Anda di halaman 1dari 6

PERAN KAMPUS DALAM PENGUATAN DAN

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA•

I. Revitalisasi Peran Kampus

Komunitas kampus memiliki fungsi ganda atau multi fungsi. Selain sebagai
pusat ilmu dimana mahasiswa bersama dosen menggali, menganalisis,
mensistesakan antar sejumlah teori, atau antar teori dengan temuan-temuan
faktual empiris untuk kepentingan kritik teori, dan bilamana perlu
mendekonstruksi fondasi filsafat maupun ideologi ilmu positif baku, kampus juga
memiliki peran sebagai “center of civilization” dan “center for leaders
development”.
Dalam kapasitasnya sebagai arena dan wahana menyemai atau
mengembangkan pemimpin, kampus memiliki peran spesifik. Pemimpin secara
sederhana dinisbatkan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan pengaruh
dan kekuatan melakukan perubahan. Dalam konteks kampus sebagai pusat
peradaban, adalah merupakan komitmen dan tugas dosen bersama mahasiswa
menjadikan komunitas kampus sebagai pusat mendidik dan mengembangkan
pemimpin yang ilmuwan. Yakni suatu sosok pemimpin yang memiliki keinsyafan
dan kemampuan memimpinkan ilmunya pada masyarakat bangsa dan dunia.
Jika tidak salah mengasumsikan, selama ini peran-peran akademisi dan
sarjana di dalam ruang-ruang publik, terutama pada birokrasi negara dan
pemerintah belum menunjukkan suatu karakter tertentu. Yakni karakter sarjana
yang memiliki sifat kritis, berfikir radikal, sistemik, integral dan transformatif-
konstruktif. Jika di kampus mereka menerima sejumlah teori dan berfikir
akademis, maka sejauh mana kebijakan-kebijakan umum birokrasi negara dan
pemerintah telah mencerminkan karakter akademis. Yakni karakter yang
menuntut pada sikap yang ketat untuk mendasarkan pada kaedah-kaedah ilmu,


M.Busyro Muqoddas (Komisi Yudisial)
Disampaikan dalam Seminar “Status dan Kondisi Penegakan, Perlindungan dan Pemenuhan HAM di
Indonesia” oleh Pusham2 se Indonesia dengan NCHR, 14 Maret 2009 di Yogyakarta.

1
yang menuntut adanya ”sifat ilmiah” pada setiap kebijakan yang akan
dirumuskan dan diterapkannnya.
Jika menilik sejumlah besar kasus-kasus korupsi yang tersebar di 23 propinsi
maupun yang terjadi di jajaran pemerintah, legislatif, yudikatif, dan seluruh
jajaran penegak hukum, maupun korupsi dalam bentuk kebijakan negara yang
sengaja untuk membuka peluang korupsi, semua ini telah menegaskan bahwa
kampus mengalami kegagalan dalam melahirkan sejumlah pemimpin yang
berintegritas ilmiah.
Di bidang penegakan hukum, praktek jual beli BAP, surat dakwaan, bukti-
bukti ( penyembunyian alat-alat bukti dokumenter, saksi-saksi kunci, tidak
dikoreknya kebenaran materiel terhadap saksi dalam kasus korupsi dan
pelanggaran HAM) hingga jual beli putusan hakim_yang populer dengan mafia
peradilan_menegaskan pula bahwa dunia fakultas hukum telah melahirkan
sejumlah besar penegak hukum yang melakukan praktek pelecehan dan
penodaan atas nilai-nilai hukum dan HAM. Demikian juga dalam proses legislasi
dan pembuatan kebijakan publik yang tidak sedikit mengandung muatan
pelanggaran HAM di dalamnya.
Problem mendasar pada fakultas hukum pada umumnya masih berkisar
pada persoalan SDM Dosen, perpustakaan, pusat riset, pusat advokasi hukum
dan HAM serta kurikulum. Struktur kurikulum ilmu hukum masih belum jelas
pijakan mazhab epistemologi dan aksiologinya. Teks-teks kuno yang legistik
(legisme) positivistik sementara masih dipilih sebagai rujukan klasik tanpa kritik
filsafati dan ideologis. Doktrin kuno telah dikonstruksikan sejak semester awal
dan kehilangan konteks sosial.
Ilmu hukum telah mengalami ketidakjelasan paradigmanya. Meminjam
perspektif paradigmanya Thoma Kuhn, pada dasarnya realitas sosial diperlukan
untuk dikonstruksikan oleh “mode of inquiry” untuk menghasilkan “mode of
knowing” tertentu. Imanuel Kant menyebutnya dengan “skema konseptual”, dan
Marx menyebutnya sebagai ideologi. Pertanyaannya, apakah ada model
paradigma ilmu hukum produk Konsorsium Ilmu Hukum atau fakultas hukum
tertentu yang memenuhi kebutuhan untuk demistifikasi doktrin-doktrin ilmu

2
hukum agar tercapai dialektika antara teks dengan konteks ?. Ataukah yang
berjalan di kampus hukum selama ini berjalan dari teks ke teks? Bagaimana
menafsirkan teks ketika bangunan dasarnya telah kehilangan relefensi dengan
konteks sosial budaya yang sangat pesat perubahan dan dinamikanya?.
Barangkali inilah problem internal kampus hukum selama ini. Dalam konteks
agenda penguatan dan perlindungan HAM soalnya adalah, dimana nilai-nilai
dan norma-norma HAM ditempatkan dalam struktur kurikulum ilmu hukum kita?.
Berdiri sebagai mata kuliah sendiri atau diintegrasikan ke dalam setiap mata
kuliah, atau kedua-duanya?.

II. Potret riset putusan hakim yang bermuatan HAM


Bertitik tolak dari kesadaran akademis bahwa empirisitas sosial merupakan
sumber ilmu pengetahuan dan berfaedah untuk keperluan kritik atas teks dalam
belantara doktrin-doktrin hukum, maka sjeumlah Pusham di beberapa PTN dan
PTS bekerjasama dengan Komisi Yudisial telah melakukan riset atas 80 putusan
hakim. Riset yang di fasilitasi oleh NCHR ini bervokus pada putusan hakim yang
bermuatan HAM.
Riset di dasarkan pada masalah : Pertama, apakah putusan hakim telah
didasarkan pada pertimbangan hukum materiil yang benar dan tepat?.Kedua,
apakah putusan hakim dihasilkan dari proses persidangan yang fair, adil,
transparan sesuai dengan hukum formil(hukum acara) yang berlaku?. Ketiga,
apakah putusan hakim mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum dan doktrin-
doktrin hukum? Keempat, apakah putusan hakim telah mencerminkan
penghormatan, perlindungan dan penegakan HAM?
Kasus korupsi, illegal logging, women traficking, peradilan anak dan narkoba
yang menjadi vokus riset telah menghasilkan indikasi menarik. Walaupun belum
bisa disimpulkan pada tahap final, terdapat indikasi pelanggaran HAM sipol dan
ekosob pada sejumlah kasus di atas. Dalam kasus korupsi, selain sejumlah
terdakwa dibebaskan dengan argumen hukum yang tidak reasonable secara
yuridis, terdapat putusan voorwaardelijke. Mantan anggota DPRD Jateng
memperoleh putusan ini dan dikuatkan di tingkat kasasi. Sebagian kasus BLBI

3
dengan kerugian negara Rp 2,2 triliun, hukuman di tingkat kasasi 1 th 6 bulan.
Rombongan anggota DPRD Sumbar, pada kelompok pertama di hukum tingkat
kasasi. Sedang pada kelompok kedua bebas. Kasus korupsi dengan kerugian
negara Rp 47 miliar, dihukum 20 th di tingkat kasasi, dan kerugian negara Rp 67
miliar dihukum 15 th di PN Blitar.
Pada kasus peradilan anak, terjadi proses penahanan bersama dengan
tahanan dewasa di rutan dengan proses persidangan yang melanggar aturan
hukum yang berlaku. Sejumlah terdakwa yang mengalam masa penahanan
melebihi dari ketentuan undang-undang. Dapat ditambahkan pula sejumlah
besar terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur, Tanjungpriok
dan Abepur yang dibebaskan, telah menambah daftar adanya problem
penghormatan dan perlindungan HAM dalam proses peradilan.
Temuan hasil riset menjelaskan bahwa karangka berfikir hakim yang legistik
positivistik dengan tidak memperhitungkan dampak pelanggaran HAM pada
terdakwa dan masyarakat sebagai victim masif dalam kasus korupsi dan illegal
logging, menggambarkan bahwa masih terbatasnya kapasitas penegak hukum
di bidang HAM, apakah pada tataran teori, nilai, norma dan kovenan
internasional termasuk yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun ada
problem lain yakni rendahnya political will. Sementara kalangan kampus kalah
sigap dan responsif di banding dengan LSM-LSM yang berhikmat pada
penegakan HAM.
Hasil sementara riset akan dianalisis lebih dalam sebagai temuan empiris
praktek penegakan hukum pada kasus-kasus yang berdimensi HAM dan akan
disajikan dalam bentuk buku. Diharapkan buku ini bersifat komplementer atas
buku ajar HAM dan sekaligus sebagai upaya membangun dan memperkuat
tradisi riset putusan hakim bagi komunitas kampus hukum dan pada sisi lain
sebagai kritik akademis bagi jajaran penegak hukum.

III. Rekomendasi
Ilmu Hukum dalam perspektif pengembangan teori kedepan yang bermuatan
HAM, perlu diletakkan dalam kerangka pendekatan yang menjawab pada

4
kebutuhan mensintesakan antara doktrin hukum dengan nilai-nilai dan norma-
norma HAM. Selain riset yang masih diperlukan sebagai aktivitas akademis
jangka panjang, diperlukan perspektif pemikiran yang mampu menjawab pada
kebutuhan terjalinnya dialektika akademis yuridis antara komunitas akademisi
hukum dengan praktisi HAM dan penegak hukum.
Dirasakannya aktivitas riset putusan hakim yang berdimensi HAM sebagai
kebutuhan memperkaya bagi pengembangan teori hukum oleh para periset di
beberapa Pusham, Komisi Yudisial kiranya akan melanjutkan riset ini untuk ke
depan. Pelibatan mahasiswa pada aktivitas riset yang dipimpin oleh dosen senior
perlu dijadikan kebijakan akademis. Faedahnya adalah untuk menngenalkan
sejak dini mahasiswa pada teori dan praktek penegakan HAM dalam proses
peradilan. Kebijakan ini merupakan langkah pengkaderan aktivis hukum
sekaligus sebagai aktivis HAM.
Dalam tahap berikutnya, pendidikan hukum, HAM dan demokrasi perlu
dijadikan wacana nasional. Tradisi kampus yang syarat dengan dialektika antara
teori dengan praktek, antara teks dengan konteks, antara ideologi dengan
empirisitas penegakan ideologi hukum, akan menemukan substansi
permasalahan yang dapat diolah bagi kepentingan kritik dan pengembangan
paradigma ilmu hukum. Yakni paradigma ilmu hukum yang mampu menjawab
dan mensolusi kebutuhan masyarakat bangsa dan antar bangsa yang
memerlukan jalinan dan jaringan aktivitas pendukung bagi penguatan dan
perlindungan HAM.
Keberadaan hakim yang tersebar di daerah propinsi tingkat I dan daerah
tingkat II dimana kampus berada, menjadi peluang besar dan bermasa depan
bagi kampus untuk lebih konkrit mengembangkan peran kontribusi akademisnya.
Mengintegrasikan dan mensinergikan secara sistemik dan terpogram kebutuhan
penegakan hukum dan HAM bagi jajaran penegak hukum dengan jajaran
kampus hukum, merupakan salah satu kebijakan umum Komisi Yudisial.
Tujuannya adalah untuk terintegrasikannya peran lembaga negara ( Komisi
Yudisial) secara egaliter dan ilegant dengan komunitas kampus hukum dan LSM
sebagai elemen dan pilar Civil Society. Agaknya, kehadiran NCHR masih

5
diperlukan untuk agenda ini sebagai bentuk sinergisitas ilmiah yang diperlukan
dalam era global yang semakin mendekatkan kebutuhan antar bangsa dalam
perspektif HAM

Anda mungkin juga menyukai