Anda di halaman 1dari 18

VIROLOGI

 Papovavirus Family (Papovaviridae ---- > Papillomaviridae & Polyomaviridae), the


International Committee on the Taxonomy of Viruses (ICTV)
 CUTANEOUS HPV or MUCOSAL HPV
 manusia merupakan satu-satunya inang bagi virus ini

Struktur

 Small ukuran sekitar 8000 bp, non enveloped


 Genome: ds circular DNA (Baltimore classification group I)replikasi dan perakitan di
nucleus.
 Genom HPV diselubungi oleh kapsid ikosahedral (T=7) dengan diameter 55nm, hanya mengkode 8
gen (8 ORFs), yaitu 6 gen pada Early gen (ER) dan 2 gen pada Late gen (LR).
 Genom virus ini secara fungsional terbagi menjadi 3 regio:
1. noncoding upstream regulatory region (URR),
2. regio awal (E1-E7) ,
3. regio akhir atau gen struktural (L1-L2).
Protein E1 dan E2 mengontrol replikasi dan transkripsi DNA.

Protein E6 memfasilitasi degradasi protein supressor gene p53.

HPV onkogenik berkaitan dengan produksi gene E6 dan E7.

VAP : L1 protein (menginisiasi replikasi dengan binding ke HEPARIN PROTEOGLYCAN & INTEGRIN
α6 and other receptors on the cell surface).

HPV termasuk dalam 5 dari 18 genus Papillomaviridae: alfa, beta, gamma, mu dan
nu. (5 genus yang berhubungan dengan infeksi pada manusia)
EPIDEMIOLOGI
 HPV – tersebar luas dalam masyarakat, penyebab infeki/tumor pada kulit, mukosa, dan
keganasan pada traktus genitalis (khususnya kanker serviks).
 CUTANEOUS WARTS
-common warts; 71% , banyak pada anak usia sekolah dgn prevalensi 4-20%
-plantar warts; 34% , pada remaja dan dewasa muda
-flat warts; 4% , predominan pada anak-anak.
 Kelompok beresiko tinggi cutaneous warts: penjagal, pengolah daging, dan pengolah ikan.
 HPV genital merupakan penyakit menular seksual (PMS) yang paling umum.

TRANSMISI
 Cutaneous warts; kontak erat dengan pasien dan adanya lesi minor pada tempat
inokulasi.
 Anogenital warts; hubungan seksual
 Pada anak-anak, genital warts dapat terjadi karena kontak tangan dengan lesi non-
genital
 Virus tahan terhadap panas sehingga untuk sterilisasi instrumen yang terkontaminasi
harus dengan autoklaf.

KLASIFIKASI
 Berdasarkan kemampuan HPV menginduksi keganasan, terdapat 3 kelompok
HPV, yaitu: LR-HPV, pHR-HPV, and HR-HPV
1. Resiko tinggi (tipe onkogenik) – tipe 16,18,31,33,35,39,45,51,52,56,58,59
2. Kemungkinan resiko tinggi – tipe 26,53,66,68,73,82
3. Resiko rendah (tipe non-onkogenik) – tipe 6,11,40,42,43,44,54,61,70,72,81
REPLIKASI VIRUS
 Siklus hidup HPV tidak jauh berbeda dengan virus dsDNA lainnya.
 Tahap awal siklus hidup HPV dimulai dengan terpaparnya virus pada sel pejamu. Paparan ini
terjadi karena adanya luka atau lesi pada lapisan epitel sel pejamu.
 Setelah terpapar dengan sel, virus kemudian akan melekat pada sel pejamu melalui reseptor yang
terdapat dipermukaan sel pada lapisan basal epitel. (HPV infection is limited to the basal cells
of stratified epithelium)
 Umumnya, HPV akan berikatan dengan reseptor primer Syndecan-1 (isotip Heparan Sulfat
Proteoglycans (HSPGs) yang dominan ada di permukaan sel epitel) lebih dulu, kemudian HPV
akan memodifikasi kapsidnya dan berikatan dengan reseptor sekunder yakni reseptor kelompok
alpha integrin. (# HPV virion associates with receptors such as laminins, and annexin A2)
 Ikatan yang terbentuk antara virus dengan reseptor yang spesifik dari sel pejamu akan
memberikan signal kepada sel pejamu untuk mengendositosis virus.
 Endositosis virus di awali dengan terbentuknya lekukan pada plasma membran di sekitar tempat
melekatnya virus. Lekukan ini kemudian membentuk vesikel yang melingkupi virus. Virus yang
telah diendositosis oleh sel, selanjutnya akan mengalami uncoating. Proses uncoating difasilitasi
oleh penghilangan ikatan intracapsomer sulfide sehingga kapsid terbuka. Proses ini berlangsung
dalam lingkungan sel host.
 Setelah mengalami uncoating DNA virus akan keluar dari vesikel dan mengikat mikrofilamen
melalui interaksi region L2 dengan protein motor kompleks dinein untuk membantu transportasi
dalam sitolasma dan inti sel. Genom HPV akan masuk ke dalam inti sel dan mengaktifkan
cascade ekspresi gen virus. Pertama virus akan mengekpresikan protein yang berperan sebagai
faktor replikasi yakni protein E1 dan E2.
 Protein E2 berikatan dengan viral origin of replication virus yang terdapat di DNA virus, ikatan
ini memberikan signal pada protein E1 helikase untuk memisahkan untai ganda DNA virus dan
membentuk kompleks replikasi.
 Kompleks replikasi ini akan memberikan signal untuk enzim polymerase dan protein asesori sel
pejamu untuk memulai proses replikasi DNA virus.
 Seiring degan proses diferensiasi sel epitel, aktivitas promoter akhir (late promoter) akan
meningkat. Promoter akhir pada virus HPV akan menginisiasi ekspresi dari dua gen yang
mengkode protein struktural (kapsid) virus, yaitu L1 dan L2. Selanjutnya, partikel DNA, bersama
dengan protein virus akan dirakit membentuk partikel infeksius pada bagian atas lapisan epitel.
 Protein L2 berperan membungkus genom virus, sedangkan protein L1 berperan membentuk
kapsid ikosahedral pada bagian luar virus. Kemudian, virus HPV akan mengalami eksositosis dan
keluar dari sel untuk menginfeksi sel lain yang belum terinfeksi (non-litik).

PATOGENESIS KANKER SERVIKS YANG DISEBABKAN INFEKSI HP


 Kanker Serviks; bentuk keganasan yang terjadi pada leher rahim (serviks) yang disebabkan oleh
adanya pertumbuhan yang abnormal dari jaringan epitel serviks.
 Epitel serviks memiliki tiga zona, zona pertama (ektoserviks) terdiri dari sel epitel pipih berlapis,
zona kedua (endoserviks) terdiri dari sel epitel kolumnar selapis, dan zona ketiga adalah zona
peralihan dari sel epitel pipih menjadi sel epitel kolumnar (transformation zone).
 Jaringan epitel serviks memiliki beberapa lapisan yakni lapisan basal (stratum basal), tengah (stratum
spinosum dan stratum granulosum), dan bagian suprabasal (stratum korneum).
 Pada tahap awal kanker serviks, ditemukan lesi abnormal sel-sel epitel serviks yang bersifat
noninvasif namun dapat berkembang menjadi kanker serviks diberi nama Cervical Intraepitelial
Neoplasia (CIN).
 Ada beberapa stadium CIN yaitu CIN tahap 1, CIN tahap II, dan CIN tahap III. Pada CIN tahap I, lesi
abnormal terjadi pada 1/3 bagian jaringan epitel. Tahap ini memerlukan waktu sekitar 3 tahun dari
sejak infeksi pertama terjadi.CIN tahap II lesi abnormal mencapai 2/3 jaringan epitel. CIN tahap III lesi
abnormal terjadi pada lebih dari 2/3 jaringan epitel bahkan hampir seluruh jaringan epitel mengalami
lesi abnormal (carcinoma in situ). CIN tahap III memerlukan waktu 3-6 tahun.
 Apabila tidak mendapat pengobatan, infeksi HPV dapat menjadi persisten selama 5-10 tahun dan
kemudian dapat berkembang menjadi kanker invasif (Gambar diatas).
 Sel epitel normal (warna sel biru) mengalami mikroabrasi atau luka sehingga partikel virus masuk
dan menginfeksi sel basal epitel. Infeksi HPV mulai menyebar ke sel-sel epitel seiring diferensiasi sel
epitel (sel epitel warna pink berinti ungu). Pada tahap selanjutnya HPV mengintegrasikan genomnya
ke sel host (sel warna jingga berinti merah) sehingga terjadi delesi pada gen E2 virus. Delesi gen E2
menyebabkan overekspresi E6 dan E7 yang berujung pada terbentuknya kanker serviks.
 HPV dapat menyebabkan infeksi pada sel-sel epitel serviks dikarenakan adanya abrasi atau luka pada
jaringan epitel. Abrasi ini menjadi titik masuk HPV ke dalam sel epitel bagian basal. Sel-sel epitel pada
bagian basal merupakan sel-sel epitel yang belum matang dan masih terus berproliferasi.
 Ekspresi gen HPV semakin lengkap seiring peningkatan maturasi dari sel pejamu. Saat menginfeksi sel
basal, HPV kurang reproduktif (replikasi virus terjadi lambat). Replikasi virus terjadi sangat lamban
namun konstan. Pada fase ini, belum muncul perubahan yang abnormal pada sel.
 Saat sel epitel pejamu matang dan tidak lagi berdiferensiasi, replikasi genom HPV meningkat dan gen
E6 dan E7 yang mengkode oncoprotein dan gen L1 dan L2 yang mengkode protein struktural mulai
diekspresi. Pada tahap ini mulai terjadi perubahan yang abnormal pada sel (immortal sel) dan
terbentuk virion baru dalam jumlah besar yang akan menginfeksi sel epitel lainnya yang masih
normal. Akan tetapi, perubahan yang terjadi masih dalam skala yang sangat kecil (CIN tahap I) dan
respon imun sebenarnya masih dapat mengeliminasi infeksi pada tahap ini. Namun bila terjadi
toleransi, infeksi HPV akan menjadi persisten (Gambar diatas).
 Infeksi HPV yang persisten akan menyebabkan lesi makin meluas dan makin invasif (CIN tahap II dan
CIN tahap III). Pada CIN tahap I, genom HPV belum terintegrasi secara sempurna pada sel pejamu
bahkan sebagian ada yang tidak terintegrasi dalam genom sel pejamu. Namun, pada CIN tingkat
tinggi, DNA HPV sudah terintegrasi sempurna ke dalam genom sel pejamu (Gambar diatas). Integrasi
ini menyebabkan terganggunya atau terhapusnya gen pengkode potein E2. Sebagai akibatnya, fungsi
protein E2 sebagai regulator transkripsi protein E6 dan E7 terganggu. Hal tersebut menyebabkan
peningkatan ekspresi protein E6 dan E7. 25 Kedua protein ini menghalangi regulasi siklus sel dengan
cara mengikat dan menginaktivasi dua protein suppressor tumor yaitu protein p53.
 Protein E6 yang terdiri atas 150 asam amino berikatan dengan protein seluler E6-associated protein
(E6-AP) membentuk kompleks enzim Ubiquitin Ligase. Kompleks enzim ini menyebabkan degradasi
dari p53.
 Degradasi dari p53 menyebabkan aktivitas normal dari p53 seperti memberhentikan siklus sel
setelah fase G1, apoptosis, dan perbaikan DNA tidak terjadi (Gambar dibawah). Selain itu, protein E6
juga berperan menginduksi protein c-myc untuk memicu aktivitas dari enzim telomerase. Akibatnya
sel akan menjadi immortal karena telomernya tidak mengalami pemendekan.
 Protein E7 terdiri atas 100 asam amino membentuk kompleks dengan protein RB yang hipofosforilasi
menyebabkan gangguan pada kompleks pRB dan faktor transkripsi seluler E2F-1. Akibatnya, faktor
trankripsi E2F-1 bebas dan terlepas dari untai DNA, sehingga terjadi transkripsi gen yang dibutuhkan
untuk masuk kedalam fase S dalam siklus sel dan menghalangi apoptosis dari sel pejamu (Gambar
dibawah). Sel pejamu menjadi immortal dan terus membelah tanpa terkontrol.
 Pada keadaan normal, perubahan pada sel akan memicu respon imun sehingga kelainan pada tahap
ini dapat di atasi dan sel-sel abnormal di apoptosis.
 Secara alamiah sel yang terinfeksi virus akan melepaskan interferon (IFN) tipe 1 seperti IFN-α dan
IFN-β. Interferon menghambat replikasi virus pada sel pejamu dan mengaktifkan Natural Killer (NK).
Akan tetapi HPV menghasilkan protein E6 dan E7 yang dapat menghambat regulasi transkripsi dari
faktor regulator interferon 3 untuk mengaktivasi interferon beta sehingga membatalkan respon awal
dari sistem imun bawaan terhadap infeksi virus. E7 juga mengikat faktor regulator interferon 1 untuk
mencegah aktivasi dari interferon alfa dan beta.
 Selain itu, protein E6 dan E7 juga menghambat translokasi makrofag ke titik yang terinfeksi virus
dengan cara menghambat regulasi Monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1), suatu senyawa
kemotaksis. Normalnya senyawa ini akan dilepaskan oleh sel keratin yang terinfeksi virus sehingga
makrofag akan bermigrasi ke sel yang terinfeksi.
 Lalu, makrofag akan teraktivasi bila berikatan dengan komponen virus, seperti materi genetik dari
virus maupun kapsidnya.
 Makrofag yang teraktivasi akan melepaskan sitokin inflamatori, kemokin atau interferon. Senyawa
yang dilepaskan makrofag akan memicu TNF-α maupun antibodi untuk membunuh HPV.
 Protein E5 dari HPV juga berperan dalam mendukung infeksi persisten HPV. Protein E5 menyebabkan
penurunan regulasi reseptor sel NK.
 Penurunan regulasi reseptor mengakibatkan sel NK tidak dapat menempel pada reseptornya
sehingga aktivitasnya dalam mengeliminasi sel kanker akan menurun. Penurunan aktivitas sel NK
menyebabkan beberapa sitokin yang dapat memicu respon imun adaptif tidak sekresi.
 Pada tahap lebih lanjut, respon imun yang terbentuk pada penderita kanker serviks justru makin
menguntungkan bagi virus untuk tetap ada dan berkembang. Hal ini dikarenakan, protein-protein
yang disintesis oleh virus HPV menghambat regulasi terbentuknya sistem imun adaptif melalui
penunrunan aktivitas APC (agen precenting cell).
 Salah satu APC yang sangat penting dalam respon imun adaptif adalah sel dendritik. Sel dendritik
berperan mengubah sel T naif menjadi sel T aktif. Kegagalan sel dendritik mempresentasikan antigen
HPV pada sel T naïf menyebabkan toleransi imun terhadap HPV.
 Sel dendritik yang dapat mempresentasikan antigen pada sel T adalah sel dendritik yang matur
(dewasa).
 Sel dendritik yang imatur (tidak memiliki reseptor B7) tidak dapat menstimulasi pengaktifan sel T.
Meskipun mampu mengaktifkan sel T melalui sekresi Il-10 dan TGF-β, yang terbentuk adalah sel T
regulator yang justru merepresi sistem imun.
 Proses replikasi dan pelepasan HPV dari sel penjamu juga tidak terjadi secara litik, sehingga tidak
memprovokasi pelepasan molekul anti-inflamasi. Infeksi HPV yang asimptomatik merupakan hal yang
normal pada wanita yang immunokompeten. Meskipun demikian, rata-rata infeksi oleh HPV dapat
dieliminasi dalam kurun waktu satu tahun. Oleh sebab itu, persisten dan progresi lesi dari sebagian
kecil pasien yang terinfeksi HPV tidak diketahui penyebabnya dengan pasti.
Peran Protein E6 dan E7 HPV Onkogenik
Mekanisme HPV dalam menyebabkan kanker serviks melibatkan serangkaian protein non-
struktural seperti protein E6 dan E7 yang mengakibatkan kegagalan mekanisme apoptosis serta
pembelahan sel yang tak terkendali yang berujung pada terbentuknya sel kanker.

MANIFESTASI KLINIS
DIAGNOSIS  Colposcopy: a procedure that allows
illuminated stereoscopic and
magnified viewing of the cervix.
 PCR-based methods: HPV DNA can be
amplified selectively by a series of
reactions that lead to an exponential
and reproducible increase in viral
sequences present in the biological
specimen.
 serological assays: ELISA or western
blot analysis
TATALAKSANA

Surgical and other procedures --- If medications don't work the following methods
can be use to remove warts
• Freezing with liquid nitrogen (cryotherapy)
• Burning with an electrical current (electrocautery)
• Surgical removal
• Laser surgery
PENCEGAHAN
KUTIL ANOGENITAL
I. Definisi
Infeksi menular seksual yang disebabkan oleh human papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan
pada kulit dan mukosa anogenital. Sebanyak 90% disebabkan HPV tipe 6 dan tipe 11, masa inkubasi 3
minggu sampai dengan 8 bulan, bahkan sampai dengan 18 bulan.
II. Kriteria Diagnostik
Klinis
1. Anamnesis:
 Benjolan di daerah genital yang tidak nyeri
 Adanya riwayat kontak seksual sebelumnya
2. Pemeriksaan klinis:
 Vegetasi atau papul soliter dapat juga multipel
 Terdapat empat morfologi:
o Akuminata
o Papul dengan permukaan menyerupai kubah
o Papul keratotik dengan permukaan kasar
o Papul datar
 Bentuk lain:
o Bowenoid papullosis yang merupakan varian lesi papula berbentuk kubah atau datar, berwarna hitam, dan
ditemukan tipe HPV risiko tinggi yaitu tipe 16.
o Giant condyloma atau Buscke-Lowenstein tumor yaitu lesi yang berukuran lebih besar, bersifat invasif dan
destruktif secara lokal, namun tidak bermetastasis, serta ditemukan HPV tipe 6 dan tipe 11.
 Lesi di perianal dapat ditemukan pada laki-laki dan perempuan tetapi lebih umum ditemukan pada laki-laki
yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL).
 Lesi di anus biasanya berkaitan dengan hubungan seks anogenital penetratif.

Diagnosis Banding
1. Pearly penile papules (laki-laki) dan vestibular papillae (perempuan)
2. Fordyce spot
3. Kondiloma lata
4. Keratosis seboroik
5. Nevus melanositik
6. Skin tag
7. Moluskum kontagiosum
8. Karsinoma sel skuamosa

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan ini hanya dilakukan bila lesi meragukan, atau tidak berespons dengan pengobatan.
2. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan ini untuk mengetahui tipe HPV, namun bukan untuk menegakkan diagnosis.
3. Tes asam asetat 5%
Tes ini dipakai untuk mendeteksi lesi yang meragukan/subklinis, tipe papul datar. Asam asetat 5% dibubuhkan
pada lesi yang dicurigai selama 5 menit. Hasil: lesi akan berubah warna menjadi putih (tes acetowhite positif).

III. Penatalaksanaan
Jenis terapi yang akan diberikan tergantung dari ukuran, jumlah, dan lokasi lesi. Selain itu juga ketersediaan
alat dan obat, keinginan pasien dan pengalaman dokter.

Obat pilihan:
Tinktura podofilin 25%
1. Harus diaplikasikan oleh dokter
2. Direkomendasikan untuk lesi dengan permukaan verukosa
3. Efikasi 19-79%, rekurensi 17-74%
4. Tidak boleh pada ibu hamil dan menyusui, serta lesi yang luas
5. Cara: lindungi kulit sekitar lesi dengan vaselin agar tidak terjadi iritasi, biarkan selama 4 jam, kemudian
cuci. Pengobatan dapat dilakukan seminggu dua kali, sampai lesi hilang.

Larutan asam trikloroasetat 80-90% (TCA)


1. Harus diaplikasikan oleh dokter
2. Direkomendasikan untuk lesi di genital eksterna, serviks dan di dalam anus
3. Efikasi 70-81%, rekurensi 36%
4. Dapat digunakan pada ibu hamil
5. Cara: larutan diaplikasikan pada lesi sampai berwarna putih, biarkan sampai kering sebelum pasien duduk
atau berdiri.
Catatan: ada kepustakaan yang menyatakan bila pasien mengeluh kesakitan dan pengolesan yang berlebihan
sehingga mengenai tepi lesi, maka dapat dicuci dengan air sabun, dapat juga menggunakan larutan natrium
bikarbonat. Pengobatan dapat diulang seminggu sekali sampai lesi hilang.

Podofilotoksin 0,5%
1. Dapat diaplikasi oleh pasien
2. Terapi diberikan 2 kali sehari selama 3 hari, selanjutnya istirahat 4 hari, diulang selama 4-5 sesi
3. Tidak boleh digunakan pada ibu hamil

Krioterapi
1. Harus diaplikasikan oleh dokter
2. Direkomendasikan untuk lesi di genital eksterna, vagina, serviks, meatus uretra, dan di dalam anus.
3. Efikasi 79-88%, rekurensi 24-40%
4. Cara: cairan nitrogen dapat diaplikasikan dengan semprotan, lidi kapas, atau cryoprobe (tidak boleh untuk
lesi di vagina). Cairan harus diaplikasikan sampai timbul halo yang berwarna putih, 2 mm di tepi lesi. Teknik
aplikasi dapat dengan single freeze atau double freezethaw. Freezing dapat selama 15-30 detik. Pengobatan
dapat diulang seminggu sekali sampai lesi hilang.

Bedah kauterisasi
1. Direkomendasikan untuk lesi di anogenital, terutama lesi berukuran besar
2. Efikasi 94%, rekurensi 23%

Laser CO2
1. Harus diaplikasikan oleh dokter
2. Direkomendasikan untuk lesi di anogenital, vagina dan serviks, terutama lesi berukuran besar.
3. Efikasi 67-100%, rekurensi 7-25%
4. Masker harus digunakan pada saat tindakan

Bedah eksisi
1. Diindikasikan untuk lesi yang sangat besar sehingga menimbulkan obstruksi atau tidak dapat dilakukan
terapi dengan cara lainnya
2. Efikasi 89-93%, rekurensi 18-19%

Catatan: Apabila 6x pengobatan dengan 1 metode aplikasi, tidak menunjukkan perbaikan, dapat diganti
dengan metode aplikasi lain.
Edukasi
1. Kunjungan ulang: dilakukan 3-7 hari setelah terapi dimulai
2. Konseling, kemungkinan risiko tertular HIV dan IMS lainnya
3. Penapisan HIV dan sifilis (RPR dan TPHA)
4. Pemeriksaan Pap smear disarankan setiap 3 tahun bagi perempuan usia ≥21 tahun
5. Pasangan seksual:
 Diinformasikan kemungkinan tertular walaupun tidak tampak lesi
 Pemeriksaan tipe HPV tidak direkomendasikan
 Dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya lesi dan IMS lainnya

Pencegahan:
1. Perubahan perilaku
 Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah
 Setia terhadap pasangan
 Penggunaan kondom
2. Vaksin:
 Kuadrivalen
 Bivalen

Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia
Veruka Vulgaris
+DD; neurofibromatosis

Anda mungkin juga menyukai