Anda di halaman 1dari 3

Senin, 24 Agustus 2020

Agenda : Studium Generale PPDH 2020/2021


13.00 – 14.30
Media Daring (Youtube)

Muhammad Farhan
B0901201035

IMMUNITY MANAGEMENT
Pemateri : Drh. Darwela Nuraisyah
,Moderator : Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt, M.Si

Presentasi dibawakan oleh Drh. Darwela Nuraisyah, seorang kolega lulusan FKH
IPB’35 dan menjabat sebagai Companion Animal Business Unit Head di PT Zoetis Animal
Health Indonesia. Beliau memiliki pengalaman yang cukup banyak mengenai dunia
vaksinasi, sehingga ilmu yang akan beliau bagikan ini dirasa sangat penting dalam
membangun kompetensi seorang dokter hewan bagi mahasiswa PPDH IPB tahun 2020/2021.
Topik dalam presentasi ini mencakup tentang vaksinasi pada hewan kecil (terutama kucing),
dan kemudian dibagi lagi menjadi tujuh subbab.

1. Core and Non-core feline vaccines


Berdasarkan urgensi dan morbidity rate dari sebuah infeksi virus pada kucing,
vaksinasi pada kucing dapat terbagi menjadi dua, yaitu Vaksinasi Core (Utama) dan
Vaksinasi Non-Core (Tambahan). Vaksinasi core adalah vaksinasi yang dilakukan untuk
mencegah infeksi penyakit-penyakit virus yang dirasa memiliki tingkat kematian dan
morbiditas yang sangat tinggi dibandingkan penyakit virulen lainnya pada kucing. Vaksinasi
Core meliputi Vaksin terhadap FPV, FHV-1 dan FCV. Beberapa dokter hewan
mengkategorikan vaksin Rabies dan FeLV juga termasuk dalam vaksinasi Core.
Berbeda dengan vaksinasi Core, vaksinasi non-Core adalah vaksinasi yang hanya
diberikan pada kasus” infeksi virus tertentu, yang memiliki tingkat morbiditas yang jauh
lebih rendah. Umumnya vaksinasi non-Core hanya diaplikasikan pada kucing dengan resiko
terpapar vitus yang tinggi, seperti kucing migrasi, kucing show dll. Vaksinasi non-Core
meliputi Vaksin Chlamydia, FIV, FIP dan Bordetella bronchiseptica.

2. Vaccine types
Vaksin, berdasarkan jenis komponennya terbagi menjadi tiga, yaitu vaksin Inactivated
(mati), Modified Live Vaccine (MLV), dan rekombinan. Perbedaan yang paling mendasar
terddpat pada jenis antigen vaksin yang digunakan. Vaksin mati menggunakan antigen (virus)
yang sudah dalam keadaan mati, sehingga tingkat imunogenisitas dan kereaktifan lebih
rendah dibanding vaksin yang lain. MLV menggunakan virus yang masih hidup tetapi dalam
kondisi dilemahkan, sehingga imunitas tubuh dapat merespon lebih baik, dan sangat reaktif
terhadap perubahan suhu. Vaksin rekombinan adalah vaksin yang menggunakan bantuan
mikroorganisme non virus yang dikodekan oleh protein/gen patogen dari virus yang
bersangkutan. Vaksin ini umumnya dapat membuat titer protektif yang bertahan cukup lama,
seperti rabies dan FeLV.
3. Protection by MLV Vaccines in an Outbreak
Apabila terjadi outbreak/wabah, maka tindakan yang tepat untuk dilakukan ialah
melakukan vaksinasi massal kepada kucing yang rentan. Sebagai contoh, apabila terjadi
outbreak FPV, maka semua kucing pada daerah tersebut dilakukan vaksinasi secepatnya, baik
domestik maupun liar (shelter). Untuk kucing yang sudah terinfeksi, program isolasi perlu
dilakukan. Untuk kucing shelter, langsung diberikan MLV dengan rute subkutan dengan
rentang waktu dua minggu tiap pemberian vaksin dan boosternya. Kitten liar pun juga
sebaiknya divaksinasi, kurang lebih setelah kira” umurnya mencapai 4 bulan (dengan asumsi
maternal antibody sudah berkurang). Proteksi kemudian muncul sekitar 3-5 hari setelah
vaksinasi kedua.

5. Causes of vaccine failure


Pada umumnya, vaksin tidak akan bekerja pada kucing yang sudah menunjukkan
gejala klinis akan infeksi virus (masa inkubasi). Masa jeda vaksinasi yang terlalu cepat (<2
minggu) juga akan mengganggu respon tubuh kucing terhadap vaksin, apabila jika
sebelumnya diberikan vaksin lain. Maternal antibody / antibodi induk mencegah imunitas
tubuh kitten merespon, sehingga tidak akan terbentuk kekebalan terhadap virus tersebut.
Maternal antibody pada kitten masih ada dalam darah sekiranya hingga usia 20 minggu.
Kucing yang dalam kondisi immunosuppresif karena terapi maupun fisiologis, juga tidak
menunjukkan hasil yang baik setelah vaksinasi dilakukan. FIV dan FeLV perlu dicek apabila
kucing mengalami gejala klinis setelah vaksinasi, karena virus tersebut dapat mengurangi
respon imun tubuh kucing.
Faktor logistik, seperti penyimpanan dan preparasi yang salah juga menjadi salah satu
faktor kegagalan vaksinasi. Vaksin tidak boleh terpapar sinar matahari, dan harus selalu
dalam keadaan dingin paling lama 1 jam sebelum pemakaian. Bila lebih maka harus dibuang.
Suhu optimal bagi penyimpanan vaksin berkisar 2-7°C.

6. Adverse reactions to vaccines


Kasus munculnya efek samping setelah vaksinasi memang sangat rendah, akan tetapi
banyak pet owner yang panik dan paranoid terhadap vaksinasi apabila hal ini terjadi.
Berdasarkan data, 92% kasus terjadi saat tiga hari post-vaksinasi. Efek samping yang muncul
antara lain seperti lethargy, peradangan bengkak pada tempat injeksi, edema dan pruritis.
Kemungkinan efek samping dapat menjadi lebihtinggi pada kucing dengan umur diatas 1
tahun, yang sering melakukan kunjungan dokter untuk vaksinasi.

7. Feline Injection site sarcoma


Pembentukan sarkoma pada situs injeksi vaksin terkadang dapat terjadi, walaupun
injeksi vaksin hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor terbentuknya sarkoma. Sejauh
ini, masih belum ada studi yang berhasil menjelaskan faktor utama yang meningkatkan resiko
terjadinya kasus sarkoma post vaksinasi. Pemberian adjuvan, dan situs injeksi yang
digunakan berkali-kali diduga juga berpengaruh, tetapi masih belum ditemukan korelasi yang
pasti.
Untuk mencegah terbentuknya sarkoma, sebaiknya vaksin diadministrasikan secara
subkutan agar terbentuknya massa dapat terdeteksi dengan cepat. Jika bisa, hindari
menggunakan satu situs injeksi untuk dua vaksin yang berbeda.
Massa sarkoma dapat dideteksi dengan prinsip 3, 2 ,1: Massa terbentuk setelah 3
bulan pasca vaksinasi, Massa berukuran lebih dari 2 cm diamter, dan Ukuran massa akan
mulai berkembang setelah 1 bulan.

Screenshot

Anda mungkin juga menyukai