengetahuan akan menyaring semua informasi yang tidak

relevan dan mengurangi ketidakpastian akan informasi.

Sikap juga merupakan salah satu konsep yang paling penting digunakan

pemasar untuk memahami konsumen (Setiadi, 2003). Pendapat lain dikemukakan

oleh Schifman dan Kanuk (2008) menyatakan bahwa sikap adalah ekspresi

perasaan (inner feeling), yang mencerminkan apakah seseorang senang atau tidak

senang, suka atau tidak suka, dan setuju atau tidak setuju terhadap suatu objek.

Sikap didefinisikan Arwiedya (2013) sebagai suatu mental dan syaraf

sehubungan dengan kesiapan untuk menanggapi, diorganisasi melalui pengalaman

dan memiliki pengaruh yang mengarahkan dan atau dinamis terhadap perilaku.

Sikap merupakan pencerminan seseorang terhadap suatu objek yang dapat

mempengaruhi perilakunya terhadap objek tersebut. Sikap terbentuk melalui dua

komponen yaitu keyakinan akan akibat perilaku tertentu dan evaluasi terhadap
8

tentang konsekuensi. Keyakinan akan akibat perilaku tertentu berisikan tentang

aspek pengetahuan perilaku tertentu. Jika dikaitkan dengan perilaku pembelian

melalui berbasis aplikasi online, maka komponen keyakinan berisikan

pengetahuan tentang: pentingnya harga saat melakukan belanja online; pentingnya

pelayanan yang handal saat berbelanja secara online; dan pentingnya pelayanan

yang ramah saat berbelanja secara online. Keyakinan menjadi dasar terbentunya

sikap terhadap suatu obyek, di mana keyakinan tersebut dapat timbul dari

keyakinan yang muncul karena adanya interaksi antara individu dengan obyek dan

keyakinan yang muncul dari adanya informasi tentang obyek yang diperoleh dari

berbagai sumber informasi misalnya surat kabar, majalah, brosur, iklan dan lain-

lain.

2.4 Persepsi Manfaat

Persepsi manfaat adalah suatu tingkatan dimana seseorang percaya

bahwa suatu penggunaan teknologi tertentu akan meningkatkan prestasi kerja

orang tersebut (Davis 1989). Adamson dan Shine (2003) mendefinisikan Persepsi

Manfaat sebagai konstruk kepercayaan seseorang bahwa penggunaan sebuah

teknologi tertentu akan mampu meningkatkan kinerja mereka. Dari dua definisi

tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi manfaat sistem berkaitan dengan

produktifitas dan efektifitas sistem dari kegunaan dalam tugas secara menyeluruh

untuk meningkatkan kinerja orang yang menggunakan sistem tersebut. Venkatesh

dan Morris (2003) menyatakan bahwa terdapat pengaruh penting manfaat dalam

pemahaman respon individual dalam teknologi informasi.

Venkatesh dan Davis (2000: 201) membagi dimensi persepsi manfaat menjadi
9

berikut:

1) Penggunaan sistem mampu meningkatkan kinerja individu (improves job

performance).

2) Penggunaan sistem mampu menambah tingkat produktifitas individu

(increases productivity).

3) Penggunaan sistem mampu meningkatkan efektifitas kinerja individu

(enhances effectiveness).

4) Penggunaan sistem bermanfaat bagi individu (the system is useful).

Adam. et.al (1992) dalam Rahadi (2007) mendefinisikan kemanfaatan

(usefulness) sebagai suatu tingkatan dimana seseorang percaya bahwa penggunaan

suatu subyek tertentu akan dapat meningkatkan prestasi kerja orang tersebut.

Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa kemanfaatan dari penggunaan

komputer dapat meningkatkan kinerja, prestasi kerja orang yang

menggunakannya. Menurut Thompson et.al., (1991) dalam Jin (2003)

kemanfaatan teknologi informasi merupakan manfaat yang diharapkan oleh

pengguna teknologi informasi dalam melaksanakan tugasnya. Pengukuran

kemanfaatan tersebut berdasarkan frekuensi penggunaan dan diversitas atau

keragaman aplikasi yang dijalankan. Thompson (1991) dalam Jin (2003)

menyebutkan bahwa individu akan menggunakan teknologi informasi jika

mengetahui manfaat positif atas penggunaannya.

2.5 Persepsi Kemudahan Penggunaan

Menurut Monsuwe et al. dalam Cho dan Esen (2015) menyatakan

persepsi kemudahan penggunaan mengacu pada persepsi mereka mengenai proses


10

menuju hasil akhir. Menurut Amijaya persepsi kemudahan ini akan berdampak

pada perilaku, yaitu semakin tinggi persepsi seseorang tentang kemudahan

menggunakan sistem, semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan teknologi

informasi (Suhir et al., 2014)

Persepsi kemudahan penggunaan merupakan tingkatan dimana seseorang

percaya bahwa teknologi mudah untuk dipahami (Davis, 1989). Venkatesh dan

Davis (2003), membagi dimensi Persepsi Kemudahan Penggunaan menjadi

berikut:

1) Interaksi individu dengan sistem jelas dan mudah dimengerti (clear and

understandable).

2) Tidak dibutuhkan banyak usaha untuk berinteraksi dengan sistem tersebut

(does not require a lot of mental effort).

3) Sistem mudah digunakan (easy to use).

4) Mudah mengoperasikan sistem sesuai dengan apa yang ingin individu

kerjakan (easy to get the system to do what he/she wants to do).

Davis (1989) mengemukan bahwa persepsi kemudahan merupakan

persepsi seseorang yang tidak direpotkan dengan berbagai kegiatan lain dalam

melakukan transaksi. Persepsi kemudahan transaksi online mengacu pada persepsi

individu akan mudahnya transaksi belanja online yang dilakukan. Dalam

melakukan transaksi, calon konsumen hanya melakukan sedikit usaha, tidak

terlalu ribet sehingga memudahkan calon konsumen tersebut melakukan

keputusan pembelian produk melalui internet. Persepsi kemudahan transaksi

tersebut dapat berupa prosedur pemesanan yang sederhana, prosedur pembayaran


11

yang variatif dan mudah dilakukan, proses pembelian yang informatif dan

menyenangkan serta proses pengiriman produk yang cepat dan tepat.

Venkatesh dan Davis (2000) menunjukkan bahwa kemudahan inilah yang

menjadi faktor penting dalam belanja online. Kemudahan ini selain mudah

dioperasionalisasikan juga berkaitan dapat dikurangi usaha seseorang (baik dari

segi biaya, waktu dan tenaga) dalam melakukan transaksi. Kemudahan dalam

berbelanja online akan menyebabkan calon konsumen tidak mengalami kesulitan

dalam berbelanja online.

2.6 Persepsi Risiko

Menurut Forsythe dan Shi dalam Juniwati (2014) mendefinisikan risiko pada

belanja online sebagai keinginan tertentu subyektif dari kerugian pembelian yang

dianggap dalam beberapa pembelian online. Risiko selalu ada dalam setiap

pengambilan sebuah keputusan, tidak terkecuali dalam keputusan pembelian.

Ristiyanti dan John (2005:81), menyatakan risiko yang dipersepsikan adalah

risiko yang mempengaruhi perilaku konsumen. Risiko yang dipersepsikan

konsumen mencakup:

1) Functional risk atau performance risk, yaitu risiko bila produk tidak

dapat memberikan kinerja seperti yang diharapkan. Pembeli mempunyai

kekhawatiran tentang kerusakan paa waktu konsumsi. Risiko ini diatasi

oleh penjual dengan memberikan after sales service, garansi dan

sebagainya.
12

2) Physical risk, yaitu risiko pada diri sendiri atau orang lain yang mungkin

akan diakibatkan oleh produk.

3) Financial risk, yaitu risiko bila produk tidak sesuai dengan harganya.

4) Social risk, yaitu risiko yang ditimbulkan bila ternyata produk yang

dipilih malah menimbulkan penghinaan dan menyebabkan perasaan

malu.

5) Psychological risk, yaitu risiko bila produk malah melukai ego

konsumen.

6) Time risk, yaitu risiko bila waktu yang dihabiskan untuk mendapatkan

produk akan sia-sia karena kinerja produk tidak seperti yang diharapkan.

7) Risiko legal, yaitu risiko terjadinya tuntutan hukum oleh pihak ketiga.

Ada konsumen yang high-risk perceivers (lebih mudah mempersepsikan

adanya risiko). Golongan konsumen ini dihubungkan dengan apa yang dinamakan

narrow categorizers, yaitu orang yang merasa lebih aman (dapat mengurangi

risiko) dengan membatasi pilihan produk. Kemudian ada konsumen yang

tergolong low-risk perceivers (tidak gampang mempersepsikan adanya risiko).

Kelompok konsumen ini memilih alternatif yang diambil dari pilihan produk yang

luas. Mereka cenderung bisa dan memperhatikan stimulus yang bermacam-

macam.

Menurut Ristiyanti dan John (2005:82), persepsi risiko tergantung pada

banyak faktor. Pertama, persepsi tentang risiko bisa tergantung pada kategori

produk. Kategori produk yang dikonsumsi dengan menelan atau memasukkan

produk itu ke dalam tubuh akan dipersepsi berisiko tinggi misalnya obat-obatan.
13

Kedua, persepsi tentang risiko tergantung pada situasi waktu belanja. Orang

mempersepsi risiko lebih tinggi bila dia tidak dapat berhubungan langsung dengan

penjualnya.

Terkait dengan fenomena belanja online Naiyi (2004) menggunakan

dimensi - dimensi persepsi risiko sebagai berikut:

1) Fraud risk yaitu mengacu pada perhatian konsumen mengenai kepercayaan

terhadap penjual pada online shopping

2) Delivery risk mengacu pada perhatian konsumen mengenai proses

pengiriman barang

3) Financial risk mengacu pada perhatian konsumen mengenai kemungkinan

kehilangan uang ketika berbelanja melalui internet

4) Process and time risk yaitu mengacu pada pandangan terhadap waktu,

kemudahan, dan kenyamanan konsumen mengenai berbelanja melalui

internet

5) Product risk mengacu pada kualitas sebuah produk, kinerjanya, kepalsuan

produk dan masalah lain yang berhubungan dengan produk tersebut

6) Privacy risk mengacu pada perhatian konsumen mengenai keamanan dari

informasi pribadi ketika berbelanja secara online

7) Information risk mengacu pada perhatian konsumen terhadap

ketidaksesuaian informasi mengenai penjual ataupun produk

Anda mungkin juga menyukai