Anda di halaman 1dari 12

Nama : Muhammad Rifai

BP : 2010612038

Kelas : ITP Ternak Unggas Paralel 07

Tugas ITP Ternak Unggas 1

Cara Melakukan Vaksinasi pada Ayam

Dalam usaha peternakan unggas, masalah penyakit harus selalu diwaspadai karena akan
merugikan peternak. Keberadaan penyakit dapat menurunkan produktivitas dan dapat menyebabkan
kematian. Mencegah bibit penyakit masuk ke lingkungan peternakan dan ke dalam tubuh ternak
merupakan cara ampuh yang dapat dilakukan. Yakni dengan cara biosekuriti dan vaksinasi yang ketat.

Vaksinasi merupakan tindakan memasukkan vaksin ke dalam tubuh ternak untuk melindungi
ternak dari penyakit. Vaksin sendiri merupakan mikroorganisme/agen infeksi yang sudah dilemahkan
atau dimatikan dan diformulasikan sedemikian rupa yang digunakan untuk infeksi buatan. Fungsinya
ialah menggertak pembentukan kekebalan (antibodi) pada ternak sehingga dapat mencegah infeksi
penyakit.

Saat ini serangan penyakit sudah menyebar hampir ke seluruh wilayah, baik penyakit viral maupun
penyakit bakterial. Oleh karena itu tindakan pencegahan dengan vaksinasi sangat perlu dilakukan.
Dengan berbagai pertimbangan seperti :

 Penyakit viral tidak dapat disembuhkan dengan pemberian obat


 Pengendalian terbaik dengan memberikan kekebalan pada ayam
 Adanya penyakit bakterial yang jika sudah terlanjur menyerang sulit diberantas secara tuntas
sehingga mudah muncul kembali (misalnya korisa)
 Serta biaya kesehatan untuk pencegahan lebih murah jika dibandingkan dengan biaya
pengobatan/terlanjur terjadi kasus penyakit
 Keberhasilan vaksinasi dipengaruhi beberapa faktor yang sering kita sebut dengan 4M:
 Materi (vaksin dan ayam)
 Metode (program vaksinasi dan teknik vaksinasi)
 Manusia (keterampilan, sikap, dan pengetahuan)
 Milieu/lingkungan (agen penyakit, biosekuriti, dan air)

Mengenal Jenis Vaksin

Berdasar jenis agen infeksinya vaksin yang beredar di lapangan umumnya berisi virus, bakteri
maupun protozoa.Secara umum berdasarkan sifat hidup agen infeksi yang terkandung dalam vaksin,
produk vaksin dibedakan menjadi 2, yaitu: vaksin aktif (active vaccine, live vaccine, vaksin hidup) dan
vaksin inaktif (killed vaccine, inactivated vaccine).

Vaksin aktif berisi mikroorganisme yang telah dilemahkan. Sediaan vaksin aktif biasanya dalam
bentuk kering beku. Sehingga pada aplikasi atau pemakaiannya harus dilarutkan dahulu menggunakan
pelarut, dapat berupa larutan dapar, air biasa (minum) atau aqua destilata. Hal yang perlu diperhatikan
saat vaksinasi dengan vaksin aktif adalah agen infeksi yang terkandung dalam vaksin harus segera masuk
ke dalam tubuh ayam setelah dilarutkan, karena agen infeksinya hanya dilemahkan. Vaksinasi harus
dilakukan secepat mungkin, dalam waktu kurang dari 2 jam. Setelah vaksin diberikan, maka agen infeksi
yang terkandung akan menuju ke target organ kekebalan untuk bermultiplikasi kemudian menuju ke
organ limfoid untuk menggertak pembentukan kekebalan.

Vaksin inaktif berisi agen infeksi yang telah diinaktifasi dengan pengertian mikroorganisme
tersebut telah dimatikan, namun masih bersifat imunogenik/mampu menggertak pembentukan antibodi.
Vaksin inaktif berbentuk emulsi atau suspensi karena mengandung adjuvant. Adjuvant merupakan bahan
yang bersifat non antigenik/tidak berkemampuan merangsang terbentuknya antibodi. Adjuvant
ditambahkan dalam vaksin inaktif untuk menambah daya kerja vaksin dengan efek depo, penyerapan
sedikit demi sedikit ke dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke dalam tubuh, vaksin inaktif tidak perlu
bereplikasi, tetapi langsung memacu jaringan limfoid untuk membentuk antibodi.

Vaksin berdasarkan jumlah agen infeksi yang terkandung dalam satu kemasan dibedakan menjadi
vaksin tunggal dan vaksin kombinasi. Yang dimaksud vaksin tunggal yakni dalam satu kemasan hanya
berisi satu macam/jenis agen infeksi. Misalnya Medivac ND La Sota atau Medivac ND Emulsion.
Dalam satu kemasan hanya mengandung 1 agen infeksi yakni virus ND saja. Sedangkan vaksin
kombinasi yakni dalam satu kemasan dapat berisi dua atau lebih macam/jenis agen infeksi.
Misalnya Medivac ND-IB atau Medivac ND-EDS-IB Emulsion. Dalam satu kemasan mengandung dua
(virus ND dan IB) atau lebih agen infeksi (virus ND, IB, dan EDS).

Penyusunan Program Vaksinasi

Salah satu pendukung keberhasilan vaksinasi yakni metode vaksinasi, yang mencakup program
dan teknik vaksinasi. Penyusunan dan pelaksanaan program vaksinasi bertujuan untuk memperoleh
kekebalan yang tinggi terhadap penyakit dan untuk mencegah beberapa penyakit tertentu pada peternakan
tersebut. Program vaksinasi tidaklah baku, namun dapat berbeda-beda di suatu wilayah. Hal ini
tergantung dari jenis ayam, jenis penyakit yang sering menyerang, tingkat keganasan penyakit di wilayah
tersebut, umur seranga n penyakit, maupun kepadatan peternakan di daerah tersebut.

Dalam menyusun program vaksinasi ayam broiler ada beberapa vaksin yang wajib diberikan
terkait serangan penyakit yang cukup tinggi, seperti vaksin ND dan Gumboro. Tetapi perlu
dipertimbangkan pula kerawanan dan riwayat daerah tersebut, misalnya terhadap serangan penyakit AI,
IB maupun korisa. Program vaksinasi untuk ayam layer tentu berbeda dengan ayam broiler terkait masa
pemeliharaan ayam layer yang lebih panjang. Ada beberapa vaksin yang wajib diberikan sebelum
memasuki masa produksi, seperti vaksin ND, Gumboro, AI, IB, EDS, dan korisa. Namun bukan berarti
vaksin lain tidak perlu diberikan, seperti ILT atau fowl pox. Tergantung akan riwayat atau tingkat
kerawanan peternakan tersebut. Sebagai gambaran penyusunan program vaksinasi standar pada
ayam broiler dan layer, dapat dilihat pada Tabel 3, 4, dan 5. Namun program tersebut hanya sebagai
panduan umum saja dan dapat diubah sesuai kondisi masing-masing peternakan.

Vaksinasi menjelang masa produksi bertujuan supaya antibodi protektif yang dihasilkan dapat
bertahan lama hingga puncak produksi. Maka pemilihan vaksin menjelang masa produksi yakni vaksin
inaktif. Tujuannya agar saat puncak produksi tidak perlu dilakukan vaksinasi. Awal produksi sampai
dengan puncak produksi merupakan masa kritis masa produksi sehingga perlu meminimalisir stres salah
satunya efek vaksinasi misalnya saat proses handling/penanganan ayam. Penentuan jadwal vaksinasi
ulang setelah masuk masa produksi atau setelah puncak produksi lebih tepat jika berdasarkan hasil
pemantauan titer antibodi.

Mengenal Teknik Vaksinasi

Selain program vaksinasi, keberhasilan vaksinasi juga dipengaruhi teknik vaksinasi. Tujuan kita
mengetahui teknik yang benar agar saat vaksinasi ayam mendapatkan 1 dosis penuh secara seragam
sehingga diperoleh antibodi dalam jumlah yang optimum dan seragam. Beberapa teknik vaksinasi yang
umum di lapangan adalah tetes (mata/hidung/mulut), air minum, spray, suntikan (subkutan/intramuskuler)
maupun tusuk sayap.

Tetes mata, hidung atau mulut

Vaksin yang diberikan secara tetes adalah vaksin aktif. Sebelum digunakan, vaksin perlu
dilarutkan ke dalam larutan dapar untuk menaikkan suhu secara bertahap/thawing dan membangunkan
agen infeksi yang dimati-surikan dalam keadaan kering beku. Isi setengah vial vaksin dengan larutan
dapar dan kocok sampai tercampur rata. Tuangkan larutan vaksin ke dalam botol larutan dapar dan kocok
hingga tercampur rata.

Aplikasi tetes mata diberikan dengan meneteskan larutan vaksin pada mata satu tetes tiap ekor,
tunggu sampai vaksin betul-betul masuk ke dalam mata (ayam akan mengejapkan mata berkali-kali) baru
dilepaskan. Jika menggunakan tetes hidung, tutup lubang hidung yang lain pada saat meneteskan vaksin
dan lepaskan setelah vaksin terhirup. Apabila menggunakan tetes mulut, teteskan satu tetes larutan vaksin
melalui mulut. Pastikan sampai vaksin benar-benar masuk ke dalam mulut hingga ayam ada reflek
menelan. Saat vaksinasi, hal yang perlu diperhatikan yakni cara handling agar vaksinasi tepat.

Vaksinasi ND dan IB pertama lebih baik hasilnya bila diberikan melalui tetes mata/hidung dan
vaksinasi Gumboro pertama melalui tetes mulut. Karena pintu masuk virus ND dan IB adalah di saluran
pernapasan dan sekaligus mengaktifkan kelenjar harderian (organ kekebalan) di daerah mata. Serta tiap
ekor ayam mendapatkan 1 dosis penuh karena konsumsi air minum belum merata.
Air minum

Teknik vaksinasi melalui air minum merupakan teknik yang paling sering digunakan peternak.
Karena dapat diberikan secara masal, praktis, dan mudah dilakukan. Namun perlu diingat, teknik ini juga
mempunyai kelemahan yaitu sulit dikontrol keseragaman jumlah air yang diminum ayam. Cara vaksinasi
air minum cocok untuk ayam dewasa/lebih dari 3 minggu, karena jumlah konsumsi air minum ayam
dewasa relatif stabil. Vaksinasi melalui air minum bisa menjadi alternatif untuk vaksinasi ulangan.
Namun beberapa hal yang perlu diperhatikan saat vaksinasi melalui air minum, yakni:

Pastikan kualitas air minum baik. Air harus terbebas dari logam berat dan bahan kimia seperti
desinfektan/klorin. Maka hentikan pemakaian desinfektan melalui air minum 48 jam sebelum dan sesudah
vaksinasi. Untuk itu, tambahkan stabilizer/penstabil agar kualitas air bagus saat digunakan,
seperti Medimilk atau Netrabil.

Agar semua ayam memperoleh dosis vaksin yang tepat, maka saat vaksinasi kita perlu memastikan:

Kebutuhan air minum ayam

Vaksin aktif harus habis dalam waktu kurang dari 2 jam sehingga jumlah air minum harus
disesuaikan dengan kebutuhan selama waktu tersebut. Perkiraan kebutuhan air minum dapat dilihat pada
tabel berikut. Namun ini hanya sebagai panduan umum, konsumsi air minum juga dipengaruhi kondisi
cuaca lingkungan.Untuk mengetahui jumlah konsumsi air minum ayam dapat juga dilihat dari feed
intake.Isi setengah vial dengan air minum, kemudian vial ditutup kembali dan dikocok perlahan sampai
tercampur rata, lalu campurkan ke dalam air minum.

Vaksin harus segera terkonsumsi

Sebelum diberi air minum yang berisi vaksin, puasakan ayam dari air minum selama 1–2 jam,
tergantung cuaca. Sediakan tempat minum dalam jumlah yang cukup dan distribusi merata agar seluruh
ayam dapat minum bersama-sama sekaligus. Jangan menggunakan tempat minum dari kaleng. Operator
harus mengontrol/memastikan saat proses vaksinasi sehingga jika ayam tidak bisa mengakses TMA maka
perlu dibantu dengan mendekatkan ke TMA. Jika menggunakan nipple drinker maka dapat dirangsang
dengan menekan nipple drinker untuk mengeluarkan air sehingga ayam mau minum.Letakkan air minum
yang berisi vaksin di tempat yang teduh, jangan kena panas dan sinar matahari langsung.

Spray

Siapkan pelarut berupa aquades atau air bersih, pH netral, bebas zat besi, dan klorin. Kemudian
larutkan seluruh isi vial vaksin ke dalam pelarut sampai tercampur rata dan masukkan ke
dalam sprayer dengan hati-hati. Sebaiknya sprayer yang dipakai hanya untuk vaksinasi. Tutup semua
pintu dan lubang ventilasi, matikan kipas angin. Semprotkan ke seluruh ayam dengan jarak 30–40 cm dari
atas kepalanya, lebih baik dilaksanakan pada saat semua ayam “mendekam”. Kandang dibuka kembali
dan kipas dinyalakan lagi 20–30 menit setelah selesai penyemprotan.
Suntikan (intramuskuler/subkutan)

Vaksinasi suntikan diberikan dengan suntikan intramuskular (tembus daging/otot) di paha/dada


atau subkutan (bawah kulit) di leher bagian belakang sebelah bawah. Vaksinasi dengan cara suntikan
harus dilakukan dengan hati-hati. Jika tidak, dapat mengakibatkan kegagalan dan berakibat fatal. Seperti
ayam menjadi stres, leher terpuntir maupun terjadinya kebengkakan pada area suntikan. Alat suntik yang
digunakan dapat berupa alat suntik manual/disposable syringe atau jika jumlah ayam banyak dapat
menggunakan alat suntik otomatis/socorex yang dapat disterilisasi dan digunakan kembali. Vaksinasi
suntikan dengan vaksin inaktif, sebelumnya vaksin perlu di-thawing dengan menggenggam dan
menggesekkan kedua tangan hingga vaksin tidak berembun. Setelah di-thawing vaksin langsung
disuntikkan sesuai dosis vaksin (misalnya 0,5 ml untuk ayam dewasa dan 0,2 ml untuk anak ayam). Jika
vaksinasi suntikan menggunakan vaksin aktif, maka vaksin perlu dilarutkan dalam aquades terlebih
dahulu. Misalnya dosis yang diberikan ke ayam 0,5 ml/ekor, maka untuk vaksin kemasan 100 dosis perlu
dilarutkan dalam 50 ml aquades.

Tusuk sayap

Vaksinasi tusuk sayap diberikan untuk vaksin cacar/fowl pox atau vaksinasi kombinasi AE
dan fowl pox. Sebelum digunakan, pasang plastik penghubung pada botol vaksin lalu hubungkan dengan
botol pelarut vaksin. Tuangkan pelarut ke dalam botol vaksin dan pindahkan kembali ke botol pelarut
sampai vaksin terlarut homogen. Celupkan jarum penusuk ke dalam larutan vaksin sampai seluruh
bagian jarum tercelup. Vaksinasi dilakukan dari bagian dalam sayap. Rentangkan sayap dan tusukkan
jarum penusuk pada bagian lipatan sayap yang tipis dan jangan sampai mengenai pembuluh darah, tulang,
dan urat daging sayap. Vaksin tidak boleh menyentuh bagian tubuh lain kecuali tempat vaksinasi.
Vaksinasi dinyatakan berhasil jika terdapat radang berbentuk benjolan dengan diameter 3-5 mm pada
lokasi tusukan. Reaksi ini akan muncul 3-7 hari setelah vaksinasi dan sembuh dalam waktu kurang dari 3
minggu.

Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Vaksinasi

Agar kekebalan hasil vaksinasi optimal, sebaiknya saat melakukan vaksinasi perlu memperhatikan hal-hal
berikut:

1. Jangan gunakan vaksin jika botol retak atau segel rusak serta catat nomer batch vaksin dan
perhatikan tanggal kedaluwarsanya
2. Ayam yang akan divaksin dalam kondisi sehat. Misalnya jika ayam sedang terkena korisa,
sebaiknya dilakukan pengobatan terlebih dahulu
3. Gunakan teknik vaksinasi sesuai anjuran (tepat teknik) dan jika menggunakan alat suntik,
pastikan alat suntik yang digunakan steril
4. Pastikan setiap ekor mendapat dosis yang sama dan seragam. Saat vaksinasi, hindari perlakuan
kasar yang menyebabkan ayam stres atau salah suntik dan tidak tergesa-gesa, tidak ada ayam
“lolos” tidak tervaksin serta perhatikan batas waktu vaksin setelah dilarutkan
5. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan ketidak-keseragaman dosis, yaitu :
6. Lama pelaksanaan vaksinasi lebih dari 2 jam sejak vaksin dilarutkan, sehingga ada kemungkinan
agen infeksi dalam vaksin menjadi mati yang berakibat ayam yang divaksin belakangan tidak
mendapat dosis minimal yang diperlukan
7. Terdapat buih pada alat suntik sehingga volume larutan vaksin tidak terisi penuh
8. Vaksin yang sudah di-thawing diletakkan kembali di suhu dingin
9. Saat vaksinasi, agen infeksi yang terkandung dalam vaksin terkena suhu tinggi (terlalu dekat
dengan pemanas atau kontak dengan sinar matahari)
10. Larutan vaksin tercemar desinfektan/logam berat/kaporit, pH pelarut yang sangat rendah (pH
asam) atau sangat tinggi (pH basa)
11. Tiga hari sebelum dan sesudah vaksinasi, berikan vitamin atau imunomodulator (bahan
alami/buatan yang dapat meningkatkan fungsi sistem kekebalan) seperti Imustim untuk daya
tahan dan hasil optimal
12. Agar hasil vaksinasi optimal, maka salah satu faktor yang perlu kita perhatikan yakni metode
vaksinasi, seperti program vaksinasi dan teknik vaksinasinya. Namun perlu didukung dengan
kualitas vaksin yang digunakan, kondisi ayam, pelaksana/operator dan pengelolaan lingkungan
yang baik.

Koksidosis dan Pencegahannya

Koksidiosis dan pencegahannya dengan koksidiostat dari kekayaan alam Indonesia

Koksidiosis pada ayam merupakan salah satu penyakit terpenting yang menyerang industri
perunggasan. Penyakit ini merupakan penyakit pada intestinal yang disebabkan oleh parasit protozoa dari
genus Eimeria (Michels, et al, 2011). Penyakit asal parasit kerapkali berbeda dengan penyakit viral atau
bakteri dalam beberapa aspek, yaitu siklus hidup yang kompleks, metode penyebaran, sangat minim/tidak
ada uji serologik yang dapat dipakai sebagai metode diagnosis, dan kadang-kadang dapat ditanggulangi
dengan cara sanitasi/desinfeksi dan isolasi yang ketat (Tabbu, 2002).

Koksidiosis atau sering disebut berak darah adalah penyakit parasiter yang menimbulkan
gangguan terutama pada saluran pencernaan bagian aboral, angka kesakitan dan kematian dapat mencapai
80-90% (Retno, et al, 1998). Gejala klinis kosidiosis bervariasi menurut spesies Eimeria yang
menginfeksi ayam. Spesies Eimeria yang kurang patogenik biasanya menyebabkan gejala klinis yang
ringan atau tanpa gejala. Spesies eimeria yang lebih patogenik dapat menyebabkan diare yang bersifat
mukoid atau hemoragik. Gejala diare biasanya akan diikuti oleh dehidrasi, bulu berdiri, anemia, lesu,
lemah, menekuk kepala dan leher serta mengantuk (Tabbu, 2002). Kerugian akibat koksidiosisi adalah
berat badan menurun, masa bertelur terlambat, penurunan produksi telur, konversi ransum menjadi jelek
(Retno, et al, 1998).

Eimeria penyebab koksidiosis pada ayam termasuk dalam filum Apicomplexa, kelas Sporozoa,
sub kelas Coccidia, ordo Eucoccidiae, sub ordo Eimeriina, Familia Eimeridae, dan genus Eimeria
(Soulsby, 1982). Menurut Retno, et al 1998 terdapat 12 macam spesies Eimeria yang menyerang ternak
ayam, yaitu : E. tenella, E. necatrix, E. brunetti, E. acervulina, E. maxima, E. mitis, E. mivati, E. paecox,
E. hagani, E. tyrsani, E. myonella, E. gallinae. Jenis Eimeria yang ditemukan pada ayam tidak dapat
menginfeksi jenis unggas atau hewan lain dan sebaliknya(Tabbu, 2002).
Siklus hidup Eimeridae mirip satu sama lain dan dapat digambarkan oleh siklus hidup Eimeria
tenella, yang ditemukan didalam sekum ayam (Levine, 1995). Coccidia mempunyai siklus hidup yang
kompleks dan menciri yang berlangsung sekitar 7 hari, meliputi beberapa beberapa stadia aseksual dan
seksual (Tabbu, 2002). Eimeria tenella memiliki tiga fase perkembangbiakan yaitu sporogoni, skizogoni
(fase aseksual), dan gametogoni (fase seksual) (Urguhart, et al., 1987). Ookista harus mengalami
sporulasi agar menjadi infektif. Waktu untuk bersporulasi bervariasi dari 12-30 jam pada temperatur
kamar. Sporulasi ookista yang optimal berlangsung pada temperatur 25-30 ºC dengan kelembaban dan
kadar oksigen yang tinggi (Tabbu, 2002). Jika ookista yang telah bersporulasi termakan oleh ayam,
dinding ookista pecah dalam empedal (ventriculus) dan melepaskan sporokista-sporokista. Sporozoit
dibebaskan dari sporokista dengan bantuan kimotripsin dan garam empedu di dalam usus halus (Levine,
1995; Tabbu, 2002). Sporokista masuk kedalam sel epitel dan selanjutnya sporozoit membulat dan
menjadi skizon generasi I yang mengandung banyak merozoit (Levine, 1995; Urguhart, et al, 1987).
Kerusakan jaringan yang maksimal (perdarahan dan nekrosis) dapat ditemukan pada saat skizon generasi
II mengalami ruptur untuk membebaskan merozoit (Tabbu, 2002). Merozoit yang dihasilkan selanjutnya
akan berkembang menjadi mikro dan makro gamet (gametogoni). Pada akhir stadium gametogoni akan
dihasilkan ookista yang akan dikeluarkan bersama tinja (Georgi, 1980; Soulsby, 1982). Waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan dua siklus aseksual dan satu siklus seksual di dalam tubuh hospes adalah
5-6 hari, ookista mulai ditemukan di dalam tinja pada hari ke tujuh pasca infeksi (Reid, et al., 1984).
Masa prepatent yaitu dari saat diinokulasi sampai ditemukanya ookista pertama didalam tinja adalah tujuh
hari. Ookista itu terus dikeluarkan selama beberapa hari setelah itu, karena sporozoit tidak semuanya
segera masuk ke dalam sel hospes, tetapi dapat tinggal di dalam rongga usus untuk beberapa waktu
lamanya dan juga karena banyak ookista tertahan dalam suatu sumbat dari bahan yang ada di dalam
sekum selama beberapa hari sebelum di keluarkan (Levine, 1995). Puncak sekresi/ pengeluaran ookista
pada hari ke delapan, jumlah ookista akan menurun pada hari ke sembilan sesudah infeksi dan akan
berangsur menurun pada hari ke 11 ookista tinggal sedikit tetapi kemungkinan masih tetap ditemukan
dalam tinja sampai beberapa bulan sesudah infeksi (Reid, et al., 1984). Siklus hidup Eimeria sp.

Antimikrobial terbaru digunakan sebagai koksidiostat yang dicampurkan dalam pakan sebagai
pencegah koksidiosis. Akan tetapi kenyataan di lapangan kasus resistensi obat tinggi, yang menyebabkan
antimikrobial tersebut tidak efisien, baik secara ekonomi maupun dari sisi lingkungan, sehingga
meningkatkan kesadaran konsumen dalam hal 5 mengonsumsi bahan makanan yang bebas dari residu
obat (Harper and Makatouni, 2002 dalam Michels., et al 2011). Infeksi Eimeria ini dapat dicegah dengan
pemberian obat-obatan golongan sulfa. Sulfadimethoxine adalah salah satu golongan sulfa yang rendah
toksisitasnya dan efektif dalam mengobati koksidiosis (Saad et al., 2006). Beberapa antikoksidia yang
sering digunakan antara lain adalah sulfaquinoksalin, sulfadimetoksin, kombinasi sulfadimetoksin dan
ormetroprim, klopidol, dekokuinat, amprolium, kombinasi amprolium dan etopabat, nikarbazin, lasalosid
(polieter ionofor), salinomisin, monensin, maduramisin, diklazuril, dan toltazuril (Tabbu, 2002).
Penambahan koksidiostat dan antibiotik dalam pakan telah menimbulkan resistensi pada protozoa ini.
Resistensi dapat terjadi karena ketika protozoa tersebut mengalami stres oleh koksidiostat atau antibiotik,
maka protozoa tersebut akan bermutasi dan beradaptasi terhadap obat-obat tersebut (Saad et al., 2006).
Banyaknya kasus resistensi obat dari strain koksidia menyebabkan obat-obat antikoksidia yang tersedia
saat ini menjadi tidak efektif dan mengancam perekonomian industri perunggasan, khususnya di negara
berkembang dimana masalah tersebut menjadi masalah utama bagi petanipeternak yang miskin (El-
Sadawy, et al. 2009)
Hingga saat ini telah banyak inovasi penelitian yang menghasilkan produk pengganti anti
koksidia yang sudah banyak digunakan. Produk tersebut dapat mengobati penyakit tanpa
mempengengaruhi efisiensi produksi ternak dan tidak membahayakan kesehatan manusia (Michels, et al,
2011). Sudah sangat banyak produk yang digunakan sebagai feed aditif yang terbukti dapat
mengendalikan koksidiosis dan beberapa diantaranya adalah berasal dari bahan alami (Allen and Fetterer,
2002 dalam Michels. et al, 2011). Saat ini produk-produk fitofarmasi telah menjadi obyek program
penelitian, pencarian fitofarmasi yang layak bagi kesehatan manusia dan hewan telah ditingkatkan
terutama untuk mempermudah memperoleh bioproduk, yang murah dan efektif mencegah dan mengobati
penyakit (Ozaki and Duarte, 2006 dalam Michels., et al 2011).

Beberapa jenis tanaman yang digunakan untuk pakan ternak dapat memberikan alternatif
biofarmasi yang sederhana dan murah (Reda dan Daugschies, 2010). Beberapa penelitian terkait
koksidiostat alami antara lain ekstrak air kulit kayu pinus dengan kandungan tanin 35% diketahui dapat
mengurangi sporulasi ookista E. tenella secara signifikan (Molan et al., 2009), senyawa artemisinin dari
Artemisia sieberi efisien untuk mengurangi ekskresi ookista dan xanthohumol, senyawa khalkon
terprenilasi dari bunga 6 Humulus lupulus efektif mengurangi derajat perlukaan (skor lesi) oleh E. tenella
(Arab et al., 2006; Allen, 2007). Michels et al. (2011) juga menyebutkan ekstrak urang aring (Eclipta
alba) yang mengandung kumarin pada konsentrasi 120 ppm efektif sebagai agen profilaksis koksidia.
Aktivitas antikoksidia juga diketahui pada 1000 mg/kg ekstrak Echinacea purpurea (Orengo et al., 2012),
ekstrak air dan etanol Saccharum officinarum (Awais et al., 2011), 100 µl ekstrak bawang putih (20
mg/ml) (Dkhil et al., 2011). Menurut Liliwirianis et al. (2011) Kenikir (Cosmos caudatus) juga diketahui
mengandung saponin (batang dan daun), alkaloid (batang dan daun), steroid (batang dan daun), fenol
(daun), flavonoid (batang dan daun) dan terpenoid (daun). Rasdi et al. (2010) menyatakan kenikir
memiliki aktifitas antimikroba baik pada bakteri Gram positif (Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus),
bakteri Gram negatif (Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa), dan fungi (Candidia albicans).

Daun mengkudu diketahui mengandung vitamin C, terpenoid, alkaloid, anthraquinone, asam


amino, flavone glycoside, linoleic acid, rutin dan iridoid glycoside yang diketahui memiliki aktivitas
antioksidan (Chinta et al., 2010). Antioksidan asal tanaman saat ini banyak dikaji sebagai senyawa
antikoksidia yang diharapkan menjadi alternatif antikoksidia (Coombs dan Müller, 2002). Kandungan
saponin asal tanaman juga diketahui memiliki aktivitas antiprotozoa dengan cara mengikat molekul sterol
yang ada pada permukaan membran sel protozoa (Hassan et al., 2008).

Kandungan saponin dalam mengkudu dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Saponin dapat
menurunkan viabilitas protozoa dengan cara merubah permeabilitas membran sel organisme tersebut
dengan mekanisme saponin mengikat sterol yang terdapat pada permukaan protozoa (Klita et al., 1996;
Francis et al., 2002; Patra et al., 2006). Mengkudu juga terbukti dapat mempercepat aktifitas
penyembuhan luka (Nayak et al., 2009). Ekstrak air daun mengkudu (M. citrifolia) diketahui mengandung
beberapa senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan pada konsentrasi ekstrak 150 – 300 mg/kgbb
mencit (Chinta et al., 2010). Mekanisme penghambatan parasit penyebab koksidia E. tenella oleh ekstrak
mengkudu lainnya berasal dari kandungan antioksidan yang merupakan jenis obat antikoksidia yang terus
dikembangkan. Antioksidan diketahui dapat menyebabkan peningkatan stres oksidatif atau mengganggu
mekanisme parasit untuk melindungi diri dari oksidan sehingga dapat menurunkan viabilitas parasit.

CRD dan Pencegahannya


Definisi dan Etiologi Chronic Respiratory Disease (CRD)

Chronic Respiratory Disease (CRD) adalah penyakit menular menahun pada ayam yang
disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum yang ditandai dengan gangguan pernafasan, keluarnya cairan
eksudat dari rongga hidung, batuk, bersin dan kemerahan pada selaput lendir (conjunctiva) mata. Ayam
semua umur dapat terserang CRD. Pada kondisi tertentu dapat menyebabkan gangguan pernafasan akut
terutama pada ayam muda, sedangkan bentuk kronis dapat menyebabkan penurunan produksi telur. CRD
memiliki derajat morbiditas tinggi dan derajat mortalitas rendah. Infeksi dapat menyebar secara vertikal
melalui telur yang terinfeksi. Penyakit ini akan lebih parah apabila diikuti dengan infeksi sekunder
dengan virus lain seperti ND, IB atau bakteri seperti misalnya Escherichia coli

Adapun klasifikasi bakteri mycoplasma sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Phylum : Tenericutes atau Firmicutes

Class : Mollicutes

Order : Mycoplasmatales

Family : Mycoplasmataceae

Genus : Mycoplasma

Spesies : Mycoplasma gallisepticum (Ley, 2008).

Agen penyebab CRD pada unggas adalah Mycoplasma gallisepticum. Mycoplasma gallisepticum
berukuran 0,25-0,50 mikron (Ley, 2008), berbentuk pleomorfik, biasanya kokoid dan tidak mempunyai
dinding sel sejati (Soeripto, 2009). Bersifat gram negatif dapat dibiakkan dalam telur ayam bertunas,
biakan sel, medium buatan yang dilengkapi dengan 10-15% serum babi atau kuda yang diinaktifkan
(Direktorat Kesehatan hewan, 2014). Media buatan dapat berupa padat atau cair. Pertumbuhan optimal
pada media padat diperoleh pada pH 7,8 suhu 37oC-38oC dan penambahan CO2. Koloninya amat kecil
bergaris tengah 0,20-0,30 mm, halus, bulat jernih dengan daerah yang menebal dan menonjol di
tengahnya. Selain itu Mycoplasma gallisepticum dapat mengaglutinasi eritrosit marmut, ayam dan
kalkun. Pada medium padat koloni M.gallisepticum dapat mengabsorbsi eritosit dan sel epitel trakea
ayam dan kalkun, marmut, tikus dan kera serta sel mani sapi dan manusia. Mycoplasma gallisepticum
resisten terhadap penicillin (1000 lU/ml) dan thalium acetate berkadar 1:4000. Hal ini bermanfaat oleh
karena dengan penambahannya dalam media penumbuhan dapat menghambat kontaminasi bakteri
(Direktorat Kesehatan hewan, 2014).

Mycoplasma gallisepticum masih tetap hidup (viable) selama 1-3 hari dalam feses ayam pada
suhu 20oC, selama 1 hari bila terdapat pada mesin tetas dengan suhu 37oC atau 3 hari pada suhu 20oC,
selama 18 minggu dalam kuning telur pada suhu 37oC, dalam cairan allantoik masih tetap infektif selama
4 hari pada suhu 37°C, 6 hari pada suhu kamar dan 32-60 hari pada suhu 4°C, dalam biakan cair tahan 2-4
tahun jika disimpan pada suhu -30°C, sedangkan yang dikering-bekukan tahan 7 tahun pada suhu 4°C
(Direktorat Kesehatan hewan, 2014).
Mycoplasma gallisepticum memiliki strain bervariasi dalam infektivitas dan virulensi, dan infeksi
kadang-kadang tak terlihat. Mycoplasma tergolong bakteri gram negatif yang merupakan organisme
prokariot terkecil yang membelah sendiri dan mempunyai ukuran 0,25-0,50 mm, organisme ini tidak
mempunyai dinding sel, berbentuk kokoid, tetapi dikelilingi oleh 3 lapis membran plasma (Ley, 2008).
Beberapa dari spesies Mycoplasma mempunyai dampak ekonomik yang penting dalam industri
perunggasan sehubungan dengan penyakit primer yang ditimbulkan ataupun akibat penyakit gabungan
yang ditimbulkan dengan agen penyakit lainnya (Nneomaokwara, 2016).

Patogenesis Chronic Respiratory Disease (CRD)

Mycoplasma gallisepticum masuk ke traktus respiratorius melalui proses inhalasi. Bakteri


tersebut menempel pada reseptor epitel yang disebut sialoglycoprotein . Kemudian ia menempel dan
merusak mukosa epitel sambil memperbanyak diri. Mycoplasma memiliki ciliostatic yang merupakan
faktor yang menyebabkan lemahnya aktivitas silia (Nascimento et al., 2007)

Di samping itu, Mycoplasma gallisepticum merupakan salah satu dari beberapa Mycoplasma
yang mensekresikan hydrogen peroksida, yang dapat menyebabkan stress oksidatif pada membran sel
inang. Meskipun dipandang sebagai patogen permukaan mukosa, dewasa ini diketahui bahwa
Mycoplasma gallisepticum memilki kemampuan untuk menyerang sel dan mengganggu mekanisme
transpor sel. Rute utama keluarnya Mycoplasma gallisepticum dari inang adalah melalui traktus
respiratorius dan infeksi dari traktus genitalia yang dapat menyebabkan kontaminasi pada telur atau
semen (Zanella, 2010).

Cara Penularan Chronic Respiratory Disease (CRD)

Penularan dapat secara horizontal dan vertikal. Penularan secara horizontal dapat berupa kontak
langsung dari hewan ke hewan dan yang tidak langsung melalui makanan, air minum, debu, alat-alat
kandang yang tercemar oleh M.gallisepticum dan melalui udara dengan jarak tidak melebihi 6 meter.
Penularan secara vertikal terjadi lewat telur yang dihasilkan oleh induk penderita. Derajat penularan
tertinggi pada waktu induk baru terpapar infeksi mencapai 35% dan menurun menjadi 1% setelah 2-4
bulan kemudian (Soeripto, 2009).

Gejala Klinis Chronic Respiratory Disease (CRD)

Bila CRD menyerang, biasanya seluruh kelompok ayam terkena meskipun derajat keparahannya
berbeda. Tanpa komplikasi kelompok ayam yang terserang CRD, tidak menunjukkan gejala klinis yang
jelas (Direktorat Kesehatan hewan, 2014). Perkembangan klinis penyakit tergantung pada keberadaan
patogen lain ataupun faktor cekaman atau stres, kecuali untuk unggas muda. Gejala klinis bervariasi
bergantung pada derajat keparahan infeksi. Gejala klinis diawali dengan keluarnya cairan eksudat bening
(catarrhal) dari rongga hidung, bersin, batuk, ngorok, kebengkakan pada kelopak mata, dan radang
konjunctiva (conjunctivitis) (Nneomaokwara, 2016). Jika infeksi berlanjut dan disertai dengan infeksi
sekunder maka eksudat hidung dapat menjadi kental. Gejala pernafasan kemudian diikuti dengan
turunnya nafsu makan, berat badan, dan produksi telur. Lesio yang sering ditemukan berupa sinusitis,
tracheitis, air sacculitis, dan mucus pada trakhea (Soeripto, 2009).
Predileksi atau tempat bersarangnya infeksi Mycoplasma gallisepticum terletak pada jaringan
epitel organ pernafasan dan pada conjunctiva mata. Jarang sekali Mycoplasma gallisepticum bersarang
pada jaringan internal organ (Soeripto, 2009).

Gejala klinis bervariasi dari subklinis sampai kesulitan pernafasan tergantung dari derajat
keparahan infeksi. Gejala klinis diawali dengan keluarnya cairan eksudat bening (catarrhal) dari rongga
hidung, bersin-bersin, batuk, ngorok dan radang conjunctiva (conjunctivitis) (Nneomaokwara, 2016). Jika
infeksi berlanjut dan disertai infeksi sekunder maka eksudat hidung yang keluar menjadi agak kental.
Gejala pernafasan ini kemudian diikuti dengan turunnya nafsu makan, berat badan dan produksi telur,
sedangkan konversi pakan naik (Soeripto, 2009). Gejala pernafasan ini tidak spesifik karena bisa
dikelirukan dengan penyakit pernafasan lain seperti Infectious coryza (Snot), Newcastle disease (ND)
atau Infectious bronchitis (IB). Pada infeksi yang kompleks dengan infeksi lain seperti infeksi Escherichia
coli atau viral maka gejala klinis menjadi lebih parah (Dinev, 2007).

Perubahan patologi yang paling spesifik untuk CRD yaitu adanya peradangan pada trakhea dan
kantong membran udara biasanya juga disertai pada rongga perut yang disebut dengan airsacculitis
(Dinev, 2007), oleh karena itu penyakit ini disebut juga dengan Airsac disease (Soeripto, 2009 dan Ley,
2008). Faktor predisposisi yang memperparah terjadinya infeksi umur (ayam muda lebih peka
dibandingkan dengan dewasa), stres, bau amoniak, lingkungan yang berdebu serta perubahan suhu yang
mendadak.

Perubahan histologi infeksi Mycoplasma gallisepticum spesifik ditandai dengan penebalan


membran mukosa yang diakibatkan oleh infiltrasi sel mononuklear dan hiperplasia glandula mukosa
(Nneomaokwara, 2016). Fokal hiperplasia sel limpoid ditemukan pada submukosa alat pernafasan.
Pembengkakan sel epitel dan kerusakan silia pada trakhea sering terlihat. Penebalan mukosa trakhea
biasanya digunakan sebagai indikasi infeksi Mycoplasma gallisepticum (Ley, 2008 dalam Soeripto,
2009).

Diagnosa Chronic Respiratory Disease (CRD)

Diagnosis CRD dapat dilakukan berdasarkan atas uji serologi, gejala klinik, perubahan patologi,
serta isolasi dan identifikasi bakteri Mycoplasma. Gejala klinik yang spesifik yaitu adanya kepincangan
yang disebabkan oleh pembengkakan pada persendian lutut dan foodpads (Charlton et al., 2000;
Mcmullin, 2004). Uji serologi yang sederhana dan cepat dapat digunakan uji Rapid Serum Agglutination
(RSA). Uji ini mudah dilakukan karena aglutinin yang terjadi dapat dilihat dalam waktu 2 menit setelah
pencampuran antigen-antibodi, tetapi hasilnya tidak spesifik. Untuk lebih spesifik dapat digunakan uji
Haemagglutination Inhibition (HI), dan Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Mcmullin,
2011).

Isolasi Mikoplasma pada kondisi akut lebih mudah dibandingkan dengan kondisi kronik, karena
pada stadium kronik tidak lagi terdapat pada organ lesi. Dari pengalaman lapang yang selama ini
dilakukan, kegagalan isolasi sering terjadi jika ayam yang terinfeksi Mikoplasma telah diberi pengobatan
dengan antibiotika (Soeripto, 2009). Sampel organ trakhea, airsacs, cairan eksudat persendian, hati atau
limpa dapat digunakan untuk isolasi Mikoplasma. Pengalaman lapang menunjukkan bahwa isolasi
Mikoplasma lebih mudah diperoleh dari cairan eksudat persendian dan pada kondisi akut. Identifikasi
Mikoplasma dapat dilakukan dengan uji Indirect Fluorescent Antibody (IFA), Indirect immunoperoxidase
(IIP), dan Growth Inhibition (OIE, 2008). Teknik identifikasi dengan analisis DNA spesifik yang
menggunakan polymerase chain 7 reaction (PCR) saat ini banyak digunakan untuk diagnosis karena
tingkat akurasinya lebih tinggi (Buim et al., 2009). PCR merupakan teknologi yang sangat sensitif untuk
mendeteksi adanya antigen infeksi sekalipun tanpa menunjukkan gejala klinik (Botus et al., 2008).

Metode kultur Mycoplasma gallisepticum adalah teknik gold standard akan tetapi membutuhkan
waktu dan teknik laboratorium yang tinggi, selain itu tidak dapat mengisolasi dari kasus kronis atau ayam
yang telah diobati akibat rendahnya konsentrasi Mycoplasma pada kondisi tersebut dan adanya populasi
Mycoplasma non pathogen yang tumbuh sangat pesat. Diagnosis penyakit ini dapat dilihat dari anamnesa,
gejala klinis dan lesi pada kantung udara ayam yang spesifik (Gondal et al., 2015).

Pencegahan dan Kontrol Chronic Respiratory Disease (CRD)

Mycoplasmosis merupakan penyakit yang endemik patogen, sangat berkaitan erat dengan
manajemen perkandangan dan kesehatan. Umumnya ayam yang terinfeksi Mycoplasma akan menjadi
karier untuk waktu yang lama (Soeripto, 2009). Pada iklim tropis, mycoplasmosis lebih sering muncul
pada pergantian musim panas ke musim penghujan, sedang di iklim subtropis sering muncul pada musim
dingin atau pada kondisi litter yang basah (Kleven, 2008).

Kontrol Mycoplasmosis dapat dilakukan dengan biosekuriti yang ketat yang meliputi pengawasan
terhadap lalu lintas ayam, produksi, pekerja dan staf kandang, peralatan, serta kendaraan yang masuk ke
dalam kawasan peternakan. Dekontaminasi terhadap kandang, peralatan, pakaian pekerja, orang, serta
kendaraan yang masuk wilayah peternakan harus diterapkan dengan ketat. Fumigasi harus dilakukan
setelah kandang habis dipakai, dan bangkai ayam, telur, kotoran ternak serta pakan yang terkontaminasi
infeksi harus dibakar dan dikubur (Soeripto, 2009).

Monitoring dengan uji serologi sebagai program kontrol untuk mencegah Mycoplasmosis baik
untuk MG dan MS di Amerika sudah dilakukan secara rutin oleh United States Departement of
Agriculture (USDA) (Kleven, 2008). Hal ini dilakukan karena Mycoplasmosis sudah dimasukkan ke
dalam Notifiable diseases yang harus segera dilaporkan ke pemerintah jika terjadi wabah (OIE, 2008). Di
Indonesia, program ini masih belum diterapkan karena Mycoplasmosis pada ayam masih dianggap
penyakit yang bukan prioritas, sekalipun kerugian yang ditimbulkan oleh infeksi Mycoplasma sangat
tinggi (Soeripto, 2009).

Kontrol Mycoplasmosis baik yang disebabkan oleh MG atau MS dapat juga menggunakan sistem
all-in-all-out (Kleven, 2008), yang dapat dilakukan pada pemeliharaan ayam yang mempunyai umur
seragam, tetapi sulit untuk dilaksanakan pada pemeliharaan ayam yang umurnya bervariasi (Soeripto,
2009). Pencegahan dan kontrol Mycoplasmosis yang terbaik bukan dengan pengobatan tetapi dengan
program vaksinasi, karena selain dapat meningkatkan ketahanan tubuh ayam, juga dapat menghindarkan
bakteri Mycoplasma dari resistensi terhadap antibiotika dan residu antibiotika di dalam produk ayam.

Anda mungkin juga menyukai