Anda di halaman 1dari 16

BUKU JAWABAN TUGAS TUTORIAL ONLINE

TUGAS 3

NAMA : JOAO ROBIN MARQUES

NIM : 022822751

Kode / Nama Matkul : IPEM4425 / HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH

Kode / Nama UPBJJ : 79 / Kupang

Soal :

Buatlah tulisan singkat (essay) mengenai hubungan pusat dan daerah dalam bidang pelayanan publik. Essay
tersebut harus mengandung analisis tentang dimensi pelayanan publik yang berkualitas dan
penyelenggaraan pelayanan publik di Indoensia saat ini dan kondisi ideal yang harus diwujudkan.

Ketentuan tulisan :

• Font Times New Roman 12,


• Spasi 1
• Margin 3-3-3-3
• Jumlah halaman: 3 halaman (tidak menggunakan cover)
• Sistematika: pendahuluan, pembahasan (dikaitkan juga dengan tinjauan teoretik), kesimpulan, dan referensi.
• Tulisan harus orsinil (TIDAK BOLEH COPY PASTE!!!)
• Dikumpulkan dengan cara diunggah tepat waktu.

Aspek yang dinilai meliputi:

• Originalitas (30%)
• Relevansi Konsep/Teori (25%)
• Ketajaman analisis (25%)
• Kesesuaian Referensi (10%)
• Kesesuaian sistematika (10%)

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah selalu menjadi sorotan menarik untuk
ditelaah. Setelah berdirinya Republik Indonesia dan dibentuknya pemerintahan pusat dan
daerah, tak selalu hubungan yang terjalin penuh keharmonisan. Ada kalanya terjadi beberapa
“perselisihan”. Baik sejak zaman orde lama, orde baru, bahkan pada era reformasi ini.
Pada dasarnya, guna mencapai tujuan Negara yaitu kemakmuran rakyat, perlu adanya
hubungan harmonis dari berbagai pihak. Termasuk pemerintah pusat dan daerah. Dengan
adanya hubungan yang harmonis, diharapkan terjalin kinerja yang sinergis sehingga pelayanan
negara terhadap rakyat dapat diwujudkan. Perbincangan tentang hubungan pemerintahan
antara pusat dan daerah senantiasa selalu menjadi perdebatan panjang dinegara manapun
didunia ini, baik pada negara-negara yang telah maju seperti Amerika Serikat dan Inggeris
apalagi bagi negara yang baru berkembang dan sedang berusaha mencari bentuk dan
bereksprimen tentang bentuk hubungan yang serasi antara pemerintah daerah dan pemerintah
pusat seperti Republik Indonesia ini.
Oleh karena itu, kelompok kami mengambil judul Model Hubungan Pemerintah Pusat dan
Daerah untuk mengetahui bagaimana hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah sekarang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Makna Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh Gubernur dan
Hubungan Antar Level Pemerintahan dalam Era Otonomi Daerah ?
2. Bagaimana Hubungan Koordinatof dalam Model Hubungan Pusat dam Daerah?
3. Bagaimana Hubungan Inklusif dalam Model Hubungan Pusat dam Daerah?
4. Bagaimana Hubungan Tumpang Tindih dalam Model Hubungan Pusat dam Daerah?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Makna Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh Gubernur dan Hubungan
Antar Level Pemerintahan dalam Era Otonomi Daerah

Fungsi pengawasan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam rangkaian kegiatan
manajemen termasuk manajemen pemerintahan. Fungsi pengawasan melibatkan paling tidak
adanya dua pihak yakni pihak yang mengawasi dan pihak yang diawasi. Pembahasan dibatasi pada
aspek teoritis dikaitkan dengan hubungan antar level pemerintahan dalam era otonomi daerah.

Pengawasan didefinisikan sebagai proses :

1. Memonitor berbagai kegiatan untuk menjamin agar kegiatan tersebut dapat dicapai sesuai
dengan rencana.

2. Melakukan koreksi terhadap penyimpangan yang signifikan.

Sebagai suatu proses pengawasan dilakukan secara berkelanjutan, melalui tahapan-tahapan


yang relative baku atau secara sistematis, dan diutamakan sebagai langkah pencegahan sebelum
suatu penyimpangan terjadi.

Pengawasan diawali dengan adanya rencana yang dilengkapi dengan standar yang telah
ditentukan untuk menentukan berhasil, gagal, atau sekedar adanya penyimpangan pencapaian
rencana yang dimaksud. Dengan demikian jelas bahwa kegiatan pengawasan tidak sekedar
observatif melainkan lebih bersifat korektif.

Kegiatan pengawasan lebih bersifat korektif yaitu untuk meluruskan pelaksaan kegiatan
agar dapat mencapai sasaran yang dikehendaki dan sesuai dengan ukuran yang diharapkan bukan
untuk mencari-cari kesalahan. Pengawasan akan lebih bersifat ideal apabila bersifat preventif dan
atisipatif dalam arti bahwa pengawasan dilakukan sebagai tindakan pencegahan agar
penyimpangan atau kekurangan yang mungkin terjadi dapat dihindari.

Ada dua unsur penting dalam fungsi pengawasan yaitu adanya kegiatan mempengaruhi
yang mempengaruhi pihak yang dipemgaruhinya, dan adanya tujuan dalam pengertian bahwa
kegiatan mempengaruhi pihak lain itu dilakukan dengan maksud untuk mengerahkannya pada
sasarn yang dikehendaki oleh pihak yang mempengaruhi.
3
Sesuai dengan tema yang dibahas yaitu pendekatan “pengawasan birokratik” yang
memberikan penekanan pada otoritas organisasi yang berpijak pada mekanisme administrative dan
hirarki.

Proses pengawasan meliputi tiga tahapan utama, yakni pertama, penentuan standar kinerja;
kedua, pengukuran kinerja nyata dan membandingkannya dengan standar kinerja; dan yang
terakhir melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk mengoreksi penyimpangan
ataupun kekurangan yang dijumpai untuk disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan.

Telah disinggung sebelumnya, pengawasan akan lebih ideal apabila bersifat preventif dan
antisipatif. Untuk dapat melakukan pengawasan seperti itu diperlukan “carly warning system”
yang biasanya sukar untuk didesain. Oleh karena itu, pengawas cenderung lebih memanfaatkan
dua cara pengawasan lainnya, yakni dengan cara pengawasan terhadap kegiatan yang sedang
dilakukan, yang lebih dikenal dengan istilah supervise atau dengan dengan cara pengawasan
terhadap kegiatan yang dilakukan setelah terjadinya penyimpangan.

Hal penting lainnya, perlu ditetapkan hal-hal yang menjadi pusat perhatian atau obyek
dalam pengawasan yang masing-masing obyek pengawasan itu telah ditetapkan terlebih dahulu
antar keberhasilan yang dikehendaki. Selain itu perlu pula ditetapkan pada level mana pengawasan
itu dilakukan.

Hal lainnya yang tidak boleh dilupakan, bahwa kegiatan pengawasan memerlukan
persyaratan tertentu agar dapat dilaksanakan secara efektif, antara lain berupa objektivitas,
kecermatan dan keluwesan, dan kepekaan dalam arti kemampuan memberikan perhatian lebih
untuk situasi yang memang memerlukan kekhususan.

MODEL HUBUNGAN KEWENANGAN DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN

Hal pertama yang perlu dikemukakan adalah bahwa daerah otonom seberapapun luas
otonominya harus tetap di bahas dalam konteks negara kesatuan. Daerah otonom bukanlah
negara bagian dan karenanya tidak semestinya memiliki kewenangan semestinya negara
bagian. Dari sisi lain apabila daerah otonom dipandang sebagai sub sistem dari pemerintahan
(nasional), tentunya kita tidak akan sependapat bahwa seluas apapun kewenangan yang oleh
Undang-undang ditentukan sebagai kewenangan daerah otonom, penyelenggaraan berbagai
kewenangan itu perlu selalu ditempatkan dalam konteks ikatan negara kesatuan. Weight (1988)
menyebutkan bahwa ada tiga model hubungan kewenangan antar Pemerintah Nasional

4
(PN),Pemeintah Regional (PR),dan Pemerintah Lokal (PL) yakni :1) Hubungan koordinat
(coordinat authority).2)Hubungan Koordinat (inclusive authority),dan 3)Hubungan Timpang
Tindih (overlapping authority).

Hubungan otoritas-koordinat ditandai dengan pemisahan yang tajam antara kewenangan


Pemerintah Nasional (PN) dan Pemerintah Regional (PR). Dengan demikian hubungan PN dn
PR sifatnya independen dan otonom. Pemerintah Lokal merupakan bentukan Pemerintah
Regional (PR) dan oleh karenanya PR memiliki kewenangan untuk menghapuskan Pemerintah
Lokal. Selain itu kewenangan Pemerintah Lokal terbatas.

2.2 HUBUNGAN KOORDINAT ( COORDINATE – AUTHORITY MODEL )

REGIONAL NATIONAL
GOVERNMENT GOVERNMENT

LOCAL GOVERMENT

Hubungan otoritas-inklusif dapat digambarkan sebagai hubungan tiga buah lingkaran


dengan ukuran besar (PN) yang didalamnya terdapat lingkaran dengan ukuran sedang
(PR),sedangkan didalam lingkaran sedang tersebut terdapat lingkaran kecil (PL).Sebab itulah
hubungan otoritas antara PN,PR,dan PL bersifat independen dan hirarkis.Dengan tata hubungan
yang digambarkan,perubahan kewenangan PN dapat dilakukan dengan dua cara:dengan cara
keluar,yakni dengan memperluas lingkaran PN tanpa mengurangi kewenangan PR ataupun PL
atau dengan cara kedalam dengan konsekuensi mempersempit area kewenangan PR dan/atau
PL.Karena Hubungan kewenanganya ditandai dengan adanya ketergantungan
hirarkis,hubungan kewenangan otoritas-inklusif pada umumnya bersifat “zero-sum”
game,dalam arti perolehan satu pihak akan mengakibatkan kehilangan pihak lain.Sebagai
contoh,apabila PN membuat suatu kebijakan tertentu,kewenangan PR dan/atau PL akan
berkurang pada areas tersebut.

5
2.3 HUBUNGAN INKLUSIF ( INCLUSIVE – AUTHORITY MODEL )

NATIONAL
GOVERNMENT

REGIONAL
GOVERNMENT

LOCAL
GOVERNMENT

Model Ketiga yang dipercaya berada diantara kedua model yang ekstrim tersebut diatas
dikenal dengan sebutan otoritas overlap dan merupakan model tata hubungan kewenangan yang
dinilai memiliki keluesan dalam praktek penyelenggaraan pemerintah. Sehubungan dengan hal
itu model itu juga ditandai dengan sedikitnya kewenangan otonomi masing-masing yang berarti
pula sedikitnya kewenangan yang dimiliki PN.PR ataupun PL dan karenanya akan mendorong
kegiatan “tawar-menawar”antara PN,PR dan PL.

2.4 HUBUNGAN TUMPANG TINDIH ( OVERLAPPING – AUTHORITY MODEL )

NATIONAL
GOVERNMENT

N/R N/L

LOCAL
N/R/L
GOVERNMENT
REGIONAL
GOVERNMENT

Gambaran mengenai model-model tersebut dan perbandingannya dengan model di Indonesia


berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :

6
1. Model lain dikemukakan oleh Kavanagh (1985) yang pada dasarnya menyebutkan bahwa
model hubungan Pemerintah Pusat dengan daerah ada dua macam yaitu :

2. Model Pelaksana ( Agency Model )

Dalam hubungan ini pemerintah daerah dapat dilihat sebagai pelaksana dari Pemerintah Pusat.
Kewenangan-kewenangan daerah sangat terbatas dan keberadaan pemerintah daerah tergantung
kepada pusat. Pusat dapat menghapus Pemerintah Daerah dan kewenangan-kewenangannya.
Di dalam model ini, kerangka kerja nasional suatu kebijakan ditentukan secara terpusat dan
Pemerintah Daerah tinggal melaksanakan.

3. Model Kemitraan ( Pertnership Model )

Menurut model ini, Pemerintah Daerah mempunyai kebebasan tertentu untuk menentukan
beberapa pilihan lokal. Pemerintah Daerah juga mempunyai legitimasi sendiri,mempunyai
otoritas pembiayaan, penguasaan sumber-sumber dan kewenangan tertentu dibidang perundang
– undangan. Pemeritah Daerah menurut model ini tidak hanya sebagai pelaksana tetapi sebagai
mitra yang dapat berunding untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan antara pusat dengan
daerah.

Menurut Undang – undang nomor 22 tahun 1999 yaitu :

PEMERINTAH
NASIONAL

PEMERINTAH PEMERINTAH
PROVINSI KABUPATEN /KOTA

Interaksi antara pusat dan daerah pada dasarnya selalu dilandaskan pada pengkombinasian
(unit) dari pengawasan, ketergantungan dan kerjasama. Pemerintah Daerah mempunyai kekuasaan

7
legislatif sendiri dan semua otoritas kekuasaan di kontrol oleh parlemen. Parlemen dapat
mengamandemen atau menarik kewenangan – kewenangan yang diberikan kepada daerah, apabila
daerah melampaui kewenangan – kewenangan yang di berikan. Ini adalah pengawasan yang
disebut pengawasan politik dalam konteks Hubungan Pusat daerah di Inggris ( Kavanagh; 274 ).

2.5 MODEL HUBUNGAN KEWENANGAN DAN KONSEKUENSINYA TERHADAP


PENGAWASAN DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Dengan diperolehnya gambaran tentang tata hubungan antar PN, PR, dan PL yang
dikemukakan oleh Wright dan Kavanagh. Dalam konteks tata pemerintahan pada waktu ini adalah
Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan Kepala Kepemerintahan. Yang menjadi
persoalan tentunya apabila Presiden untuk menjalankan fungsi pengawasan dengan melakukan
pengawasan secara langsung terhadap seluruh daerah otonomi suatu keadaan yang tidak efisien
dilakukan. Oleh karena itu muncul teori organisasi yakni dengan menempatkan wakil yang
merupakan personifikasi seorang pimpinan atau pejabat di suatu wilayah tertentu. Perlu ditegaskan
bahwa personifikasi Presiden yang merupakan departentisasi geografis tidak hanya terdapat pada
jabatan Gubernur. Sebab Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia juga menempatkan wakil sebagai personifikasinya di wilayah tertentu pada Komandan
Komando Daerah Militer. Jabatan Gubernur sebagai personifikasi Presiden, ia memiliki
kedudukan sebagai “ The Tutelage” atau “ The Guardian of the Republic”. Langkah- langkah nyata
untuk mengkokohkan kewenangan Gubernur dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap
Daerah Otonomi setidaknya untuk hal- hal berikut:

1. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah agar tetap dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tetap berada dalam lingkup tata urutan peraturan-
perundangan yang berlaku.

2. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah agar tetap dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk didalamnya mengawasi agar daerah otonomi
daerah.

3. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah agar gubernur memainkan


peran yang konstruktif dalam memupuk kerjasama lembaga- lembaga daerah otonomi dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.

8
4. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah agar gubernur dapat
memainkan peran yang konstruktif dalam memupuk kerjasama antar daerah otonom.

5. Melakuakn pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah agar gubernur dapat


memainkan peran yang positif dalam mencegah sengketa atau konflik antar daerah otonom.

6. Masih ada lagi fungsi pengawasan lain yang dijalankan oleh gubernur sebagai konsekuensi dari
diberlakukannya atas tugas pembantuan yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya maupun
“aturan mainnya”.

Review UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Mengingat bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan
pemerintahan daerah sehingga perlu diganti; Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era
baru ketika UU no 32 tahun 2004 digantikan dengan UU no 23 tahun 2014. Era baru
penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat kita lihat dari perbedaan yuridis maupun filosofis.
Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur
dalam UU sebelumnya. Sedangkan perbedaan filosofis terlihat dari makna dan orientasi yang
secara tersurat terkandung dalam pasal-pasal yang sebelumnya tak diatur dalam UU sebelumnya.

Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur
tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam
UU no 22 tahun 2014. Adapun alasan utama yang tecantum dalam naskah akademik RUU Pilkada
dimaksudkan untuk agar UU baik tentang Pemda maupu Pilkada dapat berjalan secara maksimal
sesuai dengan isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan
Gubernur dan Walikota/Bupati.
Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung.
Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat. Dalam perspektif akademis posisi Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri
khas dari “unit antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan
dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih langsung oleh
rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang juga sebagai wakil pemerintah
pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya

9
sebagai daerah otonom yang mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi
pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang
berbeda.
Perbedaan selanjutnya perihal pembagian urusan pemerintahan. Pada UU sebelumnya urusan
pemerintahan dibagi atas Urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (dapat dilimpahkan
sebagian urusannya kepada perangkat Pemerintah Pusat atau wakil Pemerintah Pusat di
daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah) dan Urusan pemerintah daerah
dibagi atas urusan wajib dan pilihan. Namun, di UU no 23 tahun 2014, urusan pemerintahan dibagi
atas Urusan Absolut yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Urusan pemerintahan
kongkruen yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam naskah akademik RUU Pemda tahun 2011 dijelaskan bahwasanya mengacu kepada
ketiga kriteria tersebut, pembagian urusan pemerintahan menjadi sebagai berikut:

1. Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk membuat pengaturan dalam bentuk


Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang dijadikan acuan bagi pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah tersebut; berwenang melakukan monitoring, evaluasi dan supervise
terhadap pemerintahan daerah, dan berwenang untuk melakukan urusan pemerintahan
yang berskala nasional (lintas provinsi) atau internasional (lintas negara).
2. Pemerintahan daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan yang berskala provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan NSPK
yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
3. Pemerintahan daerah kabupaten/kota berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan yang berskala kabupaten/kota berdasarkan NSPK yang ditetapkan
Pemerintah Pusat.

Selain itu Pemerintah Pusat diwajibkan menyelesaikan penetapan NSPK tersebut dalam
waktu dua tahun dan apabila dalam waktu dua tahun Pemerintah Pusat belum juga menetapkan
NSPK untuk dijadikan acuan bagi pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan
yang diserahkan ke daerah, maka pemerintahan daerah dapat menetapkan peraturan daerah (perda)
untuk melaksanakan urusan yang menjadi kewenangannya. Fungsi lainnya dari NSPK adalah
mengatur hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan yaitu antara pusat dan daerah dan

10
antar pemerintahan daerah dalam pelaksanaan suatu urusan (naskah akademik RUU Pemda hal 8-
9, 2011).
Adapun yang menjadi titik permasalahan dalam pembagian urusan yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah yang terlalu banyak (31 buah urusan yang menajdi urusan
pemerintahan yang didesentralisasikan). Selain itu, pemerintah daerah dari Provinsi hingga Desa
juga dibebankan untuk melaksanakan urusan Pemerintah Pusat berdasarkan azas tugas
pembantuan.
Dengan besarnya urusan pemerintahan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah,
kebutuhan akan aparatur yang melaksanakan urusan wajib tersebut semakin membesar. Aparatur
daerah yang gemuk ini, tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar pula sehingga terjadi
overcost terhadap pembiayaan aparatur. Kondisi ini berdampak tidak maksimalnya
penyelenggaran program di daerah khususnya pada aspek pengadaan sarana dan prasarana yang
diperuntukkan bagi masyarakat.
Selain itu, efek samping dari gemuknya aparatur di daerah, dan diparah dengan alur
birokrasi yang kacau, telah melahirkan birokrasi yang tidak efektif dan efisien. dalam New Public
Management (NPM), yang sekarang ini menjadi gerakan pembaharuan administrasi publik di
negara maju dan berkembang, desentralisasi telah menjadi satu nilai penting dalam rangka
mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, responsif, dan akuntabel.
Maka dari itu, dalam UU no 23 tahun 2014, Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dibedakan atas dua jenis. Termaktub dalam Pasal 9 (1) Urusan Pemerintahan
terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan
umum, ; (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan
Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, ; (3) Urusan
pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota, ; (4) Urusan
pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah,
; (5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Urusan pemerintah absolut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 10 ayat 1, terdiri atas Politik LN,
Hankam, yustisi, moneter dan fiskal serta agama. Namun, Pemerintah Pusat dalam melimpahkan
kewenangannya kepada instansi vertikal dan wakil pemerintah pusat di daerah yakni Gubernur
yang berdasarkan asas dekonsentrasi. Dengan demikian, urusan pemerintah absolut memang

11
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan tak berkaitan dengan pemerintah kota dan kabupaten
yang mengedepankan azas desentralisasi serta bukan perwakilan pemerintah pusat.
Selain itu, untuk memaksimalkan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah baik
Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat dan pemerintah kota serta kabupaten, telah dibedakan
menjadi dua jenis urusan konkuren yakni urusan pemerintah wajib dan urusan pilihan. Untuk
urusan wajib pun dibagi dua lagi yakni urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan
yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Urusan wajib ini pun, secara yuridis diatur dengan
menggunakan skala prioritas bahwa urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar
diprioritaskan pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 1.
Adanya penyertaan skala prioritas dalam penyelenggaraan urusan wajib yang berkaitan
dengan pelayanan dasar agar dimaksudkan otonomi luas bukan lagi diartikan semua urusan harus
dilembagakan. Akan tetapi fungsinya tetap menjadi domain kewenangan daerah namun tidak harus
dilembagakan tersendiri karena akan memicu bengkaknya overhead cost. Diperlukan pemikiran
untuk menerapkan kelembagaan yang ”right sizing” yang bercirikan ramping struktur namun kaya
fungsi.
Pembagian wilayah kerja antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota pun dijelaskan secara spesifik dalam UU ini seperti yang termaktub dalam pasal
13 ayat 2, 3 dan 4. Hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan penyelenggaraan pemerintahan
berdasarkan wewenangnya masing-masing serta meningkatkan tingkat akuntabilias dan efisiensi
dalam mengukur keberbehasilan. Selain itu, pembagian wilayah kerja ini juga ditujukan untuk
memudahkan jalur birokrasi yang kelak akan mempermudah pemerintah baik pusat maupun
daerah dalam melayani masyarakat.
Dalam urusan pemerintahan umum, juga diatur secara spesifik yang meliputi 7 bidang
utama dan termasuk bidang yang bukan kewenangan daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi
Vertikal. Urusan pemerintahan umum ini dilaksanakan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota di
wilayah kerjanya masing-masing. Yang patut dicatat disini adalah penggunaan APBN dalam
penyelenggaraan pemerintahan umum. Hal in dimaksudkan agar APBD di masing-masing
pemerintah daerah dapat digunakan untuk melaksanakan urusan konkuren yang pelayanan dasar.
Disinilah terlihat komitmen Pemerintah Pusat, untuk menghindari beban berlebih yang harus
ditanggung APBD dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sinergi penyelenggaraan urusan pemerintahan antara kementerian dengan pemerintahan
daerah, Presiden melimpahkan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk bertindak selaku
kordinator dari kementerian atau lembaga pemerintah non kementerian yang sebagian urusannya
12
diserahkan ke daerah (Naskah Akademik RUU Pemda, hal 77, 2011). Kementerian yang
kewenangannya diserahkan kepada daerah berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan yang bersifat teknis kepada pemerintahan daerah, sedangkan Kementerian Dalam
Negeri melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut
diharapkan mampu menciptakan harmonisasi dan sinergi antara Pemerintah Pusat dengan
pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan secara keseluruhan.
Dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut, untuk kelancaran kordinasi
dengan seluruh pimpinan instansi pemerintahan di daerah, dapat dibentuk Forum Koordinasi
Pimpinan Pemerintahan di Daerah dan kepala daerah selaku kepala pemerintahan daerah bertindak
sebagai koordinatornya sebagaimana diatur dalam pasal 26. Karena urusan pemerintahan umum
merupakan urusan pemerintahan yang tidak di desentralisasikan, maka biaya penyelenggaraan
urusan pemerintahan umum tersebut di daerah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Sebagai Negara yang bercirikan kepulauan, dalam UU ini juga mengakomodasi daerah
yang bercirikan kepulauan dan diatur dalam Bab V tentang Kewenangan Daerah Provinsi Di Laut
dan Daerah Provinsi yang Bercirikan Kepulauan. Realitas daerah yang memiliki ciri khas
kepulauan adalah tidak meratanya sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang
penyelenggaraan pemerintahan sehingga pembangunan dan penciptaan kesejahteraan bagi
masyarakat yang hidup di daerah kepulauan masih jauh dari harapan. Maka dari itu, pemerintah
daerah yang bercirikan kepulauan haruslah memiliki model pembangunan yang berbeda dengan
pada umumnya, model pelayanan administrasi/pelayanan publik yang berbasis kepulauan, dan
meningkatkan intensitas pembangunan sarana-prasarana yang mengedepankan pendekatan
prosperity dan security secara linier.

Dalam UU no 23 tahun 2014, daerah yang bercirikan kepulauan diberikan semacam insentif dan
perlakuan secara khusus seperti yang tercantum dalam pasal 28 hingga 30. Ini merupakan bentuk
komitmen yang ditunjukkan Pemerintah Pusat dalam membangun daerah bercirikan kepulauan.
Tentunya, dalam pelaksanaannya komitmen ini haruslah dijalankan secara konsekuen dan perlu
diberikan pengawasan yang ketat agar permasalahan yang dihadapi masyakarat yang tinggal di
daerah kepulauan dalam selesaikan.
Undang-Undang ini juga menjelaskan bahwasanya Gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat, diatur lebih spesifik seperti yang diatur dalam pasal 91-93. Adapun tugas tersebut
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Tugas Pembantuan di
Kabupaten/Kota, melakukan monev dan supervisi, melakukan evaluasi APBD dan lain-lain, dapat
13
membatalkan Perda dan memberikan persetujuan terhadap Raperda Kabupaten/Kota, serta dapat
memberikan sanksi kepada Bupati/Walikota.
Gubernur memegang dua peran yaitu sebagai kepala daerah otonom provinsi dan sebagai
wakil Pemerintah Pusat di daerah. Sebagai kepala daerah provinsi, gubernur memegang
kewenangan memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi sesuai dengan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat di
daerah, gubernur menjalankan peran Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dalam konteks melaksanakan peran sebagai wakil
Pemerintah Pusat, hubungan gubernur dengan pemerintahan daerah kabupaten/kota bersifat
hirarkhis (Naskah Akademik RUU Pemda, hal 85, 2011).
Dengan luas dan besarnya kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat,
diharapkan dapat meminimalisir kekuasaan “Raja-Raja Kecil” yang menerapkan oligarki politik.
Upaya ini ditujukan agar penyelenggaraan pemerintahan jauh lebih bersih, akuntabel, efektif-
efisien, dan mampu memberikan pelayanan publik bagi masyarakat.
Semangat dari UU no 23 Tahun 2014 ini adalah memaksimalkan peranan pemerintah
daerah yang mampu melaksanakan kewenangannya yang berorientasi pelayanan dasar bukan
kekuasaan semata. Dengan kondisi tersebut, mau tidak mau, peran serta masyakarat dalam hal
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pelayanan publik.
Bentuk manifestasi dari semangat pembaharuan secara yuridis termaktub dalam BAB XIII
tentang Pelayanan Publik. Dalam bab ini dibahas tentang upaya pemerintah daerah dalam
memenuhi kebutuhan masyakarat sebagai bentuk pelayanan publik. Dengan demikian, masyarakat
mampu memberikan feedback terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah.
Maka dari itu, dalam UU ini juga diatur tentang Partisipasi Masyarakat di Bab XV.
Partisipasi masyarakat ditujukan untuk mendorong dan meningkatkan tingkat kesadaran
masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanaan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah.
Hal ini tentunya akan menjadi katalisator bagi pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan
publik yang terbaik.
Keberadaan UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini harapannya mampu
memperbaiki sstem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, perubahan orientasi dari
kekuasaan semata menjadi pelayanan publik seharusnya mampu mendorong adanya peningkatan
kesejahteraan masyarakat di daerah.

14
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ruang lingkup hubungan pusat dan daerah tidak hanya mencakup hubungan keuangan saja
tetapi juga mencakup dalam bidang pelayanan publik. Pelayanan publik dapat diartikan sebagai
pemberian layanan keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada
organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sesuai dengan
filosofi bahwa pemerintah itu ada untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang
memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi
mencapai tujuan bersama.

Pada masa sekarang ini pemerintah daerah diposisikan sebagai pelayan masyarakat dengan
fungsi utama menjadi fasilitator, pengendali, dan penjaga kepentingan masyarakat luas. Untuk
mewujudkan pelayanan public yang ideal maka setiap level pemerintahan wajib memberikan
pelayanan secara professional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu,
responsive,dan adaptif serta sekaligus dapat mebangun “kualitas masyarakat” dalam arti
meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menetukan masa depannya

15
DAFTAR PUSTAKA

Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Bina
Aksara, Jakarta, 1983
UUD NO 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara FHUI dan CV Sinar Bakti , 1988
https://www.academia.edu/8984964/Naskah_akademik_ruu_tentang_hubungan_kewenangan_pe
merintah_pusat_dan_daerah
https://www.academia.edu/6845715/pendidikan_inklusi

http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/keuangan-inklusif-dan-pengentasan-kemiskinan

http://www.bppt.go.id/index.php/opini/daftar-opini/1081-opini’

https://www.academia.edu/6775849/Hubungan_Struktural_Fungsional_Pemerintah_Pusat_denga
n_Pemerintah_Daerah_UUD_1945_Hubungan_Pemerintah_Pusat_dengan_Pemerintah_Daerah

16

Anda mungkin juga menyukai