Anda di halaman 1dari 63

LITERATUR REVIEW HUBUNGAN KONSEP DIRI DAN

POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KENAKALAN


REMAJA

SKRIPSI

OKTAFIAN MUTONENG
NIM : C01416308

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
GORONTALO
2020
MOTTO

“Sbab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam


kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan
ajaib; ajaib apa yang Kau buat, dan jiwaku benar-benar menyadari nya”.

Mazmur 139 : 13-14

“Aku mengerti bahwa aku tidaklah sempurna, dan hidup ini tidak akan selalu
menantiku. Kataku, “Hidupku adalah seperti yang kuwujudkan sendiri!”. Aku
memimpikan hari esok, bukan hari kemarin. Aku mencoba untuk meraih sukses,
berani, dan tangguh, ku harap hari esok akan menciptakan dasar yang baru
bagiku, sebab aku masih muda & aku akan menapaki jalanku sendiri menurut
rancangan dan kehendak Tuhanku”.

Oktafian Mutoneng

“Maka Hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan


mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu,
supaya ada keseimbangan”.

(2 Korintus 8 : 14)
PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan buat yang menciptakan aku dan merberkatiku buat
mengerjakan skripsi ini yaitu Tuhan Yesus Kristus dan Buat :

Papa dan Mamaku Tercinta (Tommy W. Mutoneng dan Herlin Basato)


Kakakku Yanty Mutoneng
Kekasih yang selalu support
Keluarga Besar Mutoneng
Keluarga Besar Basato
Sahabat-sahabat LEGEND selalu membantu
Dan tentunya untuk Almamaterku Universitas Muhammadiyah Gorontalo.
ABSTRAK

Okrafian Mutoneng. Literatur Review Hubungan Konsep Diri Dan Pola Asuh
Orang Tua Dengan Kenakalan Remaja. Dibimbinig Oleh Firmawaty Sebagai
Ketua Dan Uyun Biahimo Sebagai Anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi Hubungan Konsep Diri Dan Pola
Asuh Orang Tua Dengan Kenakalan Remaja.. Metode penelitian ini menggunakan
studi kepustakaan atau literature review. Tekhnik pengumpulan data dalam
penelitian ini berasal dari hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan dan
diterbitkan dalam jurnal online nasional. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa
Konsep diri yang kurang berpengaruh pada kenakalan remaja, semakin baik
konsep diri remaja semakin kurang kenakalan remaja. Pola Asuh orang tua yang
kurang berpengaruh pada kenakalan remaja, semakin baik pola asuh orang tua
semakin kurang kenakalan remaja. Ada hubungan antara konsep diri dan pola
asuh orang tua dengan kenakalan remaja. Diharapkan agar konsep diri dan pola
asuh orang tua perawat lebih di tingkatkan lagi untuk mengurangi tingkat
kenakalan remaja.

Kata Kunci: Konsep diri, Pola asuh Orang Tua, Kenakalan Remaja
KATA PENGANTAR

Segala syukur dan puji hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena
anugerah-Nya yang melimpah, kemurahan dan kasih setia yang besar, sehingga
penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini sebagai syarat utama dalam
menyelesaikan Program Sarjana S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Gorontalo.
Dalam penyusunan Skripsi yang berjudul ” Hubungan Konsep Diri Dan
Pola Asuh Orang Tua Dengan Kenakalan Remaja”.
Penulis menyadari bahwa selama penyusunan Skripsi Penelitian ini masih
banyak mengalami hambatan, namun berkat bimbingan, dan bantuan dari berbagai
pihak penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu,
melalui kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-
dalamnya kepada Ayah Tommy W. Mutoneng dan Ibu Herlin Basato tercinta
dengan penuh kasih sayang dan kesabaran telah membesarkan dan mendidik saya
hingga dapat menempuh pendidikan yang layak.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Muhammadiyah Gorontalo Dr.dr. H. Muhamad Isman
Yusuf, Sp.S.
2. Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Gorontalo Prof. Dr. Hj. Moon
Hidayati Otoluwa, M.Hum.
3. Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Gorontalo Drs. H. Sjamsuddin
N. Tuli, M.Si.
4. Wakil Rektor III Universitas Muhammadiyah Gorontalo Dr. Ir. H. Hasyim.
M.Si.
5. Wakil Rektor IV Universitas Muhammadiyah Gorontalo Dr. Munkizul
Umam Kau, S.Phil.I, M.Phil.
6. Ns. Abdul Wahab Pakaya, S.Kep, MM.,M.Kep selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Gorontalo.
7. Pipin Yunus S.Kep, Ns. M.Kep Selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Gorontalo
8. Ns. Rona Febriyona S.Kep, M.Kes Selaku Ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Gorontalo
9. Ibu Ns. Firmawaty, M.Kep selaku dosen pembimbing 1 dan Ibu Ns. Uyun
Biahimo, M.Kep selaku Dosen Pembimbing 2 yang telah memberikan
arahannya tanpa kenal bosan, sabar serta tegas.
10. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ners Universitas
Muhammadiyah Gorontalo, Terima Kasih Atas Ilmu Yang di Berikan
11. Seluruh Staf Administrasi di Lingkungan Fakultas Ilmu Kesehatan yag lebih
khusus lagi pad jurusan Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Gorontalo yang telah banyak membantu dalam penyelesaian studi
12. Kedua Orang Tua Yang Telah Membimbing dengan Kasih Sayang dan
Pengorbanannya Hingga Penulis dapat Mengikuti Program Pendidikan Ini
13. Teman seperjuangan S1 Keperawatan 2015 dan para pegawai di UMG dan
atas kerja samanya yang baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan, wawasan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu,
penulis sangat menghargai masukan guna penyempurnaan dalam penulisan skripsi
ini.

Gorontalo, 2020

Oktafian Mutoneng
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.....................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................vi
DAFTAR SINGKATAN..........................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah....................................................................................... 5
1.3 Rumusan Masalah.......................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian............................................................................................ 5
1.4.1 Tujuan Umum....................................................................................... 5
1.4.2 Tujuan Khusus...................................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian.......................................................................................... 5
BAB II TINJUAN PUSTAKA
2.1Konsep Diri Remaja......................................................................................... 6
2.1.1 Definisi Konsep Remaja........................................................................ 6
2.1.2 Ciri-ciri Konsep Diri.............................................................................. 7
2.1.3 Tahapan Pembentukan Konsep Diri...................................................... 8
2.1.4 Karakteristik Konsep Diri Remaja (SMP-SMA)................................... 9
2.1.5 Komponen Konsep Diri......................................................................... 11
2.1.6 Kondisi Yang Mempengaruhi Konsep Diri........................................... 14
2.1.7 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri.................................. 15
2.2 Pola Asuh Orang Tua...................................................................................... 17
2.2.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua.......................................................... 17
2.2.2 Faktor Yang mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua.............................. 18
2.2.3 Dimensi Pola Asuh Orang Tua.............................................................. 19
2.2.4 Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua.......................................................... 20
2.3 Kenakalan Remaja........................................................................................... 22
2.3.1 Definisi Kenakalan Remaja................................................................... 22
2.3.2 Macam-macam Kenakalan Remaja....................................................... 23
2.3.3 Faktor-faktor Kenakalan Remaja.......................................................... 25
2.3.4 Aspek Kenakalan Remaja..................................................................... 27
2.3.5 Penanggulangan Kenakalan Reamja..................................................... 28
2.4 Remaja............................................................................................................. 29
2.4.1 Definisi Remaja..................................................................................... 29
2.4.2 Batasan Usia.......................................................................................... 30
2.4.3 Tahap Perkembangan Remaja............................................................... 31
2.4.4 Tugas Perkembangan Remaja............................................................... 31
2.5 Penelitian Relevan........................................................................................... 33
2.6 Kerangka Teori................................................................................................ 34
2.7 Kerangka Berpikir........................................................................................... 34
2.8 Hipotesis Penelitian......................................................................................... 34

i
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian......................................................................... 35
3.2 Desain Penelitian............................................................................................. 35
3.3 Variabel Penelitian.......................................................................................... 35
3.4 Tehnik Pengumpulan Data.............................................................................. 35
3.5.1 Data Primer............................................................................................ 35
3.5.2 Data Sekunder....................................................................................... 35
3.5 Instrumen Penelitian........................................................................................ 36
3.6Tehnik Analisa Data......................................................................................... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil literatur review....................................................................................... 37
4.2 Pembahasasn................................................................................................... 42
4.3 Keterbatasn peneliti......................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ii
DAFTAR TABEL

1. Penelitian Relevan................................................................................................. 34

iii
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Teori...................................................................................................... 35
2. Kerangka Berpikir...................................................................................................36

iv
DAFTAR SINGKATAN
KEMENKES : Kementrian Kesehatan
WHO : Word Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia)

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, pada umumnya dianggap sebagai masa perkembangan yang paling sulit.
Individu pada masa remaja berada dalam proses pembentukan identitas. Masa
remaja merupakan masa transisi yang tidak menyenangkan, dimana terjadi
perubahan pada remaja baik secara fisik, psikis, maupun secara sosial (Gunarsa,
2018). Dalam kehidupan remaja, lingkungan yang paling dekat dan paling
berpengaruh adalah keluarga, terutama orang tua merupakan kunci bagi
perkembangan kepribadian anak, orang tua merupakan perantara dalam
mengenalkan, menanamkan, serta memelihara nilai-nilai atau norma-norma
sehingga terbentuk konsep diri.Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat
menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya
perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan
menjadi perilaku yang mengganggu (Papalia dan Olds, 2016).
Kenakalan yang dilakukan oleh remaja biasanya sangat beragam mulai
dari perbuatan yang amoral dan anti sosial yang tidak dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hukum. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti : berbohong, kabur
dari rumah, membawa senjata tajam, dan kebutkebutan dijalan, sampai pada
perbuatan yang menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar
hukum seperti: pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian
obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan di
media-media masa.
Word Health Organization (WHO, 2016) kenakalan remaja dapat terjadi
dimana saja, dapat terjadi disekolah, dirumah (keluarga), lingkungan rumah,
atapun lingkunga kerja. Pda tahun 2016 dilakukan penelitian pada 100.000 di 8
negara terkait kenakalan remaja, hasilnya 67% dari merekan yang mengatakan
pernah berbuat hal yang tidak pasntas seperti membuli orang lain karena fisiknya,
25% karena jenis kelamin, 25% karena etnis atau negara asal.

1
Data UNICEF Indonesia (2019) berdasarkan dari data kepolisian
menyebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat 11.344 kasus kenakalan remaja.
Bulan Januari sampai dengan Mei 2012 mengalami kenaikan sebanyak 4.325
kasus kenakalan remaja. Kenakalan yang terdeteksi oleh Depsos dan lembaga
kemasyarakatan yang dilakukan oleh orang dewasa dan anak remaja mengalami
kenaikan sebesar 84,2%. Data ini belum termasuk data yang ada di Polsek, Polres,
Polda, dan Mabes. Selama periode Januari dampai dengan Mei 2012, terdapat
9.465 anak remaja yang terdaftar di panti rehabilitasi seperti Depsos dan lembaga
kemasyarakatan.
Menurut data dari BPS, tren kenakalan dan kriminalitas remaja mulai dari
kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikis menunjukkan angka
peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, tercatat 3145 remaja usia ≤ 18
tahun menjadi pelaku tindak kriminal, tahun 2008 dan 2009 meningkat menjadi
3280 hingga 4123 remaja (BPS, 2014). Pada pertengahan tahun 2013, telah terjadi
147 tawuran antar pelajar (Lukmansyah & Andini, 2013). Dan tahun 2014 terjadi
sebanyak 255 kasus tawuran pelajar (Komnas Perlindungan Anak, 2014). Selain
itu kasus pelajar pengguna narkoba dari tahun 2008 sampai 2012 yaitu sebanyak
654 tahun 2008, 635 kasus tahun 2009, 531 kasus tahun 2010, 605 kasus tahun
2011, dan 695 kasus tahun 2012 (Kemenkes, 2013).
Proyeksi atau prevalensi kenakalan remaja di indonesi di prediksi semakin
lama semakin banyak hingga 6,5% tahun 2025 khusunya Penyalahgunaan
Narkoba. Jumlah penyalahguna narkoba sebesar 1,5% dari populasi atau 3,2 juta
orang, terdiri dari 69% kelompok teratur pakai dan 31% kelompok pecandu
dengan proporsi laki-laki sebesar 79%, perempuan 21%. Angka kematian
(Mortality) pecandu 15.00 orang meninggal dalam 1 tahun. Penyalahgunaan
Narkoba sendiri berakibat terhadap kejadian HIV/AIDS. HIV/AIDS dari 1283
kasus, diperkirakan 52.000 terinfeksi (fenomena gunung es) dan 70% adalah
remaja.
Banyak kenakalan remaja yang terjadi disebabkan karena kegagalan dalam
proses pembentukan konsep diri seperti yang dikatakan Conger (Familia, 2016)
dalam hasil penelitiannya mengatakan: Bahwa para pelaku kenakalan remaja

2
kronis mempunyai image yang buruk tentang diri sendiri, mengalami perasaan
depresi, putus asa, terombang-ambing, khayalan dan kepekaan lebih sering
daripada teman-teman mereka yang tidak melakukan kenakalan remaja. Dengan
demikian image tentang diri sendiri sangat mempengaruhi perilaku remaja, hal ini
diperkuat oleh penelitian Conger (Gunawan,2015) yang menunjukkan bahwa
para pelaku kenakalan remaja memiliki image yang buruk tentang diri mereka
sendiri.
Berdasarkan dari beberapa penelitian yang salah satunya oleh Jacinta
(2017), ditemukan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya kenakalan remaja
adalah konsep diri. Masalah-masalah yang dialami remaja, seringkali berasal dari
dalam diri. Remaja tanpa sadar menciptakan mata rantai masalah yang berakar
dari problem konsep diri. Adanya kemampuan berfikir dan menilai, remaja malah
suka menilai yang macam-macam terhadap dirinya sendiri maupun sesuatu atau
orang lain bahkan meyakini persepsinya yang belum obyektif, dari situlah muncul
problem seperti inferioritas, kurang percaya diri, dan hobi mengkritik diri sendiri.
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan
seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola
asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri
yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan
informasi bagi remaja untuk menilai siapa dirinya. Kenakalan remaja meruapakan
hasil dari pola pengasuhan yang keliru, sehingga sikap anak sangat dipengaruhi
oleh bagaiman anak melakukan imitasi terhadap apa yang dilihatnya. Oleh sebab
itu, seringkali remaja yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru
dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai
konsep diri yang negatif (Jacinta, Ahmad L.Z.M, Gabriela).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dela I. Kholidah (2016)
bahwa konsep diri yang baik akan mempengaruhi kemampuan individu dalam
penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya dengan baik, sebaliknya yang
konsep diri negatif, cenderung menghambat dalam penyesuaian diri dengan
lingkungannya.

3
Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri positif apabila memiliki
pengetahuan menyeluruh mengenai dirinya, mencakup kelebihan dan kelemahan
dirinya, menerima diri apa adanya, apabila ia mempunyai kelebihan ia tidak
sombong dan apabila ia mempunyai kelemahan tidak kecewa, dan memiliki
kesadaran yang besar untuk mengubah atau mengurangi aspek dari dirinya yang
dianggap merugikan. Sebaliknya seseorang dikatakan mempunyai konsep diri
negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya,
tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak
disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Seseorang dengan konsep diri
negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan
yang dihadapinya berdasarkan peran diri dan gambaran diri yang juga
pengrauhnya dari pola asuh orang tua (Jacinta, 2017).
Pola asuh orang tua juga sering dikenal dengan sebagai gaya dalam
memlihara anak atau membesarkan anak mereka selama mereka tetap memperoleh
keperluan dasar yaitu makan, minum, perlindungan, dan kasih sayang. Santrock
(2012) mengatakan yang dimaksud dengan pola asuh adalah cara atau metode
pengasuhan yang digunakan oleh orang tua agar anak-anaknya dapat tumbuh
menjadi individu-individu yang dewasa secara social.
Keluarga dalam kehidupan remaja tentunya mempunyai pengaruh yang
sangat jelas, Broderick (2014) menggambarkan dua model kehidupan keluarga
beserta hasil dan produknya. Pada keluarga yang pertama digambarkan orang tua
yang memberikan dukungan, kehangatan, pujian, dan kasih sayang kepada
anaknya, hasilnya anak akan mempunyai konsep diri yang positif. Kedua orang
tua yang tidak memberikan dukungan, acuh tak acuh, tidak menyatakan kasih
sayang kepada anaknya, maka hasilnya anak akan mempunyai konsep diri yang
negatif.
Banyak anak ataupun siswa yang memiliki konsep diri positif. Tetapi,
banyak juga diantara mereka yang memiliki konsep diri negatif. Sebagai contoh
ketika dihadapkan pada situasi menerima hasil ujian. Siswa yang memiliki konsep
diri positif cenderung menanggapinya dengan tidak menyalahkan dirinya, tetapi
lebih berpikir logis bahwa hasil ujian yang rendah mungkin disebabkan oleh

4
kurangnya usaha dari dirinya dalam belajar. Sedangkan siswa yang memiliki
konsep diri negatif cenderung menanggapinya dengan sikap pesimis bahwa nilai
yang rendah disebabkan dirinya yang tidak mampu dalam setiap mata pelajaran
yang dipelajarinya.
Fenomena diatas menggambarkan bahwa konsep diri sangat berpengaruh
terhadap tingkah laku siswa. Siswa yang memiliki konsep diri positif terlihat pada
perilakunya yang cenderung optimis, percaya diri, harga diri yang tinggi dan
menerima kekurangan yang terdapat pada dirinya. Sehingga menampilkan
perilaku yang wajar dan tidak melakukan perilaku yang menyimpang. Tetapi jika
situasi dan kondisi di likngkungannya mengharuskan berperilaku delinquen,
remaja yang memiliki konsep diri positifpun dapat berperilaku delinquen.
Misalnya saja bersedia berkelahi karena ingin mempertahankan harga dirinya.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik dengan ingin mengetahui
tentang “Hubungan Konsep Diri Dan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kenakalan Remaja”

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi
masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Pengaruhnya Pola Asuh Orang Tua berdampak pada kenakalan remaja
2. Masih tingginya angka kenakalan Remaja
3. Kurangnya konsep diri berdampak pada kenakalan remaja

1.3 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yakni : apakah
ada Hubungan Konsep Diri Dengan Kontrol Diri Terhadap Kenakalan Remaja ?

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Konsep Diri
Dengan Konsep Diri Terhadap Kenakalan Remaja.

5
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi Konsep Diri Remaja.
2. Mengidentifikasi Pola Asuh Orang Tua Siswa.
3. Menganalisis Hubungan Konsep Diri Dan Pola asuh Orang Tua Dengan
Kenakalan Remaja.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penerapan prinsip
kewaspadaan universal, serta juga diharapkan sebagai sarana pengembangan ilmu
pengetahuan yang secara teoritis dipelajari di bangku perkuliahan.
1.5.2 Praktis
1. Bagi instansi
Sebagai bahan masukan bagi instansi-instansi terkait seperti Dinas
Sosial, Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan untuk memberikan informasi
yangbermanfaat ataupun program-program yang dapat meningkatkan
mekanisme koping remaja.
2 Bagi Pendidikan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan mengenai
pengaruhnya mekanisme koping terhadap kemampuan psikososial remaja
3 Bagi Penelitian selanjutnya
Sebagai bahan masukan dan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Diri Remaja
2.1.1 Definisi Konsep Diri
Menurut Atwater dalam Desmita (2014) menyebutkan bahwa konsep diri
adalah keseluruhan gambaran diri, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan
dengan dirinya. Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga
bentuk. Pertama, body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana
seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan
harapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana
oranglain melihat dirinya.
Menurut Pemily dalam Desmita (2014) memaparkan konsep diri sebagai
sistem yang dinamis dan kompleks dari keyakinan yang dimiliki seseorang
tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan, persepsi, nilai-nilai dan tingkah laku
yang unik dari individu tersebut. Konsep diri seseorang mula-mula terbentuk dari
perasaan apakah ia diterima dan diinginkan kehadiran oleh keluarganya melalui
perlakuan yang berulangulang dan setelah menghadapi sikap-sikap tertentu dari
ayah, ibu, kakak dan adik ataupun oranglain di lingkup kehidupannya, akan
berkembanglah konsep diri seseorang.
Menurut Djaali (2017) konsep diri adalah pandangan seseorang tentang
dirinya sendiri yang menyangkut apa yang ia ketahui dan rasakan tentang
perilakunya, isi pikiran dan perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut
berpengaruh terhadap oranglain. Menurut Elizabeth Hurlock dalam Purni Munah
Hartuti (2015) menyebutkan bahwa “konsep diri adalah gambaran yang dimiliki
orang tentang dirinya”. Lebih lanjut Burns dalam Purni Munah Hartuti (2015,)
menyatakan bahwa konsep diri adalalah “gambaran campuran dari apa yang kita
pikirkan, orang-orang berpendapat mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita
yang kita inginkan”.
Dari penjelasan diatas bahwa konsep diri adalah suatu karakter yang
terbentuk dan ada dalam diri sendiri, sehingga mencerminkan bagaimana ciri-ciri

7
kepribadian diri yang akan berpengaruh terhadap lingkungan, baik lingkungan
keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Konsep diri bukan merupakan
faktor yang dibawa sejak lahir, namun konsep diri terbentuk melalui proses
belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa.
2.1.2 Ciri-ciri Konsep Diri
Konsep diri (self concept) yaitu pikiran atau persepsi seseorang tentang
dirinya sendiri, yang akan menjadi salah satu faktor penting dalam mempengaruhi
tingkah lakunya. Para pendidik harus sadar akan dampak self concept dan self
esteem terhadap tingkah laku siswa dan prestasinya Soemanto dalam Darsita
(2016, hlm. 25-26). Adapun ciri-ciri dari konsep diri (self concept) sebagai
berikut:
1. Terorganisasikan
Seorang individu mengumpulkan banyak informasi yang dipakai untuk
membentuk persepsi tentang dirinya sendiri. Untuk sampai pada gambaran umum
tentang dirinya, seseorang menggunakan informasi ke dalam kategori-kategori
yang lebih luas dan banyak.
2. Multifaset
Individu mengkategorikan persepsi diri itu dalam beberapa wilayah (area)
misalnya pada social acceptance, physical attractiveness, athletic ability dan
academic ability.
3. Stabil
Umumnya konsep diri (self concept) itu stabil. Perlu diingat jika area
konsep diri (self concept) bisa berubah.
a. Tersusun secara hirarkis.
b. Berkembang
Konsep diri (self concept) berkembang sesuai dengan umur dan
pengaruh lingkungannya.
c. Evaluatif
Individu tidak hanya membentuk deskripsi dirinya pada situasi
yang istimewa, tetapi juga mengadakan penilaian terhadap dirinya
sendiri. Beberapa siswa percaya bahwa mereka adalah siswa yang

8
suskes, sementara siswa yang lain merasa bahwa tidak layak dan merasa
rendah jika dibandingkan dengan temannya. Coopersmith
menggolongkan menjadi dua golongan, yaitu golongan self concept
yang positif dan negatif.
Dengan demikian berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan
bahwa ciriciri konsep diri dibagi menjadi tiga bagian. Pertama,
terorganisasikan. Kedua, multifaset. Ketiga, stabil. Ketiga ciri tersebut
dapat menjadi faktor penting yang dapat mempengaruhi tingkah
lakunya.
2.1.3 Tahapan Pembentukan Konsep Diri
Menurut Erikson dalam Djaali (2017, hlm. 130-132) terdapat lima tahapan
konsep diri, yaitu sebagai berikut :
1. Perkembangan dari sense of trust vs sense of mistrust, pada anak usia 1 ½-2
tahun. Melalui hubungan dengan orang tuanya anak akan mendapat kesan
dasar apakah orang tuanya merupakan pihak yang dapat dipercaya atau
tidak. Apabila ia yakin dan merasa bahwa orang tuanya dapat memberi
perlindungan dan rasa aman bagi dirinya pada diri anak akan timbul rasa
percaya terhadap orang dewasa, yang nantinya akan berkembang menjadi
berbagai perasaan yang sifatnya positif.
2. Perkembangan dari sense of anatomy vs shame and doubt, pada anak usia 2-
4 tahun. Yang terutama berkembang pesat pada usia ini adalah kemampuan
motorik dan berbahasa, yang keduanya memungkinkan anak menjadi lebih
mandiri (autonomy). Apabila anak diberi kesempatan untuk melakukan
segala sesuatu menurut kemampuannya, sekalipun kemampuannya terbatas
tanpa terlalu banyak ditolong apalagi dicela, maka kemandirian pun akan
terbentuk. Sebaliknya ia sering merasa malu dan ragu-ragu bila tidak
memperoleh kesempatan membuktikan kemampuannya.
3. Perkembangan dari sense of initiative vs sense of guilt, pada anak usia 4-7
tahun. Anak usia 4-7 tahun selalu menunjukkan perasaan ingin tahu, begitu
juga sikap ingin menjelajah, mencoba-coba. Apabila anak terlalu sering
mendapat hukuman karena perbuatan tertentu yang didorong oleh perasaan

9
ingin tahu dan menjelajah tadi, keberaniannya untuk mengambil inisiatif
akan berkurang. Yang nantinya berkembang justru adalah perasaan takut-
takut dan perasaan bersalah.
4. Perkembangan dari sense of industry vs inferiority, pada usia 7-11 atau 12
tahun. Inilah masa anak ingin membuktikan keberhasilan dari usahanya.
Mereka berkompetisi dan berusaha untuk bisa menunjukkan prestasi.
Kegagalan yang berulang-ulang dapat mematahkan semangat dan
menimbulkan perasaan rendah diri.
5. Perkembangan dari sense of identity diffusion, pada remaja. Remaja
biasanya sangat besar minatnya terhadap diri sendiri. Biasanya mereka ingin
memperoleh jawaban tentang siapa dan bagaimana dia. Dalam menentukan
jawabannya mereka akan mengumpulkan berbagai informasi yang
berhubungan dengan konsep dirinya pada masa lalu. Apabila informasi
kenyataan, perasaan, dan pengalaman yang dimiliki mengenai diri sendiri
tidak dapat diintegrasi hingga membentuk suatu konsep diri yang utuh,
remaja akan terus-menerus bimbang dan tidak mengerti tentang dirinya
sendiri.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka konsep diri dapat berkembang
melalui lima tahapan yaitu perkembangan dari sense of trust vs sense of mistrust
pada anak 1 ½ -2 tahun, perkembangan dari sense of anatomy vs shame and doubt
pada anak usia 2-4 tahun, perkembangan dari sense of initiative vs sense of guilt
pada anal usia 4-7 tahun, perkembangan dari sense of industry vs inferiority pada
usia 7-11 atau 12 tahun, dan perkembangan dari sense of identity diffusion pada
remaja. Jadi, kelima tahapan tersebut saling berkaitan dan berpengaruh terhadap
perkembangan konsep diri yang akan terbentuk dan konsep diri seseorang akan
berubah setiap dirinya bertambah usia.
2.1.4 Karakeristik Konsep Diri Remaja (SMP-SMA)
Ketika anak-anak memasuki masa remaja, konsep diri mereka mengalami
perkembangan yang sangat kompleks dan melibatkan sejumlah aspek dalam diri
mereka. Santrok dalam Desmita (2014) menyebutkan bahwa sejumlah
karakteristik penting perkembangan konsep diri pada masa remaja, yaitu :

10
1. Abstract and idealistic.
Pada masa remaja, anak-anak lebih mungkin membuat gambaran tentang
diri mereka dengan kata-kata yang abstrak dan idealistik. Gambaran tentang
konsep diri yang abstrak, misalnya, dapat dilihat dari pernyataan remaja usia 14
tahun mengenai dirinya: “Saya seorang manusia. Saya tidak dapat memutuskan
sesuatu. Saya tidak tahu siapa diri saya.” Sedangkan deskripsi idealistik dari
konsep diri remaja dapat dilihat dari pernyataan: “saya orang yang sensitif, yang
sangat peduli terhadap perasaan orang lain. Saya rasa, saya cukup cantik”.
Meskipun tidak semua remaja menggambarkan diri mereka dengan cara yang
idealis, namun sebagian besar remaja membedakan antara diri mereka yang
sebenarnya dengan diri yang diidamankan.
2. Differentiated
Konsep diri remaja bisa menjadi semakin terdiferensiasi. Dibandingkan
dengan anak yang lebih muda, remaja lebih mungkin untuk menggambarkan
dirinya sesuai dengan konteks atau situasi yang semakin terdiferensiasi.
3. Contradictions within the self
Setelah remaja mendeferensiasikan dirinya ke dalam sejumlah peran dan
dalam konteks yang berbeda-beda, kaka muncullah kontradiksi antara diridiri
yang terdeferensiasi ini.
4. The Fluctiating Self
Sifat yang kontradiktif dalam diri remaja pada gilirannya memunculkan
fluktuasi diri dalam berbagai situasi dan lintas waktu yang tidak mengejutkan.
Diri remaja akan terus memiliki ciri ketidakstabilan hingga masa di mana remaja
berhasil membentuk teori mengenai dirinya yang lebih utuh, dan biasanya tidak
terjadi hingga masa remaja akhir, bahkan hingga masa dewasa awal.
5. Real and Ideal, True and False Selves
Munculnya kemampuan remaja untuk mengkonstruksikan diri ideal mereka
di samping diri yang sebenarnya. Kemampuan utnuk menyadari adanya perbedaan
antara diri yang nyata dengan diri yang ideal menunjukkan adanya peningkatan
kemampuan kognitif dan adanya perbedaan yang terlalu jauh antara diri yang

11
nyata dengan diri ideal menunjukkan ketidakmampuan remaja untuk
menyesuaikan diri.
6. Social Comparison
Remaja lebih sering menggunakan social comparison (perbandingan social)
untuk mengevaluasi diri mereka sendiri. Namun, kesediaan remaja untuk
mengevaluasi diri mereka cenderung menurun pada masa remaja karena menurut
mereka perbandingan social itu tidaklah diinginkan.
7. Self-Conscious
Remaja lebih sadar akan dirinya dibandingkan dengan anak-anak dan lebih
memikirkan tentang pemahaman diri mereka.
8. Self-protective
Remaja juga memiliki mekanisme untuk melindungi dan mengembangkan
dirinya. Dalam upaya melindungi dirinya, remaja cenderung menolak adanya
karakteristik negatif dalam diri mereka.
9. Unconscious
Konsep diri remaja melibatkan adanya pengenalan bahwa komponen yang
tidak disadari termasuk dalam dirinya, sama seperti komponen yang disadari.
Pengenalan seperti ini tidak muncul hingga masa remaja akhir. Artinya, remaja
yang lebih tua, yakin akan adanya aspek-aspek tertentu dari pengalaman mental
dari mereka yang berada di luar kesadaran atau control mereka dibandingkan
dengan remaja yang lebih muda.
10. Self-integration
Terutama pada masa remaja akhir, konsep diri menjadi lebih terintegrasi,
dimana bagian yang berbeda-beda dari diri secara sistematik menjadi satu
kesatuan. Remaja yang lebih tua, lebih mampu mendeteksi adanya ketidak
konsistenan.
2.1.5 Komponen Konsep Diri
Konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian. Pembagian konsep diri
tersebut dikemukakan oleh Stuart & Sudeen (Adi Wicaksono, 2015), yang terdiri
dari:
1. Identitas diri

12
Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh
individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, menyadari individu bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain. Identitas diri merupakan sintesis dari semua
aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak dipengaruhi oleh
pencapaian tujuan, atribut atau jabatan dan peran. Seseorang yang mempunyai
perasaan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang
lain, dan tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (respek
pada diri sendiri), kemampuan dan penguasaan diri. Identitas berkembang sejak
masa kanak-kanak bersamaan dengan perkembangan konsep diri. Dalam identitas
diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, respek terhadap diri, mampu
menguasai diri, mengatur diri dan menerima diri.
2. Gambaran diri (body image)
Citra tubuh adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadari atau tidak
disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran dan bentuk,
fungsi, penampilan dan potensi tubuh. Citra tubuh sangat dinamis karena secara
konstan berubah seiring dengan persepsi dan pengalaman-pengalaman baru. Citra
tubuh harus harus realistis karena semakin dapat menerima dan menyukai
tubuhnya individu akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan. Individu
yang menerima tubuhnya apa adanya biasanya memiliki harga diri tinggi dari
pada individu yang tidak menyukai tubuhnya.
Cara individu memandang diri mempunyai dampak yang penting pada
aspek psikologisnya. Individu yang stabil, realistis dan konsisten terhadap citra
tubuhnya akan memperlihatkan kemampuan mantap terhadap realisasi yang akan
memacu sukses di dalam kehidupan (Suliswati dkk, 2015).
3. Ideal diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya
bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Standar dapat berhubungan dengan
tipe orang yang diinginkan atau disukainya atau sejumlah aspirasi, tujuan, nilai
yang ingin diraih. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita atau pengharapan diri
berdasarkan norma-norma sosial di masyarakat tempat individu tersebut
melahirkan penyesuaian diri. Pembentukan ideal diri dimulai pada masa kanak-

13
kanak dipengaruhi oleh orang yang penting pada dirinya yang memberikan
harapan atau tuntutan tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu individu
menginternalisasikan harapan tersebut dan dan akan membentuk dasar dari ideal
diri. Pada usia remaja, ideal diri akan terbentuk melalui proses identifikasi pada
orang tua, guru dan teman. Pada usia yang lebih tua akan dilakukan penyesuaian
yang merefleksikan berkurangnya kekuatan fisik dan perubahan peran dan
tanggung jawab. Individu cenderung menetapkan tujuan yang sesuai dengan
kemampuannya, kultur, realita, menghindari kegagalan dan rasa cemas. Ideal diri
harus cukup tinggi supaya mendukung respek terhadap diri, tetapi tidak terlalu
tinggi, terlalu menuntut, samar-samar atau kabur. Ideal diri berperan sebagai
pengatur internal dan membantu individu mempertahankan kemampuannya
menghadapi konflik atau kondisi yang membuat bingung. Ideal diri penting untuk
mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental.
4. Peran diri
Peran adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang
diharapkan oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu didalam
kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam
kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan
memvalidasi pada orang yang berarti. Setiap orang disibukan oleh beberapa peran
yang berhubungan dengan posisi pada tiap waktu sepanjang daur kehidupan.
Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan
cocok dengan ideal diri ( Suliswati dkk, 2015).
5. Harga diri
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan
menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri. Frekuensi tujuan akan
menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu
sering gagal, maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri
sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai dan menerima penghargaan
dari orang lain.
Karakteristik gangguan harga diri meliputi : tampak atau tersembunyi,
menyatakan kekurangan dirinya, mengekspresikan rasa malu atau bersalah,

14
menilai diri sebagai individu yang tidak memiliki kesempatan, ragu-ragu untuk
mencoba sesuatu/situasi yang baru, mengingkari masalah yang nyata pada orang
lain, melemparkan tanggung jawab terhadap masalah, mencari alasan untuk
kegagalan diri, sangat sensitive terhadp kritikan, merasa hebat (Stuart, 2017).
Perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah meliputi: mengkritik
diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif yang diarahkan
pada orang lain, gangguan dalam berhubungan, rasa diri penting yang berlebihan,
perasaan tidak mampu, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, perasaan
negative mengenai tubuhnya sendiri, pandangan hidup yang pesimis, kecemasan
(Stuart, 2017).
2.1.6 Kondisi Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Ada beberapa kondisi yang bisa mempengaruhi konsep diri remaja (Hurlock
dalam Ria Angraini, 2010) yaitu :
1. Usia Kematangan
Remaja yang matang lebih awal, yang diperlakukan seperti orang yang
hampir dewasa, mengembangkan konsep diri, yang menyenangkan sehingga dapat
menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang matang terlambat, yang
diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang baik
sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.
2. Penampilan Diri
Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri
meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik
merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri.
Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan daya tarik fisik yang menimbulkan
penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian yang menambah dukungan
sosial.
3. Kepatutan Seks
Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku membantu
remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatutan seks membuat remaja
sadar diri dan hal ini memberi akibat buruk pada perilakunya.
4. Nama dan Julukan

15
Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai
namanya buruk atau bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemoohan.
5. Hubungan Keluarga
Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang
anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin
mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh sesama jenis, remaja
akan tertolong untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya.
6. Teman-Teman Sebaya
Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua
cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang
konsep teman-teman tentang dirinya dan kedua, remaja berada dalam tekanan
untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok.
7. Kreativitas
Remaja yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan
dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individualitas dan
identitaas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebaliknya,
remaja yang sejak awal masa kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang
sudah diakui akan kurang mempunyai perasaan identitas dan individualitas.
8. Cita-Cita
Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistik, ia akan mengalami
kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi
bertahan di mana remaja menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang
realistik tentang kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan
daripadakegagalan. Ini akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri
yang lebih besar yang memberikan konsep diri yang lebih baik.
Berdasarkan hal diatas, maka kondisi yang mempengaruhi konsep diri yaitu
usia kematangan, penampilan remaja, kepatutan seks, nama dan julukan,
hubungan keluarga, teman sebaya, kreativitas dan cita-cita.
2.1.7 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Verderber (Sobur, 2013) menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi konsep diri antara lain :

16
1. Self Appraisal
Istilah ini menunjukkan suatu pandangan, yang menjadikan diri sendiri
sebagai objek dalam komunikasi atau dengan kata lain kesan individu terhadap
dirinya. Semakin besar pengalaman positif yang individu milliki, maka semakin
positif konsep dirinya, semakin besar pengalaman negatif yang individu miliki,
maka akan semakin negatif konsep dirinya. Misalnya kondisi keluarga yang
harmonis, orangtua selalu mendukung rasa percaya dan rasa aman anak sehingga
anak merasa lebih percaya diri dalam membentuk aspek-aspek yang ada di dalam
dirinya.
2. Reaction and Response of Others
Konsep diri tidak saja berkembang melalui pandangan individu terhadap
dirinya, namun juga berkembang dalam rangka interaksi individu dengan orang
lain. Jadi, konsep diri dipengaruhi oleh reaksi serta respon orang lain terhadap diri
individu. Misalnya memperbincangkan masalah sosial. Orang lain akan
mengevaluasi diri kita sendiri apa baik atau buruk, dengan evaluasi tersebut maka
akan mempengaruhi perkembangan konsep diri individu.
3. Roles you Play
Play (peran) yaitu sekelompok norma dan harapan mengenai tingkah laku
seseorang. Bandura yang menyebutnya “modelling” atau pengamatan. Melalui
pengamatan individu dapat mengambil dan mengikuti norma dan cara-cara orang
lain bertingkah laku. Misalnya, meniru peran ayah dan ibu atau meniru cara orang
lain tersenyum dan marah. Permainan inilah awal dari pengembangan konsep diri.
4. Reference Groups
Reference Groups adalah kelompok yang kita menjadi anggota di dalamnya.
Jika kelompok dianggap penting oleh individu, hal ini akan menjadi kekuatan
untuk menentukan konsep diri individu tersebut.
Rakhmat (2017) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
adalah :
a. Orang Lain Sullivan
(Rakhmat, 2007) menjelaskan bahwa jika seseorang diterima orang
lain, dihormati dan disenangi karena keadaan dirinya, maka individu

17
tersebut akan cenderung bersikap menghormati dan menerima dirinya.
Sebaliknya, bila orang lain meremehkan, menyalahkan dan menolak
individu tersebut, maka individu tersebut cenderung tidak akan
menyenangi dirinya.
b. Kelompok Rujukan
Kelompok rujukan adalah kelompok yang secara emosional
mengikat individu, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri
individu tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi
konsep diri adalah self appraisal, reaction of others, roles you play, dan
reference groups.

2.2 Pola Asuh Orang Tua


2.2.1 Pengertian
Pola asuh merupakan sejumlah model atau bentuk perubahan ekspresi dari

orang tua yang dapat mempengaruhi potensi genetik yang melekat pada diri

individu dalam upaya memelihara, merawat, membimbing, membina dan

mendidik anak-anaknya baik yang masih kecil ataupun yang belum dewasa agar

menjadi manusia dewasa yang mandiri dikemudian hari. Pola asuh yang

dilakukan setiap orang tua secara alami akan membentuk kepribadian seseorang,

sehingga terjadi suatu perkembangan psikis pada diri individu untuk membentuk

kepribadian yang berkarakter (Anisah, 2011).

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh yang diberikan orang

tua yaitu pendidikan orang tua, lingkungan, dan budaya.Pendidikan orang tua

yang berpengaruh terhadap persiapan orang tua dalam merawat dan mengasuh

anak.Semakin tinggi pendidikan orang tua, semakin memudahkan orangtua

18
mendapatkan informasi yang banyak mengenai pola asuh yang baik dan mengerti

kebutuhan dalam memenuhi tumbuh kembang anak sehingga pola asuh yang

diberikan semakin positif (Istiasa, 2009).Lingkungan juga mempengaruhi

perkembangan anak,maka lingkungan juga ikut serta mewarnai pola pengasuhan

orang tua.Budaya yang melekat pada lingkungan juga sering kali membuat orang

tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak

sebab orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat

dengan baik (Abdullah, 2015).

2.2.3 Dimensi Pola Asuh Orang Tua


Hasil pengamatan oleh Baumrind (1966) mengklasifikasikan pengasuhan

atau pemeliharaan yang diberikan orang tua, didasarkan pada pertemuan dua

dimensi, yaitu demandingness (tuntutan) berupa kontrol dan responsiveness

(tanggapan) berupa kehangatan/dukunganyangdia yakini keduanya sebagai dasar

dari pola asuh orang tua.

Dimensi kehangatan merupakan perilaku pola asuh yang membuat anak

merasa nyaman dan diterima keberadaannya.Dimensi kehangatan dapat

diintrepetasikan sebagai sisi positif (cinta, kasih sayang, dukungan sensitive,

komunikasi dan keakraban) dan sisi negatif (permusuhan, pengabaian, dan

penolakan).Dimensi kontrol merupakanpenempatanperintah dan kontroling anak.

Dua dimensi ini yang akan membawahi perilaku orang tua dalam mengasuh anak

(Hoeve, 2017).

2.2.4 Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua

Berdasarkan klasifikasi pola asuh dari teori Baumrind (terbagi menjadi tiga

jenis pola asuh, diantaranya: otoriter, permisif, dan demokratis.

19
2.3 Kenakalan Remaja
2.3.1 Definisi Kenakalan Remaja
Istilah baku perdana dalam konsep psikologi adalah juvenile delinquency
yang secara etimologis dapat dijabarkan bahwa juvenile berarti anak sedangkan
delinquency berarti kejahatan, dengan demikian pengartian secara etimologis
adalah kejahatan anak (Santrock, 2003).
Dalam studi interdisiplin ilmu pengetahuan, juvenile delinquency menjadi
konsep yang hampir sangat sulit untuk dipahami dengan gamblang. Simanjuntak
(Sudarsono, 2014) memberi tinjauan secara sosiokultural tentang arti Juvenile
Delinquency atau kenakalan remaja yaitu suatu perbuatan yang apabila
perbuatanperbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam
masyarakat dimana ia hidup, atau suatu perbuatan yang anti-sosial di mana
didalammya terkandung unsur-unsur normatif.
Walgito (Sudarsono, 2014) merumuskan arti dari juvenile delinquency
sebagai tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa,
maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan yang
melawan hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja.
Menurut Dryfoos (Santrock, 2003) mendefinisikan, kenakalan remaja
(juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari
perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan
disekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-
tindakan kriminal (seperti mencuri).
Menurut Kartono (2015) juvenile delinquency adalah perilaku jahat
(dursila), atau kejahatan atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit
(patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu
bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan tingkah laku
yang menyimpang.
Mengenai jenis kenakalan yang dikumpulkan oleh pemerintah melalui
Bakolak Inpres No.6/1971 ialah sebagai berikut : pencurian, penipuan,

20
perkelahian, pengrusakan, penganiayaan, perampokan, narkotika, pelanggaran
susila, pembunuhan, kejahatan lain (Willis, 1994).
Pada saat sekarang kenakalan remaja sudah tidak asing lagi, lebih-lebih bagi
masyarakat yang tinggal dikota besar, memang tidak dipungkiri adanya
kemungkinan pada tiap remaja untuk menjadi delinquency.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kenakalan
remaja adalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja yang
bertentangan dengan norma hukum, norma sosial dan norma agama.
2.3.2 Macam-macam Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja terdapat berbagai macam bentuk yang dilakukan.
Memasuki era yang serba modern dan berbagai budaya luar yang masuk dan
mempengaruhi remaja Indonesia. Kartono (2014) berbendapat bahwa bentuk-
bentuk kenakalan remaja adalah sebagai berikut:
1. Kebut-kebutan di jalan yang dapat memnggau pengendara yang laindan juga
diri sendiri.
2. Ugal-ugalan, urakan, mengacaukan ketentraman lingkungan.
3. Perkelahian antar gang, sekolah, maupun kelompok yang dapatmenyebabka
korban jiwa.
4. Membolos sekolah hanya untuk bersembunyi di tempat terpencil(warung)
maupun hanya berkeliaran di sepanjang jalan.
5. Kriminalitas, remaja biasanya melakukan pencurian, memeras uangsesama
teman, membunuh, melakukan tindak kekerasan, dan lain-lain.
6. Minum-minuma keras yang dapat mengganggu lingkungan danmelakukan
seks bebas.
7. Pemerkosaan, emosi karena balas dendam, kekecewaan yang cinanyaditolak
oleh wanita.
8. Kecanduan obat-obat terlarang (narkoba).
9. Melakukan tindak seksual dengan terang-terangan tanpa ada rasa malu.
10. Gangguan seksual lain pada anak remaja disertai tindakan yang sadis.
11. Perjudian dan bentuk permainan lain dengan taruhan.
12. Menggugurkan janin pada remaja wanita dari hasil seks bebas.

21
13. Penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh remaja.
14. Perbuatan anti-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan.
15. Tindak kejahatan juga dapat disebabkan karena luka di kepala
dengankerusakan pada otak adakalanya membuahkan kerusakan
mental,sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan control
diri.
16. Penyimpangan tingkah-laku disebabkan oleh kerusakan pada karakteranak.
Sedangkan pendapat lain yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk
kenakalan remaja menurut Sunarwiyati (1985) dibagi menjadi tiga tingkatan:
a. Kenakalan Biasa: Kenakalan yang dilakukan oleh remaja
meliputi,berkelahi, kluyuran pada waktu pelajaran, membolos sekolah,
pergidari rumah tanpa pamit.
b. Kenakalan Yang Menjurus Pada Pelanggaran: Kenakalan yangdilakukan
meliputi, berkendara tanpa SIM, mengambil barang milikorang lain
tanpa izin.
c. Kenakalan Khusus: Kenakalan khusus yakni kenakalan yangdilakukan
meliputi, penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah,
pemerkosaan, dan lain-lain.
Berdasarkan bentuk-bentuk kenakalan remaja menurut para ahli dapat
disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan pada remaja dapat
dibagi menjadi tiga, yakni kenakalan biasa, kenakalan yang menjurus
pelanggaran, dan kenakalan khusus. Kenakalan ini meliputi membolos sekolah,
perokok aktif, minum-minuman keras, balap liar, dan tawuran antar pelajar.
2.3.3 Faktor-faktor Kenakalan Remaja
Faktor penyebab remaja melakukan kenakalan biasanya terdapat
padalingkungan, teman sebaya, maupun keluarga. Kartono (2014) mengatakan
bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja digolongkan dalam 4
(empat) teori, yaitu:
1. Teori Biologis
Tingkah laku kenakalan pada anak dan remaja dapatmuncul karena faktor
struktur jasmaniah (cacat dari lahir) dan fisiologis.Melalui sifat dari keturunan

22
atau gen juga dapat menjadi factor munculnya perilaku menyimpang pada remaja.
Pewarisan tipe-tipe yangabnormal sehingga dapat menyebabkan tingkah laku
kenakalan. Cacatjasmaniah, brachydac-tylisme (berjari-jari pendek) itu erat
berkorelasidengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.
2. Teori Psikogenis
Sebab-sebab tingkah laku kenakalan remaja dari aspekpsikologis antara lain
faktor inteligensi, kepribadian, motivasi, sikap,konflik batin, emosi yang
kontroversial, kecenderungan psikopatologis.Dari beberapa aspek psikologis
yakni dapat mempengaruhi kenakalanremaja.
3. Teori Sosiogenis
Tingkah laku kenakalan pada anak remaja adalah dapatdipengaruhi oleh
peranan sosial setiap individu di tengah masyarakat,status individu di tengah
kelompokny, dan pendefinisian-diri ataukonsep-dirinya. Jadi, sebab-sebab
kenakalan anak remaja itu tidak hanyaterletak pada lingkungan familial dan
tetangga saja, akan tetapi terutamasekali disebabkan oleh konteks kulturnya.
4. Teori Subkultural
Kenakalan mengkaitkan sistem nilai, kepercayaanatau keyakinan.
Kenakalan biasanya dilakukan karena sebagaiperangsangnya bisa berupa hadiah
mendapatkan status “terhormat” ditengah kelompoknya.
Sedangkan Sarwono (2011) berpendapatbahwa faktor yang menyebabkan
kenakalan remaja dapat digolongkansebagai berikut:
1. Rational choice: Teori ini mengutamakan faktor individu daripadafaktor
lingkungan. Kenakalan yang dilakukannya adalah atas pilihannyasendiri.
2. Social dosirganization: Yang dapat menyebabkan kenakalan remajaadalah
berkurangnya atau menghilangnya pranata masyarakat yangselama ini
menjaga keseimbangan. Orang tua yang sibuk dan guru yangberlebihan
beban merupakan penyebab dari berkurangnya fungsikeluarga dan sekolah
menjadi pranata kontrol.
3. Stain: Tekanan yang besar dari masyarakat, misalnya kemiskinan.
4. Differential association: Kenakalan remaja dapat terjadi akibat
salahpergaulan.

23
5. Labelling: Anak yang nakal biasanya selalu mendapat label nakal.Sehingga
jika keseringan maka anak tersebut betul-betul akan menjadinakal.
6. Male phenomenon: Teori ini manyatakan bahwa anak laki-laki lebihnakal
daripada anak perempuan.
Pendapat lain juga dinyatakan oleh Santrock (2003:278) factor penyebab
terjadinya kenakalan remaja adalah sebagai berikut:
a. Identitas: Remaja yang memiliki masa balita, kanak-kanak, atau remajayang
tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada diriindividu,
biasanya memiliki identitas yang negatif.
b. Kontrol diri: Kenakalan remaja dapat terjadi apabila gagal
dalammengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.
c. Usia: Munculnya tingkah laku antisosial pada usia dini berhubungan dengan
penyerangan pada masa remaja belum tentu akan menjadiperilaku
kenakalan.
d. Jenis kelamin: Anak laki-laki lebih banyak melakukan kenakalandibanding
dengan anak perempuan.
e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai disekolah: Remaja
yangmelakukan kenakalan seringkali memiliki harapan yang
rendahterhadap pendidikan, mereka beranggapan bahwa sekolah
kurangmemiliki manfaat.
f. Proses keluarga: Kurangnya perhatian, kasih sayang orang tua,penerapan
disiplin, seringkali menjadi pemicu timbulnya kenakalanremaja.
g. Pengaruh teman sebaya: Mempunyai teman yang juga melakukankenakalan
maka akan berpeluang besar ikut melakukan kenakalan.
h. Kelas sosial ekonomi: Kenakalan seringkali terdapat pada kalangankelas
sosial ekonomi yang lebih rendah.
i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal: Masyarakat dengankriminalitas
tinggi biasanya mengamati berbagai model yang dilakukanoleh lingkungan
sekitar.
Dari beberapa faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja menurutpara
ahli dapat disimpulkan bahwa anak melakukan kenakalan remajabiasanya karena

24
keinginan mereka sendiri, ada juga karena budaya. OrangIndonesia sering
memberikan label bahwa anak laki-laki mempunyai sifatnakal, sehingga tidak
jarang kalau anak laki-laki menjadi betul-betul nakal.Faktor ekonomi juga
menjadi pemicu anak melakukan kenakalan, misalnyamencuri, menjambret, dan
lain-lain. Pelaku kenakalan biasanya terjadi padakelas sosial ekonomi yang
rendah.
2.3.4 Aspek Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja dapat diukur melalui aspek-aspek dari beberapa pendapat
menurut para ahli. Menurut Jensen (1985 dalam Sarwono 2011) berpendapat
bahwa aspek kenakalan remaja dibagi menjadi 4 yakni:
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak lain dan
4. Kenakalan yang melawan status.
Sedangkan menurut Hurlock (2015) berpendapat bahwa kecenderungan
kenakalan yang dilakukan oleh remaja dapat dibagi menjadi empat aspek yakni:
1. Kemauan untuk menyakiti diri sendiri dan orang lain.
2. Keinginan membahayakan hak orang lain
3. Kemauan untuk melakukan tindakan yang tidak terkendali, perilakuyang
tidak mematuhi orang tua atau guru; dan
4. Keinginan untuk melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri.
Berdasarkan aspek kenakalan remaja dari beberapa ahli dapat disimpulkan
bahwa kenakalan yang dapat menimbulkan korban fisik atau materi. Seseorang
dapat dikatakan memiliki kecenderungan melakukan kenakalan remaja apabila
memenuhi salah satu aspek tersebut.
2.3.5 Penanggulangan Kenakalan Remaja
Menurut Kartono (2017) kenakalan sebagai status legal selalu berkaitan
dengan tingkah laku durjana. Anak-anak di bawah usia 7 tahun yang normal, pada
umumnya tidak mampu membangkitkan niat untuk melakukan tindak kriminal.
Mereka tidak memahami arti kejahatan dan salah-benar. Karena itu mereka tidak
bisa dituntut sebagai pelaku yang bertanggung jawab atas suatu "kejahatan" yang

25
dilakukannya. Maka yang dimasukkan dalam kelompok kenakalan ialah
kelompok anak yang berusia 19-22 tahun. Usia 19-22 tahun disebut sebagai
periode remaja atau usia menjelang dewasa. Penanggulangan kenakalan remaja
yakni:
1. Meningkatkan kesejahteraan keluarga
2. Perbaikan lingkungan
3. Mendirikan klinik bimbingan psikologis untuk memperbaiki tingkah laku
remaja
4. Menyediakan tempat rekreasi yang sehat untuk remaja
5. Membentuk badan kesejahteraan remaja
6. Mengadakan panti asuhan
7. Mendirikan sekolah bagi anak miskin
8. Menyelenggarakan diskusi kelompok antara remaja yang nakal dan
masyarakat luar
9. Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreativitas.
Sedangkan menurut pendapat dari Walgito (dalam Sudarsono,2012) upaya
untuk menanggulangi kenakalan remaja dapat dilakukandengan penyensoran film-
film yang lebih menitikberatkan pada segipendidikan, mengadakan ceramah
melalui radio, televisi ataupun melaluimedia yang lain mengenai soal-soal
pendidikan pada umumnya.Mengadakan pengawasan terhadap peredaran buku-
buku komik, majalahmajalah, pemasangan-pemasangan iklan dan sebagainya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas penanggulangan kenakalan pada
remaja dapat diatasi dengan menyalurkan kreativitas maupun mendirikanklinik
psikologis untuk memperbaiki tingkah laku pada siswa. Penanggulangan juga
dapat dilakukan pada pihak sekolah yakni mengadakan ceramah, atau
menayangkan media tentang pendidikan.

2.4 Remaja
2.4.1 Definisi Remaja
Perkembangan manusia merupakan suatu proses sepanjang kehidupan yang
dimulai dari pertumbuhan dan perubahan fisik, perilaku kognitif dan emosional.

26
Sepanjang proses ini setiap individu mengembangkan sikap dan nilai yang
mengarahkan pilihan,hubungan, dan pengertian (understanding). Huberman
2012).
Salah satunya adalah masa remaja atau masa adolesensi adalah suatu fase
perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini
merupakan periode transisi dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai dengan
percepatan perkembangan fisik, mental, emosional dan social dan berlangsung
pada dekade kedua masa kehidupan (Narendra, 2015).
Kata remaja memiliki arti yang berbeda – beda ada yang mengartikan
remaja sebagai sekelompok orang yang sedang beranjak dewasa, ada juga yang
mengartikan remaja sebagai anak-anak yang penuh gejolak dan masalah, ada pula
yang mengartikan remaja sebagai sekelompok anak-anak yang penuh semangat
dan kreatifitas. masa remaja (Adolescence), Kata Adolescence berasal dari kata
adolescere (latin) yang berarti tumbuh kearah kematangan. (Muss, dalam
Sarwono, 2011). Konsep Diri Remaja Fatchul Laela Apriliani Pratiwi, Fakultas
Ilmu Kesehatan UMP, 2018 12 Istilah kematangan disini meliputi kematangan
fisik maupun socialpsikologis.
2.4.2 Batasan Usia
Monks, dkk (2014) mendefinisikan remaja apabila telah mencapai umur 10-
18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki, sementara
itu WHO mendefinisikan remaja bila anak telah mencapai umur 10-19 tahun.
Menurut undang-undang No. 4179 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah
individu yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah. Adapun
Menurut UU Perburuan anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16-18
tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal sendiri. Menurut Sa’id
(2015), ada tiga fase sesuai tingkatan umur yang dilalui oleh remaja. Menurut
Sa’id, setiap fase memiliki keistimewaannya tersendiri. Ketiga fase tingkatan
umur remaja tersebut antara lain:
1. Remaja Awal (early adolescence)
Tingkatan usia remaja yang pertama adalah remaja awal. Pada tahap ini,
remaja berada pada rentang usia 12 hingga 15 tahun. Umumnya remaja tengah

27
berada di masa sekolah menengah pertama (SMP). Keistimewaan yang terjadi
pada fase ini adalah remaja tengah berubah fisiknya dalam kurun waktu yang
singkat. Remaja juga mulai tertarik kepada lawan jenis dan mudah terangsang
secara erotis.
2. Remaja Pertengahan (middle adolescence)
Tingkatan usia remaja selanjutnya yaitu remaja pertengahan, atau ada pula
yang menyebutnya dengan remaja madya. Pada tahap ini, remaja berada pada
rentang usia 15 hingga 18 tahun. Umumnya remaja tengah berada pada masa
sekolah menengah atas (SMA). Keistimewaan dari fase ini adalah mulai
sempurnanya perubahan fisik remaja, sehingga fisiknya sudah menyerupai orang
dewasa. Remaja yang masuk pada tahap ini sangat mementingkan kehadiran
teman dan remaja akan senang jika banyak teman yang menyukainya.
3. Remaja Akhir (late adolescence)
Tingkatan usia terakhir pada remaja adalah remaja akhir. Pada tahap ini,
remaja telah berusia sekitar 18 hingga 21 tahun. Remaja pada usia ini umumnya
tengah berada pada usia pendidikan di perguruan tinggi, atau bagi remaja yang
tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka bekerja dan mulai membantu
menafkahi anggota keluarga. Keistimewaan pada fase ini adalah seorang remaja
selain dari segi fisik sudah menjadi orang dewasa, dalam bersikap remaja juga
sudah menganut nilai-nilai orang dewasa.
2.4.3 Tahap Perkembangan Remaja
Sarwono (2017) menyatakan bahwa remaja adalah suatu masa dimana
individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda - tanda seksual
sekundernya sampai saat dia mencapai kematangan seksual. Individu mengalami
perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa,
serta terjadi peralihan dari ketergatungan sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif mandiri.
Masa remaja berlangsung melalui 3 tahapan yang masing-masing ditandai
dengan isu-isu biologik, psikologik dan sosial, menurut Aryani (2010) yaitu :
1. Masa Remaja Awal (10-13 tahun) Masa remaja awal ditandai dengan
peningkatan yang cepat dari pertumbuhan dan pematangan fisik, sehingga

28
sebagian besar energi intelektual dan emosional pada masa remaja awal ini
ditargetkan pada penilaian kembali dan restrukturisasi dari jati diri. Selain
itu penerimaan kelompok sebaya sangatlah penting. Dapat berjalan bersama
dan tidak dipandang beda adalah motif yang mendominasi banyak perilaku
sosial remaja awal ini.
2. Menengah (14-16 tahun) Masa remaja menengah ditandai dengan hampir
lengkapnya pertumbuhan pubertas, timbulnya keterampilan-keterampilan
berpikir yang baru, peningkatan pengenalan terhadap datangnya masa
dewasa dam keinginan untuk memapankan jarak emosional dan psikologis
dengan orang tua.
3. Akhir (17 - 19 tahun) Masa remaja akhir ditandai dengan persiapan untuk
peran sebagai seorang dewasa, termasuk klarifikasi dari tujuan pekerjaan
dan internalisasi suatu sistem nilai pribadi.
2.4.4 Tugas Perkembangan Remaja
Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan
sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan
bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa
remaja menurut Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2012) adalah berusaha:
1. Mampu menerima keadaan fisiknya.
2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.
3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan
jenis.
4. Mencapai kemandirian emosional.
5. Mencapai kemandirian ekonomi.
6. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat
diperlukan
7. untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.
8. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orangtua.
9. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk
memasuki dunia dewasa.
10. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

29
11. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan
keluarga. Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan
perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan
pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam
melaksanakan tugas-tugas perkembangannya dengan baik.

2.5 Penelitian Relevan


Peneliti Judul Metode Hasil Perbedaan Persamaan
Ria Hubungan Antara Desain Hasil : hasil Sampel Menggunakan
Anggraini, Konsep Diri Penelitian, analisis korelasi penelitian, metode yang
(2010) Dengan deskriptif product moment lokasi hampir sama
Kenakalan korelasi menunjukkan penelitian.
Remaja Pada denganpend korelasi antara
Siswa-Siswi ekatan konsep diri
Sman 1 waktu dengan
Pangkalan Baru cross- kenakalan
Kecamatan Siak sectional remaja yaitu
Hulu -0,440 dengan
taraf signifikansi
0,000 (p<0,01).

Della Ilma Hubungan Desain Hasil : Sampel Menggunakan


Kholidah, Konsep Diri Penelitian, Nilai F=4,153 penelitian, metode yang
(2016) Dengan deskriptif dengan Nilai lokasi hampir sama
Kenakalan korelasi P=0,045 Hasil penelitian.
Remaja dengan Ini menyatakan
Penelitian Pada cross- adanya
Siswa Kelas VIII sectional. hubungan
Di Sekolah random
Menengah sampling
Pertama Negeri 1
Pakis
Lis Binti, Kematangan Desain Hasil : Uji Sampel Menggunakan
dkk, (2012) Emosi, Konsep Penelitian hipotesis penelitian, metode yang
Diri Dan menggunak dilakukan jika p- lokasi hampir sama
Kenakalan an value > dari α penelitian dan
Remaja Corelation (0,05) maka Ho lebih focus ke
study diterima dan bila kematangan
dengan p-value < dari α emosi
pendekatan (0,05) maka Ho
cross ditolak
sectional

Sumber : Ria A, (2010), Della I.K, (2016), Lis B, dkk (2012)

30
2.6 Kerangka Teori

Konsep Diri Pola Asuh

Komponen konsep diri: Pola Asuh Orang Tua:


- Gambaran Diri - Otoriter
- Peran Diri

Kenakalan Remaja

Faktor Kenakalan Remaja :


- Biologis
- Psikogenesis
- Sosiogenesis
- Subkultural

Gambar 1. Kerangka Teori


Sumber : Wardah, 2017

31
BAB III
METEDOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode
studikepustakaan atau literatur review. Literatur review merupakan ikhtisar
komprehensif tentang penelitian yang sudah dilakukan mengenai topik yang
spesifik untuk menunjukkan kepada pembaca apa yang sudah diketahui tentang
topiktersebutdanapayangbelumdiketahui,untukmencarirasionaldaripenelitian
yangsudahdilakukanatauuntukidepenelitianselanjutnya(Denney&Tewksbury,
2013). Studi literatur bisa didapat dari berbagai sumber baik jurnal, buku,
dokumentasi, internet dan pustaka. Metode studi literatur adalah serangkaian
kegiatanyangberkenaandenganmetodepengumpulandatapustaka,membacadan
mencatat, serta mengelolah bahan penulisan (Zed, 2008 dalam Nursalam, 2016).
Jenis penulisan yang digunakan adalah studi literatur review yang berfokus pada
hasil penulisan yang berkaitan dengan topik atau variabelpenulisan.

3.2 Cara Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil-hasil penelitian
yang sudah dilakukan dan diterbitkan dalam jurnal online nasional dan
internasional. Dalam melakukan penelitian ini peneliti melakukan pencarian jurnal
penelitian yang dipublikasikan di internet menggunakan Google Schoolar,
Onesearch.id, Garuda.ristekbrin.go.id, doaj.org. dengan kata kunci ”Kenakalan
Remaja”, “Konsep diri remaja”, “Pola asuh orang tua”.
Prosespengumpulandatadilakukandenganpenyaringanberdasarkankriteria
yang ditentukan oleh penulis dari setiap jurnal yang diambil. Adapun kriteria
pengumpulan jurnal sebagaiberikut:
1. Tahun sumber literatur yang diambil mulai tahun 2014 sampai dengan
2019, kesesuaian keyword penulisan, keterkaitan hasil penulisan
danpembahasan.

32
2. Strategi dalam pengumpulan jurnal berbagai literatur dengan menggunakan
situs jurnal yang sudah terakreditasi seperti Google Schoolar, Onesearch.id,
Garuda.ristekbrin.go.id,doaj.org.
3. Cara penulisan yang efektif untuk setting jurnal dengan memasukkan kata
kunci sesuai judul penulisan dan melakukan penelusuran berdasarkan
advance search dengan penambahan notasi AND/OR atau menambakan
simbol +. Misalnya peneliti melakukan pencarian pada mesin pencarian
Google Schoolar dengan mengetik kata ”Kenakalan Remaja”, “Konsep diri
remaja”, “Pola asuh orang tua”.
4. Melakukan Pencarian Berdasarkan Full Text
5. Melakukan penilaian terhadap jurnal dari abstrak apakah berdasarkan
penelitian dan melakukan critical appraisal dengan tool yang ada.

3.3 Diagram Alir

Studi literatur

pengumpulan data

konsep yang diteliti

konseptualisasi

analisa data

hasil dan pembahasan

kesimpulan dan saran

Gambar 3.1. Alur Literatur review

Literature review dimulai dengan materi hasil penulisan yang secara


sekuensi diperhatikan dari yang paling relevan, relevan, dan cukup relevan.
Kemudian membaca abstrak, setiap jurnal terlebih dahulu untuk memberikan

33
penilaian apakah permasalahan yang dibahas sesuai dengan yang hendak
dipecahkan dalam suatu jurnal.Mencatat poin-poin penting dan relevansinya
dengan permasalahan penelitian, Untuk menjaga tidak terjebak dalam unsur
plagiat, penulis hendaknya juga mencatat sumber informasi dan mencantumkan
daftar pustaka. Jika memang informasi berasal dari ide atau hasil penulisan orang
lain. Membuat catatan, kutipan, atau informasi yang disusun secara sistematis
sehingga penulisan dengan mudah dapat mencari kembali jika sewaktu-waktu
diperlukan (Darmadi, 2011 dalam Nursalam, 2016).
Setiap jurnal yang telah dipilih berdasarkan kriteria, dibuat sebuah
kesimpulan yang menggambarkan penjelasan konsep diri dan pola asuh orang
tua dengan kenakalan remaja. Sebelum penulis membuat kesimpulan dari
beberapa hasil literatur, penulis akan mengidentifikasi dalam bentuk ringkasan
secara singkat berupa tabel yang beirisi nama penulis, tahun penulisan, rancangan
studi, sampel, instrumen (alat ukur), dan hasil penelitian. Setelah hasil penulisan
dari beberapa literatur sudah dikumpulkan, penulis akan menganalisa konsep diri
dan pola asuh orang tua dengan kenakalan remajadalam bentuk pembahasan.

34
Alur seleksi literatur yang dilakukan sebagai berikut

Literatur di identifikasi melalui


IDENTIFIKASI 1. Goggle cendekia. Google scholar
2. Indonesia one search

Literatur diidentifikasi

Literatur dikeluarkan
1. Judul
2. Hanya abstrak (tidak full
Literatur di screening melalui
text)
SCREENING akses dan full text, tahun
terbitan 5 tahun terakhir. 3. Goggle akses (tidak bisa
didownload/berbayar)
4. Memerlukan username dan
pasword untuk login
repository

Literatur d keluarkan
1. Literatur merupakan
KELAYAKAN Literatur dikaji kelayakan
ulasan, opini
2. Literatur review

Kriteria Inklusi
1. Full text
Literatur yang memenuhi 2. Literatur studi
INKLUSI
kriteria inklusi
kuantitatif
3. Hasil menunjukkan
tujuan dari penelitian

35
Tabel 3.1 Kriteria inklusi pada literatur ini yaitu
Kritreria Inklusi
Jangka Waktu Tanggal Publikasi 5 tahun terakhir mulai dari tahun 2015 sampai
dengan 2020
Bahasa bahasa indonesia
Subjek Siswa
Jenis Artikel Artikel original tidak dalam bentuk publikasi tidak asli seperti
surat ke editor,Tidak dalam bentuk abstrak saja maupun buku
artikel dalam bentuk full teks
Tema Isi Penerapan metode hubungan konsep diri dan pola asuh
Artikel orang tua dengan kenakalan remaja

3.4 Analisis Jurnal dan Metode


Jurnal penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi kemudian dikumpulkan
dan dibuat ringkasan jurnal meliputi nama peneliti, tahun terbit jurnal, rancangan
studi, tujuan penelitian, sampel, instrument (alat ukur) dan ringkasan hasil atau
temuan. Ringkasan jurnal penelitian tersebut dimasukan ke dalam tabel diurutkan
sesuai alfabel dan tahun terbit jurnal dan sesuai dengan format tersebut di atas.
Untuk lebih memperjelas analisis abstrak dan full text jurnaldibaca dan dicermati.
Ringkasan jurnal tersebut kemudian dilakukan analisis terhadap isi yang terdapat
dalam tujuan penelitian dan hasil/temuan penelitian. Metode analisis yang
digunakan menggunakan analisis isi jurnal. Instrumen yang digunakan yaitu
jurnal.

36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil literatur review


Berdasarkan hasil pencarian jurnal dari mesin pencarian Onesearch,dan
Schoolar dengan kata kunci Hubungan Konsep Diri dengan kenakalan remaja,
terdiri dari (Google scholar 12.100 dan One search 24) dan Hubungan Pola Asuh
Orang Tua dengan kenakalan remaja, terdiri dari (Google scholar 4.720 dan One
search 24) sehingga menghasilkan jurnal sebanyak 16.868 jurnal. Jurnal-jurnal
tersebut kemudian dilakukan screening, dengan memperhatikan kesesuaian
sumber, kesesuaian isi, melalui pembacaan secara sekilas pada abstrak, heading,
sub heading, serta dokumen statement atau kalimat-kalimat penting yang terdapat
pada abstrak dan pendahuluan jurnal, ditambah dengan memperhatikan kondisi
jurnal, seperti: jurnal tidak bisa dibuka, tidak bisa didownload, tidak lengkap,
hanya memiliki abstrak, jurnal berasal dari penelitian yang dilakukan diluar
bidang kesehatan, jurnal yang dilakukan diluar jajaran perguruan tinggi, dan
jurnal hanya memiliki kandungan satu kata kunci tidak diikutkan dalam telaah
jurnal. Sehingga melalui skrinning tersebut didapatkan hasil 1.188 jurnal (Google
scholar 1.172 dan One search 16).
Hasil setelah diterapkannya kriteria inklusi adalah tersisa 50 jurnal. Ke-50
jurnal tersebut dilakukan uji kelayakan dengan membaca secara utuh dan
menyeluruh. Jurnal yang bersifat artikel maupun literatur review, jurnal dengan
judul yang sama, dan jurnal yang tidak sesuai dengan tujuan penulis akan
dieliminasi. Untuk mempercepat proses eliminasi jurnal dilakukan evaluasi isi
yang objektif pada jurnal yang bersifat mendukung maupun melemahkan,
menggunakan Skimming (meluncur) dengan maksud pembacaan fokus kepada
inti jurnal, dengan membaca cepat, serta menangkap inti sari jurnal. Bila
penggunaan skimming masih belum dapat menangkap maksud penulis jurnal,
maka dilakukanlah pembacaan secara berulang, mendalam, dan berfokus pada
metode dan hasil penelitian. Dan didapatkanlah jurnal yang sesuai sejumlah 15
jurnal. Jurnal yang telah sesuai, kemudian dilakukan analisis dan ekstraksi.

37
Proses pencarian artikel yang direview dapat dilihat pada gambardi bawah
ini:

Identification Konsep Diri Dengan


keyword : Kenakalan Remaja : Artikel yang diidentifikasi melalui
1. Konsep Diri pencarian (N= 16.868)
- Google Scholar = 12.100
1. Onesearch (∑ 48 )
dengan - Oneserch = 24
kenakalan Pola asuh orang tua dengan 2. Google Scholar (∑
remaja kenakalan remaja : 16.820)
2. Pola Asuh - Google scholar = 4.720
Orang Tua - One search = 24
dengan
Kenakalan

Secreening Artikel full teks yang


membaca skimming diperoleh (N= 1.188 )
darijudul dan abstrak 1. OneSearch (∑ 16)
Artikel full teks di
berdasarkan tujuan 2. Google Scholar (∑ eksklusi (N= 1.138)
1.172) jurnal tidak bisa dibuka,
tidak bisa didwonload,
tidak lengkap, hanya
memiliki abstrak

Eligibilitas Artikel terpilih Exclude by analaisis data


artikel yang tidak berdasarkan kriteria (N= 15) Hasil tidak
lengkap dinilai untuk inkulusi (N= 50) dapat menunjukkan
kelayakan tujuan dari penelitian

Jumlah artikel yang memenuhi


Include
syarat review (N=15)

Gambar 3.2 Diagram artikel yang direview

38
Berdasarkan review jurnal sebagaimana dijabarkan dalam studi karakterisitik,
peneliti melakukan pengelompokan dan pemetaan data sebagai berikut:

Tehnik
Jenis
Penulis Tujuan Responden Pengambila Hasil
Penelitian
n Sampel
Della Ilma Unutk Metode 86 Simple random Ada hubungan
Kholidah Mengetahui 1. regresi Responden Sampling konsep diri dengan
(2016) Tingkat kenakalan remaja
kenakalan diterima
remaja 2.
Tingkat
konsep diri
dan 3.
Membuktikan
hubungan
konsep diri
dengan
kenakalan
remaja
Mardiana untuk kuantitatif 24 Random Konsep diri negatif
Harahap mengetahui dengan Rsaponden Sampling remaja di Desa
(2018) konsep diri menggunaka Tualang Timur
positif dan n pendekatan Kecamatan Tualang
konsep diri deskriptif Kabupaten Siak
negatif remaja Propinsi Riau
dan untuk berada dalam
mengetahui kategori “kurang”
seberapa besar yaitu dengan
pengaruh persentase
konsep diri 69,791%.
terhadap
Kenakalan
remaja
Untung 1) hubungan pendekatan 69 responden Cluster random Hasil ini
Margi konsep diri kuantitatif sampling menunjukkan ada
Utomo dengan hubungan negatif
(2015) kecenderungan yang sangat
kenakalan signifikan antara
remaja. konsep diri dengan
2)tingkat kecenderungan
konsep diri kenakalan remaja.
dengan Artinya
kenakalan semakin tinggi
remaja. konsep diri maka
3)pengaruh semakin rendah
atau kecenderungan
sumbangan kenakalan remaja.
efektif konsep konsep diri
diri terhadaap terhadap
kecenderungan kecenderungan
kenakalan kenakalan remaja
remaja. sebesar 37%.

39
Dhilla untuk korelasi 300 Purposive keharmonisan
Royantina mengetahui dengan responden sampling keluarga dan
(2019) hubungan pendekatan konsep diri tidak
keharmonisan kuantitatif. memiliki hubungan
keluarga dan yang signifikan
konsep diri dengan
dengan kecenderungan
kecenderungan kenakalan remaja.
kenakalan
remaja.
Ida Untuk Expost facto 34 Siswa Random Hasil perhitungan
Rofiani menegetahui dengan Sampling yang diperoleh
(2015) Perbuatan pendekatan dengan Korelasi
yang layak dan kuantitatif Product Moment
tidak layak adalah 0,530 >
remaja yang 0,339 nilai rxy tabel
kurang konsep taraf signifikansi
diri, juga 5% dengan N = 34,
dipengaruhi maka H0 ditolak,
oleh sikap, yang berarti ada
pembawaan, hubungan positif
pendidikan yang signifikan
dan antara konsep diri
lingkungan. dengan tingkah laku
para siswa
Abdul untuk pendekatan 54 responden proportional Hasil uji statistik
Majid mengetahui kuantitatif stratified menunjukan
(2015) hubungan pola random hubungan yang
asuh orang tua sampling. cukup kuat antara
dengan jenis pola asuh
kenakalan orang tua dengan
remaja kenakalan remaja (p
= 0,019, Chi Square
= 10,003, dan
Contingency
Coefficient =
0,395). Sehingga,
hipotesis yang
menyatakan bahwa
ada hubungan pola
asuh orang tua
dengan kenakalan
remaja
Lily untuk pendekatan 55 responden Random Hasil penelitian
Marleni mengetahui Cross Sampling menunjukkan
(2018) hubungan pola sectional bahwa terdapat
asuh orang tua hubungan yang
terhadap bermakna antara
kenakalan pola asuh orang tua
remaja terhadap kenakalan
remaja
Sri untuk Deskritif 91 responden Random Hasil penelitian
Sayekti mengetahui korelatif Sampling menunjukkan
Heni hubungan dengan bahwa terdapat
Sunaryanti antara pola metode hubungan yang

40
(2016) asuh orang tua survey bermakna antara
dengan analitik pola asuh orang tua
kenakalan terhadap kenakalan
remaja remaja
Dinar Sri untuk penelitian 337 Total sampling Terdapat hubungan
Pangesti mengetahui kuantitatif responden yang signifikan
(2019) adanya dengan antara pola asuh
hubungan pola desain Cross orang tua dengan
asuh orang tua Sectional kenakalan remaja
terhadap
kenakalan
remaja

Irwan Untuk deskritif 113 Purposive Berdasarkan hasil


Wally Mengetahui analitik responden sampling analisis Chi Square
(2016) hubungan pola dengan diperoleh nilai p
asuh orang tua rancangan value 0,002
terhadap cross (p<0,05) yang
tingkat sectional artonya ada
kenakalan hubungan pola asuh
remaja orang tua terhadap
tingkat kenakalan
remaja, dengan nilai
koefisiensi korelasi
yaitu 0,404 dan
kekuatan
hubungannya
sedang karena nilai
koefisiensi
kontingensinya
berada pada interval
koefisien 0,40-
0,5999
Nurlaila Untuk penelitian 68 responden Random Hasil ini
Rosyidah mengetahui kuantitatif Sampling memnunjukan
(2017) hubungan pola dengan bahwa keterlibatan
asuh orang tua desain Cross ayah dalam
(ayah dan Ibu) Sectional pengasuhan anak
terhadap khusunya remaja
kenakalan sangat berpengaruh
remajapada terhadap
siswa pembentukan
karakter dan konsep
diri remaja itu
namun kolaborasi
dalam peran ayah
dan ibu juga sangat
penting dalam pola
asuh
Rahmi untuk kuantitatif 411 Total sampling Hasil penelitian ini
Pramulia mengetahui dengan responden menyimpulkan
Fitri Faktor yang desaincross tidak ada pengaruh
(2019) mempengaruhi sectional yang signifikan
perilaku antara kontrol diri
kenakalan (Pvalue= 0,358>α =

41
remaja pada 0,05) dan pengaruh
siswa-siswi teman sebaya
(Pvalue= 0,003α =
0,05) dengan
kenakalan remaja
dengan nilai CI
95%
Mufina Untuk Regresi 90 responden Cluster random Sumbangan efektif
Rahmaini mengetahui ganda sampling konsep diri
Milatina hubungan terhadap
(2018) antara kecenderungan
religiusitas kenakalan remaja
dan konsep sebesar 20,1%
diri dengan
kecenderungan
kenakalan
remaja
Sahrudin untuk menguji pendekatan 221 Cluster random Besar sumbangsih
(2017) secara empiris kuantitatif responden sampling konsep diri pada
peran konsep tingginya
diri, kecenderungan
religiusitas, perilaku nakal
dan pola asuh remaja ialah
islami selaku 22,80%,
predictor
dalam
kecenderungan
perilaku nakal
remaja
Ariyanti Mengetahui Deskriptif 108 Chi square Menunjukkan
Eka Utami hubungan pola korelatif resaponden bahwa pola asuh
(2019) asuh orang tua pendekatan orang tua dalam
dengan waktu cross kategori negatif
perilaku bully sectional. sebanyak 67
(nakal)pada responden(62%).
siswa Perilaku bully
(nakal) dalam
kategori tinggi
sebanyak 54
responden (50%).

4.2 Pembahasan
Kenakalan Remaja merupakan perilaku laku luas, mulai dari perilaku yang
tidak dapat diterima secara sosial sampai titik kriminal. Perilaku yang tidak
diterima secara sosial seperti berlaku berlebihan disekolah, melakukan
pelanggaran-pelanggaran seperti seperti melarikan diri dari rumah hingga
melakukan tindakan kriminal seperti mencuri dan sebagainya.

42
Della ilma Kholidah (2016) dalam penelitianya menunjukan kenakalan
remaja berada pada kategori sedang dengan presentase 50% sedangkan konsep
diri tergolong dalam kategori tinggi 86,1%. Sebagian rincian konsep diri secara
parsial memiliki peran sebesar 21,7% dan pengaruh sebesar 4,7% dengan
kenakalan remaja sementara sisanya 95,3% dipengaruhi oleh faktor lain. Yang
artinya, konsep diri dapat mempengaruhi kenakalan remaja. Sehingga pemantauan
orang tua atas remaja penting khususnya dalam melihat apakah remaja mulai
menjadi nakal. Dalam suatu penelitian, pemantauan orang tua atas keberadaan
remajanya merupakan faktor keluarga yang paling penting dalam meramalkan
kenakalan (Patterson, 2018).
Dalam penelitian Mardiana Harahap (2018), Konsep diri negatif remaja di
Desa Tualang Timur Kecamatan Tualang Kabupaten Siak Propinsi Riau berada
dalam kategori “kurang” yaitu dengan persentase 69,791%. Sikap dan pandangan
individu terhadap seluruh keadaan dirinya merupakan pengertian dari konsep diri.
Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa konsep diri mempunyai hubungan
dengan kenakalan remaja dikarenakan dalam presentasi konsep diri yang baik
dapat mempengaruhi presentasi negatif dari dalam diri maupun dari luar diri.
Konsep diri tersebut merupakan gambaran dan penerimaan yang dimiliki
seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman pengalaman yang
diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Seseorang yang memiliki konsep diri
yang baik akan mampu menghadapi tuntutan dari dalam diri maupun dari luar
diri. Sebaliknya seseorang yang memiliki konsep diri negatif dengan kurang
mempunyai keyakinan diri, merasa kurang yakin dengan kepuasannya sendiri
serta cenderung mengandalkan opini dari orang lain dalam memutuskan segala
sesuatu. Setiap orang dapat memiliki konsep diri yang berbeda-beda, meskipun
tidak ada yang betul-betul sepenuhnya memiliki konsep diri positif atau negative
(Rini Risnawinata, 2018).
Dalam penelitiannya Ida Rofiani (2015), Untung margi utomo (2015), dan
Dhilla royantina (2019), semakin jelek konsep diri anak maka akan semakin jelek
pula tingkah lakulnya. Selain hal tersebut tingkah laku juga dipengaruhi oleh
faktor – faktor lain, seperti faktor dari lingkungan keluarga, sekolah dan

43
masyarakat. Perilaku kecenderungan kenakalan remaja merupakan patologi sosial
yang sering terjadi, pelaku kenakalan ini adalah remaja. Biasanya remaja ini
mengaku dari keluarga yang tidak harmonis dan memiliki konsep diri rendah.
Remaja tidak hanya mencoret-coret tembok, membolos, kebut-kebutan di jalan
raya atau pun berkelahi, tetapi perbuatan remaja yang dilakukan saat ini mulai
merambah ke segi-segi kriminal secara yuridis formal, menyalahi ketentuan-
ketentuan yang ada di dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
seperti pencurian, pencopetan, pemerasan, pemerkosaan, narkoba serta
pembunuhan.
Menurut asumsi peneliti, melihat kenakalan remaja yang dimana semakin
baik konsep diri remaja semakin baik pula tingkah laku remaja. Sehingga ada
hubungan antara konsep diri dengan kenakalan remaja. Tingkah laku atau
kepribadian manusia erat hubungannya dengan konsep diri, begitu pula tingkah
laku anak juga sangat dipengaruhi oleh konsep dirinya.
Yang dimaksud dengan konsep diri menurut Alex Sobu dalam bukunya
Psikologi Umum (2017), mengatakan konsep diri adalah cara individu dalam
melihat pribadinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial dan
spiritual namun ada pengarunhnya dari orang tua.
Dalam penelitian Abdul Majid (2015) pola asuh orang tua siswa yang
mendominasi adalah demokratis 35 orang (64,8%), dilanjutkan otoriter 12 orang
(22,2%), permisif 4 orang (7,4%), dan campuran 3 orang (5,6%). Gambaran
tingkat kenakalan remaja adalah yang paling banyak rendah 46 orang (85,2%).
Hasil uji statistik menunjukan hubungan yang cukup kuat antara jenis pola asuh
orang tua dengan kenakalan remaja (p = 0,019, Chi Square = 10,003, dan
Contingency Coefficient = 0,395). Sebagian besar pola asuh yang digunakan
adalah demokratis dan kenakalan remaja. Demikian pada pola asuh orangtua
terdapat hubungan kuat pada kenakalan remaja, yang artinya semkain baik pola
asuh orang tua terhadap anak akan mempengaruhi tingkah laku pada anak
tersebut.
Menurut (Syamsu, 2018) Remaja mengalami beberapa perubahan dalam
dirinya, mulai dari hubungan dengan orang tua, ketergantungan terhadap orang

44
tua sehingga merasa bebas, kematangan hingga ekonomi. Lingkungan yang tidak
sehat dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi perkembangan remaja
dan sangat mungkin akan mengalami kehidupan yang tidak nyaman, stres atau
depresi.
Lily Marleni (2018) dalam peneltiannya orang tua sangat erat kaitannya
tentang kenakalan remaja. Peran orang tua menjadi sangat penting dalam
mengasuh anak. Orang tua dengan pola asuh tepat maka anak akan tumbuh
kembang menjadi pribadi yang lebih baik, begitu pula sebaliknya apabila pola
asuh orang tua kurang tepat dapat menyebabkan kenakalan remaja. Menurut
peneliti, peran orang tua sangat berpengaruh terhadap tingkah laku remaja
Begitu pula hasil dari penelitiannya Sri Sayekti Heni Sunaryanti (2016),
yang menyatakan remaja dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan moral
dan etika yang dapat merusak dirinya sendiri, yang di akibatkan salah satunya
adalah pengaruh pola asuh orang tua yang mendidik positif pada anak remaja.
Peneliti melihat bahwa etika merupakan konsep diri pada remaja, dan sangat
berhubungan dengan kenakalan remaja, tingkat etika yang semakin baik maka
akan semakin baik pula konsep diri pada remaja.
Sama halnya penelitian yang dilakukan oleh Dinar Sri Pangesti (2019), yang
mengungkapkan hasilnya yaitu ada pengaruh besar anatara pola asuh orang tua
dengan kenakalan remaja.Pola asuh pada orang tua berpengaruh pada
perkembangan emosional remaja, orang tua harus dapat menyesuaikan tindakan
dan pola asuh yang baik agar perkembangan emosional remaja semakin optimal.
Dalam asumsi peneliti, dapat dilihat bahwa tingkat emosional remaja tergantung
dari seberapa besar pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, semakin baik pola
asuh pada anak maka semakin baik konsep diri pada anak tersebut.
Dalam Penelitian Irwan Wally (2016) hasilnya menunjukkan bahwa pola
asuh orang tua yang demokratis dengan tingkat kenakalan remaja yang rendah
sebanyak 37 responden (41,1%). Artinya adalah ada hubungan pola asuh orang
tua terhadap tingkat kenakalan remaja, dengan nilai koefisiensi korelasi yaitu
0,404 dan kekuatan hubungannya sedang karena nilai koefisien kontingensinya
berada pada interval koefisien 0,40-0,599. Menurut peneliti, pola asuh yang

45
dilakukan oleh orang tua pada remaja bersifat demokratis yang artinya remaja
dapat melakukan apa saja yang dapat ia lakukan tanpa ada bimbingan dari orang
tua, dan seharusnya orang tua lebih bersifat mendidik dan mengawasi anak pada
tingkat remaja
Beberapa bentuk kenakalan remaja dapat digolongkan dalam empat jenis,
yaitu; kenakalan remaja yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti
perkelahian, pemerkosaan dan pembunuhan. Kenakalan remaja yang
menimbulkan korban materi, seperti; pengerusakan, pencurian, pencopetan dan
penodongan. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban fisik pada orang
lain, seperti pelacuran, penyalahgunaan obat, seks bebas, narkoba, merokok dan
lain-lain. Kenakalan yang melawan status, mengingkari status pelajar dengan cara
membolos, mengingkari status orang tua dengan pergi dari rumah atau melawan
orang tua (takwa J, 2015).
Penelitian yang dilakukan Nurlaila Rosyidah (2017) dan Rahmi Pramulia
Fitri (2019) hasil yang mereka dapatkan dari masing-masing penelitian mereka
menunjukan keterlibatan ayah dalam penagsuhan anak khususnya remaja sangat
berpengaruh terhadap pemebentukan karakter dan konsep diri remaja itu namun
kolaborasi dalam peran ayah dan juga sangat penting dalam pola asuh. Sehingga
diperlukan upaya dari sekolah untuk mencermati lebih dalam tentang kondisi pola
asuh orang tua dari remaja yang terkena kasus kenakalan remaja dan diharapkan
dapat dilakukan program sosialisai tentang cara pengasuhan yang baik ke orang
tua mereka. Artinya, ayah adalah pemimpin dalam keluarga, polah asuh yang
diberikan oleh seorang ayah sebagai pemimpin kepada anaknya yaitu dengan
menjaga pergaulan yang dilakukan anak, karena akan berpengaruh pada
kenakalan remaja.
Sama halnya pengaruh dari pola asuh orang tua konsep diri remaja pun
sangat berpengaruh pada kenakalan remaja dengan menurut hasil penelitianya
Mufina Rahmaini Milatina (2018) dan Sahrudin (2017), Pada fase remaja ini
berbagai potensi perilaku muncul yang akibat adanya faktor maupun eksternal.
Kenakalan remaja dewasa ini semakin mengkhatirkan bagi orang tua, pendidik,
juga masyarakat mengingat kenakalan remaja semakin merebak di berbagai

46
lingkungan. Lebih mengkhatirkan lagi, keenakalan remaja telaj masuk lingup
sekolah dengan angka tertinggi tindak kenakalan remaja, saat remaja menduduki
bangku SMA. Dan dengan hasilnya, pola asuh orang tua memiliki nilai paling
tertinggi dalam kenakalan remaja. Menurut peneliti, tingkah seorang remaja
dikalangan masyarakat dinilai sangat meresahkan karena pergaulan yang
dilakukan oleh remaja, sehingga pola asuh orang tua asangat diperlukan agar
menjaga pergaulan yang dilakukan remaja
Dengan melihat hasil penelitiannya Ariyanti Eka Utami (2019) keeratan
hubungan rendah pola asuh orang tua dengan perilaku bully yaitu 0,313.
Diharapkan dapat meningkatkan perilaku yang baik sehingga tidak melakukan
perilaku bully (Nakal) terhadap sesama teman baik perilaku bully fisik, verbal
maupun psikologi. Menurut peneliti, tindakan bully merupakan suatu tindakan
yang dapat merusak konsep diri dari seorang remaja, yang dimana jika remaja
tidak mendapatkan kepercayaan diri atas apa yang telah remaja tersebut dapat dari
luar maka anak akan semakin kurang percaya terhadap dirinya sendiri, sehingga
orang tua sangat berperan dalam hal ini
Menurut peneliti, remaja melakukan perbuatan-perbuatan sesuai dengan
keinginanya, sesuai dengan kesenangannya. Apa yang remaja pikirkan adalah
berkaitan dengan dirinya sendiri. Remaja tidak memperdulikan apa yang
dikatakan oleh orang lai, karena pikirannya yang hanya memtingkan dirinya
sendiri itulah juga remaja sering menganggap bahwa orang lain berpikir hal yang
sama dengan mereka. Remaja tidak memandang perbuatan yang dia lakukan baik
atau buruk, asalakan sesuai dengan keinginannya. Sehingga juga, remaja tersebut
tidak menyadari konsep dirinya yang buruk tersebut. Perlu adanya pola asuh
orang tua yang mendidik denga baik dan benar agar remaja tersebut meiliki
intergritas diri yang positif. Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan bahwa
konsep diri dan polah asuh berhubungan erat dengan kenakalan remaja.

47
4.3 Keterbatasan Penelitian
Peneliti hanya menganalisis jurnal penelitian yang diperoleh secara online
dan tidak menambahkan dengan hasil penelitian terbaru yang belum
dipublikasikan secara online, sehingga mungkin ada penelitian terbaru tentang
konsep diri dan pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja yang belum
dibahasa pada literature review ini. Selain itu, literature review yang disusun ini
belum bisa menggambarkan dengan jelas konsep diri remaja dan pola asuh orang
tua dengan kenakalan remaja.

48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian dalam hasil pembahasan adalah:
1. Konsep diri yang kurang berpengaruh pada kenakalan remaja, semakin baik
konsep diri remaja semakin kurang kenakalan remaja
2. Pola Asuh orang tua yang kurang berpengaruh pada kenakalan remaja,
semakin baik pola asuh orang tua semakin kurang kenakalan remaja
3. Ada hubungan antara konsep diri dan pola asuh orang tua dengan kenakalan
remaja

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan penulis diantaranya adalah:
1. Bagi PendidikanHasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan untuk menambah wawasan tentang hubungan konsep diri dan pola
asuh orang tua dengan kenakalan remaja sebagai sumber ilmu dan
informasi.
2. Bagi MasyarakatHasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada masyarakat mengenai kenakalan remaja dan pentingnya pola asuh
orang tua dan konsep diri
3. Bagi penelitidapat memperluas wacana ilmu pengetahuan dan diharapkan
penelitian ini dapat dijadikan landasan untuk penelitian seianjutnya.

49
DAFTAR PUSTAKA
Alex Sobur.2013. Filasafat Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Ali Gunawan2015. Statistik Penelitian Bidang pendidikan,. Psikologi dan Sosial.
Yogyakarta : Parama Publishing.
Ali, Mohammad. dan Mohammad Asrori.2012. Psikologi Remaja Perkembangan.
Peserta Didik. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Anggraini Ria, 2010. Hubungan Antara Konsep Diri DenganKenakalan Remaja
Pada Siswa-Siswi SMAN 1Pangkalan Baru Kecamatan Siak Hulu; Skripsi
Aryani, R. Ns.S.Kep.2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika.
BPS,2014.Data.kriminalitas.remaja.https://www.bps.go.id/publication.html?
Publikasi%5BtahunJudul%5D=&Publikasi%5BkataKunci
%5D=kriminal&yt0=Tampilkan&page=2. (Diakses pada 22 Desember
2019).
Darsita, A. 2016. Pengaruh Konsep Diri dan Kebiasaan Belajar Terhadap Hasil
Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi (Survey Pada Kelas X IPS
SMAN 15 Bandung dan SMAN 6 Bandung).Universitas
PendidikanIndonesia.
Della Ilma Kholidah, 2016. Hubungan Konsep Diri Dengan Kenakalan Remaja
Penelitian Pada Siswa Kelas VIII Di Sekolah Menengah Pertama Negeri
1 Pakis
Desmita. 2014. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Djaali. 2017. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Gunarsa, Singgih D, dan Ny. Y. Singgih D, Gunarsa. 2018. Psikologi
Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.
Hartuti, Purni Munah. 2015. Peran Konsep Diri, Minat dan Kebiasaan Belajar
Peserta Didik Terhadap Prestasi Belajar Fisika. Jurnal Formatif 5 (2), 91-
99
Hurlock, Elizabeth B. 2015. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan
Sepanjang RentangKehidupan. Jakarta : Erlangga

50
Jacinta F, Rini. 2017. Psikologi Masalah Stres, Jurnal Repistory Universitas
Sumatera Utara.
Kartono. 2015. Patologi Sosial 2. Kenakalan Remaja. Jakarta: CV.
RajawaliExpres
Karyono. 2017. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Layanan Bimbingan Karir,
dan Konsep Diri Dengan Minat Wirausaha Pada Siswa Kelas XII SMAN 1
Seyegen Sleman Yogyakarta Tahun Pelajaran 2006-2007.
ProgramPascasarjana Universitas Negeri Semarang.
KEMENKES, 2014. Data dan Informasi Kesehatan (Gambaran Umum
PenyalahgunaanNAPZA di Indonesia). Jakarta: Kemenkes RI.
KPAI, 2014.Kasus Tawuran Pelajarhttps://www.kpai.go.id/berita/artikel/tawuran-
pelajar-memprihatinkan-dunia-pendidikan
Lis Binti, dkk, 2012 .Kematangan Emosi, Konsep Diri Dan Kenakalan Remaja
Lukmansyah, D & Andini, P. 2013. Data tawuran pelajar selama 2010-
2012.Diperoleh.tanggal.4.Januari.2020.dari.http:///video.tvOneNews.antar
anews.tv/arsip.
Monks, dkk. 2014. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Narendra, M. B.2015. Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jakarta:
EGC.
Notoatmodjo, 2014. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Notoatmodjo, 2012. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D, 2016. Human Development
(Psikologi Perkembangan Edisi Kesepuluh). Jakarta: Kencana.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi komunikasi. Bandung: PT Remaja
Sujoko. 2012. Hubungan Antara Keluarga Broken Home, pola Asuh Orang
Tuadan Interaksi Teman Sebaya dengan Kenakalan
Remaja.Tesis.Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Sa'id. 2015. Mendidik Remaja Nakal. Yogyakarta: PT. Semesta Hikmah.
Sa'id. 2015. Mendidik Remaja Nakal. Yogyakarta: PT. Semesta Hikmah.
Sarwono, Sarlito W. 2011. Psikologi Remaja Edisi Revisi. Jakarta: RajawaliPers

51
Setiadi. (2013). Konsep dan praktek penulisan riset keperawatan (Ed.2)
Yogyakarta: Graha. Ilmu. Sugiyono.
Sudarsono, 2014. Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta.
Swarjana, I.K. 2016. Metodologi Penelitian Kesehatan (Edisi Revisi).Yogyakarta:
ANDI.
UNICEF, 2019. Indonesia Laporan Tahunan. Geneva: UNICEF; 2012

52

Anda mungkin juga menyukai