Anda di halaman 1dari 20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen (consumer behavior) didefinisikan sebagai studi tentang pembelian

(buying units) dan proses pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumsi, dan pembuangan

barang, jasa, pengalaman, serta ide-ide (Mowen dan Minor, 2001:6). Perilaku konsumen juga

dapat didefinisikan sebagai perilaku yang ditunjukkan oleh konsumen dalam mencari, membeli,

menggunakan, mengevaluasi dan membuang produk dan jasa yang diharapkan akan memenuhi

berbagai kebutuhannya. (Schiffman dan Kanuk, 2007:6).

Ada beberapa komponen penting yang bisa disarikan dari definisi-definisi perilaku

konsumen dari para ahli, yang merupakan inti dari pengertian perilaku konsumen, yakni:

(Suprapti, 2010:3)

1) Perilaku konsumen melibatkan berbagai aktivitas, baik yang sifatnya mental, emosi dan fisik.

2) Perilaku konsumen terjadi karena didasari motif tertentu.

3) Konsumen merupakan pusat perhatian utama.

4) Perilaku konsumen menunjukkan sebuah proses yang berkesinambungan, sejak konsumen

belum melakukan pembelian, saat pembelian, dan setelah pembelian terjadi.

5) Perilaku konsumen melibatkan peran yang berbeda.

6) Perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal.

7) Perilaku konsumen berbeda untuk orang yang berbeda

8) Studi perilaku konsumen tidak hanya berfokus pada pembeli beserta anteseden dan

konsekuensi dari proses keputusan pembelian itu, yang sifatnya segera, melainkan lebih luas
dari itu karena menyangkut dampak proses keputusan pembelian itu pada konsumen itu

sendiri dan masyarakat secara keseluruhan.

2.2. Kategori Konsumen

Dalam memasarkan produk jasa, pemasar harus memahami sifat-sifat konsumennya

dalam menerima penyebaran dan mengadopsi suatu produk baru. Konsumen diasumsikan

melalui lima tahap untuk sampai pada keputusan membeli atau menolak suatu produk baru.

Kelima tahap tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Kesadaran Minat Evaluasi Mencoba Adopsi

Sumber: Suprapti (2010)


Gambar 2.1: Tahap-tahap Dalam Proses Adopsi

1) Tahap kesadaran. Pada tahap pertama ini, konsumen terpapar oleh suatu produk baru.

Mereka menjadi sadar dan mengenal keberadaan produk itu.

2) Tahap minat atau pengetahuan. Ketika konsumen telah sadar akan kehadiran suatu produk

baru, mereka mulai berminat dan mencari informasi agar mengetahui lebih banyak tentang

produk itu.

3) Tahap evaluasi. Berdasar informasi yang diperoleh pada tahap sebelumnya, konsumen akan

melakukan evaluasi, dan bila hasilnya positif, konsumen akan mencobanya.

4) Tahap mencoba. Konsumen mencoba atau membeli dalam jumlah kecil. Pengalaman dalam

tahap ini akan menentukan apakah konsumen akan mengadopsi atau menolak produk.

5) Tahap adopsi (atau menolak). Pada tahap ini konsumen memutuskan menggunakan produk

itu dan membeli dalam jumlah yang diperlukan, atau menolak untuk menggunakannya.
Selanjutnya terdapat lima jenis kategori konsumen ketika menyikapi satu produk baru

(Assael, 2004:478), sebagai berikut:

1) Innovator. Orang-orang yang senang mencoba ide-ide dan hal-hal baru. Berani mengambil

risiko yang menantang dan umumnya berada dalam lingkungan sosial tinggi di perkotaan.

2) Early adopters. Orang-orang yang mirip dengan innovator namun mereka lebih perhatian

pada lingkungan sosialnya. Umumnya para opinion leader atau referensi merupakan bagian

dari early adopter.

3) Early majority. Mengadopsi suatu ide produk/jasa baru setelah semakin luasnya penggunaan

ide tau produk tersebut dan tidak terbatas pada lingkungan sosialnya saja.

4) Late majority. Mereka yang cenderung lebih skeptis dalam mengadopsi produk baru. Mereka

biasanya menunggu untuk keluarnya versi produk yang lebih modern atau dikarenakan

tekanan situasi dan lingkungannya.

5) Laggards. Mereka yang lebih menyukai sesuatu yang tradisional atau yang sudah menjadi

kebiasaan mereka, cenderung berhati-hati dalam mengadopsi suatu inovasi. Pemasaran pada

orang golongan ini lebih sulit karena umumnya mereka menolak inovasi baru dikarenakan

ketakutan akan merubah kebiasaan dan nilai tradisi yang mereka pegang.

Sumber: Assael (2004)


Gambar 2.2: Adopters Categories

2.3. Pengambilan Keputusan Konsumen

Konsumen akan melalui tahapan proses pengambilan keputusan sebelum memutuskan

untuk membeli, menggunakan atau mengonsumsi suatu produk/jasa. Schiffman dan Kanuk

(2007:8) menggambarkan pengambilan keputusan konsumen melalui model sederhana yang

dibagi ke dalam tiga tahap, yakni tahap masukan, proses dan keluaran. Tahap masukan

merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi pengenalan konsumen terhadap kebutuhan

suatu produk. Faktor eksternal terdiri atas dua sumber, yaitu pertama: berbagai upaya pemasaran

yang dilakukan perusahaan untuk mempengaruhi konsumen, yakni berupa produk itu sendiri,

harganya, distribusinya, dan promosinya, dan kedua: yang bersumber dari pengaruh sosiologis

konsumen, yakni keluarga, teman, tetangga, sumber-sumber informal lainnya, kelas sosial,

budaya, dan sub-budaya. Pengaruh kedua sumber itu merupakan masukan bagi konsumen yang

menentukan apa yang akan dibeli konsumen dan bagaimana mereka menggunakan apa yang

telah dibelinya (Suprapti, 2010:16).

Tahap proses yang merupakan tahap kedua berkaitan dengan bagaimana konsumen

membuat keputusan. Pada tahap ini, faktor-faktor psikologis yang melekat pada setiap individu

seperti motivasi, persepsi, pembelajaran, kepribadian, dan sikap akan berpengaruh pada

pengolahan informasi dari faktor eksternal, mulai dari pengenalan terhadap kebutuhan, pencarian

informasi sebelum pembelian, dan evaluasi berbagai alternatif. Tahap luaran yang merupakan

tahap ketiga dari model terdiri atas dua aktivitas pasca pengambilan keputusan yang saling

terkait, yaitu perilaku pembelian dan evaluasi pasca pembelian. Dalam membeli, konsumen

mungkin saja melakukan pembelian coba-coba sebelum melakukan pembelian aktual atau

pembelian ulang. Sebagaimana namanya, pembelian coba-coba dilakukan untuk mencoba


menggunakan, merasakan, atau mencicipi suatu produk. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan

untuk semua produk (Suprapti, 2010:17).

Pengaruh Eksternal

Usaha Pemasaran Lingkungan Sosio-budaya:


Perusahaan: 1. Keluarga
1. Produk 2. Sumber informasi
Masukan 2. Promosi 3. Sumber non komersial lain
3. Harga 4. Kelas sosial
4. Saluran distribusi 5. Subbudaya dan budaya

Pengambilan Keputusan Konsumen

Bidang Psikologi:
Pengenalan 1. Motivasi
kebutuhan 2. Persepsi
Proses 3. Pengetahuan
Penyelidikan 4. Kepribadian
sebelum pembelian 5. Sikap

Evaluasi alternatif
Pengalaman

Perilaku Setelah Keputusan

Pembelian
1. Percobaan
Luaran 2. Pembelian ulang

Evaluasi Setelah
Pembelian

Sumber: Schiffman dan Kanuk (2007)


Gambar 2.3: Model Sederhana Pengambilan Keputusan Konsumen

2.4. Technology Acceptance Model (TAM)

Davis (1989) mengajukan sebuah teori Technology Acceptance Model (TAM) yang

menjelaskan bagaimana computer adoption dipengaruhi oleh technology-based beliefs


(usefulness dan ease of use). Teori TAM dilatarbelakangi oleh dua cabang teori yaitu Theory of

Reasoned Action (TRA) (Fishbein dan Ajzen, 1975) dan Theory of Planned Behavior (TPB)

(Ajzen, 1991). TRA menjelaskan beliefs seorang user/konsumen akan menentukan sikap dan

intense, yang selanjutnya akan mempengaruhi actual behaviors..

Belief and Attitude toward


Evaluations behavior
Behavior Actual
Intention Behavior
Normative
Subjective Norm
beliefs and
motivation to
comply
Sumber: Fishbein dan Ajzen (1975)
Gambar 2.4: Theory of Reasoned Action

Belief and Attitude toward


Evaluations behavior

Behavior Actual
Normative beliefs Subjective Norm Intention Behavior
and motivation to
comply
Perceived
Control beliefs and Behavior
perceived Control
facilitation
Sumber: Ajzen (1991)
Gambar 2.5: Theory of Planned Behavior

TPB merupakan gabungan antara TRA dengan menambahkan sebuah konstruk baru yaitu

perceived behavior control sebagai determinan independen untuk mempengaruhi intensi dan

behaviors, hal ini disebabkan pada realita sehari-hari terkadang seseorang menggunakan

teknologi tidak seterusnya berdasarkan keinginan individu tersebut saja, melainkan terdapat

faktor-faktor yang mengharuskan individu tersebut menggunakan teknologi (mandatory), dan

memaksa individu tersebut menggunakan suatu teknologi


Berdasarkan teori-teori TRA dan TPB, TAM dikembangkan pada media yang ada

hubungannya dengan teknologi (Davis, 1989). TAM mengasumsikan dua dimensi beliefs yaitu

perceived usefulness dan perceived ease of use, sebagai dua alasan penting yang digunakan

seseorang untuk mengadopsi sebuah teknologi. Perceived usefulness berkaitan dengan tingkat

kegunaan sebuah teknologi, dengan menggunakan teknologi tersebut apakah user merasakan

kehidupan atau pekerjaannya dapat terbantu dikarenakan teknologi tersebut. Selanjutnya

perceived ease of use berkaitan dengan tingkat kemudahan, artinya seberapa banyak usaha yang

diperlukan untuk mengadopsi teknologi tersebut. Model dasar TAM seperti yang dikembangkan

oleh Davis digambarkan pada bagan sebagai berikut:

Perceived
Usefulness
Attitude Behavioral Actual
External Towards Intention System
Variables Using to Use Use
Perceived
Ease of Use

Sumber: Davis (1989)


Gambar 2.6: Technology Acceptance Model (TAM)

2.4.1 Perceived of usefulness

Persepsi kemanfaatan (perceived usefulness) mengacu pada tingkatan di mana seseorang

percaya bahwa menggunakan sistem tertentu akan membantu meningkatkan kinerja dalam

pekerjaannya (Davis, 1989). Adamson dan Shine (Pardyanto, 2013) mendefinisikan persepsi

kemanfaatan sebagai konstruk kepercayaan seseorang bahwa penggunaan sebuah teknologi

tertentu akan mampu meningkatkan kinerja mereka.

Apabila merujuk pada dua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa persepsi

kemanfaatan berkaitan dengan produktivitas dan efektivitas sistem dari kegunaan dalam tugas
secara menyeluruh untuk meningkatkan kinerja orang yang menggunakan sistem tersebut.

Vankatesh menyatakan bahwa terdapat pengaruh penting manfaat dalam pemahaman respon

individual dalam teknologi informasi. Mansour (2016) membagi dimensi persepsi kemanfaatan

menjadi berikut:

1) Penggunaan sistem mampu meningkatkan efektivitas kinerja individu (improves banking

effectiveness).

2) Penggunaan sistem mampu menambah tingkat produktifitas individu (improves banking

productivity).

3) Penggunaan sistem mampu meningkatkan pengalaman transaksi perbankan (improves

banking experience).

4) Penggunaan sistem bermanfaat bagi individu (the system is useful)

2.4.2 Perceived ease of use

Persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use) dapat didefinisikan sebagai

tingkat kepercayaan seseorang terkait kemudahan penggunaan sistem yang hanya memerlukan

sedikit usaha (Davis, 1989). Mansour (2016) membagi dimensi persepsi kemudahan penggunaan

menjadi sebagai berikut:

1) Tidak dibutuhkan banyak usaha untuk mempelajari sistem tersebut (does not require a lot

of mental effort).

2) Mudah untuk menjadi terampil dalam penggunaan sistem/mudah dikuasai (easy to

become skilful)

3) Sistem mudah digunakan (easy to use).

4) Tampilan/menu pada sistem jelas (clear).

2.4.3 Attitude towards using


Sikap terhadap penggunaan dapat didefinisikan sebagai perasaan positif atau negative

pengguna sistem teknologi yang muncul dari pengaruh kemudahan penggunaan dan manfaat

penggunaan yang dirasakan. Sikap akan mempengaruhi perilaku pengguna dalam niat untuk

menggunakan dan juga pemakaian sistem informasi dan teknologi. Mansour (2016) membagi

dimensi sikap menjadi sebagai berikut:

1) Penggunaan sistem merupakan sesuatu yang sangat dinikmati (desirable to use the system)

2) Penggunaan sistem merupakan pengalaman menyenangkan (pleasant experience)

3) Penggunaan sistem merupakan ide yang bijaksana (wise idea)

2.4.4 Behavioral intention to use

Selanjutnya behavioral intention to use adalah kecenderungan perilaku untuk tetap

menggunakan suatu teknologi. Tingkat penggunaan suatu teknologi pada seseorang dapat

diprediksi dari sikap perhatiannya terhadap teknologi tersebut, misalnya motivasi untuk tetap

menggunakan, serta keinginan untuk memotivasi pengguna lain. Variabel terakhir dari Davis

(1989) adalah actual usage, adalah kondisi nyata penggunaan teknologi, dikonsepkan dalam

bentuk pengukuran terhadap frekuensi dan durasi waktu penggunaan teknologi. Seseorang akan

puas menggunakan sistem jika mereka meyakini bahwa sistem tersebut mudah digunakan dan

akan meningkatkan produktivitas mereka, yang tercermin dari kondisi nyata penggunaan.

Mansour (2016) membagi dimensi niat perilaku untuk menggunakan menjadi sebagai berikut:

1) Niat untuk menggunakan sistem secara rutin (frequent use)

2) Niat untuk menggunakan sistem secara berkelanjutan/penggunaan berkelanjutan

(continue using)

3) Niat untuk merekomendasikan sistem kepada orang lain (recommend others to use)
2.5. E-Trust

2.5.1. Definisi e-trust

Trust merupakan pondasi dari bisnis, yakni suatu transaksi bisnis antara dua pihak atau

lebih yang akan terjadi apabila masing-masing pihak saling mempercayai. Kepercayaan (trust)

ini tidak begitu saja dapat diakui oleh pihak lain/mitra bisnis, melainkan harus dibangun mulai

dari awal dan dapat dibuktikan. Trust telah dipertimbangkan sebagai katalisator dalam berbagai

transaksi antara penjual dan pembeli agar kepuasan konsumen dapat terwujud sesuai dengan

yang diharapkan (Yousafzai et al., 2003).

Beberapa literatur telah mendefinisikan trust dengan berbagai pendekatan (Mukherjee

dan Nath, 2003). Pada awalnya trust banyak dikaji dari disiplin psikologi, karena hal ini

berkaitan dengan sikap seseorang. Kemudian perkembangannya, trust menjadi kajian berbagai

disiplin ilmu (Riegelsberger et al., 2003; Murphy dan Blessinger, 2003; Kim dan Tadisina,

2003), termasuk menjadi kajian dalam e-commerce. Menurut Yousafzai et al., (2003), setidaknya

terdapat enam definisi yang relevan dengan aplikasi e-commerce. Hasil identifikasi dari berbagai

literature tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut (Mansour, 2016):

1) Rotter (1967) mendefinisikan trust adalah keyakinan bahwa kata atau janji seseorang dapat

dipercaya dan seseorang akan memenuhi kewajibannya dalam sebuah hubungan pertukaran.

2) Morgan dan Hunt (1994) mendefinisikan bahwa trust akan terjadi apabila seseorang

memiliki kepercayaan diri dalam sebuah pertukaran dengan mitra yang memiliki integritas

dan dapat dipercaya.

3) Mayer et al., (1995) mendefinisikan trust adalah kemauan seseorang untuk peka terhadap

tindakan orang lain berdasarkan pada harapan bahwa orang lain akan melakukan tindakan
tertentu pada orang yang mempercayainya, tanpa tergantung pada kemampuannya untuk

mengawasi dan mengendalikannya.

4) Rousseau et al., (1998) mendefinisikan trust adalah wilayah psikologis yang merupakan

perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perhatian atau perilaku

yang baik dari orang lain.

5) Gefen (2000) mendefinisikan trust adalah kemauan untuk membuat dirinya peka pada

tindakan yang diambil oleh orang yang dipercayainya berdasarkan pada rasa kepercayaa dan

tanggung jawab.

6) Ba dan Pavlou (2000) mendefinisikan trust adalah penilaian hubungan seseorang dengan

orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu menurut harapan orang kepercayaannya

dalam suatu lingkungan yang penuh ketidakpastian.

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat dinyatakan bahwa trust adalah kepercayaan

pihak tertentu terhadap yang lain dalam melakukan hubungan transaksi berdasarkan suatu

keyakinan bahwa orang yang dipercayainya tersebut akan memenuhi segala kewajibannya secara

baik sesuai yang diharapkan (Rofiq, 2007). Kemudian E-trust dalam hal ini dapat didefinisikan

sebagai keyakinan konsumen akan kualitas dan reliabilitas yang barang atau jasa tawarkan, juga

keyakinannya mengenai sifat dapat dipercaya, kejujuran dan kebajikan yang dimiliki perusahaan

e-commerce (Sativa dan Astuti, 2016).

Dalam menjelaskan literatur psikologi sosial dan pemasaran, Doney dan Cannon (1997)

mendefinisikan trust sebagai persepsi kredibilitas dan kebaikan hati (benevolence) dari target

kepercayaan (Mansour, 2016). Kim et al., (2003) menambahkan dimensi ketiga dari trust, yakni

integritas. Inilah dimensi trust yang paling sering masuk dalam penelitian pada bidang

pemasaran (Yu et al., 2015; Yousafzai et al., 2007; Gefen et al., 2003). Janouri dan Gharbi
(2008) menambahkan dimensi yang keempat, yakni orientasi untuk menyelesaikan masalah

(orientation to resolve problems).

2.5.2. Dimensi e-trust

Dalam penelitian ini e-trust terdiri dari empat dimensi, yakni: kredibilitas (Credibility)

yang dirasakan, kebaikan hati (Benevolence), dan integritas (Integrity) yang dirasakan, serta

orientasi untuk menyelesaikan masalah (Orientation to resolve problems). Adapun dimensi-

dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (Mansour, 2016)

1) Kredibilitas (Credibility)

Dimensi kepercayaan yang pertama, yakni kredibilitas yang dirasakan adalah sejauh mana

salah satu mitra (partner) percaya bahwa mitra yang lainnya memiliki keahlian yang

dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan secara efektif dan handal (reliable) (Mansour, 2016;

Gefen et al., 2003; Morgan dan Hunt, 1994). Selanjutnya, kredibilitas yang dirasakan

dikatakan sebagai keyakinan bahwa supplier elektronik memiliki pengetahuan yang

dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya secara efektif. Dalam hal ini, bagaimana penjual

mampu menyediakan, melayani, sampai mengamankan transaksi dari gangguan pihak lain.

Artinya bahwa konsumen memperoleh jaminan kepuasan dan keamanan dari penjual dalam

melakukan transaksi. Mansour (2016) menyatakan bahwa credibility meliputi

kompetensi/keahlian, efisiensi, dan kemampuan dalam memenuhi janji yang telah dibentuk.

2) Kebaikan Hati (Benevolence)

Kebaikan hati merupakan kemauan penjual dalam memberikan kepuasan yang saling

menguntungkan antara dirinya dengan konsumen. Profit yang diperoleh penjual dapat

dimaksimumkan, tetapi kepuasan konsumen juga tinggi. Penjual bukan semata-mata

mengejar profit maksimum semata, melainkan juga memiliki perhatian yang besar dalam
mewujudkan kepuasan konsumen. Menurut Mansour (2016), benevolence meliputi perhatian,

empati/menghormati pengguna, keyakinan dan daya terima (Mansour, 2016; Yu et al., 2015).

3) Integritas (Integrity)

Integritas berkaitan dengan bagaimana perilaku atau kebiasaan penjual dalam menjalankan

bisnisnya. Informasi yang diberikan kepada konsumen apakah benar sesuai dengan fakta atau

tidak. Kualitas produk yang dijual apakah dapat dipercaya atau tidak. Kim et al. (2003)

mengemukakan bahwa integrity dapat dilihat dari sudut kewajaran (fairness), pemenuhan

(fulfillment), kesetiaan (loyalty), keterus-terangan (honestly), dan kehandalan (reliability)

(Mansour, 2016; Yu et al., 2015).

4) Orientasi untuk menyelesaikan masalah (Orientation to resolve problems)

Dimensi terakhir dari trust dalam penelitian ini adalah orientasi untuk menyelesaikan

masalah yakni kehendak dari supplier untuk menyelesaikan masalah yang mungkin akan

timbul selama dan setelah pembelian, masalah yang dimaksud adalah masalah yang mungkin

timbul tanpa adanya komitmen yang dibentuk sebelumnya (Mansour, 2016; Janouri dan

Gharbi, 2008).

2.6. Layanan Keuangan Digital

Dalam rangka menjangkau dan memperluas penyediaan layanan jasa sistem pembayaran

dan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang belum tersentuh jasa

sistem pembayaran dan keuangan formal (unbanked) dan yang telah terhubung dengan jasa

sistem pembayaran dan keuangan formal sebagai nasabah penabung namun belum

memanfaatkannya secara optimal karena berbagai faktor (underbanked), diperlukan inovasi


penggunaan uang elektronik sebagai salah satu instrument dalam layanan keuangan digital

melalui kerjasama dengan pihak ketiga dalam bentuk keagenan.

Perluasan penyediaan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan tersebut merupakan

inisiatif Bank Indonesia dalam mendukung Strategi Nasional Keuangan Inklusif, yang ditujukan

untuk mendukung aktivitas ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan individu atau rumah

tangga, serta mengurangi kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Salah satu bentuk perluasan

penyediaan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan dilakukan melalui kerja sama

Penerbit dengan Agen layanan keuangan digital. Oleh karena itu, perlu diatur ketentuan

pelaksanaan mengenai penyelenggaraan layanan keuangan digital dalam rangka keuangan

inklusif melalui agen layanan keuangan digital (PBI Nomor 18/17/PBI/2016 tentang perubahan

kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik).

Layanan keuangan digital adalah kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan

yang dilakukan melalui kerjasama dengan pihak ketiga serta menggunakan sarana dan perangkat

teknologi berbasis mobile maupun berbasis web dalam rangka keuangan inklusif. Dalam hal ini

layanan keuangan digital di proses secara online, yakni proses transaksi yang terkoneksi secara

langsung dengan sentral sistem komputer penyelenggara layanan keuangan digital untuk

melakukan otorisasi dan validasi sebelum dimulainya proses transaksi agar penyelesaian

transaksi layanan keuangan digital dapat dilakukan secara real time dan/atau near real time dan

tersedia notifikasi status transaksi segera setelah terjadi transaksi keuangan (PBI Nomor

18/17/PBI/2016 tentang perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009

tentang Uang Elektronik).

Jenis uang elektronik yang digunakan dalam penyelenggaraan layanan keuangan digital

adalah yang elektronik registered berbasis server (server based) yang menggunakan sarana
antara lain mobile dan kartu. Dalam penyelenggaraan layanan keuangan digital, sistem teknologi

informasi yang digunakan paling kurang harus memiliki kemampuan untuk (Surat Edaran Bank

Indonesia Nomor 18/22/DKSP tentang Penyalahgunaan Layanan Keuangan Digital):

1) Mendukung proses registrasi secara elektronik

2) Menyampaikan informasi transaksi secara terenkripsi

3) Menyampaikan notifikasi atas setiap transaksi pemegang segera setelah transaksi terjadi

4) Mendukung interkoneksi antar penyelenggara layanan keuangan digital

5) Membatasi transaksi pemegang secara otomatis (auto limit) sesuai dengan batas nilai uang

elektronik dan nilai transaksi sebagaimana yang dipersyaratkan.

Sumber: PBI Nomor 18/17/PBI/2016 tentang perubahan kedua atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik
Gambar 2.7: Proses Layanan Keuangan Digital
2.7. Mandiri E-Cash

Berdasarkan informasi pada website resmi Bank Mandiri, yang dimaksud dengan Mandiri

e-cash adalah uang elektronik berbasis server yang memanfaatkan teknologi aplikasi di

handphone dan USSD (Unstructured Supplementary Service Data), atau yang disebut sebagai

uang tunai di handphone, di mana yang memungkinkan pemegangnya untuk melakukan

transaksi perbankan tanpa harus melakukan pembukaan rekening ke cabang Bank Mandiri.

Keunggulan dari produk ini terletak pada pengalaman social banking bagi pemegangnya dan

merasakan kemudahan dalam penggunaannya. Mandiri e-cash memiliki tiga karakter kemudahan

yaitu: gampang dapat, gampang isi, dan gampang pakai. Fitur mandiri e-cash yang dapat

dinikmati oleh pemegang, adalah sebagai berikut (www.mandiriecash.co.id):

1) Informasi saldo dan histori transaksi

2) Isi ulang saldo dari e-channel Bank Mandiri, transfer atm bersama, dan tunai melalui retail

store

3) Transfer ke nomor telepon seluler lainnya

4) Transfer ke rekening tabungan Bank Mandiri

5) Tarik Tunai di atm Bank Mandiri tanpa menggunakan kartu atm

6) Bayar/beli tagihan maupun pada merchant-merchant yang bekerjasama

Setiap orang yang memiliki telepon seluler dan kartu SIM yang aktif dapat menjadi

pemegang mandiri e-cash. Layanan ini sangat aman karena setiap pendaftaran rekening mandiri

e-cash pemegang diharuskan membuat kode rahasia dan PIN. Dan setiap transaksi hanya bisa

dijalankan jika pemegang sudah memasukkan PIN yang sesuai. Beberapa kemudahan yang dapat

dinikmati oleh pemegang mandiri e-cash adalah sebagai berikut (www.mandiriecash.co.id):

1) Sebagai pengganti uang tunai


2) Dapat digunakan di semua jenis telepon seluler

3) Kemudahan pendaftaran tanpa harus datang ke cabang Bank Mandiri

4) Tidak perlu repot mencari uang pas untuk pembayaran transaksi dengan nominal kecil

5) Kemudahan transfer ke nomor telepon seluler tanpa harus menghapal nomor rekening Bank

Pada dasarnya layanan keuangan digital dengan jenis e-cash ini dapat dimanfaatkan oleh

perseorangan baik secara pribadi maupun digunakan untuk usaha ataupun bagi non

perseorangan. Apabila dimanfaatkan secara non perorangan, maka terdapat beberapa keuntungan

dari penggunaan e-cash yakni (www.mandiriecash.co.id):

1) Pengelolaan Dana Operasional

a. E-cash digunakan sebagai rekening karyawan atau anggota organisasi untuk pendebetan

iuran, tagihan maupun deposit dari karyawan/anggota kepada perusahaan.

b. E-cash digunakan sebagai rekening operasional karyawan/anggota/agen yang

distribusinya dilakukan dari kantor pusat kepada masing-maisng karyawan/anggota yang

kemudian dapat digunakan untuk pembayaran dan pembelian serta tarik tunai di ATM

tanpa kartu.

c. Solusi pengelolaan dana operasional tersebut dilakukan secara host-to-host langsung dari

sistem perusahaan mitra ke sistem e-cash.

2) Penerimaan Pembayaran

a. E-cash dapat digunakan untuk melakukan pembayaran kepada perusahaan mitra

(Merchant) oleh para pemegang e-cash sehingga memungkinkan pembayaran secara

online bagi masyarakat yang belum memiliki rekening maupun kartu kredit.
b. Proses pembayaran dilakukan secara online realtime dengan metode web services di

mana perusahaan mitra cukup menambahkan sedikit metode pemrograman web services

untuk menggunakan internet payment gateway (IPG) e-cash.

Sumber: www.mandiriecash.co.id
Gambar 2.8: Proses Mandiri E-cash melalui sistem Host-To-Host

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa e-cash tidak hanya dapat dimanfaatkan

oleh perorangan namun juga non perorangan. Untuk dapat menjadi pihak yang bekerjasama

dengan bank, maka pihak baik perorangan/non perorangan tersebut wajib terdaftar terlebih

dahulu sebagai merchant Bank Mandiri. Merchant adalah penjual barang/jasa yang memiliki

physical store (merchant yang melakukan kegiatan jual/beli barang/jasa di lokasi bisnis (toko

sebagai tempat operasional) maupun online store (merchant yang melakukan kegiatan jual/beli

barang/jasa melalui situs online/Apps Store/Google Play/BlackBerry World) yang bekerjasama

dengan Bank dalam penyediaan layanan penerimaan pembayaran via mandiri e-cash

(www.mandiriecash.co.id).
Merchant dapat berupa perorangan, yakni merchant milik perorangan tanpa berdasarkan

pada tata cara dan ketentuan pendirian usaha berbadan hukum. Maupun Merchant berbadan

hukum yaitu merchant yang didirikan berdasarkan pada tata cara dan ketentuan pendirian usaha

berbadan hukum. Setelah mendaftar sebagai merchant mandiri e-cash, merchant akan

memperoleh ID merchant. Apabila transaksi pembayaran melalui physical outlet, maka transaksi

melalui EDC Kartu Kredit dan Kartu debit, di mana pembayaran dilakukan dengan

menggunakan EDC melalui menu e-cash pada EDC dengan cara memasukkan OTP dari

pemegang e-cash (tanpa kartu) dan jumlah pembayaran (www.mandiriecash.co.id).

Sumber: www.mandiriecash.co.id
Gambar 2.9: Proses Pembayaran Mandiri E-cash melalui Physical Outlet

Apabila transaksi dilakukan secara online realtime melalui merchant online store/e-

commerce, notifikasi pembayaran dapat secara langsung diterima oleh sistem e-commerce

merchant, sehingga tidak perlu melakukan verifikasi secara manual. Pembayaran dilakukan

melalui halaman Internet Payment Gateway (IPG) mandiri e-cash di mana Integrasi dengan e-

commerce sangat mudah dilakukan dengan menggunakan aplikasi mandiri e-cash. Selain

bekerjasama dengan pihak bank sebagai merchant, para pengusaha juga dapat bekerjasama

dengan bank menjadi pihak agen. Agen adalah pihak ketiga yang bekerjasama dengan Bank
dalam penyelenggaraan mandiri e-cash, yang dalam hal ini meliputi jasa pengisian ulang dan

tarik tunai. Pihak agen juga bisa tergabung menjadi pihak merchant maupun hanya berdiri

sendiri sebagai pihak agen (www.mandiriecash.co.id).

Sumber: www.mandiriecash.co.id
Gambar 2.10: Proses Pembayaran Mandiri E-cash melalui Online Store

Anda mungkin juga menyukai