16.buku Padi Gogo
16.buku Padi Gogo
Tim Penulis
KATA SAMBUTAN
Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk sehingga Pemerintah Republik Indonesia selalu berusaha
mewujudkan swasembada pangan khususnya pangan beras. Swasembada
pangan merupakan indikator tercapainya ketahanan dan kedaulatan pangan.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencapai swasembada
beras tersebut seperti memperluas areal sawah, memperbaiki teknik budidaya,
perbaikan varietas, dan pengelolaan hama dan penyakit. Tantangan terbesar
dalam swasembada beras yang diproduksi dari sawah pada masa yang akan
datang adalah ketersediaan air.
Perubahan iklim yang semakin tidak menentu menyebabkan
ketersediaan air semakin terbatas sehingga sawah berpengairan teknis
maupun non teknis mengalami penurunan debit air bahkan kekeringan di
berbagai daerah. Kondisi ini menyebabkan budidaya padi sawah mengalami
gangguan bahkan produksinya dapat menjadi puso. Oleh karena itu diperlukan
budidaya padi yang efisien dalam hal penggunaan sumberdaya khususnya
sumberdaya air. Pilihan tentunya mengarah pada pengembangan lahan kering
dengan membudidayakan padi gogo karena padi ini membutuhkan air yang
tidak terlalu banyak dibandingkan dengan padi sawah dan tahan terhadap
kekeringan karena secara ekologi padi gogo merupakan padi yang tumbuh
di lahan kering. Harapannya ke depan, dengan adanya budidaya padi gogo,
walaupun sawah mengalami kekeringan, swasembada beras tetap terjaga
berkat sokongan dari padi gogo.
Pengetahuan dan literatur mengenai padi gogo terasa masih kurang
dibandingkan dengan padi sawah. Buku-buku mengenai pemahaman
bioekologi dan teknik budidaya padi gogo serta hama penyakit utama dan
teknik pengendaliannya masih sangat terbatas dan perlu ditingkatkan. Oleh
karena itu saya menyambut baik terbitnya buku “Padi Gogo si Mutiara Pangan.
Bioekologi, Budidaya, Hama dan Penyakit Utama, dan Pengendalian”. Buku
ini diharapkan menjadi sumber literatur bagi mahasiswa, para peneliti, dan
siapapun yang ingin mempelajari dan membudidayakan padi gogo.
Kendari, 29 Desember 2016
PENDAHULUAN — 3
4 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
BIOEKOLOGI
Botani Tanaman
2
Tanaman padi berasal dari kingdom
Plantae, divisio Spermatophyta dan sub divisio
Angiospermae Tanaman padi tergolong dalam kelas
Monocotyledoneae, ordo Graminales. Tanaman ini
termasuk dalam famili Gramineae, genus Oryza serta
termasuk dalam spesies Oryza sativa L. (AAK, 1990).
Sistem perakaran padi adalah akar serabut. Akar
padi yang masih muda berwarna putih sedangkan akar
padi yang telah dewasa/lebih tua dan telah mengalami
perkembangan akan berwarna cokelat. Padi gogo pada
umumnya mempunyai perakaran yang lebih panjang,
padat, dan diameter akar lebih besar dibandingkan
dengan padi sawah serta memiliki daya tembus akar
yang lebih tinggi (AAK, 1990).
Padi gogo yang toleran kekeringan biasanya
memiliki sistem perakaran yang dalam yang dapat
menembus lapisan tanah sampai kedalaman 20 cm
di bawah permukaan tanah, sehingga pada saat
kekeringan akar yang dalam dapat memanfaatkan air
(Azwir dan Syahrial, 2001).
Tanaman padi mempunyai batang yang
beruas-ruas. Rangkaian ruas-ruas pada batang padi
mempunyai panjang yang berbeda-beda. Pada ruas
batang bawah pendek, semakin ke atas mempunyai
ruas batang yang semakin panjang. Ruas pertama
dari atas merupakan ruas terpanjang. Ruas batang
padi berongga dan bulat. Di antara ruas batang padi
terdapat buku, pada tiap-tiap buku duduk sehelai
daun. Batang baru akan muncul pada ketiak daun,
semula berupa kuncup, kuncup tersebut mengalami
pertumbuhan, yang akhirnya menjadi batang baru.
Batang baru dapat disebut batang sekunder apabila
batang tersebut terletak pada buku terbawah (AAK,
1990).
Daun terdiri dari helai daun yang berbentuk
memanjang seperti pita dan pelepah daun yang
menyelubungi batang. Pada perbatasan antara helai
duan dan upih terdapat lidah daun yang berfungsi
untuk mencegah masuknya air hujan diantara batang
dan pelepah daun (upih). Disamping itu lidah daun
juga mencegah infeksi penyakit, sebab media air
memudahkan penyebaran penyakit. Daun ketiga
dari atas biasanya merupakan daun terpanjang. Daun
bendera mempunyai panjang daun terpendek dan
dengan lebar daun yang terbesar (Norsalis, 2011).
Bunga padi merupakan bunga telanjang yang
mempunyai satu bakal buah, 6 buah benang sari, serta
2 tangkai putik. Benang sari terdiri dari tangkai sari,
kepala sari dan kandung serbuk. Tangkai sari padi tipis
dan pendek sedangkan kepala sari mengandung serbuk
yang berisi tepung sari/pollen sekumpulan bunga padi
yang keluar dari buku paling atas dinamakan malai
(AAK, 1990).
Gabah atau buah padi adalah ovari yang telah
masak, bersatu dengan lemma dan pelea. Buah ini
merupakan hasil penyerbukan dan pembuahan yang
mempunyai bagian-bagian sebagai berikut:
1. Embrio: Bakal lembaga yang terletak pada bagian
lemma, dan terdiri dari daun lembaga (calon batang
dan calon daun) serta akar lembaga (calon akar).
Syarat Tumbuh
Iklim
Tanaman padi dapat tumbuh pada dataran
rendah sampai dataran tinggi. Di dataran rendah padi
dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 650 m dpl dengan
temperatur 22,5°C – 26,5°C sedangkan di dataran
tinggi padi dapat tumbuh baik pada ketinggian antara
650 – 1.500 m dpl dan membutuhkan temperatur
berkisar 18,7°C – 22,5°C (AAK, 1990).
Temperatur sangat mempengaruhi pengisian biji
padi. Temperatur yang rendah dan kelembaban yang
tinggi pada waktu pembungaan akan mengganggu
proses pembuahan yang mengakibatkan gabah menjadi
BIOEKOLOGI — 7
hampa. Hal ini terjadi akibat tidak membukanya bakal
biji. Temperatur yang rendah pada waktu pengisian
biji juga dapat menyebabkan rusaknya pollen dan
menunda pembukaan tepung sari (Luh, 1991).
Angin mempunyai pengaruh positif dan negatif
terhadap tanaman padi. Pengaruh positifnya terutama
pada proses penyerbukan dan pembuahan tetapi
angin juga berpengaruh negatif, karena penyakit yang
disebabkan oleh bakteri atau jamur dapat ditularkan
oleh angin, dan apabila terjadi angin kencang pada saat
tanaman berbunga, buah dapat menjadi hampa dan
tanaman roboh. Hal ini akan lebih terasa lagi apabila
penggunaan pupuk N berlebihan, sehingga tanaman
tumbuh terlalu tinggi (Departemen Pertanian, 2009).
Padi gogo tergolong tanaman yang butuh banyak
cahaya, sehingga kekurangan cahaya pada kondisi
naungan dapat mengakibatkan tereduksinya laju
fotosintesis dan turunnya sintesis karbohidrat (Murty
et al., 1992; Watanabe et al., 1993; Jiao et al., 1993; Yeo
et al., 1994).
Tingkat produktivitas padi gogo akan rendah
di bawah kondisi naungan. Intensitas cahaya rendah
biasanya menyebabkan terjadinya gangguan translokasi
karbohidrat ke bagian-bagian tubuh tanaman dan
mempengaruhi perubahan pertumbuhan morfologi
dan anatomi daun. Perubahan tersebut adalah sebagai
mekanisme pengendalian jumlah dan kualitas cahaya
yang dapat dimanfaatkan oleh kloroplast daun. Daun
varietas padi gogo yang toleran cahaya rendah berbeda
dengan yang peka dilihat dari warna kehijauan daun,
luas daun, ketebalan daun, ketegakan daun dan bentuk
daun (Sopandie et al., 1999; Chozin et al., 2000).
BIOEKOLOGI — 9
Kebutuhan curah hujan bulanan untuk
memenuhi kebutuhan air bagi pertumbuhan tanaman
padi gogo dipengaruhi oleh kapasitas tanah menahan
air dan keadaan suhu udara. Semakin tinggi kapasitas
menahan air dari tanah semakin rendah kebutuhan
curah hujan bulanan. Di Amerika Latin di daerah
yang curah hujannya selama 6-8 bulan lebih dari 2000
mm, sangat sesuai untuk pertumbuhan padi gogo dan
dapat menghasilkan gabah kering 4-5 ton/ha (Ciat,
1984).
Cahaya Matahari
Cahaya matahari merupakan sumber energi
bagi pertumbuhan tanaman. Butir-butir hijau daun
mengabsorbsi panjang gelombang cahaya matahari
400 - 700 nm untuk membentuk karbohidrat melalui
proses fotosintesis. Cahaya matahari juga berpengaruh
terhadap produksi khlorofil tanaman, jumlah dan
komposisi khloroplast, struktur daun, bentuk daun
dan gerak menutup dan membuka stomata (Weaver
dan Clement, 1980 dalam Ginting, 2014).
Menurut Larcher (1975) pengaruh langsung
cahaya matahari terhadap tanaman ada tiga hal yaitu
sumber energi (photodestrucnectic effects), mengatur
perkembangan tanaman (photocybernectic effects) dan
merusak tanaman (photodestructiv effects). Pengaruh
lain adalah mengontrol transpirasi tanaman sehingga
berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara dan air
dari dalam tanah.
Kebutuhan intensitas cahaya matahari pada
setiap fase pertumbuhan tanaman padi gogo tidak
sama. Intensitas cahaya matahari rendah pada
fase vegetatif tidak berpengaruh nyata tetapi pada
fase reproduktif dan pematangan mengakibatkan
Suhu Udara
Tanaman padi gogo untuk pertumbuhan normal
membutuhkan suhu udara 20 – 30°C. Di bawah
suhu 20°C dan di atas 35°C merupakan suhu kritis
untuk pertumbuhan tanaman padi gogo. Suhu kritis
tersebut bervariasi menurut: varietas, lamanya suhu
kritis berlangsung, perubahan suhu harian siang dan
malam, serta kondisi fisiologi tanaman padi itu sendiri
(Yoshida, 1981 dalam Ginting, 2014).
Angin
Angin mempunyai dua fungsi dasar di alam yaitu
memindahkan panas dari wilayah lintang rendah
ke lintang tinggi sehingga terjadi keseimbangan
neraca cahaya matahari antara lintang rendah dan
lintang tinggi, dan memindahkan uap air hasil
proses evapotranspirasi. Dengan demikian angin
berpengaruh langsung terhadap hilangnya air melalui
proses evapotranspirasi (Lawson dan Alluri, 1985
dalam Ginting, 2014).
BIOEKOLOGI — 11
Kondisi angin biasanya minimum pada waktu
sekitar matahari terbit dan maksimum menjelang sore
hari, dan hal ini menyebabkan variasi kondisi angin
harian. Apabila angin hanya berhembus siang hari
sedangkan pada malam hari kondisi udara lembab
maka laju evepotranspirasi sekitar 30% lebih tinggi
dibanding dengan keadaan dimana kondisi angin
hanya terpusat pada malam hari (Santoso, 1984).
Menurut Lawson dan Alluri (1985), karena
sistem perakaran tanaman padi termasuk dangkal
pada lapisan tanah maka perlu dijaga keseimbangan
antara penyerapan air oleh tanaman dan kehilangan
air dari tanaman dan untuk itu maka kecepatan
angin yang terbaik adalah kecepatan sedang. Bila
kecepatan angin terlalu lambat, maka transportasi
air dan CO2 tidak efisien sehingga mengakibatkan
proses fotosintesis tanaman terbatas sedangkan bila
kecepatan angin terlalu cepat pada kelembaban udara
yang rendah maka akan mempercepat laju kehilangan
air dari tanaman dan tanah dan akibatnya akan
terjadi kekeringan (Laowson, 1984); Laowson dan
Alluri, 1985). Angin kencang dapat mengakibatkan
kerebahan tanaman serta mempercepat penyebaran
penyakit.
Tanah
Padi gogo sesuai ditanam di lahan yang berhumus,
struktur remah dan cukup mengandung air dan udara,
tanah yang cocok. Lahan yang sesuai untuk padi gogo
bervariasi mulai dari yang berliat, berdebu halus,
berlempung halus sampai tanah kasar dan air yang
tersedia diperlukan cukup banyak (Rahayu, 2009).
Padi dapat tumbuh baik pada tanah yang ketebalan
lapisan atasnya antara 18 - 22 cm dengan pH tanah
BIOEKOLOGI — 15
(1975) menyimpulkan bahwa hasil yang rendah
padi gogo bukan saja diakibatkan oleh tertekannya
pertumbuhan akibat cekaman kekurangan air tetapi
juga akibat tingginya persentase gabah hampa.
Penurunan hasil akan semakin nyata bila
periode cekaman air terjadi pada 11 sampai 13 hari
sebelum pengisian biji (Yoshida, 1975) sedangkan
tekanan terhadap komponen tumbuh semakin nyata
bila cekaman air terjadi lebih awal pada waktu fase
vegetatif (Chang dan De Datta, 1975).
Utomo dan Nazaruddin (1996) dalam Ginting
(2014) juga melaporkan bahwa cekaman kekurangan
air selama pertumbuhan tanaman padi mengakibatkan
terjadinya hambatan terhadap pembentukan
dan pertumbuhan anakan, pembentukan malai,
pembungaan dan pembuahan yang berakibat bulir
padi yang dihasilkan hampa.
Tertekannya pertumbuhan dan rendahnya hasil
padi gogo pada cekaman kekurangan air terjadi karena
menurunya nisbah transpirasi (transpiration ratio).
Hal tersebut terjadi karena pada cekaman kekurangan
air stomata tertutup untuk menghindari kehilangan air
yang lebih banyak dari jaringan tanaman. Tertutupnya
stomata menyebabkan laju transpirasi menurun
sehingga pembentukan bahan kering menurun dan
hasil gabah rendah (Yoshida, 1975). Lawson (1984)
melaporkan bahwa hasil padi gogo varietas OS6 dan
ANDY-11 pada keadaan cekaman kekurangan air
masing-masing adalah sebesar 1,7 dan 2,6 ton/ha,
sedangkan bila ketersediaan air tanah cukup hasil
yang dicapai masing-masing varietas adalah sebesar
3,2 dan 3,7 ton/ha. Masing-masing varietas menurun
produksinya sebesar 47% dan 30% karena cekaman
kekurangan air.
BUDIDAYA — 19
Tabel 3.1. Karakterisasi kultivar/varietas padi gogo
Kultivar/Varietas
Karakter
Pae Kori Pae Enggalaru
Warna pelepah Hijau Garis-garis ungu
Warna daun Hijau Hijau
Bulu pada permukaan daun Berbulu Tanpa bulu
Telinga daun Tidak ada Tidak ada
Leher daun Ada Ada
Lidah daun/ligula Ada Ada
Bentuk lidah daun Cleft Cleft
BUDIDAYA — 21
Tabel 3.1. Lanjutan
Kultivar/Varietas
Karakter
Pae Wulo Pae Loiyo Situpatenggang
Warna pelepah Hijau Hijau Ungu
Warna daun Hijau Hijau Hijau
Bulu pada permukaan daun Berbulu Tanpa bulu Berbulu
Telinga daun Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Leher daun Ada Ada Ada
Lidah daun/ligula Ada Ada Ada
Bentuk lidah daun Cleft Cleft Acute
BUDIDAYA — 23
rata diameter batang terbesar sampai terkecil masing-
masing secara berturut-turut 0,65 cm, 0,63 cm, 0,58
cm, 0,58 cm, 0,57 cm, 0,56 cm, dan 0,47. Pae Endokadia
memperlihatkan rata-rata panjang daun terpanjang
(58,53 cm), sedangkan varietas Situpatenggang
mempunyai panjang daun terpendek (35,11 cm). Pae
Wulo menampakkan rata-rata lebar daun terlebar (1,75
cm) sedangkan varietas Situpatenggang menunjukan
lebar daun tersempit (1,34 cm).
Tabel 3.2. Rata-rata diameter batang, panjang daun, dan lebar daun
pada kultivar/varietas padi gogo
Diameter Panjang Lebar
Kultivar/Varietas Batang (cm) Daun (cm) Daun (cm)
Pae Kori 0,47a 48,65a 1,47a
Pae Enggalaru 0,58a 49,94a 1,62a
Pae Endokadia 0,58a 58,53a 1,63a
Pae Bakala 0,63a 50,04a 1,67a
Pae Wulo 0,65a 53,68a 1,75a
Pae Loiyo 0,57a 50,48a 1,61a
Situpatenggang 0,56a 35,11a 1,34a
Tabel 3.4. Rata-rata jumlah bulir dan bobot 1000 butir pada kultivar/varietas
padi gogo
BUDIDAYA — 25
Rata-rata jumlah bulir menunjukkan bahwa
pae Wulo memiliki rata-rata jumlah bulir tertinggi
(229,30 bulir) yang berbeda nyata dengan kultivar
lainnya. Sementara varietas Situpatenggang memiliki
jumlah bulir terrendah (104,70 bulir) yang berbeda
dengan semua kultivar lainnya. pae Endokadia
menampakkan rata-rata bobot 1000 butir tertinggi
(30,89 g) yang berbeda nyata dengan perlakuan pae
Kori, pae Enggalaru, pae Wulo, pae Loiyo dan varietas
Situpatenggang tetapi berbeda tidak nyata dengan pae
Bakala, sedangkan kultivar pae Wulo memiliki bobot
1000 butir yang terendah (23,10 g) yang berbeda nyata
dengan semua kultivar.
Tabel 3.4. Rata-rata jumlah malai dan bobot 1000 butir pada kultivar/varietas
padi gogo
BUDIDAYA — 27
menunjukkan bahwa efek aplikasi Trichoderma
sp. dan rhizobakteria secara rata-rata lebih tinggi
dibandingkan dengan aplikasi fungisida, Trichoderma
sp., rhizobakteria dan kontrol. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aplikasi agens hayati Trichoderma
sp. dan rhizobakteria (203,62 bulir) berbeda nyata
dengan fungisida (181,01 bulir) dan kontrol (183,48
bulir), tetapi berbeda tidak nyata dengan semua agens
hayati yang lain.
Lahan
Pengolahan tanah (tillage) adalah setiap kegiatan
manipulasi mekanis
terhadap sumberdaya tanah
yang diperlukan untuk
menciptakan kondisi tanah
yang baik bagi pertumbuhan
tanaman. Tujuan utama
pengolahan tanah adalah
menciptakan kondisi
tanah yang baik di daerah Lahan yang telah diolah dan siap ditanami
(Sumber: Taufik, 2016)
BUDIDAYA — 29
dan ketersedian air tanah yang optimal yang dapat
dibantu dengan adanya pengolahan tanah.
5. Mempermudah pemanfaatan unsur hara atau
pupuk yang diberikan di dalam tanah oleh
tanaman sehingga pertumbuhan tanaman akan
lebih baik.
Menurut Arsyad (1983) dengan dilakukannya
pengolahan tanah, maka tanah akan menjadi
gembur, dapat lebih cepat menyerap air hujan, serta
mengurangi aliran permukaaan atau run-off. Tetapi
pada lahan yang bertofografi miring pengaruh
tersebut hanya bersifat sementara karena tanah
yang diolah sampai gembur akan mudah tererosi.
Pengolalahan tanah dapat menekan pertumbuhan
gulma dan perkembangannya serta menciptakan
aerasi tanah yang baik. Tetapi bila kondisi populasi
gulma telah dapat ditekan dan aerasi tanah telah baik
maka pengolahan tanah tidak diperlukan lagi, sebab
dapat mengakibatkan meningkatnya kehilangan air
tanah dan kerusakan akar tanaman.
Moenandir (2004) juga menyatakan pengolahan
tanah dapat pula merawat kelembaban tanah dengan
menghindari run-off. Di daerah semi arid, 88% air
yang diperoleh dapat hilang secara run-off. Tanah
yang diolah dapat menahan air seperti itu dibanding
tanah tanpa olah. Dalam proses pengolahan tanah,
kedalamanan pembajakan tanah menurut Suhardi
(1983) dikelompokan atas empat golongan yaitu
pembajakan ringan dengan kedalaman berkisar 8 – 12
cm, sering dilakukan pada pertanaman padi sawah;
pembajakan sedang dengan kedalaman 15 – 20 cm,
paling banyak dilakukan dalam budidaya tanaman
pangan, terutama pada tanaman padi gogo, jagung
dan kentang; pembajakan dalam dengan kedalaman
30 – 35 cm dan pembajakan sangat dalam dengan
Penanaman
Ada beberapa cara untuk menanam padi gogo.
Lazim digunakan adalah ditugal dengan memakai alat
penugal untuk membuat lubang, yang dalamnya lebih
kurang 4 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 25
× 25 cm sampai 30 × 30 cm. Pada tiap lubang ditaruh
4 sampai 5 biji. Untuk satu ha diperlukan 30 kg benih
(Soemartono et al., 1979).
Budidaya padi gogo
umumnya menggunakan 3-5 biji
benih dalam satu lubang tanam,
apabila terjadi pemberian jumlah
benih yang terlalu banyak akan
menimbulkan persaingan unsur Kegiatan penugalan dan penanaman
hara dan ruang gerak untuk (Sumber: Taufik, 2016)
BUDIDAYA — 33
perkembangan akar serta anakan akan semakin
sempit sehingga akan mengakibatkan pertumbuhan
yang terhambat (Uphoff, 2001).
Pemakaian jumlah benih yang banyak (7-10 butir
per lubang tanam) menyebabkan terjadinya persaingan
dalam hal perolehan cahaya, unsur hara, CO2 dan
O2, dan juga ruang tumbuh. Kondisi yang demikian
akan menyebabkan pertumbuhan
tanaman lemah dan kerdil (Azwir
dan Syahrial, 2001). Penentuan
jumlah tanaman per lubang erat sekali
hubungannya dengan tingkat populasi
tanaman. Kepadatan tanaman akan
mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi tanaman. Penggunaan sarana
tumbuh yang optimal mendorong
terpacunya pertumbuhan yang lebih
baik, sehingga meningkatkan jumlah
bahan tanaman yang menjadi bibit
persatuan luas (Setyati, 1983).
Salah satu upaya untuk
meningkatkan produksi padi antara lain
melalui pengaturan jarak tanam. Jarak
tanam dipengaruhi oleh sifat varietas
padi yang ditanam dan kesuburan Penanaman benih padi gogo
tanah. Varietas padi yang memiliki sifat (Sumber: Taufik, 2016)
menganak tinggi membutuhkan jarak
tanam lebih lebar jika dibandingkan dengan varietas
yang memiliki daya menganaknya rendah (Muliasari
dan Sugiyanta, 2009).
Padi dengan jumlah anakan yang banyak
memerlukan jarak tanam yang lebih lebar. Pada tanah
yang subur sebaiknya diberikan jarak tanam yang
lebih lebar. Jarak tanam didaerah pegunungan lebih
rapat karena pertumbuhannya sedikit lambat. Jarak
34 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
tanam dilahan mempengaruhi tinggi rendahnya
produktivitas padi. Penentuan jarak tanam sendiri
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, sifat varietas,
kesuburan tanah, dan ketinggian tempat.
Bila varietasnya memiliki sifat merumpun tinggi
maka jarak tanamnya harus lebih lebar dari tanaman
yang memiliki jumlah merumpun yang rendah.
Kerapatan tanaman, sangat erat hubungannya dengan
jumlah malai persatuan luas dan jumlah gabah
permalai. Jumlah malai persatuan luas dan jumlah
gabah per malai terdapat suatu korelasi yang negatif,
artinya bertambahnya jumlah malai per satuan luas
(jarak tanam rapat) diikuti dengan turunnya gabah
per malai (Tobing dan Tampubolon, 1983).
Pemeliharaan
Tahapan pemeliharaan dalam budidaya padi
gogo secara garis besar meliputi pemupukan,
penyiangan gulma dan pengendaliaan hama dan
penyakit tanaman (dibahas pada bab terpisah). Pupuk,
terutama pupuk organik,
sangat berpengaruh
terhadap sifat-sifat
biologi tanah seperti
pengaruhnya terhadap
aktivitas organisme
tanah, jumlah, dan
perkembangan
mikroorganisme.
Mi k ro organ is me
juga membutuhkan
unsur hara untuk Tanaman padi gogo dalam masa pemeliharaan
(Sumber: Taufik, 2016)
BUDIDAYA — 35
kehidupannya, banyak membutuhkan unsur
hara N, P, K, dan Ca serta membutuhkan pH
sekitar 6. Berdasarkan hal-hal di atas pupuk dapat
mempengaruhi aktivitas dan perkembangan jasad-
jasad hidup tanah. Aktivitas mikroorganisme ini
sangat penting dalam hal perombakan bahan organik,
pelapukan protein menjadi asam-asam amino, proses
nitrifikasi yang pada akhirnya membebaskan unsur
hara seperti N, P, dan S, serta unsur-unsur mikro
(Damanik et al., 2010).
Penggunaan pupuk organik alam yang dapat
dipergunakan untuk membantu mengatasi kendala
produksi pertanian salah satunya adalah pupuk
organik cair. Pupuk organik ini diolah dari bahan
baku berupa kotoran ternak, kompos, limbah alam,
hormon tumbuhan dan bahan bahan alami lainnya
yang diproses secara alamiah selama 4 bulan. Pupuk
organik cair selain dapat memperbaiki sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah, membantu meningkatkan
produksi tanaman, meningkatkan kualitas produk
tanaman, mengurangi penggunaan pupuk anorganik
dan sebagai alternatif pengganti pupuk kandang
(Indrakusuma, 2000).
Penyiangan gulma merupakan tindakan
pengelolaan gulma yang bertujuan untuk mengurangi/
menghilangkan adanya kompetisi antara gulma
dengan tanaman. Penyiangan gulma dapat dilihat
sebagai tindakan pencegahan maupun tindakan
pengendalian gulma. Penyiangan gulma didasarkan
pada fase pertumbuhan gulma. Penyiangan yang
dilakukan sebelum gulma memasuki fase generatif
dapat mencegah perkembangan dan penyebaran
gulma melalui biji dan juga mencegah penambahan
biji gulma di dalam tanah (seed bank) (http://iirc.ipb.
ac.id, 2011).
BUDIDAYA — 37
tersebut dapat menurunkan hasil secara nyata, disebut
sebagai periode kritis. Pada periode kritis tersebut
gulma perlu dikendalikan agar tidak terjadi kompetisi
yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas
tanaman (http://iirc.ipb.ac.id, 2011). Periode kritis
tanaman padi selama 8 minggu pertama setelah tanam
(Tobing dan Chozin, 1980).
Penurunan produksi pangan khususnya padi
akibat gulma masih tinggi yakni berkisar antara 6 –
87 persen. Data yang lebih rinci penurunan produksi
padi secara nasional sebagai akibat gangguan gulma
mencapai 15 – 42% untuk padi sawah dan padi gogo
47-87 %. Di Indonesia pemberantasan gulma masih
banyak dilakukan dengan cara manual yaitu mencabut
gulma dengan tangan. Selama masa pertumbuhan
padi biasanya dilakukan 2 kali penyiangan yaitu
penyiangan pertama pada waktu padi berumur 15 -17
hari dan penyiangan kedua pada waktu padi berumur
50 - 55 hari (http://pustaka.litbang.deptan.go.id, 2011).
Penyiangan gulma sangat diperlukan, agar
tidak terjadi persaingan dalam mendapatkan hara.
Pemberantasan gulma atau penyiangan biasanya
dilakukan dengan cara mekanis atau cara kimiawi,
meskipun cara yang terakhir ini masih jarang
dilakukan. Penyiangan pertama yang tepat dilakukan
pada waktu tanaman padi masih muda 3-4 minggu,
sebab tanaman yang masih muda sangat peka
terhadap lingkungan, terutama sulit bersaing dengan
pertumbuhan gulma yang kuat dalam menyerap hara
dalam tanah.
Saat dilakukan penyiangan, sekaligus dilakukan
pembumbunan tanah di sekitar tanaman. Penyiangan
diulangi lagi setelah tanaman berumur 60 hari.
Penyiangan ini diusahakan agar tanah disela-sela
38 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
tanaman menjadi gembur dan longgar, maka tanah
perlu dicangkul. Selanjutnya tanaman dibumbun lagi
kira-kira 1-2 minggu sebelum malai muncul (AAK,
1990).
Pengendalian gulma secara mekanis adalah
tindakan pengendalian gulma dengan menggunakan
alat-alat sederhana hingga alat-alat mekanis berat
untuk merusak atau menekan pertumbuhan gulma
secara fisik. Berdasarkan alat yang digunakan,
pengendalian secara mekanis dibedakan menjadi :
1. Manual (tenaga manusia): tanpa alat/alat-alat
sederhana seperti parang,arit, kored, dll.
2. Semi mekanis: tenaga manusia memakai mesin
ringan seperti mower (pemotong rumput).
3. Mekanis penuh memakai alat-alat mesin berat
seperti traktor besar, dll. (http://iirc.ipb.ac.id,
2011).
Penyiangan dengan tangan (hand weeding)
caranya dengan mencabut gulma yang ada di
pertanaman. Cara ini sangat efektif namun
membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak.
Penyiangan dengan alat misalnya dengan cangkul atau
dengan sorok. Cara ini sering digunakan karena dapat
menghemat tenaga kerja. Penggenangan air, cara ini
dapat menekan pertumbuhan jenis gulma tertentu.
Penggenangan dapat diatur atau disesuaikan dengan
stadia pertumbuhan tanaman (Sudarmo, 1991).
Menentukan waktu pengendalian yang tepat
sebenarnya berhubungan dengan saat-saat dimana
kehadiran gulma itu sangat menganggu, karena kalau
pada waktu itu gulma berasosiasi dengan tanaman
budidaya maka akan menyebabkan penurunan hasil
secara nyata. Saat-saat ini yang disebut dengan Periode
Kritis (Critical Period). Secara umum dapat dikatakan
bahwa periode kritis tersebut adalah 1/4 sampai 1/3
BUDIDAYA — 39
umur tanaman. Misalnya tanaman padi kita berumur
120 hari, maka periode kritis tanaman padi terhadap
gulma adalah pada saat umur 30-40 hari. Pada saat
inilah penyiangan (pengendalian gulma) harus
dilakukan (Pujiwati, 2005).
Panen
Penanganan pascapanen padi khususnya padi
gogo meliputi beberapa tahap kegiatan yaitu penentuan
saat panen, pemanenan, penumpukan sementara
di lahan sawah, pengumpulan padi di tempat
perontokan, penundaan
perontokan, perontokan,
pengangkutan
gabah ke rumah
petani, pengeringan
gabah, pengemasan
dan penyimpanan
gabah, penggilingan,
pengemasan dan
penyimpanan beras.
Dari rangkaian kegiatan Proses pemanenan
pascapanen tersebut, ada (Sumber: Taufik, 2016)
tiga kegiatan utama yang
saling terkait satu sama lain dalam mencapai tujuan
akhir yaitu mendapatkan beras giling yang mutu serta
rendemennya tinggi, yaitu; (1) panen, (2) pengeringan
dan (3) penggilingan (Sutrisno dan Raharjo 2004).
Menurut Hidayat (2014) bahwa tahapan proses
penanganan pascapanen padi yang dilakukan oleh
petani dimulai dengan penentuan umur panen pada
hamparan sawah. Penentuan umur panen dapat
dilakukan secara visual dengan melihat kenampakan
BUDIDAYA — 41
mendapatkan hasil gabah kering giling yang baik.
Menurut Rohkani (2007) dalam Hidayat (2014)
pengeringan alami memanfaatkan sinar matahari
mempunyai beberapa keuggulan antara lain: (1)
Kualitas gabah relatif lebih baik karena adanya
karakteristik sinar infra merah yang berperan dominan
dalam pengeringan gabah, (2) Biaya pengeringan
relatif lebih murah, dan (3) Cara pengeringannya yang
lebih mudah/praktis.
Proses pengeringan dengan sinar matahari,
menggunakan energi dari sinar matahari sebagai
sumber tunggal untuk kebutuhan panas pengeringan
atau sebagai energi suplemen. Prosedur pengeringan
dapat melibatkan udara panas yang melewati bahan
atau secara langsung mengeringkan bahan dengan
radiasi sinar matahari atau kedua cara tersebut
(Ekechukwu & Norton, 1999 dalam Hidayat, 2014).
Jadi, pada pengeringan gabah pada sinar terjadi
dua macam proses secara bersamaan, yaitu, (1) proses
pengeringan secara konduksi dimana terjadi proses
pemanasan pada permukaan bahan atau gabah yang
kontak langsung dengan sinar matahari, dan (2) secara
bersamaan terjadi proses pengeringan di dalam gabah
oleh radiasi yang dapat menembus ke dalam. Kondisi
ini akan berbeda apabila panen dilakukan pada saat
musim hujan, dimana jumlah gabah yang melimpah
tidak sebanding dengan fasilitas pengeringan yang
dimiliki petani (lantai atau terpal jemur), selain itu
kondisi cuaca yang tidak mendukung (hujan atau
mendung) menyebabkan terjadi penundaan proses
penjemuran. Menurut Rohkani (2007) dalam Hidayat
(2014) penundaan penjemuran akan menyebabkan
turunnya mutu gabah dan beras giling yang dicirikan
adanya butir kuning dan gabah yang berkecambah.
Hopperburn
(Sumber: Syam & Wurjandari, 2005)
Ambang ekonomi hama ini
adalah 15 ekor per rumpun. Siklus
hidupnya 21-33 hari. Mekanisme
kerusakan adalah menghisap
cairan tanaman pada sistem
vaskular (pembuluh tanaman).
Cara pengendalian
1. Pengendalian secara kultural
dan penanaman.
2. Varietas yang tahan wereng
coklat sangat dianjurkan.
Beberapa varietas yang
dilepas oleh IRRI yang
mengandung gen ketahanan
terhadap wereng coklat Serangan wereng coklat pada padi
gogo beras kultivar Unggoruno di
adalah IR26, IR36, IR56, IR64 fase vegetatif
dan IR72. Varietas tahan (Sumber: Taufik, 2016)
wereng coklat yang sudah
dilepas antara lain: Widas,
Ketonggo, Ciherang, Cisantana, Tukad Petanu,
Tukad Balian, Tukad Unda, Kalimas, Singkil,
Bondoyudo, Sintanur, Cimelati, Konawe, Batang
Gadis, Ciujung, Conde, dan Angke. Sewaktu-
waktu varietas tahan dapat menjadi rentan akibat
perubahan biotipe wereng coklat.
3. Pemberian pupuk K untuk mengurangi kerusakan.
4. Insektisida (bila diperlukan) antara lain yang
berbahan aktif: amitraz, buprofezin, beauveria
bassiana 6.20 x 1010 cfu/ml, BPMC, fipronil,
imidakloprid, karbofuran, karbosulfan,
metolkarb, MIPC, propoksur, atau tiametoksam.
HAMA UTAMA — 45
di pelepah daun atau daun bagian tengah. Hama ini
sangat menyukai tanaman yang dipupuk nitrogen
tinggi.
Cara pengendalian
1. Tanam varietas tahan wereng hijau seperti IR72
dan IR66.
2. Pengendalian dilakukan jika di lapang terlihat
gejala tungro.
3. Pemberian insektisida dilakukan apabila sudah
mencapai ambang batas ekonomi.
4. Insektisida (bila diperlukan) antara lain gunakan
yang berbahan aktif: BPMC, buprofezin,
etofenproks, imidakloprid, karbofuran, MIPC,
atau tiametoksam.
Walang Sangit
Leptocorisa oratorius (Fabricius)
Hemiptera: Alydidae
Walang sangit merupakan hama yang umum
merusak bulir padi pada fase pemasakan. Serangga
apabila diganggu akan mempertahankan diri dengan
mengeluarkan bau. Selain sebagai mekanisme
pertahanan diri, bau yang dikeluarkan
juga digunakan untuk menarik walang
sangit lain dari spesies yang sama.
Fase pertumbuhan tanaman padi
yang rentan terhadap serangan walang
sangit adalah dari keluarnya malai
sampai matang susu. Kerusakan yang
ditimbulkannya menyebabkan beras Walang Sangit
(Sumber: Syam & Wurjandari, 2005)
Cara pengendalian
1. Kendalikan gulma di sawah dan di sekitar
pertanaman.
2. Ratakan sawah dan pupuk secara merata agar
pertumbuhan tanaman seragam.
3. Tangkap walang sangit dengan menggunakan
jaring sebelum stadia pembungaan.
4. Umpan walang sangit dengan menggunakan ikan
yang sudah busuk, daging yang sudah rusak, atau
dengan kotoran ayam.
5. Aplikasi insektisida dilakukan apabila serangan
sudah mencapai ambang ekonomi.
6. Aplikasi insektisida sebaiknya dilakukan pada
pagi-pagi sekali atau sore hari ketika walang sangit
berada di kanopi.
7. Penggunaan insektisida (bila diperlukan) antara
lain yang berbahan aktif: BPMC, fipronil,
metolkarb, MIPC, atau propoksur.
HAMA UTAMA — 47
Tikus
Rattus argentiventer (Rob. & Kloss)
Tikus merusak tanaman padi
padas semua stadium pertumbuhan
dari semai hingga panen, bahkan di
gudang penyimpanan. Kerusakan
parah terjadi jika tikus menyerang
padi pada stadium generatif, karena
tanaman sudah tidak mampu Tikus yang kena perangkap
membentuk anakan baru. Tikus (Sumber: Taufik, 2013)
merusak tanaman padi mulai dari
tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir, dan
menyisakan 1-2 baris padi di pinggir petakan pada
keadaan serangan berat.
Tikus menyerang padi pada malam hari. Pada
siang harinya, tikus bersembunyi di dalam lubang
pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah, pematang,
Cara pengendalian
Pengendalian tikus dilakukan dengan pendekatan
PHTT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu) yaitu
pendekatan pengendalian yang didasarkan pada
pemahaman biologi dan ekologi tikus, dilakukan
secara dini (dimulai sebelum tanam), intensif
dan terus-menerus dengan memanfaatkan semua
teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu.
Pelaksanaan pengendalian dilakukan oleh petani secara
bersama-sama (berkelompok) dan terkoordinasi
dengan cakupan wilayah sasaran pengendalian dalam
skala luas (hamparan).
Kegiatan pengendalian yang sesuai dengan stadia
pertumbuhan padi antara
lain dapat dilihat pada
tabel disamping.
K e g i a t a n
pengendalian tikus
ditekankan pada awal
musim tanam untuk
menekan populasi
awal tikus sejak awal (Sumber: Syam & Wurjandari, 2005)
HAMA UTAMA — 49
pertanaman sebelum tikus memasuki masa reproduksi.
Kegiatan tersebut meliputi kegiatan gropyok masal,
sanitasi habitat, pemasangan TBS dan
LTBS.
Gropyok dan sanitasi dilakukan
pada habitat-habitat tikus seperti
sepanjang tanggul irigasi, pematang
besar, tanggul jalan, dan batas sawah
dengan perkampungan. Pemasangan
bubu perangkap pada pesemaian dan
pembuatan TBS (Trap Barrier System)/
Sistem Bubu Perangkap dilakukan pada
daerah endemik tikus untuk menekan
populasi tikus pada awal musim tanam.
TBS merupakan petak tanaman padi
dengan ukuran minimal 20 x 20 m yang
TBS
ditanam 3 minggu lebih awal dari tanaman (Sumber: Taufik, 2013)
di sekitarnya, dipagar dengan plastik
setinggi 60 cm yang ditegakkan dengan
ajir bambu pada setiap jarak 1 m, bubu perangkap
dipasang pada setiap sisi dalam pagar plastik dengan
lubang menghadap keluar dan jalan masuk tikus.
Petak TBS dikelilingi parit dengan
lebar 50 cm yang selalu terisi air untuk
mencegah tikus menggali atau melubangi
pagar plastik. Prinsip kerja TBS adalah
menarik tikus dari lingkungan sa wah
di sekitarnya (hingga radius 200 m)
karena tikus tertarik padi yang ditanam
lebih awal dan bunting lebih dahulu,
Parit
sehingga dapat mengurangi populasi (Sumber: Taufik 2013)
tikus sepanjang pertanaman.
LTBS merupakan bentangan pagar plastik
sepanjang minimal 100 m, dilengkapi bubu perangkap
HAMA UTAMA — 51
Penggerek batang padi merah jambu
Sesamia inferens (Walker)... (4)
Lepidoptera: Noctuidae
Gejala penggerek batang padi gogo lokal yaitu malai tumbuh tegak,
bulir padi hampa dan berwarna putih
(Sumber: Taufik, 2016)
Cara pengendalian
Aplikasi insektisida dilakukan bila keadaan serangan
melebihi ambang ekonomi atau jika populasi ngengat
meningkat pada saat tanaman fase generatif. Gunakan
insektisida yang berbahan aktif: karbofuran, bensultap,
bisultap, karbosulfan, dimehipo, amitraz, atau fipronil.
HAMA UTAMA — 53
54 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
PENYAKIT UTAMA
Blas (Pyricularia oryzae Cav.)
5
Penyakit blas adalah penyakit utama pada
budidaya padi gogo. Hal ini sesuai yang telah
dilaporkan oleh Totok (2008) bahwa infeksi Pyricularia
oryzae adalah masalah utama pada tanaman
padi gogo. Sementara jika peningkatan produksi
padi gogo dengan mengoptimalkan pemupukan
seperti pemupukan N yang tidak tepat dosis dapat
menyebabkan pada peningkatan kerentanan tanaman
terhadap penyakit blas.
Hal ini sesuai
penelitian Hasfia
et al. (2012) bahwa
penambahan pupuk
NPK melebihi dosis
anjuran dapat merubah
tingkat ketahanan
tanaman menjadi
lebih rentan terhadap
penyakit blas (P. oryzae).
Bahwa padi gogo sangat Gejala penyakit blas pada padi gogo varietas nasional
rentan terhadap blas dan galur-galur uji
dapat dilihat pada padi (Sumber: Taufik, 2011)
gogo varietas nasional
seperti Situ Patenggang, Situ Bagendit dan Danau
Tempe serta beberapa galur padi gogo yang siap akan
dilepas.
Melalui hasil penelitian yang telah dilakukan
dalam tiga tahun terakhir membuktikan bahwa
varietas tersebut sangat rentan terhadap penyakit blas
dengan keparahan penyakit lebih dari 50% bahkan
pada kondisi tertentu fuso, sebaliknya beberapa
kultivar lokal seperti Endokadia, Bakala, Enggalaru
memiliki respon agak tahan terhadap penyakit blas
(P. oryzae) dengan tingkat keparahan penyakit 5
sampai 10% dibandingkan dengan varietas nasional
(Situpatenggang) dengan keparahan penyakit lebih
dari 50% dan pada beberapa kondisi mengalami fuso
(Taufik et al., 2011).
Hasil penelitian terbaru membuktikan bahwa
kultivar Bakala masih tetap tahan terhadap infeksi
P. oryzae (Taufik et al., 2013a). Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa kultivar lokal kita masih jauh
lebih tahan terhadap penyakit blas dibandingkan
dengan varietas padi gogo nasional.
PENYAKIT UTAMA — 57
Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut: (1) hendaknya tidak menanam
terlalu rapat, (2) menggunakan pupuk nitrogen sesuai
dengan kebutuhan tanaman, (3) menggunakan pupuk
kalium dengan dosis 75-100 kg/ha., (4) Beberapa
fungisida seperti benomyl dan iprodione efektif
menekan penyakit ini (Sudir et al., 2001).
PENYAKIT UTAMA — 59
Terdapat satu atau lebih konidia pada konidiofor,
konidia dapat saling tumpang tindih, kedua ujung
konidia mengecil, septa yang keduanya biasanya lebih
lebar atau besar dibanding septa yang lain (Ou, 1985)
Gejala morfologi C. oryzae adalah bermould dan
hitam mengembang, koloni seperti beludru dengan
miselium bersepta. Spesies Curvularia sp. memiliki
miselium, konidiofor, dan konidia berwarna coklat
tua. Menurut Smiley et al., (1992) dalam (Taufik,
2013b), berdasarkan bentuk konidiumnya spesies
Curvularia dikelompokkan menjadi tiga tipe yaitu
pertama konidium terdiri dari tiga sekat, sel ketiga
dari pangkal lebih besar dari yang lain. Tipe kedua
konidium terdiri atas tiga sekat, dua sel ditengah lebih
besar dari sel-sel yang lain dan tipe ketiga konidium
mempunyai empat sekat, sel paling tengah lebih besar
dari yang lain (Siregar, 2003).
Mertin dan Altstatt (1940) dalam Ou (1985)
melaporkan bahwa penyebaran penyakit di lapang
dibantu oleh serangga. Lebih lanjut dilaporkan bahwa
tumpukan jerami dapat menjadi sumber inokulum
di Amerika Serikat dan C. lunata dilaporkan juga
menginfeksi tomat, cabai, kubis dan kacang-kacangan.
Cendawan C. oryzae pertama kali dilaporkan
berasal dari bulir-bulir padi yang menyebabkan
diskolorisasi (Busi et al. 2009; Butt et al. 2011). Spesies
ini umum ditemukan di daerah tropik dan subtropik
sebagai parasit fakultatif. dengan bentuk teleomorf
Cochliobolus dan Pseudocochliobolus (Busi et al. 2009).
Kerugian yang disebabkan infeksi C. oryzae pada padi
dapat mencapai 20% sampai 50% (Du et al. 2001).
Salah satu strategi untuk menekan kerugian
ialah dengan menanam varietas padi yang tahan.
Gejala infeksi C. oryzae terlihat ketika tanaman
PENYAKIT UTAMA — 63
64 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
AGENS HAYATI
Agens hayati adalah mikrorganisme yang karena
aktivitas hidupnya menyebabkan pertumbuhan
6
patogen yang ada di sekitar, permukaan dan di dalam
jaringan tanaman terhambat sehingga kemampuannya
untuk menyebabkan tanaman sakit menjadi tidak
optimal.
Berbagai agens hayati telah diujicobakan untuk
mengendalikan berbagai patogen tanaman baik
cendawan, bakteri dan virus, meskipun efektivitasnya
memang masih variatif namun ada kesimpulan yang
didukung oleh banyak peneliti bahwa agens hayati
adalah solusi alternatif yang baik untuk mengendalikan
penyakit tanaman dan merupakan salah satu bentuk
penerapan pertanian berkelanjutan, selain cara-cara
pengendalian konvensional.
Selama ini pengendalian penyakit hanya
bergantung pada penggunaan bahan kimia sintetis
yang secara ekologis tidak ramah lingkungan dan
reduksi penggunaan bahan kimia sintentis adalah
bentuk aplikasi pertanian yang berkelanjutan. Agens
hayati tidak hanya mampu mengurangi populasi
patogen tetapi juga memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman.
Kami mencoba mendefinisikan terminologi
konsorsium yaitu suatu cara pengendalian yang
menggabungkan lebih dari satu agens hayati dalam
satu kali aplikasi pada bagian tertentu dari tanaman
yang bertujuan mengendalikan satu atau lebih
patogen. Sebenaranya istilah konsorsium lebih banyak
digunakan pada terminologi ekonomi perusahaan,
yaitu gabungan beberapa perusahaan sehingga
perusahaan tersebut menjadi lebih efisien dan efektif,
atau membentuk suatu konsorsium untuk mengikuti
tender yang levelnya lebih tinggi karena jika tidak
membentuk konsorsium masing-masing perusahaan
tersebut tidak dapat mengikuti tender. Fenomena
yang sama terjadi pada agens hayati jika hanya bekerja
secara sendiri-sendiri maka akan sulit menghadapi
patogen yang semakin kompleks.
Penggunaan konsorsium agens hayati sebagai
solusi tepat untuk mengatasi persoalan penyakit saat ini
telah didukung oleh berbagai penelitian pendahuluan
yang kami lakukan membuktikan bahwa agens hayati
Trichoderma sp. cukup efektif mengurangi kejadian
penyakit layu pada tanaman tomat (Taufik, 2008).
Lebih lanjut dilaporkan bahwa aplikasi
rhizobakteri mampu menginduksi ketahanan tanaman
cabai terinfeksi CMV melalui akumulasi asam salisilat
(Taufik et al., 2010). Aplikasi mikoriza pada tanaman
jambu mete memperbaiki pertumbuhan tanaman
mete (Sarmin, 2012), atau penggunaan campuran
(konsorsium) rhizobakteria bersama dengan
trichoderma dapat meningkatkan tinggi tanaman
jambu mete (Anacardium occidentale) 12 cm lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol sakit (Taufik et
al., 2012).
Hasil penelitian tersebut mengilhami kami
menggunakan konsorsium agens hayati untuk
meningkatkan ketahanan padi gogo dari berbagai
infeksi penyakit dan saat yang sama mampu
menstimulasi pertumbuhan dan produksi padi gogo
(Taufik et al., 2013a).
AGENS HAYATI — 67
Tabel 6.2. Rata-rata jumlah anakan padi gogo kultivar Bakala 11 minggu
setelah tanam
Rekomen- 75% 50% Mandiri
Perlakuan
dasi pupuk pupuk pupuk (Konsorsium)
Tanpa konsorsium 16,47 17,43 17,95 17,28
Trichoderma+
19,19 15,76 13,53 16,16
Mikoriza
Trichoderma+
20,52 21,00 16,00 19,17
Rhizobakteri
Rhizobakteri +
20,67 17,43 16,33 18,14
Mikoriza
Mandiri (Pupuk) 19,21a 17,90ab 15,95b
Tabel 6.4. Rata-rata berat 1000 bulir (g) padi gogo lokal kultivar Bakala
Rekomen- 75% 50% Mandiri
Perlakuan
dasi pupuk pupuk pupuk (Konsorsium)
Tanpa konsorsium 27,33 26,67 26,78 26,93b
Trichoderma+
27,23 27,33 26,45 27,00ab
Mikoriza
Trichoderma+
28,53 27,94 26,67 27,71ab
Rhizobakteri
Rhizobakteri +
27,55 28,10 28,33 28,00a
Mikoriza
Mandiri (Pupuk) 27,66 27,51 27,06
AGENS HAYATI — 69
Tabel 6.5. Rata-rata produksi padi gogo lokal bakala dalam ton/ha
Rekomen- 75% 50% Mandiri
Perlakuan
dasi pupuk pupuk pupuk (Konsorsium)
Tanpa konsorsium 4,58 3,73 3,87 4,06b
Trichoderma+
4,63 4,67 4,63 4,64ab
Mikoriza
Trichoderma+
4,64 5,29 4,33 4,75ab
Rhizobakteri
Rhizobakteri +
5,10 4,57 5,57 5,08a
Mikoriza
Mandiri (Pupuk) 4,74 4,57 4,60
AGENS HAYATI — 71
tersebut berbeda, Trichoderma memiliki kemampuan
untuk memberikan pengaruh buruk terhadap patogen
cendawan (Taufik et al., 2012; Gusnawaty dan Taufik
2012 dan 2013a), salah satu anggota konsorsium
yaitu rhizobakteria yang memiliki keunggulan
menghasilkan fitohormon IAA, melarutkan fosfat,
mengkelat Fe dan memfiksasi N dan diisolasi dari tipe
tanah yang dominan di Sulawesi Tenggara yaitu merah
kuning (Khaeruni et al., 2010 dalam Taufik, 2013b).
Hasil penelitian Taufik et al. (2005) berhasil
membuktikan bahwa aplikasi rhizobakteri dapat
mengurangi keparahan penyakit akibat infeksi
CMV (Cucumber Mosaic Virus) dan ChiVMV
(Chilli Veinal Mottle Virus) pada tanaman cabai.
Lebih lanjut dilaporkan bahwa aplikasi rhizobakteri
mampu menginduksi ketahanan tanaman dengan
mengakumulasi asam salisilat sebagai indikator
aktivasi gen pertahanan tanaman (Taufik et al., 2010).
Penelitian lanjutan dengan memadupadankan
Trichoderma dan rhizobakteri pada tanaman
jambu mete (A. occidentale L.) terbukti mengurangi
penyakit jamur akar putih (JAP) yang disebabkan
oleh Rigidoporus sp. yang diinokulasi secara artifisial.
Peranan mikoriza juga telah dilaporkan memberikan
pengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman.
Hasil penelitian Halim (2009) menunjukkan
bahwa inokulasi 10 g mikoriza indigenous gulma
Imperata cylindrica pada tanah inceptisol Jatinangor
mampu meningkatkan produksi jagung sebesar 10
ton/ha dibandingkan tanpa inokukasi mikoriza.
Sarmin (2012) melaporkan bahwa mikoriza mampu
mengolonisasi akar tanaman mete sebesar 76%
sedangkan jika aplikasi mikoriza dipadukan dengan
trichoderma persentasenya mencapai 53% meskipun
diinokulasi dengan JAP. Merupakan pilihan yang
72 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
tepat menggunakan konsorsium agens hayati yang
berfungsi ganda meningkatkan ketahanan dan
produksi padi gogo. Selain itu efisiensi pemupukan
yang menggunakan bahan kimia sintetis dan aplikasi
agens hayati adalah cara-cara budidaya pertanian
yang berkelanjutan seperti tuntutan konsumen dan
masyarakat internasional sekarang ini.
AGENS HAYATI — 73
74 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
BAHAN BACAAN
Alexopoulos, C.J., C.W. Mims and M. Blackweel. 1996. Introductory
Mycology. John Wiley & Sons INC. Singapore. 866p
Aksi Agraris Kanisius, 1990. Budidaya Tanaman Padi. Kanisius.
Yogyakarta.
Andrianto, T. T., dan N. Indarto, 2004. Budidaya Dan Analisis Usaha
Tani Padi, Kacang Hijau, Kacang Panjang. Absolut. Yogyakarta .
Anonim, 1994. Koleksi dan Karakterisasi Plasma Nutfah Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.
Anonim, 2006. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi dan Palawija. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Anonim. 2014. Penyakit-penyakit penting pada tanaman padi.
http://www.agronomers.com/2014/12/penyakit-penting-pada-
tanaman-padi.html. Diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
Arsyad, S. 1983. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-ilmu
Tanah. Fakultas Pertanian IPB Bogor.
Azwir dan Syafrial, A., 2001. Pengaruh umur dan jumlah bibit
terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah varietas batang
piaman. Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Jambi.
Blevins, R.L. D. Cook, S.H. Philip, And R.E. Philips. 1971. Influence
of No-Tillage on Soil Moisture. Agronomy Journal, 63:593-596.
Busi S, Peddikotla P, Suryanarayana M, Upadyayula, Yenamandra V.
2009. Secondary metabolites of Curvularia oryzae MTCC 2605.
Rec Nat Prod. 3(4):204-208.
Butt AR, Yaseen SI, Javaid A. 2011. Seedborne mycoflora of stored rice
grains and its chemical control. J Anim Plant Sci. 21(2):193-196.
[CABI] Commonwealth Agricultural Bureaux International.
2005. Crop Protection Compendium. Wallingford, UK: CAB
International. Disajikan dalam Compact Disk (CD).
Chozin, M.A., D. Sopandie, S. Sastrosumarjo dan Suwarno. 2000.
Physiology and Genetic of Upland Rice Adaptation to Shade.
Final Report of Graduate Team Research Grant, URGE Project.
Directorate General of Higher Education, Ministry of Education
and Culture.
Chang, Te-Tzu and S.K. De Datta. 1975. Agronomic Traits Needed in
Upland Rice Varieties Major Research in Upland Rice. IRRI, Los
Banos, Philippines.
CIAT. 1984. Upland Rice in Latin America. An Overview of Upland
Rice Research. IRRI, Los Banos, Philippines. p. 93-119.
Damanik, M. M. B., B. E. Hasibuan., Fauzi., Sarifuddin dan Hamidah,
H. 2010. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press. Medan.
Daud, L., 2011. Efek Rhizobakteria dalam Memacu Pertumbuhan
dan Mengendalikan Penyakit Terbawah Benih pada Tanaman
Padi Gogo (Oryza sativa L. ) Lokal Sulawesi Tenggara. [Skripsi]
Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman, Jurusan
Agroteknologi, Faperta Universitas Halu Oleo.
Daradjat, A.A., Suprihatno, B., dan Nafisah, 2006. Pedoman Konservasi
dan Aktualisasi Potensi Varietas Padi Lokal. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
De Datta, S.K. and B.S. Vergara. 1975. Climates of Upland Rice Regions.
Major Research in Upland Rice. IRRI Los Banos, Phlippines. p.
14-26.
De Datta, S.K. 1981. A Weed Control in Rice in South and Southeast
Asia. Weeds and Weed Control in Asia. FFTC Book Series No.
20:1-24.
BAHAN BACAAN — 77
Hasfiah, M. Taufik M, dan T. Wijayanto. 2012. Uji Daya Hasil dan
Ketahanan Padi Gogo Lokal Terhadap Penyakit Blas (Pyricularia
oryzae) pada berbagai Dosisi Pemupukan. Jurnal Berkala
Penelitian Agronomi, Vol 1 (1): 26-36.
Hayes, W.A. (1982). Minimum Tillage Farming. No-till Farmer Inc.
Brookfield, Wisconsin.
Hidayat, M.A. 2014. Inovasi Teknologi Untuk Pengelolaan Padi
(Oryza sativa) pada Proses Pengeringan dan Penggilingan
di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar
Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September
2014. Hlm: 155-163.
http://www.litbang.deptan.go.id. 2011. Pengaruh Pemupukan N
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo Dataran Sedang.
Akses tanggal 23 April 2011.
http://pustaka.litbang.deptan.go.id. 2011. Mesin Penyiang Gulma.
Akses tanggal 20 April 2011.
http://iirc.ipb.ac.id, 2011. Pengendalian Gulma secara Mekanis. Akses
tanggal 20 April 2011.
IITA. 1984. Upland Rice in Africa. An Overview of Upland Rice. IRRI,
Los Banos Philippines.
Indrakusuma. 2000. Proposal Pupuk Organik Cair Supra Alam Lestari.
PT Surya Pratama Alam. Yogyakarta.
Jiao, D.M., H.Y. Tong, and J.X. Zhang. 1993. Identification of
photosynthetic characteristics adapted to wide range of light
intensities in rice varieties. Chinese J. Rice Sci. 7(4):243-246.
Kastanja, A.Y. 2011. Kajian Penerapan Teknik Budidaya Padi Godo
Varietas Lokal. J. Agrof. 6(2):1907-7556.
Larcher, W. 1975. Physiological Plant Ecologi. Springer Verlag. Berlin
Heidelberg, New York. 251 p.
Laowson, T.L. 1984. Climate of Upland Rice in Africa. An Overview of
Upland Rice Research. IRRI, Los Banos, Philippines. p. 229-246.
Luh, B. S., 1991. Rice Production. An AVI Book. New York.
78 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
Moenandir, J. 2004. Prinsip-prinsip Utama Cara Menyukseskan
Produksi Pertanian: Dasar-dasar Budidaya Pertanian. Fakultas
Pertanian Univesitas Brawijaya, Malang.
Muliasari,A. A dan Sugiyanta., 2009. Optimasi Jarak Tanam dan
Umur Bibit pada Padi Sawah (Oryza sativa L.). Makalah Seminar
Departemen Agronomi dan Hortikultura. IPB – Bogor.
Murty K.S., S.K. Dey, P. Swain, and M.J. Baig. 1992. Low Light
Adapted Restorers of Different Maturity Durations for Hybrid
Rice Breeding. Int. Rice Res. Newsletter. 17(6):6-7.
Norsalis, E., 2011. Padi Gogo Dan Padi Sawah. http://repository.usu.
ac.id/bitstream/123456789/17659/4/Chapter%20II.pdf. Akses
tanggal 5 Desember 2011.
Nurhayati, T. K., 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Eska Media,
Jakarta.
Oldeman, L.R. 1984. Upland rice growing environment. Method for
Characterization and Zonation in Asia. An Overview of Upland
Rice Research. IRRI, Los Banos, Philippines. p. 247-274.
Ou, S.H., 1985. Rice Disease 2nd ed. CMI, England.58
Pane H dan S.Y. Jatmiko, 2005. Pengendalian Gulma pada Tanaman
Padi. http://www.litbang.deptan.go.id.
Partohardjono, P dan Makmur,A. 1993. Peningkatan produksi padi
gogo. Balittan – IPB Bogor.
Perdana, A.S. 2012. Budidaya Padi Gogo. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Pirngadi, K., H.M. Toha dan B. Nuryanto. 2007. Pengaruh pupuk N
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo Dataran Sedang.
Apresiasi Hasil Penelitian Padi: 325-338.
Prasetyo Y.T, 2007. Bertanam Padi Gogo Tanpa Olah Tanah. Swadaya,
Jakarta.
Priyastomo,V., Yuswiyanto., D.R. Sari., dan S. Hakim. 2006.
Peningkatan Produksi Padi Gogo Melalui Pendekatan Model
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Universitas
Muhammadiyah. Malang.
BAHAN BACAAN — 79
Pujiwati, I., 2005. Pengendalian Gulma pada Tanaman Pangan. http://
www.scribd.com. Akses tanggal 15 Mei 2011.
Pustaka Departemen Pertanian, 2009. http://www.pustakadeptan.
go.id.2009.pdf-Padi. Akses tanggal 24 Juni 2009.
Rahayu, M., Prajitno, D., dan Syukur A., Pertumbuhan vegetatif padi
gogo dan beberapa varietas nanas dalam sistem tumpangsari
di lahan kering gunung kidul, Yogyakarta. Universitas Gadjah
Mada (UGM). Yogyakarta.
Rahayu, T., 2009. Budidaya tanaman padi dengan teknologi MIG-
6 plus. http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/persyaratan-
tumbuh-padi-gogo. Akses tanggal 5 Desember 2011.
Santoso, M. 1984. Stasiun Meteorologi Pertanian dan Beberapa Cara
Pengolahan Data Iklim. Fakultas kehutanan IPB, Bogor.
Siregar, H., 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Sastra Hudaya.
Sitaniapessy, P.M. 1982. Pengaruh Iklim dan Cuaca terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman. Jurusan Agrometeorologi,
Fakultas Sains dan Matematika IPB, Bogor.
Setyati, S. 1983. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.
Soemartono, Samad, B., Hardjono, R., 1979. Bercocok Tanam Padi.
C.V. Yasaguna. Jakarta.
Soewito, T., S. Harahap dan Suwarno. 1995. Perbaikan varietas Padi
Sawah Mendukung Pelestarian Swasembada Beras. Dalam
Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Jakarta/
Bogor. 23-25 Agustus 1995. Kinerja Tanaman Pangan Buku 2.
Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian, p:398 – 411.
Song F, Goodman RM. 2001. Molecular biology of disease resistance
in rice. Physiol Mol Plant Pathol. 59(1):1-11. doi: 10.006/
pmpp.2001.0353.
Sopandie, D. M. A Chozin, S. Sastrosumarjo, Suwarno, A.P. Lontoh
and T. Takano. 1999. Upland rice tolerance to shade: Field
screening and preliminary study on physiological mechanisms.
Proceeding of International Plant Breeding Symposium.
Okayama, September 25-26, Japan.
80 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
Sudarmo S, 1991. Pengendalian Serangga Hama Penyakit dan Gulma
Padi. Kanisius. Jakarta.
Sudir, Suprihanto dan Suparyono. 2001. Status penyebaran penyakit
hawar pelepah dan busuk batang padi di beberapa sentra
produksi padi. Disampaikan pada Kongres XVI dan Seminar
Nasional PFI, Bogor 22-24 Agustus, 2001.
Sugeng, H. R., 1998. Bercocok Tanam Padi. Aneka Ilmu. Semarang.
Suhardi. 1983. Dasar-dasar Bercocok Tanam. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Suprayono, A.S., Suriamihardja and T. Tjubarjat, 1982. Rice bacterial
pathotype group which attacks the IR36 group of rice variety.
Jurnal Ilmu Pertanian 3(5). 1982.
Sutrisno DR, Achmad, Jumali, Setyono A. 2006. Pengaruh kapasitas
kerja terhadap efisiensi pengeringan gabah menggunakan
box dryer bahan bakar sekam. Prosiding Seminar Nasional
Mekanisasi Pertanian. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian Bogor, Asosiasi Perusahaan Alat dan Mesin Pertanian
Indonesia. Hlm 331341.
Syiam, M. dan D. Wurjandari, 2005. Masalah Lapang Hama Penyakit
Hara pada Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. http://api.or.id/Data/HPH%20Pada%20Padi.pdf. Akses
08 November 2016.
Taufik, M., 2008. Efektivitas Agens Antagonis Trichoderma sp. pada
Berbagai Media Tumbuh Terhadap Penyakit Layu Tanaman
Tomat Hal: 240-249. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan
Tahunan XIX PEI PFI dan Balitserial Maros, 5 Nov 2008, ISBN
978-979-95026-8-1.
Taufik, M., A. Rahman, dan A. Nurmas. 2009. Analisis Sifat Ketahanan
Terhadap Blast dan Efektivitas Serapan Hara dan Air pada Padi
Gogo Unggul Lokal Potensi Produksi Tinggi (> 5 Ton/Ha) di
Sulawesi Tenggara. Laporan Hibah Kompetitif Penelitian sesuai
Unggulan Nasional Batch III.
BAHAN BACAAN — 81
Taufik, M., A. Rahman, A Wahab, dan S.H. Hidayat. 2010. Mekanisme
Ketahanan Terinduksi oleh PGPR (Plant Growth-Promoting
Rhizobacteria) Pada Tanaman Cabai Terinfeksi CMV (Cucumber
Mosaic Virus). Jurnal Hortikultura Vol. 20 (3): 273-283
Taufik, M. 2011. Evaluasi Ketahanan padi gogo lokal terhadap penyakit
blas (Pyricularia oryzae) di lapang. Agriplus, Vol. 21(1): 68-74.
Taufik, M., Mariadi dan H.S. Gusnawaty. 2012. The Utilization of
Trichoderma sp. and Rhizobacteria as Biological Agents to control
white root rot fungi disease (Rigidoporus sp) on Cashew Plant,
International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences
(ISSAAS) International Symposium & Congress. Theme “Pushing
Agriculture to Achieve the Millennium Development Goals”
Hotel St. Ellis and Bicol University, Legazpi City, Philippines on
November 13-16, 2012.
Taufik, M. , Asniah, Syair. 2012. Ketahanan Lapangan Padi Gogo
terhadap Infeksi Curvularia oryzae. Jurnal Fitopatologi Indonesia
Vol. 8 (2) :50-53.
Taufik, M., H.S. Gusnawaty, A. Nurmas, dan S. Alam. 2013a.
Pengembangan Konsorsium Agens Hayati dan Mikoriza Untuk
Meningkatkan Ketahanan dan Produksi Padi Gogo Sebagai
Penyangga Pangan Nasional. Laporan Penelitian Strategis
Nasional. Lembaga Penelitian Universitas Halu Oleo.
Taufik, M. 2013b. Pengelolaan Penyakit Tanaman Berbasis Konsorsium
Agens Hayati sebagai Penginduksi Ketahanan dan Pemicu
Produksi Padi Gogo sebagai Pengaman Ketahanan Pangan.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Penyakit Tanaman pada
Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, 31 Desember 2013.
Kendari.
Taufik, M., Sarawa M., LD. Santiadji, dan Syair. 2016. Peningkatan
Ketahanan dan Produksi Padi Gogo melalui Aplikasi Konsorsium
Mikroba Plus. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Halu Oleo. Laporan Penelitian MP3EI.
Triharso, 2010. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
BAHAN BACAAN — 83
Yeo M.E., A.R. Yeo, and T.J. Flowers. 1994.
Photosynthesis and photorespiration in the genus
oryza. J. Exp. Bot. 45 (274):553-560.
Yoshida, S. 1975. Factors that Limit the Growth and
Yields of Upland Rice: 46 -47. In IRRI (ed.) Major
Research in Upland Rice. Los Banos. Philippines.
V
Varietas 2, 8, 11, 14, 16, 17, 18, 19,
20, 23, 24, 25, 26, 27, 34, 35,
37, 41, 44, 46, 55, 56, 69, 70
W
Walang sangit 46
Wereng
Coklat 43, 44, 45
Hijau 43, 44, 45
CURRICULUM VITAE — 89
Dr. Ir. Andi Khaeruni R, M.Si., lahir pada tanggal 27 Juni 1967
di Sengkang, Sulawesi Selatan. Tahun 1981 tamat dari Sekolah
Dasar Negeri 7 Sengkang dan lulus dari Sekolah Menengah
Pertama Negeri 1 Sengkang pada tahun 1984. Pendidikan
Menengah Atas diselesaikan di SMA Negeri 1 Maros pada tahun
1987. Pada tahun yang sama melanjutkan kuliah di Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas
Hasanuddin dan memperoleh gelar Insinyur Pertanian pada
Tahun 1991. Pendididikan Magister dan Doktor dibidang Ilmu
Penyakit Tumbuhan (Fitopatologi) diselesaikan di Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor masing-masing pada tahun 1996 dan 2005.
Pada tahun 1994 hingga sekarang, penulis bertugas sebagai staf pengajar tetap
di Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kendari, selama berkarier di UHO
pernah menjabat sebagai kepala Laboratorium Unit Hama dan Penyakit Tumbuhan
(1999-2001), Kepala Kebun Percobaan Fakultas Pertanian (2010-2012), Kepala
Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi UHO (2012-2015), dan saat
ini sebagai Ketua Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian (2016-Sekarang).
Banyak melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terkait dengan
pengelolaan penyakit tanaman pangan dan hortikultura berbasis agens hayati
indigenos. Penulis juga sering tampil sebagai narasumber di instansi pemerintah
di Sulawesi Tenggara dan pemakalah di forum lokal, nasional, dan internasional.