Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru

2.1.1 Definisi Tuberkulosis Paru

Penyakit tuberkulosis adalah penyakit radang parenkim paru yang

menular karena infeksi kuman TB paru yaitu Mycobacterium tuberculosis.

Sebagian besar kuman menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ

tubuh lainnya seperti otak, tulang, hati, dan ginjal (Kemenkes RI, 2016).

2.1.2 Penyebab Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies

Mycobacterium, antara lain: Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium

africanum, Mycobacterium bovis, Mycobacterium leprae, dan sebagainya.

Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang

dapat menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT

(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang mengganggu

penegakan diagnosis TB paru pada pasien dan pengobatannya.

Secara umum, sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah

sebagai berikut:

a. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron dan lebar 0,2-0,6 mikron
10

b. Bersifat tahan asam (tetap mengikat warna pertama atau tidak luntur

ketika ditambahkan asam maupun alkohol) dan berbentuk batang

berwarna merah dalam pemeriksaan mikroskop

c. Memerlukan media khusus untuk berkembangbiak

d. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka

waktu lama pada suhu antara 40C sampai minus 700C

e. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet

serta dalam dahak pada suhu antara 300C–370C akan mati dalam waktu

lebih kurang satu minggu (Kemenkes RI, 2016).

2.1.3 Penularan Tuberkulosis Paru

Sumber utama penularan TB paru adalah pasien penderita TB paru yang

memiliki kuman dalam dahaknya. Pada waktu batuk atau bersin, pasien

menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak. Infeksi akan

terjadi apabila seseorang menghirup udara yang mengandung percikan dahak

yang infeksius. Penderita dapat menghasilkan sekitar 3.000 percikan dahak

yang dapat mengandung kuman dengan jumlah mencapai 3.500

Mycobacterium tuberculosis dalam sekali batuk. Penderita juga dapat

menghasilkan sebanyak 4.500–1.000.000 Mycobacterium tuberculosis dalam

sekali bersin (Kemenkes RI, 2016).


11

2.1.4 Tanda dan Gejala

Keluhan yang dirasakan penderita TB paru dapat beragam atau bahkan

tanpa keluhan sama sekali.

a. Demam

Biasanya subfebris (suhu tubuh 370C-37,80C), menyerupai demam

influenza tetapi kadang-kadang suhunya dapat mencapai 400C–410C.

Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dan berat

ringannya infeksi kuman TB paru yang masuk

b. Batuk

Batuk dapat berlangsung 2–3 minggu atau lebih karena adanya iritasi pada

bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (nonproduktif) kemudian

setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).

Keadaan yang lebih lanjut ialah adanya dahak bercampur darah bahkan

sampai menjadi batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah

c. Sesak Nafas

Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana

infiltrasi kuman mencapai setengah bagian paru-paru

d. Nyeri Dada

Gejala ini jarang ditemukan, nyeri dada timbul bila filtrasi radang sudah

sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis (peradangan yang

terjadi pada pleura) (Depkes RI, 2004).


12

2.1.5 Diagnosis Tuberkulosis Paru

Semua tersangka penderita TB paru menjalani pemeriksaan dahak yang

berlangsung dalam waktu dua hari. Diagnosis pada orang dewasa ditegakkan

dengan ditemukannya kuman TB paru (BTA). Penemuan BTA melalui

pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan diagnosis utama.

Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan

sebagai penunjang diagnosis sesuai dengan indikasinya (Sudoyo, 2009).

2.1.6 Pengobatan Tuberkulosis Paru

a. Tujuan Pengobatan TB Paru

Pengobatan TB paru bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis

(OAT).

b. Prinsip Pengobatan TB Paru

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat

dalam jumlah yang cukup dan dengan dosis yang tepat sesuai dengan

kategori pengobatan

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung yaitu DOTS (Directly Observed Treatmen Short

Course) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO). Strategi DOTS

adalah penemuan dan penyembuhan pasien dengan prioritas


13

penyembuhan diberikan kepada pasien TB paru tipe menular. Strategi

ini akan memutuskan penularan TB paru sehingga dapat menurunkan

insiden TB paru di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan

pasien merupakan cara terbaik dalam pencegahan penularan TB paru.

Strategi DOTS terdiri dari:

a) Komitmen politis

b) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya

c) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB paru

dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan

langsung pengobatan

d) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu

e) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan

penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program

secara keseluruhan (Kemenkes, 2016).

c. Obat Anti Tuberkulosis Paru (OAT)

Obat Anti Tuberkulosis (AOT) terdiri atas lima jenis obat dengan masing-

masing sifat serta efek samping obat tersebut bagi penderita TB paru

seperti yang dijelaskan pada tabel 2.1 berikut.


14

Tabel 2.1 Jenis, Sifat, dan Efek Samping OAT


Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Tidak nafsu makan, mual, sakit perut,
(membunuh gangguan fungsi hati, bercak kemerahan pada
bakteri) kulit dengan atau tanpa rasa gatal, dan kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal Urin berwarna merah, tidak nafsu makan,
(membunuh mual, sakit perut, gangguan fungsi hati, gagal
bakteri) ginjal akut, demam, sesak nafas, dan anemia
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Nyeri sendi, tidak nafsu makan, mual, sakit
(membunuh perut, bercak kemerahan pada kulit dengan
bakteri) atau tanpa rasa gatal
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri di tempat suntikan, gangguan
(membunuh keseimbangan, bercak kemerahan pada kulit
bakteri) dengan atau tanpa rasa gatal, penurunan
produksi urin, dan gangguan pendengaran
Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan dan buta warna
(Menghambat
pertumbuhan
bakteri)

d. Tahap Pengobatan TB Paru

1. Tahap Awal

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini

adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman

yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari

sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum

pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua

pasien baru harus diberikan selama dua bulan. Pada umumnya dengan

pengobatan secara teratur daya penularan sudah sangat menurun

setelah pengobatan selama dua minggu.


15

2. Tahap Lanjutan

Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk

membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya

kuman parsister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah

terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Pengendalian Tuberkulosis di

Indonesia adalah sesuai dengan rekomendasi WHO yang terdiri dari dua

kategori:

1. Kategori 1

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru, yaitu:

a) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis

b) Pasien TB paru terdiagnosis klinis

c) Pasien TB paru ekstra paru.

Tabel 2. 2 Dosis Paduan OAT Kategori 1


Tahap Lama Dosis per hari / kali Jumlah hari/
Pengobatan Pengobatan Tablet Tablet Tablet Tablet menelan obat
(H) (R) (Z) (E)
300 450 500 250
mg mg mg mg
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

2. Kategori 2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah

diobati sebelumnya (pengobatan ulang), yaitu:


16

a) Pasien yang mengalami kekambuhan

b) Pasien yang gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori

c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat.


Tabel 2. 3 Dosis Paduan OAT Kategori 2
Tahap Lama Tablet Tablet Tablet Tablet (E) Strepto Jumlah
Pengobatan Pengobatan (H) (R) (Z) Tablet Tablet misin hari/
300 450 500 250 400 Injeksi menelan
mg mg mg mg mg obat
Tahap Awal 2 Bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(Dosis
Harian)
1 Bulan 1 1 3 3 - - 28
Tahap 5 Bulan 2 1 - 1 2 - 60
Lanjutan
(Dosis 3x
seminggu)

2.1.7 Pencegahan Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru dapat dicegah dengan melakukan upaya sebagai

berikut (Notoatmodjo, 2003):

a. Tindakan pencegahan TB paru oleh orang yang belum terinfeksi

1. Berusaha mengurangi kontak dengan penderita TB paru aktif

2. Selalu menjaga standar hidup yang baik, misalnya dengan

mengkonsumsi makanan yang bergizi, menjaga lingkungan selalu

sehat baik di rumah maupun di tempat kerja, dan menjaga kebugaran

tubuh dengan meluangkan waktu untuk berolahraga


17

3. Pemberian vaksin BCG untuk mencegah terjadinya kasus infeksi TB

paru yang lebih berat. Vaksin BCG diberikan hanya satu kali yakni

pada saat bayi lahir sampai sebelum bayi berusia tiga bulan.

b. Tindakan pencegahan TB paru oleh penderita agar tidak menular

Bagi mereka yang sudah terlanjur menjadi penderita TB paru aktif,

tindakan yang bisa dilakukan adalah menjaga kuman (bakteri) dari diri

sendiri. Hal ini dilakukan selama beberapa minggu pada masa pengobatan

sampai penyakit sudah tidak bersifat menular lagi.

Adapun cara untuk membantu menjaga pencegahan TB paru agar

infeksi bakteri tidak menular kepada orang lain adalah sebagai berikut:

1. Selama masa pengobatan, penderita TB paru sebaiknya tidak tidur

bersama dengan orang lain meskipun keluarga sendiri

2. Selalu menggunakan masker untuk menutup mulut dan membuang

masker yang sudah tidak dipakai lagi pada tempat yang tepat dan

aman

3. Tidak meludah di sembarang tempat

4. Menghindari udara dingin dan selalu mengusahakan agar pancaran

sinar matahari dan udara segar dapat secukupnya masuk ke ruangan

tempat tidur
18

5. Tidak melakukan kebiasaan berbagi penggunaan barang atau alat.

Semua barang yang digunakan penderita TB paru harus terpisah dan

tidak boleh digunakan oleh orang lain

6. Mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak kadar

karbohidrat dan protein tinggi.

2.2 Kesehatan dan Perilaku Kesehatan

2.2.1 Definisi Kesehatan

Menurut undang-undang kesehatan No. 36 tahun 2009, kesehatan adalah

keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi

(Notoatmodjo, 2012). Berdasarkan batasan tersebut, terdapat empat dimensi

kesehatan, yaitu fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi yang saling

mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada seseorang,

kelompok, atau masyarakat. Oleh sebab itu, kesehatan bersifat holistik dan

menyeluruh (Prasetyawati, 2011).

2.2.2 Konsep Perilaku

a. Batasan Perilaku

Skinner dalam Notoatmodjo (2012) mendefinisikan perilaku sebagai

respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

Oleh karena perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap

organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka disebut


19

teori “S-O-R” atau Stimulus Organisme Respons. Skinner membedakan

adanya dua respons, yaitu:

1. Respondent response atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan

oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini

disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons yang relatif

tetap.

2. Operant response atau instrumental response, yakni respons yang

timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau

perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation

atau reinforcer karena memperkuat respons (Notoatmodjo, 2012).

b. Domain Perilaku

Bloom dalam Notoatmodjo (2012) membagi perilaku manusia

kedalam tiga domain sesuai dengan tujuan pendidikan. Bloom

menyebutnya ranah atau kawasan yakni: a) kognitif (cognitive), b) afektif

(affective), c) psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori

Bloom dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan


20

atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

2. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak

dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu

dari perilaku yang tertutup. Newcomb dalam Notoatmodjo (2012)

menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk

bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.

3. Praktik atau Tindakan (Practice)

Sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan,

antara lain adalah fasilitas.

c. Perilaku Kesehatan

Berdasarkan batasan perilaku dari Skinner, maka perilaku kesehatan

adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek

yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan, dan minuman, serta lingkungan. Berdasarkan batasan ini,

perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok.


21

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)

Perilaku ini berkaitan dengan usaha-usaha seseorang untuk

memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk

penyembuhan jika sakit.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan

kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health

seeking behaviour)

Perilaku ini mencakup tindakan seseorang pada saat menderita

penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan ini merupakan upaya

pengobatan sendiri (self-treatment) hingga pencarian pengobatan ke

luar negeri.

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Perilaku ini berkaitan dengan bagaimana seseorang merespons

lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan

sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi

kesehatannya (Notoatmodjo, 2012).

2.3 Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model)

2.3.1 Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model)


22

Becker dalam Purijayanti (2012) menyebutkan bahwa seseorang secara

sukarela memilih terlibat dengan aktivitas yang berkaitan dengan kesehatan

didasarkan pada tiga alasan utama, yakni:

a. Perilaku Kesehatan (health behaviour), yaitu hal-hal yang berkaitan

dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan

meningkatkan kesehatannya, termasuk juga untuk mencegah sakit atau

mendeteksi penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi,

dan sebagainya.

b. Perilaku Sakit (illness behaviour), yakni segala tindakan atau kegiatan

yang dilakukan oleh individu yang merasakan sakit, untuk merasakan dan

mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit, termasuk pengetahuan

mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit, dan pencegahan penyakit.

c. Perilaku Peran Sakit (sick role behaviour), yakni segala tindakan yang

dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh

kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatannya

sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain, terutama pada anak-anak

yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap

kesehatannya (Purijayanti, 2012).

2.3.2 Pengertian Health Belief Model

Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model

sosiopsikologis seperti pengertian kerentanan terhadap penyakit, pengertian


23

keseluruhan dari penyakit, keuntungan yang diharpakan dari pengambilan

tindakan dalam menghadapi penyakit, dan kesiapan tindakan individu

(Notoatmodjo, 2007).

Edberg dalam Purijayanti (2012) mengatakan HBM merupakan model

kepercayaan kesehatan yang merupakan hasil penjabaran dari model

sosiopsikologi. Model kepercayaan kesehatan (HBM) dikenal sebagai model

pengharapan suatu nilai, yang intinya mengacu pada asumsi bahwa orang

akan melibatkan diri dalam perilaku sehat bila mereka menilai hasil (menjadi

sehat) terkait perilakunya dan berpikir bahwa perilaku tersebut sepertinya

dapat memberikan hasil.

Konstruk dari model kepercayaan kesehatan (HBM) menurut Rosenstock

adalah sebagai berikut (Purijayanti, 2012):

a. Perceived Susceptibility (Persepsi kerentanan)

Persepsi individu terhadap kerentanan dirinya terhadap komplikasi

penyakit. Hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang berpikir bahwa ia

akan mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi mereka. Setiap

individu memiliki persepsi yang beragam mengenai kemungkinan dirinya

mengalami suatu kondisi yang dapat memperburuk kesehatan.

b. Perceived Seriousness (Persepsi keparahan)

Persepsi yang dimiliki seseorang sehubungan dengan perasaan

keseriusan penyakit yang dapat mempengaruhi keadaan kesehatannya


24

sekarang. Seseorang mengevaluasi seberapa besar konsekuensi yang

ditimbulkan dari penyakit tersebut, baik konsekuensi medis seperti

kematian, cacat, dan rasa sakit, maupun konsekuensi sosial seperti efeknya

terhadap pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial. Penting

untuk memperhitungkan faktor emosional dan finansial ketika

mempertimbangkan tingkat keseriusan penyakit.

c. Perceived Benefits (Persepsi manfaat)

Adalah penilaian individu tentang efektifitas dari tingkah laku

kesehatan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah kesehatan

yang dialaminya. Penilaian ini dihasilkan melalui perbandingan antara

penilaian akan keuntungan dan penilaian akan kerugian dari tingkah laku

tersebut. Hasil perbandingan ini menentukan arah dari tindakan kesehatan

individu untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tersebut. Aspek

negatif yang dipersepsikan meliputi biaya, bahaya, ketidaknyamanan, dan

waktu yang diluangkan untuk tindakan tersebut.

d. Perceived Barrier (Persepsi hambatan atau halangan)

Keyakinan seseorang terhadap hal-hal negatif dari perilaku sehat atau

rintangan yang dipersepsikan individu yang dapat bertindak sebagai

halangan dalam menjalani perilaku yang direkomendasikan. Aspek-aspek

negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan seperti ketidakpastian,

efek samping maupun penghalang yang dirasakan (khawatir tidak cocok,


25

tidak senang, dan gugup), yang mungkin berperan sebagai halangan untuk

merekomendasikan suatu perilaku.

e. Cues to Action (Isyarat untuk bertindak)

Suatu perilaku dipengaruhi oleh suatu hal yang menjadi isyarat bagi

seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku. Isyarat-isyarat

dapat berupa faktor-faktor internal seperti misalnya motivasi dari dalam

diri maupun faktor-faktor eksternal, misalnya pesan-pesan pada media

masa, nasihat atau anjuran teman atau anggota keluarga lain, lingkungan

tempat tinggal, keadaan ekonomi, sosial, dan budaya.

f. Self-efficacy (Kemampuan diri)

Yaitu keyakinan seseorang bahwa drinya mempunyai kemampuan

untuk melakukan atau menampilkan suatu perilaku tertentu. Persepsi

terhadap kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat melakukan

suatu perilaku tertentu (Fanani, 2014).

2.4 Kerangka Konsep Penelitian

2.4.1 Kerangka Berpikir

Model Kepercayaan Kesehatan (HBM) merupakan salah satu pendekatan

psikososial yang paling banyak digunakan untuk menerangkan perilaku yang

berhubungan dengan kesehatan (Maratush dalam Purijayanti 2012). Model ini

membahas proses kognitif yang menjelaskan dan juga memprediksi motivasi


26

individu serta menganggap perilaku kesehatan dipengaruhi oleh proses

berpikir individu, persepsi terhadap realita, dan lingkungan sosial (Bandura

dalam Purijayanti 2012).

Kepatuhan minum dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan

HBM yang terdiri dari persepsi kerentanan (perceived susceptibility), persepsi

keparahan (perceived seriousness), persepsi manfaat (perceived benefits),

persepsi hambatan (perceived barrier), isyarat untuk bertindak (cues to

action), dan persepsi kemampuan diri (self-efficacy).

2.4.2 Bagan Pola Pikir

Bagan pola pikir disajikan pada gambar 2.1.

1. Persepsi Kerentanan

2. Persepsi Keparahan

3. Persepsi Manfaat Kepatuhan


Minum Obat
4. Persepsi Hambatan

5. Isyarat untuk Bertindak

6. Persepsi Kemampuan
Diri

Gambar 2.1.Bagan Pola Pikir Menurut Model Kepercayaan kesehatan (Fanani,


2014)

2.4.3 Definisi Konsep


27

Terdapat enam aspek dalam teori HBM yang digunakan untuk mengkaji

kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis paru.

a. Persepsi kerentanan (perceived susceptibility)

Persepsi pasien TB paru tentang kerentanan dirinya untuk tidak sembuh

atau menjadi resisten terhadap obat anti tuberkulosis apabila tidak patuh

dalam minum obat

b. Persepsi keparahan (perceived seriousness)

Persepsi yang dimiliki pasien TB paru sehubungan dengan perasaan akan

keseriusan penyakit yang dapat mempengaruhi keadaan kesehatannya

sekarang, atau pasien mengevaluasi seberapa besar konsekuensi yang

ditimbulkan dari penyakit tersebut seperti kematian, cacat, rasa sakit,

maupun konsekuensi sosial apabila tidak berperilaku minum obat secara

teratur

c. Persepsi manfaat yang dirasakan (perceived benefits)

Persepsi pasien TB paru yang berkaitan dengan manfaat atau keuntungan

yang diperoleh apabila berperilaku minum obat secara teratur

d. Persepsi hambatan yang dirasakan (perceived barrier)

Persepsi pasien TB paru terhadap rintangan atau halangan dalam

menjalankan perilaku kepatuhan dalam minum obat


28

e. Isyarat untuk bertindak (cues to action)

Perilaku patuh minum obat pada pasien TB paru yang dipengaruhi oleh

adanya tanda atau sinyal tentang ancaman atau keseriusan dampak dari

penyakit. Tanda atau isyarat untuk bertindak dapat berasal dari media

massa, media elektronik, nasehat orang lain, kejadian pada kenalan atau

keluarga, maupun persepsi dari dalam diri sendiri yang dipengaruhi

terhadap kondisi kesehatan yang dirasakannya

f. Persepsi kemampuan atau keyakinan diri (self-efficacy)

Persepsi pasien TB paru tentang kemampuan atau keyakinan dirinya untuk

dapat minum obat secara teratur agar dapat memperoleh kesembuhan

(Fanani, 2014).

Anda mungkin juga menyukai