Anda di halaman 1dari 11

1.

DEFINISI
Tularaemia adalah penyakit zoonosis yang disebabkan
oleh bakteri Francisella Tularensis yang sangat virulen
terhadap manusia dan hewan yang terdiri dari; tikus dan
kelinci.
Francisella Tularensis ini merupakan bagian dari genus
Francisella, yang termasuk dalam Francisellaceae
Family, anggota dari subclass-y dari Proteobacteria.
Figure 1 - MedScape, 2014
Bakteri diatas terdiri dari dua tipe yaitu F. tularensis
subspecies tularensis yang dikaitkan dengan kelinci, kutu, domba dan F. tularensis
subspecies holartica yang berhubungan dengan sungai, kolam, dan danau.
Adapun jenis-jenis dari penyakit Tulaeremia ini dibagi menjadi 4 jenis, yakni :
a. Tulaeremia Ulseroglanduler, penyakit ini terdapat pada bagian tangan dan jari-
jari tangan yang membentuk ulkus disertai dengan pembekakan kelenjar gerah
bening pada sisi yang sama.
b. Tulaeremia Okuloglandular, penyakit ini lebih menyerang kebagian mata
sehingga akan menyebabkan manifestasi kemerahan serta pembekakan
kelenjar getah bening. Hal ini dapat terjadi karena tangan atau droplet yang
terinfeksi menyentuh atau bersinggungan dengan mata.
c. Tulaeremia Glandular, penyakit ini tanpa disertai dengan ulkus akan tetapi
terjadi pembekakan kelenjar getah bening, biasanya penyebab terjadinya
manifestasi ini dikarenakan bakteri yang tertelan.
d. Tulaeremia Tifoidal, kasus ini yang menyebabkan demam tinggi, nyeri perut
dan kelelahan, serta jika sampai ke paru-paru akan menyebabkan pneumonia.
e. Tularaemia Orofaringeaal, kasus penyakit ini biasanya sampai menyebabkan
perdarahan pada gastrointestinal pada penderita.

2. EPIDEMIOLOGI
Kasus Tularaemia diketahui terdapat
banyak di Negara bagian Utara. Tercatat
pada Tahun 2007 oleh de Carvalho et al
terdapat wabah yang terdiri dari ratusan
kasus baru di Portugal, Spanyol, Swedia, dan
Figure 2 - WHO, 2007
PBB diperintah Provinsi Kosovo (Serbia). Untuk kasus tahunan tercatat dengan
persentasi terbesar ada pada Negara Eropa Barat.
Pada vektor khususnya anthropoda, Amerika Serikat memiliki vector
terpenting dalam penyebaran yaitu melalui kutu. Lalat dimasukkan kedalam vector
yang paling umum di Utah, Nevada, dan California yang dikaitkan dengan tramsmisi
oleh Chrisops discalis. Untuk penyebaran melewati nyamuk terdapat di Uni Soviet
yakni nyamuk aedes spp., Culex spp.,dan Anopheles spp. Finlandia dan Swedia
didukung penyebarannya diperankan oleh nyamuk sebagai vektor untuk transmisi
F.Tularensis ke manusia. Untuk vector mamalia, tikus merupakan sumber utama
untuk penyebaran F. tularensis terutama tikus air (Arvicola ter restris), tikus umum
(Microtus arvalis), dan tikus merah (Clethrionomys). (Gambar 3)

Figure 3 - Cambridge University Press, 2014

3. ETIOLOGI
Penyebab utama penyakit Tularaemia ini adalah Francisella Tularensis,
dengan ciri khas organisme merupakan batang gram-negatif, pleomorfik dan
berukuran kecil. Secara biakannya, organisme ini pertumbuhannya tidak terjadi pada
medium bakteriologik biasa, tetapi dalam kurun waktu 1-3 hari akan menimbulkan
koloni kecil pada media agar darah glukosa sistein atau agar darah glukosa yang
diinkubasi pada suhu 37’ C aerob.
Figure 4 & 5 – CDC, 2011
(Koloni F.Tularensis pada Media Agar) (F. Tularensis menginfeksi sel Makrofag)

Etiologi secara spesifik dapat dibedakan dalam table dibawah ini;

T. T. Glandular T. T. Orofaringeal T. Tifoid


Ulseroglandular Okuloglandular
Etiologi Organisme Jarang terjadi. Organisme ini Terjadi setelah Penyebab
infeksius masuk Tidak masuk melalui konsumsi tersering
melalui goresan, ditemukan konjungtiva baik daging kelinci jenis ini
abrasi kulit, ulkus, dari percikan yang kurang adalah
gigitan serangga organisme darah yang matang, dan bisa tertelannya
serta menyebar masuk melalui terinfeksi maupun juga terjadi agen
mellalui sistem sistem lifatik kebiasaan karena infeksius.
limfatik dan aliran menggosok mata mengkonsumsi
proksimal. darah setelah kontak air yang
(hematogen) dengan bahan terkontaminasi
melalui lesi infeksius.
klinis
(Tabel 1 – etiologi berdasarkan klasifikasi Tularaemia)
4. PENULARAN DAN PENYEBARAN
Penularan Francisella Tularensis ini ditularkan ke manusia melalui gigitan
anthropoda, kontak langsung dengan hewan yang telah terinfeksi F. Tularensis
melalui cairan dari hewan tersebut, bisa juga melalui makanan atau sumber air yang
telah terkontaminasi. Untuk penularan dari manusia ke manusia tidak ditemukan.
Secara epidemiologi diatas, jelas bahwa penyebaran kejadian ini melalui peran
nyamuk dan lalat sebagai vector, akan tetapi perlu ditekankan untuk mekanisme
penyebaran ataupun penularan dari vector ke host ini bukan melalui kelenjar ludah
dari spesies vector karena belum terdapat penelitian yang membuktikan bahwa bakteri
F. tularensis terdapat pada kelenjar ludah vector. Mekanisme yang bisa disimpulkan
penyebaran ataupun penularannya ini secara mekanik, yaitu oleh kontaminasi dari
mulut vector yang didapatkan ketika lalat atau nyamuk menggigit host yang
terinfeksi.

5. FAKTOR RESIKO
Penyakit Tularaemia ini bisa terjadi pada semua umur tanpa terkecuali, dengan
persentasi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yang dihubungkan dengan
kegiatan laki-laki yang dalam jumlah besar beraktivitas pada lingkungan luar.
Penyakit ini meningkat kejadiannya selama akhir musim semi, musim panas
serta awal musim gugur yang mana berhubungan dengan suhu dan curah hujan, akan
tetapi untuk secara pastinya masih perlu dilakukan penelitian masa depan.
Untuk Faktor Eksternal yang menyebabkan manusia terinfeksi Bakteri
Francisella Tularensis ini yakni; manusia memakan/menyentuh hewan yang
terinfeksi dan menghirup udara yang mengandung bakteri Francisela Tularensis.

6. PATOGENESIS
Bakteri Francisella Tularensis bisa dikatakan sebagai bakteri yang sanagt
infeksius, karena dengan adanya penetrasi kulit atau membran mukosa atau inhalasi
saja bisa menyebabkan infeksi. Secara umum, bakteri ini melalui abrasi kulit yang
selama 2-6 hari akan menimbulkan manifestasi berupa papul yang meradang dan
berulkus serta kelenjar getah bening regional membesar dan menjadi nekrotik. Jika
Francisella Tularensis ini masuk ke dalam tubuh manusia secara inhalasi aerosol
maka akan menyebabkan inflamasi peribronkial dan pneumonitis lokal.
Secara struktural, setelah terpapar 3-5 hari dengan kulit akan menyebabkan
timbulnya organsme multiple dalam bentuk papul, sedangkan untuk ulserasi akan
ditemukan pada 2-4 hari kedepannya.
Berdasarkan respon imunnya, infeksi menghasilkan respon inflamasi akut
yang awalnya akan melibatkan makrofag, neutrophil dan fibrin. Untuk limfosit T, sel
epiteloid dan sel-sel raksasa bermigrasi ke jaringan nekrotik local. Hal ini
menyebabkan terjadinya thrombosis baik arteri maupun vena yang letaknya
berdekatan. Abses bisa terjadi jika terdapat pengembangan dari granuloma yang salah
diartikan. Perubahan tersebut terjadi pada bagian infeksi sehingga bisa dilihat pada
autopsy dari limfonodi, liver, sumsum tulang dan paru.
Selama minggu kedua dan ketiga, sistem imun humoral akan membangun
perlawanan karbohidrat antigen bakteri, yang akan memperlihatkan IgM, IgG, serta
IgA. Opsonisasi dari ketiga Imunoglobulin tersebut akan memproduksi antibody yang
didukung oleh sistem Komplemen C3. Sel B defisit pada tikus yang memperlihatkan
terjadi gangguan setelah terjadinya infeksi primer dengan sedikit virulensi dari vaksin.
Selain respon imun sel T alfa/beta, juga terdapat CD4 atau CD8 Sel T dan protein
antigen langsung juga digunakan dalam efektivitas pengobatan. Ditemukan juga di
manusia, antigen tularemia, walaupun diperkenalkan dari paparan secara alami atau
vaksin dan respon jangka panjang dari sel T memori. Beberapa dari Sel T memori
mempunyai potensi litik dan mereka memiliki kemampuan masuk ke mukosa
intestinal dan non mukosa paru,
IFN-y dan TNF-a mengaktifkan makrofag untuk memproduksi produk
nitrogen reaktif sprti NO. Ketika neutrofil dan sel mononuklear sudah muncul untuk
berakumulasi pada liver yangg terinfeksi maka akan memproteksi dengan cara
memakan organisme. Kemampuan dari tularensis untuk memutuskan fungsi fagosit
dan bertahan pada sel infeksi adalah yang utama bagi virulensi. Siklus hidup
intraseluler ini akan trlihat berhubungan dengan regulasi dari ekspresi gen.
Kurang lebih 48-72 jam setelah terinfeksi, sejumlah sitokin dan kemokin,
seperti IFN-y dan TNF-a mengalami peningkatan dari mediator proinflamasi seperti
RANTES, IL-6, IL-1 beta. Keterlambatan "peningkatan sitokin" ini menunjukkan
adanya sepsis bakteri yang parah/berat, yang nyatanya membuktikan bahaya bagi
host, menyebabkan kapiler melemah, kerusakan jaringan, dan gagal organ. Proses
Inkubasi tergantung inokulim, tapi antara 1-21 hari (rata2 2-6) individu dengan
tularemia bisa menjadi asimtomatik atau septik akut.
7. MANIFESTASI KLINIS
Pada semua kasus Tularaemia akan didapatkan gejala klinis dengan onset
mendadak dalam 1-10 hari setelah infeksi. Gejala awal kasus ini berupa sakit kepala,
menggigil , mual, muntah, demam hingga sampai 40’C dan kelelahan yang berat.
Setelah timbul gejala awal, dalam 24-48 jam atau 1-2 hari akan terdapat lepuhan yang
meradang pada sisi yang telah terinfeksi seperti halnya pada mata, tangan, kaki atau
pada langit-langit mulut), lepuhan yang muncul akan terlihat berisi nanah dan ketika
pecah akan membentuk ulkus.
Adapun gejala klinis yang lebih spesifik berdasarkan klasifikasi Tularaemia
ini dapat dijelaskan dalam table dibawah ini;

Tularaemia Tularaemia Tularaemia Tularaemia Tularaemia


Ulseroglandular Glandular Orofaringeal Tifoid Okuloglandular
Manifes- Terdapat Terdapat Terdapat gejala Adanya Terdapat
tasi limfadenopati, limfadenopati stomatitis, demam, konjungtivitis
serta lesi pada tetapi tidak eksudatif menggigil, unilateral,
kulit berupa ditemukan faringitis/tonsilli myalgia, ulserasi kornea,
ulserai bukti adanya tis, nyeri perut, malaise, dan limfadenopati,
lesi pada mual dan terdapat fotopobia,
kulit muntah, penurunan lakrimasi, kasus
limfadenopati berat badan kehilangan
servikal, diare penglihatan
dan gejala tetapi jarang
perdarahan GIT ditemukan.
(table 2 – manifestasi berdasarkan klasifikasi Tularaemia)

8. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


Kritera penegakkan diagnosis Tularaemia ini berdasarkan gejala-gejala yang
timbul secara mendadak, yang didukung oleh timbulnya ulkus yang khas, dan riwayat
kontak dengan hewan mamalia (tikus ataupun kelinci). Beberapa pemeriksaan yang
dapat menegakkan kasusu Tularaemia adalah sebagai berikut;
a. Pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis kasus penyakit
Tularaemia ini digunakan studi serologik, yang terdiri dari sepasang sampel
serum yang dikumpulkan secara terpisah dengan jarak 2 minggu dapat
menunjukkan hasil positip (+) Tularaemia jika terdapat peningkatan 4x titer
aglutinasi. Respon antibody terhadap F. Tularensis ini umumnya terdeteksi
pada pasien 10-20 hari pasca infeksi.
b. Studi histologis juga dapat dilakukan, dengan gambaran lesi tularaemia yang
dapat menunjukkan daerah nekrosis fokal yang dikelilingi dengan neutrophil
dan makrofag, sedangkan daerah nekrotik dikelilingi dengan sel-sel epitel dan
limfosit, serta ditemukannya Granuloma Kaseosa dengan atau tanpa inti sel
raksaa dalam beberapa lesi dapat berkembang.
c. Kultur Bakteri, pemeriksaan kultur ini dapat dilakukan melalui sampel dahak,
cairan pleura, luka, darah, serta sampel biopsy kelenjar getah bening. Untuk
hasilnya memiliki spesifisitas yang rendah dalam mendiagnosis Tularaemia
dan jarang dilakukan, apalagi merupakan resiko besar terkena bagi keryawan
laboratorium.
d. Pencitraan dengan Chest radiography (untuk mengevaluasi pneumonia), dan
Ultrasonografi (untuk memeriksa kelenjar getah bening untuk temuan sugestif
infeksi).

9. TERAPI
Berdasarkan berbagai referensi, pengobatan dengan streptomisin ataupun
gentamisin selama 10 hari hampir selalu membeikan perbaikan yang cepat. Menurut
WHO (2007), pengobatan empiris dengan menggunakan anitbiotik beta-laktam sering
menjadi alternative utama untuk memulai suatu pengobatan, akan tetapi tidak selalu
memberikan hasil yang positip untuk pengobatan Tularaemia ini.
Pada usia dewasa, terapi dengan pengobatan rawat inap merupakan salah satu
cara terbaik untuk mengatasi Tularaemia ini, dengan pemberian Amino Glikosida
secara parenteral yaitu Gentamisin 5 mg/kg sehari (dibagi dalam dua dosis dan
dipantau), Streptomisin injeksi 2 g/hari (dibagi dalam dua dosis salaam 10 hari).
Untuk kasus Tulaeremia ringan pada dewasa dapat diberikan Ciprofloxacin 800-100
mg/hari yang dibagi kedalam dua dosis baik secara oral maupun intravena, dengan
masa pengobatan 10-14 hari. Alternatif lainnya yang dapat digunakan adalah
Doxycycline 200 mg/hari dibagi kedalam dua dosis selama 15 hari.
Pengobatan lainnya kita dapat dibedakan dengan usia anak-anak, akan tetapi
untuk pilihan pertama pengobatan kasus Tulaeremia pada anak-anak ini yaitu Amino
Glikosida secara parenteral yaitu Gentamisin 5-6 mg/kg yang dibagi kedalam dua
dosis atau tiga dosis, Streptomisisn 15 mg/kg dua kali sehari (alternatif). Untuk kasus
yang ringan, pengobatan pada anak-anak dapat diberikan Ciprofloxacin 15 mg/kg dua
kali sehari selama 10 hari.
Untuk terapi supportif yang dapat dilakukan untuk kasus ini adalah penutupan
ulkus dengan Verban lembab yang diganti sesering mungkin, ini tujuannya untuk
membantu mencegah penyebaran infeksi dan pembekakan kelenjar getah bening.
Untuk meringankan gejala mata, dapat mengunakan kaca mata gelap atau dapat juga
dikompres air hangat.

10.KOMPLIKASI
Berdasarkan jenis-jenis yang sudah dijelasin diatas, komplikasi Tulaeremia ini
terbagi dari masing-masing jenis Tulaeremia yaitu;
a. Tulaeremia Ulseroglandular tipe A
Komplikasi berupa pneumonia dapat ditemukan pada penyakit ini dan
biasanya di ikuti dengan infiltrate parenkim serta adanya efusi pleura. Selain
pneumonia, limfadenitis hilar juga dapat
ditemukan.
Manifestasi dari komplikasi pada
penyakit ini biasanya terdapat septikemia
berat, meningitis, endocarditis, gagal hati,
dan gagal ginjal.
(Primary Ulcer)
Manifestasi Septikemia yang terdapat
pada Tularaemia ini memiliki prognosis yang
Figure 6 - WHO, 2007
buruk, karena perjalanan awal penyakit
septikemia ini biasanya terdapat demam yang
tinggi, sakit perut hingga diare, serta diikuti
dengan gejala penurunan mental berupa kebingungan sampai dapat berakibat koma
pada penderita.
b. Tulaeremia Ulseroglandular tipe B
Komplikasi Tulaeremia tipe B ini, juga terdapat
septikemia dan meningitis. Sedangkan untuk
komplikasi pneumonia jarang ditemukan,
(Pembesaran Limfa)

Figure 7-11 - WHO, 2007

(terdeteksi Tulaeremia) (setelah 10 minggu mendapatkan


pengobatan dengan Doxcycycline)
Gambaran Radiografi untuk Pembesaran pada Limfa

(Konsolidasi Pulmonar) (setelah 2 bulan mendapatkan


pengobatan dengan Cirpofloxacin)
Gambaran pneumonia pada komplikasi Tulaeremia
11. PROGNOSIS
Prognosis kasus Tularaemia ini seperti ha kasus lainnya, jika diobati penderita
Tularaemia bisa diselamatkan. Menurut penelitian sekita 6% penderita yang tidak
diobati secara signifikan akan menyebabkan kematian, kematian yang terjadi ini
diakibatkan dari infeksi yang tidak dikontrol dengan baik seperti; meningitis,
pneumonia, ataupun peritonitis (infeksi selaput rongga perut). Penyakit Tularaemia ini
jarang sekali ditemukan adanya kekambuhan, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan
untuk terjadinya kekambuhan, jika selama pengobatan dilakukan dengan tidak
adekuat sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap infeksi yang terjadi.

12. PENCEGAHAN
Pencegahan untuk kasus Tularaemia ini pertama dicegah penyebarannya
terlebih dahulu yaitu dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut;
a. infeksi yang disebarkan atau ditularkan melalui air dapat dicegah dengan;
- minum air yang telah direbus
- mensterilkan air atau disenfeksi air yang akan digunakan untuk mencuci,
menyikat gigi, atau juga dapat dilakukan dengan melindungi sumber air
agar tidak berkontak dengan binatang seperti tikus dan kelinci.
b. infeksi yang disebarkan atau ditularkan melalui makanan
- melindungi tokoh-tokoh makanan dari kontak langsung dengan hewan
- menghindari makanan-makanan yang mungkin terkontaminasi dengan
kotoran hewan
- mencuci makanan dengan hati-hati karena secara aerosol maupun debu
dapat menularkan.
c. infeksi yang disebarkan atau ditularkan melewati cara lainnya dapat diatasi
dengan;
- menghindari kegiatan berburu kelinci apalagi mengkonsumsi daging
kelinci
- mencuci tangan setelah berkontak dengan hewan liar
- bagi Anda yang memelihara hewan, kenali tanda-tanda penyakit serta
secara teratur memeriksa hewan pelihara agar tidak terjangkit wabah
penyakit
- menghindari paparan arthropoda penghisap darah dengan memakai
pakaian lengan panjang.
Figure 3 – WHO, 2007

Anda mungkin juga menyukai