Anda di halaman 1dari 9

Lo 1.

Infeksi HPV
HPV merupakan virus DNA sirkuler rantai ganda,berukuran kecil, tidak memiliki selubung (envelope)dan
masuk dalam keluarga Papillomaviridae

Klasifikasi HPV
Klasifikasi HPV dilakukan berdasarkan pada tingkat homogenitas DNA. International Committee on the
Taxonomy of Viruses(ICTV) mengelompokkan Papillomavirus ke dalam keluarga Papillomaviridae (awalnya
Papillomavirus bersama Poliomavirus masuk dalam family yang sama). FamiliPapillomaviridae dibagi lagi
menjadi 2 subfamili dengan lebih dari 50 genus. Akan tetapi, hanya 5 genus yang berhubungan dengan
infeksi pada manusia yaitu Alphapapillomavirus, Betapapillomavirus, Gammapapillomavirus, Mupapillomavirus,
dan Nupapillomavirus. Namun yang paling sering ditemukan pada pasien adalah genus Alphapapillomavirus

Morfologi HPV
merupakan virus double stranded DNA(dsDNA) yang tidak memiliki selubung dengan diameter berkisar 55
nm. Kapsid dari HPV berbentuk ikosahedral dan tersusun atas 72 capsomer pentamerik (320 protein L1) dan12
molekul protein L2. Kapsid ini membungkus satu molekul dsDNA sirkular. Molekul genomHPV berasosiasi
dengan molekul histon
Siklus Hidup
Siklus hidup HPV tidak jauh berbeda dengan virus dsDNA lainnya. Tahap awal siklus hidup HPV dimulai
dengan terpaparnya virus pada sel pejamu. Paparan ini terjadi karena adanya luka atau lesi pada lapisan
epitel sel pejamu. Setelah terpapar dengan sel, virus kemudian akan melekat pada sel pejamu melalui
reseptor yang terdapat dipermukaan sel pada lapisan basal epitel.6Umumnya, HPV akan berikatan dengan
reseptor primer Syndecan-1 (isotip Heparan Sulfat Proteoglycans(HSPGs) yang dominan ada di permukaan sel
epitel)lebih dulu, kemudian HPV akan memodifikasi kapsidnya dan berikatan dengan reseptor sekunder yakni
reseptor kelompok
ikatan yang terbentuk antara virus dengan reseptor yang spesifik dari sel pejamu akan
memberikan signal kepada sel pejamu untuk mengendositosis virus.20,21Endositosis virus di awali dengan
terbentuknya lekukan pada plasma membran di sekitar tempat melekatnya virus. Lekukan ini kemudian
membentuk vesikel yang melingkupi virus. Virus yang telah diendositosis oleh sel, selanjutnya akan mengalami
uncoating. Proses uncoatingdifasilitasi oleh penghilangan ikatan intracapsomer sulfidesehingga kapsid terbuka.
Proses ini berlangsung dalam lingkungan selhost. Setelah mengalami uncoatingDNA virus akan keluar dari
vesikel dan mengikat mikrofilamen melalui interaksi region L2 dengan protein motor kompleks dinein untuk
membantutransportasi dalam sitolasmadan inti sel
Genom HPV akan masuk ke dalam inti sel dan mengaktifkan cascadeekspresi gen virus. Pertama virus akan
mengekpresikan protein yang berperan sebagai faktor replikasi yakni protein E1 dan E2. Protein E2
berikatan dengan viral origin of replicationvirusyang terdapat di DNA virus, ikatan ini memberikan signal
pada protein E1 helikase untuk memisahkan untai gandaDNA virus dan membentuk kompleks replikasi.
Kompleks replikasi ini akan memberikan signaluntuk enzim polymerase dan protein asesori sel pejamu untuk
memulai prosesreplikasi DNA virus
Seiring degan proses diferensiasi sel epitel, aktivitaspromoter akhir (late promoter)akan meningkat.
Promoter akhir pada virus HPV akanmenginisiasi ekspresi dari dua gen yang mengkode protein struktural
(kapsid) virus, yaitu L1 dan L2. Selanjutnya, partikel DNA, bersama dengan protein virus akan dirakit
membentukpartikel infeksius pada bagian atas lapisan epitel. Protein L2berperan membungkusgenom virus,
sedangkan protein L1berperan membentuk kapsid ikosahedral pada bagian luar virus. Kemudian, virus
HPV akan mengalami eksositosis dan keluar dari sel untuk menginfeksi sel lain yang belum terinfeksi (non-
litik).

Patogenesis Human Papillomavirus(HPV) pada Kanker ServiksPaulina Rosa Evriarti1, Andi Yasmon2*1Program
Magister Ilmu Biomedik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia2Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

LO 2. RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI HPV


Human Papilloma Virus-16 risiko tinggi adalah genotipe yang paling sering terlibat tetapi hanya sejumlah
kecil wanita terinfeksi HPV yang berkembang menjadi HSIL, sedangkan sebagian besar virus tersebut hilang secara
spontan. Terdapat banyak bukti yang menunjang pendapat bahwa status imunologis tergantung hospes dan
perusakan sistem imun oleh HPV berperan dalam infeksi HPV persisten dan selanjutnya menyebabkan neoplasia
serviks. Untuk itu peranan sistem imun tidak hanya untuk menghilangkan virus tetapi juga untuk pengenalan
antigen tumor, yang sebagian besar bersangkutan dengan kasus karsinogenesis serviks
Sistem imun adaptif memainkan peran penting dalam proteksi vertebrata terhadap patogen dalam
spektrum luas. Dalam konteks ini presentasi peptida antigenik oleh MHC kelas I terhadap Limfosit-T Sitotoksik (LTS)
adalah kunci untuk respon imun seluler. Peptida-peptida ini pada mulanya berasal dari kompleks proteasom, suatu
multisubunit, protease multikatalitik, dan ditranslokasikan dari sitosol ke dalam lumen retikulum endoplasma (RE)
yang juga disebut sebagai transporter antigen peptide (TAP), yang merupakan anggota dari protein ATP-binding
cassette (ABC) protein superfamily dan dibentuk dari dua subunit TAP-1 dan TAP-2. Transport peptida oleh TAP
adalah suatu proses multi-step dalam hubungannya dengan singkatnya peptida terikat pada TAP, diikuti dengan
isomerisasi lambat dari kompleks TAP memicu terjadinya transport ikatan antigen-peptida tersebut
Infeksi HPV yang persisten dan berubah menjadi perkembangan kanker serviks invasif terlihat sebagai
gabungan efek dari virus tertentu (paling penting, genotip HPV) dan kemampuan tergantung hospes (pada
dasarnya, status imunologis wanita). Mekanisme perusakan sistem imun oleh HPV mengakibatkan gangguan dalam
tingkat yang berbeda-beda dari sistem imunitas bawaan dan adaptif termasuk pengiriman antigen, ekspresi sitokin,
proses dan presentasi antigen. HPV jarang terdeteksi pada lokasi sistemik atau tipe sel lain selain sel epitel
skuamosa. Hal ini menyebabkan minimalisasi paparan antigen HPV terhadap sel-sel imunitas, karena aktivitas virus
tersebut yang sangat tergantung pada program diferensiasi dari keratinosit. Dalam hal ini, protein awal HPV
diekspresikan dalam kuantitas rendah dan hanya terdapat di lapisan epitel basal dimana sel-sel memiliki
kemampuan untuk berproliferasi, menyebabkan replikasi virus seiring dengan regenerasi epitel. Sedangkan, protein
lanjut HPV, yang sangat imunogenik, hanya diekspresikan di lapisan bagian distal dimana APC sangat sedikit dan
keratinosit dilepaskan ke dalam lumen serviks yang mempermudah proses penyebaran virus. HPV berkembang
dengan mereduksi dan menghambat ekspresi protein kapsid (L1 dan L2).Mekanisme ini sebagian berdasarkan dari
penggunaan HPV terhadap kodon sel mamalia yang jarang 26 digunakan sehingga produksi protein kapsid
berkurang di lapisan basal dan tidak dapat bekerjasama dengan tRNA. Selanjutnya, HPV 16 E7 diekspresikan di
nukleus keratinosit dimana tidak dapat dicapai oleh APC dan menggunakan motif yang menyerupai protein manusia
sehingga dapat menghindari pengenalan antigen

LO 3. IMUNOLOGI TUMOR
Tumor adalah sebutan untuk neoplasma atau lesi padat yang terbentuk akibat pertumbuhan sel tubuh yang
tidak semestinya, yang mirip dengan simtoma bengkak.

Antigen Tumor
Tumor mengekspresikan berbagai jenis molekul yang mungkin dapat dikenali oleh sistem imun sebagai
antigen asing. Jika sistem imun mampu bereaksi terhadap tumor pada seorang individu, tumor tersebut pasti
mengekspresikan antigen yang dilihat sebagai antigen asing (nonself) oleh sistem imun individu tersebut.
Antigen tumor umum dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok
1. Produk berbagai gen yang bermutasi. Pengurutan (sequencing) gen tumor yang terbaru mengungkapkan bahwa
pada tumor manusia yang sering dijumpai terdapat banyak sekali mutasi berbagai gen yang tidak berperan pada
perkembangan tumor dan dinamakan “mutasi penumpang” (passenger mutations). Produk gen yang berubah ini
dapat merangsang respons imun adaptif terhadap tumor pasien tersebut. Pada hakekatnya setiap gen dapat
bermutasi secara acak pada tumor yang berbeda.
2. Produk onkogen atau gen penekan tumor (tumor suppressor genes) yang bermutasi. Beberapa antigen tumor
adalah hasil mutasi/translokasi onkogen atau gen penekan tumor (tumor suppressor genes) dan diperkirakan
terlibat dalam transformasi keganasan, dinamakan sebagai mutasi pengemudi (driver mutations). Jenis mutasi ini
dapat menyandi protein yang dilihat sebagai antigen asing. Protein baru yang dihasilkan juga dapat berperan
sebagai antigen tumor.
3. Protein yang diekspresikan secara tidak lazim. Pada beberapa tumor manusia, antigen yang dapat menimbulkan
respon imun tampaknya merupakan protein normal (tidak bermutasi) yang ekspresinya mengalami disregulasi pada
tumor. Autoantigen yang secara struktural normal tersebut tidak akan menimbulkan respon imun, namun karena
ekspresi yang tidak lazim, membuat mereka menjadi imunogenik. Misalnya protein diri yang hanya diekspresikan
pada embrio tidak akan memicu toleransi pada orang dewasa, bila protein yang sama diekspresikan pada tumor,
maka kemungkinan dapat dikenali sebagai antigen asing oleh sistem imun.
4. Antigen viral. Pada tumor yang disebabkan oleh virus onkogenik, antigen tumor mungkin merupakan produk virus
Respon Imun terhadap Tumor
Respon imun terhadap tumor melibatkan dua sistem imunitas yaitu sebagai berikut:

1. Imunitas humoral Imunitas humoral ini berperan lebih sedikit dibandingkan imunitas seluler. Tubuh membentuk
antibodi terhadap antigen tumor. Antibodi tersebut ternyata dapat menghancurkan sel tumor secara langsung
atau dengan bantuan komplemen atau melalui sel efektor ADCC (Antibodi Dependent Cell –
MediatedCytotoxicity) yang diperankan oleh makrofag dan sel NK yang mempunyai Fc reseptor di
permukaannya. Mekanisme humoral yang terjadi melalui lisis dan opsonisasi oleh antibodi dan komplemen, atau
dengan mencegah adhesi sel tumor oleh antibodi. Antibodi diduga lebih berperan terhadap sel yang bebas
(leukemia, metastase tumor) dibanding tumor padat. Peranan antibody dalam eliminasi tumor secara invitro
telah terbukti namun secara in vivo masih sedikit buktinya. Host yang mempunyai tumor dapat membentuk
antibody terhadap berbagai antigen tumor. Misalnya pada pasien EBV-assosiated lymphoma di dalam serumnya
dapat dideteksiantibodi terhadap antigen EBV yang diekspresikan di permukaan sel limfoma.

2. Imunitas seluler Pada pemeriksaan patologi anatomi tumor, sering ditemukan infiltrate sel-sel yang terdiri atas
sel fagosit mononuclear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mast. Sistem imun dapat langsung menghancurkan
sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Berikut yang berperan dalam imunitas seluler terhadap tumor:
a. CTL (Cytotoxic T Lymphocyte) Mekanisme utama dari imunitas tumor adalah killing sel tumor oleh CTL
CD8+. Banyak studi menunjukkan bahwa tumor yang mengekspresikan antigen unik dapat memacu CTL
spesifik yang dapat menghancurkan tumor
b. Sel NK (Natural Killer) Sel NK adalah limfosit sitotoksik yang mengenal sel sasaran yang tidak antigen spesifik
dan juga tidak MHC dependen. Diduga bahwa fungsi terpenting sel NK adalah antitumor. Sel NK
mengekspresikan FcR yang dapat mengikat sel tumor yang dilapisi antibodi dan dapat membunuh sel
sasaran melalui ADCC dan pelepasan protease, perforin, dan granzim
c. Makrofag Secara invitro diperlihatkan bahwa makrofag teraktivasi dapat membunuh sel tumor lebih efisien
disbanding sel normal. Mekanisme aktivasi makrofag oleh sel tumor tidak diketahui. Mungkin dengan
pengenalan antigen langsung di permukaan sel tumor atau aktivasi oleh IFNγ yang diproduksi oleh tumor
specific T sel. Makrofag memiliki enzim dengan fungsi sitotoksik dan melepas mediator oksidatif seperti
superoksid dan oksida nitrit. Makrofag juga melepas TNF-α yang mengawali apoptosis (menginduksi
trombosis pada pembuluh darah tumor). Makrofag dapat memakan dan mencerna sel tumor dan
mempresentasikannya ke sel CD4⁺. Jadi makrofag dapat berfungsi sebagai inisiator dan efektor imun
terhadap tumor.

Mekanisme tumor menghindar dari sistem imun


Respon imun seringkali gagal untuk mengontrol pertumbuhan tumor karena tumor berkembang untuk
menghindar dari pengenalan imun atau menahan mekanisme efektor imun. Respons imun harus membunuh semua
sel tumor, sedangkan tumor dapat tumbuh dengan cepat. Seringkali pertumbuhan tumor melampaui pertahanan
imun. Respons imun terhadap tumor lemah karena banyak tumor yang hanya sedikit menimbulkan inflamasi dan
kostimulasi serta hanya sedikit mengekspresikan antigen nonself (asing). Ada beberapa alasan yang menyebabkan
kegagalan tersebut yaitu sel tumor berasal dari sel host, sehingga mirip dengan sel normal. Kebanyakan tumor
hanya sedikit mengekspresikan antigen yang dikenali sebagai non self, sehingga banyak tumor bersifat sebagai
cenderung bersifat imunogen lemah. Bebrapa tumor yang kuat dalam menginduksi respons imun, diantaranya
adalah tumor yang diinduksi virus onkogenik dimana antigen virus merupakan antigen asing. Juga tumor yang
diinduksi karsinogen poten sering menyebabkan mutasi gen. Tidaklah mengejutkan bahwa sel tumor yang dapat
menghindari respons imun akan terseleksi untuk dapat bertahan hidup dan tumbuh lebih lanjut. Pertumbuhan dan
penyebaran yang cepat dari tumor dapat melampaui kapasitas system imun untuk membasmi sel tumor, padahal
control dari tumor memerlukan eliminasi menyeluruh dari sel tumor. Tumor menggunakan beberapa mekanisme
untuk menghindari destruksi oleh sistem imun. Sistem imun dapat diaktivasi dengan stimulus eksterna untuk dapat
membunuh dan mengeradikasi sel tumor dengan efektif. Sifat ini selanjutnya dimanfaatkan dalam imunoterapi.
 Beberapa tumor menghambat ekspresi antigen yang menjadi sasaran serangan sistem imun. Tumor ini
disebut sebagai varian yang kehilangan antigen. Jika antigen yang hilang tersebut tidak terlibat dalam
pemeliharaan sifat keganasan tumor, maka sel tumor varian tersebut akan terus tumbuh dan menyebar.
 Tumor lain ada yang menghambat ekspresi MHC kelas I, sehingga mereka tidak dapat menyajikan antigen
kepada sel T CD8⁺. Sel NK mengenali molekul yang diekspresikan oleh sel tumor, namun tidak pada sel
normal, dan sel NK akan teraktivasi jika sel targetnya tidak mempunyai molekul MHC kelas I.
 Tumor mengikat jalur yang menghambat aktivasi sel T. Beberapa tumor mengekspresikan ligan untuk
reseptor penghambat sel T, sehingga terjadi penurunan aktivasi sel T setelah pengenalan antigen tumor.
Beberapa jenis tumor dapat memicu sel T regulator yang juga menekan respons imun anti tumor.
 Terdapat tumor lain yang dapat mensekresi sitokin imunosupresif, misalnya transforming growth factor β,
atau memicu sel T regulator yang menekan respons imun.

LO 4. KANKER SERVIKS
Pengertian
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks merupakan sepertiga bagian bawah uterus,
berbentuk silindris, menonjol dan berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum.

FAKTOR RISIKO
Penyebab kanker serviks diketahui adalah virus HPV (Human Papilloma Virus) sub tipe onkogenik, terutama sub tipe
16 dan 18. Adapun faktor risiko terjadinya kanker serviks antara lain: aktivitas seksual pada usia muda,
berhubungan seksual dengan multipartner, merokok, mempunyai anak banyak, sosial ekonomi rendah, pemakaian
pil KB (dengan HPV negatif atau positif), penyakit menular seksual, dan gangguan imunitas

Ada beberapa faktor resiko dan faktor predisposisi yang menonjol yaitu:

a. Umur
Umur pertama kali melakukan hubungan seksual. penelitian menunjukkan bahwa semakin muda wanita melakukan
hubungan seksual maka semakin besar kemungkinan mendapat kanker servik. Kawin pada usia 20 tahun dianggap
masih terlalu muda
b. Jumlah Kehamilan dan Partus
Kanker servik dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus semakin besar kemungkinan resiko
mendapat kanker servik

c. Jumlah Perkawinan
Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan berganti-ganti pasangan mempunyai faktor resiko yang
sangat besar terhadap kanker serviks

d. Infeksi Virus
Infeksi virus herpes simpleks ( HSV-2 ) dan virus papiloma atu virus kondiloma akuinata diduga sebagai faktor
penyebab kanker serviks

e. Sosial ekonomi
Kanker servik banyak dijumpai pada golongan social ekonomi rendah. Mungkin faktor social ekonomi erat
kaitannnya dengan gizi, imunitas, dan kebersihan perorangan. Pada golongan social ekonomi rendah umumnya
kuantitas dan kualitas makanan kurang. Hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.

f. Hygine dan Sirkumsisi


Diduga adanya pengaruh mudah terjadinya kanker serviks pada wanita yang pasangannya belum disirkumsisi hal ini
karena pada pria non sirkumsisi higine penis tidak terawat sehingga banyak kumpulan- kumpulan smegma.

g. Merokok dan AKDR ( Alat Kontrasepsi Dalam Rahim )


Merokok akan Merangsang terbentuknya sel kanker sedangkan pemakaian AKDR akan terpengaruh terhadap servik
yaitu bermula dari adanya erosi servik yang kemudian menjadi infeksi yang berupa radang yang terus menerus. Hal
ini dapat sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks

Patofisiologi
Kanker insitu pada serviks adalah keadaan dimana sel-sel neoplastik terjadi pada seluruh lapisan epitel disebut
displasia .displasia merupakan neoplasia serviks intraepithelial (CNI ).CNI terbagi menjadi tiga tingkat yaitu tingkat I
ringan, tingkat II esdang, tingkat III berat.tidak ada gejala spesifik untuk kanker serviks perdarahan merupakan satu-
satunya gejala yang nyata.tetapi gejala ini hanya ditemukan pada tahap lanjut. Sedang untuk tahap awal tidak.

CNI biasanya terjadi disambungan epitel skuamosa dengan epitel kolumnar dan mukosa endoserviks.keadaan ini
tidak dapat diketahui dengan cara panggul rutin, pap smear dilaksanakan untuk mendeteksi perubahan. Neoplastik
hasil apusan abnormal dilanjutkan dengan biopsy untuk memperoleh jaringan guna memperoleh jaringan guna
pemeriksaan sitologik. Sedang alat biopsy yang digunakan dalam biopsy kolposkop fungsinya mengarahkan
tindakan biopsy dengan mengambil sample

Stadium dini CNI dapat diangkat seluruhnya dengan biopsy kerucut atau dibersihkan dengan laser kanker atau
bedah beku. Atau biasa juga dengan histerektomi bila klien merencanakan untuk tidak punya anak. Kanker invasive
dapat meluas sampai ke jaringan ikat, pembuluh limfe dan vena. Vagina ligamentum kardinale. Endometrium
penanganan yang dapat dilaksanakan yaitu radioterapi atau histerektum radiakl dengan mengangkat uterus atu
ovarium jika terkena kelenjar limfe aorta diperlukan kemoterapi.
LO 5. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG CANCER CERVIX
Deteksi dini
Deteksi lesi pra kanker terdiri dari berbagai metode (Kemenkes RI, 2016):
1. Pap smear (konvensional atau liquid-base cytology/LBC)
2. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
3. Inspeksi Visual Lugoliodin (VILI)
4. Test DNA HPV (genotyping/hybrid capture)
5. Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan klinik (Kemenkes RI, 2016).

A. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Umumnya, lesi pra kanker belum memberikan gejala. Saat lesi pra kanker telah menjadi kanker invasif,
gejala yang paling umum adalah perdarahan saat berhubungan intim dan keputihan. Gejala dapat berkembang
menjadi nyeri pinggang atau perut bagian bawah pada stadium lanjut. Hal ini disebabkan oleh desakan tumor di
daerah pelvik ke arah lateral sampai obstruksi ureter, bahkan sampai oligo atau anuria. Gejala lanjutan bisa terjadi
sesuai dengan infiltrasi tumor ke organ yang terkena, misalnya fistula vesikovaginal, fistula rektovaginal, edema
tungkai (Kemenkes RI, 2016).

B. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang kanker serviks meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks, sistoskopi, rektoskopi,
ultrasonography (USG), BNO-IVP, foto toraks dan bone scan, CT scan atau MRI, PET scan. Kecurigaan metastasis ke
kandung kemih atau rektum harus dikonfirmasi dengan biopsi dan histologik. Konisasi dan amputasi serviks
dianggap sebagai pemeriksaan klinik. Khusus pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi dilakukan hanya pada kasus
dengan stadium IB2 atau lebih (Kemenkes RI, 2016). Stadium kanker serviks didasarkan atas pemeriksaan klinik oleh
karena itu pemeriksaan harus cermat bila perlu dilakukan dalam narkose. Stadium klinik ini tidak berubah bila
kemudian ada penemuan baru. Keraguan dalam penentuan diagnose maka dipilih stadium yang lebih rendah
(Kemenkes RI, 2016).

C. Diagnosa banding Beberapa diagnosa banding dari kanker serviks antara lain (Kemenkes RI, 2016):
1) Adenokarsinoma endometrial
2) Polip endoservikal
3) Chlamydia trachomatis atau infeksi menular seksual lainnya pada wanita dengan keluhan perdarahan vagina, duh
vagina serosanguinosa, nyeri pelvis, serviks yang meradang dan rapuh (mudah berdarah, terutama setelah
berhubungan seksual).

Anda mungkin juga menyukai