HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
B. Tujuan 2
B. Definisi 4
C. Etiologi 4
D. Manifestasi Klinis 4
E. Klasifikasi 5
F. Patofisiologi 7
G. Komplikasi 8
H. Proses Penyembuhan 10
I. Penatalaksanaan 11
J. Pemeriksaan Penunjang 15
A. Pengkajian 16
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 23
B. Saran 23
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin meningkat selaras dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern manusia tidak akan lepas dari fungsi normal
system musculoskeletal. Salah satunya tulang yang merupakan alat gerak utama pada manusia,
namun dari kelainan ataupun ketidaksiplinan dari manusia itu sendiri (patah tulang) fraktur adalah
hilangnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat
total maupun partial . fraktur biasanya terjadi pada cruris, karena cruris sangat kurang di lindungi
oleh jaringan lunak, sehingga mudah sekali mengalami kerusakan (Rasjad, 1998).
Berbagai penelitian di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia menunjukkan bahwa resiko terjadinya
patah tulang tidak hanya ditentukan oleh densitas massa tulang melainkan juga oleh faktor-faktor
lain yang berkaitan dengan kerapuhan fisik (frailty) dan meningkatkannya resiko untuk jatuh.
(Sudoyo: 2010)
Kematian dan kesakitan yang terjadi akibat patah tulang umumnya disebabkan oleh komplikasi
akibat patah tulang dan imobilisasi yang ditimbulkannya. Beberapa diantara komplikasi tersebut
adalah timbulnya dikubitus akibat tirah baring berkepanjangan, perdarahan, trombosis vena dalam
dan emboli paru; infeksi pneumonia atau infeksi saluran kemih akibat tirah baring lama; gangguan
nutrisi dan sebagainya. (Sudoyo: 2010)
Walaupun dalam kasus yang jarang terjadi kematian, namun bila tidak ditangani secara tepat atau
cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita. Sehingga
perawat perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menangani pasien
dengan kasus kegawat daruratan fraktur.
B. Tujuan
Umum : Mahasiswa mampu menerapkan konsep asuhan keperawatan kegawat daruratan pada
pasien dengan fraktur
Khusus:
BAB II
KONSEP TEORI
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-
otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Ruang di tengah tulang-tulang tertentu berisi jaringan
hematopoietik, yang membentuk sel darah. Tulang juga merupakan tempat primer untuk meyimpan
dan mengatur kalsium dan pospat.
Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral-mineral dan jaringan organik
(kolagen, proteoglikan). Kalsium dan phospat membenuk suatu kristal garam (hidroksiapatit), yang
tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan. Matriks organik tulang disebut juga sebagai suatu
osteoid. Sekitar 70 % dari osteoid adalah kolagen tipe 1 yang kaku dan memberikan ketegaran tinggi
pada tulang. Materi organik lain yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan seperti asam
hialuronat.
Hampir semua tulang berongga dibagian tengahnya. Struktur demikian memaksimalkan kekuatan
struktural tulang dengan bahan yang relatif kecil atau ringan. Kekuatan tambahan diperoleh dari
susunan kolagen danmineral dalam jaringan tulang. Jaringan tulang dapat berbentuk anyaman atau
lameral. Tulang yang berbentuk anyaman terlihat saat pertumbuhan cepat, seperti sewaktu
perkembangan janin atau sesudah terjadinya patah tulang, selanjutnya keadaan ini akan diganti oleh
tulang yang lebih dewasa yang berbentuk lameral. Pada orang dewasa tulang anyaman ditemukan
pada insersi ligamentum atau tendon. Tumor sarkoma osteogenik terdiri dari tulang anyaman .
tulang lameral terdapat seluruh tubuh orang dewasa.tulang lameral tersusun dari lempengan-
lempengan yang sangat padat, dan bukan merupakan suatu massa kristal. Pola susunan semacam ini
melengkapi tulang dengan kekuatan yang besar.
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari 3 jenis sel: osteoblas, osteosid dan
osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 dan proteoglikan
sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika
sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas mensekresikan sejumlah besar fosfatase
alkali, yang memegang peranan penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks
tulang.
Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran
kimiawi melalui tulang yang padat.
Osteoklas adalah sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat
diabsorbsi.
Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar dapat
menyebabkan absorbsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila
tidak ada vitamin D hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorbsi tulang. Vitamin D dalam
jumlah yang sedikit membantu kalsifikasi tulang, antara lain dengan meningkatlan absorbsi kalsium
dan fosfat oleh usus halus.
B. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner&Suddarth: 2002). Fraktur adalah pemisahan atau
patahnya tulang (Doenges, 1999).
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma (Tambayong: 2000). Fraktur
adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik ( Price, 1995)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan
trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi.
C. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (1995) ada 3 yaitu:
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor,
kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan teradi pada orang-orang yang baru saja menambah tingkat
aktifitas mereka, seperti baru diterima dalam angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru mulai
latihan lari.
D. Manifestasi Klinis
1. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
3. Pemendekan ekstremitas
Terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena konstraksi otot yang melengket di atas dan
bawah tempat fraktur.
4. Krepitus
Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba
akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainya.
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
E. Klasifikasi Fraktur
1. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2
antara lain:
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut
dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
i. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
ii. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
iii. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
iv. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma
kompartement.
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan / potensial
untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang
patah. Derajat patah tulang terbuka :
i. Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal. ii. Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio
otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
iii. Derajat III
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau garis fraktur
melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya
hanya bengkok yang sering disebut green stick. Menurut Price dan Wilson ( 2006) kekuatan dan
sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah
fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang
patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.
3. Menurut bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang kea rah
permukaan lain.
e) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya
pada tulang.
a) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c) Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
(Mansjoer: 2000)
F. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang
sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya
serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan
Suddarth, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan, fraktur terjadi
dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan
lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang
harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit
karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh
di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen,
sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi
(Price dan Wilson: 1995).
G. Komplikasi
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement,
kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal maupun
yang tidak kelihatan yang biasa menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra
sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh
reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak pada
aliran darah.
c) Sindroma Kompartement
Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang
disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial
yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan
pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan
kematian syaraf yang mempersyarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu
mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya
terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan.resiko terjadinya
sinrome kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan patah tulang karena
pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan gips pada ekstremitas yang fraktur yang terlalu
dini atau terlalu ketat dapat menyebabkan peningkatan di kompartemen ekstremitas, dan hilangnya
fungsi secara permanen atau hilangnya ekstremitas dapat terjadi. (Corwin: 2009)
d) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias
menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare,
2001).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union, dan non
union.
a) Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya, membentuk sudut, atau miring. Conyoh yang khas adalah patah tulang paha yang
dirawat dengan traksi, dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan gerakan
rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan. Akibatnya sesudah gibs dibung
ternyata anggota tubuh bagian distal memutar ke dalam atau ke luar, dan penderita tidak dapat
mempertahankan tubuhnya untuk berada dalam posisi netral. Komplikasi seperti ini dapat dicegah
dengan melakukan analisis yang cermat sewaktu melakukan reduksi, dan mempertahankan reduksi
itu sebaik mungkin terutama pada masa awal periode penyembuhan.
Gibs yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmen-fragmen tulang yang patah dn
bergeser sesudah direduksi harus diketahui sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan
radiografi serial. Keadaan ini harus dipulihkan kembali dengan reduksi berulang dan imobilisasi, atau
mungkin juga dengan tindakan operasi.
b) Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan yang lebih lambat
dari keadaan normal. Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah
ke tulang.
c) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap,
kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada
sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang merupakan
faktor predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi yang tidak benar akan menyebabkan
bagian-bagian tulang yang patah tetap tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik dengan
cara terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak (biasanya otot) diantara kedua
fragmen tulang yang patah, cedera jaringan lunak yang sangat berat, infeksi, pola spesifik peredaran
darah dimana tulang yang patah tersebut dapat merusak suplai darah ke satu atau lebih fragmen
tulang.
H. Penyembuhan Fraktur
Jika satu tulang sudah patah, maka jaringan lunak di sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari
tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut,
bekuan akan membentuk jaringan granulasi, dimana sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik)
berdiferensiasi menjadi kondroblas dan osteoblas. Kondroblas dan osteoblas. Kondroblas akan
mensekresi fosfat yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) di sekitar lokasi
fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen satunya
dan menyatu. Fusi dari kedua fragmen (penyembuhan fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya
trabekula oleh osteoblas, yang melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur.
Persatuan (union) tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi
lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami re-medolling di mana osteoblas akan
membentuk tulang baru sementara osteoklas akan menyingkirkan bagian yang rusak sehingga
akhirnya akan terbentuk tulang yang menyerupai keadaan tulang aslinya. (Price: 1995)
Penyembuhan tulang
I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan
terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah
terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk
mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam,
komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan
lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit
dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses
pembuatan foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan
berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk
mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami
cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus
disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi.
Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan
perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan
fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk
mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang
memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah
dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat
bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat
dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal
cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi
jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen
tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut,
pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus
dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani pembedahan untuk
mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas,
penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (mis; sindrom
komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi
Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah
ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :
• Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih
dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah
• Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat, paku dan pin
logam
• Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk memperbaiki
penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang berpenyakit.
• Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang memungkinkan ahli
bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi
terbuka
• Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis
• Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi dengan logam atau
sintetis
• Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau mengurangi
kontraktur fasia.
(Ramadhan: 2008)
3. Terapi Medis
d. Bedrest, Fisioterapi
(Ramadhan: 2008)
Menurut Price (1995) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur
yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan
bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. fraktur tungkai akan terasa
nyeri sekali dan bengkak.
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi
tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin,
dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang
brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang
diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga
pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan
pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama
atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang
femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur.
Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
Pada anak sering ditemukan patah tulang dahan hijau. Reposisi umumnya tidak sukar dan biasanya
cepat sembuh serta cepat kuat. Jarang dibutuhkan reposisi atau imobilisasi dengan fiksasi bedah.
Untuk reposisi dapat digunakan traksi kulit dan jarang ditemukan kekakuan sendi. Pada penanganan
harus diperhatikan bahwa fragmen harus searah sumbu, tetapi dislokasi ad latitudinem tidak penting
sehingga reposisi ujung ke ujung tidak diharuskan. Penyembuhan dan pemugaran akan memperbaiki
dislokasi ini tanpa meninggalkan bekas. Akan tetapi, rotasi, yaitu dislokasi ad periperam harus
dihindari. Angulasi atau dislokasi ad aksim dapat dibiarkan bila fraktur terjadi di dekat epifisis pada
anak muda. Dislokasi dengan kontraksi patah tulang diafisis menguntungkan karena akan terjadi
swapugar karena hiperemia sehingga anggota yang bersangkutan tumbuh lebih cepat daripada
anggota gerak sisi lain. Pertautan sisi kena sisi berlangsung cepat dan pemugaran akan terjadi lebih
cepat.
Fraktur terbuka baik karena cedera dari luar maupun karena tembusnya ujung patah tulang dari
dalam, terancam bahaya infeksi dan osteomilitis. Seperti biasanya penanganan terdiri atas
pembilasan luka, pengeluaran benda asing, fragmen tulang yang terlepas, dan nekrosis. Luka
kemudian dirawat secara terbuka dengan anggota yang bersangkutan diletakkan tinggi. Kontusio
kulit diperhatikan betul karena mengakibatkan nekrosis. Bila ujung patahan tulang terletak
berjauhan akibat kehilangan pecahan tulang, kedua ujung ini harus dipertemukan agar tetap
bersentuhan. Yang paling sering ditemukan pada anak ialah patah tulang klavikula, humerus,
suprakondiler, dan antebrakius.
(Sjamsuhidajat: 2004)
J. Pemeriksaan Penunjang
b. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur: juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
f. Profil Koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel, atau cedera
hati.
(Dongoes: 1999)
BAB III
A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek
batuk
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak
teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung
normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap
lanjut.
2. Pengkajian sekunder
a. Aktivitas/istirahat
b. Sirkulasi
3) Tachikardi
c. Neurosensori
1) Kesemutan
3) kelemahan
d. Kenyamanan
e. Keamanan
1) laserasi kulit
2) perdarahan
3) perubahan warna
4) pembengkakan local
a. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.
Diagnosa Keperawatan
(NIC )
Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.
Dalam hal :
- Penampilan posisi tubuh yang benar
- Pergerakan sendi dan otot
- Melakukan perpindahan/ ambulasi : miring kanan-kiri, berjalan, kursi roda
Latihan Kekuatan
- Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan program latihan secara rutin
Latihan untuk ambulasi
- Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan keluarga.
- Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker
- Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang aman.
Latihan mobilisasi dengan kursi roda
- Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi roda & cara berpindah dari kursi roda
ke tempat tidur atau sebaliknya.
- Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh
- Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda
Latihan Keseimbangan
- Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat mengatur posisi secara mandiri dan menjaga
keseimbangan selama latihan ataupun dalam aktivitas sehari hari.
Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar
- Ajarkan pada klien/ keluarga untuk mem perhatikan postur tubuh yg benar untuk menghindari
kelelahan, keram & cedera.
- Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latih.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap fraktur.
Diagnosa Keperawatan
(NANDA) Tujuan Keperawatan
( NOC ) Rencana Tindakan
(NIC )
Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap fraktur.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... jm
Klien mampu merawat diri dengan baik dengan KH :
- Melakukan ADL mandiri : mandi, hygiene mulut ,kuku, penis/vulva, rambut, berpakaian, toileting,
makan-minum, ambulasi
- Mandi sendiri atau dengan bantuan tanpa kecemasan
- Terbebas dari bau badan dan mempertahankan kulit utuh
- Mempertahankan kebersihan area perineal dan anus
- Berpakaian dan melepaskan pakaian sendiri
- Melakukan keramas, bersisir, bercukur, membersihkan kuku, berdandan
- Makan dan minum sendiri, meminta bantuan bila perlu
- Mengosongkan kandung kemih dan bowel
Bantuan Perawatan Diri: Mandi, higiene mulut, penil/vulva, rambut, kulit
- Kaji kebersihan kulit, kuku, rambut, gigi, mulut, perineal, anus
- Bantu klien untuk mandi, tawarkan pemakaian lotion, perawatan kuku, rambut, gigi dan mulut,
perineal dan anus, sesuai kondisi
- Anjurkan klien dan keluarga untuk melakukan oral hygiene sesudah makan dan bila perlu
- Kolaborasi dgn Tim Medis / dokter gigi bila ada lesi, iritasi, kekeringan mukosa mulut, dan gangguan
integritas kulit.
Bantuan perawatan diri : berpakaian
Kaji dan dukung kemampuan klien untuk berpakaian sendiri
Ganti pakaian klien setelah personal hygiene, dan pakaikan pada ektremitas yang sakit/ terbatas
terlebih dahulu, Gunakan pakaian yang longgar
Berikan terapi untuk mengurangi nyeri sebelum melakukan aktivitas berpakaian sesuai indikasi
Bantuan perawatan diri : Makan-minum
- Kaji kemampuan klien untuk makan : mengunyah dan menelan makanan
- Fasilitasi alat bantu yg mudah digunakan klien
- Dampingi dan dorong keluarga untuk membantu klien saat makan
Selah dilakukan asuhan keperawatan selama ... jam infeksi dapat tertangani dengan KH:
A. Simpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan
menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi. Fraktur disebabkan oleh cidera, fraktur patologi, dan
fraktur beban. Secara umum fraktur dibedakan menjadi 2 yaitu terbuka dan tertutup. Manifestasi
klinis dari fraktur itu sendiri yaitu nyeri, hilangnya fungsi dan deformitas, pemendekan ekstremitas,
krepitus, Pembengkakan lokal dan Perubahan warna.
Penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Sementara
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien fraktur adalah:
1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap fraktur.
4. Resiko tinggi kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur.
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma jaringan.
B. Saran
Walaupun dalam kasus fraktur jarang terjadi kematian, namun bila tidak ditangani secara tepat atau
cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita. Sehingga
perawat perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menangani pasien
dengan kasus kegawat daruratan fraktur. Pasien harus mendapatkan pertolongan sesegera mungkin.
Untuk itu dibutuhkan perawat yang tanggap dalam menangani pasien gawat darurat, terutama
dalam hal ini adalah pasien dengan kegawat daruratan sistem muskuloskeletal, fraktur.
http://inirizamala.blogspot.com/2013/05/askep-kegawadaruratan-fraktur.html
B. TUJUAN
Adapun tujuan pembuatan laporan ini adalah :
Tujuan Umum :
Agar penulis dapat menuangkan dan mempraktekan langsung teori dan asuhan
keperawatan pada klien dengan masalah fraktur.
Tujuan Khusus :
a. Dapat melaksanakan pengkajian pada klien dengan masalah fraktur
b. Dapat menganalisa data dan menegakkan diagnosa
c. Dapat menyusun rencana tindakan keperawatan pada masalah fraktur
d. Dapat melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana keperawatan
yang telah disusun
e. Dapat melaksanakan evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan dan respon
klien setelah menerima asuhan keperawatan.
BAB IV : PEMBAHASAN
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN TEORI
3. PATOFISIOLOGI
Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan tipe
dan luasnya. Fraktur terjadi ketika tulang diberikan stress lebih besar dari
kemampuannya untuk menahan. Fraktur dapat terjadi karena pukulan langsung,
kekuatan yang berlawanan, gerakan pemuntiran tiba-tiba, dan bahkan kontraksi
otot yang berlebihan. Meskipun hanya tulang yang patah, struktur sekitarnya juga
dipengaruhi yang mengakibatkan edema jaringan lunak, hemoragi ke dalam tulang
dengan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan pembuluh saraf.
4. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya fraktur adalah :
1. Pukulan langsung
2. Gerakan puntir mendadak
3. Kecelakaan kendaraan bermotor
4. Olah raga
7. KOMPLIKASI
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun yang tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan
yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, perlvis dan vertebra.
2. Sindrom Emboli Lemak
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan konsisi fatal
3. Sindrom Kompartemen
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di
otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan
hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada
akut.
8. PENATALAKSANAAN
1. Pembidaian
Bagian yang sakit harus diimobilisasi dengan menggunakan bidai ada tempat yang
luka sebelum memindahkan pasien. Pembidaian mencegah luka dan nyeri yang
lebih jauh dan mengurangi kemungkinan adanya komplikasi sindrom emboli lemak
2. Gips
Pemberian gips merupakan perawatan utama setelah reduksi tertutup dalam
perbaikan fraktur dan dapat dilakukan bersamaan degnan perawatan lainnya.
3. Traksi (Penarik)
Adalah upaya yang menggunakan kekuatan tarikan untuk melemaskan dan
immobilisasi fragmen tulang, mengendorkan spasmus otot dan memperbaiki
kontraktur fleksi, kelainan bentuk dan dislokasi.
4. Reduksi Tertutup
Dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan) dengan manipulasi dan fraksi manual.
5. Reduksi Terbuka
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi-alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan
tulang yang terjadi.
2. Ancietas yang berhubungan dengan trauma yang dialami, operasi yang akan
dijalani dan kurang pengetahuan tentang rutinitas preoperatif, rutinitas post
operatif dan sensasi post operatif.
a. Ciptakan lingkungan yang tenang dan rileks yang merangsang untuk berbagi
perasaan dan kekhawatiran
R/ Mengungkapkan perasaan dan kekhawatiran meningkatkan kewaspadaan klien
dan membantu perawat untuk mengidentifikasikan sumber ancietas.
b. Validasi perasaan klien dan membantu perawat untuk mengidentifikasi sumber
ancietas.
R/ Validasi dan memberikan keyakinan meningkatkan harga diri dan membantu
mengurangi ancietas.
c. Tunjukkan kesalahpahaman yang diekspresikan klien dan memberi informasi yang
akurat
R/ Kesalahpahaman dapat menunjang ancietas dan ketakutan.
d. Izinkan dan dorong anggota keluarga dan orang terdekat untuk saling berbagi rasa
takut dan kehawatiran
R/ Penelitian telah menunjukkan bahwa anggota keluarga yang terlibat dalam
perawatan mengakibatkan peningkatan kerja sama klien
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan iritasi dan
tekanan sekunder terhadap adanya gips.
a. Bila membantu pemasangan gips, pastikan bahwa bantalan yang adekuat
diberikan pada ekstremitas yang sakit sebelum gips dipasang.
b. Sementara gips mengerang (laning) pegang hanya dengan telapak tangan untuk
menghindari titik tekanan yang disebabkan oleh lekukan jari.
c. Tutupi plester atau moleskin untuk mencegah serpihan gips jatuh ke dalam gips
dan menyebabkan nekrosis tekanan
d. Instruksikan pasien tidak memasukkan apapun diantara gips dan kulit, jika pasien
mengalami gatal-gatal, anjurkan pasien untuk memberitahu dokter, yang akan
memberi resep obat penghilang gatal
e. Beritahu pasien indikator nekrosis tekanan dalam gips: neyri, sensasi terbakar,
bau tidak sedap dari gips yang terbuka, drainase dari gips.
4. Resiko tinggi terhadap inefektif penatalaksanaan Regmen Terapeutik yang
berhubungan dengan kondisi, tanda dan gejala komplikasi dan pembatasan
aktivitas.
a. Evaluasi kemampuan klien untuk melakukan ambulasi dan melakukan aktivitas
sehari-hari
R/ Perawat harus mengevaluasi kemampuan merawat diri klien sebelum pulang,
untuk menentukan perlunya rujukan.
b. Berikan masukan yang tepat, misal: lembaga perawatan di rumah, pelyanan sosial,
jika perlu
R/ Sumber-sumber komunitas dan agen-agen lain dapat memberikan terapi
tambahan atau bantuan lain.
c. Berikan instruksi tentang latihan setelah operasi sesuai dengan instruksi dokter
R/ Latihan mempermudah penggunaan alat bantu dengan mempertahankan atau
meningkatkan tingkat fungsi otot saat ini pada anggota gerak yang tidak sakit.
d. Ajarkan klien bagaimana melakukan ambulasi tanpa menahan beban dengan
menggunakan KMK atau tongkat
R/ Klien trauma lansia mungkin mengalami kerusakan keseimbangan atau
penurunan penggunaan alat bantu jalan untuk mempertahankan mobilitas.
4. IMPLEMENTASI
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencaan keperawatan yang telah
ditentukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal.
Pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan rencana
asuhan keperawatan yang telah disusun.
5. EVALUASI
a. Menunjukkan berkurang ansietas
b. Melaporkan nyeri berkurang
c. Melaporkan keterbatasan aktivitas teratasi
d. Menunjukkan perawatan diri baik.
http://novidaeli.blogspot.com/2013/07/asuhan-keperawatan-sistem.html
A. Fraktur
1. Pengertian
Trauma sistem muskuloskeletal yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah fraktur. Definisi
yang paling sederhana menurut Tucker, et. al (1999: 434) fraktur adalah patahnya kontinuitas
tulang. Sedangkan menurut Syamsuhidajat dan Jong (1997: 1138) fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa. Senada dengan definisi yang dinyatakan oleh para ahli diatas Doenges, et. al
(2000: 761) juga mendefinisikan fraktur sebagai pemisahan atau patahnya tulang.
Beberapa definisi fraktur diatas dapat disimpulkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas struktur tulang yang disebabkan oleh beberapa mekanisme. Penyebab
yang paling lazim adalah karena trauma.
2. Penyebab
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma namun dapat juga disebabkan oleh kondisi lain
menurut Appley dan Salomon (1995: 238) fraktur dapat terjadi karena:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian besar disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan yang dapat berupa
pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan.
a. Nyeri.
Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen diimmobilisasi. Spasme otot yang
menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan
gerakan antar fragmen tulang.
b. Deformitas dan kehilangan fungsi.
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan akan cenderung bergerak
secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
intregitas tulang tempat melengketnya otot.
c. Pemendekan tulang.
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain
antara 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
d. Krepitus.
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
e. Edema.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari
setelah cedera
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak
ada pada fraktur linear, fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu
sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar-x
pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.
4. Anatomi / patologi
Menurut Price dan Wilson (1995: 1776) bagian-bagian tulang panjang yaitu diafisis atau
batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang
kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar
didekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama tersusun oleh tulang trabekular atau tulang
spongiosa yang mengandung sumsum merah. Sumsum merah juga terdapat dibagian epifisis
dan diafisis tulang. Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas
untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifisis adalah daerah
pertumbuhan longitudinal pada anak-anak dan akan menghilang pada tulang dewasa.
Terdapat berbagai tipe fraktur berdasarkan bentuk garis patah. Tipe-tipe fraktur tersebut dapat
dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2. Berbagai tipe fraktur berdasarkan betuk garis patah (Smeltzer dan Bare, 2002:
2359).
5. Patofisiologi
Sabiston (1997: 370) menyatakan bahwa pola fraktur ditentukan dalam tingkat tertentu oleh
sifat tenaga yang diberikan. Hal lain yang menentukan adalah sudut dari tenaga tersebut,
keadaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang (Price dan Wilson, 1995: 1183).
Ketiga hal tersebut dapat mentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap artinya mengenai
seluruh penampang tulang atau sebagian saja. Menurut Underwood (1999: 811) sifat dan arah
garis fraktur juga tergantung dari usia penderita dan jenis tulang yang terkena fraktur. Faktor-
faktor ini bukan hanya dapat menentukan sifat dan arah garis fraktur saja karena usia
penderita, jenis tulang yang fraktur serta pola tempat cedera mempengaruhi juga dalam
kecepatan prose penyembuhan.
Pola terjadinya fraktur pada tulang sangat berperan dalam menentukan klasifikasinya.
Klasifikasi fraktur menurut FKUI (2000: 346-347) dideskripsikan sebagai berikut:
a. Komplit atau tidak komplit.
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang.
2) Fraktur tidak komplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, seperti:
a) Hairline fracture (patah retak rambut).
b) Buckle fracture atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spongiosa dibawahnya, biasanya pada distal radius anak-anak.
c) Greenstick fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi
pada tulang panjang anak.
b. Bentuk garis patah dan hubunganya dengan mekanisme trauma.
1) Garis patah melintang : trauma angulasi atau langsung.
2) Garis patah oblik : trauma angulasi.
3) Garis patah spiral : trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi : trauma aksial fleksi pada tulang spongiosa.
5) Fraktur avulsi : trauma tarikan / traksi otot pada insersinya di tulang, misalnya fraktur
patella.
c. Jumlah garis patah.
1) Fraktur kominutif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis
patah disebut pula fraktur bifokal.
3) Faktur multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya
misalnya fraktur femur, fraktur kruris dan fraktur tulang belakang.
d. Bergeser atau tidak bergeser.
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser), garis patah komplit tapi kedua fragmen tidak
bergeser, periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen-fragmen frakt ur yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi menjadi:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pegeseran membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi).
e. Komplikasi atau tanpa komplikasi. Komplikasi dapat berupa komplikasi dini atau lambat,
lokal atau sistemik, oleh trauma atau akibat pergerakan.
f. Terbuka atau tertutup.
1) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar.
2) Fraktur terbuka (open atau compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat,
yaitu :
a) Derajat I.
(1) Luka kurang dari 1 cm.
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
(3) Fraktur sederhana, tranversal, oblik atau kominutif ringan.
(4) Kontaminasi ringan.
b) Derajat II.
(1) Laserasi lebih dari 1 cm.
(2) Kerusakan jaringan lunak tidak luas, flap atau avulsi.
(3) Fraktur kominutif sedang.
(4) Kontaminasi sedang.
c) Derajat III.
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskuler
serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas:
(1) Jaringan lunak yang menutupi fraktur adekuat, meskipun terdapat laserasi luas, flap atau
avulsi atau fraktur segmental / sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi
tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
(2) Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi.
(3) Luka pada pembuluh arteri atau saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.
Bila terjadi patah tulang maka proses penyembuhannya berbeda dengan jaringan lain. Ketika
tulang mengalami cedera, fragmen tulang tidak hanya ditambal dengan jaringan parut seperti
jaringan lain pada umumnya tetapi mengalami regenerasi sendiri. Syamsuhidajat dan Jong
(1997: 1146) menyatakan bahwa proses penyembuhan patah tulang adalah proses biologis
alami yang akan terjadi pada setiap patah tulang.
Tahapan-tahapan penyembuhan tulang menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2266-2268) adalah
sebagai berikut:
a. Inflamasi.
Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respon yang sama dengan bila ada cedera di
lain tempat dalam tubuh. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi
pembentukan hematoma pada tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh
makrofag, yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan
nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri.
b. Proliferasi sel.
Kurang lebih 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin
dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan
osteoblast. Fibroblast dan osteobalast (berkembang dari osteosit, sel endostel dan periosteum)
akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang.
Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteosit). Dari periosteum, tampak
pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro pada
tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus.
c. Pembentukan kalus.
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi yang lain
sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus,
tulang rawan sampai tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk
menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan
pergeseran tulang. Agar fragmen tulang rawan atau jaringan fibrus diperlukan waktu 3
sampai 4 minggu. Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakkan.
d. Osifikasi.
Pembentukan kalus mulai mengalami penurunan dalam 2 sampai 3 minggu patah tulang
melalui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar telah bersatu dengan keras. Pada patah tulang panjang orang dewasa, penulangan
memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan.
e. Remodeling.
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi
tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan-
bulan sampai bertahun-tahun tergantung beratnya tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang dan
pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus, stress funsional pada tulang.
Tulang kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat daripada tulang
kortikal kompak khususnya pada titik kontak langsung.
Proses penyembuhan tulang tersebut dapat terganggu karena beberapa hal, sehingga akan
memperlambat pertautan dua fragmen. Menurut Long (1996: 359) penyebab gangguan
penyembuhan tulang atara lain sebagai berikut:
a. Kalus putus atau remuk karena aktivitas berlebihan.
b. Edema pada lokasi fraktur, menahan penyaluran nutrisi ke lokasi.
c. Immobilisasi yang tidak efisien.
d. Infeksi terjadi pada lokasi.
e. Kondisi gizi klien buruk.
Sedangkan menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2361) faktor yang menghambat penyembuhan
tulang adalah:
a. Trauma lokal ekstensif.
b. Kehilangan tulang.
c. Immobilisasi tidak memadai.
d. Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang.
e. Infeksi.
f. Keganasan lokal.
g. Penyakit tulang metabolik ( misalnya penyakit Paget).
h. Radiasi tulang (nekrosis radiasi).
i. Nekrosis avaskuler.
j. Fraktur intraartikuler (cairan sinovial mengandung fibrilisin, yang akan melisis bekuan
darah awal dan memperlambat pembentukan jendalan).
k. Usia (lansia sembuh lebih lama).
l. Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan).
B. Amputasi
1. Pengertian
Amputasi adalah perlakuan yang mengakibatkan cacat menetap (Syamsuhidajat dan Jong,
1997: 1282). Sedangkan menurut Engram (1999: 343) amputasi merujuk pada pengangkatan
semua atau sebagian ekstremitas. Tucker, et. al (1999: 453) juga memberikan definisi yang
lebih terinci yaitu amputasi kaki adalah pengangkatan melalui pembedahan bagian dari kaki
karena trauma, penyakit, tumor atau anomali kongenital.
Definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa amputasi adalah tindakan pengangkatan
sebagian atau seluruhnya dari bagian tubuh terutama ekstremitas atas indikasi tertentu
sehingga menimbulkan kecacatan menetap. Terdapat dua macam amputasi dilihat dari teknik
pembedahannya. Menurut Engram (1999: 347) amputasi dapat terbuka (guillotine) atau
tertutup.
Amputasi terbuka dikerjakan pada luka kotor seperti luka perang atau infeksi berat antara lain
gangren gas. Pada amputasi cara ini sayatan dikulit dibuat secara sirkuler sedangkan otot
dipotong lebih proksimal dari sayatan di kulit dan tulang digergaji sedikit proksimal dari otot.
Luka dibiarkan terbuka sampai infeksi teratasi, kemudian baru dikerjakan reamputasi
(Syamsuhidajat dan Jong, 1997: 1285). Untuk amputasi tertutup, dokter bedah menutup luka
dengan flap kulit dan otot (Engram, 1999: 343).
2. Indikasi
Menurut Syamsuhidajat dan Jong (1997: 1282) indikasi amputasi antara lain:
a. Kelainan tulang yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah.
b. Cedera.
c. Tumor ganas.
d. Infeksi.
e. Kelainan bawaan.
f. Kelainan neurologis seperti paralisis dan anestesia.
Sedangkan menurut Smeltzer dan Bare (2002: 2387) amputasi ekstermitas bawah sering
diperlukan pada kondisi-kondisi berikut:
a. Penyakit vaskuler perifer progresif (sering sebagai gejala sisa diabetes mellitus).
b. Gangren.
c. Trauma (cedera remuk, luka bakar, luka bakar dingin, luka bakar listrik).
d. Deformitas kongenital.
e. Tumor ganas.
D. Fokus Pengkajian
Fokus pengkajian pada klien dengan fraktur menurut Doenges, et. al (2000: 761) adalah
sebagai berikut:
1. Aktivitas istirahat.
Tanda : Keterbatasan atau fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu
sendiri, atau terjadi secara sekunder dan pembengkakan jaringan, nyeri).
2. Sirkulasi.
Tanda : Hipertensi atau tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler
lambat. Pucat pada bagian yang terkena pembengkakan jariangan atau massa hematoma pada
sisi cedera.
3. Neurosensori.
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot, kebas atau kesemutan (parestesis).
Tanda : Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit),
spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi. Agitasi (mungkin berhubungan dengan
nyeri ansietas atau trauma lain).
4. Nyeri / kenyamanan.
Gejala : Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau
kerusakan tulang, dapat berkurang pada immobilisasi). Tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme atau kram otot (setelah imobilisasi).
5. Keamanan.
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal
(dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
6. Penyuluhan dan pembelajaran.
Gejala : Lingkungan cedera.
Fokus pengkajian pada klien yang mengalami amputasi menurut Doenges, et. al (2000: 786)
adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas / istirahat.
Gejala : Keterbatasan aktual atau antisipasi yang dimungkinkan oleh kondisi / amputasi.
2. Integritas ego.
Gejala : Masalah tentang antisipasi pola hidup, situasi finansial, reaksi orang lain. Perasaan
putus asa, tidak berdaya.
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka, marah, menarik diri, keceriaan semu.
3. Seksualitas.
Gejala : Masalah tentang keintiman hubungan.
4. Interaksi sosial.
Gejala : Masalah sehubungan dengan penyakit atau kondisi. Masalah tentang peran fungsi,
reaksi orang lain.
5. Penyuluhan / pembelajaran.
Memerlukan bantuan dalam perawatan luka atau bahan, adapatasi terhadap alat bantu
ambulatori, transportasi, pemeliharaan rumah, kemungkinan aktivitas perawatan diri dan
latihan kejuruan.
E. Fokus Intervensi
Menurut Doenges, et. al (2000: 763-774) fokus intervensi pada klien fraktur adalah sebagai
berikut:
1. Nyeri berhubungan dengan gerakan fragmen, edema dan cedera pada jaringan lunak.
Hasil yang dih arapkan:
a. Menyatakan nyeri hilang.
b. Menunjukkan tindakan santai: mampu berpartisipasi dalam aktivitas / tidur / istirahat
dengan ketat.
c. Menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi
untuk situasi individu.
Intervensi:
a. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring , gips, pembebat, traksi.
Rasional : Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang / tegangan jaringan
cedera.
b. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena fraktur.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema dan nyeri.
c. Hindari penggunaan sprei atau bantal plastik di bawah ekstremitas yang di gips.
Rasional : Dapat meningkatkan ketidaknyamanan karena peningkatan produksi panas dalam
gips yang kering.
d. Evaluasi keluhan nyeri atau ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik,
termasuk intensitas (skala 0-10). Perhatikan petunjuk nyeri non verbal.
Rasional : Mempengaruhi pilihan dan pengawasan keefektifan intervensi.
e. Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, perubahan posisi.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan dan kelelahan otot.
f. Dorong pasien menggunakan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif atau
latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi.
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan meningkatkan
kemampuan koping dalam manajemen nyeri.
g. Selidiki adanya keluhan nyeri yang tak biasa / tiba-tiba atau dalam, lokasi progresif atau
buruk tidak hilang dengan analgetik.
Rasional : Dapat menandakan terjadinya komplikasi seperti infeksi, iskemia jaringan atau
sindrom kompartemen.
h. Lakukan kompres dingin (es) pada 24-48 jam pertama dan sesuai keperluan.
Rasional : Menurunkan edema atau pembentukan hematoma dan menurunkan nyeri.
i. Berikan analgetik sesuai indikasi.
Rasional : Diberikan untuk menurunkan nyeri dan spasme otot.
2. Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kehilangan integritas tulang.
Hasil yang diharapkan:
a. Mempertahankan stabilisasi dari posisi fraktur.
b. Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi fraktur.
c. Menunjukkan pembentukan kalus / mulai penyatuan fraktur dengan tepat.
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring / ekstremitas sesuai indikasi. Berikan sokongan sendi diatas dan
dibawah fraktur bila bergerak / membalik.
Rasional : Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi /
penyembuhan.
b. Letakkan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik.
Rasional : Tempat tidur lembut atau lentur dapat membuat deformasi gips yang masih basah,
mematahkan gips yang sudah kering atau mempengaruhi penarikan traksi.
c. Sokong fraktur dengan bantal / gulungan selimut. Pertahankan posisi netral pada bagian
yang sakit dengan bantal pasir, pembebat, papan kaki.
Rasional : Mencegah gerakan yang tak perlu dan perubahan posisi. Posisi yang tepat dari
bantal juga dapat mencegah tekanan deformitas yang di gips kering.
d. Evaluasi pembebat ekstremitas terhadap resolusi edema.
Rasional : Seiring dengan berkurangnya edema, penilaian kembali pembebat atau
penggunaan gips plester mungkin diperlukan untuk mempertahankan kesejajaran fraktur.
3. Risiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler berhubungan dengan penurunan atau
interupsi aliran darah.
Hasil yang diharapkan:
Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit hangat atau kering,
sensasi normal, sensori biasa, tanda vital stabil, dan haluaran urin adekuat untuk situasi
individu.
Intervensi:
a. Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit.
Rasional : Dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema.
b. Evaluasi adanya (kualitas) nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi.
Rasional : Penurunan atau tak adanya nadi dapat menggambarkan cedera vaskuler.
c. Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
Rasional : Kembalinya warna kulit harus cepat (3-5 detik). Warna kulit putih, menunjukkan
gangguan arterial, sianosis diduga adanya gangguan vena.
Intervensi:
a. Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh pengobatan (terapi restriktif) dan perhatikan
persepsi klien terhadap imobilisasi.
Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual,
memerlukan informasi / intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
b. Dorong partisipasi dalam akatifitas terapeutik / rekreasi. Pertahankan rangsang lingkungan
seperti koran, TV, radio, barang pribadi, kalender dll.
Rasional : Memberi kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali
perhatian, meningkatkan rasa kontrol diri dan membantu menurunkan isolasi sosial.
c. Instruksikan pasien untuk / bantu dalam rentang gerak pasien, pasif untuk ekstremitas yang
sakit dan aktif untuk ekstremitas yang sehat.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot,
mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur / atrofi dan resorbsi kalsium karena tak
digunakan.
d. Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dari tungkai yang tidak sakit.
Rasional : Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan
membantu mempertahankan kekuatan dan massa otot.
e. Dorong / bantu perawatan diri / kebersihan.
Rasional : Meningkatkan kekuatan dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam situasi
dan meningkatkan kesehatan diri langsung.
f. Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk dan nafas dalam.
Rasional : Mencegah / menurunkan insiden komplikasi kulit / pernafasan.
g. Konsul ahli terapi fisik / okupasi dan / atau rehabilitasi spesialis.
Rasional : Berguna dalam membuat aktivitas iindividual / program latihan.
5. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer
skunder akibat trauma jaringan.
Hasil yang diharapkan:
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam.
Intervensi:
a. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
Rasional : Pen atau kawat tidak dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi, kemerahan atau
abrasi.
b. Kaji kulit, perhatikan keluhan peningkatan nyeri / rasa terbakar atau adanya edema,
eritema, drainase dan bau tak enak.
Rasional : Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi lokal /nekrosis jaringan yang dapat
menimbulkan osteomielitis.
c. Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau
drainase yang tak enak / asam.
Rasional : Tanda perkiraan gas gangren.
d. Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara.
Rasional : Kekakuan otot, spasme tonik otot rahang, dan disfagia menunjukkan terjadinya
tetanus.
e. Berikan obat-obatan sesuai indikasi: antibiotik dan tetanus toksoid.
Rasional : Dapat diberikan sebagai profilaksis.
Fokus intervensi pada klien amputasi menurut Doenges, et. al (2000: 787-795) adalah sebagai
berikut:
1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kehilangan bagian tubuh.
Hasil yang diharapkan:
a. Mulai menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan pada situasi diri (amputasi).
b. Mengenali dan menyatu dengan perubahan dalam konsep diri yang akurat tanpa harga diri
yang negatif.
c. Membuat rencana nyata untuk adaptasi peran baru / perubahan peran.
Intervensi:
a. Dorong ekspresi ketakutan, perasaan negatif, dan kehilangan bagian tubuh.
Rasional : Ekspresi emosi membantu pasien mulai menerima kenyataan dan realitas hidup
tanpa tungkai.
b. Beri penguatan informasi pascaoperasi termasuk tipe / lokasi amputasi, tipe protesa,
harapan tindakan operasi, termasuk kontrol nyeri dan rehabilitasi.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk menanyakan dan mengasimilasi informasi dan
mulai menerima perubahan gambaran diri dan fungsi, yang dapat membantu penyembuhan.
c. Kaji derajat dukungan yang ada untuk pasien.
Rasional : Dukungan yang cukup dari orang terdekat dan teman dapat membantu proses
rehabilitasi.
d. Dorong partisipasi dalam akivitas sehari-hari. Berikan kesempatan untuk memandang /
merawat puntung menggunakan waktu untuk untuk menunjukkan tanda positif penyembuhan.
Rasional : Meningkatkan kemandirian dan meningkatkan harga diri.
e. Berikan lingkungan yang terbuka pada pasien untuk mendiskusikan masalah tentang
seksualitas.
Rasional : Mengidentifikasi tahap berduka / kebutuhan untuk intervensi.
f. Perhatikan perilaku menarik diri. Membicarakan diri tentang hal yang negatif, penggunaan
penyangkalan atau terus menerus melihat perubahan nyata /yang diterima.
Rasional : Mengidentifikasi tahap berduka nyata/ yang diterima.
2. Nyeri akut berhubungan dengan cedera fisik / jaringan dan trauma saraf.
Hasil yang diharapkan:
a. Menyatakan nyeri hilang / terkontrol.
b. Tampak rileks dan mampu tidur / istirahat dengan tepat.
c. Menyatakan pemahaman tentang nyeri fantom dan metode untuk menghilangkannya.
Intervensi:
a. Catat lokasi dan intensitas nyeri (skala 0-10). Selidiki perubahan karakteristik nyeri (kebas
atau kesemutan).
Rasional : Membantu dalam evaluasi kebutuhan dan keefektifan intervensi.
b. Tinggikan bagian yang sakit dengan meninggilkan kaki tempat tidur atau menggunakan
bantal / guling untuk amputasi tungkai atas.
Rasional : Mengurangi terbentuknya edema dengan peningkatan alir balik vena, menurunkan
kelelahan otot dan tekanan kulit / jaringan.
c. Terima kenyataan sensasi fantom tungkai yang biasanya hilang dengan sendirinya.
Rasional : Mengetahui sensasi ini memungkinkan pasien memahami fenomena normal ini
yang dapat terjadi segera atau beberapa minggu pasca operasi.
d. Berikan tindakan kenyamanan (contoh ubah posisi sering, pijatan punggung) dan aktivitas
terapeutik. Dorong penggunaan teknik manajemen stress (contoh latihan nafas dalam,
visualisasi) dan sentuhan terpeutik.
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi, dapat meningkatkan
kemampuan koping dan dapat menurunkan terjadinya nyeri fantom pada tungkai.
e. Berikan pijatan lembut pada puntung sesuai toleransi bila balutan telah dilepaskan.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi, menurunkan tegangan otot.
f. Selidiki keluhan nyeri lokal / kemajuan yang tak hilang dengan analgetik.
Rasional : Dapat mengidentifikasi terjadinya sindrom kompartemen.
g. Berikan obat sesuai indikasi : analgetik dan relaksan otot.
Rasional : Menurunkan nyeri dan spasme otot.
3. Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran
darah vena / arterial.
Hasil yang diharapkan:
Mempertahankan perfusi jaringan adekuat dibuktikan dengan nadi perifer teraba, kulit hangat
/ kering, dan penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi:
a. Awasi tanda vital, palpasi nadi perifer, perhatikan kekuatan dan kesamaan antara
ekstremitas yang sakit dan yang sehat.
Rasional : Indikator umum status sirkulasi dan keadekuatan perfusi.
b. Lakukan pengkajian neurovaskuler periodik, contoh sensasi, gerakan, nadi, warna kulit dan
suhu.
Rasional : Edema jaringan pasca operasi, pembentukan hematoma atau balutan terlalu ketat
dapat mengganggu sirkulasi pada puntung mengakibatkan nekrosis.
c. Inspeksi alat balutan / drainase, perhatikan karakteristik balutan.
Rasional : Kehilangan darah terus menerus mengindikasikan kebutuhan untuk tambahan
penggantian cairan dan evaluasi gangguan koagulasi.
d. Berikan tekanan langsung pada sisi perdarahan bila terjadi perdarahan.
Rasional : Tekanan langsung pada luka dapat diteruskan dengan penggunaan balutan serat
pengaman dengan balutan elastis bila perdarahan terkontrol.
e. Berikan cairan intravena / produk darah sesuai indikasi.
Rasional : Mempertahankan volume sirkulasi untuk memaksimalkan perfusi.
4. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
skunder akibat trauma jaringan.
Hasil yang diharapkan:
Mencapai penyembuhan tepat waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan tidak demam.
Intervensi:
a. Pertahankan teknik aseptik bila mengganti balutan / merawat luka.
Rasional : Meminimalkan introduksi bakteri.
FRAKTUR
A. PENGERTIAN FRAKTUR
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar
jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ
tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih
besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur terjadi
jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan
pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem
(Bruner & Sudarth, 2002).
Fraktur adalah patahnya tulang, yang biasanya dialami hewan kecil akibat kecelakaan, terjatuh dan
luka (Bleby & Bishop, 2003).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2005).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh
trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan
trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
B. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst).
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan
periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,
disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma
kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah
permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada
tulang..
b. Adanya dislokasi
10. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Gambar 1. Tipe Fraktur
C. ETIOLOGI
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya
benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada
pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/ ada resiko
terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
1. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic
hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh
sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima
kelompok berdasarkan bentuknya :
a. Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis dan dua
ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis
dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau
lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis.
Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang.
Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau
trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang
berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan
tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang
suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi
sumsum tulang.
b. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy) dengan suatu
lapisan luar dari tulang yang padat.
c. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar adalah
tulang concellous.
d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan
persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas tiga
jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan
tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi
dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks merupakan kerangka
dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat
dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas
adalah sel multinuclear ( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan
remosdeling tulang.
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 % endapan garam.
Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10 %
proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan
sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan
berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang
memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam
menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa pemanjangan
dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama hidup. Pembentukan
tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan
pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon terhadap
berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks
tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid
dan mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi
bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang,
osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan
osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian ion kalsium
di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang dapat
dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga dan stres
beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang secara drastis
merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan
hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang.
Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-hormon
tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh
dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar
estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi hormon
pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
2. Fisiologi Tulang
b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan lunak.
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi
apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah
trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan
lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi
yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan
arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur
seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
F. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya
otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu
sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari
setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru
tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu
sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien.
Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. X-RAY dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
5. Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah akibat
perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa
penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk
ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau
cederah hati.
H. KOMPLIKASI
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang sering
berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat
dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa sakit karena
ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada
kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia.
Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau
ulna).
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika
gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak.
Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh –
pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak
mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor),
tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular
dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur
intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan
menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode
waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah
sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh
pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat
menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa
exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam
tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka
tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena
trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko
osteomyelitis yang lebih besar
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang –
kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non
union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen
contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis..
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas, angulasi atau
pergeseran.
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk
fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast.
Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari
periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami
proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi
dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yg menggabungkan
kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantung frakturnya.
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan
yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh
kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati.
Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi
lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur
menyatu.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem
ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun,
pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-
menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding
yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang
mirip dengan normalnya.
Gambar 9.Fase Penyembuhan Tulang
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka jaringan
disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat
penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur).
Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips yang ideal adalah yang
membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
o Koreksi deformitas
o Mengurangi aktifitas
o Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan lagi
tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal
tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
a. Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas pasien.
Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang
tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam waktu 4
minggu dan beban < 5 kg.
o Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk
menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
Immobilisasi
Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat agar reduksi dapat
dipertahankan
b. Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan
tulang.
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin adalah
pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya
insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik
menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah
mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang
normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat
ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan paku.
Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada didekatnya
Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi
dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama
penatalaksanaan dijalankan
1) FIKSASI INTERNA
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk fraktur lainnya kurang
cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi
mungkin tidak cukup kuat untuk mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika hasil pemeriksaan
radiologi memberi kesan bahwa jaringan lunak mengalami interposisi di antara ujung tulang karena
hal ini hampir selalu menyebabkan non-union.
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Maka dari itu
diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.
K. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan
arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau
kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti
terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan
dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri
atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang
hari.
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu
dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang
terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama
tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit
paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga
dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
keluarga ataupun dalam masyarakat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium,
zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu
juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada
pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola
dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang
dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani
rawat inap
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera
yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan
pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi
dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan
gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total
care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih
sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya
akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
(5) Mata
(6)Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
(c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
(b) Palpasi
(c) Auskultasi
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
(b) Palpasi
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan).
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(3) Fistulae.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien.
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat
pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan
perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan
dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar
dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan
yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit
divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu
struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam
membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase
(AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih
dindikasikan bila terjadi infeksi.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
RENCANA KEPERAWATAN
Tingkatkan istira
Kolaborasikan de
Monitor penerim
Monitor respiras
Respiratory
Monitor rata – r
Catat pergerak
supraclavicular
Monitor suara n
Monitor pola na
Monitor kelelah
Auskultasi suara
Tentukan kebut
utama
auskultasi suara
Ajarkan pada k
keseimbangan
Perbaikan Pos
Ajarkan pada
menghindari k
Kolaborasi ke ah
Memandikan pa
Gunakan baju, s
Pertahankan lin
Ganti letak IV pe
Gunakan katete
Tingktkan intake
Berikan terapi a
Infection Prote
Monitor tanda d
Monitor hitung
Monitor kerenta
Batasi pengunju
Saring pengunju
Partahankan tek
Pertahankan tek
Berikan perawat
Inspeksi kulit da
Ispeksi kondisi lu
Dorong masukka
Dorong masuka
Dorong istirahat
Instruksikan pas
Ajarkan pasien d
Ajarkan cara me
Laporkan kecuri
Laporkan kultur
Sediakan bagi ke
Diskusikan peru
masa yang aka
Diskusikan piliha
Dukung pasien u
tepat atau diin
Eksplorasi kemu
Instruksikan pas
kesehatan, den