Anda di halaman 1dari 28

1.

Asfiksia

a. Pengertian

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan

teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai

dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia

(Pa Co2 meningkat) dan asidosis (Sembiring 2017, h. 173).

b. Klasifikasi

1) Asfiksia ringan APGAR skor (7 – 9)

2) Asfiksia sedang APGAR skor (4 – 6)

3) Asfiksia berat APGAR skor (0 – 3)

(Hidayat 2014, h. 167)

c. Penyebab

Tando (2016, h. 142) mengatakan penyebab asfiksia sebagai berikut.

1) Faktor ibu: hipoksia ibu, usia grande multipara, sosial ekonomi,

dan penyakit ibu (hipertensi, hipotensi, dll)

2) Faktor janin: premature, Intra Uterine Growth Restiction (IUGR),

gemeli, tali pusat menumbung, kelainan konginetal, dll

3) Faktor plasenta: solusio plasenta, plasenta previa, perdarahan

plasenta, dll.

4) Faktor persalinan: Partus lama, partus macet, partus dengan

tindakan, dll.
d. Etiologi

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit – menit pertama

kelahiran, kemudian disusul dengan pernapasan teratur. Jika dalam

proses tersebut terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan

oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia janin atau neonatus.

Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan, atau

segera setelah lahir (Saputra 2014, h. 167).

e. Patofisiologi

Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin, dan plasenta.

Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan

fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada

kejadian askfiksia (Sembiring 2017, h. 173).

f. Penatalaksanaan

1) Asfiksia ringan

Cara mengatasinya adalah sebagai berikut

a) Bayi di bungkus dengan kain hangat

b) Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung

kemudian mulut

c) Bersihkan badan dan tali pusat

d) Lakukan observasi tanda vital, pantau APGAR skor, dan

masukkan ke dalam inkubator

2) Asfiksia sedang APGAR skor (4 – 6)

Cara mengatasinya adalah sebagai berikut


a) Bersihkan jalan napas

b) Berikan oksigen 2 liter per menit

c) Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki. Apabila

belum ada reaksi, bantu pernapasan dengan masker

d) Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi mash sianosis, berikan

natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc. Dekstrosa 40%

sebanyak 4 cc disuntikan melalui vena umbilikus secara

perlahan – lahan untuk mencegah tekanan intrakarnial

meningkat

3) Asfiksia berat APGAR skor (0 – 3)

Cara mengatasinya adalah sebagai berikut

a) Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui ambubag

b) Berikan oksigen 4 – 5 liter per menit

c) Bila tidak berhasil, lakukan pemasangan ETT (endotracheal

tube)

d) Bersihkan jalan napas melalui ETT

e) Apabila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis

berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc. Selanjutnya

berikan dekstrosa 40% sebanyak 4 cc

(Hidayat 2008, h. 128)


2. Partus Prematurus

a. Pengertian

Persalinan preterm atau partus prematur adalah persalinan yang terjadi

pada kehamilan kurang dari 37 minggu (antara 20 – 37 minggu) atau

berat janin kurang dari 2500 gram (Nugroho 2012, h. 190).

b. Etiologi

Mengenai penyebabnya belum banyak yang diketahui

1) Eastman : kausa premature 61,9% kausa ignota (sebab yang tidak

diketahui.

2) Greenhill : kausa premature 60% kausa ignota (sebab yang tidak

diketahui.

3) Holmer : sebagian besar tidak diketahui.

(Nugroho 2012, h. 191).

c. Tanda dan gejala persalinan preterm

1) Kram seperti nyeri haid (mungkin sulit dibedakan dengan nyeri

pada ligamentum teres uteri).

2) Nyeri pinggang.

3) Nyeri atau tekanan supra pubis (mungkin sulit dibedakan dengan

gejala infeksi saluran kemih).

4) Sensasi tekanan atau terasa berat pada panggul.

5) Diare.

6) Ketuban pecah dini.


7) Kontraksi uterus tidak terpalpasi (sangat nyeri atau tidak nyeri)

yang dirasakan lebih sering dari 10 menit sekali selama 1 jam atau

lebih dan tidak kunjung reda setelah berbaring.

(Kriebs dan Gegor 2010, h. 386)

d. Faktor – faktor yang mempengaruhi persalinan preterm

1) Faktor – faktor yang dapat mempergaruhi terjadinya persalinan

preterm dapat diklasifikasikan secara rinci sebagai berikut;

a) Kondisi umum.

b) Keadaan sosial ekonomi rendah.

c) Kurang gizi.

d) Anemia.

e) Perokok berat, dengan lebih dari 10 batang/hari.

f) Umur hamil terlalu muda kurang dari atau terlalu tua diatas 35

tahun.

g) Penyakit ibu yang menyertai kehamilan.

h) Penyulit kebidanan.

2) Perkembangan dan keadaan hamil dapat meningkatkan terjadinya

persalinan preterm diantaranya;

a) Kehamilan dengan hidramnion, kehamilan ganda dan pre-

eklamsia.

b) Kehamilan dengan perdarahan ante partum pada solusia

plasenta, plasenta previa.


c) Kehamilan dengan ketuban pecah dini : terjadi gawat janin,

temperatur tinggi.

d) Kelainan anatoni rahim.

e) Keadaan rahim yang sering menimbulkan kontraksi dini :

serviks inkompeten karena kondisi serviks, amputasi serviks.

f) Kelainan konginetal rahim.

g) Infeksi pada vagina aseden (naik) menjadi amnionitis.

(Norma dan Dwi 2013, h. 207)

e. Faktor resiko prematuritas

Sujiyatini, Mufdlilah & Asri hidayat (2009, hh.42 – 43) mengatakan

faktor resiko prematuritas sebagai berikut.

1) Mayor

a) Kehamilan multipel.

b) Hidramnion.

c) Anomali ueterus.

d) Serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu.

e) Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan

32 minggu.

f) Riwayat abortus pada trimester 2 lebi dari 1 kali.

g) Riwayat persalinan preterm sebelumya.

h) Operasi abdominal pada kehamilan preterm.

i) Riwayat operasi konisasi.

2) Minor
a) Penyakit yang disertai demam.

b) Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu.

c) Riwayat pielonefritis.

d) Merokok lebih daro 10 batang/hari.

e) Riwayat abortus pada trimester 2.

f) Riwayat abortus pada trimester 1 lebih dari 2 kali.

f. Kreteria diagnosis

1) Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu lengkap atau antara 140

dan 259 hari.

2) Kontraksi uterus (his) teratur, pastkan dengan pemeriksaan

inspekulo adanya pembukaan dan servisitis.

3) Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar

50-80 %, atau sedikitnya 2 cm.

4) Selaput ketuban sering kali pecah.

5) Merasakan gejala seperti rasa kaku diperut menyerupai kaku

mentruasi, rasa tekanan intra pelvik dan nyeri bagian belakang.

6) Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah

(Sujiyatini, Mufdlilah & Asri hidayat 2009, h.43).

g. Diagnosis banding

1) Kontraksi pada kehamillan preterm.

2) Persalinan pada pertumbuhan janin terhambat (Nugroho 2012, h.

194).
h. Komplikasi

Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering

terjadi mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka

episiotomi. Bayi – bayi preterm memiliki resiko infeksi neonatal lebih

tinggi, resiko distress pernafasan, sepsis neonatal, necrotizing

entercolitis dan perdarahan intraventrikuler (Norma dan Dwi 2013, h.

212).

i. Penanganan persalinan preterm

1) Penanganan umum

a) Lakukan evaluasi cepat keadaan ibu.

b) Upayakan melakukan konfirmasi umur kehamilan ibu.

2) Prinsip penanganan

a) Coba hentokan kontraksi uterus atau penundaan kehamilan atau

b) Persalinan berjalan terus dan siapkan penanganan selanjutnya

(Norma dan Dwi 2013, h. 212).

3. Ikterus

1) Pengertian

Ikterus adalah warna kuning dikulit, konjungtiva dan mukosa yang

terjadi karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah.Ikterus mulai

tampak jika kadar bilirubin dalam serum ≥ 5 mg/dl dan dimulai pada

daerah wajah. Ikterus perlu segera ditangani dengan tindakan yang

saksama karena jika bilirubin masuk ke dalam sel syaraf dan merusak,
otak menjadi terganggu dan mengakibatkan kecacatan bayi sepanjang

hidupnya atau kematian (Tando 2016, H. 144)

2) Klasifikasi

a) Ikterus Fisiologis

Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga serta tidak

mempunyai dasar patologis dan tidak ada kemungkinan menjadi

kinekterus. Ikterus akan menghilang dengan sendirinya pada

minggu pertama kelahiran bayi atau pada hari ke- 10

Bayi dapat diklasifikasikan pada ikterus fisiologis jika

(1) Ikterus timbul pada hari ke dua dan ke tiga

(2) Kadar bilirubin indirek tidak melibihi dari 10 mg% pada bayi

cukup bulan dan 12,5 mg% pada bayi kurang bulan

(3) Peningkatan kecepatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg%

per hari

(4) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 1 mg%

(5) Tidak berhubungan pada keadaan patologis

b) Ikterus Patologis

Bayi dapat diklasifikasikan ikterus patologis jika;

(1) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran

(2) Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada bayi cukup bulan atau

12,5 pada bayi kurang bulan

(3) Peningkatan kadar bilirubin lebih dari 5 mg% perhari. Ikterus

menetap setelah dua minggu pertama


(4) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%

(5) Berkaitan dengan proses hemolitik

(Sembiring 2017, hh. 183 – 184)

3) Etiologi

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam – macam

keadaan. Penyebab yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis

yang timbul akibat inkompabilitas golongan darah ABO atau defisiensi

enzim G6PD. Hemolisis ini juga dapat timbul akibat perdarahan

tertutup (Hematom cefal, perdarahan subaponeurotik) atau

inkompabilitas darah Rh, infeksi juga memegang peranan penting

dalam terjadinya hiperbulirubinemia; keadaan ini terutama terjadi pada

penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain adalah

hipoksia/anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia dan polisite

(Rukiyah dan Yulianti 2013, h. 269)

4) Patofisiologi

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus

dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari

degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi berasal dari hem bebas

atau dari proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin

tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta

beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan

menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam

air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang
sulit dieksresi dan mudah melalui membrane biologic seperti plasenta

dan sawar darah otak. Sebagian besar neonatus mengalami

peningkatan kadar bilirubin indirek pada hari – hari pertama. Hal ini

terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus.

Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus,

masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80 – 90 hari), dan belum

matangnya fungsi hepar (Rukiyah dan Yulianti 2013, hh. 269 – 270)

5) Diagnosis

Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu

dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubenemia pada bayi. Termasuk

anamnesis mengenai inkompabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau

terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu, faktor resiko

kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini

ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor resiko itu antara lain

adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu

selama kehamilan/persalinan, kehamilan dengan diabetes militus,

gawat janin, malnutrisi intra uterine, infeksi intranatal, dan lain – lain.

Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau

beberapa hari setelah lahir. Pada bayi dengan peninggian bilirubin

indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga,

sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna

kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan


ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri (Rukiyah dan Yulianti

2013, h. 271)

6) Penyebab dan Gejala

a) Penyebab

(1) Produksi bilirubin yang berlebihan

(2) Gangguan transportasi dalam metabolisme

(3) Gangguan dalam ekskresi

(4) Gangguan dalam proses uptake dan konjungsi hepar

(5) Hemolisis karena ketidaksesuaian antara darah ibu dan janin

(6) Sepsis

b) Gejala

(1) Perut buncit

(2) Organ hati makin membesar

(3) Gangguan neurogolis, seperti kejang, opistotonus, tidak mau

minum, letargi, reflek moro lemah bahkan tidak ada sama

sekali

(4) Feses bayi berwarna seperti dempul

(5) Warna kulit tubuh bayi tampak kuning

(Tando 2016, hh. 144 – 145)

7) Komplikasi

Kernikterus adalah suatu kerusakan otak akibat adanya bilirubin

indirek pada otak. Kernikterus ditandai dengan kadar bilirubin darah

yang tinggi.(> 20 mg % pada bayi cukup bulan atau > 18 mg % pada


bayi berat lahir rendah) disertai dengan kerusakan otak berupa mata

berputar, letargi, kejang, tidak mau menghisap, tonus otot meningkat,

leher kaku, epistotonus, dan sianosis (Saputra 2014, h. 181)

8) Penatalaksanaan

a) Ikterus Fisiologis

Penatalaksanaan ikterus fisiologis yaitu;

(1) Lakukan perawatan seperti bayi baru lahir normal

(2) Beri ASI yang adekuat pada bayi

(3) Anjurkan ibu untuk mengkonsumsi makanan bergizi tinggi

protein dan mineral

(4) Anjurkan agar bayi dijemur dibawah sinar matahari antara

pukul 7 – 8 pagi selama 30 – 60 menit dan bayi tidak

menggunakan pakaian. Posisikan bayi terlentang kemudian

telungkup sehingga seluruh kulit bayi terkena sinar matahari

b) Ikterus Patologis

Penatalaksanaan ikterus patologis yaitu;

(1) Pertahankan agar kadar gula darah tetap stabil dan tidak turun

(2) Anjurkan ibu untuk menjaga bayi tetap hangat

(3) Ambil sempel darah dari ibu sebanyak 2,5 ml

(4) Lakukan rujukan segera

(5) Penatalaksanaan dirumah sakit, seperti dekomposer bilirubin

dengan terapi sinar, transfusi tukar, observasi kadar bilirubin

tak langsung dan langsung dan dehidrasi


(Tando 2016, hh. 143 – 144)

4. Sepsis

a. Pengertian

Bayi baru lahir rentan terhadap infeksi karena sistem kekebalan

tubuhnya belum sempurna. Infeksi lebih sering ditemukan pada bayi

dengan berat badan lahir rendah. Selain itu, neonatus berisiko tinggi

terinfeksi jika ditemukan riwayat kehamilan, riwayat persalinan, dan

riwayat baru lahir yang kurang baik (Saputra 2014, h. 162).Keadaan

ini sering terjadi pada bayi berisiko misalnya bayi kurang bulan,

BBLR, bayi dengan RDS, atau bayi lahir dari ibu berisiko. Bayi Baru

Lahir Beresiko Tinggi Terinfeksi apabila ditemukan: ibu menderita

eklamsia, ibu dengan diabetes mellitus, ibu mempunyai penyakit

bawaan, kemungkinan bayi terkena infeksi berkaitan erat dengan :

1) Riwayat kelahiran : persalinan lama, persalinan dengan tindakan

(ekstraksi cunam/vakum, seksio sesaria), ketuban pecah dini, air

ketuban hijau kental.

2) Riwayat bayi baru lahir : trauma lahir, lahir kurang bulan, bayi

kurang mendapat cairan dan kalori, hipotermia pada bayi (Rukiyah

dan Yulianti 2012, h. 42).

3) Jalur infeksi

Patogenesis infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara.

Blame (1961) dalam Rukiyah 2012, h. 42 membaginya dalam 3

golongan :
a) Infeksi antenatal, kuman mencapai janin melalui peredaran

darah ibu ke plasenta. Disini kuman itu melewati batas plasenta

dan mengadakan perkembangbiakan. Infeksi ini bisa masuk ke

janin melalui vena umbilikalis. Kuman memasuki janin mealui

beberapa jalan, yaitu: Virus : rubella, Spirokaeta : sifilis,

Bakteria

b) Infeksi Intranatal, kuman dari vagina naik dan masuk kedalam

rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban pecah lama

mempunyai peran penting dalam timbulnya plasentitis dan

amnionitis. Ifeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih

utuh, misalnya pada partus lama. Janin terkena infeksi karena

mengihalasi liquor yang septic sehingga kuman-kuman

memasuki peredaran darahnya dan menyebabkan septicemia

(keracunan darah oleh bakteri patogenetik).

c) Infeksi postnatal, infeksi ini terjadi sesudah bayi lahir lengkap

dan biasanya merupakan infeksi yang menyebabkan kematian

terjadi sesudah bayi lahir sebagai akibat penggunaan alat atau

perawatan yang tidak steril (Rukiyah 2012, hh. 42-43)

b. Tanda dan gejala

1) Bayi malas minum

2) Gelisah mungkin juga terjadi letargi

3) Frekuesi pernapasan meningkat

4) Berat badan menurun


5) Pergerakan kurang

6) Muntah

7) Diare

8) Sklerema, edema

9) Perdarahan, ikterus, kejang

10) Suhu tubuh normal, hipotermi, hipertermi

c. Diagnosis

Aminullah (2012, hh. 178 – 179) mengatakan diagnosis dini sepsis

neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan prognosis pasien.

Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan hidup

bayi dan memperburuk prognesis pasien. Seperti telah dikemukakan

terdahulu. Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi

antara lain:

1) Faktor resiko

2) Gambaran klinik

3) Pemeriksaan penunjang

Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien,

karena salah satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan

dalam menegakkan diagnosis pasien. Faktor resiko sepsis dapat

bervariasi tergantung awitan sepsis yang diderita pasien. Pada awitan

dini berbagai faktor yang terjadi selama kehamilan, persalinan ataupun

kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk melakukan kolaborasi

lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan dengan awitan dini, pada pasien
awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang terdapat

dalam lingkungan pasien.

Pada sepsis awitan dini faktor risiko dikelompokkan menjadi:

1) Faktor ibus

a) Persalinan kurang bulan

b) Ketuban pecah lebih dari 18 – 24 jam

c) Choriomnionitis

d) Persalinan dengan tindakan

e) Demam pada ibu >380C

f) Infeksi saluran kencing pada ibu

g) Factor sosial ekonomi dan gizi ibu

2) Faktor ibu

a) Asfiksia perinatal

b) Berat lahir rendah

c) Bayi kurang bulan

d) Prosedur invasif

e) Kelainan bawaan

d. Penatalaksanaan

1) Penanganan umum

a) Pertahankan suhu tubuh bayi agar tetap hangat.

b) Berikan ASI secara perlahan, sedikit demi sedikit.

c) Berikan antibiotik sesuai dengan hasil laboratorium.

d) Perawatan sumber infeksi.


2) Penanganan infeksi sistemik

a) Lakukan penanganan kejang jika bayi mengalam kejang

b) Lakukan penanganan gangguan pernapasan jika bayi sulit

bernapas.

c) Lakukan penangan hipotermia jika suhu tubuh bayi rendah.

d) Lakukan perawatan muntah jika bayi muntah, misalnya

dengan mengubah posisi tidur menjadi miring ke kiri atau ke

kanan. Perhatikan dan keadaan lingkungan jika bayi

mengalami diare.

e) Pertahankan kadar gula agar tidak turun.

f) Lakukan rujukan segera setelah mendapat informed concent

dari orang tua.

3) Penanganan infeksi lokal berat

a) Berikan antibiotik sesuai hasil laboratorium

b) Berikan antiseptik lokal sesuai dengan daerah yang terkena

dan ajarkan ibu tentang cara pengobatan tersebut.

4) Penanganan infeksi lokal

a) Berikan antibiotik sesuai hasil laboratorium.

b) Berikan penjelasan pada ibu dan ajarkan ibu cara perawatan

infeksi lokal.

c) Lakukan asuhan dasar bayi muda.

d) Berikan penjelasan pada ibu kapan bayi dibawa ke petugas

kesehatan.
e) Berikan penjelasan kunjungan ulang setelah hari kedua

(Saputra 2014, h. 164-165).

5. RDS

a. Pengertian

RDS atau SGNN(Sindrom Gawat Nafas Neonatus) adalah keadaan

bayi yang sebelumnya normal atau bayi dengan asfiksia yang telah

menjalani resusitasi dan berhasil, tetapi beberapa saat kemudian

mengalami gangguan nafas (Tando 2016, h. 142)

b. Klasifikasi

Secara klinis gangguan napas dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu

sebagai berikut:

1) Gangguan napas berat

2) Gangguan napas sedang

3) Gangguan napas ringan

Tabel 2.6 Klasifikasi gangguan napas berdasarkan Modifikasi Downe’s

Scale for Respiratory Distress Assessment

Parameter 0 1 2
Frekuensi < 60 kali/ 60 – 80 kali/menit >80 kali/menit
napas menit
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap
sianosis dengan pemberian walaupun diberi
oksigen oksigen
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
Suara napas Suara napas Suara napas di Tidak ada suara
di kedua kedua paru napas di kedua paru
paru baik menurun
Merintih Tidak Dapat di dengar Dapat didengar
merintih dengan stetoskop tanpa alat bantu
Sumber : Tando (2016, h. 143)
c. Etiologi

RDS berhubungan dengan defisiensi surfaktan. Terdapat empat faktor

penting yang dapat menyebabkan defisiensi surfaktan yaitu prematur,

asfiksia perinatal, maternal diabetes, dan seksio caesarea (Saputra

2014, h.175).

d. Penyebab

Sari (2009, hh. 41 – 42) mengatakan bahwa RDS dapat disebabkan

karena:

1) Obstruksi saluran pernapasan bagian atas

a) Atresia esophagus

b) Atresia koana bilateral, dll

2) Kelainan parenkim paru

a) Penyakit membran hialin

b) Perdarahan paru, dll

3) Kelainan diluar paru

a) Penuno thoraks

b) Hernia diafragmatika, dll

4) Kelainan lain diluar paru

a) Asidosis, hipoglikemi

b) Adanya perdarahanm,dll

e. Tanda dan gejala

Tanda gejala yang timbul yaitu adanya sesak nafas pada bayi prematur

segera setelah lahir yang ditandai dengan.


1) Takipnea >60x.menit

2) Pernafasan cuping hidung

3) Grunting

4) Retraksi dinding dada

5) Sianosis

6) Gejala menetap dalam 48 – 96 jam pertama setelah lahir ( Saputra

2014, hh. 175 – 176)

f. Penatalaksanaan

Sari (2009, hh. 42 – 43) mengatakan bahwa penatalaksanaan awal bayi

RDS sebagai berikut.

1) Bersihkan jalan napas dengan menggunakan penghisap lendir dan

kasa steril

2) Pertahankan suhu tubuh bayi dengan membungkus bayi dengan

kain hangat

3) Atur posisi bayi, kepala bayi esktensi agar bayi dapat bernafas

dengan leluasa

4) Apabilan terjadi apnu lakukan napas buatan mouth to mouth

5) Longgarkan pakaian bayi

6) Beri penjelasan keluarga bahwa bayi harus dirujuk di rumah sakit

7) Bayi rujuk segera ke rumah sakit

Kosim ( 2012, hh.138-139) mengatakan bahwa prioritas menejemen

bayi dengan RDS adalah sebagai berikut

1) Ventilasi
a) Lakukam ventilasi dengan menggunakan balon resusitasi dan

sungkup atau melalui pipa endhotrakheal bila pernafasan bayi

tidak adekuat

b) Beri oksigen apabila ada indikasi seperti sianosis sentral atau

hipoksemia

c) Lanjutkan pemberian oksigen dengan konsentrasi yang

diperlukan

d) Pemantauan dilakukan dengan mengambil analisis gas darah

serial dan pulse oxymeter untuk memantau saturasi O2 dan

TcO2 (Transcutaneous O2)

e) Pemberian terapi O2

f) Terapi inisial untuk hipoksemia berguna untuk memberi

suplementasi O2

g) Oksigen dan Continous positive airway pressure (CPAP)

untuk terapi RDS yang menunjukan dapat menurunkan angka

kematian RDS

2) Manajemen ventilator mekanik

Pemberian CPAP akan meningkatkan oksigenasi dan survival.

CPAP mulai di pasang pada tekanan sekitar 5 – 7 cm H2O melalui

prong nasal, pipa nosofaringeal, dll. Pada beberapa bayi dengan

derajad sakit sedang CPAP mungkin dapat mencegah kebutuhan

unutk pemakaian ventilator mekanik.


a) Untuk bayi dengan asidosis respiratorik, hipoksemia atau apnu

mungkin diperlukan Intermittement Positive Pressure

Ventilation (IPPV) sebagai tambahan mungkin diperlukan

Positive end-expiratory pressure (PEEP) yang akan

menstabilisasi alveoli dan meningkatkan volume serta

oksigenasi

b) Jalur arteri umbilikalis digunakan untuk memantau kadar gas

darah dan tekanan darah pada bayi yang sakit berat

c) Jenis setingan awal IMV

(1) FiO2 40 – 60%

(2) Peak inspiratory pressure (PIP) 18 – 25 dm H2O

(3) PEEP 5 cm H2O

(4) Rate 40 – 60 breaths/min

(5) Inspiratory time 0,4 sec

(6) Flow rate 7 L/min

d) Hasil analisa gas darah

(1) PaCO2 40 – 60mmHg

(2) pH> 7,25

(3) PaCO2 59 – 70mmHg

(4) HCO3 20 – 22 mEg/L

e) Hasil pemantauan dengan oksimeter

(1) Saturasi: 88 – 94%

(2) CPAP
(3) Bila konsemtrasi FiO2 tinggi diperlukan dan pasien tidak

dapat menerima pemutusan tekanan jalan napas (airway

pressure) meskipun dalam jangka pendek, makan ventilasi

dengan tekanan positip harus dilakukan

(4) CPAP mungkin merupakan indikasi pemakaian apabila

penyakit paru menunjukan hasil gangguan oksigenasi yang

berat misalnya FiO2 > 0,6 (60%) diperlukan untuk

memelihara PaO2 >60 mmHg

(5) CPAP mulai dengan tekanan 3 – 10 cm H2O dipasang

untuk meningkatkan volume paru dan mungkin untuk

redistribusi cairan edema paru dari alveoli ke instertitium

(6) CPAP meningkatkan ventilasi ke area dengan rasio V/Q

rendah dan memperbaiki mekanisme respirasi

3) Sirkulasi

a) Aulkultasi suara jantung, ukur tekanan darah, palpasi denyut

nadi dan hematokrit

b) Pertahankan sirkulasi dan volume darah agar tetap adekuat.

Pemberian transfusi darah atau pemberian cairan volume

pengganti darah bila ada tanda hipovolemik atau anemia

4) Koreksi asidosis metabolik

a) Asidosis metabolik berat (pH <7,2) dengan kadar bikarbonat

serum (< 15-16 mEq/L) atau defisit basa menunjukkan


beratnya penyakit. Penyebab harus segera ditentukan atau

ditangani. Penyebab paling sering:

(1) Kekurangan oksigen arteriel

(2) Perfusi jaringan yang buruk akibat rendahnya volume

sirkulasi darah

(3) Stres dingin

(4) Hipoksia yang lama

(5) Infeksi

b) Bila penyebab sudah dapat ditentukan, asidosis metablik

diterapi dengan pemberian larutan. Bikarobonat natrikus

dengan dosis 2 mEq/kg (4ml/kg dari pnegenceran 4.2 % (0,5

mEq/ml) dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 1

mEq/menit) ventilasi yang adekuat harus dipertahankan. Bila

tidak akan terjadi asidosis respiratorik

c) Petunjuk pemberian bikarbonas natrikus:

(1) Harus ada ventilasi spontan atau bantuan ventilasi yang

adekuat sebelum pemberian bikarbonat natrikus

(2) Kadar bikarbonat serum harus < 15 – 16 mEq/L ( hampir

mendekati deficit basa -5.0 atau lebih)

(3) Gabungan keadaan metabolik dan respiratorik asidosis

harus segera ditangani (ventilasi sama pentingnya dengan

terapi basa)
5) Jaga kehangatan suhu bayi sekitar 3.650C – 3.750C (suhu aksiler)

untuk mecegah vasokontriksi perifer

6) Langkah selanjutnya untuk mencari penyebab RDS

7) Terapi pemberian surfaktan

8) Bila tidak tersedia fasilitas Neonatal Intensive Care Unit (NICU)

segera rujuk kerumah sakit yang tersedia NICU terapi suportif

Kosim (2012, hh. 421 – 426) mengatakan prosedur medik BBL

dengan CPAP

1) Indikasi

a) Memperbaiki dan meningkatkan kapasitas residu fungsional

(FRC) paru serta oksigenasi

b) Mencegah kopals alveolus dan atelektatis

c) Meningkatkan daya kembang paru

d) Mengurangi usaha bernafas yang berlebihan

e) Mempertahakan produsi dn fungsi surfaktan

f) Dll

2) Pemantauan

Sistem CPAP melalui hidung bayi harus disiapkan setiap 2 – 4

jam, beberapa pemantauan bayi harus dilakukan


a) Respirasi: Frekuensi nafas, merintih, retraksi dan cuping

hidung, pengembang dada dan suara napas

b) Suhu

c) Kardiovaskuler: perfusi sentral dan perifer tekanan darah

d) Neurologis: tonus, respon terhadap stimulasi dan kegiatan

e) Gastrointestinal: distensi abdomen dan bising usus

f) Pemantauan saturasi dan tanda vital lainnya melalui

pemasangan probe saturasi oksigen pre-duktal dan pemantauan

kardiopulmonal dengan alat

3) Menghentikan pemakaian CPAP

a) Setelah bayi bernafas dengan mudah dan terlihat penurunan

frekuensi napas dan retraksi. FiO2 diturunkan secara bertahap

2 – 5% sampai menjadi 25% atau udara ruangan dipandu

“pulse oxymeter” atau hasil analisa gas darah

b) Jika bayi sudah nyaman bernafas dengan CPAP dan FiO2 21%

dicoba melapas CPAP. Prong nasal harus dilepas dari

corrungated tubing saat selang masih ditempatnya. Bayi

dinilai selama percobaan ini apakah mengalami takipnea,

retraksi, anpnu, dll. Jika tanda tersebut timbul, percobaan

dianggap gagal. CPAP harus dipasang kembali pada bayi

paling sedikit satu hari sebelum dicoba lagi dihari berikutnya


c) Jika bayi terus menggunakan CPAP dengan FiO2 >21%,

ulangi percobaan dengan memberikan tambahan oksigen

melalui kanula nasal

d) Tidak perlu mengubah tekanan saat proses penyapihan. Bayi

menggunakan CPAP 5 cm atau sama sekali lepas dari CPAP

e) Jika ada keraguan terganggunya pernapasanm selama proses

penyapihan, jangan disapih. Lebih baik diantisipasi senelum

mencegah kolaps paru dari pada menatalaksanainnya

4) Pengalihan CPAP ke ventilasi mekanis

Bayi dengna CPAP nasal dengan tekanan optimal akan

memerlukan ventilasi mekanis jika terjadi hal berikut.

a) FiO2 >60%

b) PaCO2 > 60 mmHg

c) Asidosis metabolik menetap dengan defisit basa > - 8

d) Terlihat retraksi yang nyata saat dilakukan CPAP

e) Sering mengalami apnu dan bakikardi

5) Komplikasi

a) Distensi paru yang berlebih

b) Distensi lambung

c) Ekskoriasi hidung

d) Peningkatan resistensi pada kartilago, distorsi septum, luka

pada wajah

e) Infeksi

Anda mungkin juga menyukai