Anda di halaman 1dari 121

Republik Indonesia

IWJIAN EVALUASI PEMBANGUNAN SEI€TORAL

PE EKT@RNFOML SEBG
K MAN
MASALAH KETENA AAN

KEDEPUTIAN EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 2009


REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN EVALUASI PEMBANGUNAN


SEKTORAL

Peran Sektor Informal Sebagai Katup


Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
2009
“Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan”

KATA PENGANTAR
Dengan semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja di Indonesia,
penciptaan lapangan kerja menjadi isu yang sangat penting
dalam pembangunan sektor ketenagakerjaan. Upaya penciptaan
lapangan kerja telah dilakukan namun masih belum mencukupi.
Kondisi pasar kerja Indonesia menunjukkan sebagian besar dari
angkatan kerja bekerja pada lapangan kerja informal dengan
tingkat pendidikan dan keterampilan rendah. Dalam kaitan itu,
sektor informal justru terlihat cukup berperan dalam hal
penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Untuk itu, pada tahun 2009 di lingkungan Deputi Evaluasi Kinerja
Pembangunan, telah dilaksanakan kajian untuk melakukan
evaluasi atas masalah ketenagakerjaan khususnya yang terkait
dengan sektor informal. Laporan evaluasi tersebut berjudul Peran
Sektor Informal sebagai Katup Pengaman Masalah
Ketenagakerjaan. Diharapkan kajian ini dapat bermanfaat dan
menjadi masukan bagi kita semua khususnya dalam konteks
penyusunan kebijakan di masa yang akan datang
Kami mengharap masukan, saran, dan kritik yang membangun
untuk perbaikan dan penyempurnaan kajian ini. Akhirnya, terima
kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu
hingga laporan kajian ini tersusun.

Jakarta, Desember 2009


Plt. Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan

Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……..………………………….… ii


DAFTAR ISI …………………………………………….. iii
DAFTAR TABEL ..……………………………..……….. v
DAFTAR GAMBAR …………………………….……….. vi
BAB I PENDAHULUAN.................................................. 1
1.1. Latar Belakang dan Perumusan Masalah ............. 1
1.2. Tujuan Penelitian .................................................. 7
1.3. Ruang Lingkup Kajian........................................... 8
1.4. Sistematika ........................................................... 9

BAB II TINJAUAN LITERATUR........................................ 10


2.1. Konsep Sektor Informal ........................................ 10
2.2. Peluang Sektor Informal bagi Kaum Miskin Kota .. 23
2.3. Munculnya Kegiatan Sektor Informal .................... 26
2.4. Sektor Informal dan Penyerapan Angkatan Kerja . 28
2.5. Kekuatan Sektor Informal ..................................... 33
2.6. Dualisme di Indonesia........................................... 36

BAB III METODOLOGI DAN DATA AWAL........................ 39


3.1. Kerangka Pemikiran.............................................. 39
3.2. Metodologi ............................................................ 44
3.3. Model dan Pengukuran Variabel dalam Model...... 50
3.4. Sumber Data ........................................................ 54
3.5. Hipotesis............................................................... 55

BAB IV ANALISIS DESKRIPTIF ....................................... 57


4.1. Permasalahan Pengangguran dalam RPJM ......... 57
4.2. Intervensi yang telah dilakukan di bidang
ketenagakerjaan................................................... 71
4.3. Sektor Informal sebagai Penyerap Tenaga Kerja
Berkualitas Rendah .............................................. 74
BAB V ANALISIS KUANTITATIF (INTERPRETASI
MODEL) ............................................................... 81
5.1. Hasil Regresi ........................................................ 84
5.2. Pembangunan Kota, Penciptaan Kesempatan
Kerja dan Pengembangan Sektor Informal
Desa..................................................................... 89
5.3. Keterbatasan dan Kontribusi Kajian ...................... 93

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................... 96


6.1. Kesimpulan........................................................... 96
6.2. Rekomendasi........................................................ 98

DAFTAR PUSTAKA...............................................................99
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Variabel dan Sumber Data......................................54


Tabel 2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja
menurut Status Pekerjaan Utama, Agustus 2007 -
Februari 2009 (juta orang).......................................79
Tabel 3 Hasil Regresi Model................................................85
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kondisi Ketenagakerjaan, Agustus 2008..............61


Gambar 2 Tingkat Pengangguran Terbuka dan Tingkat
Pengangguran Usia Muda...................................63
Gambar 3 Persentase Angka Pengangguran Terbuka,
Februari 2006........................................................66
Gambar 4 Angka Pengangguran Terbuka.............................67
Gambar 5 Pengangguran Terbuka berdasar Tingkat
Pendidikan, Jenis Kelamin, dan Daerah................69
“Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan”

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Perumusan Masalah

Masalah utama yang dihadapi kebanyakan Negara


Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia hingga saat
ini adalah bagaimana memanfaatkan faktor manusia yang
melimpah dan kebanyakan tidak terlatih (unskilled) bagi
pembangunannya, sehingga penduduk yang besar bukan
merupakan beban pembangunan, justru menjadi modal
pembangunan. Dengan demikian peranan sektor informal
menjadi penting, terutama karena kemampuannya dalam
menyerap banyak tenaga kerja dan tidak menuntut tingkat
keterampilan yang tinggi. Bahkan sektor informal ini bisa
menjadi wadah pengembangan sumberdaya manusia, dimana
tenaga kerja yang tidak terlatih (unskilled) tersebut dapat
meningkatkan keterampilannya dengan memasuki sektor
informal terlebih dahulu sebelum masuk ke sektor formal.

Menurut Widodo (2005) dalam diskusi yang digelar


Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) dengan
topik Sektor Informal Yogyakarta, sektor informal adalah
sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur

1
(unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar
(unregistered). Di Negara Sedang Berkembang, sekitar 30-70
persen populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sektor
informal. Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah
unit usaha yang banyak dalam skala kecil; kepemilikan oleh
individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat
tenaga kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah,
akses ke lembaga keuangan daerah, produktivitas tenaga
kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih
rendah dibandingkan sektor formal. Kebanyakan pekerja di
sektor informal perkotaan merupakan migran dari desa atau
daerah lain. Motivasi pekerja adalah memperoleh pendapatan
yang cukup untuk sekedar mempertahankan hidup (survival).
Mereka tinggal di pemukiman kumuh, dimana pelayanan
publik seperti listrik, air bersih, transportasi, kesehatan, dan
pendidikan yang sangat minim.

Sektor informal memberikan kemungkinan kepada


tenaga kerja yang berlebih di perdesaan untuk migrasi dari
kemiskinan dan pengangguran. Sektor informal sangat
berkaitan dengan sektor formal di perkotaan. Sektor formal
tergantung pada sektor informal terutama dalam hal input
murah dan penyediaan barang-barang bagi pekerja di sektor
formal. Sebaliknya, sektor informal tergantung dari
pertumbuhan di sektor formal. Sektor informal kadang-kadang
justru mensubsidi sektor formal dengan menyediakan barang-
barang dan kebutuhan dasar yang murah bagi pekerja di
sektor formal.

Penggunaan modal pada sektor informal relatif sedikit


apabila dibandingkan dengan sektor formal sehingga cukup
dengan modal sedikit sudah dapat mempekerjakan orang.
Dengan menyediakan akses pelatihan dan ketrampilan, sektor
informal dapat memiliki peran yang yang besar dalam
pengembangan sumber daya manusia. Sektor informal
memunculkan permintaan untuk tenaga kerja semiterampil
dan tidak terampil. Sektor informal biasanya menggunakan
teknologi tepat guna dan menggunakan sumber daya lokal
sehingga akan menciptakan efisiensi alokasi sumber daya.

Sektor informal sangat penting artinya dalam proses


pembangunan dan proses modernisasi masyarakat yang
sebagian besar masih bersifat tradisional atau semi-
tradisional. Sebelum bekerja dan berusaha di sektor formal,
tenaga kerja dari sektor tradisional berusaha dan bekerja
terlebih dahulu di sektor informal. Setelah memperoleh
pengetahuan, keahlian dan pengalaman di sektor informal,
barulah mereka beralih dan mengalihkan usahanya ke sektor
formal yang bersifat modern. Selain itu, sektor informal penting
artinya bagi negara berpenduduk besar, dimana sektor
informal yang bersifat padat karya mampu menyerap tenaga
kerja dalam jumlah besar. Bagi Indonesia, kedua fungsi sektor
informal di atas sangat besar artinya. Selain menghadapi
kelebihan penduduk, Indonesia juga menghadapi masalah dari
kondisi masyarakatnya yang masih dipengaruhi oleh unsur-
unsur tradisional.

Sejak dekade 70-an Indonesia mengalami era


pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta terjadi pula
pergeseran struktur yang cepat dari sektor pertanian ke sektor
non pertanian. Oleh karena pertanian pada umumnya terdapat
di desa sedangkan industri terdapat di kota, maka migrasi
desa ke kota merupakan arah perpindahan tenaga kerja yang
pada umumnya terjadi dalam proses industrialisasi. Tenaga
kerja yang berlebih (terutama yang tidak mempunyai tanah)
terdorong dan tertarik untuk mencari pekerjaan di kota.
Berbagai faktor pendorong (push factor) di desa dan berbagai
faktor penarik (pull factor) di kota mempengaruhi penduduk
desa untuk pindah atau (bermigrasi) ke kota.

Hal menarik yang terlihat dari perpindahan tenaga


kerja dari desa ke kota adalah banyaknya tenaga kerja yang
masuk ke dalam usaha kecil-kecilan di kota, yang bersifat
swakarya dan swadaya. Usaha kecil-kecilan ini dapat
berbentuk usaha perdagangan seperti pedagang kaki lima,
penjual bakso, asongan, dan sebagainya. Selain itu juga pada
jasa pengangkutan seperti tukang becak, tukang ojeg, dan
lain-lain; industri kecil dan rumah tangga (cottage industry dan
home industry); ataupun bentuk-bentuk usaha lainnya. Usaha-
usaha tersebut sering disebut sektor informal karena sifatnya
yang tidak mempunyai hubungan dengan pemerintah, baik
dalam hal perijinan, perpajakan maupun perlindungan. Sektor
informal ini sering juga disebut murky sectors, urban
unorganized sectors, off-farm, grey area sectors, dan lain-lain.

Sektor informal sering dipandang sebagai sektor


transisi bagi tenaga kerja dari sektor pertanian di desa ke
sektor industri di kota. Fenomena munculnya sektor informal
hanyalah bersifat temporer. Akibat keterampilan yang
terbatas, para pencari kerja dari desa, pada awal
kepindahannya untuk sementara berusaha dan bekerja di
sektor informal. Setelah mapan dan berpengalaman mereka
akan mengalihkan usahanya ke sektor formal. Di sinilah terjadi
proses formalisasi sektor informal, dimana terjadi peralihan
status usaha yang tadinya informal menjadi formal, dan
berpindahnya pekerja yang tadinya bekerja di sektor informal
ke sektor formal. Namun pada kenyataannya seringkali proses
ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Yang terjadi adalah
usaha di sektor informal khususnya industri kecil dan industri
rumah tangga semakin menjamur. Demikian juga dengan
jumlah pekerjanya. Tenaga kerja dari desa sebagian besar
bukan diserap oleh sektor industri (yang formal) tetapi oleh
sektor jasa (terutama yang informal).

Hal tersebut menandakan bahwa usaha yang tadinya


berstatus informal tidak berubah menjadi formal. Demikian
juga pekerja yang berada di sektor informal tetap berada di
sektor tersebut. Dengan kata lain, sektor informal bukan
menjadi sektor transisi, tetapi justru menjadi sektor yang dituju
oleh pencari kerja dari sektor tradisional (pertanian). Selain itu
juga menjadi sektor yang dituju oleh pencari kerja pertama
(first-job seekers) yang tidak tertampung di sektor formal
maupun pekerja sektor formal yang tidak memperoleh
penghasilan yang cukup, sehingga secara sambilan ataupun
serius merangkap berusaha dan bekerja di sektor informal.
Dari kedua hal tersebut maka menarik untuk mengkaji
bagaimana kecenderungan sektor informal di Indonesia,
apakah bersifat permanen ataukah temporer dan bagaimana
proses formalisasi sektor informal. Masalah formalisasi sektor
informal ini erat kaitannya dengan perencanaan
ketenagakerjaan di Indonesia.
1.2. Tujuan Penelitian

Kajian ini mencoba membahas sektor informal secara


komprehensif dengan melihat berbagai aspek penting dari
sektor informal. Adapun tujuan dari kajian ini antara lain:

1. Memahami bagaimana terbentuknya sektor informal di


Indonesia, hal ini dilakukan dengan penelaahan aspek
historis dari perekonomian Indonesia, sehingga dapat
dipahami mengapa dan bagaimana sektor informal muncul
dalam perekonomian di Indonesia.
2. Meninjau apakah terjadi proses formalisasi sektor informal
di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mencari hubungan
antara migrasi desa-kota dengan sektor informal. Teori
Todaro (Harris-Todaro) tentang migrasi menganggap
bahwa migrasi desa-kota telah menimbulkan terjadinya
sektor informal di kota. Dengan demikian akan dibuktikan
apakah bukan sektor informal yang justru menjadi
pendorong dan penarik penduduk desa untuk bermigrasi
ke kota. Melalui pembuktian ini akan dapat disimpulkan
apakah formalisasi sektor informal di Indonesia terjadi atau
tidak
3. Formulasi kebijakan dalam penanganan sektor informal
yang disusun dari hasil pembuktian model migrasi. Dengan
demikian diharapkan dapat membantu memecahkan
masalah ketenagakerjaan secara umum.

1.3. Ruang Lingkup Kajian

Tujuan pertama dari kajian ini akan dijelaskan dengan


teori-teori dualisme, yaitu memahami bagaimana terbentuknya
sektor informal di perkotaan. Untuk itu perlu menelusuri
sejarah perekonomian Indonesia mulai masa kolonial hingga
saat ini. Kemudian tujuan yang kedua akan dijawab dengan
menggunakan teori pembangunan yang dualistik terutama
model migrasi Todaro/Harris-Todaro. Model ini digunakan
untuk membuktikan terjadi atau tidaknya proses formalisasi
sektor informal di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan
menambahkan variabel pendapatan dan jumlah tenaga kerja
di sektor informal sebagai salah satu variabel bebas penentu
proporsi penduduk yang bermigrasi ke kota. Dari hasil
pengujian model tersebut maka dapat ditarik beberapa saran
kebijakan dengan memperhatikan variabel-variabel dalam
model tersebut.
1.4. Sistematika

Kajian evaluasi ini dibagi dalam enam bab. Bab


pertama merupakan bab pendahuluan yang memuat latar
belakang dan perumusan masalah, tujuan, ruang lingkup
kajian serta sistematika pembahasan. Bab kedua merupakan
telaah literatur terhadap beberapa teori pembangunan
dualistik, konsep sektor informal dan migrasi desa-kota. Bab
ketiga membahas metodologi. Kemudian bab keempat
merupakan analisis deskriptif, sedangkan bab kelima
merupakan analisis dari model yang disajikan pada bab tiga,
sekaligus juga disampaikan mengenai keterbatasan model
dan kontribusi kajian ini. Bab terakhir, yaitu bab keenam
merupakan kesimpulan dan rekomendasi dari kajian ini.
BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1. Konsep Sektor Informal

Konsep sektor informal muncul dalam konsep


keterlibatan pakar-pakar internasional dalam perencanan
pembangunan di Dunia Ketiga. Gejala ini muncul setelah
kelahiran negara-negara maju setelah berakhirnya Perang
Dunia kedua. Pada waktu itu muncullah gagasan-gagasan di
tingkat internasional maupun nasional untuk mempercepat laju
pertumbuhan ekonomi pada negara-negara dimaksud. Melalui
lembaga-lembaga internasional didirikanlah lembaga-lembaga
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di negara-negara
berkembang seperti The World Bank, International Monetary
Found (IMF) dan juga International Labour Organization (ILO).
Lembaga-lembaga tersebut melakukan berbagai studi
mengusulkan kebijakan dan turut campur tangan dalam
pengambilan keputusan menyangkut berbagai bidang yang
dianggap mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara
berkembang. Pada tahun 1972 ILO meluncurkan program
untuk World Employment Programme (WEP) sebagai konsep
sektor informal yang pertama kali diperkenalkan di dunia
internasional.

Luthfi (2008) dalam artikelnya yang berjudul


Kemiskinan Kota dan Sektor Informal membahas
perkembangan berbagai konsep sektor informal sekaligus
dengan berbagai perdebatannya. Dalam artikel tersebut
disebutkan bahwa konsep sektor informal di negara sedang
berkembang pertama kali muncul pada saat dilakukan
serangkaian penelitian tentang pasar tenaga kerja perkotaan
di Afrika. Konsep ini diperkenalkan oleh Keith Hart seorang
antropolog Inggris pada tahun 1971 dengan menggambarkan
sektor informal sebagai bagian angkatan kerja yang tidak
terorganisir. Lewat tulisannya yang berjudul Informal Income
Opportunities and Urban Employment in Ghana, dikemukakan
bahwa penyelidikan empirisnya tentang kewiraswastaan di
Acca dan kota-kota lain Afrika bertentangan dengan apa yang
selama ini diterima dalam perbincangan tentang
pembangunan ekonomi. Dalam laporannya kepada organisasi
buruh sedunia (ILO), Hart mengajukan model dualisme
terhadap kesempatan memperoleh pendapatan pada
angkatan kerja perkotaan. Konsep informalitas diterapkan
kepada bekerja sendiri (self employed).

Namun, ciri-ciri dinamis dari konsep sektor informal


yang diajukan Hart menjadi hilang ketika telah dilembagakan
dalam birokrasi ILO. Informalitas didefinisikan ulang sebagai
sesuatu yang sinonim dengan kemiskinan. Sektor informal
menunjuk kepada cara perkotaan melakukan sesuatu dengan
ciri-ciri : (a) mudah memasukinya dalam arti keahlian, modal,
dan organisasi; (b) perusahaan milik keluarga; (c) beroperasi
pada skala kecil; (d) intensif tenaga kerja dalam produksi dan
menggunakan teknologi sederhana; dan (e) pasar yang tidak
diatur dan berkompetitif.

Karakteristik negatif yang dilekatkan pada sektor


informal oleh ILO, banyak mendapatkan kritikan dari berbagai
ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang Sosiologi,
khususnya Sosiologi Ekonomi. Mereka menganggap bahwa
aktivitas sektor informal merupakan suatu tanda
berkembangnya dinamika kewiraswastaan masyarakat. Hal ini
mirip dengan yang disampaikan Hernando de Soto, seorang
ekonom dari Peru yang banyak dirujuk pemikirannya terutama
yang berkaitan dengan pemberdayaan sektor informal,
mempunyai tesis bahwa kegagalan sektor informal untuk
dapat terintegrasi ke dalam pasar disebabkan oleh kapitalisme
yang semestinya mampu memperkaya orang-orang yang
terlibat di dalamnya sebagaimana terjadi di dunia barat.

Namun di negara-negara berkembang, kapitalisme


belum mampu membawa berkah kekayaan kepada
masyarakat. Prinsip pemecahan yang diusulkan terhadap
masalah tersebut adalah dengan memberikan perlakuan yang
seimbang dan peningkatan kesalingmengisian di antara kedua
sektor tersebut. Diskriminasi yang merugikan terhadap sektor
informal perlu diakhiri. Pendukung sektor informal
mengusulkan agar disamping penghapusan diskriminasi
melalui peraturan, pemerintah diharapkan mengambil
kebijakan yang dapat merangsang pertumbuhan sektor
informal melalui berbagai fasilitas seperti bantuan kredit,
bimbingan manajerial, peningkatan keterampilan, promosi
pemasaran, dan pemasokan bahan mentah. Dengan usaha-
usaha ini, diharapkan tercipta hubungan yang seimbang,
koperatif, dan saling menguntungkan antara kedua sektor
yang berdampingan tersebut. Dengan demikian, sedikit demi
sedikit ketimpangan struktural (structural inequality) dapat
dihilangkan.

Konsep ini mendapatkan kritik tajam dari Leys (1974).


Menurut Leys, konsep dan garis-garis kebijakan ILO tentang
sektor informal tersebut akan memacu berkembangnya
kapitalisme lokal yang otonom berdasarkan pemerasan
tenaga kerja murah. Penelitian menunjukkan bahwa program-
program resmi yang bertujuan untuk merangsang industri di
sektor informal tidak banyak bermanfaat. Peningkatan bantuan
negara tidak bisa diharapkan selama sistem politiknya
didominasi oleh kepentingan-kepentingan yang berhubungan
dengan sektor formal. Situasi ini mengandung paradoks,
karena perubahan kebijakan yang dianjurkan akan merugikan
kaum elit yang bertanggungjawab untuk melaksanakannya.
Dengan mengabaikan kenyataan ini, misi ILO di Kenya
melakukan kesalahan akibat kenaifan.

Breman (1976), berdasarkan berbagai penelitian


menyimpulkan bahwa hubungan antara sektor informal dan
sektor formal tidak bisa dilihat sebagai dualitas dari dua sektor
yang berdiri sendiri, melainkan sebagai hubungan
ketergantungan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
ketertinggalan dan ketidakberdayaan sektor informal
merupakan syarat bagi kemajuan sektor formal, sedangkan
hubungan antara kedua sektor menunjukkan subordinasi dan
ketergantungan yang pertama kepada yang kedua. Sebuah
penelitian tentang industri kecil di Kalkuta menunjukkan bahwa
penyebab kemiskinan para pengusaha kecil bukanlah kecilnya
lingkup usaha atau kesalahan manajemen, melainkan
ketimpangan pembagian surplus dari atas. Kenyataan ini tidak
jauh berbeda dengan ketimpangan pertukaran barang pada
zaman kolonial ketika surplus ekonomi dan kebutuhan dasar
subsistensi penduduk jajahan disedot ke negara induk
penjajahnya. Bagi Breman, yang ada adalah suatu sektor
kapitalis yang berhubungan erat dengan ekonomi
internasional dan sektor lain yang mengikuti cara-cara
produksi pra-kapitalis atau bukan kapitalis. Komponen-
komponen sektor ini saling mempengaruhi satu dengan
lainnya dan secara berangsur-angsur kehilangan identitas dan
otonominya, sehingga akan berhadapan dengan suatu
kesatuan sistem yang koheren dengan watak dan
dinamikanya. Berdasarkan pandangan bahwa sektor informal
ada berkat sektor formal, Breman menyimpulkan bahwa
ketertinggalan yang pertama hanya dapat diakhiri dengan
perubahan radikal keseluruhan sistem ekonomi. Dengan
demikian Breman, seperti Burgess dalam perdebatannya
dengan Turner, tidak setuju dengan kapitalisme, tetapi tidak
menawarkan program praktis.

Dalam kondisi perdebatan abstrak tersebut, Tokman


tampil dengan pandangan yang lebih operasional. Dia setuju
bahwa subordinasi pada tingkat internasional dan nasional
merupakan salah satu ciri dari ketertinggalan pembangunan.
Analisis atas sektor informal hanyalah salah satu cara untuk
melihat gejala yang lebih luas. Subordinasi internal, menurut
Tokman, menjelma di lapangan dalam bentuk kekurangan
akses dari suatu sektor (yang disebut sektor informal) kepada
sumber-sumber daya dan pasar yang berakibat pada
keterbatasan kemampuan untuk berkembang. Pertanyaannya
ialah seberapa jauh ketergantungan itu ada dan apakah ada
ruang tersisa bagi pertumbuhan evolusioner. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, Tokman mengusulkan agar sektor
informal tidak dilihat sebagai bagian yang sepenuhnya
integral, tetapi tidak pula sebagai bagian yang sama sekali
terpisah, melainkan sebagai sesuatu yang memiliki kaitan
dengan keseluruhan ekonomi, tetapi pada saat yang sama
memiliki otonomi yang cukup. Oleh karena itu, perlu
dibedakan antara kelompok kegiatan sektor informal yang
beroperasi di bawah kondisi oligopoli, dan kelompok lain yang
tidak.

Sthurman dalam Manning dan Effendi (1985)


mengemukakan istilah sektor informal sebagai sejumlah
kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Alasan berskala kecil
karena: (i) umumnya mereka berasal dari kalangan miskin; (ii)
sebagai suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan
kesempatan kerja di negara berkembang; (iii) bertujuan untuk
mencari kesempatan kerja dan pendapatan untuk memperoleh
keuntungan; (iv) umumnya mereka berpendidikan sangat
rendah; (v) mempunyai keterampilan rendah, dan (vi)
umumnya dilakukan oleh para migran. Dari ciri-ciri tersebut
dapat digambarkan bahwa usaha-usaha di sektor informal
berupaya menciptakan kesempatan kerja dan memperoleh
pendapatan untuk dirinya sendiri. Menurut Sthurman
konseptualisasi sektor informal yang tersebut di atas walaupun
bermanfaat tetapi belum dapat memecahkan masalah definisi.
Hal ini disebabkan masih diperlukannya beberapa definisi
untuk menentukan batasan sektor informal baik dari sudut
pandang operasional maupun penelitian.

Simanjuntak dalam Manning dan Effendi (1985),


memberikan ciri-ciri yang tergolong sebagai sektor informal,
yaitu: (i) kegiatan usaha umumnya sederhana; (ii) skala usaha
relatif kecil; (iii) usaha sektor informal umumnya tidak
mempunyai izin usaha; (iv) untuk bekerja di sektor informal
lebih mudah daripada di sektor formal; (v) tingkat pendapatan
di sektor informal biasanya rendah; (vi) keterkaitan sektor
informal dengan usaha-usaha lain sangat kecil; dan (vii)
usaha-usaha di sektor informal sangat beraneka ragam.
Usaha-usaha sektor informal yang dimaksud diantaranya
pedagang kaki lima, pedagang keliling, tukang warung,
sebagian tukang cukur, tukang becak, sebagian tukang
sepatu, tukang loak serta usaha rumah tangga seperti:
pembuat tempe, pembuat kue, pembuat es mambo, pembuat
barang anyaman dan lain-lain.
Dipak Mazundar dalam Manning dan Effendi (1985)
memberikan definisi sektor informal sebagai pasaran tenaga
kerja yang tidak dilindungi. Salah satu perbedaan antara
sektor formal dan informal sering dipengaruhi oleh jam kerja
yang tidak tetap dalam jangka waktu tertentu. Hal ini
disebabkan oleh tidak adanya hubungan kontrak kerja jangka
panjang dalam sektor informal, cara penghitungan upah
berdasarkan hari atau jam kerja dan menonjolnya usaha
mandiri.

Jan Breman dalam Manning dan Effendi (1985),


membedakan sektor formal dan informal yang menunjuk pada
suatu sektor ekonomi masing-masing dengan konsistensi dan
dinamika strukturnya sendiri. Sektor formal digunakan dalam
pengertian pekerja bergaji atau harian dalam pekerjaan yang
permanen meliputi: (i) sejumlah pekerjaan yang saling
berhubungan yang merupakan bagian dari suatu struktur
pekerjaan yang terjalin dan amat terorganisir; (ii) pekerjaan
secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian; dan (iii)
syarat-syarat bekerja dilindungi oleh hukum. Kegiatan-
kegiatan perekonomian yang tidak memenuhi kriteria ini
kemudian dimasukkan dalam istilah sektor informal yaitu suatu
istilah yang mencakup pengertian berbagai kegiatan yang
sering kali tercakup dalam istilah umum usaha mandiri.
Meskipun telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun
sejak dilontarkannya konsep sektor informal pada dasawarsa
1970-an hingga saat ini, perdebatan tentang sektor informal
masih juga belum mencapai kesepakatan. Sektor informal
dipandang sebagai “cara bekerja yang mempunyai ciri-ciri
tertentu”, yaitu: (i) mudah dimasuki, (ii) pemakaian sumber-
sumber daya lokal, (iii) pemilikan oleh keluarga, (iv) berskala
kecil, (v) padat karya dan pemakaian teknologi yang
sederhana, (vi) keterampilan yang dimiliki di luar system
pendidikan formal, dan (vii) bergerak di pasar yang kompetitif
dan tidak berada di bawah pengaturan resmi. Selain itu, ILO
menemukan adanya kegiatan-kegiatan ekonomi yang selalu
lolos dari pencacahan, pengaturan dan perlindungan oleh
pemerintah tetapi mempunyai makna ekonomi karena bersifat
kompetitif dan padat karya, memakai input dan teknologi lokal
serta beroperasi atas dasar kepemilikan sendiri oleh
masyarakat lokal. Kegiatan-kegiatan inilah yang kemudian
dinobatkan sebagai sektor informal.

Berdasarkan berbagai pendapat tersebut dapat


disimpulkan bahwa konsep sektor informal lebih difokuskan
pada aspek ekonomi, sosial dan budaya. Aspek ekonomi
meliputi penggunaan modal rendah, pendapatan rendah, dan
skala usaha relatif kecil. Aspek sosial meliputi tingkat
pendidikan formal rendah, berasal dari kalangan ekonomi
lemah, dan umumnya berasal dari migran. Sedangkan dari
aspek budaya diantaranya kecenderungan untuk beroperasi di
luar sistem regulasi, penggunaan teknologi sederhana, dan
tidak terikat oleh curahan waktu kerja. Dengan demikian,
sektor informal lebih menitikberatkan kepada suatu proses
memperoleh penghasilan yang dinamis dan bersifat kompleks.
Kehadiran sektor informal dapat dilihat dari dua segi yaitu segi
positif dan negatif. Segi positif diantaranya mampu
menciptakan lapangan kerja sendiri, mampu menyerap
angkatan kerja yang sekaligus sebagai katup pengaman
terhadap pengangguran dan kerawanan sosial, dan
menyediakan kebutuhan bahan pokok untuk kalangan
ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan dari segi
negatifnya adalah mengganggu lalu lintas, mengganggu
keindahan kota dan mengganggu kebersihan.

Adapun ciri-ciri kegiatan sektor informal dapat


disimpulkan sebagai berikut: (i) manajemennya sederhana; (ii)
tidak memerlukan izin usaha; (iii) modal rendah; (iv) padat
karya; (v) tingkat produktivitas rendah; (vi) tingkat pendidikan
formal biasanya rendah; (vii) penggunaan teknologi
sederhana; (viii) sebagian besar pekerja adalah keluarga dan
pemilikan usaha oleh keluarga; (ix) mudahnya keluar masuk
usaha; dan (x) kurangnya dukungan dan pengakuan
pemerintah.

Dalam Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen


(1997) dijelaskan bahwa belum ada kebulatan pendapat
tentang batasan yang tepat untuk sektor informal di Indonesia,
tetapi terdapat kesepakatan tidak resmi antara para ilmuwan
yang terlibat dalam penelitian masalah-masalah sosial untuk
menerima definisi kerja sektor informal di Indonesia sebagai:

a. Sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi


ekonomi dari pemerintah;
b. Sektor yang belum dapat menggunakan (karena tidak
mempunyai akses) bantuan, meskipun pemerintah telah
menyediakannya;
c. Sektor yang telah menerima bantuan pemerintah tetapi
bantuan tersebut belum sanggup membuat sektor
tersebut mandiri.

Berdasarkan definisi kerja tersebut, disepakati pula


serangkaian ciri sektor informal di Indonesia, antara lain:

a. Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena


unit usaha timbul tanpa menggunakan fasilitas atau
kelembagaan yang tersedia secara formal;
b. Pada umumnya unit usaha tidak memiliki izin usaha;
c. Pola kegiatan usaha tidak teratur dengan baik, dalam
arti lokasi maupun jam kerja;
d. Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu
golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini;
e. Unit usaha berganti-ganti dari satu subsektor ke
subsektor lain;
f. Teknologi yang digunakan masih tradisional;
g. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga
skala operasinya juga kecil;
h. Dalam menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan
formal, sebagian besar hanya diperoleh dari
pengalaman sambil bekerja;
i. Pada umumnya unit usaha termasuk kelompok one
man enterprise, dan kalau memiliki pekerja, biasanya
berasal dari keluarga sendiri;
j. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal
dari tabungan sendiri, atau dari lembaga keuangan
tidak resmi; dan
k. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh
golongan masyarakat kota/desa berpenghasilan
rendah atau menengah.
2.2. Peluang Sektor Informal bagi Kaum Miskin Kota

Setidaknya terdapat dua teori yang menjelaskan


tentang kaum miskin kota, yaitu Teori Marjinalitas dan Teori
Ketergantungan (Lutfi, 2008). Kaum miskin kota, dalam Teori
Marjinalitas yang menjelaskan tentang pemukiman kumuh,
dilihat sebagai penduduk yang secara sosial, ekonomi, budaya
dan politik tidak berintegrasi dengan kehidupan masyarakat
kota. Secara sosial, kaum miskin kota memiliki ciri-ciri yang
mengungkapkan adanya disorganisasi internal dan isolasi
eksternal. Secara budaya, kaum miskin kota mengikuti pola
hidup tradisional perdesaan dan terkungkung dalam ”budaya
kemiskinan”. Secara ekonomi, kaum miskin kota hidup seperti
parasit karena lebih banyak menyerap sumber daya kota
daripada menyumbangkannya, boros, konsumtif, cepat puas,
tidak berorientasi pasar, tidak berjiwa wiraswata, dan
berproduksi secara pas-pasan. Sementara itu secara politik,
kaum miskin kota berwatak apatis, tidak berpartisipasi dalam
kehidupan politik, mudah terpengaruh oleh gerakan-gerakan
politik revolusioner karena frustasi, disorganisasi sosial dan
ketidakpastian yang mereka alami.

Sebaliknya, dalam Teori Ketergantungan, masyarakat


miskin kota tersebut dilihat sebagai pendatang miskin yang
tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai,
sehingga mereka tidak dapat ambil bagian dalam sektor
formal. Satu-satunya kemungkinan bagi kaum miskin kota
adalah bekerja di sektor informal, seperti penjaja makanan,
pedagang kecil, pemulung sampah yang tidak membutuhkan
keterampilan khusus. Secara budaya, kaum miskin kota juga
memiliki ciri-ciri yang sama dengan golongan lain yaitu
menginginkan hidup yang lebih baik dan dapat
menyekolahkan anak-anaknya, serta mau bekerja keras..
Tetapi, di mata golongan yang berkuasa, kaum miskin kota
dipandang rendah sebagai sumber malapetaka kota yaitu
sumber kejahatan, pelacuran, dan kekotoran. Secara
ekonomis, kaum miskin kota lebih banyak memberi daripada
menerima. Merekalah yang membersihkan dan memanfaatkan
sisa-sisa konsumsi golongan lain dalam masyarakat kota.
Dengan melihat konteks perkotaan di negara-negara
berkembang, jelaslah bahwa Teori Ketergantungan lebih tepat
untuk menjelaskan kemiskinan di perkotaan dibandingkan
dengan Teori Marjinalitas.

Teori Ketergantungan yang menggambarkan kaum


miskin kota sebagai warga kota yang tidak memiliki
keterampilan dan pengetahuan menunjukkan bahwa peluang
yang dimiliki oleh kaum miskin kota berada pada sektor
informal. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat
antara kemiskinan perkotaan dengan sektor informal. Sektor
informal sering kali dikaitkan dengan kaum miskin kota yang
tidak terdidik sehingga kaum miskin tersebut hanya mampu
bekerja di sektor informal yang tidak membutuhkan keahlian
khusus.

Peluang sektor informal untuk tetap bertahan atau


berkembang, dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi penawaran,
seperti telah dibahas sebelumnya, masih terdapat persoalan
struktural ketenagakerjaan di dalam negeri yang memberi
peluang besar bagi pertumbuhan sektor informal. Dengan
adanya krisis ekonomi, peluang tersebut semakin besar,
terbukti pada saat krisis ekonomi tahun 1998 lalu telah
memberi sejumlah dorongan positif bagi pertumbuhan output
(bukan produktivitas) di sektor tersebut. Dorongan positif
tersebut diberikan melalui labour market effect, yaitu
pertumbuhan jumlah unit usaha, pekerja dan pengusaha
akibat meningkatnya jumlah pengangguran (akibat banyak
pekerja di sektor formal yang di PHK-kan). Dorongan positif
lainnya dari sisi penawaran (produksi) adalah munculnya
tawaran dari sektor formal untuk melakukan mitra usaha atau
aliansi dengan sektor informal apabila kondisi memaksa.
Dengan kata lain, muncul kesempatan besar untuk melakukan
kemitraan atau misalnya subcontractring antara industri besar
dengan industri kecil.

2.3. Munculnya Kegiatan Sektor Informal

Ulasan tentang kegiatan-kegiatan sektor informal


selama ini umumnya terfokus secara eksklusif pada konteks
kontemporernya, yaitu membahas tentang tingkat penghasilan
pengusaha, jumlah tenaga kerja, latar belakang sosial
ekonomi para pekerja dan sebagainya. Ulasan-ulasan tersebut
ternyata belum mampu memberikan gambaran yang utuh
tentang fenomena informalitas. Oleh karena itu dalam hal ini
perlu dijelaskan munculnya gejala sektor informal dalam
konteks sejarah karena melalui sejarah ini dapat menyingkap
akar-akar kegiatan sektor informal serta keterkaitannya
dengan perkembangan-perkembangan makro dalam sistem
sosial ekonomi yang lebih luas.

Salah satu kajian yang dilakukan oleh Bappeda Kota


Pontianak (2007), menyebutkan pernyataan yang disampaikan
oleh Francois Valentijn bahwa kegiatan-kegiatan seperti yang
dikemukakan pada ekonomi informal saat ini sudah ada sejak
tahun 1724 di kota Batavia (Jakarta). Pada saat itu di
sepanjang jalan kota terdapat penjaja-penjaja yang berkeliling
membawa segala macam barang yang diperdagangkan.
Mereka menjual bermacam-macam sayuran, porselin, kain,
barang kerajinan, teh, roti, air minum, bunga, pakaian bekas,
kaos kaki dan lain-lain. Praktek penjualan semacam itu
sebelumnya dilarang oleh VOC dan baru diperbolehkan pada
tahun 1739. Pada abad itu sistem penjajahan telah de facto
menduduki posisi tertentu dalam sistem perekonomian kota
yang nantinya akan diisi oleh kegiatan informal. Kebiasaan
ibu-ibu rumah tangga di Batavia membeli kebutuhan rutin
mereka di halaman rumahnya telah membuka sistem
penjajaan ke rumah-rumah sebagai kebutuhan tetap bagi
jalannya ekonomi kota. Dengan bekal mobilitas yang tinggi ini,
para pedagang informal secara perlahan akan menguasai
segmen pasar ini. Dalam sebuah kajian lain, ada yang
menyimpulkan bahwa cikal bakal ekonomi informal perkotaan
mulai muncul pada abad ke-19, kemudian mengambil bentuk
modernnya pada dasawarsa 1920 atau 1930-an, sedangkan
mencapai proporsi dominannya mulai dasawarsa 1950-an.

Pada abad ke-19 tenaga kerja di sektor pertanian


mulai berlimpah karena laju pertumbuhan penduduk yang
tinggi. Hal ini membuat semakin banyak tenaga kerja mencari
sumber penghidupan lain. Sektor perdagangan dan industri
kecil menawarkan jalan keluar kepada para pencari pekerjaan
tersebut. Pada tahun 1990 tercatat bahwa sepertiga rumah
tangga perdesaan di Jawa penghasilannya diperoleh dari
perdagangan dan industri kecil. Sedangkan pada tahun 1904--
1905 gejala ini meluas yakni seluruh rumah tangga perdesaan
memperoleh pendapatan sebesar 15 persen dari perdagangan
dan industri kecil.

Jennifer Alexander dan Paul Alexander (1989)


menjelaskan bahwa pasar-pasar semakin ramai dan warung--
warung dan gerobak-gerobak penjual barang kelontong
semakin banyak, serta sektor non pertanian berkembang
dengan pesat sehingga penduduk Jawa yang terlibat dalam
kegiatan pertanian pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20
menunjukkan adanya kemunculan ekonomi sektor informal.
Pada dasawarsa 1940-an di Jakarta telah muncul usaha
mandiri berskala kecil seperti bengkel-bengkel reparasi
sepeda, tukang loak dan penjual botol bekas. Alat angkut
becak sebagai sarana transportasi diperkenalkan di Jakarta
pada tahun 1936 yang dari tahun ke tahun terus bertambah
sampai era tahun 80-an.

2.4. Sektor Informal dan Penyerapan Angkatan Kerja

Munculnya sektor informal di kota tidak terlepas dari


latar belakang sejarah perekonomian tradisional yaitu
perekonomian perdesaan yang sebagian besar didasarkan
pada struktur pertanian dengan pola bercocok tanam
sederhana. Oleh karena rendahnya upah tenaga kerja di
sektor pertanian dan semakin langkanya lahan-lahan
pertanian di perdesaan, maka banyak tenaga kerja yang
memilih alternatif lain untuk urbanisasi dan bekerja di sektor
non pertanian. Dalam hubungan ini ternyata sebagian besar
angkatan kerja terserap pada sektor informal.

Angkatan kerja merupakan bagian dari tenaga kerja


yang mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja,
yang sedang mencari pekerjaan dan yang melakukan kegiatan
lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Dengan
demikian tidak semua penduduk dapat dikategorikan sebagai
tenaga kerja, sebab diantara penduduk tersebut ada yang
kurang mampu memproduksi barang atau jasa misalnya anak-
anak di bawah usia kerja, dan orang yang lanjut usia atau
jompo.

Secara praktis pengertian tenaga kerja biasanya hanya


dilihat dari segi umur dengan memperhatikan batas umur
sehingga kemudian dapat ditentukan golongan tenaga kerja
dan golongan bukan tenaga kerja. Di tiap-tiap negara batas
umur tenaga kerja ini tidak sama. Dengan memperhatikan hal
tersebut, keseluruhan penduduk apabila dilihat dari sudut
ketenagakerjaan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
yaitu: penduduk usia kerja (working age population) dan
penduduk di luar usia kerja (non working age population).
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua tenaga kerja
berpartisipasi aktif dalam pekerjaan. Secara ekonomis tidak
semua tenaga kerja terlibat dalam pekerjaan atau kegiatan
produktif. Hanya sebagian dari mereka yang sesungguhnya
terlibat, sedangkan sebagian lainnya tidak terlibat. Mereka
yang tidak terlibat dalam kegiatan yang produktif disebut
bukan angkatan kerja (non in the labour force). Sedangkan
mereka yang terlibat dalam pekerjaan atau usaha produktif
disebut angkatan kerja (labour force).

Angkatan kerja terdiri dari golongan yang bekerja dan


golongan yang sedang mencari kerja atau menganggur.
Golongan yang bekerja adalah orang-orang yang sudah aktif
dalam kegiatannya yaitu dalam proses produksi guna
menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan golongan yang
sedang mencari kerja adalah orang yang menawarkan jasa
tenaga atau pikiran untuk proses produksi guna menghasilkan
barang atau jasa. Jumlah orang yang dapat terserap dalam
suatu pekerjaan tergantung dari besarnya permintaan
(demand) dalam masyarakat. Besar kecilnya permintaan
tenaga kerja dipengaruhi antara lain oleh aktivitas ekonomi
maupun tingkat upah. Permintaan tenaga kerja ini dapat
datang dari sektor formal maupun sektor informal. Beberapa
karakteristik tersebut dapat mempengaruhi permintaan
maupun penawaran angkatan kerja untuk masuk kerja
(terserap) oleh sektor informal. Oleh karena itu kaitan antara
sektor informal dan penyerapan angkatan kerja dapat
dikemukakan sebagai berikut:

(i) Persyaratan Masuk. Angkatan kerja mudah terserap


pada sektor informal karena sektor informal memberikan
kebebasan kepada angkatan kerja untuk masuk maupun
keluar dari pekerjaan tanpa adanya persyaratan-
persyaratan seperti yang diberlakukan pada sektor
formal. Akibatnya bagi angkatan kerja yang
berminat/tertarik untuk memasuki kerja di sektor informal
langsung dapat terserap sesuai dengan jenis yang
diminati.

(ii) Waktu kerja. Dari segi waktu kerja sektor informal


memberikan kebebasan waktu kepada angkatan kerja.
Dengan adanya kebebasan waktu kerja ini, angkatan
kerja akan lebih fleksibel dalam menjalankan usahanya
sehingga bagi siapapun yang memasuki sektor ini dapat
memilih waktu yang diinginkan.

(iii) Umur. Secara relatif bekerja pada sektor informal tidak


memiliki batas umur yang mengikat seperti yang
diberlakukan pada sektor formal. Artinya bekerja di
sektor informal tidak terdapat istilah usia produktif atau
non produktif. Siapapun yang berminat memasuki sektor
ini dalam usia berapapun dapat membuka dan
menjalankan usahanya. Dari gambaran ini bagi angkatan
kerja yang sudah tidak dipekerjakan di sektor formal
(dipensiunkan misalnya) dan masih berminat untuk
bekerja dapat terserap pada sektor informal.

(iv) Jenjang pendidikan. Umumnya pekerjaan di sektor


informal dipandang sebagai pekerjaan yang inferior,
sehingga bagi angkatan kerja yang mempunyai
pendidikan formal terbatas (rendah) apalagi buta huruf,
yang sulit memasuki sektor formal masih dapat diterima
di sektor informal.

Dengan tertampungnya angkatan kerja di sektor


informal, mereka dapat dikatakan telah terserap pada sektor
informal. Menggarisbawahi keunggulan-keunggulan sektor
informal tersebut, maka keberadaan sektor informal jangan
hanya dipandang sebagai hal yang negatif saja tetapi juga
harus diperhatikan segi positifnya. Dari segi positifnya sektor
informal mempunyai dampak sebagai berikut: (i) mempunyai
daya kemampuan untuk menyerap angkatan kerja. Hal ini
mengingat keterbatasan sektor formal dalam menyerap
angkatan kerja; dan (ii) mampu menciptakan lapangan kerja
baru.

Sektor informal yang selama ini bagi sebagian orang


dianggap lebih sering sebagai beban yang mencemari
keindahan dan ketertiban kota, justru perlu dilindungi,
dibangun, dikembangkan atau dibina sehingga dampak
negatifnya bisa dihilangkan karena sektor ini mampu
menciptakan lapangan kerja sendiri tanpa bantuan
pemerintah. Sektor ini telah memberi andil dan ikut berperan
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai
proses pembangunan ekonomi dan perubahan sosial.

2.5. Kekuatan Sektor Informal

1. Daya Tahan

Selama krisis ekonomi, terbukti sektor informal tidak


hanya dapat bertahan, bahkan berkembang pesat. Dari sisi
permintaan, akibat krisis ekonomi pendapatan riil rata-rata
masyarakat turun drastis dan terjadi pergeseran permintaan
masyarakat, dari barang-barang sektor formal atau impor
(yang harganya relatif mahal) ke barang-barang sederhana
buatan sektor informal (yang harganya relatif murah).
Misalnya, sebelum krisis terjadi, banyak pegawai-pegawai
kantoran, mulai dari kelas menengah hingga tinggi makan
siang di restoran-restoran mahal di luar kantor. Di masa krisis,
banyak dari mereka merubah kebiasaan dari makan siang di
tempat yang mahal ke rumah-rumah makan sederhana atau
warung-warung murah di sekitar kantor mereka.

Dari sisi penawaran, akibat banyak orang di-PHK-kan


di sektor formal selama masa krisis, ditambah lagi dengan
sulitnya angkatan kerja baru mendapat pekerjaan di sektor
formal, maka suplai tenaga kerja dan pengusaha ke sektor
informal meningkat. Selain itu, relatif kuatnya daya tahan
sektor informal selama krisis, juga dijelaskan oleh tingginya
motivasi pengusaha di sektor tersebut dalam
mempertahankan kelangsungan usahanya. Bagi banyak
pelaku, usaha di sektor informal merupakan satu-satunya
sumber penghasilan mereka, sehingga berbeda dengan rekan
mereka di sektor formal, pengusaha-pengusaha di sektor
informal sangat adaptif menghadapi perubahan situasi dalam
lingkungan usaha mereka.

2. Padat Karya

Dibandingkan dengan sektor formal, khususnya usaha


skala besar, sektor informal pada umumnya adalah usaha
skala kecil bersifat padat karya. Hal ini sesuai dengan kondisi
di Indonesia yang memiliki persediaan tenaga kerja yang
sangat banyak, walaupun akibatnya upah tenaga kerja
menjadi relatif lebih murah jika dibandingkan di negara-negara
lain yang jumlah penduduknya yang lebih sedikit dari
Indonesia. Dengan asumsi faktor-faktor lain mendukung
(seperti kualitas produk yang dibuat baik dan tingkat efisiensi
usaha serta produktivitas pekerja tinggi), maka upah murah
merupakan salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki
usaha kecil di Indonesia.

3. Keahlian Khusus (Tradisional)

Apabila dilihat dari jenis-jenis produk yang dibuat di


oleh industri kecil dan industri rumah tangga di Indonesia,
dapat dikatakan bahwa produk-produk yang dihasilkan
umumnya sederhana dan tidak membutuhkan pendidikan
formal, tetapi membutuhkan keahlian khusus (traditional skill).
Disinilah keunggulan lain sektor informal, yang dapat
membuat mereka bertahan walaupun terdapat persaingan
yang ketat dari sektor formal, termasuk impor yang sangat
tinggi. Keahlian khusus tersebut biasanya dimiliki pekerja atau
pengusaha secara turun temurun.

4. Permodalan

Kebanyakan pengusaha di sektor informal


menggantungkan diri pada uang (tabungan) sendiri, atau dana
pinjaman dari sumber-sumber informal (di luar sektor
perbankan/keuangan) untuk kebutuhan modal kerja dan
investasi mereka, walaupun banyak juga pengusaha-
pengusaha kecil yang memakai fasilitas-fasilitas kredit khusus
dari pemerintah. Selain itu, investasi di sektor informal rata-
rata jauh lebih rendah daripada investasi yang dibutuhkan
sektor formal. Tentu, besarnya investasi bervariasi menurut
jenis kegiatan dan skala usaha.

2.6. Dualisme di Indonesia

Dualisme diartikan sebagai situasi yang tidak seragam,


di dalamnya secara tegas masyarakat dapat dibagi menjadi 2
(dua) kelompok, yaitu kelompok masyarakat tradisional dan
modern. Keduanya berada pada ruang dan waktu yang
bersamaan, kondisi ini bersifat kronis dan permanen.
Kehadiran dan kemajuan satu kelompok pengaruhnya sangat
kecil atau tidak sama sekali terhadap kemajuan kelompok
lainnya.

Terdapat 3 (tiga) jenis dualisme, yaitu dualisme sosial,


ekologi dan ekonomi. Ismalina (2005) menjelaskan bahwa
dualisme sosial di Indonesia pertama kali dikemukakan oleh
William Boeke. Boeke menjelaskan mengapa rakyat Indonesia
dapat bertahan dalam menghadapi sistem tanam paksa
(cultuurstelsel) Pemerintah Hindia-Belanda (sistem modern),
yang jelas mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi rakyat
Indonesia. Menurut pengamatan Boeke, hal ini disebabkan
rakyat Indonesia pada waktu itu mengembangkan pula sistem
sosial-ekonomi lain (sistem tradisional), yang dapat
didefinisikan sebagai kekuatan lokal sosial. Kekuatan ini
sangat efektif menjadi ’persembunyian’ dan mekanisme
kebertahanan hidup masyarakat dari sistem sosial-ekonomi
Pemerintah Hindia Belanda Meski hidup secara subsisten,
masyarakat Indonesia tetap mampu bertahan hidup dari
keberadaan sistem tradisional tersebut.

Dualisme ekologi di Indonesia dijelaskan oleh Geertz


(1963), yaitu terdapat 2 (dua) ekosistem di Indonesia
Indonesia Dalam (sebagian besar Jawa, Bali Selatan dan
Lombok Barat) yang mewakili ekosistem padat penduduk
dengan pertanian padi, tebu, palawija, dan Indonesia Luar
(Luar Jawa dan sebagian Jawa Barat) yang mewakili
lingkungan yang relatif kosong dengan pola pertanian ladang,
perkebunan dan pertambangan. Adanya intervensi penjajah
yang mengarahkan pola produksi berorientasi ekspor, namun
tidak didukung oleh sektor lainnya terutama sektor padat
modal di luar Jawa mengakibatkan sektor pertanian di Jawa
mengalami kemandegan, ditambah lagi penduduk Jawa
mengalami pertumbuhan yang cepat, sehingga akibatnya
terjadi proses pemiskinan di Jawa.

Dualisme ekonomi dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu


dualisme teknologi, finansial dan regional. Dalam hal
teknologi, di Indonesia terdapat dua sektor yaitu sektor yang
bercirikan barat dengan perkebunan dan pertambangan yang
padat modal dan sektor pertanian dan industri rumah
tangga/industri kecil yang padat karya. Selanjutnya,
segmentasi pasar uang di negara sedang berkembang telah
menyebabkan terjadinya dualisme. Sektor padat modal dapat
dengan mudah memperoleh tambahan modal dari pasar uang
yang terorganisir, sedangkan sektor padat karya kebanyakan
tidak memiliki akses terhadap pasar uang terorganisasir,
sehingga mereka dilayani oleh pasar uang yang tidak
terorganisir seperti pengijon, dan tengkulak. Hal ini
menyebabkan semakin produktifnya sektor padat modal,
sebaliknya stagnannya sektor padat karya, atau bahkan
memburuk. Selanjutnya, ketidakseimbangan pembangunan
juga telah menyebabkan kesenjangan antar daerah, sehingga
terjadi dualisme regional. Ketiga jenis dualisme tersebut, lebih
lanjut telah memunculkan sektor formal dan informal.
BAB III
METODOLOGI DAN DATA AWAL

3.1. Kerangka Pemikiran

Migrasi Desa-Kota

Mobilitas penduduk dibedakan menjadi dua, yaitu


mobilitas permanen dan mobilitas non permanen. Mobilitas
permanen adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk
menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas
politik/negara maupun batas administratif/bagian dalam suatu
negara. Jika perpindahan melampaui batas politik/negara
disebut sebagai migrasi internasional. Sedangkan jika hanya
melampaui batas administratif dalam suatu negara disebut
migrasi internal. Migrasi internal ini dapat terjadi antar provinsi,
antar kabupaten/kota, antar kota, antar desa, antara desa-kota
atau sebaliknya, dan sebagainya.

Mobilitas non permanen dapat berbentuk migrasi


sirkuler, yaitu perpindahan seseorang ke daerah lain dengan
niatan akan kembali lagi ke daerah asal ataupun berbentuk
“nglaju” (commuting), yaitu kegiatan seseorang pulang-pergi
secara kontinyu dari suatu tempat ke tempat lainnya. Migrasi
sirkuler biasanya dilakukan oleh penduduk desa yang untuk
sementara pada periode waktu tertentu, terutama pada
periode menunggu antara musim tanam dan musim panen,
mencari tambahan penghasilan di kota. Sedangkan nglaju
biasanya dilakukan oleh orang-orang yang bertempat tinggal
di desa pinggiran kota yang setiap hari pergi-pulang ke pusat
kota tempat kerja/usaha/ sekolahnya berada.

Migrasi yang terjadi di Indonesia sebagian besar


merupakan migrasi dari desa ke kota. Dengan
berkembangnya sektor informal di kota maka mobilitas yang
sangat relevan adalah migrasi sirkuler dan komuting. Migran
sirkuler dan penglaju-lah yang kebanyakan berkecimpung di
sektor informal kota. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pekerja sektor informal di kota kebanyakan merupakan migran
dari desa yang pada waktu-waktu tertentu pulang kembali ke
desa, karena pada umumnya keluarganya tetap tinggal di
desa.

Namun, data survei dan sensus nasional tidak dapat


menggambarkan migrasi desa-kota karena tidak ada
pertanyaan asal desa migran. Demikian juga dengan migrasi
sirkuler dan komuting tidak dapat dilacak dari hasil sensus
maupun survei nasional. Data yang dikumpulkan hanya
memperlihatkan migrasi antar provinsi dan antar
kabupaten/kota. Dari pertanyaan yang diajukan hanya
diperoleh migrasi selama hidup (life time migration), migrasi
total (total migration) dan migrasi terbaru (recent migration).
Karena data migrasi desa-kota tidak mungkin diperoleh maka
akan digunakan proksi.

Selanjutnya perlu dijelaskan hubungan antara sektor


informal dan migrasi. Hubungan keduanya dapat dijelaskan
melalui proses pencarian kerja (job search) di kota dan proses
formalisasi sektor informal.

Proses Mencari Kerja di Kota dan Formalisasi Sektor


Informal

Menurut Stark (1982), proses mencari kerja di kota


oleh migran dapat dijelaskan dengan model Todaro/Harris-
Todaro. Terdapat 2 (dua) pilihan bagi migran dalam usahanya
mencari kerja di sektor formal kota, pertama, migran dari desa
memasuki sektor informal terlebih dahulu (pada periode
pertama) sembari mencari pekerjaan di sektor formal. Strategi
kedua yang dapat dilakukan oleh migran adalah secara
intensif mencari kerja di sektor formal dengan menganggur
pada periode pertama. Menurut Stark banyaknya tenaga kerja
yang memasuki sektor informal di kota karena merupakan
pilihan terbaik. Meskipun penghasilan yang diperoleh pada
periode pertama lebih besar daripada periode kedua sekalipun
tetap lebih baik bagi migran untuk tidak bekerja di sektor
informal pada periode pertama. Masuknya migran dari desa ke
sektor informal semata-mata terpaksa karena tidak mungkin
baginya menganggur, bukan karena penghasilan yang lebih
tinggi.

Stark mengasumsikan bahwa migrasi dari desa ke kota


bertujuan untuk mencari kerja di sektor formal kota. Walaupun
ia bekerja di sektor informal, itu hanyalah untuk sementara
karena ia akan beralih ke sektor formal nantinya. Dengan
demikian berarti model Todaro/Harris-Todaro menganggap
akan terjadi formalisasi sektor informal, yaitu beralihnya
pekerja sektor informal ke sektor formal serta berubahnya
status usaha informal menjadi usaha formal. Dengan demikian
sektor informal sama sekali tidak mempengaruhi keputusan
seseorang untuk bermigrasi ke kota, melainkan oleh sektor
formal di kota.

Akan tetapi, pada kenyataannya proses mencari kerja


di kota tidak hanya pada sektor formal saja, tetapi juga
informal. Todaro maupun Stark mengabaikan bahwa banyak
migran dari desa di negara sedang berkembang semata-mata
hanya untuk bekerja di sektor informal, tanpa nantinya
berkeinginan untuk beralih ke sektor formal. Daya tarik sektor
informal ini dibuktikan oleh Temple dalam Handayani (1993).
Penelitian Temple di Jakarta menemukan bahwa migrasi
ditentukan oleh probabilita untuk memperoleh pekerjaan,
bukan oleh pendapatan yang akan diperoleh. Oleh karena
sektor informal bersifat easy to entry maka probabilitas untuk
memperoleh pekerjaan di sektor informal cukup besar.
Bermigrasi ke Jakarta, terutama yang berasal dari desa
disebabkan oleh keyakinannya akan memperoleh pekerjaan di
kota, yaitu di sektor informal, meskipun pendapatan yang akan
diperolehnya lebih rendah daripada sektor formal.

Hackenberg (1980) menyatakan bahwa di kawasan


Asia Tenggara daya tarik sektor informal cukup tinggi karena
penghasilan yang dijanjikan, di sektor informal justru cukup
tinggi. Menurutnya, karena probabilitas memperoleh pekerjaan
dan penghasilan di sektor informal cukup tinggi maka sektor
informal telah menjadi daya tarik tersendiri bagi migran di desa
untuk melakukan job search ke kota. Sebagian migran ke kota
untuk mencari pekerjaan di sektor formal dan sebagian yang
lain mencari pekerjaan di sektor informal. Hal ini berarti bahwa
sektor informal juga mempengaruhi arus migrasi desa-kota.
Jadi migrasi ke kota juga dipengaruhi oleh perbedaan
penghasilan riil yang diharapkan antara sektor informal kota
dengan desa.
Dari hasil uji ekonometri jika memang benar pengaruh
perbedaan tingkat upah riil antara sektor informal di kota
dengan di desa signifikan dan jika koefisien regresinya lebih
besar daripada koefisien tingkat upah riil yang diharapkan di
sektor formal kota dengan desa maka dapat disimpulkan
bahwa di kota tidak terjadi formalisasi sektor informal.

Proses migrasi erat kaitannya dengan masalah


pemilihan, yaitu memilih untuk bermigrasi ke daerah lain atau
tetap tinggal di daerah asalnya. Jika kemudian ia memutuskan
untuk bermigrasi maka ia harus memilih ke daerah mana ia
bermigrasi. Jika rasional maka ia akan memilih daerah yang
akan memberikan kepuasan maksimum, yang ditentukan oleh
faktor-faktor ekonomi seperti pendapatan maupun faktor-faktor
non ekonomi seperti lingkungan sosial yang aman dan
sebagainya.

3.2. Metodologi

Dengan menggunakan teori-teori dualisme, dicoba


untuk mencapai tujuan pertama dari kajian ini, yaitu
memahami mengapa dan bagaimana terbentuknya sektor
informal di Indonesia. Selanjutnya dengan menggunakan teori
pembangunan dualistik, dicoba untuk mencapai tujuan kedua,
yaitu membuktikan terjadi atau tidaknya proses formalisasi
sektor informal di Indonesia. Lingkup kajian dan analisis
bersifat makro dan menggunakan data makro yaitu dari data
hasil survei dan sensus yang dilakukan secara nasional.
Pengujian model menggunakan data cross section yang mana
observasinya adalah seluruh provinsi di Indonesia.

Todaro menyatakan bahwa migrasi desa-kota


disebabkan oleh perbedaan upah riil antara desa-kota dan
probabilitas dalam memperoleh pekerjaan di kota. Dalam hal
ini adalah probabilitas untuk memperoleh kesempatan kerja di
sektor modern di kota. Jadi, seseorang akan melakukan
migrasi bilamana terdapat perbedaan expected real income
selama masa kepindahannya, yang melebihi biaya total yang
harus dikeluarkan untuk bermigrasi. Sehingga meskipun
terdapat pengangguran di kota, penduduk desa tetap akan
bermigrasi ke kota selama masih ada harapan untuk
memperoleh pekerjaan dengan pendapatan yang lebih tinggi
daripada pendapatan di desa ditambah biaya untuk
bermigrasi.

Harapan tersebut tergambar dari semakin


meningkatnya probabilitas memperoleh pekerjaan di sektor
modern kota dengan semakin lamanya ia bermukim di kota,
biasanya migran ini akan bekerja di sektor informal terlebih
dahulu. Oleh karena itu, model migrasi Todaro dikenal juga
sebagai model migrasi bertingkat. Migrasi dari sektor
tradisional tidak langsung ke sektor modern kota, melainkan
melalui sektor tradisional kota terlebih dahulu, atau dikenal
juga sebagai sektor informal. Melalui model migrasinya ini
Todaro menjelaskan bahwa proses urbanisasi yang cepat dan
arus migrasi yang deras dari desa ke kota tercermin dari
semakin lebarnya perbedaan upah riil antara kota dan desa.
Hal ini juga dipandang sebagai kritik terhadap model Lewis-Fai
Ranis (Model L-F-R) yang percaya bahwa tingkat upah di kota
dan desa akan selalu konstan. Karenanya, teori migrasi
Todaro lebih baik dalam menjelaskan keadaan di negara
sedang berkembang.

Dengan mengasumsikan bahwa keputusan untuk


bermigrasi merupakan keputusan ekonomi yang rasional, yaitu
melalui perhitungan untung rugi, maka migrasi ditentukan oleh
perbedaan dalam expected earnings (bukan accrual earning)
antara desa dan kota. Perbedaan expected earning ini
dihitung dengan mengalikan perbedaan pendapatan riil dari
pekerjaan di desa dan di kota dengan probabilitas migran
untuk memperoleh pekerjaan di kota. Selain itu, menurut
Todaro migrasi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non
ekonomi seperti sistem sosial, kebijakan pemerintah, faktor-
faktor psikologis, faktor-faktor demografis dan lain sebagainya.
Sehingga model migrasi Todaro dapat ditulis sebagai berikut:

Dengan , ,

Sehingga,
Dan ,

Dimana:

: tingkat migrasi ke kota

: jumlah migrasi dari desa ke kota

: jumlah tenaga kerja di desa

: jumlah tenaga kerja di kota

: jumlah tenaga kerja yang bekerja di kota

: probabilitas memperoleh pekerjaan di kota

: perbedaan tingkat upah riil desa-kota

: upah riil di kota

: upah riil di desa


z : faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat
migrasi, baik yang mewakili cost maupun
benefit dari bermigrasi, seperti jarak desa-
kota, ada tidaknya relasi di kota, gemerlapnya
kota (city-light) dan lain sebagainya

Sedangkan keputusan untuk bermigrasi atau tidak menurut


Todaro didasarkan pada persamaan sebagai berikut:

Dimana:
: nilai sekarang (present value) dari pendapatan neto
antara kota dan desa sepanjang jangka waktu
perencanaan bermigrasi
: biaya migrasi
I : tingkat diskonto
n : lama waktu perencanaan migrasi
t : periode waktu bermigrasi, dan t = 0, 1, 2, 3,…., n

Bila V(0) bernilai positif maka orang tersebut akan


memutuskan untuk bermigrasi ke kota, dan bila nilainya
negatif atau nol maka orang tersebut tidak akan melakukan
migrasi. Dengan persamaan tersebut, Todaro menjelaskan
mengapa migrasi desa-kota tetap berlangsung meskipun di
kota terjadi pengangguran. Selain itu, Todaro juga dapat
menjelaskan bilamana keseimbangan dapat terjadi.
Harris dan Todaro kemudian memperluas model
migrasi Todaro dengan melihat pengaruh migrasi 2 (dua)
sektor terhadap pendapatan di perdesaan, output di perkotaan
dan output di perdesaan, serta kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan. Hubungan ini digambarkan dalam suatu
sistem persamaan yang terdiri dari beberapa persamaan.
Persamaan migrasi desa-kota dalam sistem persamaan
tersebut membentuk suatu kondisi keseimbangan yaitu kondisi
dimana tidak ada lagi migrasi dari desa ke kota ( ).

Bermula dari hubungan fungsional bahwa migrasi desa-kota


dipengaruhi oleh perbedaan dalam pendapatan yang
diharapkan (expected wage different) antara desa dan kota:

Sebenarnya, fokus utama dari model H-T bukan pada


arus migrasi seperti halnya model Todaro, melainkan pada
kondisi keseimbangan statis dari migrasi. Hal ini dikarenakan
model H-T sebenarnya merupakan perluasan dari model neo-
klasik 2 sektor atau model L-F-R. Namun demikian, model
Todaro maupun model H-T sama-sama menyatakan bahwa
migrasi desa-kota ditentukan oleh perbedaan upah riil kota-
desa yang diharapkan akan diperoleh (expected income/wage
differential). Oleh karena itu model ini dapat dikombinasikan
menjadi model Todaro/Haris-Todaro (model T/H-T), yaitu
model yang menyatakan bahwa migrasi dipengaruhi oleh
perbedaaan upah riil desa-kota dan probabilita memperoleh
pekerjaan di kota.

3.3. Model dan Pengukuran Variabel dalam Model

Kajian ini menganalisis migrasi makro, dengan


menggunakan total migrasi yang tidak diuraikan dalam migrasi
per individu, sehingga probabilitas untuk bermigrasi dan tidak
bermigrasi didefinisikan sebagai rasio antara jumlah yang
bermigrasi dengan jumlah yang tidak bermigrasi. Probabilitas
seseorang yang berasal dari a dan bermigrasi ke t adalah
rasio jumlah penduduk yang berasal dari daerah a dan berada
di daerah t pada saat terjadi pencacahan dengan jumlah
penduduk yang berasal dari a. Sedangkan probabilitas
seseorang yang berasal dari a untuk tidak bermigrasi dari a
adalah rasio antara jumlah penduduk yang lahir dan berasal
dari a dan berada di a pada saat terjadi pencacahan dengan
jumlah penduduk yang berasal dari a. Oleh karena yang
dipergunakan adalah migrasi total maka karakteristik individu
sebagai faktor pengaruh bermigrasi seperti umur, jenis
kelamin dan sebagainya tidak dapat dilihat.
Dengan mengasumsikan bahwa migran dari desa tidak
hanya untuk bekerja di sektor formal, melainkan juga tertarik
pada sektor informal maka model ini memasukkan sektor
informal kota sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
migrasi desa-kota. Probabilitas memperoleh pekerjaan di
sektor informal kota merupakan rasio antara jumlah yang
bekerja di sektor informal kota dengan jumlah angkatan kerja
di kota.

Faktor-faktor lain yang diperkirakan mempengaruhi


migrasi desa-kota adalah tingkat urbanisasi di kota tujuan,
jarak antara desa-kota, dan proporsi penduduk desa dan kota
yang berpendidikan. Tingkat urbanisasi diukur dari rasio
jumlah penduduk kota terhadap penduduk total. Tingkat
urbanisasi dapat memilki pengaruh yang positif maupun
negatif terhadap migrasi desa-kota. Jika tingkat urbanisasi
mewakili daya tarik kota maka hal ini akan menjadi pull factor
bagi migran, sehingga tingkat urbanisasi memiliki pengaruh
positif terhadap migrasi desa-kota. Namun, jika tingkat
urbanisasi ini mewakili kepadatan penduduk maka tingkat
urbanisasi memiliki pengaruh negatif tingkat urbanisasi
memiliki pengaruh positif terhadap migrasi desa-kota.

Jarak antara desa-kota mewakili biaya bermigrasi,


dimana jarak antara desa-kota memiliki pengaruh negatif
terhadap migrasi desa-kota. Karena semakin jauh jarak maka
akan semakin besar biaya yang harus ditanggung oleh
migran. Faktor lainnya adalah proporsi penduduk desa dan
proporsi penduduk kota yang berpendidikan Rasio penduduk
desa yang berpendidikan diperkirakan memiliki pengaruh
positif terhadap migrasi ke kota. Penduduk desa yang
berpendidikan tersebut akan mencari pekerjaan yang
menurutnya sepadan dengan tingkat pendidikannya.
Sedangkan proporsi penduduk kota yang berpendidikan dapat
memiliki pengaruh positif maupun negatif terhadap migrasi
desa-kota. Jika pengaruhnya positif, berarti migran ke kota
tertarik oleh taraf pendidikan yang baik dari penduduk kota,
sehingga kemungkinan migran tersebut bertujuan untuk
mencari pengalaman maupun menimba ilmu di kota. Tetapi
jika pengaruhnya negatif, artinya persaingan yang ketat
karena banyaknya kaum terdidik di kota telah menahan
penduduk desa atau mungkin juga justru menyebabkan
sebagian penduduk keluar dari kota.

Pengaruh kesempatan kerja sektor informal dan sektor


formal kota terhadap proporsi penduduk yang bermigrasi ke
kota, dapat dilihat pada model sebagai berikut:
Model semi-log

Model log ganda

Proporsi jumlah penduduk yang bermigrasi dari


provinsi asal a ke kota di provinsi tujuan t ( )
terhadap

jumlah penduduk provinsi a yang tetap tinggal ( ),


dipengaruhi oleh jumlah pekerja pada sektor informal dan
formal di provinsi tujuan ( dan ), tingkat

pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor informal dan


formal di kota provinsi tujuan (WIKt dan WFKt), tingkat
pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor informal dan
formal di kota dan desa pada provinsi asal ( ,
,

, ), jarak antara provinsi asal dan tujuan ( ),

tingkat urbanisasi di provinsi asal dan tujuan ( dan ),


serta proporsi penduduk yang berpendidikan di provinsi asal
dan di kota provinsi tujuan ( dan ).
3.4. Sumber Data

Tabel 1 Variabel dan Sumber Data

Variabel Definisi Sumber Data


Proporsi jumlah penduduk yang bermigrasi SUPAS
dari provinsi asal a ke kota di provinsi tujuan t
Jumlah penduduk provinsi a yang tetap tinggal SUSENAS
Jumlah pekerja pada sektor informal di SUSENAS
provinsi tujuan
Jumlah pekerja pada sektor formal di provinsi SUSENAS
tujuan
WIKt tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari SUSENAS
pekerja sektor informal di kota pada provinsi
tujuan
WFKt Tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari SUSENAS
pekerja sektor informal di kota pada provinsi
tujuan
tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari SUSENAS
pekerja sektor informal di desa pada provinsi
asal
Tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari SUSENAS
pekerja sektor informal di kota pada provinsi
asal
Tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari SUSENAS
pekerja sektor formal di kota pada provinsi
asal
Tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari SUSENAS
pekerja sektor formal di desa pada provinsi
asal
Jarak antara provinsi asal dan tujuan SUSENAS
Tingkat urbanisasi di provinsi asal SUSENAS
Tingkat urbanisasi di provinsi tujuan SUSENAS
Proporsi penduduk yang berpendidikan di SUSENAS
provinsi asal
Proporsi penduduk yang berpendidikan di SUSENAS
provinsi di kota provinsi tujuan
3.5. Hipotesis

 Jumlah pekerja di sektor formal dan informal memiliki


pengaruh positif terhadap proporsi penduduk yang
bermigrasi ke kota.

 Upah/pendapatan riil rata-rata di sektor informal dan


formal kota provinsi tujuan menjadi faktor penarik bagi
migran ke kota provinsi tujuan, sehingga hipotesis
yang diambil adalah tingkat upah riil rata-rata sektor
informal dan formal di provinsi tujuan memiliki
pengaruh positif terhadap proporsi penduduk provinsi a
yang bermigrasi ke kota provinsi tujuan.

 Upah/pendapatan riil rata-rata di sektor informal dan


formal di desa dan kota provinsi asal menjadi faktor
pendorong bagi migran ke kota provinsi tujuan,
sehingga hipotesis yang diambil adalah tingkat upah riil
rata-rata sektor informal dan formal kota dan desa
provinsi asal memiliki pengaruh negatif terhadap
proporsi penduduk provinsi a yang bermigrasi ke kota
provinsi tujuan.

 Tingkat urbanisasi dan proporsi penduduk yang


berpendidikan, baik di provinsi asal maupun di kota
provinsi tujuan, dapat berperan sebagai faktor penarik
maupun faktor pendorong pengaruhnya bisa positif
maupun negatif.
.
 Jarak antara provinsi asal dan provinsi tujuan
merupakan proksi bagi biaya bermigrasi. Semakin jauh
jarak kepindahan berarti semakin besar biaya yang
harus ditanggung, maka semakin rendah proporsi
penduduk di provinsi asal yang bermigrasi ke kota
provinsi tujuan, sehingga jarak antara provinsi asal dan
provinsi tujuan memiliki pengaruh negatif terhadap
proporsi penduduk di provinsi asal yang bermigrasi ke
kota provinsi tujuan.
BAB IV

ANALISIS DESKRIPTIF

4.1. Permasalahan Pengangguran dalam RPJM

Pembangunan ekonomi yang telah ditempuh di masa


lalu telah menghasilkan berbagai kemajuan yang cukup
berarti, namun sekaligus juga mewariskan berbagai
permasalahan prioritas pembangunan masa lalu dimana pada
tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, telah
menciptakan peningkatan pendapatan, penurunan jumlah
kemiskinan dan pengangguran, serta perbaikan kualitas hidup
manusia secara rata-rata. Namun pembangunan ekonomi
yang sangat berorientasi kepada peningkatan produksi
nasional tersebut, tidak disertai dengan pembangunan dan
perkuatan insitusi publik maupun pasar terutama institusi
keuangan yang seharusnya berfungsi melakukan alokasi
sumber daya secara efisien dan bijaksana. Hasil
pembangunan yang dicapai menimbulkan akibat negatif dalam
bentuk terjadinya kesenjangan antar golongan pendapatan,
antar wilayah, dan antar kelompok masyarakat. Oleh karena
itu, pembangunan nasional diarahkan tidak saja pada
pertumbuhan ekonomi, namun pada pembangunan manusia
secara keseluruhan.

Meningkatnya tingkat pengangguran terbuka mencapai


9,5 persen telah berpotensi menimbulkan berbagai
permasalahan sosial. Kerja merupakan fitrah manusia yang
asasi. Ekspresi diri diwujudkan dalam bekerja. Apabila
dicermati konflik dan ketidakamanan yang timbul di berbagai
daerah sering bersumber dari sulitnya mencari pekerjaan bagi
penghidupan yang layak. Kemudian pemerintah menempatkan
penciptaan kesempatan kerja sebagai salah satu sasaran
pokok dalam Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
yang dijabarkan ke dalam berbagai prioritas pembangunan.
Menurunkan tingkat pengangguran terbuka dengan
menciptakan lapangan pekerjaan produktif mendapat
perhatian yang sungguh-sungguh dari Pemerintah.

Dalam RPJMN 2004-2009 disebutkan beberapa


permasalahan ketenagakerjaan yang dihadapi, antara lain (i)
meningkatnya jumlah pengangguran terbuka selama 5 tahun
terakhir; (ii) menciutnya lapangan kerja formal di perkotaan
dan di perdesaan pada kurun waktu 2001-2003; (iii) pekerja
bekerja di lapangan kerja yang kurang produktif; (iv)
perbedaan upah yang semakin lebar antara pekerja formal
dan informal; (v) adanya indikasi menurunnya produktivitas di
industri pengolahan; dan (vi) meningkatnya tingkat
penganggur terbuka usia muda (berumur 15-19 tahun).
Sasaran yang hendak dicapai dalam adalah menurunnya
tingkat pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen pada akhir
2009.

Hingga saat ini, masalah pengangguran di Indonesia


sepertinya tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Kondisi
tersebut semakin diperparah dengan persoalan ekonomi yang
tidak kunjung selesai. Permasalahan lain berkaitan dengan
kualitas sumber daya manusia muncul dari para penganggur
itu sendiri, misalnya dari aspek tingkat pendidikan yang
rendah. Penganggur berkualifikasi pendidikan tinggipun,
sering dihadang oleh kesempatan kerja yang sangat terbatas.
Bahkan, banyak diantara mereka yang bekerja pada posisi
yang sebetulnya bisa diisi oleh mereka yang berpendidikan
rendah atau menengah. Kondisi seperti ini memunculkan
fenomena mismatch, yaitu angkatan kerja yang bekerja pada
posisi yang tidak sesuai dengan pendidikannya. Selain karena
sulitnya lapangan pekerjaan, persoalan pengangguran
semakin bertambah dengan munculnya penganggur baru,
yaitu mereka yang baru lulus dan kemudian ikut meramaikan
pasar kerja. Kondisi ini ikut menambah rumitnya persoalan
ketenagakerjaan di Indonesia.
Dalam konsep pengangguran dikenal istilah
pengangguran terbuka atau open unemployment.
Berdasarkan konsep tersebut, pengertian penganggur adalah
penduduk usia kerja atau tenaga kerja yang belum pernah
bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan, yang
sudah pernah bekerja tetapi karena suatu hal berhenti atau
diberhentikan dan sedang berusaha memperoleh pekerjaan
kembali, serta mereka yang dibebastugaskan baik yang akan
dipanggil kembali atau tidak, tetapi sedang berusaha mencari
pekerjaan. Pengertian tersebut menunjukkan adanya
perbedaan antara pencari kerja dan penganggur. Para pencari
kerja bisa saja termasuk mereka yang sedang bekerja, tetapi
karena belum merasa puas dengan pekerjaan yang
ditekuninya saat ini, mereka masih mencari pekerjaan yang
dianggap lebih baik. Sedangkan penganggur, hanya terdiri
atas pencari kerja baru yaitu mereka yang belum pernah
bekerja, dan mereka yang pernah bekerja tetapi pada saat
sedang mencari kerja dalam keadaan tidak memiliki pekerjaan
(BPS, 2005).
Kedua karakteristik penganggur tersebut tentu saja
sangat berbeda. Bagi penganggur yang pernah bekerja,
tentunya telah memiliki pengalaman di dunia kerja, tetapi
karena kurang cocok dengan tempat kerjanya, mereka
berusaha mencari pekerjaan baru. Sementara bagi para
penganggur baru, mereka masih belum mempunyai
pengalaman kerja, tetapi kemungkinan memiliki tingkat
pendidikan yang lebih baik.

Gambar 1 Kondisi Ketenagakerjaan, Agustus 2008

Sumber: Capaian Pembangunan, Bappenas (2009)


Penganggur atau angkatan kerja yang tidak bekerja
dan sedang mencari pekerjaan di Indonesia terus bertambah
dari tahun ke tahun. Data BPS menunjukkan bahwa pada
tahun 2004 jumlah penganggur di Indonesia berjumlah 10,25
juta orang, kemudian meningkat menjadi 10,93 juta orang
pada tahun Agustus 2006. Dan pada Agustus 2008,
mengalami penurunan menjadi 9,4 juta orang. Adanya krisis
ekonomi tahun 1997, memang telah membawa dampak besar
terhadap angkatan kerja di Indonesia terutama pada tahun
2000an sebab banyak pekerja yang mengalami PHK
(pemutusan hubungan kerja). Sampai saat ini masalah
peningkatan jumlah penganggur sepertinya belum dapat
segera dipecahkan, walaupun data statistik telah menunjukkan
adanya perbaikan, apalagi sektor riil pun belum pulih
sebagaimana kondisi sebelum krisis sehingga tidak banyak
menyerap pekerja, yang tercermin pada lambatnya penurunan
tingkat pengangguran terbuka (TPT).

Dalam rangka menjawab semua tantangan dalam


pembangunan Indonesia 2004-2009, Pemerintah Indonesia
telah menetapkan tiga agenda pembangunan jangka
menengah yaitu: i) menciptakan Indonesia yang aman dan
damai; ii) menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis;
dan iii) meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam agenda
yang ketiga, prioritas pembangunan dan arah kebijakannya
mencakup penanggulangan kemiskinan dan pengurangan
pengangguran. Angka pengangguran terbuka Indonesia,
khususnya penganggur usia muda, terus meningkat sejak
krisis ekonomi tahun 1997. Pada Februari 2007, tingkat
pengangguran usia muda mencapai 29,53 persen untuk
perempuan dan 22,86 persen untuk laki-laki. Selanjutnya,
angka pengangguran usia muda menunjukkan variasi yang
cukup mencolok. Secara nasional, jumlah penganggur usia
muda mencapai 54,87 persen dari total penganggur terbuka
Indonesia.

Gambar 2 Tingkat Pengangguran Terbuka dan


Tingkat Pengangguran Usia Muda
Gambar 2a. Tingkat Gambar 2b. Tingkat
Pengangguran Terbuka ( persen) Pengangguran Usia Muda

Sumber: Sakernas, BPS (Laporan MDGS Sumber: Laporan MDGs 2007


2007)
Di luar penganggur terbuka ini, banyak penduduk usia
muda yang bekerja di sektor informal, yaitu kegiatan ekonomi
dengan produktivitas rendah, perolehan penghasilan rendah,
dan kondisi kerja yang tidak pasti. Mereka yang menganggur
atau setengah menganggur pada usia muda seringkali tidak
memiliki kesempatan untuk meningkatkan potensi dirinya
sehingga menghapuskan prospek dalam memperoleh
pekerjaan yang baik. Secara keseluruhan banyaknya
penganggur usia muda menyebabkan terbuangnya potensi
produktivitas kelompok usia muda. Tingginya angka
pengangguran usia muda ini antara lain adalah akibat
pertumbuhan ekonomi yang tidak menciptakan lapangan kerja
yang memadai. Meskipun pertumbuhan ekonomi mencapai 26
persen selama kurun waktu 2000 sampai 2005, lapangan
kerja hanya mampu tumbuh sebesar 6 persen.

Pengangguran dan setengah pengangguran menjadi


salah satu tantangan besar yang dihadapi Pemerintah.
Meskipun pertumbuhan ekonomi telah meningkat namun
pertumbuhan tersebut belum dapat menciptakan cukup
lapangan kerja bagi angkatan kerja usia muda baru yang
jumlahnya mencapai sekitar 2 juta orang setiap tahunnya.
Terbatasnya lapangan kerja, ditambah dengan kurangnya
tenaga terampil yang berorientasi pasar, mengakibatkan kaum
muda sulit mendapat pekerjaan dan pada akhirnya terjebak
dalam lingkaran pengangguran dan kemiskinan yang sangat
sulit diputus. Lebih jauh lagi, meskipun partisipasi angkatan
kerja perempuan usia muda telah menunjukkan peningkatan,
kebanyakan dari mereka hanya mampu mendapat pekerjaan
di kegiatan ekonomi informal yang tidak pasti dan
berpenghasilan rendah, seperti bekerja sebagai pekerja rumah
tangga.

Jika mencermati kembali struktur penganggur usia


muda, ternyata lebih didominasi oleh kelompok umur 15-29
tahun, seperti terlihat pada Gambar 3 yang menunjukan
persentase angka pengangguran terbuka menurut umur (15
tahun ke atas, 15-29 tahun dan 30-49 tahun). Terlihat jelas
bahwa pengangguran terbuka banyak terjadi di usia muda 15
sampai 29 tahun (23 persen). Di usia tersebut banyak sekali
lulusan sekolah yang ingin mendapatkan pekerjaan, dari yang
baru lulus SMP, SMU maupun perguruan tinggi termasuk yang
tidak sekolah. Sangat masuk akal jika hal ini terjadi.
Sedangkan untuk usia 30-49 tahun, jumlah penganggurannya
tidak terlalu tinggi (hanya 4 persen). Angka pengangguran
terbuka penduduk usia lebih dari 15 tahun ke atas sekitar 10,4
persen. Jika diperhatikan, ternyata kaum perempuan-lah yang
banyak sebagai penganggur terbuka, sekitar 27,6 persen (usia
15-29 tahun) atau 13,7 persen (usia di atas 15 tahun). Hal-hal
yang menyebabkan fenomena ini antara lain masih adanya
diskriminasi gender, jenis pekerjaan yang tersedia
kebanyakan untuk laki-laki. Hal-hal tersebut masih perlu
dianalisis lebih lanjut.

Gambar 3 Persentase Angka Pengangguran Terbuka,


Februari 2006

% 30
Laki-laki
Perempuan L+P
25

20

15

10

0 15+ th 15-29 th 30-49 th


Usia

Sumber: BPS (2007), Sakernas Feruari 2006

Khusus dalam konteks struktur umur penganggur,


Gambar 3 memperlihatkan bahwa penganggur lebih
didominasi oleh kelompok umur 15-29 tahun. Ada
kemungkinan hal ini berkaitan dengan meningkatnya migrasi
pencari kerja dari perdesaan ke perkotaan. Selanjutnya,
terlihat bahwa penganggur yang berusia di atas 30 tahun
persentasenya hanya sedikit. Secara logika ini mudah
dimengerti, karena kemungkinan pada usia tersebut
kebanyakan sudah memiliki pekerjaan yang mapan. Namun,
pekerjaan apapun bisa saja mereka geluti termasuk jenis
pekerjaan kasar, sebab pada umur itu kebanyakan sudah
berkeluarga dan mereka dihadapkan pada tanggung jawab
untuk menghidupi keluarganya.

Gambar 4 Angka Pengangguran Terbuka


Gambar Gambar 4b.
4a.
Angka Pengangguran Terbuka, Angka Pengangguran Terbuka,
Usia 15 + Tahun Usia 15-29 Tahun
% 18
16 Laki-lakiPerempuanL+P

14

12

8
10

2 Kota Desa Kota+Desa

0
Sumber: BPS (2007), Sakernas Feruari 2006

Sebagian besar pekerjaan yang tersedia lebih banyak


di perkotaan dari pada di perdesaan, hal ini disebabkan
pekerjaan di perkotaan menjanjikan lebih banyak pendapatan.
Kondisi ini yang menyebabkan pencari kerja berbondong-
bondong datang ke perkotaan yang berakibat angka
pengangguran terbuka di kota lebih besar (13,3 persen)
dibandingkan perdesaan (8,4 persen). Gambar 4a dan 4b
menunjukkan bahwa persentase perempuan penganggur usia
15 tahun lebih di perdesaan hampir sama dengan penganggur
laki-laki di kota (walaupun nilainya lebih sedikit dibanding
perempuan penganggur di kota).

Hal ini mengindikasikan, bahwa di perkotaan selain


dipenuhi oleh penganggur yang baru menyelesaikan sekolah,
juga kedatangan penganggur ulangan yang berstatus migran
yang berasal dari perdesaan, untuk mencari pekerjaan yang
dianggapnya lebih baik di daerah perkotaan. Dalam konteks
kebijakan, kondisi ini patut dicermati oleh pemerintah yang
ingin mengurangi tingkat pengangguran. Penciptaan lapangan
pekerjaan tidak hanya dilakukan di perkotaan, di perdesaan-
pun membutuhkan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan
pendapatan, terutama lapangan pekerjaan yang bisa
memberdayakan perempuan yang ingin bekerja dan
penghapusan deskriminasi gender di bidang pekerjaan.

Pengangguran terbuka di Indonesia termasuk tinggi,


menurut Sakernas Febuari 2006, terdapat lebih dari 11 juta
penganggur atau 10,4 persen dari angkatan kerja usia 15
tahun ke atas. Mungkin akan lebih menarik jika kita melihat
perbandingannya menurut wilayah dan jenis kelamin angkatan
kerja dan tingkat pendidikan yang ditamatkan.
Gambar 5 Pengangguran Terbuka berdasar Tingkat Pendidikan,
Jenis Kelamin, dan Daerah

% 35
<= SD
30SMP SMA
25Diploma +
20

15

10

Kota Desa Total KotaDesaTotal


Laki-laki Perempuan

Sumber: BPS (2007), Sakernas Feruari 2006

Gambar 5 menunjukkan bahwa persentase


pengangguran terbuka masih didominasi oleh perempuan
(14,2 persen) dibandingkan dengan laki-laki (8.6 persen).
Begitu juga dengan pendidikan perempuan, sebagian besar
pengangguran terbuka perempuan mempunyai pendidikan
SMA (26,8 persen) atau SMP (19,5 persen) baik itu di
perkotaan maupun di perdesaan. Ternyata pengangguran
terbuka dengan pendidikan diatas diploma sampai perguruan
tinggi didominasi oleh perempuan di perkotaan, yaitu sebesar
(14,8 persen), sedangkan untuk perdesaan hanya (12,1
persen). Persentase ini cukup jauh berbeda dengan
penganggur laki-laki yang rata-ratanya sekitar 9,2 persen.

Secara umum terlihat bahwa pengangguran terbuka,


baik di kota maupun desa, baik laki-laki maupun perempuan,
sangat didominasi oleh mereka yang pernah mengenyam
pendidikan dasar sembilan tahun dan menengah. Keadaan ini
memberi gambaran bahwa tingkat pendidikan mereka yang
berada di perkotaan lebih baik jika dibandingkan dengan di
perdesaan, dalam arti persentase jumlah pengangggur
pendidikan tinggi di kota sangat jauh berbeda dengan jumlah
pengangggur pendidikan tinggi di desa.

Kemungkinan hal ini disebabkan oleh perbedaan


kepuasan dalam bekerja. Pekerja berpendidikan dasar dan
menengah yang bekerja di perdesaan, mereka cukup puas
dengan pekerjaan yang telah didapatkannya. Sementara di
perkotaan, walaupun telah bekerja tetapi mereka masih
merasa kurang puas dengan pekerjaannya, sehingga lebih
mudah keluar masuk pekerjaan dalam upaya untuk
memperoleh pekerjaan yang dianggapnya lebih baik.
4.2. Intervensi yang telah dilakukan di bidang
ketenagakerjaan

Dengan kondisi pasar kerja Indonesia yang bersifat


dualistik, yaitu sebagian besar atau 70 persen dari angkatan
kerja bekerja pada lapangan kerja informal; sebagian besar
memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah
yaitu sekitar 55 persen adalah lulusan sekolah dasar
kebawah; serta sebagian besar berusia muda, kebijakan
ketenagakerjaan yang termuat dalam RPJM diarahkan pada:

1. Menciptakan lapangan pekerjaan formal atau modern


yang seluas-luasnya. Keadaan angkatan kerja yang
sebagian besar berpendidikan sekolah dasar ke bawah
serta berusia muda ini diperkirakan belum akan berubah
secara berarti sampai 20 tahun mendatang. Dengan
demikian lapangan kerja yang akan diciptakan sebaiknya
mempertimbangkan tingkat keterampilan pekerja yang
tersedia. Dengan kualifikasi angkatan kerja yang
tersedia, maka lapangan kerja formal yang diciptakan
didorong kearah industri padat pekerja, industri
menengah dan kecil, serta industri yang berorientasi
ekspor.

2. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pekerja


dapat berpindah dari pekerjaan dengan produktivitas
rendah ke pekerjaan dengan produktivitas lebih tinggi.
Dukungan ini sangat diperlukan agar pekerja informal
secara bertahap dapat berpindah ke lapangan kerja
formal. Upaya-upaya pelatihan tenaga kerja harus terus
ditingkatkan dan disempurnakan agar perpindahan
tersebut dapat terjadi.

Kebijakan yang ditempuh untuk menciptakan lapangan


kerja formal dan meningkatkan produktivitas pekerja
dilaksanakan dengan:

1. Menciptakan fleksibilitas pasar kerja dengan


memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang
berkaitan dengan rekrutmen, outsourcing, pengupahan,
pemutusan hubungan kerja, dan memperbaiki aturan
main yang mengakibatkan perlindungan yang lebih
aman.
2. Menciptakan kesempatan kerja melalui investasi. Dalam
hal ini Pemerintah harus menciptakan iklim usaha yang
kondusif dengan peningkatan investasi. Iklim usaha yang
kondusif memerlukan stabilitas ekonomi, politik dan
keamanan, biaya produksi yang rendah, kepastian
hukum dan peningkatan ketersediaan infrastruktur.
3. Meningkatkan kualitas Ssumber Ddaya Mmanusia yang
dilakukan antara lain dengan memperbaiki pelayanan
pendidikan, pelatihan dan pelayanan kesehatan.
4. Memperbarui program-program perluasan kesempatan
kerja yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain
program pekerjaan umum, kredit mikro, pengembangan
usaha kecil menengah, dan program pengentasan
kemiskinan.
5. Memperbaiki berbagai kebijakan yang berkaitan dengan
migrasi tenaga kerja, baik itu migrasi internal maupun
eksternal.
6. Menyempurnakan kebijakan program pendukung pasar
kerja dengan mendorong terbentuknya informasi pasar
kerja serta membentuk bursa kerja.

Selama ini memang belum ada kebijakan atau program


khusus dari pemerintah yang berdampak langsung (kebijakan
untuk mengurangi pengangguran biasanya dilakukan dengan
kebijakan yang sifatnya tidak langsung, misalnya melalui
kebijakan fiskal) pada pengurangan pengangguran
sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara lain.
Sedangkan kebijakan untuk meningkatkan kualitas tenaga
kerja adalah melalui sektor pendidikan.
4.3. Sektor Informal sebagai Penyerap Tenaga Kerja
Berkualitas Rendah

Keberadaan dan kelangsungan kegiatan sektor


informal dalam sistem ekonomi berperan cukup penting dalam
pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional.
Setidaknya, ketika program pembangunan kurang mampu
menyediakan peluang kerja bagi angkatan kerja, sektor
informal dengan segala kekurangannya mampu berperan
sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para
pencari kerja. Ketidakmampuan pembangunan menyediakan
peluang kerja, untuk sementara dapat diredam karena
tersedia peluang kerja di sektor informal. Sektor informal
meskipun tanpa dukungan fasilitas sepenuhnya dari negara,
dapat berperan sebagai penyedia barang dan jasa murah
untuk mendukung kelangsungan hidup para pekerja usaha
skala besar. Bahkan, ketika perekonomian nasional
mengalami kemunduran akibat resesi, sektor informal mampu
bertahan tanpa membebani ekonomi nasional, sehingga roda
perekonomian masyarakat tetap bertahan. Peran sektor
informal ini telah berlangsung sejak lama dalam pasang surut
perkembangan masyarakat dan dinamika perkembangan
ekonomi.
Sampai saat ini, pengertian sektor informal sering
dikaitkan dengan ciri-ciri utama pengusaha dan pelaku sektor
informal, antara lain: kegiatan usaha bermodal utama pada
kemandirian rakyat, memanfaatkan teknologi sederhana,
pekerjanya terutama berasal dari tenaga kerja keluarga tanpa
upah, bahan baku usaha kebanyakan memanfaatkan sumber
daya lokal, sebagian besar melayani kebutuhan rakyat kelas
menengah ke bawah, pendidikan dan kualitas sumber daya
pelaku tergolong rendah.

Meskipun pertumbuhan ekonomi selama pembangunan


jangka panjang pertama berkisar antar 5-8 persen per tahun,
proporsi pekerja sektor informal, khususnya di perkotaan
cenderung meningkat. Pada tahun 1971 proporsi pekerja
sektor informal terhadap jumlah angkatan kerja di kota
mencapai sekitar 25 persen. Angka ini meningkat menjadi
sekitar 36 persen pada tahun 1980 dan menjadi 42 persen
pada tahun 1990. Tahun 2000 angka tersebut menjadi sekitar
65 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor informal masih
cukup dominan menyerap angkatan kerja khususnya di
perkotaan. Selain itu perkembangan ekonomi belum dapat
mengatasi persoalan klasik keterbatasan peluang kerja.

Sebagai contoh, angka pengangguran Februari 2008


menurun dibandingkan dengan Februari 2007 dan Agustus
2007. Permasalahan pengangguran terselamatkan oleh sektor
informal yang lebih banyak menyerap tenaga kerja. Meskipun
demikian, sektor informal dinilai kurang berkualitas dalam
perspektif penyerapan tenaga kerja. Pada umumnya, sektor
informal yang menyerap tenaga kerja adalah bidang pertanian,
perdagangan, dan jasa kemasyarakatan. Dari tahun ke tahun,
sekitar 70 persen pekerja bekerja di sektor informal dan 30
persen di sektor formal.

Jumlah penganggur pada Februari 2008 sebesar 9,43


juta orang, berkurang 584.000 dibandingkan dengan Agustus
2007 atau berkurang 1,12 juta orang dibandingkan dengan
jumlah penganggur pada Februari 2007 yang mencapai 10,55
juta orang. Pada periode Februari 2007 - Februari 2008,
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pengangguran
meningkat hanya pada tujuh provinsi, yakni Riau, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Kalimantan Selatan,
Papua Barat, dan Yogyakarta. Sebaliknya, penurunan jumlah
penganggur terbesar pada Februari lalu terjadi di Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ketiga provinsi tersebut
merupakan daerah penghasil beras utama. Pada saat survei
dilakukan, musim panen tanaman padi sedang berlangsung
sehingga terdapat tambahan tenaga kerja.
Data BPS juga menunjukkan, dari 102,05 juta orang
yang bekerja, hanya sekitar 28,52 juta orang yang bekerja
sebagai buruh/karyawan di sektor formal. Industri adalah
penyedia lapangan kerja formal terbesar. Sebaliknya, sektor
pertanian yang lebih banyak bersifat informal menyerap 42,69
juta tenaga kerja dari total penduduk yang bekerja pada
Februari 2008. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian
sebenarnya relatif tidak banyak berubah dalam tiga tahun
terakhir. Hal ini menunjukkan mulai terdapat kejenuhan di
sektor pertanian. Pada Februari 2006, sektor pertanian
menyerap 42,32 juta tenaga kerja, sedangkan pada Februari
2007, sekitar 42,61 juta orang. BPS mendefinisikan, ”bekerja”
adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh keuntungan atau membantu memperoleh
keuntungan, sedikitnya satu jam dalam waktu seminggu
sebelum survei.

Di satu sisi sektor informal juga masih memegang


peranan penting menampung angkatan kerja, terutama
angkatan kerja muda yang masih belum berpengalaman atau
angkatan kerja yang pertama kali masuk pasar kerja. Keadaan
ini berdampak positif dalam mengurangi tingkat pengangguran
terbuka. Tetapi di sisi lain, sektor informal menunjukkan gejala
tingkat produktivitas yang rendah, karena masih
menggunakan alat-alat tradisional dengan tingkat pendidikan
dan keterampilan yang relatif rendah.

Tabel 2 menampilkan pekerja Indonesia menurut


status pekerjaan utama. Empat macam status pekerjaan yaitu
(i) berusaha sendiri; (ii) pekerja bebas di pertanian; (iii) pekerja
bebas di non-pertanian; dan (iv) pekerja keluarga, sering
dipakai sebagai proksi pekerja sektor informal. Sedangkan tiga
status pekerjaan lainnya, yaitu (i) buruh /karyawan, (ii)
berusaha dibantu buruh tetap, dan (iii) berusaha dibantu buruh
tidak tetap, dianggap sebagai proksi pekerja sektor formal.
Terlihat bahwa sekitar 48,8 persen atau 50,97 juta penduduk
usia 15 tahun ke atas (Februari 2009) bekerja di sektor
informal, sementara sisanya yaitu 53,52 juta penduduk usia 15
tahun ke atas (51,2 persen) bekerja di sektor formal.
Tabel 2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut
Status Pekerjaan Utama, Agustus 2007 - Februari 2009 ( juta
orang)
Status Pekerjaan 2007 2008 2009
Utama Agustus Februari Agustus Februari
Berusaha Sendiri 20,32 20,08 20,92 20,81
Berusaha dibantu 21,02 21,60 21,77 21,64
Buruh tidak Tetap
Berusaha dibantu 2,88 2,98 3,02 2,97
Buruh Tetap
Buruh/Karyawan 28,04 28,52 28,18 28,91
Pekerja Bebas di 5,92 6,13 5,99 6,35
Pertanian
Pekerja Bebas di Non 4,46 4,80 5,29 5,15
Pertanian
Pekerja Keluarga 17,28 17,94 17,38 18,66
Total 99,93 102,05 102,55 104,49
Sumber: Berita Resmi Statistik, BPS: Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari
2009 (2009)

Jika melihat kondisi year to year, angka tersebut


menunjukkan adanya penurunan daya serap tenaga kerja di
sektor formal, dimana data statistik Februari 2008
menunjukkan persentase tenaga kerja sektor informal adalah
sebesar 47,96 persen sedangkan tenaga kerja sektor formal
mencapai 53,04 persen. Kondisi ini memberikan sinyalemen
semakin besarnya peran sektor informal dalam perekonomian
nasional.

Mengingat peran sektor informal yang cukup positif


dalam proses pembangunan, sudah sewajarnya nasib para
pekerjanya dipikirkan. Beberapa kebijakan, baik langsung
maupun tidak langsung, untuk membantu pengembangan
masyarakat melalui pembinaan kegiatan usaha pekerja di
sektor informal memang sudah dilakukan. Namun terdapat
kecenderungan kegiatan ekonomi di sektor informal dan nasib
pekerja sektor informal belum banyak mengalami perubahan.
Prioritas sebaiknya diberikan pada sektor informal yang lebih
memihak pada kepentingan masyarakat. Kebijakan yang biasa
diberikan kepada pengusaha besar mungkin sebaiknya
dikurangi, tanpa bermaksud mengurangi arti pentingnya
kebijakan yang telah ada.

Kerja keras pemerintah dibutuhkan dalam konteks


perumusan dan pelaksanaan kebijakan ketenagakerjaan.
Apakah pemerintah harus mulai “berpaling” ke sektor
informal? Atau pemerintah akan “mengembalikan” peran
sektor formal dalam perekonomian nasional? Atau bahkan
pemerintah merasa tidak berkepentingan dan cenderung
membiarkan kondisi ini, yang tentunya bisa disikapi secara
positif maupun negatif.
BAB V

ANALISIS KUANTITATIF (INTERPRETASI MODEL)

Berdasarkan data makro kependudukan BPS, dapat


diperoleh data migrasi ke kota, baik intra maupun antar
provinsi. Data SUPAS misalnya, dapat menjelaskan migrasi ke
kota antar kabupaten/kota yang intra maupun antar provinsi.
Migran ke kota antar kabupaten/kota yang intra provinsi
kemungkinan berasal dari kota atau kota di kabupaten lain
pada provinsi yang sama, atau mungkin juga berasal dari desa
di kabupaten lain pada provinsi yang sama. Sementara,
migran ke kota antar kabupaten/kota yang antar provinsi
mungkin berasal dari desa di kabupaten/kota lain pada
provinsi yang lain pula. Sesuai dengan tujuan kajian ini maka
data migrasi ke kota antar provinsi cukup baik digunakan
sebagai pengganti migrasi desa-kota. Data migrasi ke kota ini
akan digunakan untuk membuktikan apakah sektor informal
bertindak sebagai penarik dan sektor informal di perdesaan
bertindak sebagai faktor pendorong terhadap migrasi ke kota.
Dipilihnya migrasi ke kota antar provinsi, bukan intra
provinsi karena:

1. Migran ke kota yang intra provinsi selain berasal dari desa


juga berasal dari kota pada provinsi yang sama, tidak
diketahui dari kota yang mana serta ke kota yang mana
terjadinya migrasi tersebut;
2. Menyangkut masalah teknis, jika digunakan migrasi intra
provinsi paling banyak diperoleh 33 observasi, sesuai
jumlah provinsi di Indonesia. Sedangkan jika
menggunakan migrasi antar provinsi maka akan diperoleh
observasi yang cukup yaitu maksimal 33x32 atau 1056
observasi. Observasi yang besar akan menurunkan
varians, sehingga penaksiran menjadi lebih efisien;
3. Migrasi antar provinsi di Indonesia merupakan fenomena
penting karena adanya program resettlement antara
provinsi yaitu transmigrasi, yang umumnya mengarah
menuju daerah perdesaan di provinsi tujuan.

Jenis migrasi yang dipilih adalah migrasi terbaru


(recent migration). Dari data SUPAS adalah penduduk umur
lima tahun ke atas yang pada waktu pencacahan bertempat
tinggal di kota pada provinsi t dan lima tahun sebelumnya, ia
bermukim di provinsi a. Data migrasi terbaru ke kota antar
provinsi yang dipergunakan ini mempunyai beberapa
kelemahan, yaitu angka migrasi tersebut adalah angka
kumulatif migrasi dalam waktu lima tahun, sedangkan data
variabel lainnya dalam model adalah untuk tahun tertentu.
Secara apriori hal ini menyebabkan bias simultan, karena
variabel bebas, khususnya tingkat upah dipengaruhi oleh
migrasi yang terjadi pada waktu sebelumnya.

Selain itu, angka migrasi terbaru ini tidak dapat


memperlihatkan adanya migrasi bertahap (multi stage
migration) serta migrasi kembali (return migration).
Kemungkinan migran yang tercatat tersebut tidak langsung
pindah dari provinsi a ke provinsi t, tetapi ke provinsi b terlebih
dahulu. Dengan demikian, push factor dari provinsi a tidak
relevan digunakan dalam model karena perpindahan ke t
bukan di dorong oleh faktor-faktor di provinsi a, melainkan
oleh faktor-faktor di provinsi b. Akan tetapi, periode terjadinya
migrasi kumulatif cukup singkat, kedua masalah tersebut
diharapkan tidak terjadi, karena belum cukup waktu untuk
terjadi penyesuaian upah. Hal ini diperkuat oleh beberapa
studi yang menunjukkan bahwa tingkat upah tidak responsif
terhadap perubahan dalam pasar tenaga kerja di kota. Selain
itu, diasumsikan bahwa migrasi bertahap dan migrasi kembali
tidak terjadi dalam periode yang sempit. Keputusan untuk
berpindah memerlukan pertimbangan matang.
Data migrasi yang digunakan mempunyai satu
kelebihan, yaitu bahwa penggunaan data migrasi ini dapat
sekaligus membuktikan hipotesis Todaro yang menyatakan
bahwa migrasi merespon adanya perbedaan penghasilan
yang diharapkan bukan penghasilan riil antara desa-kota.

Proporsi jumlah penduduk yang bermigrasi dari


provinsi asal a ke kota di provinsi tujuan t ( ) terhadap

jumlah penduduk provinsi a yang tetap tinggal ( ),


dipengaruhi oleh jumlah pekerja pada sektor informal dan
formal di provinsi tujuan ( dan ), tingkat

pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor informal dan


formal di kota provinsi tujuan (WIKt dan WFKt), tingkat
pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor informal dan
formal di kota dan desa pada provinsi asal ( ,
,

, ), jarak antara provinsi asal dan tujuan ( ),

tingkat urbanisasi di provinsi asal dan tujuan ( dan ),

serta proporsi penduduk yang berpendidikan di provinsi asal


dan di kota provinsi tujuan ( dan ).

5.1. Hasil Regresi

Dari hasil regresi model diketahui bahwa variabel


bebas yang signifikan berpengaruh terhadap proporsi
penduduk suatu provinsi yang bermigrasi ke provinsi lain
(LmKAT) adalah jumlah pekerja pada sektor informal di kota
provinsi tujuan, jumlah pekerja pada sektor formal di kota
provinsi tujuan, tingkat upah rata-rata riil sektor formal di kota
provinsi tujuan, tingkat upah riil rata-rata sektor informal desa
dan sektor formal kota di provinsi asal, jarak antara provinsi
asal dan provinsi tujuan, serta tingkat urbanisasi di provinsi
tujuan.

Tabel 3 Hasil Regresi Model

Dependent Variable : LmKAT


Variable Coefficient Std Error T-Stat Prob
C -10.9589 0.8789 -12.4687 0.000
EFKT 1.549D-06 2.537D-07 5.1677 0.000
EIKT 2.051D-07 2.471D-06 0.8300 0.040
WIKT 0.0007 0.0116 0.0622 0.950
WFKT -0.0199 0.0097 -2.0534 0.040
WIDA -0.1212 0.0372 -3.2562 0.001
WIKA 0.0186 0.0191 0.9691 0.332
WFDA 0.0217 0.0154 1.4083 0.159
WFKA 0.0266 0.0130 2.0482 0.041
JAT -0.0012 0.0001 -9.5682 0.000
UT 3.8254 1.0581 3.6152 0.000
SKT 3.7927 2.5996 1.4589 0.145
SA 2.7385 2.0338 1.3465 0.178
R-squared : 0.5718
Adjusted R-squared : 0.5510

Jumlah kesempatan kerja di sektor informal dan sektor


formal memiliki pengaruh positif terhadap LmKAT, yang berarti
bahwa setiap peningkatan jumlah pekerja di sektor formal dan
sektor informal di suatu provinsi akan berdampak pada
peningkatan proporsi penduduk dari provinsi lain untuk
bermigrasi ke kota provinsi tersebut. Tingkat upah riil rata-rata
pada sektor informal di kota provinsi tujuan terbukti tidak
berpengaruh terhadap LmKAT. Tingkat upah riil rata-rata pada
sektor formal di provinsi tujuan memiliki pengaruh negatif.
Tingkat upah riil rata-rata pada sektor formal di kota provinsi
asal memiliki pengaruh positif terhadap LmKAT, sedangkan
tingkat upah riil rata-rata pada sektor informal di desa provinsi
asal memiliki pengaruh negatif terhadap LmKAT.

Hal tersebut dapat dijelaskan jika migran ke kota antar


provinsi tersebut kebanyakan merupakan kelompok marginal.
Peningkatan upah di sektor formal di kota di suatu provinsi
malah mendorong kelompok marginal pada provinsi tersebut
untuk bermigrasi ke kota di provinsi lain. Dengan kata lain,
peningkatan upah sektor formal kota di suatu provinsi justru
mendorong sebagian kelompok marginal di kota tersebut
untuk bermigrasi. Sedangkan penurunan upah sektor formal
kota di suatu provinsi tidak mendorong penduduk provinsi
tersebut untuk bermigrasi. Dengan kata lain, bahwa tingkat
upah formal pada provinsi tujuan bukan merupakan pull factor,
demikian juga dengan tingkat upah formal kota pada provinsi
asal bukan merupakan push factor.
Pengujian terhadap variabel bebas lainnya sesuai
dengan hipotesis awal. Jarak antar provinsi memiliki
pengaruh negatif terhadap LmKAT, yang berarti bahwa
penduduk di suatu provinsi cenderung ke kota provinsi yang
lebih dekat jaraknya. Tingkat urbanisasi di provinsi tujuan
merupakan pull factor, artinya bahwa kepadatan kota justru
menjadi daya tarik bagi migran.

Kontribusi utama dari regresi dan analisis


ekonometrika terhadap model migrasi yang dilakukan adalah
membuktikan bahwa sektor informal di kota merupakan faktor
penarik migrasi ke kota antar provinsi di Indonesia. Sektor
informal di kota yaitu jumlah pekerja yang bekerja atau
berusaha di sektor tersebut merupakan daya tarik bagi
penduduk dari provinsi lain untuk menuju kota tersebut. Jika
hal ini terjadi maka berarti penemuan yang berbeda dengan
model Todaro/Harris-Todaro, dimana migrasi ke kota hanya
dipengaruhi oleh tingkat upah dan kesempatan kerja di sektor
formal kota, sedangkan sektor informal hanyalah
penampungan sementara bagi migran sebelum memperoleh
pekerjaan di sektor modern.

Dengan terbuktinya pengaruh yang signifikan dari


sektor informal terhadap migrasi ke kota, maka hal ini
sekaligus menjadi alasan untuk menerima hipotesis bahwa
tidak terjadi formalisasi sektor informal di kota. Migran dari
desa justru tertarik ingin bekerja dan berusaha di sektor
informal, tidak ada niat untuk mencari kerja di sektor formal
atau mengalihkan usahanya ke sektor formal, atau dengan
kata lain tidak ada niat untuk melakukan formalisasi. Beberapa
hal yang memungkinkan mengapa mereka tidak berniat
melakukan proses formalisasi adalah adanya berbagai
kendala yang dihadapi pekerja maupun pengusaha sektor
informal di kota dalam usahanya beralih kerja ataupun
mengembangkan usahanya menjadi formal. Telah dilakukan
berbagai penelitian tentang pengaruh sektor informal terhadap
migrasi ke kota. Beberapa penelitian menemukan bahwa
keberadaan sektor informal di kota sebagai akibat langsung
dari migrasi ke kota. Dengan demikian sektor informal sebagai
akibat, bukan sebagai penyebab migrasi ke kota.

Terbukti juga bahwa tingkat upah di sektor informal


desa provinsi asal (WIDA) berpengaruh secara signifikan
terhadap migrasi ke kota dan pengaruhnya adalah negatif,
yang berarti bahwa upah sektor informal desa merupakan
push factor. Peningkatan upah riil sektor informal di desa akan
menahan penduduk untuk berpindah ke kota, sebaliknya jika
terjadi penurunan upah maka penduduk desa akan berpindah
ke kota, sehingga dengan meningkatkan upah sektor informal
di desa maka migrasi penduduk desa ke kota dapat dikurangi.

Signifikansi variabel jarak yang mewakili biaya


bermigrasi menjelaskan bahwa penduduk suatu provinsi akan
bermigrasi ke kota provinsi terdekat. Signifikansi dari variabel
(UT) menjelaskan bahwa keramaian kota merupakan daya
pikat bagi para pendatang, bukan sebagai penghambat orang
untuk bermigrasi ke kota, dapat disimpulkan bahwa provinsi
dengan proporsi penduduk kota yang relatif tinggi akan
menerima migran ke kota lebih banyak.

5.2. Pembangunan Kota, Penciptaan Kesempatan Kerja


dan Pengembangan Sektor Informal Desa

Dalam rangka mengatasi masalah perkotaan, terutama


masalah pengangguran dan setengah pengangguran,
kebijakan pembangunan kota dan perluasan kesempatan
kerja sektor formal kota merupakan cara yang lebih sering
dipilih. Tujuannya agar dapat menampung pekerja sektor
informal dan para penganggur di kota. Namun seringkali
penciptaan lapangan kerja sektor formal di kota justru akan
menarik pencari kerja baru ke kota, sehingga jumlah
penganggur dan jumlah pekerja sektor informal di kota tidak
akan berkurang.

Selain perluasan kesempatan kerja sektor formal di


kota, kebijakan lain yang sering ditempuh adalah
pembangunan perkotaan. Pada umumnya, pembangunan
perkotaan di NSB termasuk Indonesia lebih cepat daripada
pembangunan perdesaan, sehingga timbullah “primacy” yaitu
keunggulan dari beberapa kota tertentu dibandingkan kota-
kota lainnya maupun desa. Pembangunan kota dan primacy
akan semakin menambah daya tarik kota bagi penduduk desa
karena menjanjikan berbagai kesempatan dan peluang untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dari hasil regresi
juga terbukti bahwa tingkat urbanisasi mempunyai pengaruh
positif yang signifikan terhadap proporsi penduduk yang
bermigrasi ke kota provinsi lain.

Selain itu, pembangunan kota membuat biaya


bermigrasi ke kota menjadi semakin kecil. Dengan demikian,
jumlah penduduk yang bermigrasi ke kota akan semakin
meningkat. Dari hasil regresi juga terbukti bahwa biaya
bermigrasi yang diwakili dengan jarak secara signifikan
memiliki pengaruh negatif dengan proporsi penduduk yang
bermigrasi ke kota. Jadi, secara umum kebijakan-kebijakan
yang bersifat urban solution bukanlah cara yang tepat untuk
mengatasi masalah pengangguran di kota.

Kebijakan yang bersifat non-urban solution dibutuhkan.


Salah satunya dengan menitikberatkan pada variabel tingkat
upah informal desa. Berdasarkan hasil regresi, variabel ini
terbukti signifikan sebagai push factor migrasi ke kota,
sehingga peningkatan upah desa akan menyebabkan
penduduk desa tidak terdorong untuk melakukan migrasi ke
kota. Selama ini upah riil sektor informal terus mengalami
penurunan dan perlu menjadi perhatian untuk dicarikan jalan
keluarnya. Masyarakat desa yang berada di sektor informal
perlu menjadi kelompok sasaran bagi program-program
pembangunan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka.
Hal tersebut akan mengurangi kesenjangan desa-kota
sekaligus mengurangi arus migrasi desa-kota. Kebijakan
seringkali bersifat skeptis terhadap pengembangan sektor
informal, terutama sektor informal di desa. Pembangunan
sektor formal selalu diprioritaskan melalui berbagai kebijakan,
sedangkan kebijakan untuk sektor informal seringkali masih
sekedar lip-service.

Sebagian besar ahli berpendapat bahwa


pembangunan desa di NSB, termasuk Indonesia, masih
kurang memberi stimulus bagi proses pendewasaan diri
masyarakat desa dan aparat agar lebih mandiri dan berinisiatif
dalam pembangunan. Pembangunan desa di masa lalu
umumnya bersifat sentralistik, birokratik dan paternalistik. Pola
seperti ini merupakan warisan masa kolonial, yaitu politik etis
pada masa Belanda, dimana negara merupakan perencana,
penyedia dana dan pelaksana pembangunan di desa.
Program-program dan proyek-proyek pembangunan di masa
sebelumnya seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan masyarakat, sehingga mereka cenderung pasif dan
tidak berinisiatif dalam menerima dan melaksanakannya.

Pembangunan desa seharusnya tidak hanya berupa


peningkatan dan pemasaran produksi, peningkatan
pendapatan masyarakat (production centered development),
tetapi juga berupa peningkatan kualitas sumberdaya manusia
(people centered development) di desa. Dengan demikian
mereka dapat mengekspresikan keinginan dan
mengidentifikasi permasalahan sekaligus mencari alternatif
jalan keluarnya. Salah satu bentuk pembangunan desa yang
mandiri dan berswadaya adalah dengan pengembangan
sektor informal di desa, terutama non-pertanian. Prioritas
pembangunan desa pada masa sebelumnya lebih ditekankan
pada pertanian, terutama tanaman padi, untuk mencapai
swasembada pangan, sehingga hanya menguntungkan
sebagian kecil warga desa yang mempunyai lahan pertanian
yang cukup luas. Pengembangan sektor informal di desa juga
menumbuhkembangkan kewirausahaan

5.3. Keterbatasan dan Kontribusi Kajian

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa


kelemahan utama dari model makro migrasi ke kota yang
telah menambahkan sektor informal sebagai variabel bebas
adalah adanya keterbatasan data, sehingga hal ini dapat
mengurangi akurasi dari hasil yang diperoleh. Beberapa
masalah yang mungkin timbul antara lain:

- Digunakannya data migrasi ke kota antar provinsi sebagai


proksi data migrasi desa-kota, dimana data tersebut tidak
membedakan asal migran antara desa-kota yang di
dalamnya juga termasuk migrasi dari kota provinsi asal ke
kota provinsi tujuan. Data ini kurang baik untuk
membuktikan push factor di desa. Hal ini terbukti dari tidak
signifikannya tingkat upah riil rata-rata pada sektor informal
di provinsi tujuan (WIKT).

- Tidak dimasukkannya migran sirkuler maupun penglaju,


padahal justru migran sirkuler dan penglaju yang
bermigrasi ke kota untuk tujuan bekerja dan berusaha di
sektor informal kota. Jika diikutkan kemungkinan
signifikansi pengaruh sektor informal akan semakin tinggi
dan kemungkinan upah sektor informal di kota akan
signifikan.

- Data tingkat upah berasal dari hasil survei terhadap rumah


tangga (Susenas), dimana pertanyaan tentang upah
adalah pertanyaan yang sensitif dan jarang orang yang
memberikan jawabannya secara tepat, sehingga hasilnya
bisa bias. Ketidaksignifikanan sektor upah informal kota
dan tanda koefisien tingkat upah sektor formal di kota
provinsi tujuan, dan di desa dan kota provinsi asal yang
bertentangan dengan hipotesis belum sepenuhnya dapat
diterima

Namun demikian kajian ini mempunyai manfaat,


terutama dalam sumbangannya terhadap studi di bidang
migrasi dan sektor informal, dan masalah ketenagakerjaan
secara umum. Sektor informal yang semula dianggap sebagai
penampungan sementara bagi migran yang belum
mendapatkan pekerjaan di sektor formal ternyata berdasarkan
kajian yang dilakukan hal tersebut tidak terbukti. Justru yang
terjadi adalah tidak terwujudnya formalisasi sektor informal.
Terbukti bahwa jumlah pekerja sektor informal berpengaruh
positif terhadap migrasi ke kota. Peningkatan jumlah pekerja
sektor formal akan menarik migran ke kota lebih banyak lagi.
Kemungkinan hal ini akan meningkatkan jumlah penganggur
dan setengah penganggur (pekerja sektor informal) di kota, di
mana mereka tidak memperoleh kesempatan untuk beralih ke
sektor formal.

Dari hasil regresi terlihat bahwa WIDA berbanding


terbalik dengan LmKAT, yang berarti bahwa peningkatan
WIDA dapat menjadi faktor penahan penduduk desa untuk
berpindah ke kota. Selain itu, peningkatan WIDA juga
memungkinkan sektor informal berkembang dan terjadi proses
formalisasi.
BAB VI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan

Sektor formal terbatas kemampuannya, baik dalam


kemampuan menyerap tenaga kerja maupun dalam
menampung usaha-usaha baru yang akan masuk. Pencari
kerja baru dan pekerja sektor informal menghadapi restriksi
dari persyaratan dan kualifikasi yang ketat dari sektor formal.
Demikian juga dengan usaha-usaha baru dan usaha informal
yang ingin beralih menjadi usaha formal.

Berdasarkan teori-teori dualisme, dapat disimpulkan


bahwa penjajahan oleh bangsa Eropa terhadap bangsa
Indonesia yang sangat lama telah membuat struktur dualistis
dalam berbagai aspek, termasuk dalam struktur
perekonomian. Kondisi dualisme sosial-ekonomi tersebut
semakin diperburuk dengan adanya arah dan strategi
industrialisasi yang bias ke perkotaan dan bersifat substitusi
impor dengan teknologi modern dan padat modal.
Pembangunan yang bias perkotaan ini menjadi penyebab
utama perpindahan besar-besaran penduduk dari desa ke
kota, dan karena kurangnya daya serap sektor formal mereka
masuk ke sektor informal. Perkembangan lebih lanjut
menunjukkan bahwa telah terjadi penambahan yang cukup
besar sektor informal terutama di perkotaan. Belum lagi
banyak peristiwa kelesuan ekonomi yang telah membuat
sektor informal ini semakin membengkak.

Secara umum formalisasi sektor informal tidak


terwujud. Dengan menggunakan model migrasi ke kota hasil
modifikasi model migrasi Todaro/Harris-Todaro, terbukti
bahwa kesempatan kerja di sektor informal kota merupakan
daya tarik yang kuat bagi seseorang untuk bermigrasi ke kota.
Penduduk desa bermigrasi ke kota adalah untuk mencari
pekerjaan di sektor informal, bukan pada sektor formal.
Terbukti juga bahwa tingkat upah sektor informal di desa
merupakan pendorong terjadinya migrasi ke kota.

Kajian sektor informal dan migrasi ini bersifat makro,


dimana hanya menggambarkan kondisi umum dari sektor
informal dan migrasi ke kota, dikaitkan dengan aspek
ketenagakerjaan, tidak menggambarkan fenomena pada
daerah atau kota-kota tertentu. Dalam kajian ini juga terdapat
keterbatasan dan kualitas data, serta belum dapat
dimasukkannya faktor-faktor lain ke dalam model, seperti
faktor sosial budaya, yaitu adanya beberapa kelompok
masyarakat yang senang merantau dan faktor-faktor lainnya.
6.2. Rekomendasi

Kajian ini bertujuan untuk membuktikan ada tidaknya


proses formalisasi sektor informal. Pembuktian dilakukan
dengan melihat signifikansi pengaruh sektor informal kota
terhadap keinginan bermigrasi ke kota. Berdasarkan hasil
regresi yang diperoleh dapat disampaikan beberapa saran,
antara lain:

- Peningkatan upah riil di sektor informal desa akan


menahan penduduk tetap tinggal di desa, dan
sebaliknya penurunan upah riil akan mendorong
penduduk desa untuk berpindah ke kota. Hal ini berarti
bahwa arus migrasi ke kota dapat dikurangi dengan
meningkatkan upah riil di sektor informal desa

- Peningkatan jumlah pekerja sektor informal dan formal


di kota tujuan telah menarik penduduk untuk pindah ke
kota, sehingga akan meningkatkan jumlah
pengangguran dan setengah pengangguran di kota.
Penciptaan lapangan kerja di kota harus diimbangi
dengan perbaikan kebijakan di desa agar menjadi
kebijakan yang produktif dalam upaya untuk
memecahkan masalah perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Jennifer & Paul Alexander. 1991.


http://www.jstor.org/pss/2803879

Alisadono, S., S. Hardjosunaso, dan A. Mardjuki. 2006.


Kebijakan Transmigrasi melalui Kebijakan Sistem. Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta

Ananta, Aris. 1990. Ekonomi Sumberdaya Manusia. Lembaga


Demografi Fakultas Ekonomi dan Pusat Antar
Universitas Bidang Ekonomi, Universitas Indonesia,
Jakarta.

. 1996. “Pasar Indonesia Tahun 2000: analisis


Demografi,” Warta Demografi, 26 (6).

Ananta, A., E. Nurvidya, dan R. Miranti. 1999. Age-Sex


Pattern of Migrants and Movers: A Multilevel Analysis on
An Indonesian Data Set. Asian Meta Centre Research
Paper Series, 1 : 33-34.

Ananta, A. dan Chotib. 2002. “Dampak Mobilitas Tenaga Kerja


Internasional terhadap Sendi Sosial, Ekonomi, dan
Politik di Asia Tenggara: Sebuah Gagasan untuk Kajian
Lebih Lanjut”. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Arfida, B. R. 2003. Ekonomi Sumberdaya Manusia. Ghalia


Indonesia, Jakarta.

Asian Development Bank. 2005. Jalan Menuju Pemulihan:


Iklim Investasi di Indonesia. http://www.adb.org..stat.
Badan Pusat Statistik. 1998. Keadaan Angkatan Kerja di
Indonesia. BPS, Jakarta.

. 2003. Statistik Kesejahteraan Rakyat. BPS, Jakarta.

. 2005. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta.

. 2006. Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2004-2006.


BPS, Jakarta.

. 2004. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Hasil


Survei Angkatan Kerja Nasional 2003. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.

Bappeda Kota Pontianak. 2007. Kajian Penanganan


Permasalahan Pedagang Informal di Kota Pontianak.
Pontianak (http://bappeda.pontianakkota.go.id/dok/BAB
%20III%20k ajian%20PKL.pdf)

Bappenas. 2004. Rencana Pembangunan Jangka Menengah


Nasional (RPJMN) 2004-2009. Jakarta

Bellante, D. And Jackson, M. 1983. Labor Economics. New


York: McGraw Hill.

Breman, J. (1976). A Dualistic Labour System: Critique of The


Informal Sector Concept. Reprinted in: Wage Hunters
and Gatherers; Search for Work in The Urban and Rural
Economy of South Gujarat. Oxford University
Press.1994.(http://www.cee-
recherche.fr/colloque_tepp/eco_informelle/pdf/Breman.p
df)
Brojonegoro, P.S.B. 2000. Pemulihan Ekonomi, Otonomi
Daerah dan Kesempatan Kerja di Indonesia. Warta
Demografi, 30 (3):21-27.

Carling, J. 2004. Policy Options for Increasing the Benefits of


Remittances. http://www.gdrc.org.

Clark, K. A. and R. Hyson. 2000. Measuring the Demand for


Labor in the United States: The Job Openings and Labor
Turnover Survey. http://www.bls.gov.

Darmawan, B. 2007. Perkiraan Pola Migrasi antar Propinsi di


Indonesia Berdasarkan Indeks Ketertarikan Ekonomi.
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.

Darwis, S. J. 2004. Peluang Tenaga Kerja di Luar Negeri.


Buletin Puslitbang Tenaga Kerja, 17 (2).
http://www.nakertrans.go.id.

Depnakertrans. 1995. Perencanaan Tenaga Kerja Nasional.


Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia, Jakarta.

. 1995. Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009.


http://www.tempointeraktif.com.

. 2005. Rapat Kerja Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi R.I. dengan Komisi IX DPR-RI.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia, Jakarta.

Desiar, R. 2003. Dampak Migrasi terhadap Pengangguran dan


Sektor Informal di DKI Jakarta. Tesis Magister Sains.
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Dreher, A. and P. Poutvaara, 2005. Student Flows and
Migration: An Emperical Analysis. Discussion Paper, 12:
4-6. Centre for Economic and Bussiness Research,
Copenhagen Bussiness School, Denmark.

Effendi, Tadjuddin Noer, 1993. Sumber Daya Manusia,


Peluang Kerja, dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara
Wacana.

Ehrenberg, R. G. and R. S. Smith. 2003. Modern Labor


Economics. Pearson Education Inc, New York.

Espindola, A. L. and J. S. Jaylison. 2006. A Harris-Todaro


Agent-Based Model to Rural-Urban Migration. Brazilian
Journal of Physics, 36 (3A): 603-609.

Evilisna. 2007. Dampak Kebijakan Ketenagakerjaan terhadap


Tingkat Pengangguran dan Perekonomian Indonesia di
Era Otonomi Daerah. Disertasi Doktor. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Firdausy, C. M. 2005. Issues and Challenges to Increase


Competitiveness of Asean’s Labor Migrants. Jurnal
Ekonomi Indonesia, 2: 31-45.

Firman, T. 2000. Agenda Pokok untuk Mobilitas Penduduk.


nuds2@indosat.net.id.

Gilbert, A. dan J. Gugler. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di


Dunia Ketiga. Terjemahan. PT. Tiara Wacana Yogya,
Yogyakarta.

Habibie, A. 2008. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia


untuk Mengisi Pasar Tenagakerja Profesional dan
Mengurangi Pengangguran. Disampaikan pada Seminar
Sekolah Tinggi Manajemen LABORA, 19 Januari 2008.

Hackenberg, Robert A. New Patterns of Urbanization in


Southeast Asia: An Assessment. Population and
Development Review, Vol. 6, No. 3 (Sep., 1980), pp.
391-419.Population Council.
(http://www.jstor.org/stable/1972408)

Handayani, Titik. 1993. Beberapa Ciri Sosial Demografi


Wanita di Sektor Informal.Jurnal LIPI Tahun XX Nomor
2. Jakarta.

Hugo, G. J. 1993. Indonesian Labour Migration to Malaysia:


Trends and Policy Implications? Southeast Asian Journal
of Social Science. 21 (1): 36-70.

, G. J. 2007. Indonesia's Labor Looks Abroad. Migration


Information Sources. http://migrationinformation.org.

Geertz, Clifford. 1963. Agricultural Involution: The Processes


of Ecological Change in Indonesia. University of
California Press. Berkeley, California, US.

ILO. 1993. “Development of the Rural Informal Sectors:


Policies and Strategies ( A Discussion Paper),” makalah
dalam Asian Sub-regional Seminar on Employment
Policies for the rural Informal Sector in East and
Southeast Asia, 24-28 May, Yogyakarta

. 1998. Employment Challenges of the Indonesian


Economic Crisis, June, Jakarta: United Nations
Development Programme.

Irawan, A. 2002. Tenaga Kerja Indonesia Ilegal dan Solusinya.


http://www.andiirawan.html.

Iryanti, Rahma. 2000. “Pengembangan Sektor Informal


Sebagai Alternatif Kesempatan Kerja Produktif,”
kumpulan makalah, Jakarta.

Islam, I dan Nazara, S. 2000. Minimum Wage and the Welfare


of Indonesian Workers. http://www.ilo.org.inst.

Islam, I. 2002. Poverty, Employment and Wages: An


Indonesian Perspective. Jakarta: ILO.

Ismalina, Poppy. 2005. Membangun The Power Of Locality


Dan Sistem Ekonomi Pancasila. Makalah Seminar
Bulanan ke-30 PUSTEP-UGM, Selasa 5 Juli 2005.
Yogyakarta (http://gmnidki.multiply.com/journal).

Isnowati, S. 2002. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika: Pendekatan
Moneter 1987–1999. http://www.stie-
stikubank.ac.id/webjurnal.

Kassim, A. 1997. International Migration and Its Impact on


Malaysian. Makalah Disampaikan pada Confidence
Building and Conflict Reduction.11ASPAC Rountable,
Malaysia, 5-8 Juni 1997. http://www.buruhmigran.net.

Khakim, A. 2006. Aspek Hukum Pengupahan: Berdasarkan


Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. P.T. Citra Aditya
Bakti, Bandung.

Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An


Introductory Exposition of Econometric Methods. Second
Edition. The MacMillan Press Ltd, London.
Kuncoro, M. 2006. Revisi UU Ketenagakerjaan.
http://www.mudrajad.com.

Kunz, E. F. 1973. The Refugee in Flight: Kenetic Models and


Form of Displacement. International Migration Review, 7
(2): 125-146.

Lee, E. S. 1987. Suatu Teori Migrasi. Terjemahan. PPK-


Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Levang, P. 2003. Ayo ke Tanah Sabrang – Transmigrasi di


Indonesia. Terjemahan. Kepustakaan Populer Gramedia,
Jakarta.

Leys, Colin. 1974. Underdevelopment in Kenya. Los Angeles:


University of California Press.

Luthfi, Asrizal. 2008. Kemiskinan Kota dan Sektor Informal,


(http://id.acehinstitute.org/index.php?view=article&catid=
23%3Asejarah-dan-perubahan-
sosial&id=242%3Akemiskinan-kota-dan-sektor-
informal&tmpl=component&print=1&page=&option=com_
content&Itemid=35&5012663a399d8501cca34a5c0b4f00
5a=ad29002223fc32ed52e190696a463b8a)

Mahyuddin, B. Juanda, dan H. Siregar. 2006. Distorsi Pasar


Tenaga Kerja: Analisis Kekakuan Upah dan Kelambanan
Respon Permintaan Tenaga Kerja di Sulawesi Selatan.
Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 22 : 1-11.

Maloney, William F. (1995), “The Informal Sector in Mexico: A


Dynamic Aproach,” Washington D.C.: The World Bank.

. (1999), “Self-Employment and Labor Turnover”,


Policy Research Working Paper No. 2102, April, Latin
America and The Caribbean Region, Poverty Reduction
and Economic Management Unit, Washington, D.C.: The
World Bank.

. 2006. Total Factor Productivity dan Dampaknya


terhadap Kesempatan Kerja di Propinsi Sulawesi
Selatan. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 23 : 11-20.

Manning, Chris. 1987. “Penyerapan Tenaga Kerja di


Perdesaan Jawa: Pelajaran Revolusi Hijau dan Bonanza
Minyak, dan Prospeknya di Masa Depan”, Seminar
Strategi Pembangunan Perdesaan. Yogyakarta, 1-3
Oktober 1987.

Mantra, I. B. 1995. Pengantar Studi Demografi. Nurcahaya,


Yogyakarta.

Martin, P. L. 2003. Sustainable Migration Policies in A


Globalizing World. International Institute for Labor
Studies, Geneva. http://www.ilo.org.inst.

McConnell, C. R. dan L. B. Stanley. 1995. Contemporary


Labor Economics. McGraw-Hill Inc. Singapore.

Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumberdaya Manusia: dalam


Perspektif Pembangunan. P.T. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

Nurmanaf, A. R. 2006. Peranan Sektor Luar Pertanian


terhadap Kesempatan Kerja dan Pendapatan di
Perdesaan Berbasis Lahan Kering. Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA, 6 (3): 268-273.

Osaki, K. 2003. Migrant Remittances in Thailand: Economic


Necessity or Social Norm? Journal of Population
Research, 20 (2): 203-204.

Pakasi, C. B. D. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap


Perekonomian Kabupaten dan Kota di Propinsi Sulawesi
Utara. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Pedersen, P. J., M. Pytlikova and N. Smith. 2004. Selection or


Network Effects? Migration Flows into 27 OECD
Countries, 1990-2000, IZA DP 1104.

Pindyick, R. S. and D. L. Rubinfeld. 1998. Econometric Models


and Economic Forecast. Forth Edition. McGraw-Hill Inc,
New York.

Piore, M.J. 1979. Bird of Passage: Migrant Labor in Industrial


Societies. Cambridge University Press, London.

Priyarsono, D. S., A. Daryanto dan L. S. Kalangi. 2008.


Peranan Investasi di Sektor Pertanian dan Agroindustri
dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Distribusi
Pendapatan Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi.
Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA, 8
(10): 48-57.

Priyono, E. 1999. “Mengapa Angka Pengangguran Rendah di


Masa Krisis Ekonomi?” Jakarta: Lembaga Demografi FE
UI.

Pusdatintrans. 2004. Transmigrasi dari Masa ke Masa. Pusat


Data dan Informasi Ketransmigrasian. Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta.

Rahardjo, M. Dawam. 2003. Peranan Pekerja dalam


Pembagunan Ekonomi, Jakarta: LSPEUI
Rogers, A. 1984. Migration, Urbanization, and Spatial
Dynamics. Westview Press, Boulder.

Sembiring, S. 2006. Himpunan Perundang-undangan Republik


Indonesia tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. C.V. Nuansa
Aulia, Bandung.

Setiawan, Nugraha. 2005. Struktur Umur Pengangguran.


Bandung: Pusat Penelitian Kependudukan Unpad.

Siregar, H. dan T. Sukwika. 2007. Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Kinerja Pasar Tenaga Kerja dan
Implikasi Kebijakannya terhadap Sektor Pertanian di
Kabupaten Bogor. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan
Agribisnis SOCA, 7(3): 213-221.

Sjaifudin, Hetifah, Dedi Haryadi dan Maspiyati. 1995. Strategi


dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil. Bandung:
AKATIGA.

Standing, G. 1981. Labour Force Participations and


Development. Geneva: ILO.

Skeldon, R. 1990. Population Mobility in Developing Countries.


Belhaven Press, London.

, R. 1997. Rural to Urban Migration and Its Implications


for Poverty Alleviation. Asia Pacific Population Journal,
12(1):3-16.

Smeru. 2001. Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap


Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah
Perkotaan Indonesia. Laporan Lembaga Penelitian
SMERU. http://www.smeru.or.id.

. 2003. Wage Policy at the Crossroads.


http://www.smeru.or.id.

Solimano, A. 2001. International Migration and the Global


Economic Order. Policy Research Working Paper. World
Bank Development Research Group, Washington D.C.

Stark, O. 1982. Research on Rural to Urban Migration in


LCDs: The Confusion Frontier and Why We Should
Pause to Rethink Afrehs. World Development, 10 (1): 63-
70.

, and D. E. Bloom, 1985. The New Economics of Labor


Migration. American Economic Review, 75 (2):173-178.

Subkhan. 2007. Benang Kusut Persoalan TKI. http://www.


subkhan. wordpress.com

Sustikarini, A. 2004. Dual Tract Diplomacy Government-NGO:


Solusi Alternatif dalam Masalah Perlindungan TKI di
Malaysia. http://www.buruhmigran.net

Syahriani, C. 2007. Country Report on Migrant Woment


Workers in Indonesian.
http://www.migrationinformation.org.

Tambunan, Mangara dan Edy Priyono, 1999. “Urban-Rural


Non-Farm Informal Sector: Role, Linkages and Issues of
Formalization.” Makalah Seminar Strategy for
Employment-Led Recovery and Reconstruction”, 23-25
November, Jakarta: ILO/Depnaker/Bappenas.

Tambunan, T. 1996. Sumber Inflasi dan Kebijaksanaan


Kontraktif di Indonesia. Lembaga Penyelidikan Ekonomi
dan Masyarakat Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia, Jakarta.

. 1998a. Krisis Ekonomi Indonesia. Penyebab &


Penanggulangannya, Jakarta: LP3E KADIN Indonesia &
Yayasan Indonesia Forum.

. 2006. Kondisi Infrastruktur di Indonesia.


http://www.kadinindonesia.go.id.

. 2007. Daya Saing Indonesia dalam Menarik


Investasi Asing. http://www.kadin-indonesia.go.id.

Tan, Mely G. 1999. Social Protection on Women Workers in


The Informal Sector, Makalah Seminar Strategy for
Employment-Led Recovery and Reconstruction”, 23-25
November, Jakarta: ILO/Depnaker/Bappenas.

Tarigan, H. 2004. Proses Adaptasi Migran Sirkuler: Kasus


Migran Asal Komunitas Perkebunan The Rakyat Cianjur,
Jawa Barat. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan
Agribisnis SOCA, 4 (2): 190-196.

Tirtosudarmo, R. 2002. Migrasi Lintas Batas Negara: Posisi


Indonesia. Konteks Politik dan Perebutan Ruang Publik”.
Lokakarya Nasional Migrasi Lintas Batas Negara dan
Seksualitas. Kerjasama PSKK UGM dan Rockefeller
Foundation, Yogyakarta.

Tjiptoherijanto, P. 1998. International Migration: Process,


Sistem and Policy Issues. Presented in A Workshop on
International Migration at The Population Studies Centre
Gadjah Mada University, Yogyakarta.
. 2000. Mobilitas Penduduk dan Pembangunan
Ekonomi. http://www.bappennas.go.id

Tjiptoherijanto, Prijono dan Sutyastie Soemitro. 1998.


Pemberdayaan Penduduk dan Peningkatan Kualitas
Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Citra Putra Bangsa.

Todaro, M.P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga.


Terjemahan. Erlangga, Jakarta.

Warsono, S.H. 2004. Transmigrasi, Perpindahan Penduduk,


dan Disparitas Ekonomi. Tesis Magister Sain. Program
Pascasarjana. Universitas Indonesia, Jakarta.

Weeks, J. 1974. Population : An Introduction to Concept and


Issues. Wardsworth Publishing, California.

WEF . 2005. The Global Competitiveness Report 2005-2006,


World Economic Forum, Geneva.

Widianto, B. 2003. Kebijakan Upah Minimum dan Perluasan


kesempatan Kerja. Jakarta: Bappenas.

Widodo. 2005. Peran Sektor Informal di Indonesia. Pada


Diskusi yang digelar Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik (PSEKP) dengan topik Sektor Informal
Yogyakarta― pada hari Selasa 7 Maret 2005.
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=322.

Wilson,T. dan M. Bell. 2004. Comparative Emperical


Evaluation of Internal Migration Models In Subnational
Population Projections. Journal of Population Research,
21(2): 156-157.

World Bank. 2003. Indonesia: Beyond Macro-Economic


Stability. Jakarta: World Bank-Report No. 27374-IND.

. 2004. Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A


Framework for Policy and Action. East Asia and Pacific
Region Infrastructure Development. Washington, D.C.
http://www.kadin-indonesia.go.id.

. 2006. Migration, Remittancess, and Female Migrant


Worker.

Anda mungkin juga menyukai