LP Abses Leher
LP Abses Leher
Disusun Oleh :
LINDA SAFITRI ( 20149010668)
A. Konsep Penyakit
1. Definisi Abses Leher
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai
akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok,
sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Abses
peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu
abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula
dan angina ludovici (Ludwig Angina).
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang
terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.Ruang submandibula terdiri dari
ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari rung
submaksila oleh otot miohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang
submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula dan
membagi ruang submandibulla atas ruang submental dan ruang submaksila saja.
Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai
kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.
3. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Ada beberapa teori
yang mendukung, diantaranya teori mengenai progresivitas episode eksudatif
tonsilitis menjadi peritonsilitis lalu terjadi pembentukan abses. Daerah superior dan
lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi
supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga
tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian
inferior, namun jarang. Pada stadiumpermulaan, (stadium infiltrat), selain
pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah
tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah,
depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses
terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada
m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga
dapat terjadi aspirasi ke paru.
Perluasan proses inflamasi dapat terjadi baik pada pasien tonsilitis yang
diobati maupun yang tidak diobati. Abses peritonsil juga terjadi secara de novu tanpa
adanya riwayat tonsilitis kronis atau tonsilitis berulang. Abses peritonsil juga dapat
terjadi akibat infeksi mononukleosis, virus Epstein-barr. Teori lain menyatakan
hubungan abses peritonsil dengan glandula weber. Kelenjar-kelenjar ludah minor ini
ditemukan pada daerah peritonsil dan diperkirakan membantu membersihkan debris
dari tonsil. Jika terjadi obstruksi akibat adanya infeksi tonsil, jaringan nekrosis, dan
terjadi pembentukan abses maka terjadilah abses peritonsil
4. Manifestasi Klinik
Pasien umumnya datang dengan riwayat faringitis akut bersama tonsillitis dan nyeri
faring unilateral yang semakin bertambah. Pasien juga mengalami malaise, lemah
dan sakit kepala. Mereka juga mengalami demam dan rasa penuh pada sebagian
tenggorokan. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus. Otot
pengunyah diselusupi oleh abses sehingga pasien sulit untuk membuka mulut yang
cukup lebar (trismus) untuk pemeriksaan tenggorok. Menelan jadi sukar dan nyeri.
Penyakit ini biasanya hanya pada satu sisi. Air ludah menetes dari mulut dan ini
merupakan salah satu penampakan yang khas. Pergerakan kepala ke lateral
menimbulkan nyeri, akibat infiltrasi ke jaringan leher di regio tonsil. Selain gejala
dan tanda tonsilitis akut dengan odinofagia (nyeri menelan) yang lebih hebat
biasanya pada satu sisi, juga terdapat nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi),
mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia)
dan pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
5. Pemeriksaan Penunjang
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat
aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum
besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc.
Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat
dikirim untuk dibiakkan.
Pemeriksaan penunjang lainnya :
1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita
memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu
dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik
yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari
nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan
diagnosis abses retropharyngeal.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral
rim enhancement”.
6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.
6. Penatalaksanaan Medis
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga
perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik
yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4
x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan
lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris
mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau
aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di
ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a”
chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut
tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses
disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah
infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum
ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian
penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan
terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi
segera.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek
mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada
antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di
rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan
trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.
7. Referensi
Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies,
Buku Ajar Penyakit THT, hal.333. EGC, Jakarta.
Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC, Jakarta.
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medical bedah, Vol. 1
Fachruddin, Darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan,
Telinga-Hidung-Tenggorokan. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Snell, S Richard. 2002. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. EGC; Jakarta.
Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 200.
a) Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam
menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita, mengidentifikasikan,
kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapt diperoleh melalui anamnese,
pemeriksaan fisik, pemerikasaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang
lainnya.
b) Anamnese
Identitas penderita :Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register,
tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang
menurun, adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya
nyeri pada luka.
P (Provoking/Paliatif)
1. Apakah yang menyebabkan nyeri?
2. Apa saja yang dapat mengurangi &memperberat nyeri itu?
3. Kejadian awal apakah yang Anda lakukan sewaktu gangguanpertama
kali dirasakan?
4. Apakah yang menyebabkan nyeri?
5. Posisinya bagaimana?
6. Aktivitas tertentu yang Anda lakukan?
7. Penjelasan lebih lanjut?
8. Untuk gangguanpsikologis: Apakah nyeri terasa sewaktu Anda merasa
tidak beraktivitas?
9. Apakah yang menghilangkan gangguan?
10. Apakah yang memperburuk gejala?
R (Regional/Area/Radiasi)
1. Dimana gangguannyeri dirasakan?
2. Apakah nyerinya menyebar?
3. Apakah merambat pada punggung atau lengan, merambat pada leher
atau kaki?
S (Severity/Skala Keparahan)
Seberapakah keparahan dirasakan dengan skala?
5. Peralatan :
T (Timing)
1. Kapan keluhan nyeri tersebut muali ditemukan/dirasakan?
2. Seberapa sering keluhan nyeri dirasakan/terjadi?
3. Apakah terjadi secara mendadak/bertahap? Akut atau kronis?
Riwayat Kesehatan Dahulu
Adanya riwayat penyakit – penyakit lain yang ada kaitannya
dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat
penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang
pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
Riwayat Psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang
dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan
keluarga terhadap penyakit penderita.
Pemeriksaan Fisik
Status Kesehatan Umum
Sistem Integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka,
kelembaban dan shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan
pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan agen injury fisik, biologis, kimia, dan psikologis.
c. Perencanaan