Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN ASITES

DI RUANG ASAL RSUD AL-IHSAN JAWA BARAT

Oleh :

LABIBAH MAHMUDA

KELOMPOK 1

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

POLTEKKES KEMENES BANDUNG

BANDUNG 2021
ASITES
1. Definisi
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites
dalam jumlah yang kecil kemungkinan menunjukkan gejala yang asimptomatik, pada
peningkatan jumlah cairan dapat menyebabkan distensi abdominal dan rasa tidak
nyaman, anoreksia, mual, dan gangguan pernapasan.
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites
dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Antara lain sirrosis hepatis, juga merupakan
gejala yang sering terjadi pada penderita kanker ovarium, gejala ini juga sering
digunakan sebagai tanda diagnostik adanya kemungkinan keganasan pada tumor
ovarium (Brahmana Askandar). Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga
peritoneum dapat terjadi melalui dua mekanisme dasar, yakni transudasi dan eksudasi.
Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi portal adalah salah
satu contoh penurunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme
transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia.
Asites merupakan tanda prognosis yang rawan pada beberapa penyakit.
Contohnnya asites pada kanker ovarium merupakan prognosis yang buruk, ditandai
dengan perut yang makin membesar karena rongga berisi cairan, yang lama kelamaan
akan menyebabkan penekanan pada rongga traktus gastrointestinal sehingga akan
timbul keluhan anoreksia. Bahkan jika cairan makin bertambah akanmenekan daerah
diafragma sehingga akan timbul gangguan pernapasan. (BrahmanaAskandar). Asites
juga menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks.
Seperti Infeksi pada cairan asites akan lebih memperberat perjalanan penyakit
dasarnya. Oleh karena itu asites harus dikelola dengan baik.

2. Klasifikasi
Asites Tanpa Komplikasi
Asites yang tidak terinfeksi dan yang tidak terkait dengan pengembangan
sindrom hepatorenal. Asites dapat dikelompokkan sebagai berikut :
• Grade 1 ( mild ), asites hanya terdeteksi melalui pemeriksaan USG
• Grade 2 ( moderate ), asites menyebabkan simetrikal moderate distensi abdomen
• Grade 3 ( large ), asites yang ditandai dengan adanya distensi abdomen.

Table 1. Tingkatan asites dan pilihan terapi


Tingkatan asites Definisi Terapi

Tingkat 1 Asites yang ringan hanya dapat Tanpa terapi


dideteksi dengan USG

Tingkat 2 Asites yang sedang terbukti dengan Restriksi masukan sodium


distensi abdomen yang simetrikal dan diuretic

Tingkat 3 Asites dalam jumlah besasr ditandai Dilakukan parasentesis diikuti


dengan distensi abdomen dengan restriksi masukan
sodium dan diuretik

Journal of Hepatology 2010 vol. 53

Asites Refrakter

Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau yang kambuh lebih awal (yaitu,
setelah terapi parasentesis) yang tidak dapat dicegah dengan terapi medis. Asites
refrakter terdiri dari dua subkelompok yang berbeda, yaitu :

Tabel 2. Definisi dan criteria diagnostic untuk asites refrakter pada sirosis

Diuretic-resistant ascites Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau


kekambuhan yang terjadi lebih awal yang tidak
dapat dicegah karena kurang nya respon terhadap
retriksi sodium dan terapi diuretic

Diuretic-intactable ascites Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau


kekambuhan yang terjadi lebih awal yang tidak
dapat dicegah karena komplikasi dari diuretics-
induced yang mana menghindari penggunaan
dosis diuretic yang efektif

Requisites

1. Durasi terapi Pasien harus menjalani terapi diuretic yang


intensif (spironolacton 400 mg/hari dan
furosemide 160 mg/hari) selama paling kurang 1
minggu dan diet rendah garam 90 mmol/hari

2. Respon yang kurang Kehilangan berat badan <0,8 kg lebih dari 4 hari
dan output urin kurang dari intake

3. Kekambuhan yang lebih cepat Kekambuhan berulang dari tingkat 2 dan 3 asites
tak lebih dari 4 minggu mobilisasi yang pertama

4. Diuretic-induced complication 1. Diuretic-induced ensefalopathy hepatic


mmerupakan perkembangan ensefalopathy
tanpa factor yang mempengaruhi.
2. Diuretic-induced kerusakan ginjal merupakan
peningkatan dari creatinine serum > 100%
menjadi >2 mg/dl pada pasien dengan asites
yang berespon terhadap pengobatan
3. Diuretic-induced hiponatremia digambarkan
dengan penurunan serum sodium > 10 mmol/L
menjadi <125 mmol/L
4. Diuretic-induced hipo-hiperkalemia
digambarkan sebagai perubahan serum
potassium menjadi <3 mmol/L atau >6 mmol/L
Modified with permission from Moore KP, Wong F, Gines P, et. Al. The Management of
ascites in cirrhosis : report on consensus conference of the International Ascites Club.

Journal of Hepatology 2010 Vol 53


Gradien albumin serum-asites berkolerasi secara langsung dengan tekanan portal,
dimana pasien dengan gradien lebih besar dari atau sama dengan 1,1 g/dL dapat
memiliki suatu hipertensi portal (asites transudatif) dan pasien dengan gradien kurang
dari 1,1 g/dL (asites eksudatif). Konsentrasi protein total dari cairan asites dan aktivitas
LDH secara umum digunakan untuk mengklasifikasi cairan asites apakah eksudat atau
transudat. Lihat tabel di atas dengan klasifikasi dari tipe asites bergantung pada kadar
dari gradien albumin serum-asites.
Asites dapat dibedakan berdasar berbagai kondisi penyakit yang mendasarinya,
hal tersebut dapat diperhatikan pada tabel di bawah ini :
3. Etiologi
Secara morfologis, sirosis dibagi atas jenis mikronodular (poral), mikrodonolar
(pascanekrotik) dan jenis campuran, sedang dalam klinik dikenal 3 jenis, yaitu portal,
pascanokretik, dan biller. Penyakit penyakit yang diduga dapat menjadi penyebab
sirosis hepatis antara lain mal nutrisi, alkoholesme, virus hepatis, kegagalan jantung
yang menyebabkan bendungan vena hepatika, penyakit wilson, hemokromatosis, zat
toksik, dan lain-lain.

4. Patofisiologi
Penimbunan asites ditentukan oleh 2 faktur yang penting yakni faktor lokal dan
sistemik.
- Faktor lokal
Bertanggung jawab terhadap penimbunan cairan dirongga perut, faktor lokal yang
penting adalah cairan sinusoid hati dan sistem kapiler pembuluh darah usus.
- Faktor sistemik
Bertanggung jawab terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem
cardiovaskuler dan ginjal yang menimbun retensi air dan garam. Faktor utama
sebagai pencetus timbulnya retensi air dan garam oleh ginjal adalah vasodilatasi
arteri perifer mula-mula akan terjadi peningkatan tahananan sistem porta dan diikuti
terbentuknya pitas porta sistemik baik intra maupun ektra hati apabila struktur
perubahan parenkim semakin berlanjut, pembentukan pintas juga semakin berlanjut,
vasodilatasi juga akan menjadi berat, sehingga tidak hanya sirkulasi splankrik,tetapi
ditempat lain misalnya : kulit otot dan paru.
Vasodilatasi arteri Perifer akan menyebabkan ketahanan tahanan ferifer
menurun tubuh akan menafsirkan seolah-olah menjadi penurun volome efektif darah
arteri reaksi yang dilakukan untuk melawan keadaan itu adalah meningkatkan tonos
saraf simpatik adrenergik. Hasil akhirnya adalah aktivitas terhadap 3 sistem
vasokonstriktor yakni sistem renin-angiostensin, aldesteron, arginin vasopresin dan
saraf simpatik aktivasi sistem arginin vasopresin akan menyebabkan retensi air,
sistem aldesteron akan menyebabkan penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan
meningkatkan reapsorpsi garam pada tubulus progsimal, disamping itu sistem
vaskuler juga akan terpengaruh oleh aktivitasi ketiga vaso kontriktor tersebut.
Apabila terjadi sirosis hatisemakin berlambat, vasodilatasi arteri ferifer akan
menjadi semakin berat sehingga aktivitasi sistem neoru homoral akan mampu
menimbulkan asites. Disdamping itu, aktivasi sistem neurohumoral yang
terumenerus tetapi akan menimbulkan perubahan fungsi ginjal yang semakin nyata
sehingga terjadi sindrom heparorenal.
Pathway

Virus alcohol

Kerusakan pada liver

Penurunan kemampuan Tahanan alirab ke vena


pembentukan albumin meningkat

Penurunan serum albumin Tekanan hidrostatik


kapiler meningkat
Penurunan tekanan osmotic
koloid

Bendungan inflamasi nyeri Penumpukan cairan


di vena porta

Sirkulasi volume darah


Menekan hepar asites keseluruh tubuh menurun

Penekanan diafragma Kelebihan volume cairan

Penyimpanan Ha+ dan


H2O meningkat

Peningkatan hormone Penurunan sirkulasi


aldosteron dan renin darah ke ginjal

↓ sirkulasi darah ke ginjal Penekanan ruang paru Resiko ketidakefektifan


perfusi ginjal

Resiko ketidakefektifan Ketidakefektifan pola


perfusi ginjal nafas

Sumber: Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional (Nanda NIC-NOC),


2013.
5. Manifestasi Klinik
Asites sangat mudah dikenali pada inspeksi, akan tampak perut membuncit pada
umumnya kurang gizi, otot atrofi dan pada bagian besar kasus dapat dijumpai, stigmata
hati kronik. Pada saat pasien tidur terlentang, pembesaran perut akan nampak mencolok
kesamping kanan dan kiri seperti perut kodok letak umbilikus tergeser kekaudal
mendekati sismfisis pubis, sering dijumpai hernia umbilikalis kiri tekanan intara
abdomen yang meninggi sedangkan otot-otot atrofi sehingga kekuatannya berkurang,
tanda-tanda visis lain menunjukkan adanya akumulasi cairan dalam rongga perut.
Auskultasi perut antara lain : pekak samping (Flank dullness) pekak alih (shiffing
dulinees)

6. Pemeriksaan Penunjang
Foto thorax dan abdomen
1) Kenaikan diafragma dengan atau tanpa efusi pleura simphatetik (hepatic
hydrothorax) terlihat pada asites masif. Jika terdapat lebih dari 500 ml cairan
asites harus dilakukan pemeriksaan BNO.
2) Tanda-tanda beberapa tanda asites nonspesifik seperti gambar abdomen
buram, penonjolan panggul, batas PSOAS kabur, ketajaman gambar
intraabdomen berkurang. Peningkatan kepadatan pada foto tegak, terpisahnya
gambar lengkung usus halus, dan terkumpulnya gas di usus halus.
3) Tanda-tanda berikut lebih spesifik dan dapat dipercaya. Pada 80% pasien
asites, tepi lateral hati diganti oleh dinding thorax abdomen (Hellmer sign).
Obliterasi sudut hepatik terlihat pada 80% orang sehat. Pada pelvic penumpukan
cairan pada kantung rektovesika dan dapat meluap ke fossa paravesika. Adanya
cairan memberikan gambaran kepadatan yang simetris pada kedua sisi kantung
vesika urinaria yang di sebut ”dog’s ear” atau ”mickey mouse” appearance.
Pergeseran sekum dan kolon ascenden kearah tengah dan pergeseran, dan
pergeseran garis lemak properitoneal kelateral terlihat pada 90% dengan asites
yang signifikan.
USG
1) Real-time sonografi adalah pemeriksaan cairan asites yang paling mudah dan
spesifik. Volume sebesar 5-10 ml dapat dapat terlihat. Asites yang sederhana
terlihat sepertigambar yang homogen, mudah berpindah, anechoic di dalam
rongga peritoneal yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan akustik.
Cairan asites tidak akan menggeser organ, tetapi cairan akan berada diantara
organ-organ tersebut. Akan terlihat jelas batas organ, dan terbentuk sudut pada
perbatasan antara cairan dan organ-organ tersebut. Jumlah cairan minimal
akan terkumpul pada kantung morison dan mengelilingi hsti membentuk
gsmbar karakteristik polisiklik, ”lollipop” atau arcuate appearance di
karenakan cairan tersebut tersusn secara vertikal pada sisi mesenterium.
2) Gambar sonographic tertentu menunjukan adanya asites yang terinfeksi,
inflamasi, atau adanya keganasan. Gambar tersebut meliputi echoes internal
kasar (darah), echoes internal halus (chyle), septal multiple (peritonitis
tuberkulosa, pseudomyxoma, peritonei), distribusi cairan terlokalisir atau
atipik, gumpalan lengkung usus, dan penebalan batas antara cairan dan organ
yang berdekatan.
3) Pada asites maligna lengkung usus tidak dapat mengapung secara bebas, tetapi
tertambat pada dinding posterior abdomen, melekat pada hati atau oargan
lainnya atau lengkung usus tersebut dikelilingi oleh cairan yang terlokalisir.
4) Kebanyakan pasien (95%) dengan keganasan peritonotis mempunyai
ketebalan dinding empedu kurang dari 3mm. Penebalan kantung empedu
berhubungan dengan asites jinak pada 82 % kasus. Penebalan kantung empedu
secara umum akibat sirosis dan HT portal.
CT-Scan
Asites terlihat jelas dengan pemeriksaan CT-Scan. Sedikit cairan asites terdapat
pada ruang periheoatik kanan, ruang subhepatik posterior (kantung morison), dan
kantung douglas. Bebarapa gambar pada CT-Scan menunjukkan adanya neoplasia,
hepatik, adrenal, splenik, atau lesi kelenjar limfe berhubungan dengan adanya
massa yang berasal dari usus, ovarium, atau pankreas, yang menunjukkan adanya
asites maligna.
Pada pasien dengan asites maligna kumpulan cairan terdapat pada ruang yang lebih
besar dan lebih kecil, sementara pada pasien dengan asites benign cairan terutama
terdapat pada ruang yang lebih besar dan tidak pada bursa omental yang lebih kecil.
PEMERIKSAAN LAIN
1) Laparoskopi dilakukan jika terdapat asites maligna. Pemeriksaan ini penting
untuk mendiagnosa adanya mesothelioma maligna.
2) Parasentesis abdomen
Parasentesis abdomen adalah pemeriksaan yang paling cepat dan efektif untuk
mendiagnosa penyebab asites. Parasentesis terapetik dilakukan untuk asites
masif atau sulit disembuhkan. Pengeluaran 5 liter cairan merupakan
parasentesis dalam jumlah besar. Parasentesis total, atau pengeluaran semua
cairan asites (di atas 20 liter) dapat di lakukan secara aman. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa pemberian albumin 5 g/l pada parasentesis diatas 5 liter
dapat menurukan komplikasi parasentesis seperti gangguan keseimbangan
elektrolit dan peningkatan serum kreatinin akibat pertukaran cairan
intravaskuler.
3) Transjugular intrahepatik portacaval shunt (TIPS)
Metode ini dilakukan dengan cara memasang paracarval shunt dari sisi kesisi
melalui radiologis dibawah anestesi lokal. Metode ini sering digunakan untuk
asites yang berulang.

7. Penatalaksanaan
a. Bed rest
Istirahat pada pasien dengan sirosis dan asites, asumsi postur tegak dikaitkan
dengan aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik,
pengurangan di tingkat filtrasi glomerulus dan ekskresi natrium, serta respon
menurun terhadap diuretik. Efek ini bahkan lebih mencolok dalam hubungan dengan
latihan fisik moderat. Data ini sangat menyarankan bahwa pasien harus diobati
dengan diuretik saat istirahat. Namun, belum ada studi klinis yang menunjukkan
keberhasilan peningkatan diuresis dengan istirahat atau durasi penurunan rawat inap.
Tirah baring dapat menyebabkan atrofi otot, dan komplikasi lainnya, serta
memperpanjang lama tinggal di rumah sakit, tirah baring umumnya tidak
direkomendasikan untuk manajemen pasien dengan asites tanpa komplikasi.
b. Retriksi diet garam
Retriksi diet garam saja dapat membuat balance natrium negatif pada 10%
pasien. Pembatasan natrium telah terkait dengan persyaratan diuretik lebih rendah,
resolusi asites lebih cepat, dan masa di Rumah Sakit lebih pendek. Di masa lalu,
makan garam sering di batasi sampai 22 atau 50 mmol/hari, diet ini dapat
menyebabkan malnutrisi protein dan hasil yang serupa, dan tidak lagi dianjurkan.
Diet khas Inggris berisi sekitar 150 mmol natrium per hari, dimana 15% dari
penambahan garam dan 70% dari makanan kemasan. Diet garam harus dibatasi,
90 mmol/hari (5,2 g) garam dengan menerapkan pola makan tidak tambah garam dan
menghindari bahan makanan yang telah disiapkan (misalnya, kue). Bimbingan ahli
diet dan informasi leaflet akan membantu dalam mendidik pasien dan kerabat
tentang retriksi garam. Obat tertentu, terutama dalam bentuk tablet effervescent,
memiliki kandungan natrium yang tinggi. Antibiotik intravena umumnya
mengandung 2,1-3,6 mmol natrium per gram dengan pengecualian siprofloksasin
yang berisi 30 mmol natrium dalam 200 ml (400 mg) untuk infus intravena.
Meskipun secara umum lebih baik untuk menghindari infus cairan yang
mengandung garam pada pasien dengan asites, ada peluang, seperti berkembang
menjadi sindroma hepatorenal atau gangguan ginjal dengan hiponatremia berat,
jika sesuai dan diindikasikan untuk memberikan ekspansi volume dengan
kristaloid atau koloid. Untuk pasien sindrom hepatorenal, International Ascites
club merekomendasikan infus garam normal.
c. Peran retriksi air
Tidak ada studi tentang manfaat atau bahaya pembatasan air pada resolusi
asites. Kebanyakan ahli setuju bahwa tidak ada peran pembatasan air pada pasien
dengan asites tampa komplikasi. Namun, pembatasan air untuk pasien dengan
asites dan hiponatremia telah menjadi standar praktek klinis di banyak pusat-
pusat.
d. Manajemen hiponatremia pada pasien dengan terapi diuretic
Natrium serum ≥126 mmo/l
Untuk pasien dengan asites yang memiliki natrium serum ≥126 mmol/l,
seharusnya tidak ada pembatasan air, dan diuretik dapat dengan aman dilanjutkan,
menunjukan bahwa fungsi ginjal ini tidak memburuk atau belum secara signifikan
memburuk selama terapi diuretik.
Natrium serum ≤125 mmol/l
Untuk pasien dengan hiponatremia sedang (natrium serum 121-125
mmol/l), terdapat beberapa pendapat mengenai tindakan apa yang sebaiknya
dilakukan. Pendapat internasional, di mana konsensus para ahli internasional
dilaporkan bahwa diuretik harus dilanjutkan. Diuretik harus dihentikan jika natrium
serum ≤125 mmol/l dan pasien diobservasi. Semua ahli dilapangan
merekomendasikan diuretik dihentikan jika natrium serum ≤120 mmol/l. Jika ada
peningkatan yang signifikan kreatinin serum atau kreatinin serum >150 µmol/ l,
akan direkomendasikan ekspansi volume. Gelofusine, Haemaccel, dan Solusi
albumin 4,5% mengandung konsentrasi natrium setara dengan salin normal (154
mmol/l). Hal ini akan memperburuk retensi garam tetapi kita mengambil
pandangan bahwa lebih baik untuk memiliki asites dengan fungsi ginjal normal dari
pada berkembang dan berpotensi menjadi gagal ginjal ireversibel. Pembatasan air
harus disediakan untuk mereka yang secara klinis euvolaemic dengan
hiponatremia parah, klirens air bebas menurun, dan yang tidak sedang terapi
diuretik, dan di antaranya kreatinin serum normal.
e. Diuretik
Diuretik telah menjadi andalan pengobatan asites sejak tahun 1940 ketika
pertama kali tersedia. Banyak agen diuretik telah dievaluasi selama bertahun-tahun
tetapi dalam praktek klinis dalam hal ini Inggris telah membatasi terutama
spironolactone, amilorid, furosemid, dan bumetanide.
- Spironolactone
Spironolactone merupakan antagonis aldosteron, bekerja terutama
pada tubulus distal untuk meningkatkan natriuresis dan mempertahankan kalium.
Spironolactone adalah obat pilihan di awal pengobatan asites karena sirosis.
Dosis harian inisial 100 mg bisa ditingkatkan sampai 400 mg untuk mencapai
natriuresis adekuat. Berjalan lambat 3-5 hari antara awal pengobatan
spironolactone dan terjadinya efek. studi kontrol natriuretik telah menemukan
bahwa spironolactone mencapai natriuresis lebih baik dan diuresis dari loop
diuretic seperti furosemide. Efek samping paling sering spironolakton pada
sirosis adalah yang berkaitan dengan ativitas antiandrogenik nya, seperti
penurunan libido, impotensi, dan ginekomastia pada pria dan ketidakteraturan
menstruasi pada wanita (meskipun sebagian besar wanita dengan asites tidak
menstruasi saja). Ginekomastia dapat secara signifikan berkurang ketika
canrenoate kalium hidrofilik derivatif digunakan, tetapi ini tidak tersedia di
Inggris. Tamoxifen pada dosis 20 mg dua kali sehari telah terbukti berguna dalam
pengelolaan gynaecomastia. Hiperkalemia merupakan komplikasi signifikan
yang sering membatasi penggunaan spironolactone dalam pengobatan asites.
- Furosemid
Furosemid adalah diuretik loop yang menyebabkan tanda natriuresis dan
diuresis pada subyek normal. Hal ini umumnya digunakan sebagai tambahan
untuk pengobatan spironolactone karena keberhasilan rendah bila digunakan
sendirian pada sirosis. Dosis awal frusemid adalah 40 mg/hari dan umumnya
meningkat setiap 2-3 hari sampai dosis tidak melebihi 160 mg/hari. Tinggi dosis
frusemid berhubungan dengan gangguan elektrolit berat dan alkalosis metabolik,
dan harus digunakan hati- hati. Furosemid dan spironolactone bekerja
simultan meningkatkan efek natriuretik.

- Diuretik lain
Amiloride bekerja pada tubulus distal dan menginduksi diuresis pada 80%
pasien dengan dosis 15-30 mg/hari. Hal ini kurang efektif dibandingkan dengan
spironolakton atau kalium canrenoate. Bumetanide mirip dengan frusemid
dalam kerja dan efikasi.
Secara umum, pendekatan '' stepped care'' yang digunakan dalam
pengelolaan asites dimulai dengan diet pembatasan garam sederhana, bersama
dengan meningkatnya dosis spironolactone. Furosemid hanya ditambahkan bila
400 mg spironolakton sendiri telah terbukti inefektif. Pada pasien dengan edema
berat tidak perlu untuk memperlambat laju harian penurunan berat badan. Sekali
edema telah diselesaikan tetapi asites berlanjut, maka tingkat penurunan berat
badan tidak melebihi 0,5 kg/hari. Selama diuresis dikaitkan dengan deplesi
volume intravaskular (25%) yang mengarah ke gagal ginjal, ensefalopathy
hepatik (26%), dan hiponatremia (28% . Sekitar 10% pasien dengan sirosis dan
asites memiliki asites refrakter. Pada pasien yang gagal pengobatan, harus
diperhatikan riwayat diet dan riwayat pengobatan. Penting untuk memastikan
bahwa mereka tidak memakan obat yang kaya akan natrium, atau obat yang
menghambat garam dan ekskresi air seperti obat - obatan anti- inflamasi non-
steroid ( OAINS ). Kepatuhan retriksi natrium makanan harus dipantau dengan
pengukuran ekskresi natrium urin. Jika natrium urin melebihi asupan sodium
yang direkomendasikan, dan pasien tidak menanggapi pengobatan, maka
dapat diasumsikan bahwa pasien non-compliant.
f. Terapi paracentesis
Pasien dengan asites besar atau refrakter biasanya managemen inisial oleh
parasentesi dengan volume besar. Beberapa studi klinis terkontrol telah
menunjukkan bahwa besar volume parasentesis dengan penggantian koloid cepat,
aman, dan efektif. Penelitian pertama menunjukkan bahwa seri volume besar
parasentesis (4-6 l/hari) dengan infus albumin (8 g/liter asites yang hilang)
lebih efektif dan berhubungan dengan komplikasi lebih sedikit dan durasi rawat
inap yang lebih singkat dibandingkan dengan terapi diuretik. Penelitian ini
diikuti oleh penelitian lain yang mengevaluasi efikasi, keamanan, kecepatan
parasentesis, perubahan hemodinamik setelah parasentesis, dan kebutuhan terapi
penggantian koloid. Parasentesis total umumnya lebih aman dari parasentesis
berulang, jika ekspansi volume diberikan pasca-parasentesis. Jika ekspansi
volume pasca- parasentesis gagal memberikan volume ekspansi dapat
menyebabkan gangguan sirkulasi, gangguan fungsi ginjal dan elektrolit.
Setelah parasentesis, mayoritas asites berulang (93%) jika terapi diuretik
tidak diteruskan kembali, tapi berulang pada hanya 18% pasien yang diobati
dengan spironolactone. Memulai kembali diuretik setelah parasentesis (biasanya
dalam 1-2 hari) tampaknya tidak meningkatkan risiko disfungsi sirkulasi post
paracentesis.

Gambar 2. Paracentesis
g. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)

Peningkatan tekanan portal adalah salah satu faktor utama yang


berkontribusi terhadap patogenesis asites, tidak mengherankan bahwa TIPS
adalah perawatan yang sangat efektif untuk asites refrakter. Ini berfungsi sebagai
pada sisi portocaval shunt yang dipasang dengan anestesi lokal dan sedasi
intravena, dan menggantikan penggunaan pembedahan yang ditempatkan di
portocaval atau mesocaval shunts. Sejumlah studi uncontrolled telah diterbitkan
menilai efektivitas TIPS pada pasien dengan asites refrakter. Dalam kebanyakan
studi keberhasilan teknis dicapai pada 93 - 100% kasus, dengan kontrol dari
asites dicapai dalam 27-92% dan resolusi lengkap sampai dengan 75% kasus.
TIPS menghasilkan penurunan sekunder aktivasi system renin-angiotensin-
aldosteron, dan meningkatkan ekskresi natrium. Percobaan acak prospektif
telah menunjukkan TIPS lebih efektif dalam mengendalikan asites
dibandingkan dengan paracentesis volume besar. Namun, tidak ada konsensus
mengenai dampak TIPS pada kelangsungan hidup bebas transplantasi pada
pasien dengan asites refraktori. Dalam satu studi TIPS tidak berpengaruh pada
survival sementara yang lain telah melaporkan peningkatan survival
baik dibandingkan dengan terapeutik paracentesis.
Gambar 3. TIPS (Transjugular intrahepatic portosystemic shunt)

8. Asuhan Keperawatan
A. Assisment keperawatan
a. Identitas
Umur, nama, jenis kelamin, alamat, pekerjaan
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama : sulit untuk bernapas (sesak) dan sulit
beraktivitas
2) Penyakit sekarang : bagian perut membesar, mual, muntah, sesak napas,
sulit beraktivitas, lemah, nyeri
3) Penyakit dahulu : pernah ada menderita penyakit yang sama
4) Penyakit keluarga : adanya angota keluarga yang pernah mengalami
penyakit yang sama
c. Pemeriksaan fisik
1) System pernapasan : sesak, epistaksia, napas dangkal, pergerakan
dinding dada, perkusi, auskultasi suara napas, nyeri dada
2) System kardiovaskuler : terjadi kegagalan sirkulasi, nadi bias
cepat/lambat, penurunan tekanan darah
3) System integument : kulit tampak ikterik, tugor kulit kembali >3
detik, kulit teraba agak kering, kulit diperut menjadi kelihatan agak tipis
4) System perkemihan : produksi urine bias menurun, kadang-kadang
bias kurang dari 30 ͨ /ͨ jam
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan volume cairan (kelebihan) berhubungan dengan natrium dan intake
cairan yang tidak adekuat
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan asites
3. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tugor
kulit yang kurang baik dan asites
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Perubahan volume cairan (kelebihan) berhubungan dengan natrium dan intake
cairan yang tidak adekuat
a. tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3x8 jam
dinas masalah volume cairan (kelebihan) dapat teratasi
b. criteria : asites di perut berkurang
lingkar perut menjadi normal
intake dan output berimbang
c. intervensi :
1) kaji intake dan output cairan tiap hari
R : mengevaluasi intake dan output sudah berimbang
2) observasi lingkar perut tiap hari
R : mengevaluasi ukuran asites perut klien
3) berikan diet yang rendah garam
R : natrium dapat berubah menjadi cairan
4) jelaskan alasannya harus diberi diet rendah garam
R : biar klien tau alasan dari diberikannya diet rendah garam
5) kolaborasi dalam pemberian obat diuretic
R : mengurangi edema dan asites
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan asites
a. tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3x8 jam
dinas masalah resiko tinggi pola napas tidak efektif dapat teratasi
b. kriteria : respirasi : 18-20 x/menit
tanda-tanda sesak napas tidak ada
TTV normal
c. intervensi :
1) kaji pola napas klien
R : mengevaluasi pola napas yang tidak efektif
2) observasi TTV
R : mengevaluasi respirasi klien cepat/lambat
3) auskultasi suara napas dan jantung
R : mengetahui suara napas dan jantung
4) latih teknik napas dalam
R : mengurangi rasa sesak
5) kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam pemberian O2
R : apabila klien makin sesak kita dapat mengetahui tindakan
keperawatan selanjutnya
3. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tugor
kulit yang kurang baik dan asites
a. tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3x8 jam
dinas masalah resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit belum
terjadi
b. kriteria : tugor kulit baik
lingkar perut normal
tidak ada tanda-tanda kerusakan integritas kulit
c. intervensi :
1) kaji keadaan kulit klien
R : mengevaluasi ada tanda-tanda kerusakan integritas kulit
2) observasi keadaan asites klien
R : asites diperut semakin besar akan merusak integritas kulit
3) tinggikan ekstrimitas bagian bawah
R : mengurangi edema pada bagian ekstrimitas bawah
4) beri tahu klien untuk mika miki
R : biar tidak terjadi kerusakan integritas kulit
5) kolaborasi dengan tim kesehatan lain
R : memudahkan tindakan keperwatan selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan .Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke III. Jilid Ke 2. FKUI : Media

Aesculapius.

Nanda nic-noc. 2009. Panduan asuhan keperawatan. Jakarta : EGC


Sloane, Ethel. 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth.Jakarta : EGC.

Wong, Donna L. 2013. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai