Anda di halaman 1dari 5

Sustainability Accounting

dan
Kepentingan Stake Holders

1. Komunitas dan CSR


Istilah CSR (Corporate Social Responsibility) atau sering diterjemahkan menjadi
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan semakin ekstensif digunakan oleh berbagai
kalangan : akademisi, aktivis sosial (LSM) dan terutama dari kalangan bisnis (sektor
privat).
Rentang CSR pun membentang yaitu kepada komunitas, pekerja dan keluarganya,
konsumen, pemasok (Moir,2000 ; WBCSD) CSR kepada komunitas atau yang lebih
disimplifikasikan oleh berbagai kalangan adalah CD (Community Development). Dalam
melakukan CSR bidang sosial ke komunitas, perusahaan sering melakukannya dengan
bentuk donasi sosial (charity) seperti sumbangan kepada korban bencana, bantuan
beasiswa, bantuan pembangunan infrastruktur fisik yang dilakukan oleh perusahaan
tambang, misalnya PT Chevron di Riau dan PT Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa.
Pola perusahaan dalam melaksanakan CSR kepada komunitas. Pola charity atau
sekedar memberikan donasi sosial atau membentuk kegiatan ekonomi bagi lingkungan di
sekitar perusahaan tidaklah cukup ; necessary but not sufficient. Sudah sewajarnya
perusahaan meninggalkan program dan kebijakan CSR yang sekedar memberikan
layanan sosial yang paternalistis. Layanan paternalistis, walaupun diakui terkadang
berguna daalam jangka pendek, pada akhirnya cenderung menimbulkan sikap
ketergantungan. Perlu dilakukan pembangunan kapasitas bagi komunitas sehingga
diharapkan masyarakat dapat mencari, menciptakan dan memanfaatkan peluang yang ada
saat ini dan masa depan.
CSR, dalam hal ini tanggungjawab kepada komunitas, memiliki potensi untuk
mengankat taraf hidup bangsa. CSR juga dapat menjadi perekat atau penghancur
eksistensi komunitas. Hancurnya komunitas ditengarai oleh Peter Drucker dalam
tulisannya, Civilizing The City (1998), menyebabkan meningkatnya kerawanan sosial
seperti meningkatnya tindakan kriminalitas. Oleh karena itu, ia menyarankan pentingnya
membangun kembali komunitas yang telah luluh lantak dihancurkan oleh kapitalisme
brutal. Pembangunan komunitas (community development) bukanlah urusan sekedar
bagaimana meningkatkan kekayaan ekonomi mereka sehingga dapat membeli lebih
banyak mengisi keranjang konsumsi.
Namun, lebih dari itu, ia dalam waktu bersamaan harus mengajarkan kepada
anggota komunitas untuk lebih bertanggungjawab, peduli terhadap sesama atau “avoiding
social ignorance” seperti diungkapkan Frank dan Smith (1999). Tetapi tentu bukanlah
sebuah sikap untuk mengintervensi kebebasan dan menentukan baik buruknya apa yang
harus dilakukan seseorang. Sikap seperti ini bukanlah kepedulian melainkan sikap
kediktatoran (dictatorship). Inilah tantangan terbesar yang dihadapi oleh CSR. (Joko
Guntoro, 2008)

2. Karakterisitik CSR
a. CSR seharusnya merupakan aktivitas yang melebihi kepatuhan terhadap undang-
undang dan undang-undang yang berlaku.
b. CSR seharusnya bisa menghasilkan dampak semi permanen bagi perusahaan dan
masyarakat.
c. CSR harus memperhitungkan dan mempertimbangkan kepentingan pemangku
kepentingan di dalam dan di luar perusahaan.
d. CSR harus mengandung sistem govermance yang layak, bersamaan dengan
transparansi dan tanggung jawab.
e. CSR seharusnya mengikuti tip ISO 26000.
ISO (International Organization for Standardization) sebagai induk organisasi
standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk
tim (working group) yang membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk
tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social
Responsibility. (Makaryo, 2018)

3. Perspektif CSR dan perkembangannya


Berikut ini disajikan berbagai sudut pandang konseptual terhadap CSR (Maignan dan
Ferrell, 2004):
a. CSR sebagai kewajiban social
Perspektif ini dikemukakan pertama kali oleh Bowen yang mendefinisikan CSR
sebagai kewajiban bagi pengusaha untuk menjalankan kebijakan, membuat keputusan
atau mengikuti segala aturan yang sejalan dengan tujuan dan nilai-nilai yang
dikehendaki oleh masyarakat. Menurut Carroll (dalam Maignan dan Ferrell, 2004)
kewajiban sosial itu dapat dibedakan menjadi: (a) kewajiban ekonomi (agar menjadi
produktif dan secara ekonomis dapat terus berlangsung), (b) kewajiban hukum dan
etika (patuh terhadap hukum serta terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku), (c) kewajiban filantropis (secara proaktif menyumbang kepada masyarakat).
b. CSR sebagai kewajiban terhadap pemangku kepentingan
Sejak pertengahan 1990an sejumlah pakar berpendapat bahwa istilah kewajiban sosial
itu terlalu luas. Mereka berpandangan bahwa dunia usaha bukan bertanggung jawab
kepada masyarakat secara keseluruhan namun bertanggungjawab terhadap pihak-
pihak yang secara langusung maupun tidak langsung terkena dampak dari kegiatan
perusahaan. Pihak-pihak tersebut disebut dengan pemangku kepentingan
(stakeholder), yang dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok: (a) kelompok
yang bersifat organisasional (misalnya pegawai, pelanggan, pemegang saham dan
pemasok), (b) masyarakat (misalnya penduduk lokal, kelompok kepentingan), (c)
kelompok yang berhubungan dengan peraturan (misalnya pemerintah daerah,
kekuasaan kehakiman) dan (d) media massa (Maignan dan Ferrell, 2004).
c. CSR sebagai dorongan etika (ethics-driven)
Pandangan bahwa CSR sebagai bentuk tanggung jawab sosial maupun tanggung
jawab terhadap para pemangku kepentingan menunjukkan bahwa praktek CSR
dimotivasi oleh kepentingan pribadi agar dunia usaha mendapatkan legitimasi
diantara konstituen-konstituennya. Pendekatan seperti itu menunjukkan bahwa
mereka tidak memiliki komitmen yang positif dan tanpa pamrih. Dengan memberikan
sumbangan yang bersifat filantropis semata maka perusahaan dinilai hanya
menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial dan hal ini dapat dipandang sebagai
upaya untuk menunjukkan kekuasaan perusahaan secara paternalistik. Oleh karena itu
beberapa pakar mengusulkan pandangan yang berlandaskan etika (ethics-driven view)
terhadap CSR yang menilai baik-buruknya kegiatan perusahaan bukan berdasarkan
kewajiban sosial maupun kewajiban terhadap pemangku kepentingan. Misalnya
dalam proses pengambilan keputusan dan prosedur, perusahaan harus memberikan
peluang kepada semua pihak yang ada hubungannya dengan perusahaan dengan
didasarkan atas nilai-nilai persamaan, kebebasan dan keadilan.
d. CSR sebagai proses manajerial
Ketiga perspektif tersebut menjelaskan faktor-faktor yang mendorong dunia usaha
untuk melaksanakan CSR. Disisi lain, sejumlah pakar menjelaskan CSR dengan
menggunakan proses organisasi yang konkrit dan seringkali diistilahkan sebagai
corporate social responsiveness. Misalnya, Ackerman (Maignan dan Ferrell, 2004)
menerangkan tiga aktivitas utama dalam corporate social responsiveness: (a)
memonitor dan menilai keadaan lingkungan, (b) memahami permintaan para
pemangku kepentingan, dan (c) membuat rancangan dan kebijakan untuk
meningkatkan dampak positif terhadap perusahaan. (Adi Susilo Jahja, 2014)

Perkembangan CSR
The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) adalah
sebuah lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari 120
multinasional company yang berasal lebih dari 30 negara itu. Konsep CSR berkembang
pesat selama 20 tahun terakhir ini, yang lahir sebagai akibat dari desakan organisasi-
organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat global. Hingga dekate 1980-
1990an, konsep CSR terus berkembang.
Munculnya KTT Bumi di Rio pada tahun 1992 menegaskan konsep suistanibility
development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang harus diperhatikan, tak
hanya oleh negara tetapi juga oleh kalangan korporasi.
Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan
konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic
dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam
CSR. (Jackie Ambadar, 2017)

Anda mungkin juga menyukai