1 Petunjuk Praktikum Biofarmasetika Dan Farmakokinetik 2019-2020-Bikin 60
1 Petunjuk Praktikum Biofarmasetika Dan Farmakokinetik 2019-2020-Bikin 60
Tim Pengajar
1
Visi Program Studi S1 Farmasi
“Menjadi program studi sarjana farmasi islami, unggul, dan berdaya saing
yang berorientasi pada produk inovatif dan pelayanan kefarmasian”
2
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan
kenikmatan yang tiada bandingannya dan karena berkat limpahan rahmatNya maka
penyusun akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan buku petunjuk praktikum
biofarmasetika dan farmakokinetik. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah pada
Nabi kita Muhammad SAW yang menjadi teladan kita untuk mencapai kebahagiaan
dunia akhirat.
Buku petunjuk praktikum ini dipersiapkan dalam rangka membantu pengadaan
sarana pendidikan terutama dalam praktikum biofarmasetika dan farmakokinetik ini
secara garis besar bertujuan untuk melatih calon sarjana farmasi dalam mengabdikan
ilmu dan keahliannya di masyarakat.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa petunjuk praktikum ini masih banyak
kekurangannya dan jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik yang konstruktif sangat
penyusun butuhkan demi perbaikan buku petunjuk praktikum ini. Semoga buku petunjuk
ini dapat bermanfaat menuntun praktikan sebelum melakukan praktikum biofarmasetika
dan farmakokinetik.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
3
FORMAT LAPORAN SEMENTARA
DAN FORMAT LAPORAN RESMI
4
BAB I
SIMULASI INVITRO MODEL FARMAKOKINETIKA PEMBERIAN
INTRAVASKULER
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh
atau efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu
proses absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E).
Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi termasuk sebagai proses
eliminasi obat. Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara
pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan
untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan
atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh (Gunawan,
2009).
Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular.
Pada pemberian secara intravaskular, obat akan langsung berada di
sirkulasi sistemik tanpa mengalami absorpsi, sedangkan pada pemberian
secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorpsi (Zunilda,.dkk,
1995).
Praktikum ini dilakukan simulasi secara in vitro mengenai model
farmakokinetika secara intravaskular. Sebuah prosedur dilakukan in vitro (
bahasa Latin : dalam kaca) dilakukan tidak dalam hidup organisme tetapi
dalam lingkungan terkontrol, misalnya di dalam gelas beaker, tabung
reaksi atau cawan petri dengan meniru suatu perilaku dan nasib
obat dalam sistem biologik jika diberikan dengan suatu pemberin rute
utama dan bentuk dosis tertentu.
2. Dasar Teori
Model farmakokinetik merupakan model matematika yang
menggambarkan hubungan antara dosis dan konsentrasi obat dalam setiap
individu. Parameter dari model menggambarkan faktor-faktor yang
dipercaya penting dalam penentuan observasi dari konsentrasi atau efek
obat. Parameter tersebut antara lain terdiri dari beberapa parameter antara
5
lain parameter primer yang terdiri dari volume distribusi (Vd); klerens
(Cl); dan kecepatan absorbsi (Ka), parameter sekunder terdiri dari
kecepatan eliminasi (K); dan waktu paruh (T1/2), serta parameter-
parameter turunan. Model farmakokinetik tersebut mempunyai aplikasi
langsung untuk terapi obat berkenaan dengan menentukan aturan dosis
yang sesuai (Aiache, 1993).
Model kompartemen yang sering digunakan adalah model
kompartemen satu terbuka, model ini menganggap bahwa berbagai
perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang
sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi model ini tidak
menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah
sama dengan berbagai waktu. Disamping itu, obat didalam tubuh juga
tidak ditentukan secara langsung, tetapi dapat ditentukan konsentrasi
obatnya dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh (Shargel, 1988).
Volume distribusi (Vd) menunjukkan volume penyebaran
obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Vd tidak perlu
menunjukkan volume penyebaran obat yang sesungguhnya ataupun
volume secara anatomik, tetapi hanya volume imajinasi dimana tubuh
dianggap sebagai 1 kompartemen yang terdiri dari plasma atau serum, dan
Vd menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan kadarnya dalam
plasma atau serum (Setiawati, 2005).
Klirens suatu obat adalah suatu ukuran eliminasi obat
dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme prosesnya.
Umumnya jaringan tubuh atau organ dianggap sebagai suatu
kompartemen cairan dengan volume terbatas (volume distribusi) dimana
obat terlarut didalamnya (Shargel, 2005).
Area Under Curve (AUC) adalah permukaan di bawah kurva
(grafik) yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi
dari waktu. AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran
untuk bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat digunakan untuk
membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan
kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara
6
kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung
(Tjay dan Rahardja, 2002).
3. Tujuan Percobaan
a. Tujuan Umum : Memahami konsep farmakokinetika suatu obat
b. Tujuan Khusus :
- Mempelajari konsep farmakokinetika suatu obat dengan
menggunakan simulasi invitro
- Membedakan profil farmakokinetika suatu obat dengan dosis,
rute pemberian, klirens, dan volume distribusi yang berbeda
- Menerapkan analisis farmakokinetika dalam perhitungan
parameter farmakokinetika
B. BAHAN DAN ALAT YANG DIGUNAKAN
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah spektrofotometer, tabung
reaksi, gelas ukur 50 ml / 100\ ml, pipet tetes, gelas beker 500 ml / 1 L, spatula,
labu ukur 50 ml, 25 ml, 10 ml dan batang pengaduk. Bahan yang digunakan
adalah metilen merah dan air suling.
C. CARA KERJA
1. Macam Percobaan
Kelompok I : Kelompok II : Kelompok III : Kelompok IV :
Dosis 20 mg, Dosis 10 mg, Dosis 20 mg, Dosis 10 mg,
Klirens 200 ml/15 Klirens 100 ml/15 Klirens 200 ml/15 Klirens 100 ml/15
menit, Vd 0,5 L menit, Vd 0,5 L menit, Vd 1 L menit, Vd 1 L
7
Hasil
- diencerkan dengan air suling sampai didapat larutan dengan kadar
10,20,40,60,80 mg/ml
Hasil
- diamati serapan
- dibuat tabel hasil pengamatan
- dibuat kurva kadar larutan baku kerja terhadap serapan pada
kertas grafik berskala sama
- dihitung koefisien korelasi
- dibuat persamaan garis
Hasil
Gelas Beker
Hasil 8
- diambil sampel larutan metilen merah pada menit ke- 0, 15, 30,
45 sebesar nilai klirens dan segera digantikan volume yang
diambil tersebut dengan air suling
- diukur serapan sampel pada panjang gelombang maksimum yang
telah diperoleh, digunakan air suling sebagai blanko
- dihitung parameter farmakokinetika
9
BAB II
UJI PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS SEDIAAN TABLET
PARASETAMOL SECARA IN VITRO MENGGUNAKAN
UJI DISOLUSI
A. Tujuan
✓ Mahasiswa dapat melakukan uji disolusi sediaan obat sesuai dengan Farmakope
Indonesia ED IV
✓ Mahasiswa dapat membandingkan bioavailabilitas antara obat paten dan bukan
paten
B. Landasan Teori
Laju disolusi atau waktu yang diperlukan bagi obat untuk melarutkan dalam
cairan pada tempat absorpsi, merupakan tahap yang menentukan laju proses absorbsi. Uji
ini digunakan untuk obat-obat yang diberikan secara oral bentuk padat seperti tablet.
Akibatnya laju disolusi dapat mempengaruhi onset, intesitas, dan lama respons, serta
kontrol bioavailaibilitas obat tersebut keseluruhan dari bentuk sediaannya. Uji ini
digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam
masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket
dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul
gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi.
Disolusi merupakan salah satu kontrol kualitas yang dapat digunakan untuk
memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat sebagaipengganti uji
klinik untuk menilai bioekivalen (bioequivalence). Hubungan kecepatan disolusi in vitro
dan bioavailabilitasnya dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in vitro – in vivo corelation).
Kinetika uji disolusi in vitro memberiinformasi yang sangat penting untuk meramalkan
availabilitas obat dan efek terapeutiknya secara in vivo.
Komponen yang penting dalam melakukan perubahan disolusi adalah wadah,
pengadukan, suhu, dan medium. Kecepatan pengadukan mempunyai hubungan dengan
tetapan kecepatan disolusi, kenaikan suhu medium yang tinggi akan semakin banyak zat
aktif terlarut. Suhu harus konstan yang biasanya pada suhu tubuh (37oC). Medium
larutan hendaknya tidak jenuh obat, yang biasa dipakai adalah cairan lambung yang
diencerkan, HCl 0,1 N, dapar fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan
tergantung sifat-sifat lokasi obat akan larut. Ukuran dan bentuk wadah akan mempengaruhi
laju dan tingkat kelarutan, untuk mengamati pelarutan dari obat sangat tidak larut dalam air
10
menggunakan wadah berkapasitas besar. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam
air, laju pelarutannya seringkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu
merupakan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat, sedangkan obat
yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat.
Berdasarkan proses yang dialami sediaan tablet/kapsul maka salah satu yang
menentukan kecepatan zat aktif mencapai sirkulasi sistemik adalah kecepatan disolusi. Oleh
karena itu salah satu studi biofarmasetik suatu sediaan tablet/kapsul adalah dengan
melakukan uji disolusi. Disolusi (Kecepatan pelarutan) adalah suatu ukuran yang
menyatakan banyaknya zat terlarut dalam pelarut tertentu tiap satuan waktu. Hubungan yang
menggambarkan proses pelarutan suatu zat padat dikembangkan oleh Noyes and Whitney
dalam persamaan berikut:
11
produk obat tersebut disebut bioinekivalen. Istilah-istilah lain yang berhubungan dengan
bioekivalensi yaitu ekivalensi farmasetik, alternatif farmasetik, ekivalensi terapetik.
Alasan utama dilakukannya studi bioekivalensi karena produk obat yang dianggap
ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding pada penderita. Dalam
suatu studi bioekivalensi, satu formulasi obat dipilih sebagai standar pembanding dari
formulasi obat yang lain. Menurut Shargel suatu syarat pembanding hendaknya:
1. Mengandung obat aktif terapetik dalam formulasi yang paling banyak berada
pada sistemik (yakni larutan atau suspensi) dan dalam jumlah sama seperti
formulasi lain yang dibandingkan.
2. Pembanding hendaknya diberikan dengan rute sama seperti formulasi yang
dibandingkan kecuali kalau suatu rute lain atau rute tambahan diperlukan
untuk menjawab masalah farmakokinetik tertentu.
3. Merupakan produk yang diterima oleh profesi kesehatan dan mempunyai
sejarah penggunaan klinik yang panjang.
4. Biasanya merupakan produk inovator atau produk dari pabrik yang pertama
memproduksi obat tersebut.
Perbandingan dua produk atau formulasi atau bentuk sedian adalah secara in vitro
menggunakan disolusi terbanding. Perbandingan in vitro disolusi profil dapat menggunakan
faktor persamaan dan faktor perbedaan . Faktor Kesamaan f2 dihitung menggunakan rumus :
Keterangan :
f2 : Similarity factor ( Faktor persamaan ) toleransi = 50 – 100
f1 : Difference factor (Faktor perbedaan) toleransi
Rt : Dissolution value of the reference batch at time t ( % rata-rata zat terlarut dalam waktu t
untuk sedian pembanding ).
Tt : Dissolutin value of test batch at time t ( % rata-rata zat terlarut dalam waktu untuk
sedian uji ).
n : jumlah titik sampel
12
C. Alat dan Bahan
Alat : Dissolution tester, spektrofotometer UV, kuvet ,pipet volume, pro pipet, Labu takar,
gelas Beaker
Bahan : Tablet parasetamol generik 500 mg (bentuk kaplet), Panadol® tablet 500 mg,
dapar fosfat, akuades.
D. Cara Kerja
A. Pembuatan dapar fosfat pH 5,8 (Farmakope Indonesia Edisi IV)
1. Pembuatan kalium fosfat monobasa 0,2 M dengan melarutkan 27,22 g kalium
fosfat monobasa dalam air dan diencerkan hingga 1000 mL.
2. Ambil 50 mL kalium fosfat monobasa 0,2 M, masukan ke dalam labu takar 200
mL.
3. Tambahkan 3,6 mL natrium hidroksida 0,2 M sampai tanda.
4. Buat dapar fosfat ph 5,8 sebanyak 6 Liter.
B. Pembuatan kurva kaliberasi kadar parasetamol dalam dapar fosfat pH 5,8
1. Buat larutan induk parasetamol 1000 ppm sebanyak 50,0 mL dalam dapar fosfat
pH 5,8.
2. Buat larutan dengan seri kadar 2,4,6,8,10,12 ppm sebanyak 10,0 mL yang dibuat
dari pengenceran larutan induk.
3. Ukur absorbansi 6 larutan tersebut pada panjang gelombang maksimum 243 nm
dengan menggunakan dapar fosfat pH 5,8 sebagai blanko.
4. Tentukan persamaan kurva kaliberasi yang digunakan menggunakan regresi linear
( y = bx + a )
C. Uji disolusi tablet parasetamol
1. Masukkan masing-masing 900 mL dapar posfat ke dalam enam chamber disolusi
dan turunkan pengaduk Alat tipe 2 (dayung) sampai jarak antara dasar chamber
dengan batas bawah dayung 25 mm ± 2 mm.
2. Biarkan sampai suhu medium disolusi mencapai 37 ± 0,5 º C
3. Masukkan satu tablet ke dalam masing-masing chamber, dan hilangkan gelembung
udara dari permukaan sediaan jika ada, kemudian nyalakan rotor pengaduk dengan
kecepatan 50 putaran per menit (toleransi 4%)
4. Ambil larutan disolusi dari dalam chamber sebanyak 5 mL menggunakan pipet
volume pada menit ke 5, 10, 20 dan 30.
5. Setiap selesai pengambilan larutan disolusi, ditambahkan larutan dapar fosfat pH
5,8 yang baru sebanyak 5 mL ke dalam chamber.
13
6. Tentukan serapan larutan disolusi dengan hasil sampling pada waktu tertentu tadi
menggunakan alat spektrofotometer UV panjang gelombang maksimum 243 nm,
lakukan pengenceran jika diperlukan
7. Hitung nilai Q (%), DE, f2,dan f1
8. Analisis data.
D. Monografi sediaan tablet parasetamol untuk uji disolusi dalam farmakope edisi IV (hal
650)
Media disolusi : 900 mL larutan dapar posfat pH 5,8
Alat : tipe 2 kecepatan 50 rpm
Waktu : 30 menit
Prosedur :
Lakukan penetapan jumlah parasetamol yang terlarut dengan mengukur serapan filtrate
larutan uji, jika perlu diencerkan dengan Media disolusi dan serapan larutan baku
Parasetamol BPFI dalam media yang sama pada panjang gelombang serapan
maksimum lebih kurang 243 nm
Toleransi :
Dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80% (Q) parasetamol dari jumlah
yang tertera pada etiket
E. Pengamatan
Kurva kaliberasi parasetamol dalam dapar fosfat pH 5,8
14
BAB III
DIFUSI ASAM/ NA SALISILAT KEDALAM AGAR
A. Tujuan
Mengetahui dan mengamati proses difusi zat aktif sediaan secara semikuantitatif
B. Landasan Teori
Obat didalam tubuh mengalami proses absorbsi, sehingga obat akan diserap dan
terdistribusi secara merata. Proses absorbsi obat dalam membran dapat melalui proses
difusi, transfor aktif, pinositosis, fagositosis dan persorpsi. Proses ini dipengaruhi oleh
beberapa hal diantaranta sifat fisiko kimia senyawa obat, jenis dan basis yang digunakan,
serta fisiologis membran yang dilewati.
C. Alat dan Bahan
Alat :
✓ 1 bungkus agar-agar serbuk tidak berwarna
✓ Krim asam salisilat/Na-salisilat 2%
✓ Salep asam salisilat/Na-salisilat 2%
✓ FeCl3
Bahan
✓ Cawan petri
✓ Pipet tetes
✓ Kertas saring
✓ Penggaris
✓ Label
D. Cara Kerja
1. Siapkan 2 cawan petri yang telah berisi media agar yang telah didinginkan
2. Tambahkan larutan FeCl3 ke dalam masing-masing cawan petri, sampai
menutupi semua permukaan agar
3. Diamkan selama 3 menit, kemudia sisa larutan FeCl3 dituangkan dan keringkan
agar dengan menggunakan kertas saring
4. Buat 3 lobang pada masing-masing cawan petri
5. Letakkan sampel/sediaan uji dengan jumlah yang sama pada lobang dengan salep
asam salisilat pada 1 cawan petri
6. Perlakuan yang sama untuk krim asam salisilat dan Na-salisilat pada cawan petri
2
15
7. Simpan cawan petri didalam kulkas selama 30 menit, amati perubahan yang
terjadi. Kemudian biarkan pada suhu kamar dan amati perubahan yang terjadi
setelah 60 menit berikutnya dan 90 menit berikutnya.
8. Apakah ketajaman warna dan kedalaman warna pada agar berbanding lurus
dengan jumlah salisilat yang dilepas dari basisnya.
Tabel Pengamatan
Waktu Krim asam salisilat Salep asam salisilat
Diameter Intensitas warna Diameter Intensitas warna
30 menit
60 menit
90 menit
Foto hasil pengamatan
16
BAB IV
EFEK FARMAKOKINETIKA OBAT PADA HEWAN UJI
(ABSORPSI)
1. Capaian Pembelajaran :
a. Menguasai konsep teoritis farmasetika, farmakologi, farmakoterapi, farmasi
klinik, toksikologi, farmakoekonomi, farmakovigilance, DRP (Drug Related
Problems), Interaksi obat, EBM (Evidence-based Medicine), POR
(Pengobatan Obat Rasional), Undang-Undang kefarmasian, Kode etik profesi
farmasi
b. Menguasai konsep teoritis berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kefarmasian, riset, dan pengembangan diri
c. Mampu menerapkan IPTEK dalam melakukan riset, pengembangan diri
secara berkelanjutan di bidang kefarmasian, khususnya terkait farmasi
bahan alam
d. Mampu menunjukkan kinerja bermutu dan terukur
2. Tujuan Praktikum :
Setelah menyelesaikan praktek ini maka mahasiswa memiliki
kemampuan menguasai
a. Mahasiswa mampu menguasai perhitungan konversi dosis luminal manusia
ke mencit
b. Mahasiswa mampu menguasai onset dan durasi luminal pada mencit
c. Mahasiswa mampu menguasai onset dan durasi luminal melalui berbagai
rute pemberian obat
3. Dasar Teori
Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari efek tubuh terhadap obat
yang meliputi fase absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (Nugroho,
2014). Fase farmakokinetik meliputi waktu setelah obat dilepaskan dari
sediaan, selanjutnya diabsorpsi dan didistribusikan ke masing-masing jaringan
tubuh. Sediaan yang diberikan dalam bentuk ekstravaskular (per oral,
intramuskular, intraperitoneal, subkutan atau melalui rektum) obat akan
mengalami proses absorpsi, distribusi, metaolisme dan ekskresi (Hakim, 2017).
Pada fase ini terjadi ikatan antara obat dengan protein darah yang bersifat
17
reversible. Obat bebas atau obat yang tidak berikatan dengan protein yang akan
memberikan efek (Mutschler, 1991). Ikatan obat dengan reseptor memicu
reaksi kimia dalam sel sehingga muncul efek obat (Hakim, 2012).
Absorpsi adalah proses terjadinya perpindahan obat dari tempat
pemberian ke sirkulasi sistemik (Nugroho, 2012). Pada pemberian obat secara
ekstravaskular, obat harus terlepas dari bahan pembawa. Absorpsi terjadi
melalui beberapa mekanisme yaitu difusi aktif, transport konvektif, transpor
aktif, transpor fasilitas, transpor pasangan ion, dan pinositosis (Hakim, 2012).
Pada pemberian oral obat akan mengalami first-pass effect metabolism dan
selanjutnya mengalami distribusi (Nugroho, 2012).
Distribusi merupakan proses perpindahan obat dari sirkulasi sistemik
menuju cairan atau jaringan. Obat bebas (tidak terikat protein) dapat menembus
jaringan karena obat yang berikatan dengan protein mempunyai ukuran yang
lebih besar sehingga tidak bisa menembus membran jaringan (Nugroho, 2012).
Obat yang bersifat asam lemah terikat oleh albumin, obat basa lemah terikat
oleh glikoportein dan obat netral terikat oleh lipoprotein. Luas distribusi
tergantung pada sifat fisikokimiawi obat, rasio ikatan obat dengan protein baik
darah maupun jaringan, vaskularisasi dan kecepatan aliran darah di jaringan,
sifat kimiawi jaringan, dan keberadaan protein penolak di dalam jaringan
misalnya PgP (Hakim, 2012).
4. Pelaksanaan Praktikum
a. Alat dan bahan :
Alat : spuit 1cc, spuit sonde, kapas, kandang mencit, beaker gelas, gekas
ukur, timbangan, stopwatch
Bahan : alkohol 70%, mencit, luminal, Na CMC, aqua
b. Cara kerja : (Stevani, 2016)
1) Pembuatan Na CMC 1%
a) Panaskan 200 ml air hingga mendidih
b) Timbang Na CMC sebanyak 1 gram
c) Tambahkan 50 ml air panas pada Na CMC dan aduk hingga
homogen
d) Tambahkan air panas sedikit demi sedikit hingga volume 100 ml
18
2) Pembuatan larutan Luminal pada pemberian per oral
Dosis lazim Luminal untuk manusia : 30 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 gr : Dosis Lazim x Faktor Konversi
: 30 mg x 0,0026
: 0,078 mg
19
1. Pelaksanaan percobaan
a) Mencit dibagi menjadi 5 kelompok
kelompok 1 : kelompok perlakuan diberikan Luminal per oral
dengan dosis 0,078 mg/20 g BB
Kelompok 2 : kelompok perlakuan diberikan injeksi Luminal
intravena dengan dosis 0,078 mg/20 g BB
Kelompok 3 : kelompok perlakuan diberikan injeksi Luminal
secara intraperitoneal dengan dosis 0,078 mg/20 g BB
Kelompok 4 : kelompok perlakuan diberikan injeksi Luminal
secara subkutan dengan dosis 0,078 mg/20 g BB
Kelompok 5 : kelompok perlakuan diberikan injeksi Luminal
intramuskular dengan dosis 0,078 mg/20 g BB
b) Mencit ditimbang berat badan masing-masing
c) Mencit diamati waktu tidur (onset) dan lama mencit tidur (durasi)
yang dilihat dari reflek balik badan.
5. Latihan
1)Mahasiswa membuat larutan Luminal
2)Mahasiswa memberikan obat pada hewan uji
3)Mahasiswa melaporkan hasil pengamatan
Kelompok BB Volume Jam Reflek Balik Durasi
Mencit Pemberian Pemberian Badan
Hilang(pada
Kembali
(g) (ml)
Per oral jam)
IV
IP
IM
SC
20
BAB V
EFEK FARMAKOKINETIKA OBAT PADA HEWAN UJI
(METABOLISME)
1. Capaian Pembelajaran
a. Menguasai konsep teoritis farmasetika, farmakologi, farmakoterapi,
farmasi klinik, toksikologi, farmakoekonomi, farmakovigilance, DRP
(Drug Related Problems), Interaksi obat, EBM (Evidence-based
Medicine), POR (Pengobatan Obat Rasional), Undang-Undang
kefarmasian, Kode etik profesi farmasi
b. Menguasai konsep teoritis berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kefarmasian, riset, dan pengembangan diri
c. Mampu menerapkan IPTEK dalam melakukan riset, pengembangan diri
secara berkelanjutan di bidang kefarmasian, khususnya terkait farmasi
bahan alam
d. Mampu menunjukkan kinerja bermutu dan terukur
2. Tujuan Praktikum
a. Mahasiswa mengetahui cara menghitung konversi dosis manusia ke
mencit
b. Mahasiswa mengetahui onset dan durasi serta perbedaan pada kelompok
yang diberikan obat tunggal dan pada kelompok yang diberikan secara
kombinasi
c. Mahasiswa mengetahui apakah terjadi inhibisi atau induksi enzim pada
pemberian kombinasi obat
3. Dasar Teori
Metabolisme merpakan proses perubahan senyawa menjadi metabolit
yang terjadi dalam tubuh (Nugroho, 2012). metabolisme terjadi di seluruh
bagian tubuh kecuali di tulang atau jaringan lemak namun dalam jumlah
kecil. Kapasitas metabolisme terjadi paling banyak di hati karena organ ini
mempunyai jenis dan jumlah enzim yang lengkap dibandingkan organ lain
(Hakim, 2012).
Proses metabolisme melibatkan reaki biokimia fase 1 (oksidasi, reduksi,
hidroksilasi dan hidrolisis) dan dilanjutkan fase 2 (konjugasi sulfat, asetat,
glukuronat, glisin dan glutation). Enzim sitokrom P450 (CYP) merupakan
21
enzim oksidase yang banyak berperan dalam metabolisme obat. Enzim ini
mempunyai bentuk yang mirip namun yang paling berperan dalam
metabolisme obat adalah CYP3A (memetabolisme 50%-60% obat) disusul
CYP2D6, CYO2C, CYP1A2 (Hakim, 2012).
First pass-effect atau efek lintas pertama merupakan peristiwa yang
terjadi sebelum obat masuk ke sistem sirkulasi. Hal ini menyebabkan jumlah
obat yang masuk ke dalam tubuh lebih kecil dari dosis yang diberikan. FPE
merupakan gabungan peristiwa yang terjadi sebelum obat masuk sirkulasi
misalnya peristiwa pelepasan dan pelarutan obat dimana tidak semua obat
melarut sehingga tidak terabsorpsi. Obat yang sudah larut dapat juga
terpengaruh oleh adanya makanan atau obat lain sehingga mengurangi
jumlah obat ayng terabsorpsi. Kemudian obat yang terlarut juga mengallami
metabolisme baik di usus maupun hati sehingga mengurangi jumlah obat
utuh mencapai sirkulasi sistemik. Semua peristiwa pra-sistemik ini
mempengaruhi ketersediaan hayati obat (Hakim, 2012).
Pada umumnya jumlah obat akan berkurang setelah metabolisme
sehingga peningkatan kemampuan enzim memetabolisme obat akan
menyebabkan meningkatnya penurunan jumlah obat dan sebaliknya. Induksi
(peningkatan) dan inhibisi (penghambatan) enzim terjadi saat obat diberikan
secara bersamaan. Jika obat diberikan bersama dengan obat lain, maka dapat
mempengaruhi kerja enzim yang pada akhirnya akan mempengaruhi
kemampuan metabolisme, sehingga akan mempengaruhi kadar obat dalam
tubuh yang dapat dilihat melalui efek yang terjadi (Stevani, 2016).
4. Pelaksanaan Praktikum
a. Alat dan bahan
Alat : spuit 1cc, spuit sonde, kapas, kandang mencit, beaker gelas, gelas
ukur, timbangan, stopwatch
Bahan : alkohol 70%, mencit, luminal, Cimetidine, Na CMC, Diazepam,
Ciprofloxacin, aqua
b. Cara kerja : (Stevani, 2016)
1) Pembuatan larutan CMC Na 1%
a) Panaskan 200 ml air hingga mendidih
22
b) Timbang Na CMC sebanyak 1 gram
23
4) Pembuatan larutan Cimetidine untuk pemberian oral
Dosis lazim Cimetidine untuk manusia : 300 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 gr : Dosis Lazim x Faktor Konversi
: 300 mg x 0,0026
: 0,78 mg
24
5) Pembuatan Cimetidine 0,234%
Berat 1 tablet Cimetidine misalnya : 298 mg
Berat serbuk Cimetidine yang ditimbang : (234 mg/300 mg) x 298 mg
: 232,44mg
Atau
Karena dibutuhkan tablet Cimetidine
sebanyak 234 mg maka dibutuhkan kira2
1 tablet Cimetidine.
Timbang berat 1 tablet Cimetidine
Misal : berat 1 tablet Cimetidine 298 mg
Maka serbuk tablet Cimetidine yang : (234 mg/300 mg ) x 298 mg
dibutuhkan sebanyak
: 232,44 mg
25
7) Pembuatan Ciprofloksasin 0,39%
: 397,8 mg
Atau
Karena dibutuhkan tablet Ciprofloksasin
sebanyak 390 mg maka dibutuhkan kira2
1 tablet Ciprofloksasin.
Timbang berat 1 tablet Ciprofloksasin
: 397,8 mg
26
8) Pembuatan Diazepam untuk penggunaan oral
Dosis lazim Diazepam untuk manusia :5 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 gr : Dosis Lazim x Faktor Konversi
: 5 mg x 0,0026
: 0,013 mg
27
10) Pelaksanaan praktikum
a) Mencit dibagi menjadi 5 kelompok
Kelompok 1 : kelompok kontrol diberikan Na CMC 1%
Kelompok 2 : kelompok perlakuan diberikan Diazepam po dengan
dosis 0,013 mg/20 g BB
Kelompok 3 : kelompok perlakuan diberikan Luminal +
Diazepam po
Kelompok 4 : kelompok perlakuan diberikan Cimetidine +
Diazepam po
Kelompok 5 : kelompok perlakuan diberikan Ciprofloksasin +
Diazepam po
b) Mencit ditimbang berat badan masing-masing
c) Obat masing-masing diberikan dengan dosis 0,5ml/20g BB
d) Mencit diamati waktu tidur (onset) dan lama mencit tidur (durasi)
yang dilihat dari reflek balik badan.
5. Latihan
1) Mahasiswa membuat larutan uji
2) Mahasiswa memberikan obat ke hewan uji
3) Mahasiswa melaporkan hasil pengamatan
28
Kelompok BB Volume Jam Reflek Balik Durasi
Mencit Pemberia Pemberia Hilang Badan
Kembali
Na CMC 1% (g) n n (pada
29
BAB VI
ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penentuan ketersediaan hayati kebanyakan hanya untuk bentuk sediaan seperti
kablet dan kapsul yang digunakan peroral untuk memperoleh efek sistemik. Hal ini
bukan berarti ketersediaan hayati tidak ada dalam bentuk sediaan obat yang lain
selain bentuk padat atau penggunaan bentuk obat melalui rute lain selain melalui
mulut (Anief, 1995).
Parameter farmakokinetika obat dapat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran
kadar obat utuh dan / atau metabolitnya di dalam cairan hayati (darah, urin, saliva
atau cairan tubuhlainnya). Oleh karena itu agar nilai-nilai parameter kinetik obat
dapat dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi berbagai kriteria
yaitu meliputi perolehan kembali (recovery), presisi dan akurasi. Persyaratan yang
dituntut bagi suatu metode analisa adalahjika metode tersebut dapat memberikan nilai
perolehan kembali yang tinggi (75-90% atau lebih), kesalahan acak dan sistematik
kurang dari 10% (Pasha dkk, 1986).
Penilaian ketersediaan hayati dapat dilakukan dengan metode
menggunakan data darah, data urin, dan data farmakologis atau klinis, namun
lazimnya dipergunakan data darah atau data urin untuk menilai ketersediaan hayati
sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiatnya telah diketahui cara dan
validitasinya. Jika cara dan validitas belum diketahui,dapat digunakan data
farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul dapat diukursecara
kuantitatif (Syukri, 2002).
2. Dasar Teori
Dalam sebuah analisis obat dalam cairan hayati, ada hal-hal penting dalam
farmakokinetika yang digunakan sebagai parameter-parameter antara lain yaitu
(Syukri, 2002) :
a. Tetapan (laju) invasi (tetapan absorpsi).
b. Volume distribusi menghubungkan jumlah obat di dalam tubuh dengan
konsentrasi obat (c) di dalam darah atau plasma.
30
c. Ikatan protein
d. Laju eliminasi dan waktu paruh (t½)
e. Bersihan (clearance) renal, ekstra renal, dan total
f. Luas daerah di bawah kurva (AUC)
g. Ketersediaan hayati
Validasi metode analisis diperlukan karena setiap bahan baku yang akan
digunakan atau obat jadi harus diperiksa sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan
yang meliputi pemeriksaan fisika dan kimia. Untuk melihat apakah prosedur dan alat
yang digunakan tersebut memadai atau mengetahui apakah personil yang
mengerjakan sudah cukup terlatih, maka perlu dilakukan validasi tersebut. Parameter
yang diujikan dalam validasi ini adalah :
1. Perolehan Kembali
Perolehan kembali (recovery) adalah suatu tolak ukur efisiensi analisis dan dapat
bernilai positive dan negative. Dirumuskan sebagai berikut :
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑘𝑢𝑟
Perolehan kembali = 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑖x 100%
Persyaratan yang dituntut bagi suatu metode analisa adalah jika metode tersebut
dapat memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi (75 – 90%) atau lebih.
2. Presisi
Presisi adalah kedekatan beberapa nilai pengukuran seri sampel yang homogen
pada kondisi normal (sampel yang sama dan diuji secara berurutan), dan
penentuan presisi ini pada umumnya mencakup pemeriksaan:
a. Repeatibility yang dinyatakan sebagai hasil presisi dibawah perlakuan yang
sama (analisa dan alat yang sama) dalam interval waktu pemeriksaan yang
singkat.
b. Intermediate precision yang dilakukan dengan cara mengulang pemeriksaan
tersebut dengan menggunakan alat yang berbeda, hari yang berbeda,analis yang
berbeda dan sebagainya.
Reproducibility yang dinyatakan sebagai presisi yang diperoleh dari hasil
pengukuran pada laboratorium yang berbeda. Kesalahan acak (random analytical
error) merupakan tolak ukur imprecision suatu analisis, dan dapat bersifat positive
31
/negative. Kesalah acak identik dengan variabilitas pengukuran dan dicerminkan
oleh tetapan variasi. Rumus dari kesalahan acak adalah :
𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢
Kesalahan acak = ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 x 100%
(USP,1995).
3. Akurasi
Akurasi adalah kesesuaian hasil uji yang didapat dari metode tersebut dengan
nilai yang sebenarnya, dengan kata lain akurasi ukuran ketepatan dari hasil suatu
metode analitik. Akurasi sering dinyatakan sebagai persen perolehan kembali
(recovery) dari suatu pengujian terhadap penambahan sejumlah analit dengan
jumlah yang diketahui, syarat dari perolehan kembali adalah 95 %-105 %.
Kesalahan sistematik merupakan tolak ukur inakurasi penetapan kadar. Kesalahan
ini dapat berupa kesalahan konstan atau proposional. Rumus dari kesalahan
sistematik adalah (USP,1995) :
Kesalahan sistematik = 100 – P%
Persyaratan yang dituntut bagi suatu metode analisa adalah jika metode tersebut
kesalahan acak kurang dari 10%.
4. Selektivitas
Selektivitas adalah kemampuan metode untuk mengukur dengan tepat dan
spesifik suatu analit tertentu disamping komponen-komponen lain yang terdapat
dalam sampel. Selektivitas dilakukan untuk memastikan bahwa hanya senyawa
yang diperiksa yang dapat diseleksi tanpa adanya gangguan dari senyawa lain
(USP,1995).
3. Tujuan Percobaan
Memahami langkah-langkah analisis obat dalam cairan hayati.
32
B. BAHAN DAN ALAT YANG DIGUNAKAN
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah labu takar, pipet volumetrik,
pipet ukur, tabung reaksi/flakon, spektrofotometer, kuvet spektrofotometer, skaple/silet,
sentrifuge, pipa kapiler, dan stopwatch. Bahan yang digunakan adalah asam trikloroasetat
(TCA 5%), sulfadiazin, heparin (anti koagulan), natrium nitrit 0,1%, N-EDTA 0,1%, dan
darah (tikus).
C. CARA KERJA
I. Penentuan kadar Sulfadiazin
A. Prosedur penetapan kadar Bratton-Marshal
1. Pembuatan larutan stok Sulfadiazin
Sulfadiazin
- ditimbang sesuai perhitungann (dibuat larutan dengan konsentrasi 100
µg/ml)
- dilarutkan dengan NaOH 1N
- diencerkan dengan aquadest ad 100 ml, lakukan pengenceran sehingga
diperoleh kadar 5 µg/ml, 10 µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml, dan 75 µg/ml
Larutan
stok
2. Pemprosesan sampel darah
Darah
- diambil sebanyak 250 µl
- ditambahkan heparin sebanyak 3-5 tetes
- ditambahkan sbanyak 250 µl larutan obat dengan konsentrasi 10 µg/ml,
25 µg/ml, 50 µg/ml
- ditambahkan 2 ml TCA 5% dengan vortexing 2 menit
- dihomogenkan dengan sentrifus 3500 rpm selama 15 menit
- diambil 1,5 ml beningan dan diencerkan dengan aquadest sebanyak 2
ml
- ditambahkan larutan NaNO2 0,1% sebanyak 0,1ml dan didiamkan
selama 3 menit
- ditambahkan larutan N.EDTA 0,1% sebanyak 0,2 ml
- didiamkan selama 5 menit dalam keadaan gelap
- dibaca intensitas warna pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang 546 nm
Hasil
33
B. Membuat kurva baku sulfadiazin
34
BAB VII
DISTRIBUSI DAN EKRESI TETES MATA KLORAMFENIKOL
A. Tujuan
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami distribusi dan ekresi obat yang diberikan /dipakai
secara topikal (tetes mata)
B. Landasan Teori
Obat didalam tubuh mengalami proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi.
Obat setelah diserap akan dieliminasikan dan dieksresikan melalui urin, saliva kulit dan lain
sebagainya.
Obat yang diberikan secara topikal pada mata, misalnya tetes mata, tidak hanya bekerja
pada mata tetapi sebagiannya diabsorbsi melalui pembuluh darah dan didistribusikan secara
sistemik. Senyawa obat akan dikurangi dalam tubuh melalui proses eksresi.
C. Alat dan Bahan
Alat
✓ Tetes mata kloramfenikol 5%
✓ Ethanol 95%
✓ KCl
✓ Aquadest
✓ Na Asetat Anhidrat
✓ Serbuk Zn
✓ Benzoil klorida
✓ FeCl3
✓ HCl 0,1 N
Bahan
✓ Pipet tetes
✓ Test tube
✓ Pot salep
D. Cara Kerja
1. Tiap kelompok memilih 2 orang sukarelawan untuk percobaa
2. Pada hari praktikum sukarelawan diberi 2 tetes obat tetes mata kloramfenikol
35
3. Sebelum ditetesi obat mata,tampung urin dan saliva untuk dijadikan kontrol
4. Sampel saliva dikumpulkan setiap 2 menit selama 20 menit. Sampel urin dikumpulkan
pada menit ke-5, 30, 60, 90 dan 120 setelah minum obat
5. Lakukan analisa urin dan saliva sebagai berikut (FIIV) :
✓ Larutkan saliva dan urin dalam 1 ml etanol 95%
✓ Tambahkan 50 mg serbuk Zn
✓ Panaskan diatas penangas air selama 10 menit
✓ Endapkan dan tuangkan
✓ Tambahkan 10 mg Na Asetat anhidrat dan dan 2 tetes benzol klorida. Kocok
selama 10 menit
✓ Tambahkan 0,5 ml larutan FeCl3, jika perlu tambahkan HCl encer secukupnya
hingga larutan jernih
✓ Amati perubahan warna yang terjadi yaitu warna violet sampai ungu
E. Pengamatan
Saliva Urin
Kontrol Kontrol
2 5
4 30
6 60
8 90
10 120
12
14
16
18
20
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Bocher. F., Cruthers, G. J., and Steiner, J., “Handbook of Clinical Pharmacology”,1stedition,
Little Brown and Company. 1978. P. 22–25.2.
2. Curry, S. H., “Drug Disposition and Pharmacokoneticks”. 2nd ed., BalckwellScientific
Publication, Oxford. 1977. P. 1971, P. 8–17.3.
3. Gi baldi, M., “Introduction to Biopharmaceutics”. Lea and Febriger. Philadelphia,1971. P.
15–27.4.------------- “Biopharmaceutics and Clinical Pharmacokinetics”, 2nd, ed.,
4. Lea and Febiger, Philadelphia, 1977. P. 15–27.5.Hepler, O. E. “Manual of Clinical
Laboratory Methods”. 4th edition,
5. Charles C. Thomas Publisher, Springfield, USA, 1960. P. 322–325.6. Krisharwarny, K.,
“Drug Metabolisme in Adults”, National Institute of Nutrition,Indian Council of Medical
Research, Hyderbad, p. 500–507.7.
6. Ritscel, W.A., “Handbook of Basic Pharmacokinetics”. 1st edition, DrugIntelegence
Publications, Inc, Hamilton, 1976., P. 281–304.8.
7. Ritscel, W. A., “Laboratory Manual of Biopharmaceutics andPharmacokinetics”, Drug
Intelegence Publication. Inc. 1974, P. 43–53
37