Anda di halaman 1dari 62

Siput dan Wijen

Pagi yang cerah, seorang gadis yang bernama Putri membuka jendela kamarnya dan
membiarkan sinar matahari untuk masuk ke dalam kamarnya. “Hoamm, sejuk sekali udara
pagi ini” ucap Putri sambil menghirup udara. “Ting ting” handphone Putri berbunyi tanda
pesan singkat masuk. Seketika Putri langsung mengambil handphonenya dan membuka pesan
singkat tersebut, ternyata itu dari Wijay teman Putri. “Pagi” begitu pesannya. “Pagi juga”
Putri membalas. “Put, hari ini bisa tidak kita bertemu?” tanya Wijay pada Putri. “Emangnya
mau ngapain?” balas Putri penasaran. “Sudah, nanti datang saja jam 10, aku tunggu di
lapangan ya” balas Wijay kembali. “Baiklah” balas Putri.
Putri pun langsung mempersiapkan diri untuk datang menemui Wijay di lapangan. Ia
segera mandi, dan setelah itu berdandan. Ketika Putri akan memakai baju, ia bingung ingin
mengenakan baju yang mana. Dipilihnya baju berwarna ungu dengan motif bunga-bunga,
celana putih, serta jilbab yang berwarna ungu. Setelah ia puas dengan apa yang ia kenakan, ia
pun segera turun ke bawah untuk menemui Ayah dan Bundanya di meja makan. “Pagi Yah,
pagi Bun” sapa Putri di meja makan pada Ayah dan Bundanya. “Pagi Putri” balas mereka
hampir bersamaan. “Ayah, pagi ini Putri mau ke lapangan” ucap Putri. “Loh, mau ngapain?”
tanya Ayah penasaran. “Itu, Wijay mau ketemu di lapangan jam 10 nanti” jawab Putri polos.
“Oh begitu, ya sudah. Tapi maaf ya Put, Ayah nggak bisa nganter” ucap Ayahnya. “Iya Ayah,
tidak apa-apa” balas Putri. Setelah itu Putri menghabiskan makanannya dan meminum segelas
susunya sampai habis.
Setelah semuanya selesai, Putri langsung berpamitan kepada Ayah dan Bundanya.
“Ayah Bunda, Putri berangkat dulu” ucap Putri berpamitan. “Iya Put, hati-hati ya” balas
Bundanya. Setelah itu Putri mengayuh sepedanya dan menuju ke lapangan. Setelah
menempuh waktu kurang lebih 10 menit, Putri akhirnya sampai di lapangan, dicarinya Wijay
kesana kemari. Dan sampai akhirnya… “Putri!!!” seru seorang anak memanggil Putri.
Seketika Putri pun menoleh ke sumber suara. “Hai! Wijay” ucap Putri tiba-tiba. “Hai” balas
Wijay. “Mau ngapain sih kesini? Mau mentraktir aku?” ucap Putri dengan rasa percaya diri
yang sangat tinggi. “Yee, traktir terus sih pikirannya” sungut Wijay sedikit kesal. “Iya iya,
emang mau ngapain Kak Wijay yang paling WOW” ucap Putri dengan nada tak ikhlas.
“Hmm, gini loh Put, kamu inget gak ini hari apa?” tanya Wijay pada Putri. “Ya inget lah, ini
kan Hari Selasa” jawab Putri dengan mudahnya. “Kok hari selasa sih? bukan itu maksudku”
ucap Wijay sambil berharap. “Emm, emang hari ini hari apa sih?” tanya Putri dengan
kepolosannya. “Yah Putri lupa, hari ini kan hari ulang tahunku” ucap Wijay dengan nada
sedih. “Oh ya? Maaf aku lupa” balas Putri dengan nada menyesal. “Tak apa, ini ada birthday
card buat kamu” ucap Wijay sambil memberikan kartu undangan tersebut. “Wah wah, ada
pesta nih keliatannya” ledek Putri. “Hehe.. Iya nih, mumpung ada rezeki” balas Wijay. “Iya
Alhamdulillah” jawab Putri turut senang. “Datang ya Put” pinta Wijay. “Insyaallah” ucap
Putri tersenyum. “Lahh, pokoknya harus dateng!!” Wijay memaksa. “Loh? siapa tahu nanti
aku sampai rumah udah gak ada, makanya aku bilang Insyaallah” jawab Putri bijak. “Kok gitu
ngomongnya? serem banget” ucap Wijay keheranan. “Hmm, sudahlah lupakan saja” balas
Putri tersenyum.
Setelah selesai bertemu, Putri pun berpamitan kepada Wijay untuk segera pulang ke
rumah. “Aku pulang dulu ya Jay” ujar Putri. “Baiklah” jawab Wijay sedikit lesu. “Bye bye..
sampai bertemu di pesta ya” ucap Putri sambil mengedipkan sebelah matanya. “Oke oke”
balas Wijay sambil mengedipkan sebelah matanya pula.
Setelah sampai di rumah, Putri langsung membuka kartu undangan tersebut. “Emm,
jam 4 sore toh pestanya” ucap Putri sambil mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.
“Loh? Berarti aku harus membeli hadiah untuk Wijay? Tapi apa ya?” ucap Putri lirih. Tiba-
tiba Bunda Putri datang menghampirinya. “Ada apa Put?” tanya Bunda pada Putri. “Ini
Bunda, tadi ternyata Wijay ketemu sama Putri, cuma mau ngasih kartu undangan ini” jelas
Putri pada Bunda. “Terus?” jawab Bunda tak mengerti. “Yah Bunda, Putri kan mesti beli
hadiah buat Wijay?” ucap Putri. “Oh begitu, ya sudah, belikan Wijay barang kesukaannya”
Bunda memberi saran. “Emm? Jam tangan!” celetuk Putri. “Jam tangan? Itu barang
kesukaannya Wijay?” tanya Bunda. “Iya Bunda, Wijay paling suka sama jam tangan” seru
Putri.
“Ya sudah, nanti Bunda antar ke toko jam tangan ya?” ucap Bunda. “Nanti? Sekarang
lah Bunda, undangannya kan jam 4?” ucap Putri mendesak Bundanya. “Hmm ya udah deh,
Bunda ganti baju dulu ya” ucap Bunda menuruti permintaannya. “Oke Bunda, jangan terlalu
lama yaa” kata Putri. Bundanya tak berkata apapun hanya membalas dengan sebuah
senyuman.
Putri meununggu sudah lebih dari 5 menit. “Bunda lama amat sih ganti bajunya” batin
Putri berkata. Tak lama dari itu, Bunda Putri keluar dari kamarnya. “Maaf ya, kalau lama”
ucap Bunda. “Ya tidak apa-apa” jawab Putri cuek. Selanjutnya Putri langsung menuju depan
rumah, dan Bunda Putri mengunci pintu rumah. Setelah semua itu selesai, Bunda dan Putri
pun berangkat ke toko jam tangan. Putri segera berlari ke dalam toko jam tersebut, dan
langsung melihat-lihat jam tangan yang dipajang. Seketika langkah Putri berhenti di depan
jam tangan yang berwarna hitam. Putri segera memanggil Bundanya “Bundaaa” ucap Putri
setengah berteriak. “Ada apa?” balas Bunda sambil menghampiri Putri. “Mau itu” ucap Putri
kembali sambil menunjuk jam tangan tersebut. “Yang itu?” tanya Bunda. “Iya” jawab Putri
singkat. “Baiklah” ucap Bunda menuruti. “Mas mas, saya ambil yang ini ya?” ucap Bunda
Putri kepada petugas toko. “Baik Bu” balas petugas toko dengan ramah. Setelah Bunda Putri
membayar di kasir, mereka pun pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Putri segera membungkus jam tangan tersebut dengan kertas
kado kesukaannya. Perlahan tapi pasti! Putri membungkus dengan sepenuh hati, karena
hadiah itu untuk sahabat kesayangannya. Seselesainya Putri membungkus kado, Putri
langsung mempersiapkan diri untuk pergi ke pesta ulang tahun Wijay. Lagi lagi, Putri kalah
dalam hal berpakaian. Putri bingung harus mengenakan pakaian yang mana. “Bundaa!”
teriaknya kencang. “Ada apa Put?” ujar Bunda sambil melangkah mendekati Putri. “Bundaa,
Putri tak mengerti harus memakai baju yang mana?” keluh Putri. “Gunakan saja yang
menurutmu layak untuk dipakai” ucap Bunda tersenyum. Putri pun tak mengeluarkan sepatah
kata pun. Putri terus mengukir apa maksud Bundanya tadi. “Mungkin memang aku harus
mengenakan apa yang selayaknya aku kenakan” batinnya tersenyum. Lalu Putri mengambil
baju yang berwarna Putih, celana jeans hitam, dan yang terakhir kerudung hitam. Tanpa
berpikir panjang, Putri langsung mandi dan mengenakan pakaian yang telah dipilihnya tadi.
Setelah dirinya siap, Putri pun langsung berangkat ke rumah Wijay.
Ternyata telah banyak orang yang sudah datang. “Putriii!” panggil seseorang. Putri
pun langsung mencari siapa yang memanggilnya tadi. Ternyata ia adalah teman sekelasnya,
Nikmah. “Ehh kamu Kem?” ucap Putri. “Ahh Nikem terus? Jelek tau!” sungut Nikmah kesal.
“Iya iya deh, ada apa?” tanya Putri. “Tidak, cuma mau nanya kamu kasih hadiah apa ke
Wijay?” ujar Nikmah. “Emm? Adadeh kepo banget sih” ledek Putri. “Yeee.. nimbang nanya
doang, pelit amat sih!” celetuk Nikmah. “Privasi dong” ucap Putri di telinga Nikmah dan
pergi meninggalkannya.
Putri mencari Wijay kesana kemari, namun tak ada hasil. Lelah pun menghampiri
Putri, akhirnya Putri pun memutuskan untuk duduk di bawah pohon mangga. “Nih
minumnya” seseorang menyodorkan minuman tepat di depan muka Putri. Serentak Putri
kaget, ternyata itu adalah Wijay. “Huuu Wijay ngagetin aja!” gerutu Putri. “Iya maaf maaf”
ucapnya meminta maaf.. “Iya deh gak apa-apa” ucapnya. “Oiya! Nih kadonya” celetuk Putri.
“Wahh.. Terimaksih sahabatku” ucapnya sambil tersenyum manis. “Oke deh sama-sama.
Wle” balas Putri sambil menulurkan lidahnya. “Jelek” celetuk Wijay. “Oh gitu, ya sudah aku
pulang!” ucap Putri dengan nada ngambek. “Jangan-jangan dong, aku kan cuma bercanda”
jelas Wijay. Putri tak membalas perkataannya lagi, ia hanya diam, diam dan diam.
Saatnya acara tiup lilin. Wijay sudah bersiap di depan kue ulang tahunnya. Semua
teman-temannya serempak menyanyikan lagu ulang tahun untuk Wijay. Setelah tiup lilin, kini
saatnya first cake. Ya! Wijay memberikan first cake itu untuk bundanya tercinta. Tak lupa
Wijay ucapkan terimakasih atas kehadiran teman-teman di acara pesta ulang tahunnya
tersebut.
Sebelum acaranya selesai, Wijay memberi pengumuman lewat pengeras suara.
“Teman-teman, ini hari ulang tahunku yang sangat amat spesial. Karena di acara ulang
tahunku sekarang ini, sahabat kesayanganku hadir disini” ucap Wijay. Wijay tak meneruskan
ucapannya tadi, ia diam mematung. Tapi tiba-tiba… “Putrii!” celetuknya dengan sangat keras.
“Hah?” ucap Putri tercengang. Semua mata langsung tertuju pada Putri yang berdiri di
samping Nikmah. “Sini Put, maju ke depan” ucap Bunda Wijay. “Apaan sih Jen? Kok aku?”
ucap Putri tak mengerti. “Kok Jen? Apalagi itu?” Wijay berbalik tanya. “Jen.. Wijen. Hahaha”
ucap Putri tertawa geli. “Huhh dasar Siput. Wle” ucap Wijay sambil menjulurkan lidahnya.
“Loh? Kok Siput?” ucapnya penasaran. “Yoi, Siputri. Hahaha” ucapnya tertawa pula. “Ah
sudahlah” ucap Putri lemas. “Haha, mulai sekarang aku panggil kamu Siput” ucap Wijay.
“Okee, aku juga panggil kamu Wijen!” balasnya tak mau kalah juga. “Baik, Siput dan Wijen”
ucap Wijay. “Hahahaha, itu konyol!” ujar Putri tertawa. “Yang penting happy” balas Wijay.
Teman-teman Wijay dan Putri pun ikut tertawa geli juga mendengar Wijen mengatakan hal
itu.

Antara Pendidikan dan Usaha

Masa muda adalah masa dimana orang mengalami gejolak dalam pemikiran dan batin-
nya. Begitu juga dengan ku, aku adalah orang yang juga mempunyai masalah dalam
menentukan arah dan tujuan atau fokus masa depanku.
Hari ini aku ingin bercerita tentang kebimbangan ku memilih pendidikan yang di
dahulukan atau lebih memilih bekerja untuk masa depan ekonomi ku sendiri dan keluargaku.
Aku saat ini baru saja lulus SMA hari yang sangat membahagiakan dalam hidupku.
Begitu bangganya aku akan pencapaian hidupku karena aku mendapat juara umum ujian
nasional yang di adakan sebulan yang lalu.
Tapi masalahnya aku bimbang dan bimbang mau apa setelah ini.dari orang tuaku sendiri,
orang tua menginginkan aku untuk melanjutkan kuliah di jawa, tetapi dari pikiran ku aku
ingin wirausaha, sesampainya nanti aku sukses baru aku melanjutkan kuliah ku.
Tapi apa daya orang tua ku tetap menginginkan aku agar melanjutkan kuliah ku di jawa
karena mereka menganggap di jawa itu pendidikannya berkualitas..
Tapi sudahlah aku sebenarnya tidak ingin berdebat dengan kedua orang tuaku karena aku
juga sebenarnya ingin membahagiakan kedua orang tuaku.
Akhirnya aku putuskan berbicara baik - baik dengan orang tua. Aku bilang pada bapak
dan ibu jika mereka aku mau melanjutkan sekolahku di jawa ada satu syarat yang harus orang
tuaku turuti.
Karena aku menganggap jika aku harus menuruti orangtua ku aku juga harus
mewujudkan cita cita dan keinginanku yaitu aku ingin wirausaha agar aku mempunyai
pengetahuan dimasa depan dan mempunyai kemampuan yang mumpuni dalam berusaha.
Akhirnya aku mengajukan kepada kedua orang tuaku agar jika aku ingin sekolah di jawa
aku juga ingin dibiayai dan di sokong modalnya karena aku ingin kuliah sambil membuka
usaha.
Akhirnya kedua orang tuaku sanggup dan aku di izinkan untuk kuliah sambil membuka
usaha sampingan agar aku memiliki kemampuan dalam usaha.
Tak lama aku berdebat dengan kedua orang tua ku, aku sebenarnya juga masih bingung
dimana aku harus melanjutkan kuliah ku, antara jogja dan malang.
Itu hal yang sulit lagi bagiku karena aku di lain sisi ingin juga sambil belajar bahasa jawa,
tetapi aku juga ingin belajar usaha seperti kakak sepupu ku dia kuliah sambil usaha
sampingan dan aku lihat sekarang dia sukses.
Setelah aku pikir, sekian lama akhirnya menetapkan malang sebagai tempatku berpijak
dan aku melihat malang mempunyai prospek usaha yang cukup menjanjikan di bidang usaha
industri pertanian dan pariwisata.
Setelah menentukan tempat dimana aku kuliah aku lantas berbicara pada ibu dan bapak
ku aku ingin melanjutkan kuliah di malang karena aku menganggap malang mempunyai
prospek yang menjanjikan.
Setelah aku berbicara dengan ibu dan bapak kami lantas menghitung semua jumlah biaya
kuliah selama setahun kedepan dan di tambah biaya permodalan aku buka usaha. Sekian lama
kami menghitung hitung akhirnya sampailah pada jumlah akhir yaitu 50 juta rupiah untuk
tahun pertama aku masuk kuliah dan sekaligus modal ku usaha.
Alhamdulillah tetapi akhirnya orang tuaku menyetujuinya dan aku akhirnya melanjutkan
kuliah ku dan belajar wirausaha di malang.
Berangkatlah aku bersama orangtua ku ke malang tepatnya setahun yang lalu dan hingga
saat ini aku masih kuliah di semester 3 dan aku telah mempunyai usaha sendiri dan aku bisa
membiayai kuliah ku sendiri dengan uang hasil ku bekerja dan wirausaha.
Begitu bangganya aku sampai sampai aku mengajak temanku yang lain untuk tidak hanya
mengejar nilai di bangku kuliah tetapi juga belajar wirausaha karena dengan wirausaha kita
dapat mewujudkan apa yang kita inginkan dan cita citakan.
Hari demi hari ku lalui dengan aku kuliah sambil wirausaha mandiri.
Sampailah aku pada tahun kedua karena saat ini aku baru semester 3 di salah satu universitas
negeri di malang.
Temanku pernah mengejek ku bagaimana mungkin aku dapat mengembangkan usaha ku
tetapi aku tidak gampang menyerah, aku pernah gagal di tahun pertama tetapi aku sama sekali
tidak menyerah hingga akhirnya aku sukses di tahun kedua.
“Wah… bangganya dalam hatiku aku kuliah dengan biaya sendiri dan dapat
mengembangkan minat dan bakat ku di bidang wirausaha.
Sampai saat ini aku mempunyai dua bidang usaha yaitu dibidang agro industri dan usaha
retail atau perdagangan.
Cita-cita ku selanjutnya aku ingin mendirikan sebuah pabrik dan mendirikan sebuah
perseroan terbatas, tapi itu butuh modal besar. Fokus ku saat ini adalah mengembangkan
kedua sub bidang usaha ku. Sampai disini dulu ya kawan kawan cerita ku. ( wirausaha)
Sebatas Patok Tenda

Lagu itu perlahan mengalun di music player-ku. Aku menghentikan aktivitas minum
kopiku sejenak, hanya untuk sekedar mengenang masa laluku dengan menikmati lagu itu.
Kudengar jelas suaraku yang walaupun tidak bagus, menyanyikan lagu itu dengan begitu
tulusnya.
Sejenak, otakku berseluncur menembus masa lalu. Aku menelaah dan menelusuri memori
tentang perkemahan 8 tahun silam, ketika diriku yang sama sekali tidak peduli dengan hal-hal
berbau asmara mulai merasakan cinta untuk pertama kalinya.
Secuil kenangan mulai menemaniku. Aku tersenyum mengingat betapa dulu diriku sangat
membenci pramuka. Ku tersenyum semakin lebar mengingat kenangan betapa aku begitu
gigih untuk berusaha kabur setiap hari Sabtu, ketika diadakannya latihan pramuka di
sekolahku. Dan aku tersenyum sambil memejamkan mataku, merasakan cinta yang saat ini
masih terpendam dalam hatiku, ketika mengingat bagaimana pramuka yang sangat kuhindari
memperkenalkanku pada cinta.
Juni 2008
“Namaku Cocos Nucifera, kakak-kakak sekalian bisa memanggilku apa saja.” ujarku dengan
enggan. Aku memang selalu merasa minder ketika memperkenalkan diri. Sebagai seorang
pramuka penegak yang masih mencari jati diri, kadang aku berpikir kenapa orangtuaku
sebegitu bodohnya ketika memberiku nama yang sama persis dengan nama ilmiah kelapa.
Semua penegak di kelompokku menatapku dan tertegun, merasa aneh dengan namaku. Yah,
untungnya aku sudah bisa dengan reaksi seperti itu. Kemudian mereka sepakat memanggilku
“Coco”.
Kala itu aku sedang mengikuti ajang Raimuna nasional ke-9 di Cibubur, suatu kegiatan
yang benar-benar ‘wow’ menurut teman-teman di organisasi kepramukaan yang aku ikuti.
Aku sendiri heran bagaimana aku bisa lolos seleksi kegiatan bergengsi ini, mengingat dulunya
aku sangat membenci pramuka dan tidak tau apa pun mengenainya. Pembina pramuka di
gugus depanku memasukkan namaku dalam daftar peserta seleksi tanpa meminta
konfirmasiku terlebih dahulu. Dan ketika sudah satu minggu sebelum seleksi tahap pertama,
beliau baru memberitahuku. Beliau meminta kesungguhanku dalam mengikuti seleksi ini, dan
entah keberuntungan apa yang menyertaiku, aku bisa lolos hingga berangkat ke Jakarta.
Aku melalui 10 hari yang berharga dalam hidupku. Bagaimana aku mulai mencintai apa
yang dulunya kubenci, bagaimana aku mempelajari caranya mencintai alam dan seisinya,
bagaimana aku dibina untuk tidak mengeluh dalam segala keadaan. Aku mengenal solidaritas
yang tanpa batas, aku mendapat banyak teman yang sudah menjadi saudara dari berbagai
pulau, dan aku mendapat… cinta pertamaku.
“Kau butuh bantuan?”
Itulah pertama kali aku mendengar suaranya. Ketika aku tidak bisa melintasi sungai
karena kakiku kram, sementara aku harus mengejar ketertinggalanku. Sepatuku sudah penuh
dengan lumpur dan aku tidak bisa melangkah, aku pun berjalan dengan terseok-seok sambil
menahan sakit di kakiku.
Ia datang kepadaku ketika aku tersandung batu dan terjatuh, mengakibatkan luka baru di
lututku. Aku menoleh ke arahnya, dan terpana. “Mm, kurasa aku tidak apa-apa,” ujarku
bohong. Entah kenapa aku ingin terlihat kuat di hadapannya.
duduk di depanku dan memeriksa kakiku. “Kakimu kram, ya? Dan lututmu terluka.” Aku
meringis ketika ia menempelkan es batu yang entah didapat darimana ke kakiku yang
membengkak. Sementara ia yang tidak kukenal ini mengobatiku, aku mengamati wajahnya
lamat-lamat.
Rambut yang basah karena terkena hujan, terlihat membingkai wajahnya yang persegi.
Kulitnya putih sekali, bersih tanpa jerawat. Matanya berwarna cokelat hazel, membuatku
menyangka ia mempunyai buyut seorang Eropa.
“Masih sakit dibuat jalan?” tanyanya ketika ia selesai mengobati kakiku. Aku
memaksakan diri untuk berdiri, dan ternyata rasa sakitnya memang berkurang.
“Kau tertinggal gara-gara aku,” ujarku merasa bersalah.
Dia tersenyum. “Ingat dasadharma nomor 5? Rela menolong dan tabah.” katanya.
“Selama aku bisa menolong, akan kulakukan.”
Aku terpesona dengan kemampuannya berkata-kata. “Terima kasih,” ujarku tulus.
“Sama-sama,” katanya. Lalu ia menjulurkan tangannya ke arahku, “I Putu Renald,”
ujarnya memperkenalkan diri.
Aku menjabat tangannya. “Cocos Nucifera.”
Ia mengangkat alisnya, untuk pertama kalinya aku mengharapkan reaksi positif dari seseorang
mengenai namaku. “Kelapa, ya?” ia malah bertanya. Aku mengangguk. “Bagus sekali.”
Aku menghembuskan napasku yang tanpa sadar telah kutahan. Aku senang mendengar
pujian klasik itu. “Terima kasih. Kau bisa memanggilku apa saja.”
“Nucy,” panggilnya. Aku menoleh. Untuk pertama kalinya pula, aku menyukai nama
panggilan yang diberikan seseorang. Terdengar sangat lucu, menurutku. Ternyata namaku
tidak terlalu buruk.
“Aku suka nama panggilan itu, I.” kataku, sembari memberikan nama panggilanku
untuknya.
“I?” tanyanya, lalu tertawa.
Aku tersenyum, lalu tertawa kecil juga. “Kuharap kau tidak keberatan.”
“Sama sekali tidak, tentu saja.” ujar I. “Aku menyukainya.”
Malam itu aku tidak bisa terlelap. Di luar dingin, dingin itu menembus ke dalam tendaku.
Sudah 3 hari aku berada di Bumi Perkemahan Cibubur ini, berbagai kegiatan menyenangkan
telah kulalui. Kadang, moment satu tim dengan I membuatku semangat dalam menjalani
kegiatan itu. Entah kenapa, aku suka ketika I berada di dekatku.
Aku berjalan-jalan di bawah kilau bintang-bintang, menginjak rumput-rumput basah khas
bumi perkemahan, dan menelusuri satu per satu tenda yang terbangun di sana. Kulihat nyala
api menari-nari di kejauhan, membuatku melangkah ke arahnya untuk mencari kehangatan.
Ketika aku semakin mendekat, aku mendapati sosok yang kukenal sedang duduk sendirian di
sana.
“I?”
Sosok yang kupanggil menoleh. “Sedang apa kau malam-malam begini, Nucy?” tanyanya
ketika menyadari sosok yang memanggilnya adalah aku.
Aku menghampirinya, memandang ke arah nyala api unggun itu. “Aku mencari
kehangatan,” jawabku dramatis.
I menggeser duduknya, mempersilahkanku untuk duduk di batang pohon besar yang telah
tumbang itu, di sisinya. Aku mencondongkan badanku ke arah sumber kehangatan itu,
menggosokkan kedua tanganku lalu menempelkannya di pipi.

“Kau suka api, ya?” tanyanya, membuyarkan konsentrasiku pada api itu. Satu hal yang
dulunya tidak kusadari, kini terungkap. “Iya, ya.. ternyata aku suka api.” jawabku.
“Api itu, ketika kecil membawa kedamaian.. Jika terlalu besar, ia membawa celaka,” ujar
I berfilosofi.
“Sama seperti cinta. Jika terlalu cinta, malah membawa rasa sakit.. Rindu yang
berkepanjangan. Depresi akut, dan rasa hampa yang kekal.” Aku tidak tau telah mendapatkan
kekuatan dari mana, hingga bisa berkata-kata se’mahal’ itu.
I menoleh ke arahku dan tersenyum, lalu bertanya menggoda. “Ciee.. Lagi jatuh cinta
ya?”
Wajahku memerah, entah karena hangat yang menerpaku atau gara-gara ucapan I
barusan. “Aku tidak tau apa itu cinta.”
“Mungkin aku bisa mengajarkannya padamu,” ujar I, membuat wajahku semakin
memerah.
Berawal dari perkemahan ini
Rasa itu pun hadir di hatiku
Menghiasi relung sukmaku
Cinta bersemi di bumi perkemahan

2 Juli 2008, usiaku genap tujuh belas tahun. Katanya, usia tujuh belas adalah ketika kau
menjalani masa-masa termanis dalam hidupmu. Masa ketika kau mengenal segala yang belum
kau kenal, masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Katanya, usia tujuh belas adalah
yang paling sakral, karenanya tak sedikit remaja berkecukupan di luar sana yang
merayakannya secara besar-besaran.
Tujuh belas tahunku kurayakan di bumi Cibubur ini, bersama sahabat-sahabat baruku.
Mereka memberiku perayaan ulang tahun yang benar-benar berkesan, bagaimana dalam satu
hari itu aku merasa sangat apes, semua yang kulakukan selalu salah, bagaimana para panitia
beserta pemateri ikut-ikutan mengerjaiku, sampai aku terheran-heran apa yang telah
kulakukan sampai mereka memperlakukanku seperti itu.
Aku menangis di jalan raya ketika mengetahui I juga mencelaku hari itu, ia tidak
membelaku sama sekali, seperti yang kuharapkan. Aku meraung-raung, mogok makan dan
berdiam diri di dalam tenda, memohon-mohon pada panitia untuk diperbolehkan pulang lebih
awal karena lelah diperlakukan dengan kejam—menurutku hal itu kejam, mengingat aku
bukanlah gadis yang suka dikasari, dibentak, atau dimarahi—tetapi, bukannya mengizinkanku
kembali, mereka malah tambah mengerjaiku.
Aku menyadari bahwa mereka tidak benar-benar sekejam itu ketika malam harinya, pada
pesta api unggun, aku mendengar namaku disebut oleh panitia, mereka memintaku
meninggalkan barisan dan maju ke tengah lapangan. Aku berjalan ke depan dengan pasrah.
Ketika aku sudah berada di depan ribuan peserta dari berbagai daerah itu, aku melihat seorang
pemateri tua berjalan ke arahku membawa sebuah kotak, dan ketika kulihat isinya, tersaji
sebuah kue tart menggiurkan dengan lilin berangka satu dan tujuh yang menyala. Seketika
semua orang di Bumi Perkemahan Cibubur itu menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun
untukku, dan aku pun sadar hari itu adalah hari ulang tahunku yang ketujuhbelas.
Aku menangis lagi untuk kesekian kalinya di hari kelima pelaksanaan Raimuna Nasional
kesembilan itu, tetapi kali ini tangis yang berbeda. Aku terlalu bahagia, terlalu terharu, sampai
tidak kuat membendung air mataku.
Setelah acara api unggun massal itu, pada tengah malamnya, I memberikan sesuatu
untukku. Sebuah gantungan kunci dari kayu, berbentuk tunas kelapa.
“Kenapa kau diberi nama seperti nama kelapa? Karena orangtuamu ingin kau menjadi
seperti kelapa. Bermanfaat dari ujung akar sampai ujung daunnya. Mereka ingin kau bisa
tumbuh dan berkembang di mana saja, sama seperti kelapa. Mereka ingin kau bisa menebar
kebaikan untuk semua makhluk, makanya kau harus tumbuh dengan baik. Jangan pernah
menyesal dengan nama itu, Cocos Nucifera.”
Aku tertegun. I Putu Renald, yang bahkan belum lama kukenal, mampu menjelaskan
alasan dibalik pemberian nama yang selama ini kuanggap aneh itu. Sekali lagi aku menangis,
menyesali kebodohanku karena selalu menghujat kedua orangtuaku yang telah memberiku
nama yang sebenarnya sarat makna itu. I merengkuhku, kehangatan tubuhnya menjalar,
bahkan ia lebih hangat daripada api unggun kecil di depanku itu, api yang selalu menemani
kami setiap malam.
Oh mungkinkah rasa cinta ini
akan abadi untuk selamanya
Rasa ini semakin membelenggu
Cinta lokasi di bumi perkemahan
Empat hari setelah hari ulang tahunku, aku masih menikmati malam terakhirku di Bumi
Perkemahan Cibubur. Masih bersama api unggun kecil yang menemani kami di malam-
malam sebelumnya. Masih bersama batang pohon tua tempat kami beristirahat melepas lelah.
Masih bersama I Putu Renald, yang kini kusadari, setelah 8 tahun berlalu, telah menjadi cinta
pertamaku.
Sejak malam ketiga itu, kala aku berjalan-jalan seorang diri dan bertemu I, aku dan I
selalu menghabiskan malam berdua bersama api unggun itu. Kami bercengkerama di bawah
gugus bintang, bercerita apa pun yang telah kami lalui hari-hari itu. Aku suka cara I
mendengarkan ceritaku. Aku suka cara I menatap mataku. Aku suka mata I. Aku juga suka
kala I tertawa lepas mendengar leluconku. Tanpa kusadari, aku suka I.
“Tempo hari kau berkata akan mengajariku tentang cinta,” semakin malam, topik bahasan
kami semakin mendalam. Tanpa ragu-ragu, aku berani menanyakan itu kepada I.
I menghentikan kegiatannya membakar marsmellow itu, kemudian menatapku lekat-
lekat. “Kupikir setelah malam-malam yang telah kita lalui bersama, kau sudah mengenal apa
itu cinta,”
Hatiku berdebar-debar mendengar pernyataan I barusan. “Cinta itu…”
“Ketika kau merasa nyaman bersama sosok tersebut.” sambung I. “Ketika kau merasa
ada yang kurang ketika ia tidak bersamamu. Ketika ia hilang darimu, kau merasa hampa.” I
termenung. “Bagiku, itu definisi cinta.”
Aku menunduk, meresapi kata-katanya. Kini kusadari aku telah mencintai I.
“Aku juga merasakannya, Nucy.” Seakan bisa mendengar isi hatiku, I mengutarakan
perasaannya. “Kau tidak bertepuk sebelah tangan.”
Kemudian I mengeluarkan radio mininya. Ia memasukkan memory card-nya ke dalam
slot di radio itu, dan terdengarlah lagu yang mewakili perasaan kami.
Kami berdua menyanyikan lagu itu. Sebatas Patok Tenda. Di bawah naungan Bumi
Perkemahan Cibubur, di atas tanah yang becek, disaksikan oleh api unggun yang seakan ikut
menari-nari, kami menyatakan perasaan kami lewat lagu itu.
Akankah cintaku sebatas patok tenda
Tenda terbongkar sayonara cinta?
Tanpa sadar, aku ikut menyanyikan bagian terakhir lagu itu. Sekarang aku sudah
berusia 24 tahun, namun cintaku kepada I Putu Renald masih utuh. Aku masih mencintainya.
Sepuluh hari yang berharga itu, masih melekat di benakku. Gantungan kunci berbentuk tunas
kelapa, masih terpajang menghiasi tas Gucci-ku. Kopi di depanku mulai dingin, tetapi aku
tidak peduli. Aku masih ingin mengenang kisah tujuh belas tahunku.
“Akankah cintaku sebatas patok tenda?” aku mendengar suara seseorang di belakangku
ikut menyanyikan lagu yang kudengarkan.
Aku menoleh dan mengenali mata cokelat hazel yang menatapku lurus-lurus itu. I
Putu Renald sedang di sana, memandangku dengan syahdu, membuatku ingin berlari dan
memeluknya.
Namun, yang kami lakukan hanya menyanyikan bait terakhir dari lagu yang kami
nyanyikan bersama 8 tahun lalu,
“Tenda terbongkar, sayonara cinta.”
Aku Si Nyamuk Nakal

Aku adalah hewan nyamuk. Tubuhku sangat kecil dan kakiku belang berwarna hitam
putih. Tempat tinggalku berada di bawah kolong meja yang sangat gelap. Aku sangat
menyukai ruang yang pengap dan gelap. Dan tempat favoritku adalah ruangan yang berisi
banyak air yang didasar sana ada jentik-jentiknya, itu adalah calon saudaraku. Manusia sering
menyebut tempat favoritku itu dengan nama ‘Kamar Mandi’.
Oh iya, namaku adalah Egy. Aku termasuk hewan berjenis Aedes Aegypti. Entah
kenapa, aku senang sekali menghisap darah manusia yang gemuk dan yang bau badannya
yang sangat menyengat. Aku sangat senang sekali dengan darah manusia-manusia seperti itu.
Pada sekitar jam 09.00-11.00 dan 15.00-18.00 aku mencari ciri-ciri manusia yang seperti itu
untuk santapan makananku.
Dan hari ini, tepat pada sore hari, aku sedang berburu mencari manusia ditempat-
tempat yang pengap. Karena aku sudah berkeliling dan tidak menemukan manusia satu pun,
aku memutuskan untuk menunggu dan bersembunyi dibalik kelambu gelap itu.
Beberapa lama kemudian, aku mendengar ada suara langkah manusia yang sedang
berjalan kemari, bahkan aku juga mencium bau kotor yang sangat aku sukai. Aku mengintip
manusia itu, kemudian aku terbang pelan-pelan mendekat kearahnya. Aku memperhatikan
manusia itu, sepertinya ia tidak peduli pada sekitarnya.
Perlahan-lahan aku menginjakkan kakiku ke kulitnya yang tebal dan kutancapkan
mulutku menusuk kulit tebal itu. Hmm.. santapanku hari ini lezat sekali, manusia kotor ini
benar-benar mempunyai darah yang enak sekali, belum pernah aku merasakan kenikmatan ini
sebelumnya.
Ketika sedang enak-enaknya aku menghisap darahnya, ada sesuatu yang besar dan
gelap yang akan membunuhku. Dengan cepat, aku segera pergi dan menghindar dari manusia
itu. Hm, walau singkat yang penting santapanku hari ini nikmat pun sudah cukup sekali.
Haha, hei manusia, janganlah kau suka bersih-bersih, karena kamu memberikanku darah yang
sangat sedap sekali.
Esok harinya, ketika aku akan menghisap darah anak itu lagi, kulitnya begitu panas
dingin. Dan begitu kutancapkan mulutku pada kulitnya, darah dia sudah tak enak lagi seperti
kemarin. Mungkin sekarang ia sudah terkena virus yang kubawa. Haha, rasakan kau manusia.
Terimakasih telah menyediakanku makanan selezat itu.
Mutiara Kehidupan

Siang yang teramat cerah membuat Rendra tak henti mengusap keringat di dahinya, ia
harus berjalan puluhan kilometer untuk menempuh langkah ke sekolah SD satu-satunya yang
ada di wilayah tempat tinggalnya. “Kamu ini kenapa, apa yang akan kamu kejar dari sekolah
yang membutuhkan banyak biaya itu” sang ayah selama ini selalu protes terhadap keinginan
Rendra untuk tetap sekolah. “Sekolah itu bisa membuat keluarga kita lebih baik, saya yakin
ayah akan mengerti jika suatu saat saya tidak lagi menjadi anak tukang tarik bantalan yang
miskin” meski begitu sang ayah tetap tidak suka dengan pendirian putranya. Ibunda yang
lemah hanya bisa memeluk dan menguatkan, karena di dalam rumah ini ayahlah yang
berperan mengatur segalanya.
Malam ini Rendra membaca buku catatannya dengan lampu yang berbahan dasar
minyak tanah, karena desa terpencil itu belum terjamah kemajuan teknologi Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir. Ibunda duduk di tempat tidur reyot peninggalan kakek, “Sedang
belajar apa?”, “Bahasa Inggris, Bu”, “Apa kamu tidak mau membantu bapakmu bekerja?”,
“Menjadi kuli tarik bantalan, Bu?”, “Iya” Ibunda membelai halus rambut putra
kesayangannya, “Rendra, kamu adalah putra satu-satunya keluarga ini yang akan meneruskan
perjuangan bapakmu” sang bunda terlihat sedih, Rendra yang duduk di bangku SD kelas 5 itu
memegang jemari malaikat yang begitu di cintainya, “Bu, saya tidak akan melupakan
perjuangan bapak, tetapi apakah salah jika saya ingin membahagiakan ibu dan bapak dengan
cara lain” sang ibu menghela nafas resah, “Tapi ibu tidak ada dana untuk meneruskan sekolah
kamu”, “Pasti ada jalan, Bu” dua insan itu berpelukan dalam dekapan sunyi. Keinginan
Rendra untuk meningkatkan mutu keluarganya begitu besar, putra Dondo itu ingin menjadi
salah satu putra sukses di pulau Sulawesi.
Kelulusan sudah di depan mata, baru tadi pagi Rendra didaulat menjadi lulusan terbaik
SD Negeri Lampasio. Tetapi kebahagiaannya harus surut ketika ia mendengar berita duka dari
tetangganya, “Ada apa, Bu?” tanya Rendra polos, ia masih memegang piagam dari
sekolahnya yang membuat ia percaya ada jalan menuju sukses. Ibunda memeluk putranya
dengan sedih, ia tak sanggup menguntai kata untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi
pada kepala keluarga yang selama ini mereka cintai. Meski harus bergelut dengan terik
matahari, keringat tak mampu menandingi banjirnya air mata Rendra di atas pembaringan
sang ayah. “Ayah, maafkan Rendra yang selama ini telah mengecewakan ayah” ia berada di
tempat itu seorang diri, “Rendra tidak akan membantah apa yang ibu katakan, karena dulu
Rendra telah banyak membuat ayah kecewa. Maafkan Rendra” kaki kecil itu melangkah
menuju rumah, kampung halaman yang menjadi pelindungnya selama ini. “Bagaimana ini,
saya tidak ada urusan dengan bapak yang mati karena proyek saya lebih berharga” tuan kayu
itu mulai marah di hadapan wanita setengah renta yang paling Rendra kasihi. Sebagai putra
satu-satunya, ia harus bisa menjadi tulang punggung keluarga mengingat keadaan ibunya
sudah tidak memungkinkan untuk bekerja. “Baik, saya akan masuk menggantikan bapak”
ucap Rendra lantang, “Rendra, kamu akan masuk ke SMP Negeri”, “Bu, sebagai putra yang
baik saya ingin membuat ayah bangga karena saya bisa menjaga ibu yang telah ayah titipkan”
sang bunda memeluk putra kesayangannya, ia menangis sedih karena putranya yang sudah
berusaha keras mendapat beasiswa harus mengubur dalam-dalam keinginannya melanjutkan
pendidikan.
Hari demi hari Rendra bekerja begitu keras di banding apa yang ayahnya kerjakan
selama ini. Tenaga mudanya yang kuat sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan pihak atas,
“Hei Ren, apa kamu tidak mau melanjutkan sekolah?” tanya pak Gusman teman akrab
ayahnya, “Mau pak, tapi apa yang saya harapkan lagi, bapak sudah tidak ada dan ibu tidak
mungkin bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami” terkadang Rendra memang iri melihat
teman-temannya memakai seragam putih biru dengan bangganya. Tetapi sebagai putra Dondo
yang sebagian besar pekerjaannya ada pada pabrik kayu, ia harus rela menjadi kuli bantalan.
Sang bunda semakin renta, beberapa waktu ini ia sering batuk mengeluarkan darah, membuat
Rendra juga semakin jarang masuk kerja karena harus merawat satu-satunya malaikat yang
tersisa.

“Rendra putraku” suara bunda tak sesegar biasanya, ia mulai terlihat kurus dan pucat,
“Iya Bu, Rendra di sini dan akan selalu di sini menemani ibu” batuk kecil yang kadang
membuat malaikat itu tidak bisa tidur sering datang menyerang. “Ibu bangga pada putra
kesayangan ibu” Rendra membelai tangan kusut itu, “Jika ibu tiada, maukah kau berjanji
kepada ibumu yang bodoh ini?”, “Ibu tidak boleh mengatakan itu, ibu harus tetap bersama
Rendra dan melihat bagaimana Rendra akan menjadi orang sukses” sang ibunda menggeleng,
“Orang dondo tak akan berubah nak…” suara itu semakin melemah, “Tak akan berubah… tak
akan jika tetap menarik bantalan…” Rendra tak kuasa membendung air matanya, “Jadilah
orang sukses dengan pendidikanmu, buatlah ibu bangga dengan apa yang kau dapatkan dari
ilmumu” Rendra pun semakin terisak, “Jadilah putra kesayangan ibu, putra kesayangan
bangsa ini…” wanita yang amat dikasihinya harus kembali menggores luka teramat dalam di
hati Rendra, “Ibu…” malaikat itu dimakamkan di samping makam suaminya, Rendra kembali
menjadi orang terakhir yang menunggu makam itu.

Langkah Rendra semakin melemah, ketika ia hendak jatuh sebuah tangan nan kokoh
menopangnya. “Apa? Bapak ingin menyekolahkan saya?”, “Iya, kamu adalah siswa
berprestasi, saya tidak ingin otak kamu harus berhenti sampai akhirnya tumpul tanpa ada
usaha”.

Semenjak hari itu Rendra giat belajar dan mengikuti les untuk menimba ilmu sebaik
mungkin demi menjaga amah malaikat hatinya, ia berhasil lulus SMP, lulus SMA dan orang
berhati mulia yang sejatinya adalah kepala sekolah SD yang begitu tanggap terhadap prestasi
Rendra, meminta putra dondo itu untuk melanjutkan pendidikannya di Angkatan Bersenjata
Repulik Indonesia. Karena giat dan gigih serta semangat yang dimiliki Rendra, ia berhasil
menjadi seorang Brimob yang disegani karena kedisiplinan yang tinggi.
Hari ini ia pergi ke suatu tempat dimana kedua orang tuanya diistirahatkan beberapa
tahun yang lalu, ia duduk di samping makam ayahnya, “Assalamu’alaikum ayah, ini anakmu..
anak yang selalu membuatmu jengkel, karena tak pernah mengikuti ucapanmu” Rendra
merasa dadanya sesak, “Anak yang ingin membuatmu bahagia, karena anakmu yakin bisa
menembus cakrawala dengan pendidikan” beberapa saat kemudian ia beralih ke makam
ibundanya, “Ibu… Rendra datang…” di sini air matanya mulai membanjir, “Rendra datang
untuk membuktikan janji Rendra pada ibu, Rendra sudah menjadi orang, Bu” ia menunjukkan
tanda identitasnya sebagai seorang Angakatan, “Rendra sangat menyayangi ibu, Rendra akan
menjadi putra kebanggaan ibu yang selalu menjadi pelita penerang surgamu…” air mata itu
adalah air mata pengingat, dimana orangtualah yang selalu menjadi penolong disaat
kesulitannya menentukan arah. Sebagai seorang putra, Rendra ingin menyejahterakan
kehidupan keluarga dan saudaranya yang masih tinggal di Kampung Tengah. Kampung yang
menjadi tempat lahirnya, kampung yang menobatkan ayahnya menjadi tukang tarik bantalan
dan kampung yang menjadi pemicunya untuk sukses seperti saat ini. Hari ini Rendra
membuktikan bahwa pendidikan adalah mutiara yang harus dikejar dan diperjuangakan, agar
hidup manusia tidak dijajah oleh kebodohan dan kemiskinan
Cinta Dalam Rindu

Aku menatap tempat yang ada di hadapanku lekat. Sebuah tempat yang
mengingatkanku pada sepotong episode masa laluku. Tempat sederhana untuk melepas
penatku. Sebuah warung yang tepat berada di samping SMA ku dulu. Semua nampak sama,
namun keadaan dan waktu yang kini berbeda. Jika dulu aku adalah seorang anak SMA, kini
akulah yang akan menjadi panutan sekolah ini. Kembali ke SMA ini sebagai mahasiswa
magang.

Aku teringat kembali akan masa itu. Tepat di seberang bangku yang kududuki dia berdiri
dan tersenyum padaku.
“Kakak gak makan?”
Aku menatap ke arah suara itu, namun penglihatanku tidak salah kali ini, dialah yang
menyapaku, anak laki-laki berseragam SMP itu. Ya. Awal pertemuanku dengan seorang
Taufik Akbari. Anak kelas VII SMP yang berada satu yayasan dengan sekolahku.
Aku masih mengiingatnya, pertanyaan yang tidak biasa ditanyakan oleh orang yang
belum dikenal.

Dari pertemuan awal itu, aku tak pernah menyangka kita akan berteman. Aku tak
pernah menyangka kau menganggapku sebagai seorang kakak. dia sangat peduli dan
perhatian layaknya seorang adik. Tapi aku merasakannya dengan hal ya berbeda, hingga saat
itu sampai sekarang aku tak sekedar mengaguminya, namun aku telah jatuh hati terhadapnya.
Beberapa bulan terakhir ini aku sering memimpikanya. Aku merindukannya. Segenap
hatiku ingin menemui dirinya dan menyampaikan perasaan ini kepadanya. Namun nyatanya
aku hanya diam, masih memandangnya di kejauhan sebagai anak SMA.

“Dek, aku merindukanmu,” tanpa sadar saat mengatakaannya.

Ketika aku tau dia melanjutkan sekolah di SMA ini, aku mulai kembali
mengenangnya. Aku memang berpapasan dengannya. Penampilannya tidak jauh berbeda dari
yang dulun, hanya saja tubuhnya jauh lebih tinggi dari yang kubayangkan.
Dia tidak mengenalku. Tentu saja karena aku mengubah drastis penampilanku.
Maksudku aku berhijrah untuk lebih baik, dan dia alasan mengapa aku berhijrah. Untuk
melupakan perasaanku dan tentu saja untuk mengharap ridha-Nya.

“Kakak!” lamunanku buyar seketika saat mendengar suara seseorang memanggilku.


“apa kabar?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya di hadapanku. Aku hanya
menempelkan kedua telapak tanganku di depan dada untuk membalasnya.
aku menahan tangisku. Memang mataku terlihat sembab di hadapannya, namun
setidaknya dia tidak bisa melihat bekas tangis yang kubuat di balik masker ini.
“Alhamdulillah baik!” sahutku.
“kakak masih ingat aku kan?” tanyanya. Aku mengangguk memberikan jawaban
padanya. Benar-benar jelas, dia berdiri di hadapanku sekarang. Laki-laki yang sedang berdiri
di hadapanku ini adalah dia yang kulamunkan tadi.

Hening, setelah obrolan singkat itu kami sama-sama diam di tempat masing masing.
Dia yang sedang duduk di sebelahku dengan jarak dekat dan menatap lurus ke arah gorengan
yang sudah dihidangkan. Dia tidak memilih namun tetap saja membuatku tak nyaman dengan
diam menatap gorengan itu. Aku ingin bicara namun terlalu canggung akibat lama tidak
bertemu. Apa yang harus kulakukan sekarang.

“Aku..” kami sama-sama angkat bicara. “Kamu duluan,” kataku kemudian.


“Kak, aku mau ngomong, tapi…” kalimatnya terhenti, “bisakah di tempat lain saja?”
tawarnya.
“asal tempat itu tidak terlalu sepi.” Kataku dengan tenang. Kini aku bisa mengontrol
jantungku yang dari tadi terus berdebar.
Dia mengangguk, namun setelah itu diam. Sungguh aku tak mengerti maksud dari
perbuatannya ini. Sebenarnya apa yang ingi dia katakan? Dan mengapa diam saja? Ah, dia
tetap seperti dulu, sangat susah menebak kemauanya.
“ini!” dia memberikanku secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat. Tunggu!
Untuk apa dan sejak kapan dia menulis ini?
“kakak datang ya, itu perayaan kecil-kecilan ulang tahunku. Aku ingin memberitahu
sesuatu di hari itu. Aku harap kakak mau datang.” Katanya lalu beranjak pergi dari tempatnya.
Aku hanya memandang kosong kertas itu, berpikir keras maksud dirinya memintaku datang.
Tumben Han mau jalan siang-siang, biasanya mager tuh di rumah.” Ejek Faris, adik
pertamaku yang super duper dingin tapi perhatian.
“Ya mau aja, cepet yo antar aku,” paksaku. Faris mengangguk lalu mengambil hoodle
dan kunci sepeda motornya yang tergantung di belakang pintu.

“Kalo pulang calling ya” katanya setelah sampai di tujuan yang aku pinta. Aku pun
mengangguk memberi jawaban.

Kali ini aku berada di sebuah kafe sederhana yang ditunjukkan oleh Taufik di kertas
itu. Entah kenapa aku memenuhi undangannya walaupun tak tau tujuannya apa. Namun saat
ini aku hanya berfikir positif ‘dia kangen’ atau ‘karena aku kakaknya’. Mungkin terlalu pe-de
mengatakannya, namun itulah yang ada di benakku mengingat hubungan zona-persaudaraan
yang absurd ini.

“kakak duduk dulu” pintanya saat melihat diriku. Saat ini aku menatap dirinya yang
mengenakan jas dengan kaos putih polos di dalamnya. Terlalu banyak perubahan dari
penampilannya sekarang. Ya, tentu saja. Dia ini kan sudah SMA, bukan anak SMP lagi, jelas
saja berubah. Aku terlalu mikir yang aneh-aneh sekarang.

“Halo teman-teman dan semuanya yang sudah memenuhi undangan, Gue sangat
berterima kasih atas kedatangannya di hari spesial ini. Sebelum menikmati party ini saya
ingin menyayikan lagu khusus untuk seseorang yang ada di sana” dia menunjuk ke arah
tempat aku duduk, namun tidak hanya aku saja yang duduk di rule ini, ada seorang gadis lagi
yang menurutku sangat cantik dengan dress casual yang dia kenakan.
Setelah mengatakannya, gadis itu tersenyum sambil menikmati lagu yang sedang
dinyanyikannya. Mungkinkah lagu itu untuk gadis itu? Atau karena mereka memiliki
hubungan spesial?

Dibandingkan menikmati lagu ini, aku lebih penasaran lagi dengan gadis di
hadapunku melihat dari tatapannya terhadap Taufik, dia seperti memiliki hubungan dan
menurutku dia dan gadis itu sangatlah cocok.

“Taufik!” teriak gadis itu memanggil Taufik. Taufik turun dari panggung, dia
melambaikan tangan dan tersenyum di hadapan gadis itu. Aku benar-benar tidak suka melihat
ini sekarang. Entahlah, aku juga merasa aneh dengan diriku sendiri.

Taufik menoleh ke arahku, aku mencoba bersikap biasa dan berpura-pura sibuk
dengan handphone di tanganku, kubuka pesan dan menulis “jemput aku di kafe yang tadi” dan
menekan tobol kirim. Aku benar-benar ingin pulang secepatnya.

“Kak, eh…” katanya menoleh lagi ke arah gadis itu, “Ada apa Shila?” tanyanya
kepada gadis tadi yang bernama Shila. Shila memeluk Taufik yang berdiri di hadapan meja
tempat aku duduk.
“Ya Allah, tolong halangi mereka berbuat dosa.”
‘Han, aku udah nyampe di depan kafe’ pesan dari Faris membuatku berbinar.
Akhirnya aku bebas dari pandangan ini. Aku segera bangkit dari tempatku dan menghiraukan
mereka berdua.

Aku bisa mendengar kehebohan di dalam kafe itu. Sungguh, aku tidak suka dengan
acara yang seperti ii. Ulang tahun harusnya dijadikan intropeksi diri dan merubah pribadi
lebih baik lagi, bukan seperti ini. Pesta, lagu, dan apa-apaan pelukan tadi?
Aku salah melupakannya, seharusnya aku tetap membiarkan perasaanku dan
mengubahnya lebih baik lagi, bukan yang seperti ini. Ternyata cinta yang kuharapkan tidak
tepat apa yang kupikirkan. Rindu yang menggebu tidak sampai kepada cinta yang tepat pula.
Sekarang apa aku harus berfikir positif melihat itu. Atau perasaanku saja yang berlebihan
melihat itu? Lagi-lagi aku hanya berfikir aneh.

“Kakak! Kak Hani!” Aku bisa mendengar ada suara di belakangku, aku ingin
menoleh, tetapi aku tak tau harus menanggapi perasaanku sekarang ini seperti apa. Benar-
benar aneh.
“Kak, tolong dengarkan aku, yang tadi..,” katanya terhenti, aku pun menoleh ingin
mendengarkan perkataannya. “bukan seperti yang kak Hani pikirkan.”
“yang seperti apa?” tanyaku pura-pura tak tauu.
Taufik memegangi tanganku, aku segera melepaskan tanganku yang dipegangnya tadi.
“bukan muhrim!” bentakku.
“sejak awal..” dia kembali berbicara, “aku menyukai kakak.”
Dheg! Dia bercanda kah?

“mungkin ini aneh, sejak awal pertemuan itu aku memang menyukai kakak. Saat aku
menyapa kakak, aku sangat gugup karena itu saat awal pertanyaan itu…” kali ini dia terlihat
gugup. “aku ingin menyatakannya, tapi aku tak mau kakak menganggap aku masih anak-anak,
masih tak pantas berkata itu, jadi selama kenal kakak aku hanya menyimpan perasaanku dan
menyatakanya di saat yang tepat, aku sudah tak sabar lagi, selalu merindukan kakak, bahkan
sampai terbawa mimpi, Jadi … maukah kakak jadi pacarku?”

Prok… prok… prok… semua yang ada di dalam kafe berhamburan ke luar dan
memperhatikan kami berdua berharap apa yang mereka pikirkan terjadi. “Jadiaan… jadiaan!”
semua orang bersorak karena profokasi dari sattu orang. Shila gadis yang memeluk Taufik
tadi.
“aku gak peduli walaupun umur kita beda jauh, aku hanya ingin bersama kakak”
lanjutnya lagi.
Aku melirik ke belakangku dan melihat Faris menunggu, kali ini Faris menatapku
sinis seolah berkata “cepat dong, ini panas tau!”
Dasar Faris! benar-benar tidak mendukung suasana ini sekarang. Yah, aku harus apa
lagi sekarang?

Tersenyum itu yang kutunjukkan di depan Taufik. “kamu masih labil,” aku menaikkan
bibirku. Aku mengeluarkan stick note dan menuliskan alamat rumahku dengan pulpen yang
sudah kusiapkan tadi.
“terima kasih sudah menyamaikan perasaanmu pada kakak, tapi…,” aku memberikan
stick note itu kepada Taufik. “kakak akan menunggu seperti kamu menyampaikan ini di
waktu yang tepat, di hadapan orangtua kakak,”
Setelah menyampaikannya, aku merasa lega. Aku membalikkan badanku dan
menghampiri Faris yang lagi-lagi menatapku sinis. Ah tak apa, yang penting hari ini akan
menjadi good moment untukku.

Tentang gadis yang memeluk Taufik tadi, Shila, aku tak peduli siapa dia, Tapi Shila
juga mendukung Taufik. Aku hanya berfikir positif, mungkin mereka hanya bersahabat.
Untuk Taufik, jika dia serius, aku akan menunggunya. Menunggu seperti perasaanku
sebelumnya, rindu dalam diam, dan akan tetap mencintaimu dalam rinduku.
Menjamput Toga

Perempuan berhijab itu namanya Bela. Gadis pendek namun supel, dia mempunyai
banyak teman di sekolahannya. Bela lulusan SMA tahun ini. Usianya kini sudah menginjak
19 tahun dan sudah waktunya dia untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.
Dengan senang hati Bela melepas baju putih abu-abunya dan sudah tidak sabar lagi memakai
seragam semaunya.
Sambil memandangi kayu-kayu yang berbaris di langit-langit kamarnya, Bela berfikir
keras tentang kampus mana yang dimaksud ibunya selama ini. Sejak Bela masih duduk di
kelas 2 SMA, ibu Bela selalu mengatakan bahwa Bela akan disekolahkan di kampus yang
menurut ibunya baik untuk anak semata wayangnya. Pastinya bukan kampus di dekat rumah
seperti yang Bela inginkan. Akan tetapi, yang dimaksud ibunya yaitu kampus yang terletak di
pulau pendidikan. Pulau Jawalah yang dimaksud ibunya. Sampai saat ini Bela belum tau pasti,
kampus di Jawa yang mana yang selalu dibanggakan sama ibunya. Bela bingung harus
mengikuti kemauan ibunya atau kemauannya sendiri. Bela ingin sekali kuliah sambil
membantu ibunya di rumah. Karena ibunya bekerja sendirian setelah ayahnya meninggal 7
tahun silam terkena penyakit kanker otak. Di sisi lain, Bela juga tidak mau mengecewakan
ibunya hanya karena tidak mau mengikuti kemauannya. Semakin hari detak jantung Bela
semakin cepat, karena hari keberangkatan Bela ke Jawa semakin dekat pula.
Mobil berwarna hitam dan terlihat beberapa penumpang di dalamnya sudah parkir di
depan rumah Bela dan siap untuk mengantarkan dia dan ibunya ke bandara. Dalam perjalanan
menuju bandara, Bela tak banyak berbicara. Dia hanya berdoa semoga dia bisa
membahagiakan orangtua satu-satunya yang telah bersusah payah membiayai dia sekolah
selama bertahun-tahun. Bela yakin bahwa orangtua pasti memberikan yang terbaik untuk
anaknya.
Tiga jam telah berlalu. Kini Bela sudah sampai di tempat yang tidak pernah sama
sekali Bela kunjungi. Puluhan bahkan ratusan manusia disana sedang mengangkut barang-
barang mereka. Terlihat lelaki tampan berseragam rapi dan berbadan tegap. Terdengar juga
suara merdu perempuan yang memenuhi tiap sudut-sudut ruangan. Terlihat beberapa
perempuan tinggi langsing dan bersolek melintas di depan mata Bela. Bela terus mengikuti ke
mana arah Ibunya berjalan sambil melihat suasana di sekitar. Setelah terlihat jelas pesawat
berbaris rapi di lapangan yang sangat luas, hati Bela mulai berdegup kencang. Rasanya belum
siap untuk melanjutkan sekolahnya di pulau jawa. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ibu Bela
menggandeng tangan anaknya dan menariknya menuju pesawat. Bela berusaha untuk bersikap
tenang meskipun sebenarnya ingin sekali menghentikan langkahnya dan kembali ke rumah.
Bela berjalan terus melewati baris demi baris kursi yang ada di dalam pesawat. Bela terlihat
seperti anak kecil yang baru berumur 5 tahunan yang selalu digandeng ibunya kemana-mana.
“Kamu duduk di pojok sana nak”. Perintah Ibu Bela.
Tanpa banyak tanya, Bela menuruti apa yang diperintahkan oleh Ibunya. Pesawat mulai
melaju pelan-pelan dan aku pun kaget saat pesawat mulai lepas landas. Serasa terbang ke luar
angkasa. Bela masih terdiam tidak berkata apapun kepada Ibunya. Dia sama sekali tidak
melihat suasana di sekeliling pesawat. Pandangan Bela hanya ke depan dan sesekali
memandangi wajah Ibunya yang sedang tidur. Bela hanya bisa berdoa yang tak lain dengan
doa yang dia ucapkan saat di mobil berangkat menuju bandara. Tak terasa, pesawat sudah
mulai landas di bandara Internasional. Tulisan besar bandar udara Soekarno Hatta melintas di
mata Bela. Orang yang pertama kali melihat bandara Soekarno Hatta pasti kagum dengan
luasnya, ramainya maupun kemewahannya. Tetapi bela tidak. Bela tidak merasakan semua
itu. Dia sadar kalau sedang berada di bandara udara Soekarno hatta akan tetapi pikiran Bela
hanya terbayang kampus pilihan Ibunya.
“Nak, ayo kita melanjutkan perjalanan menuju bandara Adi Sucipto. Sebentar lagi
pesawat meninggalkan kota Jakarta. Kamu jangan melamun terus. Apa yang kamu pikirkan?
Mulai berangkat dari rumah sampai saat ini kamu lebih banyak diam dan melamun terus”.
Ucap Ibunya, yang telah membuyarkan lamunan Bela.
“Solo? Kampus yang selama ini Ibu maksud itu letaknya di Solo?” Sahut bela dengan
kaget.
Ibu Bela hanya mengangguk sambil melirik wajah bela yang terlihat agak tidak suka
dengan keputusan Ibunya. Dalam pikiran Bela, Solo adalah kota dimana orang-orang yang
tinggal disana hanyalah orang yang anggun, lembut dan sangat santun. Mereka masih banyak
memegang erat budaya Jawa dan terlihat agak kolot. Apakah aku bisa hidup bersama mereka?
Aku serasa mimpi. Dengus Bela di dalam hati. Bela tak henti-hentinya memikirkan
kehidupannya di Solo nanti. Sampai akhirnya pesawat sudah landas dan taxi berwarna kuning
sudah parkir di gedung yang menjulang tinggi, bela baru sadarkan diri kalau sudah sampai di
tempat tujuan yang Ibunya maksud. Dengan menggendong tas ransel besar di punggungnya,
Bela mengikuti langkah Ibunya menuju ruangan yang luas tetapi terlihat sempit karena
banyak buku-buku tebal yang berjejalan dan sedikit berantakan.
Bela dan Ibunya disambut manis oleh orang yang berada di ruangan tersebut. Bela
tidak mendengarkan apa yang diperbincangkan oleh Ibunya dengan orang tersebut. Bela
hanya menatap wajah tersebut sekali dan kemudian melihat-lihat keadaan di sekliling ruangan
tersebut. Terlihat tulisan-tulisan arab yang terukir indah dan tidak bisa dibaca oleh Bela secara
jelas. Hanya saja huruf alif yang tampak jelas. Selain itu juga banyak piala yang berjejer
disana. Bela mulai menerka bahwa kemungkinan besar Ibunya memasukkannya ke asrama
muslim yang kebanyakan orang menyebutnya pesantren. Hati bela semakin berdegup
kencang. Dia tidak habis pikir apa yang akan terjadi dalam hidupnya kalau dia hidup di
lingkungan pesantren yang sama sekali tidak pernah dia rasakan. Karena memang dari dulu
Ibunya ingin sekali memasukkan Bela ke posentren akan tetapi bela selalu menolaknya. Dan
inilah saatnya Bela mengabulkan permintaan Ibunya. Meskipun dengan berat hati untuk
melanjutkan sekolah di tempat yang sama sekali bukan tujuan utama Bela. Pilihan Ibunya
tepatnya.
“Nak, ini diisi dulu”. Ibu Bela menyodorkan satu lembar kertas.
Bela menggoreskan pena berwarna hitam di selembar kertas pemberian Ibunya. Bela
menangis sambil mengisis formulir tersebut sebagai bukti pendaftaran. Rasanya ada sesuatu
yang sangat mengganjal di hati Bela tetapi susah untuk diungkapkan.
Selesai mengisi itu, Ibu berpamitan kepadaku untuk pulang ke rumah. Yakni ke kota
Padang tepatnya. Tangis Bela semakin parah saat Ibunya memebarikan nasehat banyak
kepada anak semata wayangnya itu. Bela hanya bisa mengangguk-angguk sambil mengusap
air matanya sesekali. Pelukan Ibu Bela semakin membuat hati Bela sakit. Akan tetapi Bela
tetap bisa menahan enosinya karena dia sadar kalau ini adalah kesempatannya untuk menuruti
permintaan Ibunya yang sudah berkali-kali bela tolak.
Kini, Ibu Bela sudah tidak terlihat lagi. Sudah melaju bersama taxi bewarna kuning.
Sedangkan Bela dinatarkan oleh seseorang yang terlihat anggun dan lemah lembut menuju
kamarnya. Kamar yang sangat berbeda dengan kamar Bela di Padang. Sekarang, dia harus
menempati kamar yang begitu sempit dan dihuni beberapa orang. Lemari kecil ukuran 2×4
tanpa kaca berjajar rapi disana. Pakaian dan beberapa tas bergantung rapi memenuhi atap
ruangan itu. Bela serasa tak bisa bernapas saat berada di dalam ruangan tersebut. Sampai
kapan aku diruangan yang sesempit ini? Bernapas saja susah banget apa lagi belajar? Pikir
Bela.
Malam pun tiba. Bela tidak bisa tidur senyenyak biasanya. Tidak seperti keempat
teman kamarnya. Bela masih teringat Ibunya dan tanah kelahirannya. Dia sama sekali tidak
menyangka kalau akhirnya tinggal di tempat yang sempit, dipenuhi oleh orang-orang yang
sangat ramah meskipun belum mengenalnya. Di sisi lain, Bela bersyukur karena masih diberi
kesempatan untuk belajar bersama orang-orang yang terlihat sama sekali tidak memilki rasa
dendam dengan musuhnya. Bela selalu diajak temannya untuk mengikuti kegiatan di sarama.
Dengan senang hati Bela menerima ajakan teman-temannya. Hari demi hari Bela lalui dan
sampai pada akhirnya Bela masuk kuliah dan ternyata teman bela di kampus rata-rata teman
asramanya juga. Bela semakin akrab dengan teman-temannya karena sering bertemu.
Terlintas di benaknya bahwa teman-temannya di rumah selalu menyebut Bela orang yang
mudah bergaul, ramah dan baik kepada sesama. Ternyata masih banyak orang yang lebih baik
darinya. Yaitu teman-temannya saat ini. Semua yang Bela rasakan di asrama, dia ceritakan
kepada Ibunya setiap hari minggu. Karena Bela hanya bisa berkomunikasi dengan Ibunya hari
minggu saja. Selain itu, Ibu Bela sibuk dengan pekerjaannya. Setiap mendengar cerita dari
Bela, Ibu Bela selalu mengucapkan hamdalah dari seberang sana. Ibu Bela bahagia karena
anak semata wayangnya akhirnya senang dengan sekolah pilihan Ibunya. Meskipun pada
awalnya agak berat untuk memenuhi permintaannya.
Bulan demi bulan, tahun demi tahun Bela melalui kehidupannya di asrama. Canda
tawa dengan teman barunya selalu melekat di benaknya. Dia sudah menganggap temannya
sebagai keluarga sendiri. Kehidupan di asarama maupun di kampus dia jalani bersama teman-
temannya. Belajar bareng, makan bareng, berbagi cerita bahkan bercanda seperti anak kecil
pun Bela lakukan bersama temnnya setiap hari. Terasa berbeda sekali dengan kebiasaan Bela
di rumah yang hanya sekolah, belajar dan membantu orangtuanya. Tak terasa kini Bela sudah
semster akhir. Yang namanya semster akhir dia rasa enak dan nyaman. Tapi sebaliknya,
ternyata program di kampus Bela ini berbeda dengan kampus lain, semua digerebek di
semester akhir, tapi Bela tetap menjalaninya. Sampai pada saatnya mengajukan judul proposal
penelitian yang akan diajukan untuk skripsi nanti. Tak henti-hentinya Bela mencari dan
mencari judul yang pas, penolakan pun Bela rasakan tidak hanya sekali dua kali. Sedih, putus
asa, itulah yang dirasakn oleh Bela. Akan tetapi, Bela teringat pada Ibunya. Dia terus
berusaha untuk menjadi anak yang kuat. Kekuatan itu Bela dapat dari Ibunya yang
meyakinkannya untuk terus maju. Dan alhasil semuanya terjalani judul keterima dan sekarang
Bela masih menggarapnya. Semangat itu pasti, do’a itu utama dan keyakinan itu penting. Buat
penjemput toga, tidak hanya uang yang bicara tapi otak. Dan semua isi hati serta isi otak
dituangkan pada karya tulis yang dinamakn skripsi. Yakin atas kebesaran Allah, semua pasti
akan terwujud. Ingatlah bahwa ridho Allah itu terletak pada Ridhonya orangtua
Lembaran Putih

Siang ini saya disambut dengan hamparan debu yang menyiksa penciuman, debu-debu
itu seakan membuat saya sesak dengan aroma yang khas. Iya, kini saya telah sampai di sebuah
pulau terpencil. Tepatnya di selatan Indonesia, dan saya mendedikasikan diri menjadi seorang
guru di tempat ini. Langkah demi langkah saya lalui dengan sambutan anak-anak yang sedang
bermain dengan sehelai kain lusuh. Mereka memandang saya seakan melihat sesuatu yang
belum mereka lihat, padahal saya hanya memakai pakaian biasa berselimut jaket biru
kesayanganku dan sebuah ransel dan koper besar yang saya tarik.
“akhirnya kamu datang juga?” wanita paruh baya itu mengejutkanku saat saya
melewati (sebuah) rumahnya. “kamu pasti Rafly?” ucapnya lagi, namun nadanya seakan
mengajakku untuk berbicara lebih dalam lagi “iya, saya Rafly? apa anda Ibu Asih?” beliau
hanya menjawab “iya, kemarilah kau pasti sangat lelah” akhirnya saya menaiki 5 anak tangga
yang menghubungkan ke teras. Saat itu saya sangat lelah, dan saya pun beliau adalah guru di
pulau ini, iya.. beliau yang memperjuangkan kemerdekaan yang sederhana disini. Hari mulai
larut malam, baterai smartphone saya akan habis tapi tidak ada aliran listrik disini. Saya
mengambil sebuah jeruk dan mengisi baterai smartphoneku dengan lempengan kawat yang
kulilitkan disana, dan cara itu berhasil.
Pagi menjelang, kini langkahku memasuki daerah sekolah. Dan kulihat ini seperti
bukan sekolah, papan tipis yang digunakan mulai rapuh, atap-atap seakan ingin memakan
mangsa dan suatu saat bangunan itu akan runtuh. Saya melihat beberapa dari mereka bermain
bola. Tak terasa kini saya mulai mengajar di kelas yang mirip seperti sebuah gubuk.
selamat pagi anak-anak” ucapku seraya meletakkan beberapa berkas di meja. Saya
memperkenalkan diri dan mulai mengambil buku dari loker. Namun saya melihat tulisan
disana tertera di cetak pada tahun 80an-90an, artinya mereka belum menyentuh KTSP dan
K13, buku itu benar-benar rusak, banyak halaman yang hilang dan robek. “kalian belajar
dengan buku ini? Lalu dimana buku kurikulum 2013 nya?” ucapanku membuat suasana
hening, salah satu anak laki-laki mengangkat tangan kanannya “maaf pak, kami hanya
mempunyai buku itu. Kurikulum itu apa pak? Kami belum tau, dan selama kami sekolah di
sini hanya ada satu guru itu pun bukunya juga memakai buku yang dipegang bapak” saya
merenung, kemudian saya berdiri di tengah “kurikulum adalah suatu materi yang disusun
secara apik. Dan kurikulum ini sama seperti buku lainnya hanya saja sistem yang digunakan
sedikit berbeda. Maksudnya materi di dalamnya lebih mendalam” kemudian anak laki-laki itu
berkata “saya mau mencoba kurikulum, kenapa kami tidak pernah menerima buku baru
sementara di kota-kota besar sudah banyak yang menerima” saya merasa lemah mendengar
perkataan itu, namun saya tetap menjelaskan materi kurikulum agar mereka dapat merasakan
apa itu kurikulum. Hari berganti sore, kini aku telah sampai di rumah Ibu Asih dan aku
membuka klinik kecil disana. Saat waktu magrib ada seorang anak kecil yang mengetuk pintu.
“anda pasti pak Rafly, guru baru dari kota itu kan?” gadis itu menunjukan sebuah
tulisan di genggamannya “iya saya Rafly, dan kenapa kamu menulis di selembar kertas putih
ini?” dia menatap bibirku seakan ia membacanya, kemudian anak kecil itu menulis lagi “saya
Qifa, maaf pak saya tuli dan bisu.. tapi saya ingin belajar dengan anda, saya ingin menjadi
dokter” belum 3 hari saya disini, tapi air mata saya sangat lancar ketika melihat hal seperti ini.
“ayo masuk, saya punya sebuah pudding coklat” dia duduk di sampingku, dia ingin
menggapai impiannya tapi buku pun tidak ada. Ia memulai curhatnya betapa ia ingin menjadi
dokter dan sekolah. “ibu dan ayahku tidak pernah menemaniku, hanya ada nenek yang selalu
di sampingku. Orangtuaku terlalu sibuk sampai mereka tidak menemaniku” ia membicarakan
semua penderitaannya.
Hari berganti siang, aku menghungi temanku. Aku ingin ia mengumpulkan buku
sebanyak mungkin agar aku dapat membagikannya pada anak-anak disini. Beberapa hari
berganti minggu. Saat ini setiap hari sabtu sore saya berkeliling dengan membawa buku dari
temanku itu dan menunggangi kuda, terkadang saya terharu melihat saat mereka membaca. 27
tahun usia saya sekarang, dan saat ini ada sebuah olimpiade internasional yang
diselenggarakan di Beijing. Dan saya memutuskan untuk memilih Marcus untuk mengikuti
tes di Jakarta, karena ia sangat lihai di bidang sains. Dan saya mencoba menghubungi dinas
terkait agar ia yakin kepada saya kalau Marcus bisa maju ke internasional. Setiap sore ia
datang ke rumah saya sedangkan Qifa membantuku untuk merawat pasien yang sedang sakit,
saya sudah memberi pengarahan kepadanya bagaimana menyusun obat dan memeriksa setiap
orang, Qifa benar-benar sangat cerdas dalam hal kesehatan. “Qifa” sapaku “ada apa pak
Rafly? Qifa salah memberi obat?” tulisan itu terpampang jelas di depanku “kamu jaga klinik
dulu, saya mau mengajar Marcus” ia hanya menganggukan kepala dan melukis senyum.
“pak, saya tidak yakin akan lolos” ucapnya (Marcus) pelan “ini kesempatan kamu,
kamu buktikan kalau kamu bisa. Kita di sini bertemu dengan berbagai macam masalah”
ucapku “tapi pak, saya tidak percaya diri” terangnya “kamu masih muda, kamu pandai di
bidang sains. Kesempatan tidak akan datang dua kali Marcus” hanya diam, kini aku mulai
menjelaskan beberapa materi untuknya. Hari itu kondisi saya sedikit memburuk “uhuk-uhuk..
uhuk” “pak Rafly kenapa? Apa anda baik-baik saja?” tanya Marcus, mungkin paru-paruku
kambuh lagi -dalam hati “tidak, saya baik. Belajarnya sampai di sini dulu, besok kita sambung
ya” ia menuruti saya, dan segera pulang begitupun Qifa. Saat ini saya berada di atas tempat
tidur dan memikirkan sesuatu “saya harus yakin kalau Marcus bisa, tapi buku-buku ini serasa
kurang”
3 bulan setelah itu, Marcus semakin pandai. Ia membuat suatu rumus baru, berbekal
buku sumbangan dari teman-teman saya, Marcus sangat bersemangat untuk semua ini. Namun
kondisi saya memburuk, tapi semangat saya untuk “memberi tahu” semua orang di dunia ini,
kalau anak dari daerah terpencil juga sangat pandai.
Ibu Asih juga demikian, beliau membantu saya dalam banyak hal. Dan beberapa hari
yang lalu, saya dan Ibu Asih membuat hidroponik sederhana di sekolah. Meski saya sakit,
saya tidak akan menyerah.
Singkat cerita, saya dan Marcus di Jakarta. Saat itu, wajah saya tidak bisa lagi segar
dan saya sangat lemas. Dan saya setiap hari harus merogoh kocek cukup dalam untuk
menghubungi Ibu Asih, agar beliau dapat memberi kabar pada orangtua Marcus. 1 minggu
berlalu, kini pengumuman tes telah di bacakan. Dan Marcus lolos dalam tes dan peraih nilai
terbaik. Olimpiade mulai 2 bulan lagi, saya meninggalkan Marcus di asrama karena saya
harus kembali mengajar di sekolah.
Singkat cerita, kini telah kembali mengajar di sekolah dan semua siswa menanyakan
Marcus, itu membuat saya terasa termotivasi untuk memajukan anak-anak ini. Dengan kondisi
saya yang sekarang, saya tetap belajar dan memberi materi, berkeliling untuk menjadi
“pembawa buku”, membuka klinik, dan membuka ekstrakurikuler lingkungan hidup. Saya
tidak menginginkan bayaran untuk semua ini, saya tidak ingin dipuji banyak pihak, tapi saya
ingin memajukan negeri ini.
3 hari sebelum Marcus berangkat ke Beijing, saya sakit dan tidak berdaya. Qifa yang
merawat saya sekarang begitu juga Ibu Asih, badan saya sangat panas bahkan untuk berdiri
saya mual bahkan muntah. Namun saya tetap mengajar dengan cara mengoreksi tugas dari
anak-anak, saya tidak mau karena saya sakit, mereka tidak bisa memahami materi.
“halo? Pak Rafly?” Saya mengangkat telepon dari Marcus “halo, bagaimana kabarmu?
Apa kamu sudah siap?” tanyaku “saya siap, saya belajar banyak disini. Saya bertemu dengan
guru-guru yang sangat baik seperti Pak Rafly? ” ujarnya dengan nada gembira “uhuk uhuk…
semoga kamu sukses disana, saya dan teman-temanmu yang lain akan mendukungmu” suara
saya lemas saat itu “bapak sakit?” “tidak, ingat pesan saya Marcus. Kita tidak bisa membuat
gedung pencakar langit, tapi kita bisa membuat prestasi yang melebihi ketinggian gedung
pencakar langit itu” saya terus asyik mengobrol dengannya. Sampai saat nya, kami melihat
Marcus kembali dengan piala dan medali emas, serta senyumnya yang manis. Sekaligus
melihat Qifa telah menolong sesamanya yang sedang sakit meski ia hanya membaca gerak
bibir. Setiap hari saya hanya memakan 3 sendok nasi dan sebuah jeruk, serta membagikan apa
yang saya punya.
Saat Marcus mulai bersekolah kembali, ia merasa sedih. Saya tidak mengajar di
sekolah, karena saya telah meninggalkan mereka karena sakit. Saya menghembuskan nafas
terakhir saat saya membaca sebuah ayat. Ketika saya sembahyang Tahajjud di rumah Ibu
Asih. Namun, kemenangannya membuat teman-temannya tersenyum dan termotivasi.
Akhirnya kini mereka adalah anak-anak yang pandai, dan mereka sering mengikuti olimpiade
tingat provinsi maupun nasional. Saya berhasil membuat mereka pandai melalui Marcus dan
Qifa yang pandai di bidang kesehatan.
“Kita tidak bisa membuat gedung pencakar langit, tapi kita bisa membuat prestasi
yang melebihi ketinggian gedung pencakar langit itu”
Matahari pun Tak Bosan

Di pucuk dedaunan masih bergelayutan embun nan segar. Malu-malu ia untuk pergi
meninggalkan tempatnya. Hasil gutasi ditambah suasana dinginnya malam dia muncul disana.
Perlahan-lahan dia sebar senyum disekitarnya. Kulihat sejenak. Kutatap lama. Senyumnya
terlempar buatku. Hatiku menyambut senyum itu. Namun, kehadirannya tak bertahan lama.
Seiring datangnya mentari, senyumnya menghilang. Angin sepoi datang menghampiri dan
tanpa belas kasihan dihantamnya sang embun hingga tersungkur berurai di tanah. Hatiku
teriris, kasihan melihat nasib si embun.
Ku bangkit setelah lama ambil posisi jongkok menyaksikan kejadian yang menimpa
embun. Mentari mulai meninggi dan membasahi seluruh ragaku dengan cahaya kuningnya
yang lembut. Kugerakan seluruh ototku. Kuajak tubuhku beraktivitas. Yah… kuolah ragaku.
Putar kanan… putar kiri… hadap kanan… hadap kiri… badanku meliuk-liuk. Aliran
darah segar segera membanjiri pembuluh darahku. Aku terbuai keasyikan. Di tengah
keasyikan itu, samar-samar kudengar orang bercakap-cakap. Kuajak kakiku melangkah
mencari asal suara. Di ruang tamu kudapati dua orang tengah terlibat perbincangan yang
serius. Aku intip dibalik pintu belakang. Bapak angkat dan temannya. Aku tak mengerti apa
yang sedang mereka bicarakan. Bahasa sunda adalah penghalangnya, karena aku tidak
mengerti bahasa itu
Diam-diam kuberanikan duduk disamping bapak angkatku setelah mendapat
perizinan. Akupun kini terlibat dalam pembicaraan yang telah mereka mulai. Dengan
menggunakan bahasa indonesia raya, aku bertanya dan menjawab serta menanggapi apa yang
ada dalam diskusi pagi itu.
Masalah pekerjaan dan tetek bengeknya, hal itulah ternyata yang jadi perdebatan.
Bapak angkatku seorang pedagang dan beliau menekuni pekerjaan itu. temannya seorang guru
dan setengah-setengah menjalani profesi yang dimilikinya.
“Saya heran kenapa kamu tak pernah capek bolak-balik dari rumah ke pasar tiap
hari?” Pertanyaan temannya buat bapak. Pertanyaan konyol kupikir. Bagaimana tidak coba ,
kalau aku boleh bertanya padanya kenapa pula dia tak pernah capek bolak-balik dari
rumahnya ke sekolah? Ya… kan?
“Kata siapa saya tidak capek!” Bapak menanggapinya singkat.
“Hmm… tidak, maksud saya apakah kamu tidak bosan?” pertanyaan lanjutan buat
bapak. Gila, sepertinya ini orang sedang didera kebosanan nich dengan kerjanya. Ah, tapi apa
mungkin. Kalau tidak kenapa dia bertanya dengan pertanyan konyol dan konyol seperti itu?
hatiku berdialog sendiri.
Suasana ruangan membisu. Ku lirik bapak angkatku. Bapak diam. Bukan diam biasa.
Ada kebijaksanaan dan wibawa tercipta diwajahnya dan aku baru tahu itu. perkenalanku
dengan bapak angkatku belumlah lama, baru sepekan lebih dua hari. Sejauh ini aku lihat
bapak orangnya humoris, kocak, suka bercanda dan jarang serius. Tapi pagi ini beda sekali.
Bapak menghela napas, mengisi ruang kosong didadanya. Perlahan mengalir
nasihatnya lewat lisannya. Diwejangkan jawaban buat pertanyaan temannya.
Kamu tahu matahari bukan?” Retoris bapak bertanya. Temannya mengangguk. Begitu
juga aku.
“Matahari bersinar disiang hari. Muncul ditimur dan tenggelam dibarat. Dia bertugas
menerangi bumi, memberi kehidupan untuk makhluk yang ada di seantero persada.”
Kembali bapak diam. Kulihat teman bapak diam menyimak sabda bapak. Aku ikut
menunggu apa yang akan disampaikan bapak selanjutnya.
“Kalau matahari berhenti sejenak saja dari tugasnya, apa yang bakalan terjadi?”
“Kacau…” Jawab teman bapak. aku mengiyakan. Bapak, aku dan temannya tertawa.
Suasana kembali tak tegang.
“Bagaimana jadinya jika matahripun ikut bosan dan meninggalkan tugasnya?”
Pertanyaan retoris bapak muncul lagi.
“Begitulah, bagaimana pula saya akan bosan bolak-balik ke pasar. Jika saya bosan dan
berhenti bekerja, tentunya anak istri saya tak akan makan. Bukankah begitu Jang?”
Temannya tersenyum di balik anggukannya. Tampak semangat baru terpancar di air
mukanya, seolah wajah itu berkata “Ayo… semangat bekerja Jang, mendidik dan mengajar
siswa-siswamu”
Aku terharu mendengar untaian petuah bapak barusan. Aku tidak menyangka
sedikitpun kalau dari lisan lelaki yang tidak sempat menyelesaikan sekolah dasar ini mampu
memberikan motivasi dan pencerahan pada temannya, meskipun profesinya hanyalah sebagai
seorang pedagang. Salut dech… dua jempol untuk bapak angkatku… Hidup pak Rohim,
Bapak yang ikhlas penuh cinta menerimaku selama melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN)
di pinggiran kota banten ini.
Tinggal Kenangan

Pagi itu sangatlah cerah, mentari pagi muncul memancarkan sinar cerah dengan
semangat 67 eh semangat 45 maksudnya. Sama denganku, hari ini adalah hari ulang tahun
orang yang sangat aku kagumi bahkan kucintai. Semua sudah aku persiapkan termasuk kue
ultah serta kadonya.
Aku masuk ke kelas dengan hati gembira dan bibir tersenyum-senyum sendiri. Kakiku
melangkah tepat di depan pintu masuk kelas dan disambut ceria oleh sahabat sahabatku Syarif
dan Renata.
Yaps! hampir lupa, aku Sherly kepanjangan dari Sherlyna rantika putri. Cewek manis
berkumis tipis yang kini sedang dilanda asmara cinta.
“Ciee yang senyum senyum sendiri, kenapa? sakit?” ucap Renata sambil menekan
tangannya ke jidatku.
“Apaan sih Ren, emang aku gila” ucapku (memanyunkan bibir 5 meter).
“Ya mungkin, ya gak Rif?” ucap Renata melirik Syarif.
“Betul, kenapa kamu Sher?” ucap Syarif.
“Hari ini tuh hari special banget buat aku, aku mau bikin suprise buat pangeran
cecakku” ucapku panjang lebar sambil bayangin apa yang akan terjadi nantinya.
Pangeran cecak? Ya, pangeran cecak adalah cowok yang aku kagumi selama ini. Aku
julukin pengeran cecak karena dia super duper takut sama cecak, namanya Tara.
Bel waktu istirahat pun tiba, siswa siswi berbondong bondong ingin memanjakan lidah
dan juga perutnya yang dari tadi demo minta makan.
“Hay guys, doain aku ya. Semoga rencana ini sukses berjalan mulus semulus jalan tol,
amin” ucapku.
“Oke, tuh ada Tara kebetulan banget deketin gih” ucap Syarif.
“Sukses ya say” ucap mereka berdua serentak serta kepala dimiringkan ala-ala Rita
sugiarto penyanyi dangdut.
Aku berjalan dengan pedenya sampai gak lihat ada batu di depanku, untungnya gak
jatuh, kalau jatuh malu dong sama pangeran cecakku.
Setelah melewati lorong lorong kelas, aku melihat Tara lagi berduaan sama Lyla
cewek yang paling aku benci karena gayanya yang kecentilan, sok cantik, sombong pokoknya
aku ilfeel banget deh sama dia. Tanpa sadar kue dan kadonya jatuh ke lantai, aku berlari
secepat mungkin sambil menangis.
Aku melihat ekspresi Renata dan Syarif kebingungan dengan tingkahku yang mula
ceria berubah drastis menjadi duka membara.
“Sherly, kamu kenapa?” ucap Renata sambil memelukku.
“Tara sama Lyla berduaan mereka mesra banget” ucapku terbata bata.
“Udahlah cari yang lain, masih banyak kok” ucap Syarif.
Sepulang Sekolah kurebahkan tubuhku di kasur empuk milikku. Kutatap langit biru
kamarku. Pikiran itu selalu terngiang ngiang di memory otakku. Kubangkitkan tubuh ini
menuju meja belajar.
Pena menari nari amat lambat di atas kertas polos putih. Kutulis kata puitis yang berisi
sesuai isi hatiku.
Tinggal kenangan.
Kuukir namamu dalam hatiku
Agar hati ini tak dalam kekosongan.
Meskipun kau telah menodai hati ini,
Akan kuhapus dengan sejuta air mata.
Aku rela mentari membakar kulitku
Aku rela kebahagiaanku kuberikan padamu
Asal kau bahagia.
Namun itu dulu
Sekarang sudah terbalut
Oleh balutan kenangan.
For Tara (pangeran cecakku)
Pagi ini mendung, mentari engan tul memancarkan sinarnya, sama dengan hatiku.
Mungkin mentari mengerti apa yang sedang aku rasakan.
Aku berjalan sempoyongan dengan mata sembab gara gara menangis semalaman
menuju kelasku disambut oleh sahabat sahabatku.
“Sherly kamu jangan begitu dong, kita kan juga turut sedih jadinya. Strong bro move
on bangkit dari keterpurukan ini” ucap Renata menenangkanku.
“Dan kamu jangan kaget ya, kalau Tara sama Lyla sudah jadiab kemarin. Aku tahu
berita ini dari Gita teman sekelas kita” ucap Syarif.
“Iya makasih ya sahabat sahabatku. Kalian itu orang yang selalu suport aku, aku
sayang kalian. Aku akan move on dari Tara dan selalu bersama kalian” ucapku menangis
terharu.
Kita bertiga saling berpelukan.
Sahabat bukanlah selayaknya pacaran yang dapat putus atau nyambung. Namun,
Sahabat adalah persatuan yang abadi.
Menjelang Ujian Tengah Semester

Deni duduk termenung di meja belajarnya. Jam dinding menunjuk angka 4. petang ini,
Ia berniat akan belajar semaksimal mungkin. karena besok akan diadakan UTS atau ujian
tengah semester akan dilaksanakan serentak di seluruh SMA di DKI Jakarta. Deni tampak
bingung mau mulai belajar darimana. Langsung saja ia membuka tas dan ternyata ada soal
ulangan tahun lalu yang barusaja ia fotokopi tadi siang dari kawan nya. “Soal ulangan tengah
semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012. Pelajaran : Sejarah” begitulah kop atau kepala soal
yang tertera pada lembaran itu.” Lumayan lah buat latihan” katanya dalam hati. Tanpa basa-
basi Deni mengambil pulpenya dan mengisi soal itu.
Ada beberapa soal yang sudah ia kuasai seperti teori/hipotesis masuknya agama Hindu
ke Indonesia. Hipostesis Waisya yang menyatakan bahwa agama Hindu dibawa oleh para
pedagang dari tempat asal mereka yaitu dari India. Hipotesis Brahmana menyatakan Brahman
atau pendeta dalam agama hindu yang menyebarkanya. Ada juga Hipotesis Ksatria yang
menekankan bahwa wilayah Indonesia dijajah oleh para Ksatria yang melarikan diri dari
india. Ada lagi Hipotesis Nasional yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia sendirilah
yang berperan aktif dalam menyebarkan Hinduism di tanah air. Banyak dari soal-soal itu
belum terjawab olehnya. seperti soal nomer 28 : Aliran Budha mengandung arti “kendaraan
besar” yang artinya… dan banyak lagi yang belum terjawab. terhitung lebih dari 20 soal yang
masih belum terjawab. “ah ini mah soalnya gampang tapi jawabanya susah” ia cekikikan
dengan maksud menghibur diri.
“latihan soal aja udah susah gini apalagi UTS beneran” bisiknya dalam hati.
Diibaratkan menaiki anak tangga, semakin ke atas semakin berat. sama seperti soal yang
dihadapi Deni. jika tidak diselesaikan, sama saja kalah sebelum bertarung. Semua materi
ternyata ada di text book. Text book yang tebalnya “asdfgh” dibuka juga. dari situ dia mulai
membaca sejarah kerajaan di nusantara.
Dimulai dari kerajaan Kutai. Kerajaan kutai merupakan kerajaan hindu yang beraliran
“siwa”. siwa merupakan dewa hindu yang disebut-sebut sebagai dewa pelebur atau Dewa
pemusnah. Dewa siwa memusnahkan hal-hal yang tidak diperlukan bagi manusia. Dan
kerajaan ini didirikan sekitar 4 M di dekat sungai Mahakam, kalimantan timur. Raja yang
terkenal adalah raja Kudungga, Asmawarman, dan Mulawarman. Ketiga raja ini terkenal
karena keunikanya masing-masing. Konon, Raja Kudungga merupakan nama asli orang
indonesia, sehingga dicatat sejarah. Raja Asmawarman adalah raja kutai pertama yang
beragama Hindu dan disebut juga sebagai pendiri dinasti. Raja Mulawarman pernah
menghadiahkan 20.000 ekor lembu kepada para brahmana. Ia disebut dalam yupa sebagai raja
paling agung. Kadang sulit dibayangkan dari mana lembu sebanyak itu didapat. Apakah
kesalahan penulisan angka atau mungkin lembu-lembu pada jaman itu musim kawinya tiap 3
hari dan sekali beranak keluar tiga (?)
Di Halaman berikutnya dibahas kerajaan Tarumanegara. Kerajaan Tarumanegara juga
merupakan kerajaan hindu. Bedanya terletak pada aliranya, yang mana tarumanegara
menganut hindu wisnu. Peninggalanya berupa beberapa prasasti. Yang paling sering disebut
adalah prasasti tugu yang memuat tentang pembangunan saluran gomati sepanjang 6112
tombak atau kurang lebih 12 km. Setelah saluran gomati tersebut ramping, raja purnawarman
juga menghadiahkan 20.000 ekor kerbau kepada para brahmana. Semakin jelaslah bahwa
hadiah tersebut menjadi sebuah “tradisi” bagi kerajaan hindu di tanah air. Juga ada prasasti
jambu/koalengkak yang berisikan kehebatan raja purnawarman. Selain itu ada juga prasasti
kebon kopi, ciareteun dll.
Pada akhirnya deni dapat menjawab soal-soal tersebut dengan lancar jaya. Sama
seperti cerita ini yang lancar jaya dan adem ayem tanpa konflik antar tokoh. Tak ada niat
sedikitpun dari penulis untuk membuat cerita ini jadi menarik. Karena pada akhirnya pembaca
sudah mengenal satu babak penting yang berpengaruh pada sejarah indonesia. Tamat
“Ahhh akhirnya selesai juga cerpenya” kata anton dalam hati
Suara ketikan yang berasal dari laptopnya juga terhenti. Tepat setelah kata tamat
diketik nya. Tokoh deni sebenarnya merupakan temanya sendiri. Bedanya dalam kehidupan
nyata Deni lebih malas belajar. Mungkin karena itulah Anton jadi lebih bisa
mengimajinasikan tokohnya secara bebas
Tinggal Kenangan

Waktu itu setelah memasuki sekolah Baru, teman Dan suasana yang baru tepatnya
pada masa SMK. Disitulah awal mulanya Diah merasakan Apa itu Cinta
Seperti biasa waktunya istirahat pun tiba, diah pun masih tetap duduk di bangaku kelas
Diah melihat teman sekelasnya yang bernama Adi berkumpul di luar Dan melihat ke dalam
kelas, temannya yang bernama Hari menggoda Diah Dan meminta nomor teleponnya melalu
adi. Dan Diah berkata dengan alasan “maaf saya tidak memiliki no hp” Dan Hari pun pergi
meninggalkan kelas diah.
Keesokan harinya berjalan seperti biasanya tapi entah mengapa Adi sering Kali
melihat ke arah diah dan mereka duduk sebangaku disitu, awal mulah kisah mereka dimulai.
“Ehh Diah itu rol punyaku”, Ucap Adi
Diah pun menjawab “Ini punyaku seenaknya aja kau bilang punyamu”
Singkat cerita Adi pun semakin penasaran dengan Diah karena dia termasuk wanita
yang pendiam, di kelas adipun menanyakan no hp Diah Dari temanya yang bernama ria
“Hey ria bisakah aku minta nomor hp Diah?”
ria pun memberikannya Dan berkata “iya nanti akan kukirimkan nomor hp nya ke
kamu ya di”
“OK terimakasih ria” ucap adi
Adi mulai menghubungi Diah berkali-kali saat itu mereka saling bertukaran informasi
Dan akhirnya tumbuhlah perasaan diaantara mereka. Mereka berdua kemanapun selalu
bersama menghabis waktu bermain Dan bercanda, Dan waktu itu Adi berencana menetap ke
tempat tinggal di kampungnya. Diah pun sangat sedih karena itu berarti Diah tidak bisa
melihat Adi lagi.
“Jangan pergi Adi aku gak bisa melakukan apapun tanpamu”
Melalui handpone Adi pun berkata “tidak Diah ini tidak lama doakan Saja aku Akan
kembali”
Seminggu berlalu Diah tanpa adanya Adi di dekatnya belajar maupun bercanda
bersama. Dan akhirnya Adi pun kembali Dan Diah pun merasa bahagia, seperti biasa hari-hari
dilalui mereka berdua.
6 bulan Sudah kebersamaan mereka berlalu, Diah merasakan sikap Adi tiba-tiba
berubah, benar Saja memang sekarang Adi Sudah berubah, Diah sempat berpikir “apakah Adi
menjauhiku?, Ada Apa dengan dia kenapa dia berubah?”

Ternyata dugaan Diah pun benar. Diah melihat di sosial media Adi ternya Adi sedang
mendekati wanita lain
Hati Diah semakin hancur “kenapa Adi? Kenapa kau berubah? Apa aku pernah
berbuat Salah sehingga kau ingin melupakanku perlahan-lahan”
Adi berkata “tidak Diah aku menyayangimu sungguh, kau hanya Salah sangaka”
Semakin lama selalu Ada saja hal yang membuat mereka renggang menjauh dan
semakin menjauh yang mereka lakukan. Tapi di dalam hati Diah masih mengharapkan Adi,
entah bagaimana perasaan Adi dengan keegoisannya akhirnya mereka benar tidak bersama
lagi untuk saling tidak bertegur sapa, mereka seperti orang asing, seperti tidak pernah saling
mengenal.
Semua tinggal kenangan akhirnya meraka Sudah mencapai tahap kelulusan sekolah
Dan pada waktu itu juga semua cerita yang ada tangis, tawa bahagia berakhir dan menjadi
sebuah kenangan.
Restoran Marvella

Hari ini, aku dan kedua orangtuaku akan pergi menuju ke restoran yang baru saja
dibuka di kotaku yaitu, Restoran Marvella. Restoran Marvella adalah sebuah restoran yang
didirikan oleh seorang chef terkenal yang berasal dari Italia. Restoran ini menyediakan
makanan dan minunan yang khas dari Italia. Aku memang ingin sekali makan makanan yang
berasal dari Italia.
“Rina, ayo kita berangkat ke Restoran Marvella,” ajak Ayah dan Ibuku.
“Iya, bu,” sahutku, sambil menutup pintu pagar. Aku segera masuk ke dalam mobil.
Mobil Ayahku langsung berjalan dengan cepat menuju ke Restoran Marvella.
Sesampai di Restoran Marvella, aku dan kedua orangtuaku bergegas masuk ke dalam
Restoran Marvella. Aku menatap sekeliling. Restoran ini memang sangat besar dan mewah.
Dinding restoran ini berwarna putih. Meskipun suasana restoran ini memang cukup ramai.
Tapi, kami berhasil menemukan tempat duduk yang paling nyaman. Seorang pelayan
langsung mendekati kami.
“Mau pesan apa, pak, bu?” tanya Pelayan itu, sambil menyerahkan buku menu kepada
Ayah dan Ibu.
“Saya mau pesan pasta sama minumannya secangkir capucino,” jawab Ayah.
“Saya juga sama,” jawab Ibu.” Rina, kamu mau pesan apa,” tanya Ibu dengan lembut.
“Aku mau pesan pizza dan minumannya secangkir susu teh,” jawabku. Aku menutup
buku menu itu. Pelayan itu sibuk mencatat pesanan kami. Dan ia pun segera berbalik ke
dapur.
Tak lama kemudian, makanan dan minuman pesanan kami akhirnya sudah datang.
Aku dan kedua orangtuaku menikmati makanan dan minunan masing-masing sambil
mendengarkan alunan musik dengan lembut.
“Rina!!!” tiba-tiba, seseorang memanggilku. Aku langsung menoleh ke belakang.
“Nisa!” sahutku senang. Rupanya, orang yang memanggilku adalah Nisa, sahabatku.
“Hai, Rina. Kamu di sini sama siapa?” sapa Nisa, Nisa segera menghampiriku.
“Di mana Cintya?” tanya Nisa lagi. Oh Iya, Cintya itu Adikku, loh.
“Cintya sedang berlibur di rumah tante Cilly,” jawabku lagi
Saat kami berdua sedang asyik mengobrol, seorang pelayan tiba-tiba menghampiri
kami.
“Permisi, adik-adik. Kalian mau pesan es krim khas Italia tidak? Gratis loh. Adik-adik
mau?” sapa pelayan itu.
“Saya mau!” sahutku. Disusul lagi oleh Nisa. “Saya juga!”
Pelayan itu menyerahkan buku yang berisi menu-menu es krim dari Italia. Aku dan
Nisa segera membuka buku itu dan sibuk memilih es krim yang akan kami pesan. Akhirnya,
kami memutuskan untuk memesan es krim rasa pistaschio.
“Kami mau memesan es krim pistaschio!” seru kami berdua. Pelayan itu segera
mencatat es krim pesanan kami. Dan pelayan itu langsung berbalik ke dapur.
“Iya!” jawabku. Beberapa menit kemudian, es krim rasa pistaschio yang ku pesan
sudah datang. Aku sangat senang sekali, lalu aku mencicipi es krim itu. Hmm… rasanya enak
sekali. Apalagi, mulutku terasa dingin setelah sesendok es krim masuk ke dalam mulutku.
Setelah memakan es krim, aku dan kedua orangtuaku segera membayarnya di kasir. Ayahku
harus membayar uang senilai Rp. 235.000, 00. Setelah itu, kami pun bergegas pulang ke
rumah
Cinta Berawal dari MOS di SMA

Namaku Nayfa Saraswati umurku baru 16 tahun, dan aku baru saja diterima di SMA
Negeri favorit di daerahku. Di pagi hari yang cerah aku berangakat ke sekolah, dengan
mengendarai sepeda motorku. Ini adalah hari pertama masuk sekolah, dan di hari ini juga aku
akan menjalani MOS (Masa Orientasi Siswa). Sudah sangat terlihat jelas bagaimana
penampilanku saat ini, dengan seragam putih biru SMPku aku memakai tas terbuat dari
karung dan juga memaki kalung dan gelang dari tali rafia. Dan ditambah lagi dengan ikatan
rambutku. Aku benar-benar sangat terlihat aneh di hari ini, tapi inilah yang harus kujalani saat
aku MOS di SMA baruku.
Kurang lebih 30 menit perjalananku dari rumah ke sekolah, setelah itu aku masuk ke
sekolah dan memakirkan motorku di tempat parkir khusus anak kelas 10. Aku berjalan sendiri
ke arah taman sekolah, dan duduk di kursi taman dekat lapangan sekolah. Karena jika ada
pengumuman aku bisa langsung mendengarnya. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dan
berkata “Hai, sedang apa kamu di sini?” tanya dua cewek cantik yang juga berpenampilan
sepertiku. Aku menjawab “Aku hanya sedang duduk dan menunggu pengumuman dari kakak
panita MOS”. “Boleh kami duduk di sampingmu?” tanya mereka. “Tentu saja, kenalkan
namaku Nayfa Saraswati panggil saja aku Nayfa” jawabku kepada mereka berdua sambil
mengulurkan tanganku untuk berkenalan. “Namaku Keyla Angelina panggil saja aku Keyla”
jawab cewek yang berambut lurus panjang sambil menjabat tanganku erat-erat. “Hei Nayfa,
perkenalkan namaku Leyna Larasati panggil saja aku Leyna ya” cewek cantik berambut lurus
pendek itu dengan nada lucunya dan juga sambil menjabat tanganku. Lalu kami bertiga
ngobrol-ngobrol hingga kadang-kadang tertawa terbahak-bahak.
Setelah beberapa menit “Pengumuman untuk semua siswa siswi baru segera
berkumpul di lapangan sekolah, karena acara MOS akan segera dimulai” Suara pengumuman
dari kakak panitia MOS. “Ayo kita ke lapangan sekolah” ajakku. “Oke” jawab mereka. “Oh
ya sekarang kita bertiga jadi sahabat ya?” tanya Keyla sambil merangakul pundakku dan
Leyna. “Oke deh Key” jawabku dan Leyna sambil tersenyum manis. Lalu kami tiba di
lapangan dengan wajah yang masih senyum-senyum. Banyak teman-teman yang melihat kami
dengan pandangan aneh dan tersenyum. “Sekarang tugas kalian meminta tanda tangan dari
anggota OSIS dan juga guru dan staf SMA ini, caranya dengan …” perintah kakak cowok
kelas 12 yang ganteng dan tegas. Yang bikin cewek-cewek kelas 10 jadi pada ngefans. “Eh
tuh cowok cakep juga ya?” tanyaku. “Ya iyalah Nay, dia itu kan Kak Angga kelas 12-3
pacarnya Kak Zahra kelas 12-4” jawab Leyna. “Kak Angga dan Kak Zahra itu pasangan
paling hits di SMA ini lho..” tambah Keyla. “Oh.. gitu” ucapku dengan nada heran. “Sekarang
cepat kalian minta tanda tangan” perintah Kak Zahra. “Baik kak” jawab peserta MOS.
Aku, Keyla, dan Leyna selalu bertiga pergi kemana-mana, karena kita sudah jadi
sahabat. Ya walaupun baru kenal tadi sih. Aku mengajak Keyla dan Leyna untuk membeli
minum dan makan dulu kantin barulah setelah itu kami meminta tanda tangan kembali.
Maklumlah tadi pagi aku tidak sempat sarapan terlebih dahulu, karena takut telat ke sekolah
soalnya jalanannya macet kalau pagi. Belum sempat kami makan, tiba-tiba ada Kak Zahra di
kantin dan menegur kami supaya tidak makan karena bisa terlambat mengumpulkan tanda
tangan. Akhirnya aku hanya membeli jus jeruk dan membawanya untuk minum di jalan.
Minuman Keyla dan Leyna sudah cepat habis, sedang aku masih belum habis. Lalu kami
berjalan terburu-buru ke arah lapangan untuk meminta tanda tangan anggota OSIS, karena
tadi kami sudah ke ruang guru untuk meminta tanda tangan.
“Auw..” teriakku. Karena ada cowok menabrakku sehingga buku catatanku jadi basah.
Minumanku tumpah semua ke bajunya, sedangakan sebagian minumannya tumpah ke
bukuku. “Eh lo punya mata gak sih? lihat nih baju gue jadi basah” bentak dia dengan nada
yang begitu marah. “Eh lo aja kali yang jalan gak lihat-lihat, nih lo lihat buku gue jadi basah”
ucapku lebih judes. “Kok lo malah marah gue kan lo yang salah, minta maaf gak lo” ucapnya
dengan nada marah. Dengan judes aku bilang “Ih.. ogah banget gue minta maaf sama lo”.
BYUR. Dia menyiram bajuku dengan minuman di tanganya. “Eh kok lo malah …”
perkataanku terhenti, karena ada Kak Angga datang. “Nayfa, Nico stop jangan ribut lagi,
kalian berdua kakak hukum untuk hormat di bawah tiang bendera sampai pulang sekolah”
perintah Kak Angga dengan marahnya. “Baik Kak” jawabku dan Nico. “Nih aku titip
bukuku” ucapku kepada Keyla dan Leyna. “Nih kalian bawa buku gue” ucap Nico kepada
kedua sahabatnya yang bernama Kevin dan Leo. “Ayo kalian berempat kumpul di aula untuk
melanjutkan acara MOS, masih 1,5 jam lagi acara selesai” ucap Kak Angga. “Ini semua gara-
gara lo sih, jadi dihukum kan” ucap Nico. “Kok gue?, lo tuh ngeselin banget pake nyiram baju
gue lagi” ucapku dengan marah kepada Nico.
Kami berdua hormat di bawah tiang bendera walaupun sinar matahari begitu terik. 30
menit telah berlalu, tapi kami berdua hanya diam saja.
Di aula
“Aduh Key.. aku kasihan dengan Nay, tadi pagi dia gak sarapan terus tadi dia juga gak
makan di kantin. Nanti kalau Nayfa pingsan gimana? Aku gak tega ngelihatnya” ucap Leyna
dengan nada cemas. “Tenang aja Leyna.., pasti Nayfa gak kenapa-napa kok. Kita gak boleh
panik gini” jawab Keyla dengan nada lemas. “Ah.. kalian lebay banget sih” ucap Kevin. “Iya
nih, lebay banget sih” timpal Leo. “Eh, diam kalian berempat” tegur Kak Zahra.
Di lapangan
“Ehm.. nama lo Nayfa ya? Nama gue Nico” ucap Nico. “Iya, nama gue Nayfa
Saraswati panggil aja gue Nayfa. Nama lengkap lo siapa?” ucapku. Nico jawab “Oh, nama
gue Nico Andreastino panggil aja gue Nico”. “Oke” jawabku. Setelah itu kami terdiam
kembali, dan tak terasa pulang sekolah hanya tinggal 30 menit. “Sebentar lagi pulang nih
Nay” ucap Nico sambil menoleh ke arahku. Aku juga menoleh ke arahnya dan berkata “Iya
Nic” dengan nada lemas. “Eh.. ya ampun Nay muka lu pucat banget tuh, mendingan lu duduk
di tempat teduh dulu gih”. “Ah.. gak usah, gue gak kenapa-napa kok” jawabku. “Oh ya Nay,
gue mau ngomong kalau gue mau minta ma..” GUBRAK!!!, ucapan Nico terhenti, karena aku
pingsan. Nico langsung menggendongaku ke tempat teduh “Nay sadar dong, lo kenapa sih?”
Nico menciprati wajahku dengan air untuk bisa membangunkanku. “Ehm.. gue gak apa-apa
kok, paling cuma haus dan laper aja” jawabku dengan nada masih sangat lemas. “Ayo ke
UKS” ajak Nico. “gak usah deh, 10 menit lagi kan pulang” jawabku. Akhirnya kami kembali
hormat di bawah tiang bendera. “Thanks ya Nic, lo tadi nolong gue” ucap terima kasihku
kepada Nico. “Oke” jawab Nico singakat. “Ehm… lo gak usah bilang ke siapa-siapa ya
tentang ini semua” ucapku. “Iya iya” jawab Nico dengan nada juteknya.
Kring… Kring… “Hai Nayfa kamu gak kenapa-napa kan?” tanya Leyna dan Keyla
dengan nada cemas. “gak kok” jawabku singakat. “Oh ya gimana kalau kita makan mie ayam
di seberang jalan depan” ajak Leyna. “Oh.. Ayo ayo, nanti kamu sama aku aja ya Nay kita
anterin kamu pulang, sekalian pengen main ke rumahmu” ucap Keyla. “Oke, terserah kalian”
jawabku “Nih kunci motornya” kulempar ke arah Leyna, karena aku dibonceng Keyla.
Keesokan harinya aku sedang berada di perpustakaan, tiba-tiba ada suara yang
mengagetkanku. “Hai Nayfa, gimana kabar kamu?” tanya Nico “Baik, ngapain kamu di sini”
ucapku. “Aku mau minta maaf soal yang kemarin, dan juga mau ngajak kamu ke kantin
bareng” ucapan Nico yang rada aneh. “Eh. Ngapain mau ngajak ke kantin kamu mau minta
aku traktir ya” tanya ku penasaran. “Nggak kok, justru aku mau traktir kamu” jawab Nico.
“Oke”.
Ternyata di kantin sudah ada Keyla dengan Kevin, dan Leyna dengan Leo. Mereka
sudah jadian, entah kenapa bisa begitu. Lalu aku duduk dengan Nico, Nico terlihat begitu
salah tingkah dan entah kenapa hatiku jadi deg-degan saat begitu dekat dengan Nico.
Keesokkan harinya Nico mengatakan cinta kepadaku di lapangan sekolah dilihat oleh kelas
10-12, dan dia memintaku jadi pacarnya. Dan akhirnya aku menerimanya, karena sebenarnya
aku suka dengan Nico dari hari pertama MOS.
Cinta Layak Si Culun

Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka. Aku merasa aku diasingkan, aku berbeda
dari mereka. Mereka mengataiku, aku yang tak dapat membaur dengan mereka. Namun aku
selalu merasa, akulah yang diasingkan. Ironi, jika aku menyalahkan diriku sendiri dan
mengataiku bahwa aku ini kuper (kurang pergaulan). Baiklah, aku mengakui pribadiku yang
buruk ini. Tapi apakah hanya aku yang disalahkan? Bukankah dunia ini yang lebih pantas
disalahkan? Mereka tidak adil! Mereka mengotak-kotakan manusia, dan memasukkanku ke
dalam kotak manusia culun.
Pagi ini seperti biasa, aku menikmati cokelat panasku di balkon rumah. Sambil
memandangi suasana pagi yang selalu membuatku cemburu akan keramahan lingkungannya.
Lihat saja, angin bertiup lembut, matahari bersinar hangat, tumbuhan pun bernapas dengan
baik, mereka sangat serasi dan mampu berinteraksi dengan baik menciptakan suatu pagi yang
indah. Aku iri dengan alam yang mampu saling membaur dan melengkapi, tidak denganku.
Raleta, sebut saja Leta, atau si cupu. Mereka lebih nyaman memanggilku si cupu dari pada
namaku. Aku sangat tidak nyaman dengan sebutan itu, tapi mau apa? Aku bisa apa? Aku tak
pernah bisa mengubah image cupu dan kuperku. Walaupun selalu ada keinginanku untuk
mengubah diriku, mengubah kepribadianku. Hingga aku bertemu dengan seseorang yang tak
pernah aku duga cintaku jatuh kepadanya.
“Hei, cupu! Sini lo!” pemuda itu melambai ke arahku, yang aku kenal namanya Rio,
teman sekelasku di kelas morfologi. Aku hanya mengikuti langkah kakiku yang semakin
dekat dengan pemuda itu. “Eh, beliin gue minum gih! Gue haus! Cepet!” kata Rio bak bos di
hadapanku.
Aku menolak, “Maaf, aku bukan pembantu di sini,” lalu aku membalik badan hendak
pergi menghindarinya, tapi dia terlanjur menarik rambut ekor kudaku.
Eh! Mau ke mana lo, ha! Sok banget sih lo, gue cuma pengen lo beliin minum buat
gue! Gue nggak minta cium kan sama lo! Hahaha,” Rio tertawa terbahak diikuti teman-teman
di sekitarnya. Aku hanya diam, tak mampu menolak. Hampir saja ku teteskan air mataku,
sampai ada sebuah tangan melepaskan tangan Rio dari rambutku.
“Udahlah yo, lo bisa beli sendiri kan. Kasihan juga lo bully dia terus,” kata si pemilik
tangan malaikat itu. Aku tak berani mengangkat kepalaku. Setelah tangan Rio lepas aku
segera melarikan diri sejauh mungkin.
Di sini, di kamar mandi ini, di depan cermin ini lagi aku hanya mampu menangis.
Semua mata yang mengunjungi kamar mandi saat itu tertuju padaku. Aku masa bodoh, hatiku
terlalu sakit. Setiap aku bertemu dengan Rio dan teman-temannya mereka selalu
memperlakukanku dengan tidak baik. Seperti menyuruhku, memintaku melakukan hal aneh,
memalakku, bahkan menyiksaku seperti menarik rambutku, dan memukul kepalaku dengan
buku tebal. Beberapa ada yang berkata kasihan kepadaku, sisanya menertawaiku.
“Pasti dikerjain lagi sama Rio, haha” suara salah seorang wanita berparas model dan
memakai rok mini.
“Iyalah, pasti, haha,” temannya menimpali, lalu mereka meninggalkan ruang terkutuk ini.
Suasana hari selasa, aku sangat menyukainya. Di kelas Sastra Melayu klasik, tidak ada
Rio Ce-Es, tidak ada bullyan, tidak ada penyiksaan. Aku tersenyum lega hari ini, di jalan
menuju kelas pun aku merasa tenang. Tidak seperti hari-hari lainnya, seakan aku sedang
diburu oleh penjahat macam Rio. Inilah surgaku, dimana tempat tidak ada Rio dan orang-
orang seperti Rio.
“Permisi, bisa duduk di sebelah kamu,” seorang pemuda berkata padaku.
“silahkan,” kataku mempersilahkan.

Aku sadar pemuda ini sedari tadi memandangiku, tapi aku tidak mengenalnya.
Mungkin dia berpikir seperti anak lain, bahwa aku ini cupu. Bagaiamana bisa orang sepertiku
masuk di sastra, harusnya aku masuk di MIPA atau jurusan lain yang lebih tepat dengan
tampangku. Tapi aku memang lahir di dunia sastra dan seni. Ayahku seorang musisi dan
Ibuku seorang pelukis. Aku mencintai sastra sejak aku berusia 12 tahun.
“Kamu yang kemarin, emm.. dengan Rio?” pertanyaan pemuda itu membuatku
bingung. Aku hanya meliriknya, dan mungkin dia mengerti tatapan mataku yang berarti.
“maksudmu?”
“Kemarin kamu yang ditarik rambutnya sama si Rio? Aku Rama, yang kemarin
bebasin rambut ekor kuda kamu dari Rio.” Dia menjelaskan dengan baik, oh jadi dia pemilik
tangan malaikat itu. Bukankah dia teman Rio? Mengapa dia menyelamatkanku?

“Oh, iya. Terima kasih, aku Raleta,” aku mengulurkan tangan kananku, dan dia
membalas.
“Mengapa Rio melakukan itu padamu?” dia semakin ingin tahu, sama seperti rasa
ingin tahuku.
“Mengapa kamu menolongku, bukankah kamu ini temannya Rio?”
“Emm, Rio itu sepupuku. Dia memang bukan orang yang baik, dia tidak memiliki
sopan santun dan tidak tahu cara menghargai orang lain,” kemudian dia seperti salah tingkah.
Aku rasa Rama orang yang baik, dia berbeda dengan Rio.

Semenjak obrolan di kelas itu, aku menjadi dekat dengan Rama. Dia orang yang
ramah dan baik padaku, tidak seperti orang lain yang hanya menilaiku dari penampilanku.
Hari ini dia akan datang ke rumahku, berjanji akan mengajakku ke lapangan untuk berlatih
basket.
“Ta, kamu di mana?” kata Rama di telepon.
“ya di rumah lah, kenapa?” tanyaku.
“Aku udah di depan rumah kamu nih,” belum selesai dia berbicara aku segera
melompat dari kasurku menuju pintu rumah. Di ruang tamu aku sudah melihat Rama
dipersilahkan duduk oleh Ibu.
“Leta, kok nggak bilang kalau ada temennya mau main ke sini?” tanya Ibu padaku.
“Hanya sebentar bu, setelah ini kami mau ke lapangan basket,” kataku terbata karena
malu ada Ibu, mengajak teman pria ke rumah. Ibu hanya tersenyum lalu masuk ke dapur.
“Bu, aku buru-buru, aku pergi dulu ya!” teriakku dari ruang tamu, lalu menarik Rama
ke luar rumah.
Ibumu? Masih sangat muda,” komentar Rama pada Ibuku.
“Iya, dia masih sangat muda, namun dia tidak mau menikah lagi,” aku menundukkan
kepalaku.
“Maksudmu? Ayahmu?” Rama menatapku dalam.
“Iya, Ayah meninggalkan aku dan Ibu untuk menikah dengan wanita lain.” Aku
menatap Rama dan tersenyum pahit.
“Hei, mengapa naik motor? Kita bisa berjalan kaki kan? Lapangan tidak jauh dari
sini.” Kataku padaku Rama yang sudah siap di atas kudanya itu.
“Oh ya? Aku lebih suka jika kita berjalan kaki. Itu artinya, aku bisa mengobrol lebih
lama denganmu,” mukaku mendadak memerah persis seperti udang rebus, itu pertama kalinya
dia menggodaku.
Aku menyukai basket karena Rama, karena Rama membawaku ke dunia yang dia
sukai. Begitu juga dengan Rama, yang menyukai musik yang aku suka. “Aku nggak nyangka
kamu jago main gitarnya ta. Aku denger ada lomba covering lagunya Adera, hadiahnya
lumayan. Kamu ikutan aja deh,” kata Rama setelah mendengarkan ku menyanyikan sebuah
lagu dari Geisha.
“Ah, itu kan videonya harus bagus ma. Aku nggak jago bikin video bagus,” aku malu
mengakui kelemahanku.
“Itu kecil ta, serahin aja ke aku. Konsepnya biar aku aja yang bikin, kamu nyanyi aja
yang bagus deh!” kata Rama semangat. Aku hanya tersenyum melihat dia bersemangat seperti
itu.
Selama projek pembuatan video covering, aku semakin dekat dengan Rama. Bahkan
aku merasa ada yang berbeda dari perasaanku terhadap Rama. Seperti terkadang
merindukannya di malam hari, teringat wajahnya di kala aku melamun. Ini seperti orang jatuh
cinta. Aku sangat tersiksa dengan perasaan ini. Meskipun aku bahagia ketika ada di sisinya,
sering pula napasku seperti tercekik, dadaku seperti ditusuk jarum dikala aku merindukannya.

Dua minggu setelah pembuatan video, aku merasa jauh dengan Rama. Tiba-tiba dia
seperti menjauhiku. Seperti tidak membalas pesan singkatku, tidak menyapaku ketika
bertemu. Mengapa harus seperti ini? Dia menjauh di saat mulai tumbuh perasaan cinta
untuknya? Aku sering kali merenung, mengapa ini terjadi padaku. Cinta tidak adil padaku,
apa karena aku ini anak culun, apa karena aku anak kurang pergaulan? Apa karena aku tidak
cantik? Ku fokuskan pandanganku pada cermin di kamarku. Rambut ekor kuda ini, kacamata
ini, kawat gigi ini, semua memperburuk pandanganku.

“Ibu, mengapa aku selalu seperti ini? Dicampakkan seperti ini? Apa karena ini?”
tanyaku pada Ibu sambil aku menarik rambutku. Ibu tersenyum melihatku marah pada dua
ekor kuda itu, lalu Ibu melepaskan kepangan rambutku. Kemudian melepas kacamataku, yang
membuatku susah mengenali wajahku. Ibu pergi entah ke mana, lalu kembali lagi seperti
membawa sebuah benda yang aku taksir itu semacam lensa kontak.
“Pakailah ini, ini akan membantu penglihatanmu,” kata Ibu sambil meyodorkan lensa
kontak itu padaku. Lalu aku memasangnya pada sepasang mataku. Aku bisa meliihat dengan
jelas, rambut cokelatku tergerai manis, dan aku sadar, aku tidak seburuk rupa yang aku pikir
selama ini.
“Kamu cantik Leta, sekarang nyatakanlah perasaanmu pada Rama, Ibu yakin dia tak
akan menolakmu,” Ibu memang seperti paranormal yang tahu akan semua kegelisahanku
selama ini. Aku memeluk Ibu dengan sangat erat, dan terus berkata “Terima kasih Ibu.”
Sungguh hari ini ku tekadkan untuk menyatakan perasaanku pada Rama. Tepat di saat
malam valentin ini. Ku lihat layar di handphone-ku, ada sebuah panggilan dari Rama. Aku
terkejut, setelah penguploadan video cover itu, Rama sama sekali tak pernah menghubungiku.
“Halo? Ada apa ma?” tanyaku pada Rama.
“Ta, aku ada kabar baik buat kamu. Video kamu menang ta! Juara satu ta! Suara kamu
emang paling oke!” nada yang sangat gembira dan bersemangat di seberang sana. Namun aku
mendengar seperti suara agak berat, dan terlalu dibuat-buat.
“Serius kamu?” tanyaku meyakinkan.
“Serius, aku sudah meminta Rio mengantarkan hadiahmu. Sekarang dia sedang
menuju rumahmu,” kata Rama.
“Lalu, di mana kamu ma? Mengapa bukan kamu yang mengantarkan hadiah kita?”
belum selesai kulontarkan semua pertanyaanku, sambungan teleponnya terputus.
Malam ini aku yang sengaja memakai gaun kesayanganku, dan bersiap menyatakan
cintaku untuk Rama telah pupus oleh sebuah telepon yang terputus begitu saja. Sudah ku
rencanakan, hari ini aku akan datang ke rumahnya menyanyikan lagu Adera yang berjudul
lebih indah. Karena memang lagu itulah yang cocok untukku. Namun semua sia-sia, gaun ini,
riasan ini, gitar ini. Tak sadar air mataku jatuh membasahi pipiku. Mengapa Rama? Mengapa
kamu lakukan ini padaku?
Kemudian ku dengar seseorang mengetuk pintu rumahku, dan ternyata itu adalah Rio
yang membawakan hadiah yang telah ku menangkan. Aku melihat Rio sedikit tertegun
melihatku berbeda hari itu, namun aku tak memberikan waktu Rio berkomentar. Setelah ku
terima hadiah itu, ku persilahkan Rio pulang dan segera aku menutup pintu rumahku. Kembali
aku masuk ke kamar tercintaku, dan aku memandang ke cermin lagi. Aku, Raleta tetaplah
Leta yang dulu. Si culun yang dulu, dan tak akan pernah berubah. Selamanya orang akan tetap
menilai sama padaku. Raleta tetap Raleta si anak culun dan anak kuper. Selamanya aku akan
masuk dalam kotak manusia ini. Tak akan ada cinta yang layak untukku, untuk si culun ini.
Perjuangan Meraih Mimpi

Sindi gadis cantik dan cerdas, ia terlahir dari keluarga kurang mampu. Ayahnya telah
meninggal saat ia masih duduk di bangku SMP kelas 3. Sindi anak pertama dari tiga
bersaudara, kini ia hanya tinggal bersama ibu dan kedua adiknya yang masih duduk di bangku
SD. Pekerjaan ibunya sehari-hari sebagai buruh tani. Saat ini Sindi duduk di SMK Farmasi
Bojonegoro, biaya sekolahnya cukup mahal. Sehingga membuat Sindi harus bekerja di sebuah
Perumnas. Majikannya sangat baik hati semua biaya sekolah ditanggung olehnya. Sindi kini
tinggal bersama majikannya untuk mengurus rumah sang majikan. Di sekolah Sindi terkenal
siswa yang sangat tanggap dalam proses belajar.

Semua perhatian guru tertuju padanya, sehingga banyak siswa yang iri. Setiap harinya
selalu mendapat ejekan dari teman sekolahnya. Tapi tidak semua temannya
memperlakukannya seperti itu. Nadia teman yang selalu ada di sampingnya. Nadia berbeda
dari Sindi yang hanya anak buruh tani. Nadia terlahir dari keluarga yang kaya tapi Nadia tak
pernah menyombongkan diri. Kedekatan mereka sudah seperti saudara sendiri.

Jarum jam menunjukan pukul 03.00 pagi Sindi bangun dari tidurnya dan mengambil
air wudhu untuk melakukan sholat tahajud, diakhir sholat tidak lupa ia berdoa meminta
keinginan yang sangat ingin dicapainya. Selesai berdoa ia ke dapur mengambil sepiring nasi
dengan lauk tempe, dimakannya dengan lahap untuk sahur. Lalu ia mengambil buku pelajaran
untuk dibacanya sambil menunggu sholat subuh. Kegiatan ini dilakukan setiap hari, Udara
pagi begitu sejuk dan mentari dipagi hari selalu mendukung aktivitasnya. Setelah semua
kegiatan telah terselesaikan ia berangkat sekolah dengan mengayuh sepeda yang jarak dari
rumah ke sekolah sekitar 2 km. Sampai di sekolah ia masuk dan mengikuti pelajaran yang
akan segera dimulai.
Bel masuk berbunyi jam pertama dimulai tapi saat itu guru pengajarnya tidak hadir.
Tiba-tiba tiga cewek datang menghampiri Sindi dan menariknya ke luar menuju kamar mandi.
Sindi hanya terdiam tak berani membantah. Nadia yang tahu akan hal itu langsung
mengikutinya dari belakang.
“Dasar cewek sialan!” bentak salah satu cewek dari ketiga cewek itu
“Apa salahku sampai kalian ngebuli aku terus?” tanya Sindi sambil menangis
“Eh… gembel. Kamu seharusnya tahu kalau yang dipuji-puji semua guru itu aku
bukan kamu. Kamu itu gak pantas diperlakukan seperti itu.” Bentak cewek tadi
Sindi hanya terdiam dan tak bisa berkata apapun pada mereka. Nadia datang
menghampiri mereka, Nadia pun menghentikan perkataan yang diucapkan oleh ketiga cewek
itu, dan mereka bertiga pergi meninggalkan Nadia dan Sindi.
“Kamu tidak apa-apa kan Sin?” tanya Nadia
Sindi hanya menggelengkan kepalanya, Nadia pun memeluk Sindi dan membawanya
kembali di kelas.

Hari-hari mereka lalui dengan penuh canda tawa dan suka cita bersama. Sampai tiba
saatnya detik kelulusan sekolah, Hal itu membuat para siswa dalam tangisan bahagia dan
duka. Sindi dan Nadia akhirnya lulus dan keduanya saling berpelukakan untuk perpisahan
pertemuan mereka. Yang membuat bangga nilai ujian Sindi tertinggi nomor dua dari seluruh
siswa di Indonesia. Sehingga ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke Universitas Gajah
Mada impiannya selama ini. Tapi ia juga ingin sekali mencari pekerjaan yang lebih baik untuk
ibu dan kedua adiknya.

Sindi tak bekerja lagi di rumah majikannya, sebelum pergi tak lupa ia menyampaikan
ucapan terima kasih atas bantuan yang diberikan majikannya selama ini. Ia pun melamar
pekerjaan di perusahaan “Kable Farma” sebagai detailer. Walau jarang orang bercita-cita
menjadi detailer, tak mudah pula untuk memasukinya. Persyaratan menjadi tenaga pemasar
farmasi sangat rumit seperti memiliki kepribadian yang menarik, fisik dan mental yang kuat,
memiliki kemampuan komunikasi yang baik, sehat jasmani dan rohani dengan melalui tes
kesehatan maupun psikotest. Banyak saingan tidak membuat ia mundur begitu saja, tapi
menambah semangat untuk mendapatkan pekerjaan itu.
Setelah berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai detailer selanjutnya ia menjalani
serangkaian pelatihan yang terdiri medical knowledge, produk knowledge, selling skill, dan
peraturan perusahaan. Bila sudah lulus pelatihan ia akan ditugaskan di berbagai kota dan
daerah di seluruh Indonesia. Beruntungnya ia ditempatkan di daerah Yogyakarta dimana
tempat ia kuliah. Pagi sampai sore ia kuliah dan sore sampai malam bekerja, itu dilakukan
setiap harinya. Belum lagi tugas kuliah yang menumpuk, tetapi ia melakukannya dengan
ikhlas dan senang hati. Ditengah kesehariannya ia juga mengunjungi panti asuhan untuk
memberi bantuan dengan apa yang dimilikinya. Sindi meluangkan waktunya untuk bermain
dan berbagi ilmu dengan anak-anak panti asuhan
Perhatian serta kasih sayangnya terhadap mereka sangat tulus dan begitu akrab. Wajah
mereka seakan berubah saat Sindi pergi meninggalkan panti. Semangatnya seakan tenggelam
dalam lautan.
“Adek-adek kakak pulang dulu ya, besok kalau ada waktu kakak pasti kesini.”
“Kok gitu sih kak, kami masih mau main dan belajar bersama kakak” kata salah satu
anak panti tersebut.
“Nggak boleh sedih gitu dong, nanti kakak ikut sedih. Mana semangat kalian” kata
Sindi.
“Iya kak kita gak sedih lagi, kakak hati-hati ya kalau pulang” jawab anak itu
Sindi pun menuju kost dan beristirahat sejenak untuk menghilangkan capek.
Kebiasaan buruk selalu dilakukan kembali yaitu tidur sambil membaca, ia pun tertidur lelap.
Malam harinya ia berangkat bekerja dengan mengendarai motor dengan kecepatan 50
km/jam. Di tengah perjalanannya mulai terasa capek dan mengantuk. Braaaaak…!!! Tiba–tiba
menabrak sebuah bus yang ada di depannya dari arah berlawanan ia terpental mengenai truk
di belakangnya dan jatuh di jalan, darah segar keluar deras, matanya buram seakan tak bisa
melihat apa yang telah dialami. Mobil ambulan segera datang dan membawa Sindi menuju
rumah sakit untuk mendapatkan penanganan segera. Setelah sampai ia pun dibawa di ruang
UGD, dokter dan perawat bergegas menanganinya dengan cepat. Ibu Sindi mendapat kabar
tersebut langsung pergi menuju rumah sakit dimana anaknya dirawat walaupun harus
menempuh jarak jauh. Selesai ditangani dengan segera, dokter memberitahukan bahwa kaki
kanan Sindi harus segera diamputasi. Karena lama menunggu, dokter menghubungi ibunya
Sindi untuk meminta keputusan. Tak berpikir panjang sang ibu menyetujuinya. Kemudian
operasi dilakukan dengan segera karena biaya operasi juga sudah ditanggung oleh perusahaan
di mana Sindi bekerja. Beberapa jam kemudian operasi berhasil dilakukan. Sindi kemudian
dipindahkan ke ruang perawatan. Ia berada di ruang perawatan seorang diri tanpa ada yang
menemani karena sang ibu belum sampai di rumah sakit.
Pagi hari ibunya baru sampai rumah sakit karena keadaan jalan yang macet. Ibunya
hanya bisa meneteskan air mata tak tega melihat sang putri kesayangannya berbaring lemah.
Nadia yang tahu berita bahwa Sindi kecelakaan langsung menghampirinya di rumah sakit.
Sampai di sana Nadia hanya bertemu dengan ibu Sindi, Sindi pun baru siuman dan ia
kebingungan dengan keadaan ruangan yang ia tempati selain itu ada juga Nadia dan ibunya
yang hadir di sebelahnya.
“Ibu, Nadia ada apa kok pada ngumpul, trus ini aku di mana?” tanya Sindi bingung
“Kamu ada di rumah sakit kemarin kamu kecelakaan” jawab Nadia
Sindi kaget kemudian ia mengingat kejadian kemarin saat ia mencoba menggerakkan
anggota badannya. Di situlah ia merasakan keganjalan bahwa ada sesuatu yang terjadi pada
kaki kanannya. Ia pun membuka kakinya yang tertutup selimut. Setelah melihat apa yang
terjadi ia menjerit shok dan menangis, ibunya memeluk dan Nadia berusaha
menenangkannya.
“Sin, semua udah terlanjur aku yakin cobaan ini pasti ada hikmahnya, kamu harus
tetap optimis kejar impianmu. Anggap saja ini ujian dibalik kesuksesanmu, percayalah Allah
tidak akan menguji hambanya melampaui batas kemampuan umatnya” kata Nadia
“Terima kasih Nad kamu selalu ada buat aku dan selalu mengingatkanku” sahut Sindi.
“Sama-sama” jawab Nadia
Nadia memeluk Sindi dengan erat, beberapa hari setelah keadaan Sindi membaik ia
diperbolehkan untuk pulang.
Setelah beberapa hari Sindi kembali bekerja lagi, tetapi atasannya tidak bisa
menerimanya lagi karena fisiknya yang tak sempurna. Atasannya kurang yakin dengan
kondisinya sekarang yang tak memungkinkan untuk bekerja kembali. Sindi terus memohon
dan meminta kesempatan untuk membuktikan bahwa ia layak untuk tetap bekerja walaupun
dengan satu kaki. Akhirnya dengan begitu Sindi diterima kembali. Pekerjaannya dilakukan
dengan tekun dan membuat atasannya merasa bangga kepadanya.
Hari pertama saat ia kembali bekerja cobaan selalu datang menghampirinya. Di
kantornya ada salah satu teman yang tidak menyukainya kalau Sindi selalu dipuji atasnnya.
Tiba saatnya Sindi difitnah bahwa ia mencuri uang perusahaan. Kemudian ia dibawa ke
kantor polisi untuk ditindak lanjuti, di penjara Sindi tidak pernah berhenti berdoa dan sholat
malam untuk memohon petunjuk. Selang beberapa hari telah terungkap kejadian yang
sebenarnya. Kini dia merasa senang karena semua doanya terkabul, salah satu rekan kerja
yang selalu dekat dengannya tahu kejadian yang sebenarnya dan melapor pada atasannya agar
Sindi segera dibebaskan. Dan ia akhirnya bisa kembali bekerja dan belajar lagi.
Sindi mulai belajar mengendarai motor dengan satu kaki, dan akhirnya terbiasa.
Sampai sekarang ia tetap kuat menjalaninya. Di sisi lain musibah datang berturut-turut
bangunan yang telah dibelinya digusur oleh Negara karena tanah yang ditempati masih hak
milik Negara. Ia telah kehilangan puluhan juta untuk membeli bangunan itu. Tawakal dan
tabah selalu ia tanamkan dalam hati dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikannya.
Walapun masalah datang silir berganti, tak membuatnya lelah dan menyerah terhadap
masalah yang datang.
Setelah lama bekerja ia mengambil hari untuk cuti dan pulang ke halaman rumah
menemui sang ibu untuk menghilangkan rasa kangennya. Di sana ia menghabiskan waktunya
bersama adik dan ibunya. Dulu hidupnya tak seperti sekarang, untuk membeli secarik kain tak
pernah ia dapatkan, tapi kini berbeda semua yang diinginkan adik-adiknya pasti dibelikan.
Setelah selesai berlibur Sindi kembali ke Yogyakarta. Memulai tugasnya sebagai
mahasiswi dan pekerja. Kini ia sudah menempati semester ke 8 sebentar lagi pelaksanaan
ujian kelulusan. Tiba saatnya Sindi terus berdoa dan belajar demi meraih kelulusan dan gelar
sebagai apoteker. Setelah terlewati masa ujian kini hanya menunggu pengumuman kelulusan.
Irama jantung bergetar cepat seakan ia dikejar seekor srigala, raut wajah gelisah, keringat
dingin keluar deras. Sindi yang duduk di sebelah ibunya di aula memegang erat tangan sang
ibu dan terus berdoa, tak henti kata solawat terucap di bibirnya.
Pengumuman dinyatakan lulus semua dan dibacakan yang akan mendapat nilai
tertinggi, ternyata Sindi salah satu mahasiswi yang mendapat kemenangan. Ia mendapat
banyak tawaran untuk bekerja. Tapi ia tetap setia bekerja sebagai detailer. Ibunya terus
membujuknya agar berpindah pekerjaan karena ibunya tidak tega melihat sang anak kesulitan
bekerja dengan satu kaki. Akhirnya ia menerima tawaran di rumah sakit sebagai apoteker.
Setelah beberapa tahun, ia mendapat tawaran di Amerika. Ia pun mengambil tawaran itu
dengan izin sang ibu.
Tiba saatnya berangkat ke Amerika ia menyiapkan segala yang akan dibawanya.
dimana mimpinya kini terwujud. Kehidupannya kini berubah drastis. Setelah bekerja di
Amerika. Ia bertempat tinggal di sana hanya sementara. Di Amerika ia bertemu dengan
seorang pria tampan yang berprofesi sebagai dokter yang bernama Marcell. Kedekatan
mereka mulai terlihat. Marcell mulai mendekati Sindi. Setelah lama saling mengenal dan tahu
isi hati mereka akhirnya direncanakan hari pernikahan. Pernikahan akan dilaksanakan di
Indonesia. Ibunya sangat bangga memiliki seorang putri yang selalu berjuang untuk meraih
mimpi. Kini Sindi berhasil meraih cita dan cintanya yang selama ini ia impikan.
“Jadikan impianmu sebagai mimpi yang kenyataan, jangan hanya sekedar mimpi tapi
tidak kau perjuangkan. Sekurang apapun diri kita jika kita memiliki semangat dan kemauan
pasti akan terwujud segala mimpimu, berdoa, tirakat dan berusaha adalah salah satu kunci
menuju sukses. cinta memang penting tapi ketahuilah bahwa cinta akan datang dengan
sendirinya setelah kamu berhasil meraih cita-citamu
Hampa

(Part 1)
Jam menunjukkan pukul 5 sore, aku melangkahkan kakiku menuju rumah singgahku,
aku berjalan menyusuri setapak yang sepi ini, hari yang melelahkan sehabis kerja seharian,
sepertinya akan kugunakan waktu luangku untuk istirahat.
Sepi
Sepi
Sepi
Di rumah ini memang sepi dan biasanya juga selalu sepi karna memang aku tinggal
sendiri. Yah aku memang workholik sejati aku menyibukkan diri bekerja setiap hari bahkan
saking sibuknya bekerja terkadang aku lupa waktu, bagiku bekerja adalah prioritas utamaku.
Drrrrr… Hanphoneku berbunyi
(call Mita)
“halo”
“halo lit, ada acara sabtu besok gak kita weekend dan hangout yuk bareng linda, aulia,
bobby dll, cuma teman-teman kantor kok yang ikut”
“aduh mit, maaf yah aku gak ada waktu besok, aku sibuk bye mit”
Aku menutup telephoneku dan beranjak untuk tidur.
Huffft hari yang melelahkan menguras fikiran dan emosi, hari ini aku tidak tau apa
yang aku rasakan..
Apakah aku bingung?
Lalu apa yang aku bingungkan
Ataukah marah?
Tapi marah sama siapa, saat ini aku sendiri tidak ada orang lain.
Mungkin kesal?
Hahahaha apa yang aku kesalkan
Sedih?
Tidak mungkin untuk apa sedih aku sudah punya segalanya pekerjaan, uang, harta yah
itulah semua yang aku punya. Sekarang seharusnya aku bisa tertawa bahagia karena aku
sudah sukses apa yang aku impian semasa kecil sudah tercapai tapi tetap saja ada hal-hal yang
mengganjal di hatiku dan diam-diam aku mendambakannya itu entah apa namanya sulit untuk
dijelaskan. Sudahlah lupakan semuanya saatnya tidur.
Seperti biasa jika hari kerja tiba jalanan di kota ini selalu ramai dan disinilah aku
duduk si halte menunggu taksi, beberapa menit taksi yang ditunggu tak kunjung datang
padahal aku sudah siap-siap sejak pagi tadi karna hari ini ada rapat dengan klien dan bos
mempercayakan aku mempersentasikan semuanya.
“aduh sudah setengah 7 lagi bisa-bisa aku terlambat nih”
Aku bergegas kepangkalan mencari ojek, aku harus cepat sampai kesana dan aku tidak
ingin proyek kali ini gagal karena ku selalu berhasil mengambil hati klien, bos sangat percaya
padaku dan aku tidak ingin mengecewakannya bisa-bisa jabatanku sebagai ketua di kantor
terancam, tidak akan kubiarkan hal itu terjadi, tidak akan kubiarkan.
Saat ingin belok ke pangkalan ojek tiba-tiba sedan hitam berhenti di depanku dan
menurunkan kaca mobilnya.
“mau bareng gak?” katanya menawarkan tumpangan.
“gak usah aku mau naik ojek saja” jawabku menolaknya.
“gak takut terlambat, hari ini ada meeting dengan klien kan?”
Kok dia bisa tau yah
“iya aku tau, tapi aku tidak ingin merepotkanmu bob, lebih baik pergilah nanti kau
ikut terlambat lagi” kataku agak mengusir.
“kau mengusirku lit? Hahahaha lagi pula jika aku terlambat tidak akan repot, tapi jika
kau yang terlambat apa kau sudi aku yang menggantikanmu”
“apaaaaaa”
Kata-katanya itu membuatku syok dia tau kelemahanku, aku memang cukup berhati-
hati padanya sepertinya dugaanku selama ini benar dia mengincar posisiku. Walaupun dia
anak CEO di perusahaan kami tapi aku yang pantas mendapatkannya karna hasil kerja
kerasku sendiri dan dia tidak boleh seenaknya memanfaatkanku.
“kenapa?? mau gak”
“iya deh”
Kataku mengiyakan karna perkataannya itu aku jadi khawatir dan juga memang tidak
ada pilihan lain jika tidak ingin terlambat sampai ke kantor.
Hening… hanya ada suara sayup-sayup kendaraan dari luar yang terdengar dari dalam
mobil ini, dan sekarang aku jadi tidak mood.
“lit, kemarin sibuk banget yah sampai tidak mau datang ke acara lounching buku aku
padahal ku sudah mengundangmu loh”
“masa sih tidak ada undangan yang sampai tuh”
“bukannya jumat sore mita menelephonemu, tapi katanya kamu sibuk”
“iya, tapi dia gak bilang mau acara lounching buku dianya bilang hangout aku tidak
ada waktu untuk itu, lagi pula jika kau yang mengundangku kenapa mesti menyuruh orang
lain”
“ohhh begitu yah hmm iya itu aku yang menyuruhnya kok soalnya kalau aku yang
mengundangmu kau pasti tidak datang”
Aku tidak mengerti maksud orang ini, apa bedanya dia dengan mita akupun tidak
menghiraukannya aku tidak ingin berdebat.
Lama tak ada suara akhirnya dia berbicara lagi.
“lit maaf yah aku lancang tapi kenapa sih kau itu terlalu serius, cuek, dan jutek
terutama sama aku”
“memang kenapa? Apa untung dan ruginya aku untukmu lebih baik kau urusi saja
dirimu sendiri kalau kau mau mengambil posisiku jadi ketua jangan berbuat curang tapi
raihlah dengan prestasi jangan memanfaatkan kelemahan orang lain”
Akhirnya aku mengatakannya walaupun membuatnya tersinggung dan dia refleks
menatapku sepertinya dia tidak percaya apa yang kukatakan mungkin dia kaget aku
mengetahui semuanya. Dia diam sejenak dan akhirnya berbicara.
“Lita aku sedih ternyata selama ini aku benar kau menaruh curiga padaku dan tidak
menyangka kau bisa berfikir seperti itu. Memang dulu aku memang ingin mengincar posisimu
tapi sekarang tidak lagi seleraku sudah hilang, dan lagi pula aku hanya ingin berteman
denganmu apa itu salah?”
Aku diam seribu bahasa LAGI PULA AKU HANYA INGIN BERTEMAN
DENGANMU kata-katanya itu membuatku bungkam, aku seperti terbangun dari tidur
panjangku baru kali ini ada orang yang mengatakan ingin berteman denganku walaupun aku
mempunyai teman sekolah dulu tapi mereka hanya memanfaatkanku tidak benar-benar tulus
dan itulah alasannya aku berhati-hati dan cuek ke semua orang.
“sudahlah bob, lupakan semuanya lebih baik kau fokus menyetir aku tidak ingin
terlambat”
“ok nyonya Nuralita Kesuma, sebentar aku ke ruanganmu yah aku mau kau
membacanya bukuku” kata bobby memohon dan di sepanjang perjalanannya dia selalu
melemparkan lelucon-leluconnya itu dan sukses membuatnya ketawa, dan aku tidak tau
kenapa aku bisa tertawa ini seperti bukan diriku yang asli.
Sudah seminggu sejak pertemuanku dengan bobby itu aku makin akrab saja
dengannya seperti setelah rapat dengan klien dia mengajak makan siang bersama dan
membaca bukunya yang cukup keren itu semua teman kantor menatap kami heran, bukan
apanya aku dulu sangat alergi serta tidak pernah berbicara dengan seorang yang bernama
Bobby Kusuma Ningrat itu dan lucunya aku bahkan sudah melupakan niat jahatnya itu dalam
sekejap. Aku juga tidak mengerti ini mengapa bisa terjadi mungkin berteman dengan dia yang
seorang humoris rasa hampa yang aku rasakan agak berkurang.

(Part 2)
Yah akulah seorang Lita wanita berusia 23 tahun yang merasakan kehampaan itu sejak
berumur 6 tahun ayah dan ibuku bercerai saat itu ibu pergi dari rumah sejauh mungkin, aku
tidak tau kemana dan penyebabnya apa dan tinggal bersama ayah bukanlah hal mudah dan
saat ku tau mama pergi dari rumah karna ayah berselingkuh rasanya hatiku seperti dihujam
duri yang tajam dan bayangkan saat ayah menikah dengan istri barunya dia menitipkanku ke
rumah nenek dan membawa istri barunya pindah keluar negeri. Sejak tinggal di rumah nenek
aku kurang kasih sayang kedua orangtuaku akibatnya aku jadi pendiam, sulit bergaul, dan
hari-hariku selalu suram. Kurang lebih 16 tahun aku tidak bertemu mereka lagi hanya lewat
telepon kami bertukar kabar dan hanya mengirimkanku uang biaya sekolah, sampai sekarang
aku hidup mandiri.
Aku mengerti sekarang mengapa aku selalu sedih sepulang kerja karena sejak kecil
aku sudah terlahir sebagai anak broken home merasakan hampa yang berkepanjangan, kurang
kasih sayang, cinta dan ketulusan. Hatiku yang dulunya lunak seiring berjalannya waktu
berubah jadi keras sekeras batu dan entah kapan akan menjadi luluh.
“tok… tok… tok…”
“masuk”
Jawabku yang sukses membuatku terbangun dari lamunan karna suara ketukan.
“Lita dipanggil bos tuh, katanya ke ruangannya sekarang” kata Dini sekertarisku.
“iya aku akan segera kesana”
Dan ternyata bos mempercayakanku lagi untuk kerja proyek baru, dan proyek kali ini
aku ditugaskan bekerjasama dengan bobby, aku sangat antusias.
Hari yang panas matahari bersinar terik, yah disinilah aku bersama bobby yang
mengerjakan proyek baru itu, kuperhatikan dia sedang mengobrol dengan rekan kerja kami
sepertinya dia sangat serius, keringat di dahinya menyucur di pelipisnya dan sukses
membuatku tersenyum dia refleks melihat kearahku dia tersenyum juga awalnya aku kaget
tapi akhirnya aku ikut tersenyum kembali, lama kami saling berpandangan dan akhirnya aku
mengalihkan pandangan kearah lain dan kembali bekerja.
“boleh duduk disini?”
“boleh kok”
kataku yang mengambil jeda intuk istirahat di bangku taman dan bobby mengambil
tempat di sampingku.
“pemandangannya indah yah kamu memang pintar pilih tempatnya”
“hahaha apaan sih bob, tempatnya yang memang indah kali”
“anginnya disini sejuk sesejuk hatiku melihatmu yang akhirnya bisa tersenyum,
bunga-bunga disini juga cantik-cantik secantik wajahmu”
Kata bobby sambil menatapku, aku menatap balik dan akhirnya tawa kami pecah
bersamaan.
“hahaha kamu lucu banget sih aku jadi geli tau”
“nah gitu dong lit, sesekali tersenyum kenapa sih nikmati hidup”
Katanya lagi sambil menyenderkan kepalanya ke bangku taman mengadah ke langit,
akhir-akhir ini pembicaraanku dengan dia semakin lumer saja.
“makasih yah bapak Bobby mau menjadi temanku, aku sangat bahagia punya teman
sepertimu”
“sama-sama ibu Lita aku juga dengan senang hati mengenalmu, tapi kalau boleh tau
apa yang membuatmu sedih selama ini aku kepo loh” katanya sambil menyengir kuda.
Akhirnya aku menceritakan semuanya masa-masa kelamku itu, aku juga tidak
mengerti mengapa dia yang aku percayakan padahal selama ini aku selalu menyimpan rapat-
rapat masalahku sendiri tapi saat melihat dia yang serius serta muka tulusnya itu akhirnya aku
luluh juga.
“sudahlah tidak usah bersedih lita, asal kamu tau aja aku juga punya masa kelam dan
semua orang juga mempunyai itu, seperti aku yang sebenarnya bukan anak kandung dari pak
Wijaya Kusuma Ningrat dia tidak mempunyai keturunan dan demi meneruskan usahanya itu
dia harus mengadopsi seorang anak laki-laki yaitu aku dan aku selalu dipaksa jadi orang lain,
dimasukkan sekolah yang bukan keinginan kita, bersikap formal setiap saat dan juga selalu
menjaga nama baik keluarga Wijaya itu semua membuatku stres. Sifat asli aku mah cuek, apa
adanya aku bahkan lebih menyukai menulis dari pada kerja kantoran dan semua itu aku
korbankan selama bertahun-tahun, itulah sebabnya selama ini aku mengincar posisimu dulu
supaya ayah bisa tau aku juga bisa sukses pimpin perusahaan tanpa merubah sifat asliku tapi
aku kembali tersadar tidak sehebat kamu lagi pula jiwaku ada di seni menulis.
Ya ampun selama ini aku berburuk sangka kepadanya aku jadi merasa bersalah.
Mendengar cerita bobby aku seperti mempunyai teman.
“tapi sering ketemu orangtua kandung kan?” kataku bertanya.
“jangankan ingin bertemu, mengenal wajahnya saja tidak lit dan sampai sekarang aku
tidak tau apakah mereka masih ada atau tidak”
“ohh aku tidak tau, maaf yah membuatnya sedih”
“tidak apa-apa… ngomong-ngomong aku sudah lama memperhatikanmu, kau tidak
seperti teman yang lainnya kau hanya sibuk dengan duniamu sendiri dan tidak peduli
bagaimana di sekelilingmu. Dan kamu harus janji yak sama aku harus lebih semangat lagi kita
juga ada loh di sampingmu yang siap menerimamu”
Aku mengangguk sambil mengangkat jari kelingkingku.
“janji”
“janji yah”
Balasnya sambil menautkan jari kelingking kami.
ehh lit, sekarang kita sudah berteman kan”
“iya…”
“mau gak jadi sahabat aku”
“mau banget, dan mungkin memang kita ditakdirkan untuk bertemu karena kita
senasib”
“iya kita senasib dan nama kita juga agak mirip ada KUSUMAnya gitu, jangan-jangan
kita jodoh lagi”
“Apaan… hahahahaha”
Kamipun tertawa bersamaan.
Yah bobby memang pandai membuat suasan yang tadinya dingin jadi cair, sedih jadi
ceria, dari dia aku belajar banyak hal bahwa kita hidup harus banyak-banyak bersyukur
jangan mengeluh karna masih banyak orang yang lebih menderita dari kita. Dia pernah cerita
jika dia sedih dia tidak ingin tenggelam lebih dalam yang dapat membuatnya depresi dan
lebih memilih melakukan hal yang positif. Aku sangat senang bertemu dan mempunyai teman
seperti dia teman kerja sekaligus teman segala-galanya.
Dan sekarang aku bersyukur meskipun aku jarang bahkan tidak pernah bertemu lagi
dengan orangtuaku setidaknya mereka masih ada dan sering menanyakan kabarku apakah aku
baik-baik saja atau sebaliknya dan mereka sangat bangga kepadaku yang sudah dewasa dan
mandiri ini.
Aku tidak boleh egois dan marah sama mereka bagaimanapun mereka adalah kedua
orangtuaku berkat mereka aku ada di dunia ini dan mama hanya mengasingkan diri mengobati
hatinya yang luka, papa keluar negri demi tuntutan pekerjaannya yang telah membiayai aku
kuliah.
Dan semenjak aku berteman dengan bobby sifatku pun perlahan-lahan aku ubah yang
tadinya cuek sekarang lebih peduli kepada teman-teman kantor dan ternyata mereka asyik
tidak sejahat yang aku duga hanya saja sifatku yang selama ini yang dingin ke mereka.
Dan hal yang kucari selama ini akhirnya kutemukan, yang mengganjal di hatiku sudah
hilang, aku menemukan orang-orang baru hebat yang membuat hatiku luluh, teman-teman
yang nantinya akan berubah jadi sosok sahabat. Hari-hariku yang monoton, kosong dan
hampa sekarang semuanya pudar.
Satu hal yang dapat kupelajari dari masalah ini adalah banyak-banyaklah bersyukur
dan pergilah temukan kebahagiaanmu itu, jika kau tak menemukannya disini carilah di tempat
lain jangan hanya menunggu jika kau tak kunjung mendapatkannya karena kebahagiaan itu
bebas kita bisa ciptakan sendiri.
Cinta Putih Yang Tidak Terbalas

(Part 1)
“Aku Mau jadi pacar kamu Adit.” ucap Gita dengan tersenyum. Adit yang
mendengarkan penjelasan itu dari Gita sangat senang sekali hingga ingin melompati bumi ini.
Kemudian datang seorang pria yang kekar menghampiri mereka, dan tidak disangkan pria
tersebut membawa Gita pergi dari Adit “Apa maksudmu membawa Gita Pergi.” ucap Adit
yang emosinya mulai memuncak. Pukulan keras mendarat ke wajah Adit dan membuat Adit
tersungkur. “Maaf aku harus pergi bersama pria ini.” ucap Gita denga meneteskan air mata.
Air mata Adit membasahi pipinya seakan hal buruk terjadi padanya “Tidak jangan pergi
Gita.” teriak Adit. Dengan perasaan cemas dia mencoba menenangkan dirinya dari mimpi
yang buruk yang seperti kejadiannya nyata di dunia ini.
Sang Penguasa pagi muncul menyinari jalan Adit menuju ke sekolah. Di perjalanan
dia masih memikirkan tentang mimpi yang ia alami itu, hatinya berkata bahwa mimpi itu akan
terjadi di hidupnya. Dalam perjalanan itu dia akhirnya membulatkan tekadnya untuk
mengungkapkan perasaan yang ia miliki untuk Gita. Adit menyadari bahwa akhir-akhir ini
Gita mulai menghindari darinya, hal tersebut terjadi karena kebanyakan teman-temannya
mulai membicarakan tentang mereka berdua. Hati yang tadinya takut untuk mengungkapkan
rasa yang ia miliki, namum mimpi yang dialami oleh Adit akhirnya membuat Adit ingin
mengungkapkan rasa yang ia miliki sebelum terlambat, namum kenyataan mungkin dia akan
ditolak oleh Gita karena kejadian yang baru-baru ini terjadi.
Sesampainya di Kelas Adit menghampiri 2 sahabat baiknya yaitu Dwi dan Qodir.
Dengan senyuman khasnya adit mendekati kedua sahabatnya itu “Kenapa Dit kok senyum-
senyum gitu.” ucap Qodir yang merasa aneh dengan sikap Adit. “Tidak apa-apa kok.” ucap
Adit “Sudahlah Dit katakan aja apa maumu” ucap Dwi. “Aku mau mengungkapkan rasaku
pada Gita.” ucap Adit yang sedkit malu. “Apa? kamu mau nembak Gita?” teriak Dwi yang
kaget. “Bodoh jangan keras-keras napa!!!” ucap Qodir yang memukul kepalanya Dwi. “Iya
maka dari itu aku mau kalian membantu aku untuk menjalankan rencanaku.” ucap Adit yang
tersenyum. “tentu kami bantu Dit!!!.” ucap Qodir
Bel istirahat berbunyi dengan keras, Adit, Dwi dan Qodir pergi menuju ke kantin
untuk mengisi perut yang mulai protes untuk meminta diisi kembali. Dalam perjalanan Adit
bertemu dengan Gita, pipi Adit mulai berubah warna ketika Gita mulai mendekat kepada
dirinya. Namun sayang Gita hanya lewat begitu saja tampa menghiraukan Adit yang ada di
situ. “Dit kamu bener mau tetap mengungkapkan rasa yang kamu miliki ini.” ucap Qodir yang
sedikit khawatir melihat hubungan mereka yang tidak akur. “tetap akan aku ungkapkan,
nyatai aja masalah hasil aku yang nanggung”. ucap Adit yang tersenyum.
Bel pulang pun berbunyi, para siswa pun mulai meninggalkan kelasnya, ada yang
ekskul, ada yang juga langsung pulang. Mereka tahu bahwa Gita selalu keluar kelas paling
terakhir sendiri mungkin sekitar 30 menit setelah bel pulang berbunyi.
30 menit menunggu akhirnya Gita keluar dari kelas. Betapa terkejutnya ia ketika
melihat sebuah tulisan yang ada di lantai depan kelasnya “Jika kamu ingin bahagia maka
ikutilah tanda ini”. Akhirnya Gita yang sedikit ingin tahu pun mengikuti tanda yang telah
diberikan. Tanpa ia sadari dia sudah berada di tengah tumpukan daun yang tersusun rapi yang
berbentuk love. Dia masih bingung akan hal tersebut, “siapa yang lakuin ini, atau jangan-
jangan dia.” ucap batin Gita.
Adit pun datang menghampiri Gita sambil membawa rangkaian bunga yang indah
yang sudah tersusun rapi, dia memberanikan diri untuk memegang tangan kanan Gita sambil
ingin menyerahkan rangkaian bunga tersebut. “Gita jujur aku sejak pertama bertemu kamu
aku sudah jatuh hati kepada kamu, dan aku ingin terus bersa ma kamu mulai saat
ini, maukan kamu menjadi pacarku.” ucap Adit yang penuh dengan harap. T idak
disangka rangkaian bunga yang ada di tangan Adit itu diambil oleh Gita dan dibuang olehnya.
Adit yang melihat reaksi yang Gita itu pun terkejut sakit. Sebuah Tamparan keras tepat
mengenai pipinya Adit. “Sudah puas dengan jawaban yang aku beri ini, mulai dari sekarang
kamu jangan dekatin aku lagi.” ucap Gita yang emosinya memuncak. Saat itu juga hati Adit
hancur dengan kerasnya dan mungkin susah untuk disembuhkan.
Tidak jauh dari situ, ada tetesan darah yang terjatuh di bawahnya Gita “Apa ini kok
aku pusing sekali.” ucap Gita dan akhirnya pingsan. Adit yang terkejut akan hal tersebut
menghampiri Gita “Gita kamu kenapa?.” ucap Adit yang khawatir. Adit kaget ketika melihat
darah yang keluar dari hidung Gita. Tanpa berfikir panjang Adit mengendong Gita ke Ruang
BK dan di sana dia bertemu dengan kedua sahabatnya “Loh Gita kenapa Dit?” ucap Dwi yang
kaget melihat Gita yang pingsan. “Sudah gak perlu tanya ini Gita harus cepat dibawa ke
rumah sakit.” ucap Adit yang khawatir. Dia membawa Gita ke ruang BK dan meminta tolong
kepada pihak sekolah untuk membawa dia ke rumah sakit.
Sesampainya ke ruimah sakit, Gita langsung dibawa ke ruang UGD untuk di rawat
oleh dokter profesional di sana, pihak sekolah kemudian menghubungi kedua orangtua Gita
untuk segera datang ke rumah sakit. Adit sangat khawatir dengan Gita, berulang kali dia
melihat gita yang sedang dirawat di ruangan tersebut, dia membayangkan betapa sakitnya
Gita saat ini berjuang untuk kembali pulih “Sudahlah Dit duduk dengan tenang kenapa” ucap
Qodir. “Mana biasa aku tenang melihat seorang yang aku cintai sakit keras.” ucap Adit yang
menarik bajunya Qodir. “Dit percayakan saja semua itu sama allah berdoa agar Gita cepat
sembuh.” ucap Dwi yang memegang pundak dari Adit. Adit masih tetap memperhatikan Gita
yang sedang dirawat oleh dokter, dia merasakan rasa sakit yang dirasakan oleh Gita, di dalam
hati dia merasa kasihan dan tidak kuat untuk menahan rasa sedihnya. “Ya allah sembuhkanlah
dia, jika memang bisa penyakit yang ia rasakan tolong pindahkan kepada diri hamba ya allah,
hamba tidak sanggup melihat dia tersiksa seperti ini.” ucap Adit di dalam hati sambil
menahan tangisannya.
30 menit berlangsung, Dokter yang merawat Gita masih terus memberikan
pertolongannya kepada Gita, kemudian kedua orangtua Gita pun datang dengan nada yang
sangat cemas dan khawatir “Dek gimana kondisi Gita sekarang?” tanya Bu Ismi kepada
mereka bertiga. Mereka bingung harus jawab apa dan terdiam beberapa menit, adit
memberanikan dirinya untuk menjelaskan kondisi Gita sekarang yang tadinya bersama dia
kemudian pingsan seketika dan akhirnya dirawat oleh Dokter. Air mata jatuh dari kedua pipi
Bu ismi ketika mendengar penjelasan Adit, seakan hal buruk akan terjadi kepada Gita. Adit
terkejut ketika Bu Ismi menangis tersedu-sedu kedalam pelukan ayah Gita.
Beberapa menit kemudian Dokter yang merawat Gita keluar dari ruangan “Diantara
kalian mana kerabat dekat dari saudari Gita?” Tanya Dokter yang menetap kedua orangtua
Gita dan Adit beserte temannya. “Kami Dok kedua orangtua dari saudari Gita.” ucap Pak
Ulin. “Bisa ikut saya sebentar ke ruangan pribadi saya.” ucap Dokter. “Baik Dok.” ucap Pak
Ulin. Pak Ulin menuntun istrinya untuk bersama dirinya menuju ke ruangan pribadi Dokter
yang merawat Gita tadi. Hatinya Adit sangat khawatir ketika mendengar perkataan Dokter
tadi, seakan hal buruk akan terjadi kepada Gita, dia masih terus merasa cemas dan akhirnya
Adit membulatkan tekadnya untuk mencari tahu tentang kondisi Gita sekarang “bentar teman,
aku mau mencari minum dahulu.” ucap Adit kepada Dwi dan Qodir.
Adit berjalan dengan mengendap-endap Dokter dan kedua orangtuanya Gita, dia
masih ingin tau kondisi Gita sekarang, Hingga sampai ke ruangan pribadi Dokter tersebut.
Adit menunggu tepat di depan ruangan Dokter tersebut sambil mendengarkan percakapan
antara Dokter dengan kedua orangtua Gita walaupun hanya terdengar samar-samar. “Maaf
Bu, Pak sebelumnya saya mau bilang, kondisi putri bapak dan ibu ini sangat buruk.” ucap
Dokter dengan wajah seriusnya. “Maksudnya apa Dok.” ucap Bu Ismi yang mulai terjatuh air
mata dari pipinya. “Begini, jika dalam waktu 2 minggu Gita tidak dapat pendonor ginjal
mungkin dia akan meninggal, karena kedua ginjal dari saudari Gita sudah tidak mau berfungsi
lagi” ucap Dokter tersebut. “Baik dong kami akan usahakan untuk mencari donor ginjal
tersebut.” ucap Pak Ulin yang menenangkan istrinya. “mungkin untuk 22 minggu ke depan
Gita harus menginap di rumah sakit dan dalam 1 minggu akan ada 2 kali cuci darah.” ucap
Dokter. Adit yang mendengar percakapan itu lantas sangat terkejut dan menyakiti hatinya. dia
berlari meninggalkan rumah sakit itu dengan dihiasi air mata di kedua pipinya. Dia tidak
sanggup akan hal itu, akan menerima kenyataan bahwa Gita akan segera pergi dari
kehidupannya.

(Part 2)
Keesokan harinya Adit datang menjenguk Gita, sambil membawa rangkaian bunga
yang sangat indah dan membawa buah yang sangat disukai Gita yaitu buah naga. Dia bertemu
dengan Bu Ismi di ruang tunggu sambil “Assalammualaikum bu, saya datang ingin
menjenguk Gita.” ucap Adit yang santun. “wa alaikumussalam, eh nak Adit, terima kasih ya
udah mau jenguk Gita, kamu mau masuk ke dalam.” ucap Bu Ismi, “Tidak bu, saya hanya
ingin memberi ini kepada Gita.” ucap Adit yang memberikan rangkaian bunga dan buah naga
itu. “Baiklah nanti saya bilang dari Adit ya.” ucap Bu Ismi. “Tidak bu, bilang dari Raka yang
bu.” ucap Adit. “Ouh, tapi ini yang beli kamu tho?” tanya Bu Ismi. “Iya bu, tapi saya mohon
bilang dari Raka ya bu.” ucap Adit dengan wajah yang serius. “baiklah kalau kamu
memaksa.” ucap Bu Ismi.

Adit sebenarnya tahu siapa orang yang sangat dicintai oleh Gita, orang tersebut adalah
Raka ketua Rohis di sekolahan mereka. Adit yang jika dia mengaku bahwa Raka lah telah
memberikan hadiah itu, maka akan membuat Gita semangat untuk sembuh, karena sang
pujaan hati Gita turut khawatir melihat kondisinya Gita.
1 minggu kemudian, Gita sudah diperbolehkan untuk berangkat ke sekolah walaupun
harus berangkat pada istirahat kedua. Gita pada saat itu sangat senang melihat Raka sangat
peduli kepada dirinya dengan mengirimkan rangkaian bunga dan buah kesukaannya.
Tidak disangka ketika Gita menuju ke kelas ia bertemu dengan Adit dan kedua
temannya, Gita sama sekali tidak mempedulikan Adit yang lewat itu bahkan tidak sama sekali
memandang wajahnya. Dwi yang jengkel melihat sikap Gita kepada Adit pun akhirnya
bertindak. “Heh dasar cewek yang tidak tau balas budi, orang yang selalu menjengukmu
bukan Raka melainka Adit.” teriak Dwi ke arah Gita, Gita sama sekali tidak mempedulikan
perkataan dari Dwi, dia yakin bahwa orang yang selalu menjenguknya adalah Raka. Tangan
Adit memegang pundak Dwi, dan memberikan tanda bahwa dia tidak apa-apa diperlakukan
seperti itu, asalkan Gita bahagia. “tapi.. Dit.” ucap Dwi kepada Adit. Adit memberi Tanda dia
benar tidak apa-apa.
Bel pulang berbunyi, Gita segara keluar menuju mobil milik ayahnya, dia sama sekali
tidak memperhatikan jalan hingga datang mobil berkecepatan tinggi pun menghampirinya,
BRAK!!! suara mobil menabrakn seseorang, bukan Gita yang tertabrak melainkan Adit. Adit
yang tadinya ingin melihat Gita segera keluar sekolah, dia melihat sebuah mobil melaju
dengan cepat yang menuju ke Gita, tampa banyak alasan Adit langsung berlari mendorong
Gita sampai keluar jalan, alhasil dialah yang ditabrak mobil itu. Gita yang melihat senyum
Adit yang dipenuhi darah membuat Gita pingsan, semua orang pun akhirnya berkumpul
mengendong Adit yang berlumuran darah.
Pak Ulin pun keluar mobil, betapa terkejutnya dia melihat Gita pingsan, dan
mengendong Gita ke mobil. Pak Ulin sedikit bingung melihat kerumunan orang yang sedang
melihat sesuatu, akhirnya pak Ulin pun melihat hal tersebut, betapa terkejutnya yang ditabrak
adalah Adit yang sudah berlumuran darah. “Bapak-bapak saya minta tolong angkat anak ini
masuk ke mobil saya.” ucap Pak Ulin. Setelah itu pak Ulin membawa mereka berdua menuju
rumah sakit.
Beberapa jam menunggu. kedua sahabat Adit pun datang bersama dengan kedua
orangtuanya Adit, mereka masih menunggu hasilnya, mengenai Adit yang tertabrak mobil,
dengan penuh rasa takut kehilangan Adit. 4 jam menunggu akhirnya mereka diizinkan untuk
masuk ke ruang rawat Adit, mereka melihat Adit yang setengah sadar dan lemah. “Gimana
nak kondisimu.” ucap Bu Ani. “Hm bu, saya ingin meminta sesuatu sebelum saya pergi.”
ucap Adit. mereka yang mendengar hal itu mulai menjatuhkan air mata. “Apa maksudmu nak,
kamu akan sembuh kok, Dokter bilang kamu akan sembuh.” ucap Pak Hendra yang menahan
air mata. “Ayah, Ibu saya mohon maaf jika Adit selama ini bandel, Bu, Ayah, Adit mohon
jika Adit ini dipanggil oleh allah, tolong donorin kedua ginjal Adit untuk Putri Gita
Dhamaryati, Dokter yang menagani Gita sudah bilang kalau ginjal Adit ini cocok buat Gita,
jadi tolong permintaan Adit yang terakhir, tolong donorin kedua ginjal Adit ya!!!” ucap Adit
yang menghembuskan nafas terakhirnya. Semua yang ada di ruang tersebut menangis sejadi-
jadinya, apalagi kedua orangtua Adit yang tidak menyangka anaknya meninggalkan mereka
secepat itu. Dwi dan Qodir tidak lagi dapat menahan air matanya mereka menangis ketika
melihat sosok sahabat mereka pergi meninggalkan mereka.
1 jam setelahnya, pihak orangtua Adit bertemu dengan kedua orangtuanya Gita,
mereka berkata bahwa anaknya ingin sekali mendonorkan ginjalnya Gita. Kedua orangtua
Gita pun kaget mendengar bahwa Adit sudah tiada dan menerima ginjalnya Adit untuk
menyelamatkan putrinya itu.
2 jam menjalani transplantasi organ ginjal untuk Gita, mereka yang ada disana berdoa
semoga transplantasi ini berhasil dan akan menyembuhkan penyakit yang dialami oleh Gita
selama ini.
Akhirnya hal yang ditunggu datang, Gita membuka matanya, dimana ia melihat kedua
orangtuanya, kedua sahabat Adit dan kedua orangtuanya Adit, namun dia tidak melihat Adit
ada di situ, padahal dia ingin berterima kasih kepada Adit yang sudah menyelamatkannya dari
tabrakan itu. “Ayah, Ibu mana Adit ya, kok aku gak melihatnya Adit.” ucap Gita kepada
kedua orangtuanya. mereka hanya terdiam dan tidak dapat berkata hanya Dwi yang maju
memberikan sebuah surat. “maaf Git mungkin Adit tidak akan pernah muncul di hadapanmu
lagi.” ucap Dwi yang menetaskan air mata. “Apa maksudnya, maksud kalian Adit meninggal,
heh ayah, ibu hal itu tidak benar kan?.” ucap Gita. mereka terdiam seakan berkata hal tersebut
memang sudah terjadi.
Air mata Gita menetas ke kedua pipinya dan dia mulai membuka surat yang diberikan
oleh Dwi.
“Hai apa kabarmu Git, semoga baik-baik saja ya, jangan khawatirin aku, aku di sana
baik-baik saja kok, malah aku sudah sangat senang bisa berkorban hanya untukmu. Maaf ya
bila nanti kamu cari aku, aku sudah tidak dapat lagi bertemu kamu, tapi percayalah bahwa aku
masih mencintaimu, percayalah kalau kamulah cinta terakhirku.
Maaf yang bila aku bohong, orang yang memberikan rangkaian bunga dan buah
kesukaan itu bukan Raka melainkan aku, aku berkata seperti itu kepada bu Ismi agar kamu
dapat hidup dan semangat lagi, oh iya aku juga memberikan satu hadiah lagi, ya mungkin
tidak berarti bagi kamu, tapi hal itu akan membuat kamu bisa lebih lama lagi menikmati indah
hidup ini, ya aku mendonorkan kedua ginjalku untukmu, jadi mulai sekarang tolong dan jaga
baik-baik pemberianku, Aku akan berkata kepada Allah bahwa aku sangat mencintaimu,
penuh salam hangat pemuja rahasia.” Ucap Adit dalam tulisannya.
Ketika selesai membaca surat dari Adit, Gita pun menangis, menangis sejadi-jadinya,
betapa bodohnya dia menyia-nyiakan orang yang sangat tulus untuk mencintainya dan mulai
dari sekarang dia sudah kehilangan orang tersebut.
Hari pemakaman jenazah Adit pun datang, semua pihak keluarga dan kerabat dekat
Adit datang mendoakan agar Adit bisa bahagia di sana dan kedua orangtua Gita dan Gita pun
datang. Selesai pemakaman Gita sendiri duduk di makam Adit “Hai Adit, kamu disana baik-
baik saja kan, kamu tu bodoh ya, berkorban nyawa hanya demi aku yang tidak pernah
menganggap kamu ada, maaf sebelumnya aku tidak pernah menganggap kamu, aku terlalu
sibuk dengan duniaku sendiri hingga tidak aku sadari datang sosok orang pahlawan
penyelamat hidupku datang, namun sayang aku tidak bisa bertemu dengannya karena
pahlawan itu adalah kamu Adit, terima kasih atas donor ginjalmu aku akan merawatnya
dengan penuh kasih, oh ya sampai lupa bilang, sekarang aku mencintai kamu Adit,
selamanya, maukah kamu menjadi pacarku.” ucap Gita sambil menangis di makam Adit
Ketika Tuhan Menjadi Sandaran

Udara segar merambat turun membasahi alam di pagi hari, menguap dengan baunya
yang khas. Dalam pandangan yang masih samar, kulihat jendela kamar sudah terbuka. Siapa
lagi kalau bukan Ibuku yang membukanya.
Seperti biasa setelah bangun, aku beranjak pergi ke belakang untuk mandi. Bukan hal
rutin memang, ini kulakukan jika tubuhku merasa gerah. Mandi pagi bagiku cukup menjadi
kegiatan yang masuk dalam kategori jarang. Entah ini prinsip atau apa, tapi sejauh ini
memang begitu adanya.
Setelah selesai, aku menghabiskan waktu di depan layar benda berbentuk persegi
panjang yang kerap selalu kugenggam. Keseharian yang membosankan hanya aku habiskan
dengan tidur, makan dan main sosmed. Apa lagi yang akan dilakukan gadis introvert sepertiku
kalau tidak di kamar? Tak jarang, kadang Ibuku berteriak menyuruhku membereskan rumah.
Apa yang kurasakan di dalam hidupku, belum tentu dirasakan oleh orang lain. Dan
mungkin, seperti itu juga sebaliknya. Kata demi kata yang terjalin menjadi untaian kalimat,
tidak semudah layaknya membayangkan di dalam pikiran. Butuh beberapa waktu dan
kemantapan niat yang harus aku bentuk di dalam hati ini. Ini bukan seperti yang kalian
bayangkan. Aku juga tidak bisa menjelaskannya. Mungkin lebih menusuk dibanding sebuah
belati karat yang menancap.
Posisiku yang sekarang sudah menginjak di bangku kelas dua belas SMA, membuatku
tersadar. Sudah selayaknya aku tahu tentang apa langkah yang harus kuambil selanjutnya.
Hobiku adalah menulis dan cita-citaku sebagai Penulis. Itulah angan sederhanaku.
Tapi sederhana seperti itupun akan tetap sulit bagiku. Maksudku, apakah orang miskin
sepertiku layak untuk bermimpi?
Di sekolah, aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Ya, tidak menghiraukan adanya
jam istirahat bagiku adalah cara yang tepat untuk melupakan rasa lapar. Lagi pula siapa yang
akan memperdulikan suara perut gadis kurus ini?
Aku cukup senang bisa menjadi salah satu siswi berprestasi di sekolah ini. Setidaknya
memudahkanku untuk mencari uang. Membantu mengerjakan PR dan sekedar mengajari,
bukan berarti aku mata duitan kan? Coba jelaskan padaku! Apa yang salah dari membayar
uang kas dan membeli alat sekolah dengan hasil sendiri?
Ya aku tahu. Hidupku memang menyedihkan.
Aku sering belajar dengan teman-teman sekelasku. Bukan hanya mereka, terkadang
ada juga yang lain kelas denganku datang ke rumah untuk menanyakan jawaban dari soal-soal
matematika yang sedikit rumit. Kalau untuk berdiskusi seperti ini, tentu aku tidak akan
meminta tarif sepeser pun. Mereka bilang aku jago dalam bidang matematika, tapi kurasa
biasa saja. Ada yang lebih menguasai bidang itu lebih dariku, juara satu kelas contohnya.
Tak terasa pemilihan PTN sudah di depan mata. Tanpa harus kujelaskan, mungkin
kalian sudah mengerti apa maksud yang kusebutkan barusan. Aku jujur tidak ingin berharap
terlalu tinggi. Mengingat untuk bayar uang sekolah saja susah, lebih baik aku kubur saja
harapan ini dalam-dalam. Walaupun begitu, aku tetap mengikuti seleksi SNMPTN ini dan
menempatkan pendidikan matematika di Universitas Negeri Medan sebagai pilihan pertama.
Sebenarnya aku ingin memilih jurusan bahasa Indonesia. Namun, niatku itu harus lenyap
mengingat anak IPA tidak boleh mengambil jurusan anak IPS. Begitupun sebaliknya.
Tidak hanya itu, aku juga mengikuti beberapa seleksi lainnya seperti PMDK, UIN dan
Kedinasan. Kondisi ekonomi yang tak memungkinkan, membuatku tak lupa untuk mencari
beasiswa, dan yang kupilih ialah bidikmisi.
Waktu berjalan begitu cepat. Saatnya bagi kami mulai mencari kesibukan masing-
masing. Sudah hampir lima belas hari aku berada di Depok mengikuti seleksi sekolah
kedinasan karena aku berhasil lulus dalam tahap administrasi. Disini aku tidak punya saudara
sama sekali. Biaya keberangkatan pun ditanggung sepenuhnya oleh pihak guru-guru dan
beberapa alumni sekolah. Untung saja, ada salah seorang guruku yang menitipkan aku untuk
tinggal bersama abangnya. Tentu, tidak hanya kami berdua. Ada sang istri dan empat orang
anaknya termasuk seorang menantu sholihah yang memenuhi rumah ini. Terlebih lagi, orang
yang kusebut Bapak ini dalam keadaan sakit keras.
Malam ini aku cukup lelah setelah menjalani keseharian baru di kota rantau yang jauh
dari keluarga. Setibanya di rumah, aku langsung mengambil laptop yang kubeli dari hasil
prestasiku ketika mendapat juara umum empat tingkat sekolah saat di kelas sepuluh, dua
tahun lalu. Ini pun kupaksakan, karena jika tidak aku akan kewalahan dalam mengerjakan
tugas sekolah yang bernotabene serba teknologi. Aku lupa bahwa semenjak kedatanganku,
wifi yang tersedia di rumah ini tidak berhasil tersambung ke handphoneku. Otomatis laptopku
juga seperti itu. Setelah mendapatkan bantuan dari anak pertama Bapak, akhirnya aku berhasil
membunuh rasa penasaranku.
Mungkin nasib baik tidak datang kepadaku kali ini. Dari ketiga jurusan di dua
Universitas yang kupilih di SNMPTN, tidak ada satu pun yang memberikanku kesempatan
untuk melanjutkan masa depanku disana. Awalnya aku mengira mungkin ini kesalahan
jaringan. Namun setelah kuulang sampai ketiga kali, memang ini takdir yang diberikan Tuhan
padaku. Istri Bapak yang kerap kupanggil Ibu mencoba menyabarkanku, ia menghampiriku
saat melihat kondisi tubuhku yang mulai melemas di atas sofa ruang tamu. Aku mencoba
menahan air mata, walau saat ini sangat menyesakkan dadaku.
Tak berhenti sampai disitu. Aku memutuskan untuk fokus dalam mengikuti seleksi
Kedinasan ini. Sampai beberapa tahap lainnya berhasil kulewati. Tes SBMPTN sampai tidak
kuikuti karena jadwalnya yang bentrok dengan tes kesehatan. Karena ku tahu, aku harus
memilih salah satu.
Pengumuman PMDK juga sudah keluar. Lagi-lagi aku gagal. Tapi aku tidak terlalu
mempersalahkannya, karena waktu itu aku salah memilih Universitasnya. Beberapa hari
berlangsung, pengumuman UIN juga menyusul. Aku lulus di UIN Sumatra Utara jurusan
pendidikan matematika. Aku senang, karena ada harapan besar untuk melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi. Namun untuk kesekian kalinya, aku dihadapkan dengan dua pilihan. Jika
aku memilih UIN SU, mau tidak mau aku harus pulang dan meninggalkan seleksi Kedinasan
ini. Namun, jika aku tidak mengurus pendaftaran ulang maka otomatis namaku sudah
diblacklist. Sekarang aku sedang menimbang-nimbang. Akal dan perasaanku seperti
bertempur. Dengan segala keberanian, aku putuskan melanjutkan seleksi ini.
Singkat cerita, demi seleksi ini semua sudah kutinggalkan. Keluarga, teman bahkan
jurusan dan universitas yang sudah jelas menerimaku, aku relakan begitu saja. Bahkan aku
sering bekerja di toko gordyn milik keluarga ini agar bisa mendapatkan uang tambahan.
Setiap hari senin dan kamis, aku juga mengantar Bapak ke rumah sakit untuk cuci darah dan
menjaga beliau selama lima jam. Sepulang dari itu, aku juga mendapatkan uang saku.
Kegiatan ini terus kulakukan karena mengingat kondisi orangtuaku yang tak mampu
mengirim biaya keperluanku. Bahkan, sesekali aku yang mengirim uang pada mereka dari
hasil jerih payahku ini.
Namun apa ini?
Aku gagal dalam tes interview di dua tahap terakhir?!
Apa maksudnya?!
Apakah aku bermimpi?
Tolong katakan padaku kalau ini hanya sekedar ekspetasiku!!!
Kucoba memantau lagi nama-nama di urutan pengumuman tes kali ini. Siapa tau
namaku terselip dan berganti posisi.
Tapi apa?
Kemana namaku?!
Ooh tidak!!!
Ini kah balasan yang kudapat setelah mengorbankan semuanya?!
Termasuk biaya perobatan gigi sebesar RP 1.500.000,00 yang kudapat dari hasil usaha
guru
ku di sana?!
Terus yang kulakukan ini sia-sia?!
Dan aku harus mengecewakan begitu banyak orang?!
Dunia tidak adil!
Tidak pernah adil!
Aku kecewa, aku berduka…
Aku tidak terima semua ini!!!
Aku menyesal pernah menjadi orang yang bersungguh-sungguh!
Semua sia-sia! tak ada gunaaa!!!
Kenapa Tuhan berlaku seperti ini?
Benarkah Dia Maha Melihat?
Nyatanya Dia tidak pernah melihatku!
Semenjak kejadian itu, hidupku berubah 180 derajat. Semua tidak ada yang tahu
bagaimana aku sekarang. Aku sudah tidak percaya semua yang mulai terjadi kala ini maupun
nanti. Aku sudah mati. Mati akan semua rasa di kehidupan yang entah mengapa, tidak ada
artinya apa-apa. Aku mulai tidak percaya nasib baik, keberuntungan ataupun yang namanya
keberhasilan. Yang aku tahu saat ini adalah K E T I D A K A D I L A N !
“Cii.. sadarlah, Nak!”
Aku seperti mendengar suara Ibuku memanggil. Aah, astaga! Aku melamun. Masa-
masa pilu itu menghantuiku lagi. Uploadan foto teman-temanku yang sudah memakai
almamater dari masing-masing Universitas, berhasil membawaku terhanyut di cerita kelam itu
kembali.
“Sudahlah, jangan diingat lagi. Takdirmu sekarang sudah ditentukan Allah jauh
sebelum kau lahir. Maka berhentilah untuk meratapi itu. Ibu tak mau kau terus seperti ini,
Nak.”
Jujur, aku seperti berada di kegelapan saat harus mengingat itu. Rasanya ada sekelumit
kenangan pedih yang mampu menganggu rangkaian cerita baru. Dimana cerita lama yang
sudah aku buat dengan susah payah harus terhempas dari genggaman.
“Kau harus sadar, Ci. Apa yang terjadi padamu sekarang ini sebenarnya berkat doamu
di masa lalu.”
“Doa? Apa maksudmu?”
Aku terasa bingung mendengar penjelasan dari sahabatku ini, Aulia. Karena kembali
mengingat kejadian itu, akhirnya aku memutuskan untuk curhat kepadanya.
“Coba saja kau ingat-ingat.” Setelahnya ia menutup sambungan telepon diantara kami.
Sesungguhnya ucapan adalah doa. Secara tidak langsung, apa yang terjadi sekarang ini
berkat perkataanmu di masa silam. Sadar atau tidaknya, kita sering menyepelekan itu. Pernah
kah engkau berpikir betapa sombongnya diri kita? Bagaimana tidak, disaat dalam kondisi
terpuruk kita baru datang dan mengadu pada-Nya. Saat merasa bahagia, kita malah lupa
terhadap-Nya. Namun, apa yang kita katakan saat ujian menerpa bertubi-tubi? Kita malah
menyalahkan Allah atas apa yang telah terjadi. Sadarlah, Teman. Sesungguhnya Allah sayang
pada umat-Nya dan Dia lebih paham apapun tentang kita. Begitulah beberapa kalimat yang
masih tersirat di dalam benakku. Perkataan Aulia yang terakhir membuatku sedikit penasaran.
Aku mencoba mencari beberapa artikel dan video yang menjelaskan kenapa “Apa yang kita
harapkan tidak terwujudkan”. Daaan finally, aku sedikit paham tentang semua ini.
Aku mengakui bahwa tak jarang aku lalai mengerjakan perintah yang Allah wajibkan
pada hamba-Nya. Aku sholat jika pada waktu kuingat. Aku berdoa jika dalam kondisi susah.
Dan terkadang aku masih membuka aurat sampai yang bukan makhromku pun melihat. Ya
Allah, hamba mengaku berdosa.
Kusadari bahwa aku kurang yakin atas usahaku berjuang di jalan-Mu. Aku masih suka
bermalas-malasan. Ketika persiapan tes tertulis pun aku masih belum maksimal dalam belajar.
Allah masih memberikan kesempatan untukku. Saat latihan fisik pun aku tidak berniat untuk
berlatih. Allah juga masih memberikan kesempatan keduanya untukku. Dan ketika tes
interview, aku sama sekali tidak belajar. Anggapan remeh itu berhasil merasuki pikiranku.
Dan yang terjadi, Allah menyadarkanku bahwa aku sudah terlalu lari dari-Nya.
Aulia benar, ini semua salahku dan memang karenaku.
Langkah awal ini memang berat. Tapi aku akan terus berusaha, mengingat menggali
fondasi awal untuk tegak bukan perkara mudah. Sekarang aku paham, Allah tidak akan
memberikan cobaan diluar kemampuan manusia. Allah lebih mengetahui dari apa yang kita
ketahui. Dan yang terpenting, jadikan kunci ini sebagai pedoman bahwa “JADIKAN TUHAN
SEBAGAI SANDARAN, MAKA APA YANG KAU DAPATKAN ADALAH
KEBAIKAN.”
Rumitnya Kisah Cintaku
(Part 1)

Saat itu aku yang tengah sendiri mengendarai motor standar kesayanganku. Di
perjalanan tepatnya di sebuah taman yang cukup sepi kulihat seorang gadis yang tengah
diganggu oleh 3 orang preman. Seketika aku pun turun dari motor itu dan menghajar satu
persatu preman hingga babak belur. Karena ketakutan, ketiga preman itu pun lari terbirit birit
setelah kuhajar. Kemudian aku pun menoleh kepada gadis itu, entah kenapa ia menutup
wajahnya dengan kedua tanganya mungkin karna takut.
“Hey! Kamu nggak diapa apain kan?” Tanyaku. Mendengarnya gadis itu pun
menyingkirkan tangan yang menutupi wajahnya itu. Ia memang benar benar gadis yang
sangat cantik. Kulitnya putih, mata lebar, hidungnya mancung, rambut yang lebat dan panjang
sampai pinggang serta bibirnya berisi. Tak lupa postur tubunya yang indah menambah
kecantikanya.
“Aku baik baik saja” suara lembut gadis itu berhasil memecah lamunanku
“Gimana kalau kamu aku antar pulang biar preman itu gak ganggu kamu lagi?”
Tanyaku namun gadis itu hanya terdiam. “Jangan takut aku bukan orang jahat kok” lalu gadis
itu pun menganguk dan naik ke motor standarku
Siapa namamu?” Tanya gadis itu
“Namaku Muhammad Raja Suryawulan. Kau bisa memanggilku dengan sebutan Raja”
Motor pun terus melaju hingga sampai di rumah gadis itu ternyata rumahnya sangat
megah bagaikan istana. Setelah mengucapkan terima kasih gadis itu langsung masuk ke dalam
rumahnya tak lupa gadis itu juga menyuruhku untuk masuk namun aku menolak karena kak
Dava menyuruhku untuk segera pulang. Satu hal yang aku sesali dari pertemuan itu adalah
aku lupa tidak menanyakan namanya.
Malamnya di kamarku aku melamun sambil berfikir ‘Siapa nama gadis itu mungkin
namanya Ayu, eh gak mungkin, barang kali namanya bunga, tapi kayaknya Bintang deh’ aku
terus saja berfikir siapa namanya hingga…
“Woi melamun aja nih. Mikirin apa sih sampai dipanggil nggak nyaut nyaut” ucap kak
Dava mengagetkanku. Ia kakak kandung sekaligus sahabat dan teman curhatku. Kak Dava
segala galanya bagiku.
“Emang tadi kakak manggil kok aku nggak denger ya”
“Dasar budeg. Keasyikan ngelamun sih. Udah sekarang kamu tidur! Udah malem nih
besok kan hari pertama kamu di sekolah barumu kalau sampe telat gimana kan nanti kamu
juga yang repot”
“Iya kak Dava sayang, bawel amat udah kayak emak emak aja”
Pagi pun telah tiba dan hari ini adalah hari pertamaku untuk memasuki sekolah baru di
kota yang baru pula. Kali ini papa membedakan sekolahku dangan kak Dava agar aku lebih
mandiri.
“Hai perkenalkan namaku Muhammad Raja Suryawulan kalian bisa memanggilku
dengan sebutan Raja. Aku pindah dari Jakarta ke Bogor karena perpindahan tugas papaku
Aku harap kita semua bisa berteman dengan baik” itulah yang kuucapkan saat perkenalan di
kelas baru yaitu kelas X IPA 1.
“Baiklah Raja kamu bisa duduk di bangku ketiga paling kanan” ucap bu Ara wali
kelasku.
Kulihat di bangku yang kududuki kosong, mungkinkah aku duduk sendiri?.
Lima menit setelah pelajaran dimulai ada seorang gadis yang masuk, nafasnya
tersendat sendat mungkin dia habis lari larian namun aku tidak begitu memperhatikan, aku
hanya fokus pada tugas yang diberikan ibu Ara. Hingga tak kusadari gadis itu duduk
disampingku.
“Raja! jadi anak baru yang kemarin bu Ara ceritakan itu ternyata kamu” ucap gadis
itu. Lalu kuperhatikan gadis itu lekat lekat, hingga aku pun ingat kalau dia adalah gadis yang
kemarin aku antar pulang.
“Kamu yang kutemui kemarin kan? Kamu masih ingat aku?”
“Aku tidak akan pernah melupakan orang sebaik dirimu Raja”. Entah mengapa
jantungku berdetak lebih cepat saat mendengarnya.
“Oiya kemarin aku belum sempat menanyakan namamu. Siapa namamu?”
“Namaku Divya Kumar (dibaca: Divia Kumar)”
“Kok namamu aneh sih?”
“Raja, Divya dari tadi kalian ngobrol terus mau ibu hukum” ucap bu Ara sedikit marah
“Maaf bu” ucap aku dan Divya berbarengan dan diiringi oleh suara riuh anak kelas X
IPA 1 yang mengatakan “Cieeee”
Sejak saat itu Aku dan Divya berteman baik bukan hanya dengan Divya saja sih tapi
masih ada kok sahabatku yang lain seperti Arya si playboy paling terkenal dan Jaka yang
terkenal telminya (telat mikir). Divya juga tidak selalu bersamaku ia juga punya sahabat yang
lain seperti Chika alias musuh bebuyutanya Arya dan Ira si baik hati yang bersuara merdu.
Tapi walau begitu Divya adalah satu satunya teman curhatku selain kak Dava. Kami sering
sekali berbagi cerita wajar saja sih kalau aku curhatnya selalu sama Divya soalnya kalau sama
Arya dan Jaka kan bikin kesel. Kalau Arya selalu menggangap lucu curhatanku sedangkan
sama Jaka rasanya sia sia saja aku bicara panjang labar tapi ia nggak ngerti semua yang
kuucapkan.
Divya pernah bercerita sedikit padaku tentang kisah hidupnya “Aku sebenarnya bukan
orang Indonesia asli Raja. Ayahku asli orang Delhi (India) ia meninggal saat aku berumur
lima tahun. Ia meniggalkan aku, Ibuku dan Amrita adiku yang masih dalam kandungan. Kalau
ibuku sih asli Bandung aku juga lahir di Bandung. Untuk menafkahi aku dan Amrita ia
berkerja sebagai pembantu rumah tangga di kota ini sejak aku berumur enam tahun.
Majikannya juga punya anak yang berumur satu tahun lebih tua denganku loh dan anak itu
sudah menggangapku dan Amrita seperti adiknya sendiri bahkan terkadang kami bertiga
dibelikan barang yang sama oleh orangtuanya. Aku dan Amrita juga bisa sekolah karena
mereka. Kau tau rumah yang bagai istana itu adalah rumahnya bukan rumahku namun aku
selalu kesana karena membantu ibuku” ucap Divya panjang lebar.
“Pantas saja kamu cantik sekali ternyata kamu turunan India toh”
“Raja ah ada ada saja” jawabnya senyum dengan muka yang memerah.
Entah menggapa saat bersama Divya rasanya nyaman sekali. Kalau tidak bertemu
sehari saja rasanya ada yang kurang dari hariku itu. Mungkinkah aku jatuh cinta padanya?. Itu
semualah yang selalu memenuhi pikiranku.
“Jadi lo suka sama Divya bro yang bener ah.” ucap Arya cengengesan saat mendengar
curhatanku.
“Jangan keras keras ngomongnya kalau Divya tau gimana” jawabku kesal.
“Biarin. Kan kalau Divya tau hati kamu jadi lebih tenang kan” saat itu aku nggak
langsung jawab tapi hanya menatap Arya dengan tatapan sinis. “Hahaha. Aduh Baginda Raja
mau marah nih takut ah”
“Lo bisa nggak sih ngertiin gue dikit, gue tuh ngomong serius, coba jangan lo anggap
bercanda” ucapku ngegas.
“Iya deh maaf, oiya FYI gue kenal sama Divya tuh sejak SMP, tapi nih ya selama gue
kenal sama Divya baru kali ini gue liat dia deket sama cowok apalagi ia sampai cerita kisah
hidupnya sama lo dia tuh nggak pernah sembarang curhat sama orang berarti itu tandanya ia
tuh percaya sama lo. Parahnya nih ya diantara belasan cowok yang naksir sama dia cuma ada
tiga cowok yang berhasil jadi pacarnya tapi dia tuh cuek banget sama tiap pacarnya itu gak
perhatian kayak sama lo. Jujur aja, gue yang selalu berhasil dapetin cewek aja gak bisa
naklukin hati Divya. Belasan kali gue deketin selalu dicuekin. Tapi anehnya kok dia bisa
perhatian banget ya sama kamu.”
Kata kata dari Arya itu telah memenuhi pikiranku selama 3 hari ini. Hari ini aku
tengah melamun sendiri di tempat favoritku yaitu halaman belakang rumahku dibawah pohon
mangga tiba tiba seseorang menutup kedua mataku dengan tanganya aku sempat kaget dan
marah.
“Kak Dava…! Bisa gak sih gak ganggu aku sehari aja”
“Jadi kamu pikir aku ini kak Dava? Dasar Raja” ucap orang itu sambil tersenyum
dengan sangat manis.
“Divya kok kamu ada disini. Aku ini sebenarnya ngekhayal atau mimpi sih”
“Kamu itu gak ngekhayal apalagi mimpi” ucapnya sambil mencubit pipiku dengan
keras.
“Aww sakit tau. Eh berarti nyata dong. Kamu kesini sama siapa? Kok tau rumah
aku?”
“Jadi aku tuh kesini sama Soniya dia tuh maksa banget nyuruh aku nemenin dia. Saat
sampai sini aku liat foto kamu dan kakak kamu tertera besar di ruang tamu terus aku tanya
deh ke kakak kamu kamu dimana ternyata kamu disini”.
“Oiya Raja kamu tadi kenapa sih kok aku pangil gak nyaut nyaut?”
“Mikirin kamu” seperti biasa Divya tersenyum dengan pipi merah “Oooh jadi anak
majikan kamu itu Soniya, kalau dia sih aku kenal. Dia sering kesini kakakku juga sering cerita
tentang dia tapi kok dia gak pernah cerita tentang kamu ya”
“Aku kan baru kenalan tadi dengan kakakmu” ucapnya.”By the way gelang yang
kamu pakai bagus juga, tukar sama punyaku dong”
“Buat kamu aja deh anggap aja hadiah persahabatan dariku”
“Beneran nih. Makasih ya Raja. Pakein dong”
“Udah minta pengen dipakein lagi. Becanda. Mana tanganmu sini aku pakein”
“Makasih ya Raja. Oiya gelangku yang satu ini untuk Raja saja deh. Hari ini kita tuker
gelang mungkin suatu hari nanti kita akan tuker cincin. Ups sorry ya Raja aku tadi salah
ngomong” Rasanya jantungku mau copot mendengar ucapan Divya itu.

(Part 2)

Hari ini ulang tahunku. Semuanya mengucapkan selamat padaku. Arya sahabatku
membuat sebuah rencana. Arya pun menjelaskan apa yang ia rencanakan, ternyata rencananya
luar biasa. Bel pun berbunyi dengan nyaring. Pak Edwin pun sudah masuk dan pelajaran
dimulai, namun orang yang kutunggu belum tiba juga. Lima menit setelah pelajaran dimulai
terdengar suara pintu diketuk
“Maaf pak saya terlambat”
“Kamu ini Divya pasti bangun kesiangan lagi kan. Udah sana duduk! Lain kali jangan
diulangi lagi ya”. ucap pak Edwin.
Saat pak Edwin keluar sebentar aku pun memberanikan diri menyapa Divya yang
sedang asyik menulis.
“Kamu gak ngucapin apa apa gitu ke aku? Hari ini kan aku ulang tahun loh”
“Sungguh! Kenapa kamu gak bilang dari kemarin Raja. Aku kan bisa belikan kamu
kado. Maaf ya aku tidak tau”
“Gak apa apa Divya lagian aku gak minta kado kok. Sebenarnya aku ingin sekali
keliling kota ini tapi aku gak tau tempat yang bagus disini. Mau gak minggu nanti kamu
temenin aku Divya?”
“Ok. Selamat ulang tahun ya Raja ganteng” ucapnya. Aku jadi malu.
Hari Minggu pun akhirnya tiba sekitar jam 9 pagi aku datang ke rumah Divya (rumah
majikanya) kuketuk pintunya tapi yang keluar malah Soniya.
“Kau datang kesini untuk mencariku?” ucap Soniya saat melihatku.
“Aku mencari Divya, apa dia ada disini?”
“Kupikir kau datang untuk mencariku. Tapi baiklah Divya akan kupanggil kamu
tunggu sebentar!”
Sudah setengah jam aku menunggunya dan akhirnya Divya datang juga. Divya terlihat
sangat cantik sekali dengan penampilan bagai gadis India, ups ia kan memang gadis India,
tapi perutnya tetap tertutup walau menggunakan pakaian India. Begitu melihatku ia tertawa
terbahak bahak, ternyata ia tertawa karena melihat bajuku dan bajunya sama sama berwarna
kuning. Setelah itu kami pun pergi menyusuri tempat tempat yang bagus di kota ini tak lupa
kami juga banyak mengambil foto disana kamipun pulang sekitar jam lima walau begitu kami
tidak meninggalkan solat satu waktu pun. Saat ini kami sudah kembali ke tempat kami
berangkat.
“Makasih ya Divya udah mau nemenin aku”
“Kok jadi kamu yang bilang makasih, harusnya kan aku. Makasih ya Raja”
“Sama sama. Aku mau ngomong sesuatu Divya. tapi kamu jangan marah ya” ucapku
sambil mengeluarkan coklat dari dalam tas namun Divya bagai tidak mengerti yang
kuucapkan. “I Love You Divya. Maukah kamu menjadi Ratu yang mendiami singgasana
hatiku?” ucapku seraya memberikan coklat. Seketika Divya tersenyum manis, senyuman
termanis yang pernah kulihat. Namun senyum itu hilang kala ia melirik ke arah rumah megah
itu. Entah apa yang ia pikirkan.
“Maaf Raja aku tidak bisa menjawab sekarang. Kumohon biarkan aku tuk berfikir
setidaknya sampai besok”
“Baiklah akan kutunggu kamu besok sepulang sekolah”
Waktu yang kutunggu tunggu pun tiba, tak sabar rasanya menunggu jawaban dari
Divya. Aku menunggunya di taman tempat kami bertemu atas permintaan Divya sendiri. Tak
lama aku menunggu ia pun datang kami pun bicang bincang dulu sebentar lalu langsung ke
inti pembicaraan.
“Maaf Raja aku tidak bisa menerimamu. Soniya lebih pantas kau cintai dibandikan
dengan aku”
“Maksudmu, aku sama sekali tidak mengerti Divya”
“Soniya mencintaimu. Aku tidak bisa mengkhianatinya karena menerima cintamu aku
sangat berhutang budi padanya. Kuharap kau mau menjadikanya kekasihmu untuk
memberinya sedikit kabahagiaan”
“Gak mungkin Divya, aku tidak mencintainya. Bayangkan jika kau ada di posisiku
jika aku menyuruhmu untuk mencintai Kakakku Dava karena balas budiku aku yakin kau
tidak akan bisa melakukanya. Begitupun aku, aku hanya mencintaimu Divya”
“Kumohon sama kamu Raja. Berilah Soniya sedikit kabahagiaan setidaknya hanya
seminggu saja, setelah itu terserah kamu” ucapnya penuh harap. Perlahan air mata pun
menetes deras di pipinya.
“Baiklah hanya seminggu saja ya. Sudahlah Divya aku hanya ingin melihat
senyumanmu, bukan air matamu” jawabku sambil ku hapus air matanya ia pun tersenyum
sambil mengucapkan terimakasih padaku. Ya mau tak mau harus aku lakukan dengan harapan
Divya akan menerimaku setelah itu, namun dugaanku salah besar. Setelah tiga hari aku
menjalin hubungan dengan Soniya, Divya malah jadian dengan kak Dava. Aku tidak tau sejak
kapan kak Dava menyukai Divya dan salahku sendiri tidak memberitahu kak Dava bahwa aku
sangat mencintai Divya. Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiranmu Divya Kumar.
Sejak saat itu hubunganku dan Divya jauh dari kata baik baik saja, kami jarang
bertegur sapa apalagi ngobrol, bahkan kini Divya tidak duduk denganku lagi, ia tukar tempat
dengan Chika, risih memang duduk dengan Chika karena ia selalu bertengakar tiap waktu
dengan Arya namun apa boleh buat. Lima bulan kami bertahan dengan kondisi seperti ini, aku
dan Divya pun sudah kelas XII sekarang. Rasanya ingin kuputuskan saja Soniya itu, tapi
untuk apa kalau orang yang kucintai sudah menjadi milik orang lain. Hingga waktu mengubah
segalanya.
Hari ini kak Dava sangat marah padaku. Seseorang mengatakan aku ada hubungan
spesial dengan Divya. Sore hari nanti kak Dava mengajakku untuk bertarung, rasanya tidak
mungkin aku bertarung dengan kakakku. Kuputuskan aku akan mengalah saja demi Divya
dan kak Dava yang sama sama aku cintai.
Sore pun datang dan pertarungan pun dimulai kak Dava menghajarku habis habisan
namun aku sama sekali tidak melawan. Tak kusadari ternyata Divya menyaksikan semuanya
ia pun marah pada kak Dava karena telah memukuliku, aku heran kenapa Divya membelaku.
Mereka pun bertengkar di tempat itu dan akhirnya Divya memutuskan kak Dava karena aku.
Maaf.
Esoknya aku menemui Soniya di rumahnya untuk mengatakan segalanya tentang
perasaanku pada Divya kupikir Soniya akan marah tapi ternyata…
“Benarkah yang kau katakan itu Raja?. Asalkan kau tau selama ini Divya juga
mencintaimu. Aku pernah membaca buku diarynya yang hampir penuh dan isinya semua
tentang kamu Raja. Secepatnya kau harus bicara pada Divya aku janji akan membantumu!”
ucap Soniya diluar dugaanku.
Pagi ini aku temui Divya di rumahnya dengan mobil milik papaku dan sebuah koper
besar di tanganku.
“Kamu mau kemana Raja kok bawa koper?” ucapnya heran.
“Aku akan kembali ke Jakarta Divya dan aku tidak akan pernah datang ke kota ini
lagi, karena itu aku ke rumahmu untuk berpamitan. Maaf kalau aku punya salah sama kamu”
“Tidak! Kamu gak boleh pergi Raja, aku akan merasa sangat kehilangan jika kamu
pergi. Kumohon tetaplah di kota ini bersamaku Raja”
“Untuk apa aku tetap disini Divya? Jika orang yang kucintai juga tidak mencintaiku”
“Yang kamu maksud itu aku kan. Asalkan kau tau saja Raja, aku mencintaimu sejak
pertama kali melihatmu. Kamu memberiku sebuah perasaan yang tak pernah kurasakan. Aku
sangat memcintaimu. Kumohon jangan pergi Raja, aku tak bisa hidup tanpamu.”
“Aku tau kamu bohong.”
“Aku gak bohong Raja. Terserah mau percaya atau gak”
“Teman teman kita berhasil membongkar rahasia besar Divya” teriakku Divya hanya
melotot. sedangkan Soniya, Arya, Jaka, Chika, Ira dan bahkan kak Dava yang ternyata terlibat
juga keluar dari persembunyian, mereka bertepuk tangan dan memberiku ucapan selamat.
“Lelucon macam apa ini gak lucu tau” protes Divya. “Ini pasti kerjaan Raja kan?
Awas ya Raja aku takkan melepaskanmu karena aku sangat mencintaimu” ucap Divya sambil
menggejarku. Akhirnya rahasia itu terbongkar juga.

Antara Surya, Rembulan dan Perpisahan


(Part 1)

Langit pagi ini tak secerah biasanya. Awan pekat terlihat menutupi sinar sang surya,
menyebabkan seorang gadis yang tengah berjalan santai harus mempercepat langkah kakinya.
Takut takut hujan turun dan membuatnya basah kuyup.
Dia Wulan. Seorang gadis biasa yang duduk di bangku sekolah menengah atas
semenjak satu tahun yang lalu. Kalau dijelaskan, tak ada yang menarik dari seorang Wulan.
Wajahnya juga biasa saja. Hanya, dia memiliki kulit yang putih bersih dan bersinar serta mata
sipit yang menjadi ciri khas seorang Wulan.
Kini, gadis itu sudah tak berjalan. Dia memilih berlari kala dirasa rintik hujan mulai
turun menerpa kulitnya. Di sisi lain, seorang pria dengan motor vespa toska terlihat
memberhentikan motornya tepat disamping Wulan. “Hey, kamu! Mau bareng gak?” tanya
pria itu tiba tiba.
Menyadari dirinya dipanggil, Wulan langsung berhenti dan melirikan pandangannya
pada pria asing yang mungkin baru pertama kali ini dia melihatnya.
Wulan ragu untuk menjawab. Tapi ketika dia melihat seragam pria itu tepat di lengan
kanannya memiliki lambang sekolah yang sama dengan lambang sekolahnya. Sudah bisa
Wulan pastikan kalau dia dan pria asing itu satu sekolahan.
“Engg..” pikir Wulan ragu.
“Mau apa enggak? Kalau gak mau, yaudah aku duluan. Tapi kamu hati-hati. Udah
mau hujan. Ntar kamu basah kuyup.”
Wulan masih mematung di tempatnya. Wulan tak kenal pria itu, tapi dia juga tidak
ingin datang ke sekolah dengan pakaian yang basah karena diterpa hujan. “Yaudah, aku ikut,”
final Wulan.
Pria itu tersenyum senang merasa dirinya menang. Wulan menginjak step motor dan
duduk di belakang. “Pegangan. Nanti kamu jatuh,” titah pria itu.
Wulan lagi-lagi ragu. Tapi akhirnya dia hanya bisa menurut. Kini, tangannya sudah
melingkar di pinggang pria itu.
Pria itu langsung menarik gas motornya dan melenggang di jalanan yang cukup sepi.
Tak butuh waktu lama, mereka berdua sudah sampai di tempat tujuan. Wulan turun
dari atas motor dan berterima kasih lalu pergi meninggalkan pria itu sendirian.
Siang hari ini kepala Wulan terasa panas. Otaknya seperti mengebulkan asap.
Bagaimana tidak, seharian tadi semua mapel mengadakan ulangan harian. Dan parahnya,
semua ulangan itu dadakan. Ingin rasanya Wulan mencelupkan kepalanya kedalam air es
sekarang juga.
Hey kamu!” teriak sebuah suara dari samping kanan Wulan.
“Kita ketemu lagi ya!” lanjutnya yang terdengar sangat senang.
Wulan hanya tersenyum tipis menanggapi itu semua. “Kamu aku anter pulang mau
gak?” tawarnya.
“Enggak usah makasih. Nanti ngerepotin.” tolak Wulan halus.
“Enggak kok. Gak ngerepotin sama sekali.”
“Hmm.. Yaudah deh.” Akhirnya Wulan setuju. Dia kembali berkendara dia atas motor
antik yang bahkan pemiliknya pun dia tidak tahu.
Jalanan sepi, hanya deru motor yang mereka tumpangi yang terdengar begitu nyaring.
Sementara penumpangnya hanya diam. Sampai akhirnya sang pria membuka suara, “Rumah
kamu dimana?”
“Di depan. Lurus aja.”
“Oh iya, nama kamu siapa?”
“Wulan.”
“Kelas berapa?”
“Kelas XI IPS 2.”
“Oh.. Wulan. Kenalin, namaku Surya. Anak kelas XII IPA 1.” Wulan membulatkan
bibirnya. Gadis itu ber oh ria.
Setelah beberapa ratus meter kemudian, Wulan menepuk pundak Surya guna
menghentikan pria itu. “Surya, stop. Itu rumahku.”
Surya menghentikan motornya. Bersamaan dengan itu, Wulan juga mulai turun dari
motor Surya yang antik. “Makasih ya Surya.”
“Iya sama sama. Aku juga pulang ya,” pamitnya.
“Gak mau mampir?”
“Enggak makasih. Lain kali aja.”
Wulan hanya mengangguk dan membiarkan Surya pergi kemanapun sesuka hatinya.
Dua bulan berlalu semenjak perkenalan itu. Tak ada perbedaan yang signifikan dari
kehidupan Wulan dan Surya. Hanya saja mereka semakin dekat. Surya selalu datang ke rumah
Wulan. Pria itu juga sering mengajak Wulan jalan-jalan di akhir minggu selama dua bulan
terakhir.
Seperti sekarang. Mereka berdua tengah berjalan-jalan di taman kota, menikmati sore
hari yang damai ini.
“Wulan.”
Gadis yang baru saja di panggil itu langsung menoleh ke arah Surya. “Ya?”
Surya yang duduk di sebelah Wulan tampak ragu untuk berbicara lebih lanjut. “Ngg..
Gak jadi.”
Wulan mengerutkan dahinya. “Ih, gak jelas kamu Surya.”
Surya tak mempedulikan apa yang barusan wulan katakan. Entahlah, dia ingin jujur
akan sesuatu, tapi dia malah gugup seperti ini. Padahal Wulan yang berada di sampingnya
terlihat biasa-biasa saja.
Gadis itu, ah Surya tak bisa untuk berhenti memandanginya. Wajahnya yang bersinar
terang bak rembulan di malam hari seakan menjadi candunya. Tak dapat dipungkiri kalau dua
bulan terakhir, Surya diam-diam menaruh hati pada gadis yang kini tengah duduk
bersebelahan dengan dirinya.
“Wulan,” panggil Surya lagi.
Wulan mengalihkan pandangannya pada Surya. Sial, pria itu tampan sekali. Wulan
jadi salah tingkah dibuatnya. “Iya Surya?”
“Aku, aku suka sama kamu.”
Wulan terdiam. Dia sama sekali tak tahu harus mengeluarkan respon seperti apa.
Jantungnya kini sudah berdetak tak karuan. Dadanya serasa ingin meledak. “Em, sebenarnya,
aku juga suka kamu Surya.” Mendengar semua itu, Surya merasa lega. Semua yang dia
rasakan ternyata terbalaskan. Tapi walau begitu, hatinya bilang untuk tetap di tahap ini saja.
“Tapi, aku gak berani lebih,” ungkap Surya.
Surya memang menyukai Wulan. Cinta malah. Tapi entahlah, dia belum memikirkan
hal yang lebih dari sekedar suka. Surya takut jika suatu saat dia akan mengecewakan gadis itu.
“Aku gak bisa melangkah lebih jauh. Aku takut tersesat dan buat kamu kecewa.”
Wulan hanya tersenyum. Senyum yang manis. “Gak papa Surya.”
Tiga hari setelah semua pengakuan itu, Surya yang kini duduk di bangku kelas XII
dinyatakan lulus dan nilainya juga bagus. Tapi, ada hal yang mengganjal di benaknya. Dia
pasti akan berpisah dengan Wulan. Gadis yang dicintainya. Terlebih, Papah nya menyuruh dia
untuk kuliah di Amerika. Apakah dia sanggup untuk pergi?
Malam harinya, Surya mengajak Wulan untuk makan malam di sebuah restoran
romantis yang paling terkenal di kota. Surya sengaja memesan private room untuk mereka
berdua. Dia hanya ingin menghabiskan malam ini bersama Wulan.
“Selamat Surya! Kamu udah lulus. Aku seneng banget.”
Surya tersenyum getir. Selain untuk makan, dia mengajak Wulan ke tempat ini untuk
memberitahukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis itu kecewa.
“Surya. Kok diem aja?”
“Oh iya Wulan, aku ada sesuatu buat kamu.”
“Apa tuh?”
Surya merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kalung indah yang terlihat
mahal. “Aku mau kasih kamu kalung ini.”
“Wah.. Manisnya.”
Surya bangkit dari duduknya dan menghampiri Wulan. “Aku pakein ya.”
Wulan mengangguk mengiakan. Surya yang mendapat persetujuan dari wulan
langsung memakaikan kalung cantik itu. Di sibakkannya rambut Wulan yang hitam legam
menampilkan pundak Wulan yang putih nan mulus. Dengan telaten dan hati hati Surya
mengaitkan kedua ujung kalung itu sampai bersatu dan kembali menuju tempat dia duduk
setelahnya.

(Part 2)

Dilihatnya Wulan kembali. Gadis itu terlihat semakin cantik setelah menggunakan
kalung pemberian darinya. “Suka?”
“Suka banget Surya. Makasih ya.”
Lagi lagi, surya menampilkan senyumnya. Dia meraih tangan wulan, mengenggamnya
dan mengelusnya lembut. “Wulan, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Ngomong apa?” tanya Wulan yang gelisah karena melihat perubahan raut wajah
Surya yang signifikan.
“Maaf.”
Wulan mengernyitkan dahinya bingung. “Maaf? maaf untuk apa?”
“Aku harus pergi ke Amerika.”
Wulan seketika langsung menarik tangannya dari genggaman Surya.
Satu kalimat yang baru saja meluncur dari mulut Surya mampu membuat gadis itu
terhenyak.
“Kenapa? Kenapa Surya? Kenapa kamu pergi?” tanya Wulan sambil mengeluarkan air
mata yang tak bisa dia bendung. Sakit. Rasanya sakit. Itu yang Wulan rasakan.
“Maaf. Maaf.”
“Buat apa kamu kasih aku kalung ini kalau ujung-ujungnya kamu pergi juga?”
“Maaf.” Surya berusaha meremat tangan Wulan namun dihempaskannya begitu saja
oleh Wulan.
“Aku benci kamu Surya!”
Wulan menarik tangannya kasar dan meninggalkan Surya sendirian. Wulan benar
benar kecewa.
Satu minggu telah berlalu dan Wulan masih saja membenci Surya. Gadis itu kini
tengah berdiri di depan jendela kamarnya sembari berlinang air mata. Dua bulan yang sia sia.
Wulan meremat kalung pemberian dari surya yang masih dipakainya.
“Kamu jahat Surya.”
Seorang pria dengan koper besar dalam genggamannya tengah berjalan pilu di
bandara. Terlihat orangtuanya ikut mengantarkan kepergiannya. Tak terbayangkan olehnya
kalau dia akan meninggalkan kedua orangtuanya, tanah kelahirannya, dan gadis yang dia
cinta. Wulan pasti sangat kecewa padanya.
Tapi hidup adalah pilihan. Dan jalan inilah yang dia pilih. Dia lebih mengutamakan
keinginan orangtuanya. Dia bukanlah anak egois yang semua keinginannya harus terwujud.
“Mah, Pah. Surya berangkat ya. Do’akan Surya.”
Sang Ibu terlihat sudah tersedu. Air matanya mengalir deras. Tak tega jika dia harus
berpisah dengan putra semata wayangnya. Sementara sang Ayah terlihat berusaha tegar walau
tak dipungkiri ada perasaan tak rela di hatinya.
“Iya, hati hati Nak.”
“Iya Pah.” Surya mencium punggung tangan Ayahnya dan memeluk pria itu erat.
Begitupun dengan Mamanya. Dia juga melakukan hal yang sama.
“Pah, Mah. Surya pergi ya.”
Dengan berat hati, Surya mulai melangkahkan kakinya pergi meninggalkan tempat
kedua orangtuanya berdiri.
“Surya!”
Baru beberapa langkah Surya berjalan, pria itu berhenti tatkala ia mendengar suara
lembut yang memanggilnya. Surya membalikan badan memastikan kalau itu benar benar dia.
“Wulan?”
Wulan mempercepat langkahnya dan menubrukan dirinya pada pria bongsor itu.
Wulan memeluk Surya erat seperti tak ingin Surya pergi dari hadapannya.
Wulan kamu kesini?”
Wulan melepaskan pelukannya dan mengangguk lemah. “Iya.”
“Makasih ya udah dateng.”
“Iya.”
Surya menarik kembali Wulan dalam dekapannya dan memeluknya erat sebelum dia
melepaskan tubuh gadis itu.
Surya menagkup wajah cantik Wulan. Wajah yang tak akan lelah ia pandang. Surya
mencium kening Wulan lembut. “Aku janji aku akan pulang.”
Wulan menyeka air mata yang tak henti turun membasahi pipinya. Gadis itu
mengangguk lagi untuk yang kesekian kali.
“Aku pergi dulu ya Wulan.”
“Iya. Hati hati ya Surya. Baik baik di sana.”
“Iya.”
Tak terasa, empat tahun sudah Surya berkuliah di Amerika. Gelar B.Sc. (Bechelor of
Science) pun telah dia raih. Dan ini adalah waktu yang paling dia tunggu. Surya akan pulang
ke Indonesia dan bertemu dengan Wulan. Walau dua tahun terakhir Wulan tidak ada kabar,
tapi Surya yakin kalau Wulan masih menunggu Surya pulang.
Sesampainya Surya di Indonesia, pria itu langsung disambut hangat oleh orangtuanya
dan mereka bertigapun segera pulang ke rumah.
Surya mengistirahatkan tubuhnya yang sudah lelah menempuh perjalanan.
Sore ini, Surya sudah rapi dengan pakaiannya. Ya, dia akan menemui gadisnya dan
menghapus rindu yang sudah bertahun tahun membelenggu.
Namun sebelum mengunjungi rumah Wulan, Surya memilih untuk ke taman tempat
dulu dia dan Wulan menghabiskan waktu untuk bersama. Tak ada banyak perubahan. Hanya
terlihat penambahan air mancur di tengah tengah taman. Dahulu tempat ini tak memiliki air
mancur sama sekali.
“Bukh..!”
Ketika asyik melihat lihat, Surya dikejutkan oleh seorang anak kecil berumur sekitar
satu tahunan dengan balon berwarna pink di tangan kanannya yang baru saja menubrukan
dirinya pada Surya.
“Aduh!” rintih anak itu dan terjatuh di atas rumput hijau.
“Hey, kau tak apa apa?” tak perlu berpikir lama, Surya segera menolong anak itu.
“Hey Aurora! Kamu disini rupanya.” teriak seorang wanita pada anak itu.
Surya mendongakkan kepalanya. Dia tahu betul pemilik suara lembut itu.

“Wulan?”
“Surya?”
“Mama..” teriak anak itu yang langsung menghamburkan diri memeluk wanita yang
dia panggi dengan sebuatan ‘mama’
“Mama?” tanya Surya tak mengerti.
“Sayang, ini aku bawakan ice cream untuk kita bertiga.” lalu muncul seorang pria dari
belakang Wulan dan memanggil wanita itu ‘sayang’
Semuanya kini semakin jelas. Kepingan puzzle yang berserakan di kepala Surya kini
telah menyatu. Surya sadar apa yang terjadi. Wulan kini bukan lagi jangkauannya. Wanita itu
bukan lagi tempat dia untuk pulang. Tapi ternyata laki laki beruntung di samping Wulan lah
yang telah menjadikan Wulan sebagai tempatnya pulang. Dia suaminya. Dan anak perempuan
itu adalah buah hati mereka.
Surya terlambat. Dia kalah.
Dilihatnya sekali lagi perempuan itu. Ah, kalung itu, Wulan masih memakainya. Entah
Surya harus senang atau malah sedih kalung pemberiannya empat tahun yang lalu masih
Wulan pakai. Pria itu tersenyum ke arah Wulan. “Terima kasih.”
Surya pergi. Dia tak ingin mengganggu kebahagiaan keluarga kecil itu.
“Siapa dia?”
“Buku yang sudah tamat. Lembaran yang hilang.”
Laki laki dewasa itu sama sekali tak mengerti apa yang istrinya katakan.
“Ayah.. As klim..” pria itu langsung menggendong anaknya dan menciumi putri
kecilnya itu.
“As klim ayah.. Bukan tium..”
“Hah.. Iya iya..”
“Eh, Ayah.. Kesana kesana..” tunjuk Aurora pada pedagang aru manis yang sepertinya
menarik perhatian anak itu ketimbang ice cream.
“Apa? Arumanis? Ice creamnya gimana?”
“Gak mau.. Mau itu..”
“Hah.. Iya iya baiklah.” sang Ayah hanya bisa mengiakan. Dia tak sampai hati
menolak permintaan putrinya itu.

“Kamu ikut gak sayang?” tanya pria itu pada istrinya yang jadi pendiam semenjak
beberapa menit yang lalu.
“Em.. Kalian duluan aja. Nanti aku nyusul.”
“Oh.. Oke.”
Ayah dan anak itu sudah pergi. Tinggallah Wulan sendiri.
Wulan masih tak menyangka kalau dia akan bertemu lagi dengan Surya. Kalung itu,
dia merematnya erat dan tertunduk pilu.
“Maaf, sepertinya sang surya dan rembulan memang tidak pernah ditakdirkan bersama
oleh Tuhan.”

Anda mungkin juga menyukai