Anda di halaman 1dari 9

A.

Sejarah dan Garis Besar Substansi The Burra Charter

Piagam Burra memberi panduan untuk konservasi dan pengelolaan tempat-tempat


bersignifikansi budaya (tempat-tempat warisan budaya) dan disusun berdasarkan kepada
pengetahuan dan pengalaman para anggota ICOMOS Australia.
Konservasi adalah bagian integral dari pengelolaan tempat-tempat bersejarah dan
merupakan tanggung jawab yang berkesinambungan. Piagam ini menetapkan standar
pelaksanaan bagi pihak-pihak yang memberikan saran, membuat keputusan, atau
menangani pekerjaan pada tempat- tempat bersignifikansi budaya, termasuk pemilik,
pengelola dan pengawas. Jenis tindakan yang mungkin diambil di Konservasi tempat
warisan didefinisikan sebagai:
1. Pemeliharaan : artinya perlindungan terus menerus pada bahan dan tata letak
sebuah tempat, dan harus dibedakan dari perbaikan. Perbaikan termasuk
restorasi atau rekonstruksi.
2. Preservasi : mempertahankan bahan sebuah tempat dalam kondisi eksisting
dan memperlambat pelapukan.

3. Pengawetan : Mempertahankan tempat dalam keadaannya saat ini dan


mencegah kerusakan lebih lanjut.

4. Restorasi : Mengembalikan suatu tempat ke keadaan sebelumnya yang


diketahui dengan menghapus pertambahan atau dengan memasang kembali
elemen yang ada tanpa pengenalan material baru.

5. Rekonstruksi : Mengembalikan suatu tempat ke tempat yang diketahui jika


ada cukup bukti. dan dibedakan dari restorasi dengan pengenalan material
baru.

6. Adaptasi : Memodifikasi sebuah tempat untuk disesuaikan dengan


pemanfaatan eksisting atau pemanfaatan yang diusulkan.

7. Pemanfaatan : Fungsi dari sebuah tempat, termasuk aktivitas dan kegiatan-


kegiatan yang mungkin dilakukan di tempat tersebut.

8. Pemanfaatan kompatibel : Pemanfaatan yang menghargai signifikansi


budaya sebuah tempat. Pemanfaatan semacam itu tidak menimbulkan atau
meminimalisir dampak terhadap signifikansi budaya.
9. Interpretasi : Seluruh cara untuk menghadirkan signifikansi budaya dari
sebuah tempat.

Pasal 3.1 berisi ringkasan yang sering dikutip bahwa: “Konservasi ....
membutuhkan pendekatan perubahan yang hati-hati sebanyak yang diperlukan tetapi
sesedikit mungkin.”

Pasal 22 tentang Karya Baru mencakup rekomendasi yang sering dikutip tetapi


disalahpahami bahwa: “Karya baru harus dapat segera diidentifikasi, tetapi harus
menghormati dan berdampak minimal pada signifikansi budaya tempat tersebut.”

Piagam ini dapat diterapkan pada semua jenis tempat yang mempunyai
signifikansi budaya termasuk tempat-tempat alam (natural), asli (indigenous), dan
tempat-tempat bersejarah yang memiliki nilai budaya. Pemakaian standar dari organisasi
lain juga relevan. Termasuk Piagam Warisan Alam Australia (Australia Natural Heritage
Charter) dan Rancangan Panduan untuk Perlindungan, Pengelolaan dan Pemanfaatan
Tempat Bersejarah Suku Aborigin dan Penduduk Pulau Torres Strait (Draft Guidelines
for the Protection, Management and Use of Aboriginal and Torres Strait Islander Cultural
Heritage Places).
Tempat-tempat bersignifikansi budaya memperkaya kehidupan manusia, sering
memberikan ikatan rasa yang dalam dan inspirasional kepada masyarakat dan
lansekapnya, kepada masa lalu dan berbagai pengalaman hidup. Tempat-tempat itu
adalah rekaman sejarah, yang penting sebagai ekspresi nyata dari identitas dan
pengalaman Australia. Tempat-tempat bersignifikansi budaya mencerminkan keragaman
masyarakat kita, bercerita tentang siapa kita dan masa lalu yang telah membentuk kita
serta lansekap Australia. Nilainya tidak tergantikan dan sangat berharga.
Tempat-tempat bersignifikansi budaya ini harus dilestarikan untuk generasi kini
dan masa datang. Piagam Burra menyarankan pendekatan yang cermat untuk perubahan :
lakukanlah sebanyak yang diperlukan untuk memelihara tempat tersebut dan
membuatnya bermanfaat, tetapi sebaliknya rubahlah sesedikit mungkin sehingga
signifikansi budayanya terjaga.
B. Urgensi dan Garis Besar Substansi Undang-Undang No. 11 tahun 2010

Dalam UU No 11 Tahun 2010, yang dimaksud dengan :


Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaanberupa Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan
Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik
bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya,
atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah
perkembangan manusia.
Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam
atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak
berdinding, dan beratap.
Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam
dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu
dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang
mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar
Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs
Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata
ruang yang khas.
Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap Cagar Budaya dengan
tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.
Penguasaan adalah pemberian wewenang dari pemilik kepada Pemerintah,
Pemerintah Daerah, atau setiap orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap
memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.
Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan,
kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi,
Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.
Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar
Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.
Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar
Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara
berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian.
Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan metode
yang sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan bagi kepentingan
Pelestarian Cagar Budaya, ilmu pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.
Pasal 3 : Pelestarian cagar budaya bertujuan :
a. melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia;
b. meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya;
c. memperkuat kepribadian bangsa;
d. meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan
e. mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.
Pasal 5 : Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi
kriteria:
1. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
2. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
3. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan; dan
4. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Pasal 53 :
1. Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif.
2. Kegiatan Pelestarian Cagar Budaya harus dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh
Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian.
3. Tata cara Pelestarian Cagar Budaya harus mempertimbangkan kemungkinan
dilakukannya pengembalian kondisi awal seperti sebelum kegiatan pelestarian.
4. Pelestarian Cagar Budaya harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian sebelum
dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya.
C. Terminologi Kegiatan Konservasi Versi Burra Charter (Davidson) dan
Versi Undang-Undang No 11 Tahun 2010 :

No Terminologi Burra Charter Undang-Undang No 11 Tahun 2010


1. Preservasi Mempertahankan bahan Upaya menjaga dan merawat agar kondisi
sebuah tempat dalam fisik Cagar Budaya tetap lestari.

kondisi eksisting dan


memperlambat
pelapukan.
2. Konservasi Seluruh proses Upaya mencegah dan menanggulangi
pemeliharaan sebuah dari kerusakan, kehancuran, atau
tempat untuk kemusnahan dengan cara
mempertahankan Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi,
signifikansi budayanya. Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar
Budaya.
3. Restorasi / Mengembalikan bahan Serangkaian kegiatan yang bertujuan
Rehabilitasi eksisting sebuah tempat mengembalikan keaslian bentuk,
pada keadaan semula Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur
sebagaimana yang Cagar Budaya yang dapat
diketahui dengan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
menghilangkan
tambahan atau dengan
meniru kembali
komponen eksisting
tanpa menggunakan
material baru.
4. Renovasi Penambahan pada Perbaikan atas kerusakan dengan
sebuah tempat dapat memperhatikan keaslian bentuk, tata
tanpa merusak atau letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi
mengaburkan Cagar Budaya.
signifikansi budaya
tempat tersebut, atau
menjauh dari interpretasi
dan apresiasinya.
5. Rekonstruksi Mengembalikan sebuah Upaya mengembalikan Bangunan
tempat pada keadaan Cagar Budaya dan Struktur Cagar
semula sebagaimana Budaya sebatas kondisi yang diketahui
yang diketahui dan dengan tetap mengutamakan prinsip
dibedakan dari restorasi keaslian bahan, teknik pengerjaan, dan
dengan menggunakan tata letak, termasuk dalam
material baru sebagai menggunakan bahan baru sebagai
bahan. pengganti bahan asli.
6. Adaptasi / Memodifikasi sebuah Upaya pengembangan Cagar Budaya
Revitalisasi tempat untuk untuk kegiatan yang lebih sesuai
disesuaikan dengan dengan kebutuhan masa kini dengan
pemanfaatan eksisting melakukan perubahan terbatas yang
atau pemanfaatan yang tidak akan mengakibatkan
diusulkan. kemerosotan nilai pentingnya atau
kerusakan pada bagian yang
mempunyai nilai penting.
7. Demolisi Upaya menghancurkan Upaya pembongkaran atau
atau perombakan dari perombakan suatu bangunan cagar
sebuah bangunan dengan budaya yang sudah dianggap ru-sak
kondisi yang sudah rusak dan membahayakan dengan
atau kondisi yang dapat pertimbangan dari aspek keselamatan
membahayakan sekitar dan keamanan dengan melalui
penelitian ter-lebih dahulu dengan
dokumentasi yang lengkap.
D. Kegiatan Konservasi di Kota Gorontalo : Rumah Adat Dulohupa dan

Bantayo Pobo’ide

Rumah Adat adalah bangunan yang memiliki ciri khas khusus, digunakan untuk
tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertentu. Rumah adat merupakan salah satu
representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat.
Keberadaan rumah adat di Indonesia sangat beragam dan mempunyai arti yang penting
dalam perspektif sejarah, warisan, dan kemajuan masyarakat dalam sebuah peradaban.
Di Kota Gorontalo, berdasarkan pengamatan awal dan wawancara banyak
ditemukan kendala pada
pelestarian rumah tradisional,
seperti kepunahan yang
diakibatkan oleh kelapukan,
minimnya pengetahuan
masyarakat Gorontalo tentang
Gambar 1. Rumah Adat Bantayo Poboide
kebesaran budaya yang
terkandung pada arsitektur rumah adatnya, dan juga kurangnya keperdulian masyarakat
untuk melestarikan benda cagar budaya daerah sebagai unsur budaya nasional dan
mengupayakan daerah ini menarik bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Gorontalo.
Yang ada sekarang tinggallah beberapa rumah yang masih dihuni oleh
keturunannya, karena beberapa sebab
antara lain kepedulian terhadap
warisan peninggalan terdahulu dan
keluarga yang diberikan tanggung
jawab masih mampu untuk merehab
kerusakan tanpa menghilangkan
keaslian dari karakter rumah tersebut.
Beberapa rumah tradisional
Gambar 2. Rumah Adat Dulohupa
Gorontalo yang masih bertahan
tersebut seperti Rumah adat Dulohupa dan Bantayo Pobo’ide.
Konservasi Rumah adat Dulohupa dan Bantayo Pobo’ide masih tetap dilakukan
sebagai solusi untuk menghindari kepunahahan bangunan bersejarah. Upaya
pemeliharaan tersebut antara lain dengan cara mengganti tiang utama dari rumah adat
yang mulai lapuk dengan konstruksi beton, pengecatan elemen-elemen pokok bangunan
dengan warna kayu dan finishingnya dengan pernis untuk menjaga keawetan kayu itu
sendiri, dan upaya-upaya pelestarian lainnya. Selain itu tradisi upacara adat seperti
penyelenggaraan pesta kelahiran, pernikahan, kematian, dan lain-lain masih sering
dilakukan di kedua rumah adat tersebut untuk sebagai usaha dalam mempertahankan dan
memelihara nilai-nilai budaya serta aspek lain yang berhubungan dengan kebudayaan di
daerah Gorontalo.
Manfaat yang didapatkan dari upaya-upaya pelestarian diatas adalah :
1. Memperkaya khasanah atau kekayaan kebudayaan di Gorontalo,
2. Menyelamatkan keberadaan benda peninggalan sejarah, sehingga dapat dinikmati
oleh generasi yang akan datang,
3. Membantu dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan.memanfaatkan untuk
obyek penelitian.
4. Sebagai bukti nyata peristiwa sejarah yang dapat diamati zaman sekarang.

Kesimpulan

Gorontalo memiliki kekayaan budaya arsitektur lokal yang memiliki nilai sejarah
perjuangan sebelum Gorontalo meraih kemerdekaannya yang sejatinya terus dilestarikan
menjadi benda cagar budaya yang dilindungi, bukan menghancurkan dan meninggalkan
nilai-nilai simbol sejarah menjadi jejak sejarah bagi generasi kedepannya.
Konservasi cagar budaya membutuhkan peran dari berbagai pihak seperti
pemerintah, budayawan, akademisi dan partisipasi masyarakat dalam sebuah gerakan
sosial (social movement) cintaarsitektur lokaluntuk menumbuhkan rasa kebanggaannya
terhadap artefak lokal yang masih ada. Pembangunan, pengembangan, dan
penataan kota kedepannya seharusnya berbasis budaya. Selain itu, benda cagar budaya
menjadi dokumen penting bagi masyarakat khususnya generasi pelanjut dalam
memahami dan memaknai situs sejarah yang mewarnai proses terbentuknya peradaban di
Kota Gorontalo, sehingga tidak melupakan aspek kesejarahannya seperti daerah-daerah
lainnya yang kental dengan ”nuansa kelokalannya” sebagai penciri identitas.
DAFTAR PUSTAKA

- Australia ICOMOS Incorporated. 1999. The Australia ICOMOS Charter for Places of
Cultural Significance. Australia :  Cultural Heritage Centre for Asia and the
Pacific at Deakin University
- Pemerintah Indonesia. 2010. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Yang Mengatur Cagar
Budaya. Lembaran Negara RI Tahun 2010, No. 5168. Sekretariat Negara. Jakarta.
- Rahmawati Eka. Karakteristik Fisik Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa dan Bantayo
Pobo’ide). Jurnal Arsitektur, Kota dan Permukiman (LOSARI)
- Rahmatiah, Ernawati, Heryati. 2015. Gerakan Sosial Cinta Sejarah Arsitektur Gorontalo
Sebagai Upaya Konservasi Cagar Budaya. Dikutip dari
https://repository.ung.ac.id/karyailmiah/show/945/gerakan-sosial-cinta-sejarah-arsitektur-
gorontalo-sebagai-upaya-konservasi-cagar-budaya.html

Anda mungkin juga menyukai