Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS TB PARU

OLEH :
Lita purnama sari
(14420212097)

PRESEPTOR INSTITUSI PRESEPTOR KLINIK

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
BAB I
KONSEP MEDIS TB PARU
A. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies
Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.
Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang
bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa
mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC (KEMENKES,
2018)
B. Etiologi Dan Faktor Resiko
Adapun penyebab dari Tuberkulosis paru menurut WHO yaitu
Mycobacterium tuberculosis (WHO, 2020).
Selain Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab utama terjadinya
Tb paru, terdapat faktor resiko yang dapat berpotensi menyebabkan
terjadinya Tb paru antara lain :
1. Diabetes
Diabetes melipatgandakan risiko seseorang terkena TB. Orang dengan
sistem kekebalan yang lemah, akibat penyakit kronis seperti diabetes,
berisiko lebih tinggi berkembangnya tuberkulosis dari tuberculosis laten
menjadi aktif. Sekitar 15% kasus TB secara global mungkin terkait
dengan diabetes TB dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa
sementara yang merupakan faktor risiko pengembangan diabetes.
kemungkinan seseorang dengan TB akan meninggal atau kambuh
secara signifikan lebih tinggi jika orang tersebut juga menderita
diabetes dan sebagian besar penderita diabetes serta TB tidak
terdiagnosis, atau terlambat didiagnosis. (WHO, 2016)
Terjadi penurunan imunitas seluler karena berkurangnya jumlah
limfosit T serta fungsi dan jumlah neutrofil yang rendah. Penderita
diabetes menunjukkan penurunan tingkat respons sitokin T-helper 1
(TH 1), faktor nekrosis tumor (TNF-alfa dan TNF-beta), produksi
interleukin-1, dan interleukin-6 dibandingkan dengan rekan nondiabetes
mereka. Kerentanan penderita diabetes terhadap TB terutama
disebabkan oleh berkurangnya jumlah dan fungsi limfosit-T. terutama
penghambatan sitokin TH1 dari Mycobacterium tuberculosis. Ada
disfungsi makrofag pada diabetes yang mengakibatkan gangguan
produksi spesies oksigen reaktif dan fungsi fagositik dan kemotaktik.
Hiperglikemia dianggap juga mengganggu kekuatan ledakan
pernapasan dalam mengeluarkan pathogen (Yorke et al., 2017)
2. Merokok
Merokok dapat memengaruhi banyak sistem organ, tetapi paru-paru
adalah organ yang paling rusak atau dipengaruhi oleh asap rokok.
Merokok merusak paru-paru dan memengaruhi sistem kekebalan tubuh,
membuat perokok lebih rentan terhadap infeksi TB. Terjadinya TB
telah terbukti terkait dengan tanggapan kekebalan yang berubah dan
berbagai cacat pada sel kekebalan seperti makrofag, monosit, dan
limfosit CD4. Peran asap rokok dalam patogenesis tuberkulosis
berhubungan dengan siliaris disfungsi, respon imun berkurang, dan
cacat pada respons imun makrofag, dengan atau tanpa penurunan
jumlah CD4, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
Mycobacterium tuberculosis (Silva et al., 2018)
3. Alcohol
Konsumsi alkohol merusak sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi tuberkulosis, serta mengaktifkan kembali
tuberkulosis laten. Kemampuan makrofag alveolar untuk merespon
patogen baru dikompromikan oleh konsumsi alcohol. Hasil dari
perubahan ini menjadikan kemampuan sistem kekebalan untuk
merespons mikobakteri baru dan yang tidak aktif sangat berkurang.
(Imtiaz et al., 2017)
4. HIV
Orang dengan HIV 15-21 kali lebih mungkin mengembangkan penyakit
TB aktif daripada orang tanpa HIV. HIV dan TB membentuk kombinasi
yang mematikan, masing-masing mempercepat kemajuan yang lain.
Pada 2019, sekitar 208.000 orang meninggal karena TB terkait HIV
(WHO, 2020).
C. Manifestasi klinis
Tuberculosis biasanya berkembang secara perlahan, dan mungkin perlu
beberapa minggu sebelum seorang menyadari bahwa ia tidak sehat.
Terkadang infeksi yang terjadi tidak menimbulkan gejala apapun, ini
dikenal sebagai TB-laten. Disebut TB-aktif jika infeksi TB sudah
menimbulkan gejala. Namun, dalam beberapa kasus, gejala mungkin tidak
berkembang sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah
infeksi awal (NHS UK, 2019)
Adapun tanda dan gejala yang umumnya muncul pada penderita TB
paru yaitu :
1. kurang nafsu makan dan penurunan berat badan
2. suhu tubuh yang tinggi
3. keringat malam
4. kelelahan ekstrim atau kelelahan
5. batuk terus-menerus yang berlangsung lebih dari 3 minggu dan
biasanya mengeluarkan dahak, yang mungkin berdarah
6. sesak napas yang berangsur-angsur memburuk

D. Patofisiologi
Basil tuberkel menyebar dari orang ke orang hampir secara eksklusif
oleh partikel aerosol. Partikel aerosol Mtb kecil diperkirakan akan melewati
daerah nasofaring atau trakeobronkial untuk disimpan di saluran udara
distal, partikel yang lebih besar dapat terperangkap di saluran napas atas
atau orofaring di mana mereka berpotensi menyebabkan Tuberkulosis (TB)
orofaring atau kelenjar getah bening leher (Bussi & Gutierrez, 2019)
Begitu berada di saluran pernapasan bagian bawah, Mtb terutama
difagositosis oleh makrofag dan sel dendritik. Selain makrofag dan sel
dendritik, penelitian yang menganalisis dahak pasien TB mengidentifikasi
neutrofil sebagai sel fagositik dominan yang terinfeksi Mtb. Basil yang
berhasil melewati saluran udara bagian atas akan dikirim ke alveoli. Alveoli
terdiri dari sel epitel tipe I dan II dengan sejumlah sel imun lain seperti
makrofag alveolar, sel dendritik dan neutrofil. Infeksi sel epitel alveolus
tipe II oleh Mtb telah dipelajari secara ekstensif secara in vitro dan DNA
dari Mtb telah terdeteksi di dalam sel-sel ini dalam studi post-mortem. Di
antara sel-sel epitel khusus saluran napas bagian atas, Mtb menyerang sel-
sel yang dikenal sebagai sel mikrolipat (sel M) di paru-paru tikus untuk
memulai infeksi. Sel yang terinfeksi akan memicu respon inflamasi lokal
yang akan menarik sel imun ke tempat infeksi. Agregat seluler ini, yang
mengandung banyak jenis sel, membentuk granuloma, tanda patologis TB.
Struktur granulomatosa ini mewakili lingkungan yang kompleks untuk
Mtb, sangat berbeda dari yang terkait dengan jaringan sehat. Meskipun
mekanismenya tidak sepenuhnya jelas, lingkungan lesi tunggal ini
kemungkinan sangat permisif untuk pertumbuhan bakteri serta
mengganggu penyebaran.
E. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lajutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari
obat obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama uang digunakan
sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, isoniazid,
Pirasinamid, Streptomisin dan etambutol (WHO, 2021).
1. Tahap awal (intensif)
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum
pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua
pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan
sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama
(Dinas Kesehatan, 2017) .
a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat.
b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu.
c) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan (Dinas
Kesehatan, 2017)
a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan

Jenis Sifat Efek samping


Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer
(Gangguan saraf tepi),
psikosis toksik,
gangguan fungsi hati,
kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome(gejala
influenza berat),
gangguan
gastrointestinal, urine
berwarna merah,
gangguan fungsi hati,
trombositopeni,
demam, skin rash,
sesak nafas, anemia
hemolitik
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan
gastrointestinal,
gangguan fungsi hati,
gout arthritis
Streptomisin Bakterisidal Nyeri ditempat
(S) suntikan,
gangguan
keseimbangan
dan pendengaran,
renjatan
anafilaktik, anemia,
agranulositosis,
trombositopeni.
Etambutol (E) bakteriostatik Gangguan penglihatan,
buta warna, neuritis
perifer (Gangguan
saraf tepi).

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (Dinas Kesehatan, 2017)


adalah:
1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
3. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
4. Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini
ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin,
Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini 1,
yaitu pirazinamid and etambutol.
F. Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan Diagnostik untuk Tb Paru sebagai berikut (Wijaya & Putri,
2013):
1. Tes montoux
Tes montoux adalah Tes kulit tuberkulin Mantoux yang dilakukan
dengan menyuntikkan sejumlah kecil cairan yang disebut tuberkulin ke
dalam kulit di bagian bawah lengan. Tes dibaca dalam waktu 48 sampai
72 jam oleh petugas kesehatan terlatih, yang mencari reaksi (indurasi)
pada lengan. Hasilnya tergantung pada ukuran area yang terangkat, keras
atau bengkak (CDC, 2021)
2. Sputum
Adanya basil tahan asam (BTA) pada apusan dahak atau spesimen lain
sering mengindikasikan penyakit TB (Schumacher et al., 2019)
3. Foto Thorax :
adalah salah satu pemeriksaan yang disarankan untuk mendiagnosis
tuberkulosis. Foto thorax dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada
area paru, simpanan kalsium lesi primer, efusi cairan, akumulasi udara,
area cavitas, area fibrosa, dan penyimpanan struktur mediastinal
(Shimao, 2017)
4. CT scan
Computed tomography (CT) scan memungkinkan untuk memeriksa
parenkim paru dan kelenjar getah bening secara lebih rinci daripada yang
dapat dilakukan dengan rontgen dada biasa saja. CT scan dada untuk
pasien dengan tuberkulosis primer biasanya menunjukkan konsolidasi
lobar yang berhubungan dengan mediastinum atau hilaradenopati.
Konsolidasi biasanya didefinisikan dengan baik, padat, homogen, dan
terbatas pada segmen atau lobus. Keterlibatan lobus tengah dan bawah
sangat umum. Rongga kecil mungkin terlihat pada CT yang tidak terlihat
pada foto polos thorax (Shimao, 2017)
5. Darah :
a. LED : Indikator stabilitas biologik penderita, respon terhadap
pengobatan dan prediksi tingkat penyembuhan.
b. Limfosit : menggambatkan status imunitas penderita
c. Elektrolit : Hiponatremia dapat terjadi akibat retensi cairan pada TB
paru kronis luas.
d. Analisa gas darah :hasil bervariasi tergantung lokasi dan beratnya
kerusakan paru
G. penyimpangan KDM

Microbacterium Droplet Masuk lewat jalan nafas


tuberkulosa infection

Menempel pada paru

Keluar dari
Dibersihkan oleh makrofag Menetap di jaringan paru
tracheobionchial bersama
sekret
Terjadi proses

Sembuh tanpa
pengobatan
Pengeluaran zat pirogen Tumbuh dan berkembang
di sitoplasma makrofag

Mempengaruhi
hipothalamus Sarang primer/ afek primer
(focus ghon)

Mempengaruhi sel point

hipertermia

Komplek primer Limfangitis lokal Limfadnitis regional

Menyebar ke organ lain (paru Sembuh sendiri tanpa Sembuh dengan bekas
lain, saluran pencernaan, pengobatan fibrosis
tulang) melalui media
(bronchogen percontinuitum,
hematogen, limfogen)
Radang tahunan di bronkus Pertahanan primer tidak adekuat

Pembentukan
tuberkel

Bagian tengah nekrosis


Pembentukan sputum berlebihan

Membentuk jaringan keju


Ketidak efektifan bersihan
jalan napas
Secret keluar saat batuk

Batuk berat
Batuk produktif (batuk
terus menurs)
Distensi abdomen

Droplet infection Mual, muntah

Terhirup orang sehat Intake nutrisi kurang

Resiko infeksi Ketidakseimbangan


nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Berkembang menghancurkan Kerusakan membrane
jaringan ikat sekitar alveolar

Menurunnya
permukaan efek

alveolus

Alveolus mengalami
kons konsolidasi &
eksudasi

Gangguan
pertukaran gas
H. KAJIAN ISLAM
Bacaan Al-Quran mampu menurunkan rasa nyeri, mungkin tak
semua orang tahu. Ketika membaca, menyuarakan dan mendegarkan ayat
al-Qur`an, ada 3 jenis saraf dalam tubuh yang diaktifkan. Dalam QS.

Yunus 57 disebutkan;

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari


Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN PRIMER
1. Airway : Periksa airway (look, listen, feel)
2. Breathing : nilai frekuensi pernafasan, kemudian berikan oksigen bila ada
masalah pada pernapasan.
3. Circulation : kontrol perdarahan dan perbaikan
4. Disability : nilai GCS, rekasi pupil, kekuatan otot
5. Exposure : membuka pakaian pasien untuk melihat adanya cedera lain
dan cegah hipotermia dengan memakaikan selimut

B. PENGKAJIAN SEKUNDER
1. Mengkaji identitas klien
2. Keluhan utama
3. Riwayat kesehatan sekarang
4. Riwayat kesehatan masa lalu
5. Riwayat kesehatan keluarga
6. Riwayat psikososial dan spiritual
7. Pemeriksaan fisik meliputi : Keadaan umum, ttv, pemeriksaan head to toe,
pola kebiasaan sehari-hari
8. Pemeriksaan diagnostik
9. Penatalaksanaan medis/terapi (Setiadi, 2018)

A. Diagnosa Keperawatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)


1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya hipersekresi
dijalan napas (sputum)
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi
4. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
5. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi

B. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Criteria Intervensi (Tim Pokja SIKI

Hasil DPP PPNI, 2018)

1 Bersihan jalan Setelah diberi tindakan Observasi

napas tidak keperawatan selama 1. Identifikasi kemampuan batuk

efektif 3x24 jam diharapkan 2. Monitor adanya sputu

tidak ada obstruksi jalan 3. Monitor adanya tanda dan

napas gejala infeksi saluran napas

Kriteria hasil : Terapeutikk

1. Produksi sputum 1. Atur posisi semi fowler atau

menurun fowler

2. Tidak ada dispnea 2. Pasang perlak dan bengkok di

3. Mampu batuk efektif pangkuan klien

3. Buang sekret pada pot sputum

Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur

batuk efektif

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian

mukolitik, bila perlu

2 Pola napas Setelah diberi tindakan Observasi


tidak efektif keperawatan selama 1. Monitor pola napas
3x24 jam diharapkan 2. Monitor bunyi napas
pola napas membaik tambahan
dengan kriteria hasil : 3. Monitor sputum
1. Dispnea Terapeutik
menurun 1. Pertahankan kepatenan jalan
2. Penggunaan otot napas
bantu napas 2. Posisikan semifowler atau
menurun fowler
3. Pemanjangan 3. Berikan minum hangat
fase ekspirasi 4. Lakukan fisioterapi dada, jika
menurun perlu
4. Frekuensi napas 5. Lakukan pengisapan lendir
membaik <15 detik
5. Kedalaman Edukasi
napas membaik 1. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
3 Gangguan Setelah diberi tindakan Observasi
keperawatan selama 1. Monitor frekuensi, irama,
pertukaran gas
3x24 jam diharapkan kedalaman dan upaya napas
oksigenasi pada 2. Monitor pola napas
membran alveolus 3. Monitor kemampuan batuk
kapiler dalam batas efektif
normal 4. Monitor adanya produksi
Kriteria hasil : sputum
1. Tingkat kesadaran 5. Monitor adanya subatan jalan
baik napas
2. Tidak ada dipsnea Terapeutik
3. Tidak ada takikardi 1. Atur interval pemantauan
4. Tidak ada sianosis respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasi hasil
pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
4 Defisit nutrisi Tujuan: Obeservasi
Setelah dilakukan 1. Identifikasi status nutrisi
intervensi keperawatan 2. Identifikasi alergi dan
selama 3x24 jam intoleransi aktifitas
diharapkan kebutuhan 3. Identifikasi makanan yang
nutrisi terpenuhi. disukai
Kriteria hasil: 4. Identifikasi kebutuhan kalori
1.Adanya peningkatan dan jenis nutrient
berat badan sesuai 5. Identifikasi perlunya
dengan tujuan. penggunaan selang
2.Berat badan ideal nesogastrik
sesuai dengan tinggi 6. Monitor aspan nutrisi
badan. 7. Monitor berat badan
3.Mampu 8. Monitor hasil pemeriksaan
mengidentifikasi laboratorium
kebutuhan nutrisi.
Terapeutik
4.Tidak ada tanda-tanda
1. Lakukan oral hygine sebelum
malnutrisi
makan
5.Tidak ada penurunan
2. Fasilitasi menentukan
berat badan yang
pedoaman diet
berarti.
3. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang sesuai
4. Berikan makanan tinggi serat
untuk mencegah konstipasi
5. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
6. Berikan sumplemen makanan

Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrient yang
dibutuhkan

5 Defisit Setelah diberi tindakan Observasi

pengetahuan keperawatan selama 1. Identifikasi kesiapan dan

3x24 jam diharapkan kemampuan menerima informasi

tidak ada defisit 2. identifikasi faktor-faktor yang

pengetahuan dapat meningkatkan dan

Kriteria hasil : menurunkan motivasi

1. Perilaku sesuai Terapeutik

anjuran 1. Sediakan materi dan media

2. Mampu menjelaskan pendidikan kesehatan

pengetahuan tentang 2. Jadwalkan pendidikan

suatu topik kesehatan sesuai kesepakatan

3. Perilaku sesuai 3. Berikan kesempata untuk


dengan pengetahuan bertanya

Edukasi

1. Jelaskan faktor risiko yang

dapat mempengaruhi kesehatan


DAFTAR PUSTAKA

1. Bussi, C., & Gutierrez, M. G. (2019). Mycobacterium tuberculosis


infection of host cells in space and time. In Oxford University Press (Vol.
43, Issue 4, pp. 341–361). https://doi.org/10.1093/femsre/fuz006
2. CDC. (2021). Testing For TB Infection. Centers for Disease Control and
Prevention. https://www.cdc.gov/tb/topic/testing/tbtesttypes.htm
3. Dinas Kesehatan. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67
Tentang 2016 Penaggulangan Tuberkulosis. In Dinas Kesehatan Kota
Surabaya.
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._67_ttg_Pena
nggulangan_Tuberkolosis_.pdf
4. Imtiaz, S., Shield, K. D., Roerecke, M., Samokhvalov, A. V, Lönnroth, K.,
& Rehm, J. (2017). Alcohol consumption as a risk factor for tuberculosis :
meta-analyses and burden of disease. ERSpublications.
https://doi.org/10.1183/13993003.00216-2017
5. KEMENKES. (2018). Tuberkulosis. PUSDATIN KEMENKES.
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/
infodatin-tuberkulosis-2018.pdf
6. NHS UK. (2019). Tuberculosis Symptoms. National Health Service UK.
https://www.nhs.uk/conditions/tuberculosis-tb/symptoms/
7. Schumacher, S. G., Wells, W. A., Nicol, M. P., Steingart, K. R., Theron,
G., Dorman, S. E., Pai, M., Churchyard, G., Scott, L., Stevens, W.,
Nabeta, P., Alland, D., Weyer, K., Denkinger, C. M., & Gilpin, C. (2019).
Guidance for Studies Evaluating the Accuracy of Sputum-Based Tests to
Diagnose Tuberculosis. Journal of Infectious Diseases, 220(Suppl 3),
S99–S107. https://doi.org/10.1093/infdis/jiz258
8. Shimao, T. (2017). Pulmonary tuberculosis. Nihon Kokyūki Gakkai Zasshi
= the Journal of the Japanese Respiratory Society, Suppl, 97–101.
https://journals.asm.org/doi/epdf/10.1128/microbiolspec.TNMI7-0032-
2016
9. Silva, D. R., Muñoz-torrico, M., Duarte, R., Galvão, T., Bonini, E. H., &
Arbex, F. F. (2018). Risk factors for tuberculosis : diabetes , smoking ,
alcohol use , and the use of other drugs. 44(2), 145–152.
10. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. In Jakarta (1st ed.). Dewan
Pengurus Pusat PPNI.
11. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan. In Jakarta (1st ed.).
Dewan Pengurus Pusat PPNI.
12. WHO. (2016). Tuberculosis & Diabetes. World Health Organization.
https://www.who.int/tb/publications/diabetes_tb.pdf
13. WHO. (2020). Tuberculosis Fact Sheets. World Health Organization.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/tuberculosis
14. WHO. (2021). Guideline Development Group meeting on WHO
consolidated guidelines on the treatment of drug-susceptible tuberculosis ,
2021. World Health Organization. https://cdn.who.int/media/docs/default-
source/hq-tuberculosis/public-notice_list-of-bios_ds-tb-gdg_april-
2021.pdf?sfvrsn=f45ea64a_5
15. Yorke, E., Atiase, Y., Akpalu, J., Sarfo-kantanka, O., Boima, V., & Dey, I.
D. (2017). The Bidirectional Relationship between Tuberculosis and
Diabetes. 2017. https://doi.org/10.1155/2017/1702578

Anda mungkin juga menyukai