Anda di halaman 1dari 14

RESPON IMUN TERHADAP VIRUS

I. PENDAHULUAN

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi
tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta
sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas,
organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat
dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa (Suprobowati dan Kurniati, 2018).
Tubuh dalam melindungi diri dari serangan mikroorganisme pathogen dengan
mengembangkan sistem pertahanan tubuh. Sistem pertahanan tubuh dapat diaktifkan dengan
memberikan suatu senyawa yang dapat digunakan untuk meningkatkan respon immun yang
disebut immunomodulator. Immunomudulator ini dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan tubuh baik secara spesifik (adaptive immune system) maupun non spesifik (innate
immune system). Kedua respon imun tersebut dalam bekerjanya melibatkan berbagai
komponen seluler maupun zat terlarut seperti sitokin, kemokin dan komplemen (Tizard,
2004; Baratawidjaya, 2010) .
Virus, merupakan organisme obligat, umumnya terdiri atas potongan DNA atau RNA
yang diselubungi envelop dari protein atau lipoprotein. Respon imun terhadap protein virus
melibatkan respon imun secara nonspesifik yaitu makrofag, sel NK, interferon, interleukin
(IL)- 1, dan IL-6, sedangkan peningkatan respon imun secara spesifik melibatkan limfosit T,
limfosit B dan IL-2 (Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010).

Gambar 1. Imunitas terhadap Infeksi Virus


II. STRUKTUR VIRUS

Virus adalah parasit intraseluler obligat yang berukuran antara 20-300 nm, bentuk dan
komposisi kimianya bervariasi, tetapi hanya mengandung RNA atau DNA saja. Partikelnya
secara utuh disebut virion yang terdiri dari capsid yang dapat terbungkus oleh sebuah
glikoprotein atau membran lipid, dan virus resisten terhadap antibiotik. Bentuk virus berbeda-
beda ada yang : bulat, batang polihidris, dan seperti huruf T.
Asam nukleat genom virus dapat berupa DNA ataupun RNA, genom virus dapat
terdiri dari DNA untai ganda, DNA untai tunggal, RNA untai tunggal, RNA untai ganda.
Selain itu asam nukleat genom virus dapat berbentuk linear tunggal atau sirkuler. Jumlah gen
virus bervariasi dari empat untuk yang terkecil hingga beberapa ratus untuk yang terbesar.
Bahan genetik kebanyakan virus hewan dan manusia berupa DNA, dan pada virus tumbuhan
kebanyakan adalah RNA yang beruntai tunggal.
Bahan genetik virus diselubungi oleh suatu lapisan pelindung. Protein yng menjadi
lapisan pelindung disebut kapsid. Bergantung pada tipe virusnya, kapsid dapat berbentuk
bulat, heliks, polihedral, atau bentuk yang lebih kompleks, dan terdiri atas protein yang
disandikan oleh genom virus. Kapsid terbentuk dari banyak sub unit protein yang disebut
kapsomer.
Untuk virus berbentuk heliks, protein kapsid(biasanya disebut dengan protein
nukleokapsid)terikat langsung dengan genom virus. Misalnya pada virus campak, setiap
protein nukleokapsid terhubung dengan enam basa RNA membentuk heliks sepanjang sekitar
1,3 mikrometer. Komposisi kompleks protein dan asam nukleat ini disebut nukleokapsid.
Pada viruscampak, nukleokapsid ini diselubungi oleh lapisan lipid yang didapatkan dari sel
inang, dan glikoproten yang disandikan oleh virus melekat pada selubung lipid tersebut.
Bagian-bagian ini berfungsi dalam pengikatan dan pemasukan ke sel inang pada awal infeksi.
Kapsid virus sferik menyelubungi genom virus secara keseluruhan dan tidak terlalu berikatan
dengan asam nukeat seperti virus heliks. Struktur ini bervariasi dari ukuran 20 nanometer
hingga 400 nanometer dan terdiri atas protein virus yang tersusun dalam bentuk simetri
ikosahedral. Jumlah protein yang dibutuhkan untuk membentuk kapsid virus sferik
ditentukan dengan koefisien T (yaitu sekitar 60 T protein). Sebagai contoh, virus hepatitis B
memiliki angka T = 4, membutuhkan 240 proteinuntuk membentuk kapsid. Seperti virus
berbentuk heliks, kapsid sebagian jenis virus sferikdapat diselubungi lapisan lipid, tetapi
biasanya protein kapsid sendiri langsung terlibat dalam menginfeksi sel.
Seperti yang telah dijelaskan pada virus campak, beberapa jenis virus memiliki unsur
tambahan yang membantunya menginfeksi inang. Virus pada hewan memiliki selubung virus,
yaitu membran yang menyelubungi kapsid. Selubung ini mengandung fosfolipid dan protein
dari sel inang, tetapi juga mengandung protein dan glikoprotein yang berasal dari virus.
Selain protein selubung dan protein kapsid, virus juga membawa beberapa molekul enzim
didalam kapsidnya. Ada pula beberapa jenis bakteriofaga yang memiliki ekor protein yang
melekat pada “kepala” kapsid. Serabut-serabut ekor tersebut digunakan oleh faga untuk
menempel pada suatu bakteri.
Partikel lengkap virus disebut virion. Virion berfungsi sebagai alat tranportasi gen,
sedangkan komponen selubung dan kapsid bertanggung jawab dalam mekanisme
penginfeksian sel inang (Kuswiyanto, 2016).
a. Struktur DNA
Virus memiliki sifat makhluk hidup namun dapat dikristalkan (dimatikan
sementara), sedangkan tak ada satu sel hidup pun yang dapat dikristalkan tanpa
mengalami kerusakan. Virus berukuran lebih kecil dari semua jenis sel yang ada di
bumi ini namun dapat memberikan dampak yang besar bagi kehidupan. Nah, pada
kesempatan kali ini kami akan mencoba mengurai materi tentang struktur virus.
Virus merupakan mikroorganisme yang harus selalu hidup dalam sel
(obligatory intracellulair), tersusun atas satu jenis asam nukleat DNA, dan dibungkus
oleh suatu selubung protein (kapsul). Berdasar atas hospes atau tuan rumah tempatnya
menumpang hidupvirus dibedakan atas virus hewani (pada hewan dan manusia), virus
tanaman, dan virus bakterial. Pada virus tipe DNA memiliki basa nitrogen timin,
adenin sitosin, guanin. Selain itu tipe DNA memiliki struktur double helix
(Kuswiyanto,2016).
b. Struktur RNA
RNA (asam ribonukleat) juga merupakan asam nukleat (polinukleotida yang
terdiri dari unit-unit mononukleotida). Hanya saja berbeda dengan DNA yang unit-
unit pembangunnya dioksinukleotida sehingga disebut untai ganda, RNA merupakan
asam nukleat untai tunggal yang terdiri dari unit-unit pembangun berupa
mononukleotida. Setiap nukleotida terdiri atas satu gugus fosfat, satu gugus pentosa,
dan satu gugus basa Nitrogen (N).
RNA merupakan hasil transkripsi dari suatu fragmen DNA, sehingga
kedudukan RNA ialah sebagai polimer dan jauh lebih pendek dibanding DNA. Tidak
seperti DNA yang biasanya dijumpai di dalam inti sel, RNA kebanyakan berada di
dalam sitoplasma, khusunya di ribosom.
Golongan virus RNA hanya memiliki asam ribonukleat (ribonukleat acid).
Dalam kelompok virus RNA banyak dijumpai virus-virus yang dapat menimbulkan
penyakit pada manusia. Famili-famili yang termasuk virus-virus RNA adalah :
Picornaviridae, Reoviridae, Togaviridae, Arenaviridae, Coronaviridae, Retroviridae,
Bunyaviridae, Orthomyxoviridae, Paramyxoviridae, Rhabdoviridae.
III. RESPON IMUN TERHADAP VIRUS

Mekanisme respon imun secara umum terdapat 3 untuk mengeliminasi infeksi virus :
a. Melalui antibodi
Ikatan antibodi dengan virus akan membasmi virus dengan cara:
1. Antibodi menetralisasi virus sehingga virus tidak lagi bisa menginfeksi sel inang
2. Beberapa antibodi dapat bekerja sekaligus bersamaan sehingga partikel virus
berlekatan menjadi agregat (proses ini disebut aglutinasi) dan menjadi target yang
jauh lebih mudah dikenali oleh sel-sel dalam sistem imun
3. Kompleks antibodi-virus akan berikatan pada reseptor permukaan sel sehinga
mengaktivasi proses fagositosis, yaitu proses “penelanan” dan perusakan virus
oleh sel fagosit (misalnya makrofag)
4. Mengaktivasi sistem komplemen, yang pada akhirnya akan mengopsonisasi dan
memfagositosis virus
b. Melalui Sitotoksik
Suatu molekul protein yang dinamakan MHC kelas I (class I major
histocompatibility complex). MHC kelas I ini bertugas mempresentasikan potongan
protein (peptide) hasil produksi virus di dalam sel ke permukaan sel. Salah satu jenis
sel limfosit T, yaitu sel T sitotoksik, mampu mengenali MHC pada sel yang telah
terinfeksi virus. Proses interaksi sel T dengan MHC ini akan memicu sel T
memproduksi senyawa yang akan membunuh sel yang terinfeksi virus tersebut.
c. Melalui Interferon
Selain dengan mekanisme sitotoksik, sel inang yang terinfeksi virus tersebut
akan memproduksi dan melepaskan molekul protein yang disebut Interferon.
Interferon menghambat replikasi virus di dalam sel inang. Selain itu, interferon juga
berperan sebagai molekul sinyal yang akan “memperingatkan” sel-sel sehat di sekitar
sel yang terinfeksi akan keberadaan virus. Sel-sel di sekitar sel yang terinfeksi ini
akan “bersiaga” dengan meningkatkan jumlah MHC kelas I pada permukaannya,
sehingga dapat diidentifikasi oleh sel T yang akan mentarget sel tersebut yang
terinfeksi virus.
Secara umum respon imun terbagi menjadi dua jenis berdasarkan mekanisme
pertahanan tubuh yaitu respon imun spesifik (menghancurkan senyawa asing yang sudah
dikenalnya) dan respon imun nonspesifik dimana lini pertama terhadap sel-sel atipikal (sel
asing, mutan yang cedera) mencakup peradangan, interferon, sel NK, dan sistem komplemen.
Respon sistem imun tubuh pasca rangsangan substansi asing (antigen) adalah munculnya sel
fungsional yang akan menyajikan antigen tersebut kepada limfosit untuk dieliminasi
(Suprobowati dan Kurniati, 2018).
a. Respon Imun non Spesifik terhadap Infeksi Virus
1. Makrofag
Adanya agen infeksi yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan
makrofag mengalami aktivasi. Aktivasi makrofag ini diikuti dengan meningkatnya
kemampuan morfologis, metabolisme, dan fungsional. Secara morfologis,
makrofag tampak lebih besar dengan pseudopodi bertambah panjang.
Metabolisme di dalam sel akan meningkat sehingga produksi enzym yang
dihasilkan seperti katepsin G, asam fosfatase, lisozim, beta glukoronidase,
esteroprotease, hidrolise, myeloperoksidase, dan arilsulfatase akan meningkat.
Meningkatnya kemampuan fungsional makrofag ditandai dengan meningkatnya
aktivitas makrofag, kapasitas fagosit makrofag, dan produksi interleukin (Janeway
dkk., 1999; Fernandes, dkk, 2000; Kusmardi dkk., 2007).
Fungsi utama makrofag dalam imunitas nonspesifik adalah memfagosit
partikel asing yang masuk tubuh seperti kuman, virus, parasit, dan sel tumor.
Fagositosis juga dilakukan terhadap sel atau jaringan sendiri yang mengalami
kerusakan atau mati. Antigen yang berada di dalam fagolisosom tersebut akan
didenaturasi atau didegradasi menjadi partikel peptida. Selanjutnya peptida ini
diikat oleh MHC dan dibawa ke permukaan sel untuk disajikan ke sel T. Selama
proses fagositosis dan penyajian antigen, makrofag mengeluarkan bahan biologik
yang dikenal dengan interleukin. Interleukin ini merupakan alat komunikasi antar
sel. Ada beberapa interleukin (IL) yang dikeluarkan oleh makrofag yaitu IL-1,
IL2, IL-4, IL-6, dan TNF. Pada dasarnya interleukin ini berperan penting dalam
proses peradangan dan pengaturan sistem imun. Aktivitas interleukin ini sangat
beragam mulai dari meningkatkan atau menghentikan pertumbuhan sel dan
meningkatkan kemotaksis sel (Flynn dkk., 1996; Abbas dkk., 2007; Muthmainah,
2004).
Aktivasi makrofag akan menyebabkan peningkatan aktivitas makrofag dan
lebih sensitif terhadap rangsangan. Peningkatan jumlah enzim di dalam makrofag
berhubungan dengan digesti intraseluler material yang difagosit, perkembangan
dan mempertahankan reaksi radang dan pembunuhan mikrobia (Rabson, 2005;
Tizard, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa aktivasi makrofag akan memacu
aktivitas mikrobisidal, meningkatkan kapasitas tumorisidal, mempercepat
pergerakannya, meningkatkan kemampuan produksi sejumlah bahanbahan yang
penting, dan memacu sel imunokompeten untuk menghasilkan antibodi.
Antigen yang disajikan oleh makropag sebagai antigen precenting cell
(APC) ke limfosit T merupakan tahap awal terjadinya respon imun. Di dalam
makrofag, antigen diproses dengan cara denaturasi atau proteolisis. Sementara itu
molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terdapat dalam lisosom
mengenali segmen antigen lalu dibawa ke permukaan sel dan disajikan kepada sel
T. Makrofag yang memiliki CD38 merupakan penghubung antara makrofag
dengan sel. Molekul MHC pada APC bertindak sebagai reseptor primer antigen
(Tizard, 2004; Bryniarski dkk., 2005).
Pada infeksi virus maka MHC I menangkap peptida yang dihasilkan oleh
virus di dalam retikulum endoplasma, lalu dibawa ke permukaan sel dan disajikan
ke sel T. MHC yang ada di dalam retikulum endoplasma tidak bisa leluasa
bergerak ke organel lainnya, jika rantai pendeknya tidak berikatan dengan peptida.
Setelah MHC menangkap peptida maka dibawa ke permukaan sel dan disajikan ke
sel T sitotoksik melalui reseptor (TCR). Proses selanjutnya sel T sitotoksik
mengeluarkan bahan toksik sehingga sel penyajinya akan terbunuh (Tobian dkk.,
2003).
Pada fagolisosom terjadi pemrosesan antigen yang meliputi proses
oksidasi, non oksidasi, dan degranulasi. Fragmen-fragmen antigen yang terbentuk,
akan diikat oleh molekul MHC II selanjutnya dibawa ke permukaan sel untuk
disajikan ke sel T. Sel T helper melalui reseptornya (TCR) akan mengenal antigen
yang disajikan oleh makrofag. Ligan antara kompleks antigen-MHC pada sel
penyaji dengan kompleks CD3-TCR pada sel T helper membangkitkan aktivitas
inositol pada membran sel T menjadi inositol trifosfat dan senyawa gliserol dalam
sitoplasma. Inositol trifosfat akan meningkatkan ion Ca++ dalam sitoplasma,
sedangkan diasilgliserol akan mengaktifkan enzim proteinkinase C. Keduanya
merupakan sinyal untuk mengaktifkan sel T. Namun kedua sinyal itu belum cukup
untuk mengaktifkan sel T, karena itu masih memerlukan sinyal ketiga yang
diawali oleh IL-1 yang dilepaskan oleh makrofag. Aktivasi sel T helper dapat
diamati dengan disekresikannya IL-2 yang berguna dalam proses diferensiasi dan
proliferasi sel B untuk menghasilkan antibodi (Noss dkk., 2001; Abbas dkk.,
2007).
2. Sel Natural Killer (NK)
Istilah NK berasal dari kemampuan sel tersebut membunuh berbagai sel
tanpa bantuan tambahan untuk aktivasinya. Sel NK tidak memiliki petanda sel B
atau sel T atau imunoglobulin permukaan. Sel NK memiliki banyak sitoplasma,
granul sitoplasma azurofilik, pseudopodia dan nukleus eksentris. Sel NK
merupakan sumber interferon γ (INF-γ) yang mengaktifkan makrofag dan
berfungsi dalam imunitas nonspesifik terhadap virus dan sel tumor. Sel NK
mengenal dan membunuh sel terinfeksi atau sel yang menunjukkaan transformasi
ganas, tetapi tidak membunuh sel sendiri yang normal oleh karena dapat
membedakan sel sendiri dari sel yang potensial berbahaya, akibat adanya reseptor
inhibitori dan reseptor aktivasi (Bottino dkk., 2005; Baratawidjaya, 2010)
Sel NK mengenal MHC-I yang diekspresikan semua sel sehat dan tidak
oleh sel terinfeksi virus dan kanker. Pengaruh reseptor inhibitori akan dominan
dan mengikat MHC-I yang normal diekspresikan pada sel sehat. Sel NK
membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus dan merupakan efektor
imunitas penting terhadap infeksi virus secara dini, sebelum respon imun spesifik
bekerja. Sel NK mengenal sel terinfeksi walaupun tidak mengekspresikan MHC-I.
Untuk membunuh virus sel NK tidak memerlukan bantuan molekul MHC- I. Sel
NK memiliki reseptor aktivasi dapat merupakan pembunuh poten sel terinfeksi
virus, jamur dan tumor dengan langsung, tanpa bantuan komplemen. Fenomena
ini disebut Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC) (Bottino dkk., 2005;
Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010).

3. Interferon γ (INF-γ)
Interferon γ diproduksi oleh berbagai sel imun, merupakan sitokin utama
Makrofag Activating Cytokain (MAC) dan berperan terutama dalam imunitas non
spesifik. Interferon γ adalah sitokin yang mengaktifkan makrofag untuk
membunuh virus. INF-γ merangsang ekspresi Major Histocompatibility Complex
(MHC-I) , MHC-II dan konstimulator APC. INF-γ meningkatkan diferensiasi sel
CD4+ naif kesubset sel Th1 dan mencegah proliferasi sel Th2. INF-γ bekerja
terhadap sel B dalam pengalihan subkelas IgG yang mengikat Fcγ-R pada fagosit
dan mengaktifkan komplemen. Efek protektif INF-γ terjadi melalui reseptor di
membran sel dan mengaktifkan gen yang menginduksi sel untuk memproduksi
protein anti virus yang mencegah translasi mRNA virus. INF-γ dapat
mengaktifkan fagosit, APC dan induksi pengalihan sel B, menginduksi tidak
langsung efek Th1 atas peran peningkatan produksi Il-12 dan ekspresi reseptor
(Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010).

4. Interleukin 6
IL-6 merupakan polipeptida yang dihasilkan oleh sel imun dan sel non
imun, berperan dalam mengendalikan respon imun dan respon inflamasi. IL–6
diproduksi oleh sejumlah sel seperti : monosit, makrofag, sel T dan sel B, leukosit
polimorfonuklear dan sel Mast. Selain itu, banyak sel nonimun mampu
memproduksi IL–6 seperti sel endotel dan epitel, keratinosit, fibroblas, adiposit,
sel otot polos vaskuler, osteoblas, sel stroma sumsum tulang, sinoviosit, kondrosit,
sel Leydig testis, sel stroma endometrium, dan trofoblas. Pada sistem saraf pusat,
IL–6 diekspresikan oleh astrosit, sel mikroglia, dan sel folikulostelata hipotalamus
(Dostatni dkk., 1996; Klipinen, 2003; Baratawidjaja, 2006).
Pada percobaan in vivo dan in vitro keikutsertaan IL–6 dalam aktivasi sel
T dan differensiasi sel B dapat diperlihatkan. IL–6 bersama IL–2 dapat
mengendalikan differensiasi sel T menjadi sel T sitotoksik. Aktivasi sel T
sitotoksik ini menghasilkan IL-4. IL-4 bersama dengan IL-6 merangsang
diferensiasi sel B menjadi sel plasma untuk menghasilkan imunoglobulin..
Disamping IL-6 berperan dalam diferensiasi sel B, IL-6 juga berperan sebagai
faktor hemopoetik yaitu merangsang proliferasi dan diferensiasi sel megakariosit
dan meningkatkan jumlah platelet (Dostatni dkk., 1996; Klipinen, 2003 ;
Baratawidjaja, 2010). IL–6 bekerja sebagai faktor diferensiasi sel B yang
bertanggung jawab dalam pematangan akhir sel B menjadi sel plasma dan
meningkatkan produksi IgM, Ig G dan Ig A. IL–6 merangsang proliferasi
Thymosit dan sel T perifer, serta mendukung aktivasi, proliferasi, dan diferensiasi
sel NK. (Dostatni dkk., 1996; Beckerman 2001, Baratawidjaja ,2010).

b. Respon Imun Spesifik terhadap Infeksi Virus


1. Limfosit T
Progenitor limfosit T berasal dari sumsum tulang yang bermigrasi ke
timus, berdiferensiasi menjadi sel T. Sel T yang non aktif disirkulasikan melalui
kelenjar getah bening (KGB) dan limfa yang dikonsentrasikan dalam folikel dan
zona marginal sekitar folikel. Sel T imatur dipersiapkan dalam timus untuk
memperoleh reseptor. Timosit imature hanya dapat menjadi matang bila
reseptornya tidak berintegrasi dengan peptida sel tubuh sendiri (self antigen) yang
diikat MHC dan dipresentasikan oleh APC. Sawar darah timus melindungi timosit
dari kontak dengan antigen sendiri. Sel T yang self reaktip akan mengalami
apoptosis. Proses ini disebut seleksi positip timosit yang menghasilkan sel T
cytotoxic (Tc) atau sel T helper (Th) (Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010).
Kemampuan limfosit T matang untuk mengenal benda asing, karena adanya T
Cell Receptor (TCR). TCR memiliki sifat diversitas, spesifisitas dan memori. Satu
sel limfosit hanya mengekspresikan reseptor untuk satu jenis antigen sehingga sel
tersebut hanya dapat mengenal satu jenis antigen saja. TCR ditemukan pada
semua sel T matang, dapat mengenal peptida antigen yang diikat Major
Histocompatibility Complek (MHC) dan dipresentasikan oleh Antigen Presenting
Cell (APC) (Hewitt,2003; Baratawidjaya, 2010).
Sel T umumnya berperan pada inflamasi, aktivasi fagositosis makrofag,
aktivasi dan proliferasi sel B dalam produksi antibodi. Sel T juga berperan dalam
pengenalan dan penghancuran sel yang terinfeksi virus. Sel T terdiri atas sel T
helper (Th) yang mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba dan sel T
cytotoxic (Tc) yang membunuh sel terinfeksi mikroba atau virus dan
menyingkirkan sumber infeksi. Sel T terdiri atas sel CD4+, CD8+, sel T naif dan
sel Natural Killer T (NKT) (Germain, 2002; Baratawidjaya, 2010).
Sel limfosit naif adalah sel limfosit matang yang meninggalkan timus dan
belum berdiferensiasi, belum pernah terpapar antigen dan menunjukkan molekul
permukaan CD45RA. Sel T helper disebut juga sel T inducer merupakan subset
sel T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen
yang ditangkap, diproses dan dipresentasikan makrofag dalam konteks MHC-II ke
sel CD4+. Selanjutnya sel CD4+ diaktifkan dan memproduksi IL-2 autokrin yang
merangsang sel CD4+ untuk berproliferasi menjadi subset sel Th1 dan Th2,
mensintesis sitokin yang mengaktifkan sel imun lain seperti CD8 +, sel B makrofag
dan sel NK (Germain, 2002; Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010).
Sel T CD8+ naif yang keluar dari timus disebut juga Cytolitic T (CTL) atau
Citotoxic T (Tc). CD8+ mengenal kompleks antigen MHC-I yang dipresentasikan
APC. Molekul MHC I ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus. Fungsi
utama sel CD8+ adalah menyingkirkan sel terinfeksi virus, menghancurkan sel
ganas dan sel histoin kompatibel yangmenimbulkan penolakan pada transplantasi.
Sel Tc menimbulkan sitolisismelalui perforin/granzim (apoptosis), TNF-α dan
memacu produksi sitokin Th1 dan Th2 (Hewitt, 2003; Baratawidjaya, 2010).

2. Limfosit B
Sel B diproduksi pertama selama fase embrionik dan berlangsung terus
selama hidup. Sebelum lahir yolk sac, hati dan sumsum tulang janin merupakan
tempat pematangan utama sel B dan setelah lahir pematangan sel B terjadi di
sumsum tulang. Pematangan sel B terjadi dalam berbagai tahap. Pada unggas, sel
B berkembang dalam bursa fabricius yang terbentuk dari epitel kloaka. Pada
manusia belum didapatkan hal yang analog dengan bursa tersebut dan pematangan
sel B terjadi di sumsum tulang atau ditempat yang belum diketahui. Setelah
matang sel B bergerak ke organ limpa, kelenjar getah bening dan tonsil
(Busslinger, 2004; Baratawidjaya, 2010).
Reseptor sel B yang mengikat antigen multivalen asing akan memacu
proses proliferasi, diferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi,
membentuk sel memori dan mempresentasikan antigen ke sel T. Proliferasi sel B
merupakan senter germinal kelenjar getah bening. Reseptor sel B mengawali
sinyal transduksi yang efeknya ditingkatkan oleh molekul konstimulator yang
kompleks. Perkembangan sel B dalam sumsum tulang adalah antigen independen,
tetapi perkembangan selanjutnya memerlukan rangsangan antigen. Sel B yang
diaktifkan berkembang menjadi limfoblas, selanjutnya menjadi sel plasma yang
memproduksi antibodi dan sel memori (Busslinger, 2004; Abbas dkk., 2007).

3. Interleukin 2 (IL-2)
Interleukin 2 adalah faktor pertumbuhan sel T yang dirangsang antigen dan
berperan pada ekspansi klon sel T setelah antigen dikenal. Ekspresi reseptor IL-2
ditingkatkan oleh rangsangan antigen, oleh karena itu sel T yang mengenal
antigen merupakan sel utama yang berproliferasi pada respons imun spesifik. IL-2
meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel T, sel B dan NK. IL-2 juga
mencegah respons imun terhadap antigen sendiri melalui peningkatan apoptosis
sel T (Baratawijaya, 2010).
Peningkatan IL-2 dalam tubuh akan meningkatkan produksi CD4+ , dengan
demikian IL-2 juga berfungsi sebagai imunomodulator yaitu pengaturan
menyeluruh sistem imun di dalam tubuh, baik dalam keadaan normal maupun
abnormal. Pemberian IL-2 telah terbukti dapat menekan pertumbuhan beberapa
tipe kanker. Treatmen penyakit HIV dengan menggunakan IL-2 jugasudah pernah
dilakukan walaupun hasilnya belum signifikan (Waldmann, 2006) .
IV. VAKSIN

Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif
terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh
organisme alami atau liar. Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah
dilemahkan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan dapat juga berupa organisme mati atau
hasil hasil pemurniannya. Vaksin diberikan untuk membantu system kekebalan tubuh untuk
melawan serangan patogen
Vaksin menghasilkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Vaksin merupakan
antigen yang mengandung bakteri, racun, atau pun virus penyebab penyakit yang “hidup”
atau pun yang sudah dimatikan. Vaksin digunakan untuk merangsang system kekebalan
tubuh manusia sehingga tubuh dapat merespon dengan meproduksi antibodi dalam tubuh.
Terdapat jenis vaksin yang bisa digunakan diantaranya yaitu :
a. Vaksin Mati
Mengandung virus atau bakteri yang sudah dihancurkan sehingga mati atau
tidak aktif. Proses ini membuat virus tetap utuh, tetapi tidak dapat berkembangbiak
dan menyebabkan penyakit dalam tubuh. Melainkan membuat tubuh menciptakan
reaksi kekebalan.
b. Vaksin Hidup
Mengandung virus yang dilemahkan di laboratorium. Virus atau bakteri yang
disuntikkan tidak akan menyebabkan sakit, tapi dapat berkembangbiak untuk
memunculkan respons sistem imun. Vaksin hidup ini mendatangkan kekebalan yang
lebih kuat dibandingkan dengan vaksin mati.
c. Vaksin Toksoid
Berguna untuk menghasilkan kekebalan tubuh guna menghalau dampak buruk
dari racun atau toksin yang dihasilkan oleh bakteri tertentu.
d. Vaksin Biosintetik
Vaksin ini memiliki kandungan antigen yang diproduksi secara khusus hingga
menyerupai struktur protein dari bagian tertentu pada virus atau bakteri untuk
menghasilkan kekebalan tubuh.
V. DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai S. 2007. Cellular and Molecular Immunology. 6th ed.
WB Saunders Company Saunders, Philadelphia.Pp : 19-351.
Baratawidjaja, K.G., Rengganis I. Imunologi Dasar ed. 9. Jakarta. BP.FKUI. 2010. hal: 27-
217.
Dostatni, R., Berthold, S., Biermann. 1996. Interleukin-6 in Intensive care Medicine.
Diagnostic Products Corporation. p: 1-15.
Fernandez, M.E.H. and Lopez, D.M. 2000. Isolation of macrophages from tissues, fluids, and
immune response sites. Macrophages. Apractical Approach. Edited By Paulnock DM.
Oxford University Press. Pp 1-4.
Janeway, C.A. Jr, Travers, P., Walport, M., Capra, J.D. 1999. Immunobiology. The Immune
System in Health and Disease. 4 th ed. USA. Garland Publishing. Pp. 79-263.
Kusmardi, Kumala, S., Triana, E.E. 2007. Efek immunomodulator ekstrak daun ketepeng cina
(Cassia alata L.) terhadap aktivitas fagositosis makrofag. Makara, Kesehatan, Vol. 11,
NO. 2. Pp 50-53.
Kuswiyanto. 2016. Buku Ajar Virologi Untuk Analis Kesehatan. Jakarta : Buku kedokteran
EGC
Muthmainah. 2004. Studi tentang aktivitas sekresi reactive oxygen intermediates (ROIs)
makrofag mencit yang distimuli dengan stimulant spesifik dan non spesifik selama
infeksi Toxoplasma gondii. Laboratorium Histologi. Fakultas Kedokteran. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta. Jurnal BioSMART Vol 6, No. 2. 2004 : 1-2.
Suprobowati, O. D. dan Kurniati, I. 2018. Bahan Ajar Teknik Laboratorium Medik (TLM) :
VIROLOGI. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Tizard. 2004. Veterinary Immunology. An Introduction. 7th ed. WB Saundres Company.
Philadelpia. Pp. : 26-84.

Anda mungkin juga menyukai