Anda di halaman 1dari 19

Dwi Restuwanty

AKUNTABILITAS DALAM MANAJEMEN BERBASIS


SEKOLAH
Abstrak

Penyelenggaraan Manajemen Berbasis Sekolah yang memenuhi prinsip akuntabilitas, tampaknya


masih melewati jalan panjang, dan berliku-liku. Walaupun tuntutan akan manajemen pendidikan
yang akutabel terus disuarakan banyak pihak, bagai tangan bertepuk sebelah, belum semua aparatus
pendidikan menyambutnya. Ini sangat berkaitan dengan persoalan kemauan, kemampuan, persepsi,
dan kepercayaan. Karena itu artikel ini ditulis untuk melanjutkan proses mengurai benang kusut
yang hampir putus itu. Uraian disandarkan pada tiga hal utama, yakni hakekat akuntabilitas serta
pelaksanaannya, faktor-faktor penghambat, dan upaya-upaya meningkatkan akuntabilitas sekolah.

Nilai dan kultur, serta matinya perasaan terdesak menjadi faktor penghadang di depan. Tetapi hanya
dengan kemauan dan visi perubahan niscaya prinsip akuntabilitas dapat membumi di sekolah.

Kata Kunci: Akuntabilitas, Manajemen Berbasis Sekolah

A.PENDAHULUAN

Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut dengan adanya tuntutan
masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya semakin keras, sekeras tuntutan
akan reformasi dalam segala bidang. Ini membuktikan bahwa kecenderungan masyarakat pada masa
kini berbeda dengan masa lalu. Fasli Jalal dan Dedi Supariadi (2001) menyatakan:

Bila di masa lalu masyarakat cenderung menerima apa pun yang diberikan oleh pendidikan, maka
sekarang mereka tidak dengan mudah menerima apa yang diberikan oleh pendidikan. Masyarakat
yang notabene membayar pendidikan merasa berhak untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik
bagi dirinya dan anak-anaknya.

Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan redesain
sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat. Caranya adalah mengembangkan model
manajemen pendidikan yang akuntabel.

Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan:

Upaya untuk mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yang relevan yang
memperhitungkan kebutuhan masyarakat, kemampuan manajemen yang tinggi, komitmen yang
kuat untuk mencapai keunggulan, sarana penunjang yang mamadai, dan perangkat aturan yang jelas
dan dilaksanakan secara konsisten oleh institusi pendidikan yang bersangkutan.

Empat hal penting yang dikemukakan di atas membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat.
Sebab tidak saja dibutuhkan kemauan tetapi juga kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam teori
perubahan, orang dapat berubah, jika ia memiliki kemauan sekaligus kemampuan.
Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi. Di Indonesia telah lahir
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat.

Model manajemen ini menuntut keterlibatan yang tinggi dari stakeholders sekolah. Susan Mohrman
menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS telah muncul manajemen berpartisipasi tinggi
yang membutuhkan empat sumber daya penting: 1) informasi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4)
penghargaan dan sanksi." Empat sumber daya ini jika dikelola secara baik akan meningkatkan
efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen sekolah akan ditunjukkan dengan output
yang berkualitas.

Akuntabilitas yang tinggi hanya dapat dicapai dengan pengelolaan sumber daya sekolah secara
efektif dan efisien. Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga pendidikan
melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi dan
akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88):

Tiga aspek yang dapat memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi,
akreditasi, dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap telah memenuhi semua persyaratan
dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta
perangkat-perangkatnya yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai
lembaga terakreditasi (accredited). Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai mampu untuk
menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin mutuya sehingga dihargai
oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang akuntable.

Institusi pendidikan yang akuntabel adalah institusi pendidikan yang mampu menjaga mutu
keluarannya sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Jadi, dalam hal ini akuntabel tidaknya suatu
lembaga pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu
lembaga juga bergantung kepada kemampuan suatu lembaga pendidikan
mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan
akuntabiltas yang pertama sebagai akuntabilitas kinerja, sementara yang kedua sebagai akuntabilitas
keuangan.

Manajemen Berbasis Sekolah yang diterapkan di Indonesia juga mensyaratkan kemampuan


akuntabilitas sekolah kepada publik. Menurut Slamet (2005:6):

MBS harus dipahami sebagai model pemberian kewenangan yang lebih besar kepada sekolah, yang
meliputi kewenangan mengatur dan mengurus sekolah, mengambil keputusan, mengelola,
memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam
menyelenggarakan sekolah, maka sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan.
Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang
dikerjakan sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas
publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah.

Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan kepada publik,


tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88)
menyatakan di Indonesia banyak instituasi pendidikan yang lemah dan tidak sedikit institusi
pendidikan yang tidak akuntabel.
B.Memahami Akuntabilitas dalam MBS

Menurut Rita Headintong (2000:84), Akuntabiltas bukan hal baru. Ia mengatakan:

As far back as the 1830 when public was used to establish a national education system 'some were
concerned that the spending of public money should be properly supervised and controlled, and
others were dissatisfied with the practical aspects such as the poor quality of the teachers' (Lawton
and Gordon 1987, p.7).

Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan sudah seharusnya lebih
akuntabel kepada masyarakat dan kecenderungan umum bahwa isu-isu pendidikan seharusnya
terbuka telah membuka ruang bagi untuk menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-profesional."
(Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000).

Di Indonesia akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, juga masih menempuh jalan panjang.
Ketika terjadi perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, isu akuntabilitas sepertinya
memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah sebagai basis penerapan manajemen pendidikan dituntut
harus mampu mewujudkan akuntabilitas bagi publik.

Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:5), "Akuntabilitas adalah
kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja
dan tindakan penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewajiban untuk
meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12) mendefinsikan
akuntabilias "is the degree to which local governments have to explain or justify what they have
done or failed to do." Lebih lanjut dikatakan bahwa "Accountability can be seen as validation of
participation, in that the test of whether attempts to increase participation prove successful is the
extent to which people can use participation to hold a local government responsible for its action."
Pendapat Zamroni mengenai akuntabilitas dikaitkan dengan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas
hanya dapat terjadi jika ada partisipasi dari stakeholders sekolah. Semakin kecil partisipasi
stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah pula
akuntabilitas sekolah.

Jadi, kalau disimpulkan akuntabilitas adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada


publik segala sesuatu mengenai kinerja yang diperoleh sebagai hasil partisipasi dari stakeholders.

Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, legal and financial dimensions and
operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas,
yaitu moral, hukum, dan keuangan menuntut tanggung jawab dari sekolah untuk mewujudkannya,
tidak saja bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu sendiri.
Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal responsibility to
provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents and other
professionals." Headington menekankan akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal
(aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk mewujudkan
proses pembelajaran yang baik. Tidak saja guru tetapi juga badan-badan yang terkait dengan
pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Headington (2000:83), "The head teacher and governing
body have a legal responsibility to ensure the finances of the school are used effectively to benefit
pupils' education."
Untuk siapa guru bertanggung jawab? Pertanyaan ini diajukan oleh Headington, Ia menjawabnya:

Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing work
which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them make
progress in their learning. Secondly, teacher are accountable to pa rents, both legally and morally,
for the educational development of their children. The most evident mechanism for this through the
formal reporting channel and through the provision of information about pupils' progress whenever
necessary." Thirdly , teacher are accountable to their fellow professionals, in and beyond the school,
through the provision of accurate and appropriate information from which pupils educational
progress can be tracked, measured and compared. To in activities and discussion which develops
shared professional understanding and enhances good practice."(2000:84)

Pendapat Headington memberi tekanan pada akuntabilitas kinerja pembelajaran. Di Indonesia, juga
di Negara-negara yang telah menerapkan MBS, terjadi kekacauan dalam memahami MBS, bahwa
seringkali aspek pembelajaran dipahami terpisah dengan MBS. Hal ini sebenarnya telah diingatkan
oleh David D. Mars; dalam Susan Mohrman (1994:225), "That changes in the locus of decision-
making within SBM should be designed and implemented as part of systemic reform-not as and
innovation in and of itself. Conversely, avoid implementing SBM as an isolated innovation."

Apa yang dikatakan oleh David Marsh merupakan sebuah peringatan keras akan bahaya kekacauan
dalam penerapan MBS. Bahwa MBS tidak dipahami sebagai sebuah inovasi yang terpisah dari
pembelajaran.

Jadi, kalau Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek pembelajaran yang dimotori
oleh guru, maka sebenarnya ini adalah bagian hakiki dalam penerapan MBS yang tidak boleh
diabaikan oleh sekolah.

Tujuan Akuntabilitas

Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan
publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat
pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan
masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan:

Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah
sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara
sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada
publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap
pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam
pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan
pendidikan kepada publik.

Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir dari
sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong munculnya
kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru
sebagai titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi.

C.Pelaksanaan Akuntabilitas dalam MBS


Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi
ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang ditandai dengan pemberian kewenangan
kepada sekolah untuk melaksanakan manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah.
Dengan pelimpahan kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat
dengan masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah
semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam pengelolaan merupakan
hal yang tidak dapat ditunda-tunda.

Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam rangka MBS tiada lain agar para pengelola sekolah atau
pihak-pihak yang diberi kewenangan mengelola urusan pendidikan itu senantiasa terkontrol dan
tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga berperan besar
dalam memenuhi berbagai aspek kepentingan masyarakat.

Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal.
Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat. Sekolah
dan orang tua siswa. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan
akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah. Antar kepala sekolah
dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan guru.

Pengelola sekolah harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh komponen pengelolaan MBS


kepada masyarakat. Komponen pertama yang harus melaksanakan akuntabilitas adalah guru.
Mengapa, karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen sekolah adalah proses belajar mengajar.
Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab adalah siswa. Guru harus dapat
melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar.

Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal membuat persiapan,
melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin,
kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh
Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are
responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement
and helping them make progress in their learning.

Tanggung jawab guru selain kepada siswa juga kepada orang tua siswa. Sebagaimana dikatakan oleh
Headington, "Teacher are accountable to parents, both legally and morally, for the educational
development of their children. The most evident mechanism for this through the formal reporting
channel and through the provision of information about pupils' progress whenever necessary."

Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, tetapi juga menyangkut pengelolaan
keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya
penyimpangan dalam pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar
kecilnya penerimaan, maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola.
Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah dan
masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dipercaya.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut moral individu. Jadi, moral
individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik akan menjamin pengelolaan keuangan yang
bersih, dan jauh dari praktek korupsi.
Fakta menyangkut praktek korupsi dalam dunia pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian
Corruption Watch (ICW) awal tahun 2008 bahwa, korupsi dalam dunia pendidikan telah menjamah,
mulai dari Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, hingga di sekolah-sekolah. Kenyataan ini
sangat ironis, karena berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya diajarkan lembaga pendidikan
kepada anak bangsa, tidak saja dari segi intelektual tetapi juga moral. Informasi ini merupakan
"tamparan" keras bagi dunia pendidikan. Oleh karena itu dalam rangka penerapan MBS ini,
pengelolaan keuangan sekolah harus jauh dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, ketika sekolah mampu mempertanggungjawabkan mutu
outputnya terhadap publik. Sekolah yang mampu mempertanggungjawabkan kualitas outputnya
terhadap publik, mencerminkan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas output tinggi. Dan sekolah
yang memiliki tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiensi eksternal.

D.Faktor-faktor Penghambat Akuntabilitas dalam MBS

Codd (1999), seorang pakar kebijakan pendidikan dalam Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan
bahwa dalam perspektif global, akuntabilitas dipengaruhi oleh kecenderungan manusia yang
mengutamakan kebebasan. Kebebasan yang muncul secara baru (neoliberalisme) ikut
mempengaruhi ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas.

Menurutnya ada dua jenis akuntabilitas sebagaimana digambarkan di bawah ini:

Bagan Dua Jenis Akuntabilitas


External
Internal
Low-trust
High-trust
Hierarchical (line) control
Delegated professional responsibility
Contractual compliance
Commitment, loyalty, sense of duty, expertise
Formal process of reporting and recording for line management
Accountable to multiple constituencies
Reduced moral agency
Ethic of neutrality
Ethic of structure
Enhanced moral agency
Deliberation
Discretion

Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal.
Keduanya memiliki ciri yang berbeda, ini disebabkan oleh karena titik tolak kedunya berbeda.
Akuntabilitas eksternal didasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal didasarkan
pada tanggung jawab profesional, dengan melekat sebuah konsep agen moral. Oleh karena
pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini berbeda, maka hal-hal yang diperlihatkanpun berbeda.
Misalnya, akuntabilitas eksternal memiliki kepercayaan yang rendah, sedangkan pada akuntabilitas
internal justru sebaliknya memiliki kepercayaan yang tinggi. Selanjutnya dari segi tanggung jawab,
pada akuntabilitas eksternal terdapat kontrol yang hirarkis, sedangkan pada akuntabilitas internal
tanggung jawab professional didelegasikan.

Dari segi pelaksanaan tugas, pada akuntabilitas eksternal terikat pada kontrak, sedangkan
akuntabilitas internal menekankan pada komitmen, loyalitas, rasa memiliki, dan kecakapan.
Akuntabilitas eksternal memperlihatkan proses formal dalam pelaporan dan perekaman untuk
manajamen hirarkhis, sedangkan dalam akuntabilitas internal akuntabel banyak konstituen. Dalam
akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan peran moral, ketimbang etika kebiasan, dan etika
struktur. Sedangkan jenis akuntabilitas internal peran moral tinggi sehingga pertimbangannya
matang dan memiliki kebebasan untuk bertindak.

Kedua jenis akuntabilitas di atas memiliki pendasaran yang sangat berbeda. Kalau akuntabilitas
eksternal pengaruh faktor luar sangat besar, di sisi lain faktor dalam sangat lemah. Sebaliknya pada
akuntabilitas internal faktor dari dalam diri lebih kuat ketimbang faktor luar. Kekuatannya terletak
pada motivasi dan komitmen individu untuk melaksanakan akuntabilitas organisasi.

Akuntabilitas dan Faktor nilai-budaya

Sekolah sebagai tempat penyelenggaran manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata
sosial. Dikatakan sebagai pranata sosial karena di tempat tersebut teradapat orang-orang dari
berbagai latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai dan budaya
tertentu. Nilai-nilai dan budaya tersebut potensial untuk mendukung penyelenggaraan manajemen
sekolah yang akuntabel, tetapi juga sebaliknya bisa menjadi penghambat. Dalam sebuah ilustrasi
perusahaan, Stephen Robins (2001:14) menyatakan:

Workforce diversity has important implication for management practice. Manager will need to shift
their philosophy from treating every one alike to recognizing differences and responding to those
differences in ways that will ensure employe retention and greater productivity while, at the same
time not discriminating.

Artinya, keberagaman tenaga kerja mempunyai implikasi penting pada praktik manajemen. Para
manejer harus mengubah filosofi mereka dari memperlakukan setiap orang dengan cara yang sama
menjadi mengenali perbedaan dan menyikapi mereka yang berbeda dengan cara-cara yang
menjamin kesetiaan karyawan dan peningkatan produktifitas sementara, pada saat yang sama, tidak
melakukan diskriminasi.

Apa yang dikemukakan Robins berangkat dari asumsi akan perbedaan nilai dan budaya dari setiap
anggota organisasi. Ada nilai-nilai yang dapat mendukung nilai-nilai organisasi, tetapi ada juga yang
sebaliknya. Dalam konteks ini, dibutuhkan peran pemimpin untuk dapat mengelolanya.

Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi dapat
mendukungnya? Menjadi tantangan, oleh karena latar belakang tadi.

Jadi, faktor yang mempengaruhi akuntabilitas terletak pada dua hal, yakni faktor sistem dan faktor
orang. Sistem menyangkut aturan-aturan, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang menyangkut
motivasi, persepsi dan nilai-nilai yang dianutnya mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas. Kalau
ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan
produk dari masyarakat dengan budaya tertentu.
E.Upaya-upaya Peningkatan Akuntabilitas dalam MBS

Bagaimanapun juga pengelolaan MBS mensyaratkan akuntabilitas yang tinggi, oleh karena itu perlu
ada upaya nyata sekolah untuk mewujudkannya. Menurut Slamet (2005:6) ada delapan hal yang
harus dikerjakan oleh sekolah untuk peningkatan akuntabilitas:

Pertama, sekolah harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme
pertanggungjawaban. Kedua, sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem
pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan
tegas. Ketiga, sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada
publik/stakeholders di awal setiap tahun anggaran. Keempat, menyusun indikator yang jelas tentang
pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders. Kelima, melakukan pengukuran
pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada publik/stakeholders
diakhir tahun. Keenam, memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan pengaduan publik.
Ketujuh, menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan memperoleh pelayanan
pendidikan. Kedelapan, memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen
baru.

Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan dan kemauan sekolah untuk
mewujudkannya. Alih-alih sekolah mengetahui sumber dayanya, sehingga dapat digerakan untuk
mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas. Sekolah dapat melibatkan stakeholders untuk
menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap tidak dapat menjamin terwujudnya
akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah dapat
dilibatkan untuk melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak awal tahu dan merasa
memiliki akan sistem yang ada.

Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis sekolah, dapat dilihat
pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2005:7):

Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah:

1.Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah.

2.Tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraanpendidikan di


sekolah, dan

3.Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di
masyarakat.

Ketiga indikator di atas dapat dipakai oleh sekolah untuk mengukur apakah akuntabilitas manajemen
sekolah telah mencapai hasil sebagaiamana yang dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, tetapi
sekolah akan mengalami peningkatan dalam banyak hal.
Diposkan oleh Fitri Melawati 
di 05:24 
0 komentar 
Label: 9.4 Pendidikan Non Formal 
Pendidikan Non Formal 1 
Belajar Mudah Bahasa Arab

Bahasa adalah alat komunikasi diantara manusia dalam menyampaikan maksudnya ( Imam Asy
Syibahaweih, hal: 8). suatu kaum akan menyampaikan maksud atau tujuan mereka kepada kaum
yang lain dengan melalui bahasa. Maka dilihat dari kedudukannya, bahasa adalah sesuatu yang
harus dipelajari dan dipraktekan dalam berinteraksi dengan orang lain.

Mempelajari bahasa asing akan lebih sulit difahami daripada bahasa Ibu ( Bahasa Sendiri ) karena
selain kosa kata yang jarang digunakan, struktur kata dan kalimatpun memerlukan waktu khusus
untuk dipelajari. Oleh sebab itu, pengajaran Bahasa Asing dalam lembaga formal dan informal
memerlukan metode pengajaran yang tepat sesuai dengan tujuan umum pengajaran bahasa itu
sendiri.

Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa Asing ( Luar bahasa pribumi ) yang penyebarannya sudah
banyak ditemukan di beberapa daerah dan negara. Proses penyebaran bahasa Arab diberbagai
Negara adalah pengaruh dari perkembangan Agama Islam yang mana sumber ajaran Agama Islam
( al Quran dan As Sunah ) menggunakan bahasa Arab.

Dalam mempelajari bahasa Arab sebagai alat komunikasi akan lebih sulit dirasakan oleh semua
pelajar karena beberapa alasan:

1) Kurangnya kemampuan murid dalam menguasai kosa kata ( Bahasa keseharian ( Komunikasi
Informal ) dengan Bahasa Resmi ( komunikasi Formal , walaupun sumber bacaan cukup memadai
untuk memudahkan murid mengenali kosa kata Bahasa Arab, seperti Kamus Kontemporer Krapyak
Jogjakarta, Kamus Mahmud Yunus, kamus Al Munawwir atau kamus percakapan yang lain, namun
penggunaan kosa kata dalam komunikasi verbal sangat minim.

2) Orientasi pengajaran bahasa hanya untuk mengenali kaidah bahasa ( Nahwu Sharaf, Ilmu Balagah,
Ilmu Mantiq ) sehingga murid dituntut untuk menguasai konsep kebahasaan daripada praktek
mengkomunikasikan bahasa itu sendiri.

3) Metode pengajaran bahasa yang hanya merangsang murid untuk bisa menerjemahkan struktur
Bahasa Arab yang tersusun dengan aplikasi konsep kaidah bahasa Arab mengakibatkan murid hanya
memiliki semangat untuk menerjemahkan dan ini akan menimbulkan kefasifan dalam berbicara

Dengan melihat fenomena diatas, maka Pengajaran Bahasa Arab untuk masa sekarang, bagi murid-
murid lebih diarahkan kepada proses pengajaran dalam komunikasi verbal daripada nonverbal
sehingga keahlian ini akan memberikan keuntungan yang banyak untuk para pelajar dalam
mengembangkan kemampuan bahasa Arab sesuai dengan maksud bahasa itu sendiri.

Penelitian tentang metodologi pengajaran Bahasa Asing ( Bahasa Arab ) kepada para pelajar pribumi
cukup minim sekali sehingga mengakibatkan adanya ketimpangan antara proses pengajaran dengan
kemampuan kebahasaan.

pada saat ini perlu kiranya mereposisi kembali metode pengajaran bahasa Arab sesuai dengan
tujuan bahasa itu sendiri sebagai alat komunikasi dan alat akulturasi budaya, antara lain:

1) Murid lebih diperkenalkan bahasa populer yang digunakan oleh penutur bahasa Arab asli dengan
menghadirkan native speaker

2) Metode pengajaran Bahasa lebih menekankan kepada kemampuan komunikasi verbal daripada
non verbal.

3) Materi pengajaran Bahasa Arab tidak hanya memperkenalkan tentang kosa kata, struktur bahasa
akan tetapi lebih dikembangkan kepada pengenalan terhadap budaya Timur tengah sebagai produk
bahasa

4) Materi konsep dan penerapan didudukan dalam proporsional, waktu belajar, muatan materi dan
sumber belajar.

Dwi Restuwanty

Tidak ada komentar:


Posting Komentar


Beranda

Lihat versi web


About Me

Dwi Restuwanty
Saya adalah seorang mahasiswi semester 4 Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta.
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Dwi Restuwanty
PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT MENUJU OTONOMI
DAERAH KALTIM
A. Latar Belakang

Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan pilot project yang ditujukan untuk meningkatkan
kemampuan belajar anak melalui suara, pilihan dan tindakan kolektif masyarakat. Proyek
percontohan ini akan dilaksanakan melalui mekanisme Program Pengembangan Kecamatan (PPK),
yang merupakan program pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi dampak kemiskinan pada
masyarakat pedesaan dan untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan setempat. PPK difokuskan
pada kecamatan yang dinilai termiskin di Indonesia, dan membiayai proyek pembangunan pada
tingkat desa melalui sebuah sistem pilihan terbuka, yang memungkinkan berbagai kelompok
masyarakat untuk mengusulkan kegiatan pendidikan. Sejauh ini, PPK belum memiliki sistem yang
dapat meningkatkan kualitas pendidikan maupun perspektif masyarakat terhadap gagasan inovatif
berkaitan dengan pendidikan.

Kelompok sasaran utama dari proyek percontohan Pendidikan Berbasis Masyarakat ini adalah
kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan bagi para anak murid. Selain peningkatan

fasilitas infrastruktur fisik, proyek percontohan ini akan melibatkan masyarakat agar dapat
mempertimbangkan berbagai kegiatan non-fisik, seperti peningkatan kapasitas mengajar, proses dan
suasana pembelajaran yang menyenangkan, dan perawatan kesehatan dan gizi bagi para anak.
Diharapkan juga bahwa hubungan antara sekolah dan masyarakat akan semakin baik.

Bagaimanapun juga, ada beberapa hal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat namun dengan
dampak yang sangat terbatas kecuali dengan keterlibatan dinas pendidikan kabupaten. Misalnya,
dinas pendidikan kabupaten dapat mendukung masyarakat dengan informasi dari luar, seperti
Undang-Undang Pendidikan No. 20/2003 dan UU tentang Perlindungan Anak No. 23/2002. Yang
terakhir misalnya akan melindungi anak dari kekerasan di sekolah maupun di rumah. Berkurangnya
kekerasan akan sekaligus meningkatkan kapasitas anak-anak untuk belajar . Pendidikan guru adalah
contoh yang lain. Sangat mahal apabila masing-masing sekolah harus melaksanakan pelatihan guru.
Namun jauh lebih praktis dan ekonomis apabila kelompok-kelompok masyarakat yang memilih
untuk meningkatkan kapasitas gurunya, melakukannya secara bersama di tingkat kabupaten.

Otonomi Daerah merupakan kewenangan Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingaan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Thoha, 1998).
Dengan otonomi daerah, maka wewenang pusat dilimpahkan kepada daerah untuk menangani
urusannya masing-masing. Di Indonesia otonomi daerah tidak dilaksanakan secara frontal untuk
segala urusan, tetapi sebagian urusan daerah tidak lagi diintervensi oleh pemerintah pusat. Melihat
kondisi ini, maka diharapkan dapat mendorong kemajuan daerah berdasarkan potensi dan sumber
daya yang dimiliki.

Penataan otonomi daerah yang seluas-luasnya akan mempengaruhi penataan institusi dan
berdampak pada manajemen berbagai sumber daya yang ada di daerah. Apabila otonomi daerah
dikonsentrasikan di wilayah kota atau kabupaten, maka propinsi tidak lagi sebagai pemerintah
otonom, tetapi bersifat koordinatif. Wewenang penyelenggaraan segala urusan berada pada tingkat
kota atau kabupaten. Hal ini akan membawa dampak pada penataan sistem pendidikan, termasuk
organisasi penyelenggara, kurikulum, penataan SDM, pendanaan, sistem manajemen, sarana
prasarana, dan pengembangan pendidikan daerah.

B. Tujuan Pendidikan Bermasis Masyarakat

Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) bertujuan untuk membantu pemerintah dalam memobilisasi
sumber daya lokal dan meningkatkan peranan masyarakat, meningkatkan rasa kepemilikan dan
dukungan masyarakat terhadap sekolah, dan mendukung peranan masyarakat untuk
mengembangkan inovasi kelembagaan, serta membantu mengatasi putus sekolah terutama dari SD.
C. Permasalahan

.Besarnya penduduk Indonesia yang menempuh pendidikan luar sekolah.


.Rendahnya Anggaran dari Pemerintah
.Pemerintah belum melihat Pendidikan secara utuh
.Prioritas pemerintah pada pendidikan sekolah.

BAB II

PEMBAHASAN

A.Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM)

Konsep PBM adalah: dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U., 2001).
Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa PBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat
dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi
masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil,
mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan
masyarakat.

Dengan demikian tenaga pendidikan (pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas


(pertanggungjawaban) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat
mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat.
Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan
menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat (community based education).

Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat
dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini
masih menghadapi beberapa problematika. Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita
seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah, 2002 adalah:

a) pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya ,


b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran,
c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek
intelektual atau derajat kecerdasan nalar.

Sedangkan menurut Surya, M., 2002 salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah
keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan
optimal. Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan
karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu
dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya
saing yang rendah.

Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni
sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen utama mereka,
seperti: a) alumni kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah
demam berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus dibarengi dengan
ironi kekurangan tenaga medik dan paramedik, kemudian terjadilah kisah tragis Indah di Indramayu;
b) Kesulitan untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota pontianak dan
Kab./Kota lainnya di Propinsi kalimantan Barat merupakan hal yang sulit kita pahami, mengingat
STAIN Pontianak hingga saat ini telah meluluskan banyak alumni; c) sangat ironis terjadi bagi
masyarakat Kalimantan Barat jika harus kekurangan tenaga dan ahli pertanian sehingga banyak areal
pertanian terbengkalai atau salah urus, mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana
pertanian setiap tahunnya.

Kisah-kisah ironis tersebut menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral dan kompetensi
sosial SDM keluaran sistem pendidikan kita sangat tidak compatible dengan tuntutan dunia kerja di
dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak menjadikan masyarakat sebagai dasar prosesualnya
dan tidak berakar pada sosial budaya yang ada. Pendidikan berjalan di luar alam sosial budaya
masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan) melalui proses pendidikan
merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi
masyarakat tersebut.

Implikasinya adalah terputus mata rantai budaya sosial antara satu generasi dengan generasi
berikutnya. Generasi yang lebih muda menjadi tidak mampu mewarisi dan mengembangkan
bangunan budaya sosial yang dikonstruksi oleh generasi pendahulunya, bahkan tidak mampu
mengapresiasi dan seringkali berperilaku yang cenderung berakibat mengenyahkannya. Generasi
seperti ini cenderung hanya mampu melihat kekurangan-kekurangan pendahulunya, tanpa
menawarkan jalan keluar dan penyelesaiannya.

Kisah yang sangat biasa bagi orang pribumi yang kaya raya dari hasil usaha dan bisnisnya, anak
mereka menghancurkan perusahaan dan menghabiskan kekayaan untuk berfoya-foya. Hal seperti ini
tidak terjadi pada tradisi etnis tionghoa, dimana yang kaya akan menjadi lebih kaya karena putra-
putrinya dipersiapkan untuk menjadi pewaris yang mampu mengembangkan bisnis yang dirintis oleh
kedua orang tuanya. Misalnya dengan membiasakan anaknya magang di setiap outlet orang tua dan
memperoleh perlakuan seperti layaknya pegawai, dengan demikian mereka mempunyai akselerasi
belajar yang jauh lebih tinggi karena segala pelajaran yang diperoleh di sekolah memperoleh
penguatan melalui aktivitas praktis yang dijalaninya.

Sementara itu kita juga tengah menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan disepakatinya
kawasan perdagangan bebas. Sejak 1 Januari 2003 secara Internasional dimulai AFTA (Asean Free
Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area). Akibatnya terjadi perubahan pada berbagai bidang
kehidupan, baik politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, demografi, Sumber Daya Alam, dan
geografi yang akan berpengaruh pada skala global, regional dan nasional. Secara global dapat dilihat
dengan adanya terorisme, runtuhnya tembok Berlin, narkoba. Secara regional dapat dilihat dengan
maraknya narkoba, terorisme, TKI, sipida ligitan. Secara Nasional dapat kita lihat dengan banyaknya
pengangguran, kemiskinan, narkoba, pariwisata, dan demokrasi.

Dengan demikian pendidikan harus secara akif berperan mengatasi dampak negatif dari era
globalisasi dan mempersiapkan Sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu bersaing
dengan SDM dari negara lain. Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan
mencanangkan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi / KBK). Dengan kurikulum ini materi
pelajaran ditentukan oleh sekolah berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pusat
hanya menetapkan materi pokok (esensial). Target guru tidak untuk menyampaikan semua materi
pelajaran tetapi memberikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dan berfokus pada
aspek kognitif, psikomotor dan afektif (Sudjatmiko dan Nurlaili, L., 2004).

Oleh karena itu dengan melaksanakan KBK secara optimal diharapkan output pendidikan dapat
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai akuntabilitas pendidikan kepada
masyarakat sesuai dengan konsep PBM. Sejalan dengan dicanangkannya KBK, pemerintah juga
melakukan pembaharuan manajemen sekolah dengan mengeluarkan kebijakan agar sekolah
menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah model manajemen yang memberikan
keleluasaan / kewenangan kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri dengan
meningkatkan keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah
dengan tetap memperhatikan standar pendidikan nasional (Irawan, A., 2004).

MBS merupakan salah satu pendidikan berbasis masyarakat yang dilaksanakan dalam pendidikan
formal. Pendidikan kita selama ini memandang sekolah sebagai tempat untuk menyerahkan anak
didik sepenuhnya. Sekolah dianggap sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada
anak didik. Cara pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan juga harus dikembangkan di
keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk memperluas cakupan dan memperdalam
intensitas penanaman cita-cita sosial budaya yang tidak mungkin lagi dikembangkan melalui
mekanisme keluarga (Mukhlishah, 2002).

Memulai kembali menata pendidikan dengan mempertahankan fungsi keluarga dan masyarakat
sebagau basis pendidikan di sekolah bukan lagi ide untuk masa depan tetapi menjadi tuntutan yang
sangat mendesak. Upaya ini akan menjadi cara untuk mengembalikan sistem pendidikan kita kepada
hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang hakiki adalah suatu langkah prosedural
yang bertujuan untuk melatenkan kemampuan sosial budaya berupa program-program kolektif alam
pikir, alam rasa, dan tradisi tindak manusia ke dalam pribadi dan kelompok manusia muda agar
mereka siap menghadapi segala kemungkinan yang timbul di masa datang.

Karena itu diperlukan partisipasi semua elemen (stakeholder) terutama orang tua dan masyarakat.
Untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan perlu dikembangkan
model pendidikan berbasis masyarakat, di mana proses pendidikan tidak terlepas dari masyarakat
dan menjadikan masyarakat sebagai basis keseluruhan kegiatan pendidikan. Semua potensi yang ada
di masyarakat apabila dapat diberdayakan secara sistemik, sinergik dan simbiotik, melalui proses
yang konsepsional, dapat dijadikan sebagai upaya yang strategis dalam meningkatkan mutu
pendidikan nasional.

Menurut Darwin rahardjo dalam Surya, M., 2002 masyarakat modern mempunyai tiga sektor yang
saling berinteraksi yaitu sektor pemerintah, dunia usaha dan sektor sukarela (LSM). Ketiga sektor
masyarakat tersebut harus mempunyai posisi tawar menawar dan kemandirian sehingga
menghasilkan kerjasama yang sinergik dan simbiotik dalam mencapai tujuan bersama. Hal tersebut
dapat dijadikan kerangka berfikir dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam satu gugus
sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan.

B. Kendala Mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat

Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala, S., 2004
adalah:

1) Sistem perencanaan, pengangguran dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah


masih dari atas ke bawah (top down).
2) Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
3) Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
4) Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan
yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.
5) Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada
hal-halyang bersifat kebutuhan badani / kebendaan.
6) Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.
7) Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering
berperilaku seperti birokrat.
8) Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.
9) Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.
10)Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan
masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih
menonjolkan karakteristiknya masing-masing.

Sistem yang masih top down yang kurang memberikan ruang dan peluang perencanaan dari bawah,
sehingga terjadi penyeragaman program serta penyeragaman sistem dan mekanisme pelaksanaan
program mengakibatkan pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu kepada hasil melainkan
hanya kepada kelengkapan administrasi. Hal ini benar-benar mematikan kreativitas di lapangan dan
membuka peluang untuk memanipulasi.

Kurangnya kepercayaan pemerintah kepada masyarakat untuk mengambil peran dalam


melaksanakan program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat mengakibatkan terjadinya
pemaksaan kehendak dan pengarbitan hasil program.

Tugas melayani masyarakat yang belum dilaksanakan dan kecenderungan berperilaku sebagai
penentu yang selalu ingin dihormati dan berkuasa karena mereka merasa memiliki dana
menyebabkan timbulnya sikap apatis pada masyarakat dan menurunkan keinginan masyarakat
untuk berpartisipasi. Kebutuhan masyarakat yang beragam dan merasa belum terlayani dengan baik
menyebabkan gairah belajar masyarakat berkurang dan menimbulkan keengganan untuk mengikuti
program belajar. Pola pikir masyarakat yang masih mementingkan kebutuhan kebendaan atau
badani dan kurang memperhatikan pendidikan menyebabkan banyak anak yang tidak
berkesempatan mengikuti program pendidikan dan mereka lebih disibukkan dengan kegiatan
mencari nafkah.

Masyarakat masih memiliki budaya statis , merasa puas dengan apa yang ada, bersifat menunggu,
menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil prakarsa serta melakukan tindakan yang
bermanfaat untuk masa depan menyebabkan sulitnya memperkenalkan teknologi baru kepada
mereka. Tokoh panutan yang berperilaku seperti birokrat mengakibatkan masyarakat pendidikan
enggan untuk mengoptimalkan peran masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan
program.

Kurangnya LSM mengakibatkan kelambatan dalam usaha menggerakkan masyarakat untuk


berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat.
Adanya keterbatasan anggaran, sarana prasarana dan tenaga kependidikan serta prosedur yang
berbelit-belit dapat mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap program pendidikan berbasis
masyarakat berkurang.
Bertolak dari permasalahan-permasalahan ini, institusi sekolah bersama masyarakat perlu menyusun
suatu model kebijakan sampai batas mana masyarakat dapat berpartisipasi dalam manajemen
pendidikan dan bagaimana masyarakat itu dapat berpartisipasi memenuhi kebutuhan sekolah. Salah
satu solusinya, aspirasi masyarakat dan keikutsertaan masyarakat disalurkan melalui suatu forum
yang disebut dewan sekolah atau komite sekolah yang fungsi tugasnya dituangkan dalam peraturan
pemerintah maupun peraturan daerah. Komite sekolah merupakan pengembangan fungsi dari BP3
yang tidak hanya berfungsi untuk memberikan dukungan pembiayaan tetapi juga berfungsi
mengoreksi dan memberikan masukan atau ide bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Komite sekolah sebagai forum keikut sertaan masyarakat ditingkat sekolah sedangkan dewan
pendidikan ditingkat Kabupaten/Kota.

Sekolah dan masyarakat saling membutuhkan sehingga kekuatan dan keterbatasan masing-masing
dapat saling melengkapi menjadi sebuah kekuatan. Hal-hal yang dapat didukung orang tua dalam
mencapai tujuan pendidikan menurut Sergiovanni dalam Sagala, S., 2004 adalah pengembangan
kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau
penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.

Secara umum orang tua menginginkan pendidikan yang lengkap untuk anak-anak mereka. Mereka
menginginkan generasi mudanya dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi warga negara yang
berbudaya dan berpendidikan serta memiliki kemampuan untuk berperan secara penuh dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fiske, 1993 bahwa orang tua adalah
pelanggan utama sekolah yang mempunyai tujuan pokok agar anak-anak mereka memperoleh
pendidikan yang bermutu.

Selain itu untuk mengatasi kendala penerapan berbasis masyarakat perlu dilakukan perbahan sikap
yang melihat pendidikan secara utuh, perubahan pola perencanaan dan penggunaan anggaran dari
pusat dengan pola DIP ke pola hibah (block grant), perubahan sikap birokrat dalam berperilaku
untuk memberdayakan masyarakat, pemberian kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola
sendiri pendidikan yang mereka perlukan dan pemerintah cukup membuat standar mutu, LSM serta
organisasi kemasyarakatan serta swasta yang mau bergerak dibidang pendidikan perlu lebih
diberdayakan.

C. Peran Pemerintah Dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat -(PBM III)

a. Bagaimana peran pemerintah dalam menggalakkan Pendidikan Berbasis Masyarakat?

Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan
memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U. 2001 adalah:
peran sebagai pelayan masyarakat, peran sebagai fasilitator, peran sebagai pendamping, peran
sebagai mitra dan peran sebagai penyandang dana.

Sebagai Pelayan Masyarakat, dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya


pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar
utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya
untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu
menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat memberikan perhatian, tidak berbelit-
belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama.
Sebagai Fasilitator, pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan
masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu
membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu
meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi
masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.

Sebagai Pendamping, pemerintah harus melepaskan perannya dari penentu segalanya dalam
pengembangan program belajar menjadi pendamping masyarakat yang setiap saat harus melayani
dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai
teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan
menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan.

Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam
memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani
(mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat
yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa ( bila berada di antara mereka,
petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan
masyarakat ( Ing ngarsa sung tulodo).

Sebagai Mitra, apabila kita berangkat sari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat
sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan
keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin
menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai
mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak
berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan menyusahkan,
membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan kreativitas masyarakat.

Sebagai Penyandang Dana, pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada
umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar untuk
belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermatapencaharian yang layak.
Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat
dijadikan sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan
sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan
oleh masyarakat yang disalurkan berdasarkan usulan dari lembaga pengelola PKBM.

b. Bagaimana peran Komite sekolah dalam pendidikan berbasis masyarakat ?

Partisipasi masyarakat sebagai kekuatan kontrol dalam pelaksanaan berbagai program pemerintah
menjadi sangat penting. Di bidang pendidikan partisipasi ini lebih strategis lagi. Karena partisipasi
tersebut bisa menjadi semacam kekuatan kontrol bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan di
sekolah-sekolah. Apalagi saat ini Depdiknas mulai menerapkan konsep manajemen berbasis sekolah.
Karena itu gagasan tentang perlunya sebuah Komite Sekolah yang berperan sebagai semacam
lembaga yang menjadi mitra sekolah yang menyalurkan partisipasi masyarakat (semacam lembaga
legislatif) menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan tak terhindarkan. Dengan adanya komite
sekolah, kepala sekolah, para penyelenggara serta pelaksana pendidikan di sekolah secara
substansial akan bertanggung jawab kepada komite tersebut. Kalau selama ini garis
pertanggungjawaban kepala sekolah dan penyelenggara pendidikan di sekolah bertanggungjawab
kepada pemerintah, dalam hal ini kepada Dirjen Dikdasmen, maka dengan konsep manajemen
berbasis sekolah pertanggung jawaban itu kepada Komite Sekolah. Pemerintah dalam hal ini hanya
memberikan legalitas saja.

Selama ini Komite Sekolah memang telah dibentuk oleh Pemerintah, tetapi perannya terbatas hanya
untuk mengawasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Komite Sekolah yang baru ini tentu tidak
terbatas hanya untuk mengawasi dana JPS saja, melainkan juga berperan bagi upaya peningkatan
mutu pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus menjaga transparansi dan akuntabilitas sekolah,
serta menyalurkan partisipasi masyarakat pada sekolah.

Tentu saja Komite Sekolah ini mesti diawali dengan melakukan upaya optimalisasi organisasi orang
tua siswa di sekolah. Upaya ini sangat penting lagi di saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi
kita sudah mulai tidak jelas sekarang ini.

Dengan adanya upaya ini jalinan antara satu sisi, orang tua, dan di sisi lain sekolah, bisa bersama-
sama mengantisipasi dan mengarahkan serta bersama-sama meningkatkan kepedulian terhadap
anak-anak di usia sekolah. Dengan demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama mulai
dari keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0293/U/1993 juga perlu disesuaikan dengan nuansa dan
paradigma perkembangan pendidikan nasional. Karena itu, Komite Sekolah yang baru ini adalah
gabungan peran dari Komite Sekolah JPS, Organisasi Orang Tua Siswa dan BP3. komite Sekolah yang
baru ini bertujuan membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah dalam upaya ikut
memelihara, menumbuhkan, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan nasional.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tentu saja Komite Sekolah mesti melakukan berbagai upaya
dalam mendayagunakan kemampuan yang ada pada orang tua, masyarakat dan lingkungan
sekitarnya, termasuk LSM-LSM yang memiliki concern di bidang pendidikan. Agar independensi
komite ini tetap terjaga, maka tampaknya keanggotaan tidak lagi memasukkan aparat sekolah dan
pemerintahan. Kalau Komite Sekolah JPS keanggotaan ya terdiri dari 50% anggota masyarakat dan
50% lagi birokrat, maka keanggotaan Komite Sekolah yang baru ini adalah orang tua siswa, tokoh
masyarakat, pakar dan pengamat pendidikan, LSM-LSM, dan mungkin juga perwakilan-perwakilan
dari organisasi masyarakat dan pemuda yang ada.

Tentu saja Kepala Sekolah harus membantu terbentuknya komite ini. Selanjutnya pembentukan
komite dilaporkan kepada instansi/satuan kerja setempat yang bertanggungjawab atas
penyelenggaraan pendidikan. Namun demikian komite ini bersifat independen yang berkedudukan
sebagai mitra sekolah dan berfungsi sebagai lembaga kontrol bagi sekolah. Komite Sekolah juga
dapat memberikan masukan penilaian untuk pengembangan pelaksanaan pendidikan dan
pelaksanaan manajemen sekolah. Komite sekolah nisa juga memberikan masukan bagi pembahasan
atas usulan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).

Jika Komite Sekolah ini bisa dijalankan, berarti proses dan pelaksanaan pendidikan di sekolah akan
berjalan sesuai prinsip demokrasi. Ini berarti lingkungan sekolah menjadi laboratorium dan contoh
mikro dari realisasi masyarakat madani. Sebab, dengan demikian masyarakat sekolah berarti
menjalankan fungsi legislatif-eksekutif, partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Jelas sekali bahwa
memfungsikan MBS dan Komite Sekolah merupakan upaya demokratisasi pendidikan yang
menjadikan pendidikan berakar pada masyarakat yang tentunya mempunyai sustainability yang
handal.

----------------------------------- BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

1.PBM sudah ada dan tumbuh di Indonesia dalam berbagai bentuk.


2.Peran pemerintah harus bergeser sebagai pelayan, pendamping, pendorong, dan penggugah
dalam mengembangkan PBM.
3.PBM harus bertumpu pada masyarakat.
4.PBM harus didukung oleh kemitrasejajaran
5.Penganekaragaman program pembelajaran perlu dikembangkan.
6.Pola pengganggaran yang salah dapat mematikan kreativitas masyarakat.

Dwi Restuwanty

Tidak ada komentar:


Posting Komentar


Beranda

Lihat versi web


About Me

Dwi Restuwanty
Saya adalah seorang mahasiswi semester 4 Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta.
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai