Anda di halaman 1dari 97

“Buku ini mengulas bioekologi dan teknik

budidaya padi gogo serta hama penyakit utama


dan teknik pengendaliannya”

P adi adalah tanaman pangan nasional yang sangat


penting dijaga suplainya. Berbagai upaya untuk
menjaga suplai beras sampai ke tingkat konsumen
namun peningkatan produksi padi masih sangat dinamis
dari musim ke musim. Sebagai salah satu sumber
ketahanan dan keamanan pangan utama bagi Bangsa
Indonesia maka produktivitas menjadi sangat penting.
PADI GOGO adalah tanaman yang identik ditanam
di lahan kering yang sepanjang hidupnya tidak
digenangi air dan sumber kebutuhan airnya berasal dari
kelembapan tanah yang berasal dari air hujan sehingga
memiliki potensi untuk dikembangkan di wilayah-
wilayah yang memiliki lahan kering tidak termanfaatkan.
Sayang... potensi dan kemanfaatan plasma nutfah
tersebut hanya dibudidayakan secara marginal oleh
masyarakat tradisional tanpa ada introduksi teknologi
budidaya dan teknologi pengelolaan penyakit terkini.
Akibatnya petani frustasi karena sudah umur yang
panjang, produksi juga sangat rendah ditambah
kerentanannya terhadap hama dan penyakit tanaman.

Layout sampul & isi © Asmar Hasan, 2016


Ta u f i k e t a l . Pa d i G o g o s i Mu t i a r a Pa n g a n 2016
Padi Gogo si Mutiara Pangan
Bieokologi, Budidaya, Hama & Penyakit Utama, dan Pengendalian

Prof. Muhammad Taufik


Asmar Hasan, M.P.
Dr. Rahayu M.
Dr. Andi Khaeruni R.
Padi Gogo
si Mutiara Pangan

Prof. Muhammad Taufik


Asmar Hasan, M.P.
Dr. Rahayu M.
Dr. Andi Khaeruni R.

“Padi gogo bukanlah tanaman yang marginal tetapi telah


ditakdirkan untuk sesuai dengan bumi Anoa hanya kita
sendiri yang memarginalkannya”
(MT Desember 2013)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Alhamdullillah selalu dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas
nikmat-Nya kepada kita yang tidak pernah bisa terhitung. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya.
Padi Gogo si Mutiara Pangan adalah tanaman yang identik ditanam
di lahan kering yang sepanjang hidupnya tidak digenangi air dan sumber
kebutuhan airnya berasal dari kelembapan tanah yang berasal dari air
hujan sehingga memberikan peluang yang sangat baik bagi pengembangan
tanaman di wilayah-wilayah Indonesia yang memiliki lahan kering yang luas
diantaranya adalah wilayah Sulawesi Tenggara, namun sangat disayangkan
nampaknya pemerintah masih sangat “memanjakan” padi sawah sebagai
sumber pangan utama sehingga pemanfaatan lahan kering yang sangat cocok
untuk pengembangan tanaman padi gogo tersebut belum mendapat perhatian
yang serius. Oleh karena itu sangat dibutuhkan kontribusi yang nyata dari
berbagai pihak yang berkompeten untuk meningkatkan pengembangan dan
produksi padi gogo di lahan kering. Buku ini disusun berdasarkan kompilasi
dari bahan kuliah, publikasi dan hasil-hasil penelitian penulis. Buku ini
diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif kepada para
mahasiswa dan pengguna lainnya tentang Padi Gogo.
Doa selalu dipanjatkan kepada kedua orang tua kami yang selalu
menanamkan akan pentingnya pendidikan dan selalu memotivasi untuk
menjadi orang yang dapat bermanfaat untuk orang lain. Karya ini kami
persembahkan kepada keluarga tercinta yang selalu mendukung serta
senantiasa memanjatkan doa untuk kesuksesan segala kegiatan yang kami
lakukan. Kami menyadari bahwa materi dari buku ini masih jauh dari
kesempurnaan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Oleh karena
itu, segala koreksi, kritik dan saran-saran dari pembaca sangat diharapkan
untuk melengkapi buku ini pada edisi-edisi berikutnya. Akhirnya, kami
berharap semoga hal yang sedikit dan kecil ini dapat bermanfaat.
Walhamdulillahirobbilalamin
Kendari, November 2016

Tim Penulis
KATA SAMBUTAN
Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk sehingga Pemerintah Republik Indonesia selalu berusaha
mewujudkan swasembada pangan khususnya pangan beras. Swasembada
pangan merupakan indikator tercapainya ketahanan dan kedaulatan pangan.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencapai swasembada
beras tersebut seperti memperluas areal sawah, memperbaiki teknik budidaya,
perbaikan varietas, dan pengelolaan hama dan penyakit. Tantangan terbesar
dalam swasembada beras yang diproduksi dari sawah pada masa yang akan
datang adalah ketersediaan air.
Perubahan iklim yang semakin tidak menentu menyebabkan
ketersediaan air semakin terbatas sehingga sawah berpengairan teknis
maupun non teknis mengalami penurunan debit air bahkan kekeringan di
berbagai daerah. Kondisi ini menyebabkan budidaya padi sawah mengalami
gangguan bahkan produksinya dapat menjadi puso. Oleh karena itu diperlukan
budidaya padi yang efisien dalam hal penggunaan sumberdaya khususnya
sumberdaya air. Pilihan tentunya mengarah pada pengembangan lahan kering
dengan membudidayakan padi gogo karena padi ini membutuhkan air yang
tidak terlalu banyak dibandingkan dengan padi sawah dan tahan terhadap
kekeringan karena secara ekologi padi gogo merupakan padi yang tumbuh
di lahan kering. Harapannya ke depan, dengan adanya budidaya padi gogo,
walaupun sawah mengalami kekeringan, swasembada beras tetap terjaga
berkat sokongan dari padi gogo.
Pengetahuan dan literatur mengenai padi gogo terasa masih kurang
dibandingkan dengan padi sawah. Buku-buku mengenai pemahaman
bioekologi dan teknik budidaya padi gogo serta hama penyakit utama dan
teknik pengendaliannya masih sangat terbatas dan perlu ditingkatkan. Oleh
karena itu saya menyambut baik terbitnya buku “Padi Gogo si Mutiara Pangan.
Bioekologi, Budidaya, Hama dan Penyakit Utama, dan Pengendalian”. Buku
ini diharapkan menjadi sumber literatur bagi mahasiswa, para peneliti, dan
siapapun yang ingin mempelajari dan membudidayakan padi gogo.
Kendari, 29 Desember 2016

Prof. Dr. Supriadi Rustad, M.Si


Plt. Rektor Universitas Halu Oleo
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
KATA SAMBUTAN
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
BIOEKOLOGI
Botani Tanaman ......................................................................................5
Syarat Tumbuh ........................................................................................7
BUDIDAYA
Varietas....................................................................................................17
Lahan.......................................................................................................28
Penanaman..............................................................................................33
Pemeliharaan .........................................................................................35
Panen.......................................................................................................40
HAMA UTAMA
Wereng Coklat........................................................................................43
Wereng hijau...........................................................................................45
Walang Sangit.........................................................................................46
Tikus........................................................................................................48
Penggerek Batang Padi .........................................................................51
PENYAKIT UTAMA
Blas (Pyricularia oryzae Cav.).............................................................55
Bercak Coklat (Helminthosporium oryzae)......................................56
Hawar pelepah (Rhizoctonia solani)...........................................................57
Cendawan Curvularia oryzae ............................................................58
AGENS HAYATI
BAHAN BACAAN
INDEX
CURRICULUM VITAE
PENDAHULUAN
Terdapat tren yang menunjukkan bahwa
kebutuhan akan beras sebagai sumber karbohidrat
1
akan terus meningkat seiring dengan peningkatan
populasi manusia. Peningkatan akan sumber
karbohidrat tersebut tidak akan terjadi di benua
Asia tetapi juga akan terjadi di benua lain. Hal ini
disebabkan mutasi orang Asia ke benua lain juga
semakin meningkat. Bagi orang Asia beras adalah
sumber energi utama sehingga muncul istilah “no rice
no power”.
Beras dihidangkan sebanyak tiga kali sehari pagi,
siang dan malam sesuai dengan pola makan orang
Indonesa dan Asia umumnya, akibatnya kebutuhan
akan beras juga cenderung semakin menigkat. Untuk
itu diperlukan penyediaan beras baik yang berasal
dari lahan sawah maupun lahan kering untuk padi
gogo. Khusus untuk padi potensi pengembangan
masih sangat terbuka untuk ditingkatkan mengingat
teknologi budidaya yang diterapkan oleh petani masih
sangat sederhana dibandingkan dengan teknologi
budidaya padi sawah. Di Sulawesi Tenggara padi gogo
hanya ditanam di lahan-lahan tegalan secara tidak
tetap dan tidak terjadwal dengan input teknologi yang
relatif masih rendah.
Peningkatan input teknologi budidaya gogo
diyakini akan meningkatkan produksi padi gogo
secara signifikan. Berbagai kultivar padi gogo lokal juga
memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi seperti Pae
Unggorunu, Pae Bakala, Pae Besu, Pae Endokadia dan
lain-lain yang memiliki keunikan tersendiri. Kultivar-
kultivar tersebut ada yang merah, hitam, putih, ketan
dan non ketan, serta non aromatik atau aromatik.
Keunikan tersebut diduga dari hasil persilangan alami
dalam proses evolusinya. Menurut catatan padi yang
bergenus Oryza berasal dari 25 spesies.
Chevalier dan Neguier menjelaskan bahwa padi
berasal dari dua benua yaitu Oryza fatua Koenig dan
Oryza sativa L berasal dari benua Asia, sedangkan
jenis padi lainya yaitu Oryza stapfii Roschev dan Oryza
glaberima Steund berasal dari Afrika barat. Padi yang
ada sekarang ini merupakan persilangan antara Oryza
officinalis dan Oryza sativa f spontania yang sudah
tersebar di daerah tropik dan daerah sub tropik seperti
Asia, Afrika, Amerika dan Australia.
Wilayah Indonesia pada mulanya tanaman padi
diusahakan di daerah tanah kering dengan sistim
ladang, akhirnya orang berusaha memantapkan basil
usahanya dengan cara mengairi daerah yang curah
hujannya kurang. Tanaman padi yang dapat tumbuh
dengan baik didaerah tropis ialah Indica,
sedangkan Japonica banyak diusakan “Tegalan ialah lahan
yang terletak di sekitar
kering
daerah
didaerah sub tropika (AAK, 1990). pemukiman (desa), yang
karena keadaannya sehingga
Padi merupakan komoditas tidak dapat diubah menjadi
penting dan menempati urutan sawah (Sugeng, 1998)”
pertama di Indonesia. Bahan pangan
ini mengandung 8 g protein dan 73 g karbohidrat
dalam setiap 100 g. Sebagai bahan pangan utama,
kesinambungan produksi sangat dibutuhkan agar
kualitas dan kuantitasnya tetap terjaga. Selain itu
peningkatan teknologi, perbaikan varietas, perbaikan
teknik budidaya, dan pasca panen perlu dilakukan
secara berkesinambungan agar produksi padi terus
berlanjut (Kastanja, 2011). Oleh karena itu, untuk
meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan
2 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
pangan, pertanian di lahan kering merupakan salah
satu alternatif yang potensial untuk dikembangkan.
Padi gogo merupakan salah satu tanaman
pangan yang berpotensi untuk dikembangkan. Padi
gogo ialah tanaman padi yang ditanam di tanah
tegalan. Padi gogo tidaklah membutuhkan air yang
banyak dalam penanamannya. Pada umumnya
ditanam di daerah tanah kering sehingga banyak kita
jumpai di daerah yang berbukit-bukit. Petani padi
gogo umumnya termasuk golongan petani miskin
yang mempunyai banyak keterbatasan dan belum
mengenal teknologi maju (Sugeng, 1998; Toha et al.,
2005; Rahayu et al., 2006; Priyastomo et al., 2006).

PENDAHULUAN — 3
4 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
BIOEKOLOGI
Botani Tanaman
2
Tanaman padi berasal dari kingdom
Plantae, divisio Spermatophyta dan sub divisio
Angiospermae Tanaman padi tergolong dalam kelas
Monocotyledoneae, ordo Graminales. Tanaman ini
termasuk dalam famili Gramineae, genus Oryza serta
termasuk dalam spesies Oryza sativa L. (AAK, 1990).
Sistem perakaran padi adalah akar serabut. Akar
padi yang masih muda berwarna putih sedangkan akar
padi yang telah dewasa/lebih tua dan telah mengalami
perkembangan akan berwarna cokelat. Padi gogo pada
umumnya mempunyai perakaran yang lebih panjang,
padat, dan diameter akar lebih besar dibandingkan
dengan padi sawah serta memiliki daya tembus akar
yang lebih tinggi (AAK, 1990).
Padi gogo yang toleran kekeringan biasanya
memiliki sistem perakaran yang dalam yang dapat
menembus lapisan tanah sampai kedalaman 20 cm
di bawah permukaan tanah, sehingga pada saat
kekeringan akar yang dalam dapat memanfaatkan air
(Azwir dan Syahrial, 2001).
Tanaman padi mempunyai batang yang
beruas-ruas. Rangkaian ruas-ruas pada batang padi
mempunyai panjang yang berbeda-beda. Pada ruas
batang bawah pendek, semakin ke atas mempunyai
ruas batang yang semakin panjang. Ruas pertama
dari atas merupakan ruas terpanjang. Ruas batang
padi berongga dan bulat. Di antara ruas batang padi
terdapat buku, pada tiap-tiap buku duduk sehelai
daun. Batang baru akan muncul pada ketiak daun,
semula berupa kuncup, kuncup tersebut mengalami
pertumbuhan, yang akhirnya menjadi batang baru.
Batang baru dapat disebut batang sekunder apabila
batang tersebut terletak pada buku terbawah (AAK,
1990).
Daun terdiri dari helai daun yang berbentuk
memanjang seperti pita dan pelepah daun yang
menyelubungi batang. Pada perbatasan antara helai
duan dan upih terdapat lidah daun yang berfungsi
untuk mencegah masuknya air hujan diantara batang
dan pelepah daun (upih). Disamping itu lidah daun
juga mencegah infeksi penyakit, sebab media air
memudahkan penyebaran penyakit. Daun ketiga
dari atas biasanya merupakan daun terpanjang. Daun
bendera mempunyai panjang daun terpendek dan
dengan lebar daun yang terbesar (Norsalis, 2011).
Bunga padi merupakan bunga telanjang yang
mempunyai satu bakal buah, 6 buah benang sari, serta
2 tangkai putik. Benang sari terdiri dari tangkai sari,
kepala sari dan kandung serbuk. Tangkai sari padi tipis
dan pendek sedangkan kepala sari mengandung serbuk
yang berisi tepung sari/pollen sekumpulan bunga padi
yang keluar dari buku paling atas dinamakan malai
(AAK, 1990).
Gabah atau buah padi adalah ovari yang telah
masak, bersatu dengan lemma dan pelea. Buah ini
merupakan hasil penyerbukan dan pembuahan yang
mempunyai bagian-bagian sebagai berikut:
1. Embrio: Bakal lembaga yang terletak pada bagian
lemma, dan terdiri dari daun lembaga (calon batang
dan calon daun) serta akar lembaga (calon akar).

6 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


2. Endosperm: Merupakan bagian dari buah/biji
padi yang besar, terdiri dari zat tepung, sedang
selaput protein melingkupi zat tepung tersebut.
Endosperm mengandung zat gula, lemak, serta
bahan atau zat-zat anorganik, disamping itu juga
mengandung protein.
3. Apex: Ekor gabah.
4. Lemma: Kulit penutup buah padi yang berwarna
cokelat.
5. Hull: Bulu-bulu halus yang terdapat pada
permukaan kulit penutup buah padi.
6. Bran: Lapisan kulit padi.
7. Biji padi setelah masak dapat terus tumbuh, akan
tetapi kebanyakan baru beberapa waktu sesudah
dituai (4-6 minggu). Jadi biji padi perlu istirahat
terlebih dulu beberapa waktu untuk dapat tumbuh
(Soemartono et al., 1979).

Syarat Tumbuh

Iklim
Tanaman padi dapat tumbuh pada dataran
rendah sampai dataran tinggi. Di dataran rendah padi
dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 650 m dpl dengan
temperatur 22,5°C – 26,5°C sedangkan di dataran
tinggi padi dapat tumbuh baik pada ketinggian antara
650 – 1.500 m dpl dan membutuhkan temperatur
berkisar 18,7°C – 22,5°C (AAK, 1990).
Temperatur sangat mempengaruhi pengisian biji
padi. Temperatur yang rendah dan kelembaban yang
tinggi pada waktu pembungaan akan mengganggu
proses pembuahan yang mengakibatkan gabah menjadi

BIOEKOLOGI — 7
hampa. Hal ini terjadi akibat tidak membukanya bakal
biji. Temperatur yang rendah pada waktu pengisian
biji juga dapat menyebabkan rusaknya pollen dan
menunda pembukaan tepung sari (Luh, 1991).
Angin mempunyai pengaruh positif dan negatif
terhadap tanaman padi. Pengaruh positifnya terutama
pada proses penyerbukan dan pembuahan tetapi
angin juga berpengaruh negatif, karena penyakit yang
disebabkan oleh bakteri atau jamur dapat ditularkan
oleh angin, dan apabila terjadi angin kencang pada saat
tanaman berbunga, buah dapat menjadi hampa dan
tanaman roboh. Hal ini akan lebih terasa lagi apabila
penggunaan pupuk N berlebihan, sehingga tanaman
tumbuh terlalu tinggi (Departemen Pertanian, 2009).
Padi gogo tergolong tanaman yang butuh banyak
cahaya, sehingga kekurangan cahaya pada kondisi
naungan dapat mengakibatkan tereduksinya laju
fotosintesis dan turunnya sintesis karbohidrat (Murty
et al., 1992; Watanabe et al., 1993; Jiao et al., 1993; Yeo
et al., 1994).
Tingkat produktivitas padi gogo akan rendah
di bawah kondisi naungan. Intensitas cahaya rendah
biasanya menyebabkan terjadinya gangguan translokasi
karbohidrat ke bagian-bagian tubuh tanaman dan
mempengaruhi perubahan pertumbuhan morfologi
dan anatomi daun. Perubahan tersebut adalah sebagai
mekanisme pengendalian jumlah dan kualitas cahaya
yang dapat dimanfaatkan oleh kloroplast daun. Daun
varietas padi gogo yang toleran cahaya rendah berbeda
dengan yang peka dilihat dari warna kehijauan daun,
luas daun, ketebalan daun, ketegakan daun dan bentuk
daun (Sopandie et al., 1999; Chozin et al., 2000).

8 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Curah hujan
Padi gogo memerlukan air sepanjang
pertumbuhannya dan kebutuhan air tersebut hanya
mengandalkan curah hujan. Tanaman dapat tumbuh
pada daerah mulai dari daratan rendah sampai
daratan tinggi. Tumbuh di daerah tropis/subtropis
pada 45o LU sampai 45o LS dengan cuaca panas dan
kelembapan tinggi. Rata-rata curah hujan yang baik
adalah 200 mm/bulan selama 3 bulan berturut-turut
atau 1500-2000 mm/tahun (Norsalis, 2011).
Curah hujan merupakan komponen iklim yang
selalu berubah-ubah dan sulit diramalkan. Setiap
daerah mempunyai pola curah hujan berbeda-
beda antara satu daerah dengan daerah lain. Untuk
mengetahui pola curah hujan di suatu daerah
diperlukan data curah hujan dari daerah tersebut
selama 30 tahun (Santoso, 1984).
Berdasarkan distribusi curah hujan, Oldeman
(1984) membagi pola curah hujan atas tiga tipe yang
berbeda:
1. Pola curah hujan merata sepanjang tahun dan
tidak jelas perbedaan antara musim hujan dan
musim kering.
2. Pola curah hujan monomodal, yaitu dalam satu
tahun hanya terdapat satu bulan yang jumlah curah
hujannya tertinggi ataupun terendah. Pola curah
hujan tipe ini dipengaruhi oleh musim, dan jelas
ada musim hujan dan musim kering. Pola curah
hujan monomodal mempunyai beberapa bulan
curah hujannya lebih dari 200 mm dan beberapa
bulan curah hujannya kurang dari 100 mm.
3. Pola curah hujan bimodal, yaitu selama satu tahun
terjadi dua kali periode dengan curah hujan yang
tinggi dan di antara curah hujan tinggi tersebut
terdapat musim kering.

BIOEKOLOGI — 9
Kebutuhan curah hujan bulanan untuk
memenuhi kebutuhan air bagi pertumbuhan tanaman
padi gogo dipengaruhi oleh kapasitas tanah menahan
air dan keadaan suhu udara. Semakin tinggi kapasitas
menahan air dari tanah semakin rendah kebutuhan
curah hujan bulanan. Di Amerika Latin di daerah
yang curah hujannya selama 6-8 bulan lebih dari 2000
mm, sangat sesuai untuk pertumbuhan padi gogo dan
dapat menghasilkan gabah kering 4-5 ton/ha (Ciat,
1984).

Cahaya Matahari
Cahaya matahari merupakan sumber energi
bagi pertumbuhan tanaman. Butir-butir hijau daun
mengabsorbsi panjang gelombang cahaya matahari
400 - 700 nm untuk membentuk karbohidrat melalui
proses fotosintesis. Cahaya matahari juga berpengaruh
terhadap produksi khlorofil tanaman, jumlah dan
komposisi khloroplast, struktur daun, bentuk daun
dan gerak menutup dan membuka stomata (Weaver
dan Clement, 1980 dalam Ginting, 2014).
Menurut Larcher (1975) pengaruh langsung
cahaya matahari terhadap tanaman ada tiga hal yaitu
sumber energi (photodestrucnectic effects), mengatur
perkembangan tanaman (photocybernectic effects) dan
merusak tanaman (photodestructiv effects). Pengaruh
lain adalah mengontrol transpirasi tanaman sehingga
berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara dan air
dari dalam tanah.
Kebutuhan intensitas cahaya matahari pada
setiap fase pertumbuhan tanaman padi gogo tidak
sama. Intensitas cahaya matahari rendah pada
fase vegetatif tidak berpengaruh nyata tetapi pada
fase reproduktif dan pematangan mengakibatkan

10 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


penurunan hasil gabah (Yoshida dan Parao, 1976
dalam De Datta, 1981).
Kebutuhan cahaya matahari bagi tanaman
padi gogo di awal pertumbuhan, jumlahnya kecil
kemudian meningkat dan mencapai maksimal pada
fase pembungaan dan kemudian menurun sampai
tanaman dipanen (Ginting, 2014). Hasil penelitian
Stansel et al. (1965) dan Stansel (1975) dalam De Datta,
(1981) menunjukkan bahwa masa kritis kebutuhan
cahaya matahari bagi pertumbuhan tanaman padi
dimulai pada fase pembentukan primordia bunga
sampai 10 hari sebelum pematangan gabah.

Suhu Udara
Tanaman padi gogo untuk pertumbuhan normal
membutuhkan suhu udara 20 – 30°C. Di bawah
suhu 20°C dan di atas 35°C merupakan suhu kritis
untuk pertumbuhan tanaman padi gogo. Suhu kritis
tersebut bervariasi menurut: varietas, lamanya suhu
kritis berlangsung, perubahan suhu harian siang dan
malam, serta kondisi fisiologi tanaman padi itu sendiri
(Yoshida, 1981 dalam Ginting, 2014).

Angin
Angin mempunyai dua fungsi dasar di alam yaitu
memindahkan panas dari wilayah lintang rendah
ke lintang tinggi sehingga terjadi keseimbangan
neraca cahaya matahari antara lintang rendah dan
lintang tinggi, dan memindahkan uap air hasil
proses evapotranspirasi. Dengan demikian angin
berpengaruh langsung terhadap hilangnya air melalui
proses evapotranspirasi (Lawson dan Alluri, 1985
dalam Ginting, 2014).

BIOEKOLOGI — 11
Kondisi angin biasanya minimum pada waktu
sekitar matahari terbit dan maksimum menjelang sore
hari, dan hal ini menyebabkan variasi kondisi angin
harian. Apabila angin hanya berhembus siang hari
sedangkan pada malam hari kondisi udara lembab
maka laju evepotranspirasi sekitar 30% lebih tinggi
dibanding dengan keadaan dimana kondisi angin
hanya terpusat pada malam hari (Santoso, 1984).
Menurut Lawson dan Alluri (1985), karena
sistem perakaran tanaman padi termasuk dangkal
pada lapisan tanah maka perlu dijaga keseimbangan
antara penyerapan air oleh tanaman dan kehilangan
air dari tanaman dan untuk itu maka kecepatan
angin yang terbaik adalah kecepatan sedang. Bila
kecepatan angin terlalu lambat, maka transportasi
air dan CO2 tidak efisien sehingga mengakibatkan
proses fotosintesis tanaman terbatas sedangkan bila
kecepatan angin terlalu cepat pada kelembaban udara
yang rendah maka akan mempercepat laju kehilangan
air dari tanaman dan tanah dan akibatnya akan
terjadi kekeringan (Laowson, 1984); Laowson dan
Alluri, 1985). Angin kencang dapat mengakibatkan
kerebahan tanaman serta mempercepat penyebaran
penyakit.

Tanah
Padi gogo sesuai ditanam di lahan yang berhumus,
struktur remah dan cukup mengandung air dan udara,
tanah yang cocok. Lahan yang sesuai untuk padi gogo
bervariasi mulai dari yang berliat, berdebu halus,
berlempung halus sampai tanah kasar dan air yang
tersedia diperlukan cukup banyak (Rahayu, 2009).
Padi dapat tumbuh baik pada tanah yang ketebalan
lapisan atasnya antara 18 - 22 cm dengan pH tanah

12 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


berkisar antara 4 – 7. Pada lapisan tanah atas untuk
pertanian pada umumnya mempunyai ketebalan
antara 10-30 cm dengan warna tanah coklat sampai
kehitam-hitaman dan tanah tersebut merupakan
tanah yang gembur sedangkan kandungan air dan
udara di dalam pori-pori tanah masing-masing 25%
(AAK, 1990).

Ketersediaan Air Tanah


Tanaman padi gogo sumber airnya berasal dari
air hujan yang diikat oleh tanah. Air tanah yang
tersedia yang dapat digunakan oleh akar tanaman
padi gogo selain dipengaruhi oleh jumlah curah hujan
juga dipengaruhi oleh tekstur tanah (Garrity, 1984;
Oldeman, 1984: Steinmetz et al., 1985 dalam Ginting,
2014), jumlah air yang hilang melalui evapotranspirasi
(De Datta dan Vergara, 1975; Ciat, 1984; Lawson, 1984;
Oldeman, 1984), kedalaman akar pada lapisan tanah
(Yoshida, 1975; Forest dan Klams, 1984), dan tinggi
rendahnya permukaan air tanah (Yoshida, 1975).
Air tanah yang tersedia bagi pertumbuhan
tanaman padi gogo merupakan air yang ditahan oleh
tanah antara kapasitas lapang dan titik layu permanen
dan kisarannya ditentukan oleh tekstur tanah. Steimetz
(1985) dalam Ginting (2014) melaporkan bahwa air
tersedia bagi pertumbuhan tanaman padi gogo pada
tipe tanah Latosol Kuning, Podsol Merah Kuning,
Latosol Merah Kekuningan dan Latosol Merah Gelap
berturut-turut adalah 0,6; 0,95; 1,01; dan 1,02 mm/
cm. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan
dalam kemampuan tanah menahan air. Kedalaman
akar pada lapisan tanah juga mempengaruhi air
tersedia bagi tanaman oleh karena air yang tersedia
akan meningkat pada lapisan tanah yang lebih dalam.
Varietas padi gogo yang memiliki sistem perakaran
BIOEKOLOGI — 13
yang dalam lebih tahan terhadap keadaan kekurangan
air dibandingkan dengan yang akarnya lebih dangkal,
oleh karena jumlah air tanah yang tersedia lebih
banyak bagi tanaman yang berakar dalam (Yoshida,
1975; Forest dan Klams, 1984).

Kebutuhan Air Tanaman


Kebutuhan air tanaman adalah jumlah air
yang dibutuhkan tanaman dari dalam tanah untuk
mengimbangi kehilangan air melalui evapotranspirasi
dari tanaman sehat, tumbuh di lahan luas, kondisi
air tanah dan kesuburan tanah tidak dalam keadaan
terbatas, serta dapat mencapai produksi potensial
pada lingkungan pertumbuhannya (Doorenbos dan
Pruitt, 1977).
Menurut Sitaniapessy (1982) kebutuhan air
tanaman disebut koefisien transpirasi dan merupakan
jumlah air yang diserap dari dalam tanah dan diuapkan
oleh tanaman untuk membentuk satu kilogram
bahan kering yang dinyatakan dalam satu kilogram
air. Menurut Seeman (1979) dalam Ginting (2014)
kebutuhan air tanaman selain dipengaruhi oleh faktor
iklim dan faktor tanah, kebutuhan air tanaman sangat
erat hubungannya dengan evapotranspirasi.
Menurut Chabrolin (1970) kebutuhan air untuk
pertumbuhan tanaman padi berkisar antara 5 – 6
mm/hari. Di Ibadan (Afrika) kebutuhan air padi
gogo varietas OS6 adalah antara 4 – 4.5 sampai 5 –
6 mm/hari (IITA, 1984). Lawson (1984) melaporkan
bahwa kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman
padi gogo lebih tinggi di daerah kering dibandingkan
di daerah basah yaitu 7.0 mm/hari untuk daerah
kering dan 3.5 mm/hari di daerah basah. Lebih lanjut
Lawson (1984) menyatakan bahwa kisaran kebutuhan

14 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


air maksimum bagi pertumbuhan tanaman padi gogo
adalah 4 - 6 mm/hari.
Menurut Yoshida (1975) tanaman padi
mengalami kekurangan air bila jumlah air yang hilang
melalui transpirasi lebih besar dari jumlah air yang
diserab akar dari dalam tanah. Kekurangan air tanah
akan mengakibatkan cekaman air (water stress) pada
tanaman.
Cekaman air terjadi bila evapotranspirasi
maksimum atau bila air yang tersedia dari tanah tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan
tanaman. Tanaman padi yang mengalami cekaman
kekurangan air mengakibatkan perkembangan
komponen tumbuhnya tertekan (Yoshida, 1975;
Ghidyal dan Tomar, 1982). Tinggi tanaman, jumlah
anakan, berat kering jerami, jumlah akar, berat kering
akar tanaman padi semakin berkurang bila cekaman
air meningkat. Tetapi panjang akar meningkat bila
cekaman air meningkat (Ghidyal dan Tomar, 1982).
Partohardjono dan Makmur (1993) menunjukkan
bahwa cekaman kekeringan tanaman padi yang
terjadi mulai pada fase primordia bunga sampai fase
pematangan biji akan menurunkan pertumbuhan
tinggi tanaman, jumlah gabah berisi per malai, berat
1000 butir gabah, nisbah gabah dan jerami, hasil gabah
per ha serta meningkatnya jumlah gabah hampa per
malai.
Menurut Yoshida (1975) tanaman padi yang
mengalami cekaman kekurangan air hasilnya
menurun karena jumlah anakan produktif rendah,
persentase gabah hampa tinggi, berbunga terlambat,
nisbah jumlah malai terhadap jumlah anakan rendah.
Oleh karena persentase gabah hampa lebih tinggi
pada keadaan cekaman kekurangan air maka Yoshida

BIOEKOLOGI — 15
(1975) menyimpulkan bahwa hasil yang rendah
padi gogo bukan saja diakibatkan oleh tertekannya
pertumbuhan akibat cekaman kekurangan air tetapi
juga akibat tingginya persentase gabah hampa.
Penurunan hasil akan semakin nyata bila
periode cekaman air terjadi pada 11 sampai 13 hari
sebelum pengisian biji (Yoshida, 1975) sedangkan
tekanan terhadap komponen tumbuh semakin nyata
bila cekaman air terjadi lebih awal pada waktu fase
vegetatif (Chang dan De Datta, 1975).
Utomo dan Nazaruddin (1996) dalam Ginting
(2014) juga melaporkan bahwa cekaman kekurangan
air selama pertumbuhan tanaman padi mengakibatkan
terjadinya hambatan terhadap pembentukan
dan pertumbuhan anakan, pembentukan malai,
pembungaan dan pembuahan yang berakibat bulir
padi yang dihasilkan hampa.
Tertekannya pertumbuhan dan rendahnya hasil
padi gogo pada cekaman kekurangan air terjadi karena
menurunya nisbah transpirasi (transpiration ratio).
Hal tersebut terjadi karena pada cekaman kekurangan
air stomata tertutup untuk menghindari kehilangan air
yang lebih banyak dari jaringan tanaman. Tertutupnya
stomata menyebabkan laju transpirasi menurun
sehingga pembentukan bahan kering menurun dan
hasil gabah rendah (Yoshida, 1975). Lawson (1984)
melaporkan bahwa hasil padi gogo varietas OS6 dan
ANDY-11 pada keadaan cekaman kekurangan air
masing-masing adalah sebesar 1,7 dan 2,6 ton/ha,
sedangkan bila ketersediaan air tanah cukup hasil
yang dicapai masing-masing varietas adalah sebesar
3,2 dan 3,7 ton/ha. Masing-masing varietas menurun
produksinya sebesar 47% dan 30% karena cekaman
kekurangan air.

16 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


BUDIDAYA
Varietas
3
Menggunakan varietas unggul merupakan
syarat utama dalam meningkatkan produksi padi.
Tersedianya varietas unggul yang variasi sangat
berguna bagi petani untuk mengganti varietas
antar musim dan juga mencegah petani menanam
satu varietas secara terus menerus dan juga dapat
mengoptimalisasikan serangan hama (Gani, 2000).
Setiap varietas adalah spesifik dapat menghasilkan
produksi yang optimal jika ditanam
pada area geografis yang sesuai. “Varietas adalah kelompok
Melihat sifat-sifat berbagai varietas tanaman dalam jenis atau spesies
unggul, serta adanya pengaruh tertentu yang dapat dibedakan
dari kelompok lain berdasarkan
geografis suatu daerah terhadap suatu sifat atau sifat-sifat
perkembangan padi, maka disuatu tertentu (Nurhayati, 2005).”
daerah yang memiliki ketinggian
tertentu hanya bisa ditanam dan
dikembangkan varietas tertentu pula (Andrianto dan
Indarto, 2004).
Jika perbedaan antara dua individu yang
mempunyai faktor lingkungan sama dapat di ukur,
maka perbedaan ini berasal dari faktor genotipe
kedua tanaman tersebut. Keragaman genetik menjadi
perhatian utama para pemulia tanaman, karena
dengan melalui pengelolaan yang tepat dapat di
hasilkan varietas baru yang lebih baik (Welsh, 2005).
Varietas-varietas padi yang dianjurkan
mempunyai kriteria-kriteria tertentu, misalnya umur
panen, produksi per hektar, daya tahan terhadap hama
dan penyakit. Varietas-varietas ini diharapkan sesuai
dengan keadaan tempat yang akan ditanami. Dengan
ditemukannya varietas-varietas baru (unggul) melalui
seleksi galur atau persilangan (crossing), di harapkan
varietas dapat di pertanggungjawabkan baik dalam
hal produksi, umur produksi, maupun daya tahan
terhadap hama dan penyakit (Andrianto dan Indarto,
2004).
Cukup banyak varietas padi gogo yang telah
dikenal petani. Berdasarkan umurnya dikenal padi
gogo berumur genjah, sedang dan dalam. Padi gogo
genjah merupakan jenis padi gogo yang umurnya, 110
hari. Padi gogo umur sedang berusia antara 110-124
hari. Padi gogo umur dalam memiliki usia 125 hari
(Prasetyo, 2007). Salah satu varietas baru padi gogo
yang potensial adalah situ patenggang yang berumur
genjah, produksi tinggi, rasa nasi pulen, tahan terhadap
wereng coklat biotipe 2 dan 3, hasil 3,6-5,6 ton/ha dan
umur 110-120 hari (Ooy Lesmana et al, 2002) (http://
jateng.litbang.deptan.go.id, 2011).
Varietas unggul merupakan salah satu komponen
teknologi yang memiliki peran nyata dalam
meningkatkan produksi dan kualitas hasil komoditas
pertanian. Selama ini sumbangan varietas unggul
terhadap peningkatan produksi padi nasional cukup
besar (Soewito et al., 1995). Cukup banyak varietas
padi gogo yang telah dikenal petani. Sejak tahun
1961 varietas anjuran mulai dilepas oleh Puslitbang
Tanaman Pangan dan jumlahnya meningkat
dari tahun ke tahun, namun minat petani untuk
membudidayakannya masih sangat rendah (Prasetyo,
2003).

18 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Karakter Kultivar Padi Gogo Lokal Sulawesi Tenggara

Berdasarkan petunjuk Daradjat et al., (2006) dan


Anonim (1994 dan 2006), dilaporkan oleh Taufik et
al. (2009) dan Wahab (2010) bahwa terdapat tujuh
kultivar padi gogo lokal Sulawesi Tenggara dengan
karakter yang beragam (Tabel 3.1). Karakteristik ke
tujuh kultivar/varietas dilihat dari perbedaan seperti:
karakter warna pelepah, kultivar pae Enggalaru
menunjukkan warna garis-garis ungu, varietas
Situpatenggang berwarna warna ungu, sedangkan
kultivar yang lainnya berwarna hijau; karakter bulu
pada permukaan daun, kultivar pae Kori, pae Bakala,
pae Wulo, dan varietas Situpatenggang menampakkan
permukaan daun berbulu, dan kultivar yang lainnya
tidak memiliki bulu pada permukaan daun.
Bentuk lidah daun acute hanya pada varietas
Situpatenggang dan bentuk lidah daun cleft ditunjukkan
pada kultivar pae Kori, pae Enggalaru, pae Endokadia,
pae Bakala, pae Wulo, dan pae Loiyo; karakter perilaku
batang rebah diperlihatkan pada kultivar pae Kori, pae
Enggalaru, pae Bakala, dan pae Wulo; perilaku batang
yang kuat pada pae Endokadia, pae Loiyo dan varietas
Situpatenggang; karakter penampilan malai agak tegak
sampai tegak diperlihatkan pada kultivar pae Kori, pae
Enggalaru, pae Endokadia, pae Bakala dan pae Wulo;
malai tegak pada pae Loiyo dan Situpatenggang.
Karakter bulu ujung gabah pada kultivar pae
Kori, pae Enggalaru, pae Endokadia, pae Bakala,
dan pae Loiyo sedangkan kultivar pae Wulo, dan
varietas Situpatenggang tidak ada bulu pada ujung
gabah karakter warna ujung gabah kultivar pae Wulo
memperlihatkan warna hitam pada ujung gabah,
pada kultivar/varietas pae Enggalaru, pae Bakala, pae
Wulo, dan Situpatenggang berwarna putih kekuning-

BUDIDAYA — 19
Tabel 3.1. Karakterisasi kultivar/varietas padi gogo
Kultivar/Varietas
Karakter
Pae Kori Pae Enggalaru
Warna pelepah Hijau Garis-garis ungu
Warna daun Hijau Hijau
Bulu pada permukaan daun Berbulu Tanpa bulu
Telinga daun Tidak ada Tidak ada
Leher daun Ada Ada
Lidah daun/ligula Ada Ada
Bentuk lidah daun Cleft Cleft

20 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Warna lidah daun Tidak berwarna Tidak berwarna
Perilaku helai daun Agak tegak Agak tegak
Perilaku batang Rebah Lemah
Penampilan malai Tegak sampai agak tegak Tegak sampai agak tegak
Bulu ujung gabah Ada Ada
Warna ujung gabah Hitam Putih kekuning-kuningan
Distribusi bulu ujung gabah Sepanjang malai Sepanjang malai
Keberadaan cabang sekunder Ada Ada
Pola penyebaran cabang malai Agak tegak sampai tegak Agak tegak sampai tegak
Pemunculan malai dari leher malai Muncul sempurna Muncul sempurna
Tabel 3.1. Lanjutan
Kultivar/Varietas
Karakter
Pae Endokadia Pae Bakala
Warna pelepah Hijau Hijau
Warna daun Hijau Hijau
Bulu pada permukaan daun Tanpa bulu Berbulu
Telinga daun Tidak ada Tidak ada
Leher daun Ada Ada
Lidah daun/ligula Ada Ada
Bentuk lidah daun Cleft Cleft
Warna lidah daun Tidak berwarna Tidak berwarna
Perilaku helai daun Agak tegak Agak tegak
Perilaku batang Kuat Rebah
Penampilan malai Tegak sampai agak tegak Tegak sampai agak tegak
Bulu ujung gabah Ada Ada
Warna ujung gabah Coklat kemerah-merahan Putih kekuning-kuningan
Distribusi bulu ujung gabah Sepanjang malai Sepanjang malai
Keberadaan cabang sekunder Ada Ada
Pola penyebaran cabang malai Agak tegak sampai tegak Agak tegak sampai tegak
Pemunculan malai dari leher malai Muncul sempurna Muncul sempurna

BUDIDAYA — 21
Tabel 3.1. Lanjutan
Kultivar/Varietas
Karakter
Pae Wulo Pae Loiyo Situpatenggang
Warna pelepah Hijau Hijau Ungu
Warna daun Hijau Hijau Hijau
Bulu pada permukaan daun Berbulu Tanpa bulu Berbulu
Telinga daun Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Leher daun Ada Ada Ada
Lidah daun/ligula Ada Ada Ada
Bentuk lidah daun Cleft Cleft Acute

22 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Warna lidah daun Tidak berwarna Tidak berwarna Tidak berwarna
Perilaku helai daun Agak tegak Agak tegak Agak tegak
Perilaku batang Rebah Kuat Kuat
Penampilan malai Tegak sampai agak tegak Tegak Tegak
Bulu ujung gabah Tidak ada Ada Tidak Ada
Warna ujung gabah Putih kekuning-kuningan Coklat kemerah-merahan Putih kekuning-kuningan
Distribusi bulu ujung gabah - Sepanjang malai -
Keberadaan cabang sekunder Ada Ada Ada
Pola penyebaran cabang malai Agak tegak sampai tegak Tegak Tegak
Pemunculan malai dari leher malai Muncul sempurna Muncul sempurna Sebagian muncul
kuningan pada ujung gabah, sedangkan pada kultivar
pae Endokadia, dan pae Loiyo menampakkan warna
coklat kemerah-merahan.
Karakter distribusi bulu ujung gabah sepanjang
malai ditunjukkan pada kultivar pae Kori, pae
Enggalaru, pae Endokadia, pae Bakala, dan pae
Loiyo, sedangkan kultivar/varietas yang tidak
memperlihatkan karakter distribusi bulu ujung gabah
adalah pae Wulo dan Situpatenggang; karakter pola
penyebaran cabang malai agak tegak sampai tegak
diperlihatkan pada kultivar: pae Kori, pae Enggalaru,
pae Enggalaru, pae Bakala, dan pae Wulo, sedangkan
kultivar/varietas yang karakter pola penyebaran
cabang malai tegak adalah kultivar pae Loiyo dan
varietas Situpatenggang.
Karakter pemunculan malai dari leher malai
muncul sempurna ditunjukkan pada kultivar: pae Kori,
pae Enggalaru, pae Endokadia, pae Bakala, pae Wulo,
dan pae Loiyo dan, sedangkan varietas Situpatenggang
menunjukkan pemunculan malai dari leher malai
muncul sebagian. Semua kultivar/varietas tidak
memperlihatkan perbedaan karakter yang menonjol
seperti warna daun, telinga daun, leher daun, lidah
daun/ligula, warna lidah daun, perilaku helai daun,
dan keberadaan cabang sekunder pada malai.
Rata-rata tinggi tanaman pada umur 1 – 9 MST
tertinggi diperoleh pada pae Endokadia sedangkan
pada umur 10 dan 11 MST tertinggi diperoleh pada
pae Bakala (126,40 cm). Rata-rata tinggi tanaman
terendah (104,10 cm) pada umur 1 – 11 MST diperoleh
pada varietas Situpatenggang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kultivar
pae Wulo, pae Bakala, pae Endokadia, pae Enggalaru,
pae Loiyo, Situpatenggang dan pae Kori memiliki rata-

BUDIDAYA — 23
rata diameter batang terbesar sampai terkecil masing-
masing secara berturut-turut 0,65 cm, 0,63 cm, 0,58
cm, 0,58 cm, 0,57 cm, 0,56 cm, dan 0,47. Pae Endokadia
memperlihatkan rata-rata panjang daun terpanjang
(58,53 cm), sedangkan varietas Situpatenggang
mempunyai panjang daun terpendek (35,11 cm). Pae
Wulo menampakkan rata-rata lebar daun terlebar (1,75
cm) sedangkan varietas Situpatenggang menunjukan
lebar daun tersempit (1,34 cm).
Tabel 3.2. Rata-rata diameter batang, panjang daun, dan lebar daun
pada kultivar/varietas padi gogo
Diameter Panjang Lebar
Kultivar/Varietas Batang (cm) Daun (cm) Daun (cm)
Pae Kori 0,47a 48,65a 1,47a
Pae Enggalaru 0,58a 49,94a 1,62a
Pae Endokadia 0,58a 58,53a 1,63a
Pae Bakala 0,63a 50,04a 1,67a
Pae Wulo 0,65a 53,68a 1,75a
Pae Loiyo 0,57a 50,48a 1,61a
Situpatenggang 0,56a 35,11a 1,34a

Pae Loiyo memiliki rata-rata persentase anakan


produktif tertinggi (97,28 anak) yang berbeda
nyata dengan kultivar varietas Situpatenggang, pae
Endokadia, pae Bakala, pae Wulo, tetapi berbeda
tidak nyata dengan kultivar pae Kori dan Enggalaru,
sedangkan varietas Situpatenggang menunjukkan
rata-rata persentase anakan produktif terendah (27,70
anak) yang berbeda nyata dengan semua kultivar.
Pae Endokadia memiliki rata-rata panjang
malai tertinggi (30,84 cm) yang berbeda nyata
dengan varietas Situpatenggang tetapi berbeda tidak
nyata dengan kultivar pae Kori, pae Enggalaru, pae

24 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Bakala, pae Wulo, pae Loiyo. Varietas Situpatenggang
mempunyai rata-rata jumlah malai per rumpun
tertinggi (27,45 malai) yang berbeda nyata dengan
semua kultivar dan kultivar pae Wulo memiliki rata-
rata jumlah malai per rumpun terrendah (9,15 malai)
yang berbeda nyata dengan kultivar pae Enggalaru
dan Situpatenggang tetapi berbeda tidak nyata dengan
kultivar pae Kori, pae Endokadia, pae Loiyo dan pae
Bakala.
Tabel 3.3. Rata-rata persentase anakan produktif, panjang malai, dan
jumlah malai per rumpun pada kultivar/varietas padi gogo
Jumlah malai
Persentase Anakan Panjang
Kultivar/Varietas per rumpun
Produktif (%) malai (cm) (malai)
Pae Kori 91,47ab 27,21a 10,65bc
Pae Enggalaru 89,26ab 26,31a 14,25b
Pae Endokadia 80,64b 30,84a 10,25bc
Pae Bakala 80,80b 30,34a 11,05bc
Pae Wulo 84,21b 27,48a 9,15c
Pae Loiyo 97,28a 28,16a 12,75bc
Situpatenggang 27,70c 19,25b 27,45a

Tabel 3.4. Rata-rata jumlah bulir dan bobot 1000 butir pada kultivar/varietas
padi gogo

Kultivar/Varietas Jumlah Bulir (bulir) Bobot 1000 Butir (g)

Pae Kori 211,75c 23,76e


Pae Enggalaru 186,55d 27,73b
Pae Endokadia 137,05f 30,89a
Pae Bakala 156,65e 30,88a
Pae Wulo 229,30a 23,10f
Pae Loiyo 222,85b 25,63d
Situpatenggang 104,70g 26,76c

BUDIDAYA — 25
Rata-rata jumlah bulir menunjukkan bahwa
pae Wulo memiliki rata-rata jumlah bulir tertinggi
(229,30 bulir) yang berbeda nyata dengan kultivar
lainnya. Sementara varietas Situpatenggang memiliki
jumlah bulir terrendah (104,70 bulir) yang berbeda
dengan semua kultivar lainnya. pae Endokadia
menampakkan rata-rata bobot 1000 butir tertinggi
(30,89 g) yang berbeda nyata dengan perlakuan pae
Kori, pae Enggalaru, pae Wulo, pae Loiyo dan varietas
Situpatenggang tetapi berbeda tidak nyata dengan pae
Bakala, sedangkan kultivar pae Wulo memiliki bobot
1000 butir yang terendah (23,10 g) yang berbeda nyata
dengan semua kultivar.

Kultivar Padi Gogo Beras Merah Lokal Aromatik


Hasil penelitian Taufik et al. (2016) menunjukkan
bahwa tinggi tanaman padi gogo beras merah lokal
aromatik dua bulan setelah tanam menunjukkan
bahwa efek aplikasi fungisida secara rata-rata lebih
tinggi dibandingkan dengan aplikasi Trichoderma
sp., rhizobakteria, campuran Trichoderma sp. dan
rhizobakteria dan kontrol.
H a s i l
penelitian
menunjukkan
bahwa aplikasi
agens hayati
baik secara
tunggal dan
campuran,
termasuk
apli kasi
fungisida
kontak berbahan aktif mankozeb berbeda tidak nyata.
Namun aplikasi agens hayati dan fungisida berbeda
26 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
nyata dengan kontrol. Rata-rata tinggi tanaman yang
diaplikasi dengan fungisida mencapai 128,33 cm,
Trichoderma sp. 126, 33 cm, rhizobakteria 124 cm,
dan campuran Trichoderma sp. dan rhizobakteria
mencapai 125,67 cm, sedangkan kontrol hanya 104,55
cm.

Tabel 3.4. Rata-rata jumlah malai dan bobot 1000 butir pada kultivar/varietas
padi gogo

Bobot 1000 Butir


Perlakuan Jumlah malai (g)
Kontrol 6,92c 188,35
Fungisida 15,23b 189,24
Trichoderma sp. 15,30ab 196,71
Rhizobakteria 18,03a 195,30
Trichoderma sp. + Rhizobakteria 13,93b 198,88

Jumlah malai tanaman padi gogo beras


merah lokal aromatik empat bulan setelah tanam
menunjukkan bahwa efek aplikasi rhizobakteria secara
rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi
fungisida, Trichoderma sp., campuran Trichoderma
sp. dan rhizobakteria dan kontrol. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aplikasi agens hayati rhizobakteria
(18,03 malai) berbeda nyata dengan fungisida (15,23
malai), campuran Trichoderma sp. dan rhizobakteria
(13,93 malai) dan kontrol (6,92 malai), tetapi berbeda
tidak yata dengan Trichoderma sp. 15,30 sedangkan
bobot 1000 butir beras merah lokal aromatik
menunjukkan bahwa efek aplikasi agens hayati tidak
berpengaruh terhadap bobot 1000 butir.
Jumlah bulir/malai tanaman padi gogo beras
merah lokal aromatik 4,5 bulan setelah tanam

BUDIDAYA — 27
menunjukkan bahwa efek aplikasi Trichoderma
sp. dan rhizobakteria secara rata-rata lebih tinggi
dibandingkan dengan aplikasi fungisida, Trichoderma
sp., rhizobakteria dan kontrol. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aplikasi agens hayati Trichoderma
sp. dan rhizobakteria (203,62 bulir) berbeda nyata
dengan fungisida (181,01 bulir) dan kontrol (183,48
bulir), tetapi berbeda tidak nyata dengan semua agens
hayati yang lain.

Lahan
Pengolahan tanah (tillage) adalah setiap kegiatan
manipulasi mekanis
terhadap sumberdaya tanah
yang diperlukan untuk
menciptakan kondisi tanah
yang baik bagi pertumbuhan
tanaman. Tujuan utama
pengolahan tanah adalah
menciptakan kondisi
tanah yang baik di daerah Lahan yang telah diolah dan siap ditanami
(Sumber: Taufik, 2016)

28 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


perakaran tanaman, mengendalikan gulma dan
membenamkan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah
(Ginting, 2014).
Moenandir (2004) menyatakan pengolahan
tanah sesungguhnya ialah tindakan penghancuran
bongkahan tanah besar menjadi berukuran lebih
kecil sehingga permukaan partikel tanah yang
mengakibatkan lebih luas hubungan antara akar
tanaman dan tanah. Keadaan ini memungkinkan
tanaman memperoleh nutrisi lebih dari cukup dan
mengakibatkan pertumbuhan tanaman baik dan
hasilnya menjadi baik pula.
Menurut Suhardi (1983) dengan adanya
pengolahan tanah akan diperolah kondisi tanah yang
baik ditinjau dari struktur tanah, porositas tanah,
keseimbangan antara air, udara dan suhu di dalam
tanah. Maka dalam budidaya tanaman pengolahan
tanah mutlak perlu untuk menciptakan lingkungan
tanah yang cukup baik. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa dengan seluruh proses pengolahan tanah akan
menghasilkan:
1. Meningkatkan sifat-sifat fisik tanah yaitu
menjamin memperbaiki struktur dan porositas
tanah, sehingga antara pemasukan air dan
pengeluarannya menjadi seimbang untuk
kehidupan tanaman.
2. Peredaran udara dalam tanah menjdi optimal yang
akan menjamin aktvitas biologi tanah menjadi
optimal.
3. Pertumbuhan tanaman menjadi baik di areal
pertanaman.
4. Adanya pengolahan tanah memungkinkan
peredaran air, udara, dan suhu di dalam tanah
menjadi lebih baik. Di dalam pertumbuhan
tanaman di areal tanam diperlukan udara, suhu

BUDIDAYA — 29
dan ketersedian air tanah yang optimal yang dapat
dibantu dengan adanya pengolahan tanah.
5. Mempermudah pemanfaatan unsur hara atau
pupuk yang diberikan di dalam tanah oleh
tanaman sehingga pertumbuhan tanaman akan
lebih baik.
Menurut Arsyad (1983) dengan dilakukannya
pengolahan tanah, maka tanah akan menjadi
gembur, dapat lebih cepat menyerap air hujan, serta
mengurangi aliran permukaaan atau run-off. Tetapi
pada lahan yang bertofografi miring pengaruh
tersebut hanya bersifat sementara karena tanah
yang diolah sampai gembur akan mudah tererosi.
Pengolalahan tanah dapat menekan pertumbuhan
gulma dan perkembangannya serta menciptakan
aerasi tanah yang baik. Tetapi bila kondisi populasi
gulma telah dapat ditekan dan aerasi tanah telah baik
maka pengolahan tanah tidak diperlukan lagi, sebab
dapat mengakibatkan meningkatnya kehilangan air
tanah dan kerusakan akar tanaman.
Moenandir (2004) juga menyatakan pengolahan
tanah dapat pula merawat kelembaban tanah dengan
menghindari run-off. Di daerah semi arid, 88% air
yang diperoleh dapat hilang secara run-off. Tanah
yang diolah dapat menahan air seperti itu dibanding
tanah tanpa olah. Dalam proses pengolahan tanah,
kedalamanan pembajakan tanah menurut Suhardi
(1983) dikelompokan atas empat golongan yaitu
pembajakan ringan dengan kedalaman berkisar 8 – 12
cm, sering dilakukan pada pertanaman padi sawah;
pembajakan sedang dengan kedalaman 15 – 20 cm,
paling banyak dilakukan dalam budidaya tanaman
pangan, terutama pada tanaman padi gogo, jagung
dan kentang; pembajakan dalam dengan kedalaman
30 – 35 cm dan pembajakan sangat dalam dengan

30 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


kedalaman lebih dari 35 cm, ini digunakan terutama
untuk tanaman keras.
Smith (1955) dalam Moenandir (2004)
mengutarakan bahwa proses pengolahan tanah ada
dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk memotong-
motong tanah sehingga menjadi longgar dan mudah
membalikannya (15 – 20 cm). Pengolahan tahap kedua
ialah untuk menghancurkan bongkahan tanah yang
masih besar dan sisa tanaman dari pengolahan tahap
pertama menjadi lebih halus lagi. Sisa-sisa tanaman
akan terpendam dan melapuk merupakan sumber
nutrisi berikutnya. Hasil akhir yang diperoleh ialah
terciptanya keadaan tanah yang baik dan sesuai unuk
pertumbuhan tanaman serta bebas gulma. Berapa
kali pengolahan tanah dilaksanakan tergantung dari
kebutuhan dalam mempertahankan struktur tanah
(Moenandir, 2004).
Menurut Hayes (1982) dikenal ada tiga macam
metode pengolahan tanah dalam budidaya tanaman
yaitu : pengolahan tanah sempurna (conventional
tillage), pengolahan tanah minimum (minimum tillage)
dan tanpa olah tanah (no-tillage). Pengolahan tanah
sempurna atau pengolahan tanah maksimum adalah
pengolahan tanah dengan melakukan pembajakan
tanah dua atau tiga kali kemudian dilakukan
penggaruan untuk penghalusan tanah, baru ditanami.
Pengolahan tanah minimum atau disebut juga
pengolahan tanah terbatas adalah pengolahan
tanah yang hanya dilakukan pada lokasi yang sangat
memerlukan saja misalnya pada barisan tanaman
atau pada piringan tanaman saja atau pengolahan
tanah hanya dilakukan satu kali saja. Pada metode
tanpa pengolahan tanah benih atau bibit tanaman
yang akan ditanam ditempatkan dalam tanah pada
celah yang sangat sempit atau pada parit kecil
BUDIDAYA — 31
yang dibuat sedemikian rupa sehingga lebar dan
dalamnya hanya untuk menutupi benih tanaman.
Pada sistem tanpa olah tanah sisa-sisa tanaman
dibiarkan dipermukaan tanah yang berfungsi
sebagai mulsa. Hasil penelitian Blevin et al., (1997)
menunujukan bahwa kandungan air tanah pada
sistem no-tillage lebih tinggi dibandingkan dengan
conventional tillage maupun minimum tillage.
Perbedaan kandungan air tanah terutama terjadi
pada lapisan kedalaman tanah antara 0 – 15 cm.
Pada lahan padi gogo pengolahan tanah yang
berlebihan tidak diperlukan bila gulma dapat
dikendalikan dengan herbisida pratanam (Seth et al.,
1971 dalam De datta dan Liagas, 1983). Padi gogo juga
memerlukan tanah yang cukup subur dan gembur
meskipun tanpa pengairan. Harus dibuat drainase atau
pembuangan air yang baik, guna mengatasi banyaknya
air hujan. Tanah yang cocok untuk pertanaman padi
gogo adalah tanah Alluvial (endapan), Latosol (tanah
merah) dan Grumosol (AAK, 1990).
Pengolahan tanah biasanya dilakukan pada
musim kemarau menjelang musim hujan. Tujuan
dilakukan pengolahan tanah pada penanaman padi
gogo adalah untuk memperbaiki aerasi atau tata udara
tanah, merangsang berkecambahnya biji dan sekaligus
memberantas gulma yang masih hidup. Disamping itu
pengolahan tanah dimaksudkan untuk memperoleh
tanah yang cukup gembur dan bersih dari herba
(rumput pengganggu) serta membuat permukaan
tanah rata (AAK, 1990).
Padi gogo harus dapat tumbuh pada berbagai
jenis tanah, sehingga jenis tanah tidak begitu
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil padi
gogo. Sedangkan yang lebih berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan hasil adalah sifat fisik, kimia dan
32 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
biologi tanah atau dengan kata lain kesuburannya.
Untuk pertumbuhan tanaman yang baik diperlukan
keseimbangan perbandingan penyusun tanah yaitu
45% bagian mineral, 5% bahan organik, 25% bagian
air, dan 25% bagian udara, pada lapisan tanah setebal
0 – 30 cm (Perdana, 2012).
Struktur tanah yang cocok untuk tanaman padi
gogo ialah struktur tanah yang remah. Tanah yang
cocok bervariasi mulai dari yang berliat, berdebu
halus, berlempung halus sampai tanah kasar dan air
yang tersedia diperlukan cukup banyak. Sebaiknya
tanah tidak berbatu, jika ada harus < 50%. Keasaman
(pH) tanah bervariasi dari 5,5 sampai 8,0. Pada pH
tanah yang lebih rendah pada umumnya dijumpai
gangguan kekahatan unsur P, keracunan Fe dan
Al. sedangkan bila pH lebih besar dari 8,0 dapat
mengalami kekahatan Zn (Perdana, 2012).

Penanaman
Ada beberapa cara untuk menanam padi gogo.
Lazim digunakan adalah ditugal dengan memakai alat
penugal untuk membuat lubang, yang dalamnya lebih
kurang 4 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 25
× 25 cm sampai 30 × 30 cm. Pada tiap lubang ditaruh
4 sampai 5 biji. Untuk satu ha diperlukan 30 kg benih
(Soemartono et al., 1979).
Budidaya padi gogo
umumnya menggunakan 3-5 biji
benih dalam satu lubang tanam,
apabila terjadi pemberian jumlah
benih yang terlalu banyak akan
menimbulkan persaingan unsur Kegiatan penugalan dan penanaman
hara dan ruang gerak untuk (Sumber: Taufik, 2016)
BUDIDAYA — 33
perkembangan akar serta anakan akan semakin
sempit sehingga akan mengakibatkan pertumbuhan
yang terhambat (Uphoff, 2001).
Pemakaian jumlah benih yang banyak (7-10 butir
per lubang tanam) menyebabkan terjadinya persaingan
dalam hal perolehan cahaya, unsur hara, CO2 dan
O2, dan juga ruang tumbuh. Kondisi yang demikian
akan menyebabkan pertumbuhan
tanaman lemah dan kerdil (Azwir
dan Syahrial, 2001). Penentuan
jumlah tanaman per lubang erat sekali
hubungannya dengan tingkat populasi
tanaman. Kepadatan tanaman akan
mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi tanaman. Penggunaan sarana
tumbuh yang optimal mendorong
terpacunya pertumbuhan yang lebih
baik, sehingga meningkatkan jumlah
bahan tanaman yang menjadi bibit
persatuan luas (Setyati, 1983).
Salah satu upaya untuk
meningkatkan produksi padi antara lain
melalui pengaturan jarak tanam. Jarak
tanam dipengaruhi oleh sifat varietas
padi yang ditanam dan kesuburan Penanaman benih padi gogo
tanah. Varietas padi yang memiliki sifat (Sumber: Taufik, 2016)
menganak tinggi membutuhkan jarak
tanam lebih lebar jika dibandingkan dengan varietas
yang memiliki daya menganaknya rendah (Muliasari
dan Sugiyanta, 2009).
Padi dengan jumlah anakan yang banyak
memerlukan jarak tanam yang lebih lebar. Pada tanah
yang subur sebaiknya diberikan jarak tanam yang
lebih lebar. Jarak tanam didaerah pegunungan lebih
rapat karena pertumbuhannya sedikit lambat. Jarak
34 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
tanam dilahan mempengaruhi tinggi rendahnya
produktivitas padi. Penentuan jarak tanam sendiri
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, sifat varietas,
kesuburan tanah, dan ketinggian tempat.
Bila varietasnya memiliki sifat merumpun tinggi
maka jarak tanamnya harus lebih lebar dari tanaman
yang memiliki jumlah merumpun yang rendah.
Kerapatan tanaman, sangat erat hubungannya dengan
jumlah malai persatuan luas dan jumlah gabah
permalai. Jumlah malai persatuan luas dan jumlah
gabah per malai terdapat suatu korelasi yang negatif,
artinya bertambahnya jumlah malai per satuan luas
(jarak tanam rapat) diikuti dengan turunnya gabah
per malai (Tobing dan Tampubolon, 1983).

Pemeliharaan
Tahapan pemeliharaan dalam budidaya padi
gogo secara garis besar meliputi pemupukan,
penyiangan gulma dan pengendaliaan hama dan
penyakit tanaman (dibahas pada bab terpisah). Pupuk,
terutama pupuk organik,
sangat berpengaruh
terhadap sifat-sifat
biologi tanah seperti
pengaruhnya terhadap
aktivitas organisme
tanah, jumlah, dan
perkembangan
mikroorganisme.
Mi k ro organ is me
juga membutuhkan
unsur hara untuk Tanaman padi gogo dalam masa pemeliharaan
(Sumber: Taufik, 2016)

BUDIDAYA — 35
kehidupannya, banyak membutuhkan unsur
hara N, P, K, dan Ca serta membutuhkan pH
sekitar 6. Berdasarkan hal-hal di atas pupuk dapat
mempengaruhi aktivitas dan perkembangan jasad-
jasad hidup tanah. Aktivitas mikroorganisme ini
sangat penting dalam hal perombakan bahan organik,
pelapukan protein menjadi asam-asam amino, proses
nitrifikasi yang pada akhirnya membebaskan unsur
hara seperti N, P, dan S, serta unsur-unsur mikro
(Damanik et al., 2010).
Penggunaan pupuk organik alam yang dapat
dipergunakan untuk membantu mengatasi kendala
produksi pertanian salah satunya adalah pupuk
organik cair. Pupuk organik ini diolah dari bahan
baku berupa kotoran ternak, kompos, limbah alam,
hormon tumbuhan dan bahan bahan alami lainnya
yang diproses secara alamiah selama 4 bulan. Pupuk
organik cair selain dapat memperbaiki sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah, membantu meningkatkan
produksi tanaman, meningkatkan kualitas produk
tanaman, mengurangi penggunaan pupuk anorganik
dan sebagai alternatif pengganti pupuk kandang
(Indrakusuma, 2000).
Penyiangan gulma merupakan tindakan
pengelolaan gulma yang bertujuan untuk mengurangi/
menghilangkan adanya kompetisi antara gulma
dengan tanaman. Penyiangan gulma dapat dilihat
sebagai tindakan pencegahan maupun tindakan
pengendalian gulma. Penyiangan gulma didasarkan
pada fase pertumbuhan gulma. Penyiangan yang
dilakukan sebelum gulma memasuki fase generatif
dapat mencegah perkembangan dan penyebaran
gulma melalui biji dan juga mencegah penambahan
biji gulma di dalam tanah (seed bank) (http://iirc.ipb.
ac.id, 2011).

36 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Pengendalian gulma dimaksudkan untuk
menekan atau mengurangi pertumbuhan populasi
gulma sehingga penurunan hasil yang diakibatkannya
secara ekonomi menjadi tidak berarti (Triharso,
2010). Kehilangan hasil oleh persaingan gulma adalah
34% pada tanaman padi tanam pindah, 45% pada padi
“tabela” (tanam benih langsung) di lahan sawah irigasi
dan tadah hujan, dan adalah 67% pada padi gogo (De
Datta, 1981 dalam Pane dan Jatmiko, 2005).
Tingkat persaingan tergantung pada curah hujan,
varietas, kondisi tanah, kerapatan gulma, lamanya
tanaman dan gulma bersaing, umur tanaman saat
gulma bersaing. Oleh sebab itu, secara ekonomi gulma
sangat merugikan usaha pertanian karena diantara
komponen produksi, biaya pengendalian gulma cukup
besar, sering lebih mahal dari biaya pengendalian
hama dan penyakit. Tanpa program pengendalian
gulma yang baik, petani mustahil memperoleh hasil
panen yang tinggi dan menguntungkan (Gupta, 1984
dan Moody, 1990 dalam Pane dan Jatmiko, 2005).
Dilihat dari fase
perkembangan tanaman
budidaya, gulma tidak harus
dikendalikan sepanjang
periode pertumbuhan
tanaman budidaya. Nietto
et al. (1968) menyatakan
bahwa kehadiran gulma
di sepanjang siklus hidup
tanaman tidak selalu
berpengaruh negatif Tanaman padi gogo memasuki fase generatif
terhadap produksi (Sumber: Taufik, 2016)
tanaman. Terdapat
fase dimana tanaman budidaya sensitif terhadap
keberadaan gulma dan keberadaan gulma pada fase

BUDIDAYA — 37
tersebut dapat menurunkan hasil secara nyata, disebut
sebagai periode kritis. Pada periode kritis tersebut
gulma perlu dikendalikan agar tidak terjadi kompetisi
yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas
tanaman (http://iirc.ipb.ac.id, 2011). Periode kritis
tanaman padi selama 8 minggu pertama setelah tanam
(Tobing dan Chozin, 1980).
Penurunan produksi pangan khususnya padi
akibat gulma masih tinggi yakni berkisar antara 6 –
87 persen. Data yang lebih rinci penurunan produksi
padi secara nasional sebagai akibat gangguan gulma
mencapai 15 – 42% untuk padi sawah dan padi gogo
47-87 %. Di Indonesia pemberantasan gulma masih
banyak dilakukan dengan cara manual yaitu mencabut
gulma dengan tangan. Selama masa pertumbuhan
padi biasanya dilakukan 2 kali penyiangan yaitu
penyiangan pertama pada waktu padi berumur 15 -17
hari dan penyiangan kedua pada waktu padi berumur
50 - 55 hari (http://pustaka.litbang.deptan.go.id, 2011).
Penyiangan gulma sangat diperlukan, agar
tidak terjadi persaingan dalam mendapatkan hara.
Pemberantasan gulma atau penyiangan biasanya
dilakukan dengan cara mekanis atau cara kimiawi,
meskipun cara yang terakhir ini masih jarang
dilakukan. Penyiangan pertama yang tepat dilakukan
pada waktu tanaman padi masih muda 3-4 minggu,
sebab tanaman yang masih muda sangat peka
terhadap lingkungan, terutama sulit bersaing dengan
pertumbuhan gulma yang kuat dalam menyerap hara
dalam tanah.
Saat dilakukan penyiangan, sekaligus dilakukan
pembumbunan tanah di sekitar tanaman. Penyiangan
diulangi lagi setelah tanaman berumur 60 hari.
Penyiangan ini diusahakan agar tanah disela-sela
38 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
tanaman menjadi gembur dan longgar, maka tanah
perlu dicangkul. Selanjutnya tanaman dibumbun lagi
kira-kira 1-2 minggu sebelum malai muncul (AAK,
1990).
Pengendalian gulma secara mekanis adalah
tindakan pengendalian gulma dengan menggunakan
alat-alat sederhana hingga alat-alat mekanis berat
untuk merusak atau menekan pertumbuhan gulma
secara fisik. Berdasarkan alat yang digunakan,
pengendalian secara mekanis dibedakan menjadi :
1. Manual (tenaga manusia): tanpa alat/alat-alat
sederhana seperti parang,arit, kored, dll.
2. Semi mekanis: tenaga manusia memakai mesin
ringan seperti mower (pemotong rumput).
3. Mekanis penuh memakai alat-alat mesin berat
seperti traktor besar, dll. (http://iirc.ipb.ac.id,
2011).
Penyiangan dengan tangan (hand weeding)
caranya dengan mencabut gulma yang ada di
pertanaman. Cara ini sangat efektif namun
membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak.
Penyiangan dengan alat misalnya dengan cangkul atau
dengan sorok. Cara ini sering digunakan karena dapat
menghemat tenaga kerja. Penggenangan air, cara ini
dapat menekan pertumbuhan jenis gulma tertentu.
Penggenangan dapat diatur atau disesuaikan dengan
stadia pertumbuhan tanaman (Sudarmo, 1991).
Menentukan waktu pengendalian yang tepat
sebenarnya berhubungan dengan saat-saat dimana
kehadiran gulma itu sangat menganggu, karena kalau
pada waktu itu gulma berasosiasi dengan tanaman
budidaya maka akan menyebabkan penurunan hasil
secara nyata. Saat-saat ini yang disebut dengan Periode
Kritis (Critical Period). Secara umum dapat dikatakan
bahwa periode kritis tersebut adalah 1/4 sampai 1/3
BUDIDAYA — 39
umur tanaman. Misalnya tanaman padi kita berumur
120 hari, maka periode kritis tanaman padi terhadap
gulma adalah pada saat umur 30-40 hari. Pada saat
inilah penyiangan (pengendalian gulma) harus
dilakukan (Pujiwati, 2005).

Panen
Penanganan pascapanen padi khususnya padi
gogo meliputi beberapa tahap kegiatan yaitu penentuan
saat panen, pemanenan, penumpukan sementara
di lahan sawah, pengumpulan padi di tempat
perontokan, penundaan
perontokan, perontokan,
pengangkutan
gabah ke rumah
petani, pengeringan
gabah, pengemasan
dan penyimpanan
gabah, penggilingan,
pengemasan dan
penyimpanan beras.
Dari rangkaian kegiatan Proses pemanenan
pascapanen tersebut, ada (Sumber: Taufik, 2016)
tiga kegiatan utama yang
saling terkait satu sama lain dalam mencapai tujuan
akhir yaitu mendapatkan beras giling yang mutu serta
rendemennya tinggi, yaitu; (1) panen, (2) pengeringan
dan (3) penggilingan (Sutrisno dan Raharjo 2004).
Menurut Hidayat (2014) bahwa tahapan proses
penanganan pascapanen padi yang dilakukan oleh
petani dimulai dengan penentuan umur panen pada
hamparan sawah. Penentuan umur panen dapat
dilakukan secara visual dengan melihat kenampakan

40 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


padi, melihat umur tanaman berdasarkan diskripsi
masing-masing varietas yang dikeluarkan oleh Balai
Besar Penelitian Padi maupun menggunakan tes
kadar air gabah.
Penentuan umur panen yang sering dilakukan
petani pada umumnya dengan melihat warna
malai padi yang dominan berwarna kuning. Umur
panen optimum sangat menentukan mutu maupun
kehilangan hasil saat panen. Padi yang dipanen
sebelum masak optimal akan menghasilkan kualitas
gabah maupun beras yang kurang baik. Umumnya padi
yang dipanen muda akan menghasilkan kualitas beras
dengan persentase butir
hijau dan butir mengapur
yang tinggi, rendemen
beras giling rendah,
dengan persentase beras
pecah dan menir tinggi
serta warna beras menjadi
kusam. Tahapan kegiatan
penanganan pascapanen
dimulai dari penentuan
umur panen sampai
dengan penggilingan.
Salah satu hal yang
sangat penting dalam
tahapan pascapanen
padi adalah proses
pengeringan. Proses
pengeringan dengan
sinar matahari apabila
dilakukan sesuai dengan
prosedur anjuran
Diagram alir tahapan kegiatan
(SOP) dan pada kondisi penangan pasca panen padi
cuaca yang cerah akan (Sumber: Hidayat, 2014)

BUDIDAYA — 41
mendapatkan hasil gabah kering giling yang baik.
Menurut Rohkani (2007) dalam Hidayat (2014)
pengeringan alami memanfaatkan sinar matahari
mempunyai beberapa keuggulan antara lain: (1)
Kualitas gabah relatif lebih baik karena adanya
karakteristik sinar infra merah yang berperan dominan
dalam pengeringan gabah, (2) Biaya pengeringan
relatif lebih murah, dan (3) Cara pengeringannya yang
lebih mudah/praktis.
Proses pengeringan dengan sinar matahari,
menggunakan energi dari sinar matahari sebagai
sumber tunggal untuk kebutuhan panas pengeringan
atau sebagai energi suplemen. Prosedur pengeringan
dapat melibatkan udara panas yang melewati bahan
atau secara langsung mengeringkan bahan dengan
radiasi sinar matahari atau kedua cara tersebut
(Ekechukwu & Norton, 1999 dalam Hidayat, 2014).
Jadi, pada pengeringan gabah pada sinar terjadi
dua macam proses secara bersamaan, yaitu, (1) proses
pengeringan secara konduksi dimana terjadi proses
pemanasan pada permukaan bahan atau gabah yang
kontak langsung dengan sinar matahari, dan (2) secara
bersamaan terjadi proses pengeringan di dalam gabah
oleh radiasi yang dapat menembus ke dalam. Kondisi
ini akan berbeda apabila panen dilakukan pada saat
musim hujan, dimana jumlah gabah yang melimpah
tidak sebanding dengan fasilitas pengeringan yang
dimiliki petani (lantai atau terpal jemur), selain itu
kondisi cuaca yang tidak mendukung (hujan atau
mendung) menyebabkan terjadi penundaan proses
penjemuran. Menurut Rohkani (2007) dalam Hidayat
(2014) penundaan penjemuran akan menyebabkan
turunnya mutu gabah dan beras giling yang dicirikan
adanya butir kuning dan gabah yang berkecambah.

42 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


HAMA UTAMA
Wereng Coklat
4
Nilaparvata lugens (Stal.)
Hemiptera: Delphacidae
Wereng sebelumnya termasuk hama
sekunder dan menjadi hama penting akibat
penyemprotan pestisida yang tidak tepat
pada awal pertumbuhan tanaman, sehingga
membunuh musuh alami. Pertanaman
yang dipupuk nitrogen tinggi dengan jarak
tanam rapat merupakan kondisi yang
sangat disukai wereng. Wereng Coklat
(Sumber: Syam & Wurjandari, 2005)
Stadia tanaman yang rentan
terhadap serangan wereng coklat adalah
dari pembibitan sampai fase matang susu. Gejala
kerusakan yang ditimbulkannya adalah tanaman
menguning dan cepat sekali mengering. Umumnya
gejala terlihat mengumpul pada satu lokasi melingkar
disebut hopperburn.

Hopperburn
(Sumber: Syam & Wurjandari, 2005)
Ambang ekonomi hama ini
adalah 15 ekor per rumpun. Siklus
hidupnya 21-33 hari. Mekanisme
kerusakan adalah menghisap
cairan tanaman pada sistem
vaskular (pembuluh tanaman).

Cara pengendalian
1. Pengendalian secara kultural
dan penanaman.
2. Varietas yang tahan wereng
coklat sangat dianjurkan.
Beberapa varietas yang
dilepas oleh IRRI yang
mengandung gen ketahanan
terhadap wereng coklat Serangan wereng coklat pada padi
gogo beras kultivar Unggoruno di
adalah IR26, IR36, IR56, IR64 fase vegetatif
dan IR72. Varietas tahan (Sumber: Taufik, 2016)
wereng coklat yang sudah
dilepas antara lain: Widas,
Ketonggo, Ciherang, Cisantana, Tukad Petanu,
Tukad Balian, Tukad Unda, Kalimas, Singkil,
Bondoyudo, Sintanur, Cimelati, Konawe, Batang
Gadis, Ciujung, Conde, dan Angke. Sewaktu-
waktu varietas tahan dapat menjadi rentan akibat
perubahan biotipe wereng coklat.
3. Pemberian pupuk K untuk mengurangi kerusakan.
4. Insektisida (bila diperlukan) antara lain yang
berbahan aktif: amitraz, buprofezin, beauveria
bassiana 6.20 x 1010 cfu/ml, BPMC, fipronil,
imidakloprid, karbofuran, karbosulfan,
metolkarb, MIPC, propoksur, atau tiametoksam.

44 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Wereng hijau
Nephotettix virescens (Distant)
Nephotettix nigropictus (Stahl)
Nephotettix cincticeps (Uhler)
Nephotettix malayanus Ishihara & Kawase
Hemiptera: Cicadellidae

Wereng hijau merupakan hama


penting karena dapat menyebarkan (vektor)
virus penyebab penyakit tungro. Kepadatan
populasi wereng hijau biasanya rendah,
sehingga jarang menimbulkan kerusakan
karena cairan tanaman dihisap oleh
wereng hijau namun karena kemampuan
pemencaran (dispersal) yang tinggi,
bila ada sumber inokulum sangat efektif
menyebarkan penyakit. Populasi wereng
hijau hanya meningkat pada saat tanam
hingga pembentukan malai. Kepadatan Wereng Hijau
populasi tertinggi pada saat itu mencapai 1 (Sumber: Syam & Wurjandari, 2005)
ekor per rumpun.
Gejala kerusakan yang ditimbulkannya adalah
tanaman menjadi kerdil, anakan berkurang, daun
berubah warna menjadi kuning sampai kuning oranye.
Ambang kendali adalah 5 ekor wereng hijau per
rumpun. Jika tungro juga ada di lapang, 2 tanaman
bergejala tungro per 1000 rumpun pertanda tungro
telah ditularkan dan dapat merusak tanaman. Siklus
hidup 23-30 hari.
Wereng hijau umumnya ditemukan di sawah
irigasi dan tadah hujan, tidak lazim di pertanaman
padi gogo. Wereng hijau lebih menyukai menghisap
cairan tanaman pada daun bagian pinggir daripada

HAMA UTAMA — 45
di pelepah daun atau daun bagian tengah. Hama ini
sangat menyukai tanaman yang dipupuk nitrogen
tinggi.

Cara pengendalian
1. Tanam varietas tahan wereng hijau seperti IR72
dan IR66.
2. Pengendalian dilakukan jika di lapang terlihat
gejala tungro.
3. Pemberian insektisida dilakukan apabila sudah
mencapai ambang batas ekonomi.
4. Insektisida (bila diperlukan) antara lain gunakan
yang berbahan aktif: BPMC, buprofezin,
etofenproks, imidakloprid, karbofuran, MIPC,
atau tiametoksam.

Walang Sangit
Leptocorisa oratorius (Fabricius)
Hemiptera: Alydidae
Walang sangit merupakan hama yang umum
merusak bulir padi pada fase pemasakan. Serangga
apabila diganggu akan mempertahankan diri dengan
mengeluarkan bau. Selain sebagai mekanisme
pertahanan diri, bau yang dikeluarkan
juga digunakan untuk menarik walang
sangit lain dari spesies yang sama.
Fase pertumbuhan tanaman padi
yang rentan terhadap serangan walang
sangit adalah dari keluarnya malai
sampai matang susu. Kerusakan yang
ditimbulkannya menyebabkan beras Walang Sangit
(Sumber: Syam & Wurjandari, 2005)

46 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


berubah warna dan mengapur, serta
hampa.
Ambang ekonomi walang
sangit adalah lebih dari 1 ekor
walang sangit per dua rumpun
pada masa keluar malai sampai Gabah yang terserang walang sangit
fase pembungaan. Mekanisme (Sumber: Syam & Wurjandari, 2005)
merusaknya yaitu menghisap
butiran gabah yang sedang mengisi.

Cara pengendalian
1. Kendalikan gulma di sawah dan di sekitar
pertanaman.
2. Ratakan sawah dan pupuk secara merata agar
pertumbuhan tanaman seragam.
3. Tangkap walang sangit dengan menggunakan
jaring sebelum stadia pembungaan.
4. Umpan walang sangit dengan menggunakan ikan
yang sudah busuk, daging yang sudah rusak, atau
dengan kotoran ayam.
5. Aplikasi insektisida dilakukan apabila serangan
sudah mencapai ambang ekonomi.
6. Aplikasi insektisida sebaiknya dilakukan pada
pagi-pagi sekali atau sore hari ketika walang sangit
berada di kanopi.
7. Penggunaan insektisida (bila diperlukan) antara
lain yang berbahan aktif: BPMC, fipronil,
metolkarb, MIPC, atau propoksur.

HAMA UTAMA — 47
Tikus
Rattus argentiventer (Rob. & Kloss)
Tikus merusak tanaman padi
padas semua stadium pertumbuhan
dari semai hingga panen, bahkan di
gudang penyimpanan. Kerusakan
parah terjadi jika tikus menyerang
padi pada stadium generatif, karena
tanaman sudah tidak mampu Tikus yang kena perangkap
membentuk anakan baru. Tikus (Sumber: Taufik, 2013)
merusak tanaman padi mulai dari
tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir, dan
menyisakan 1-2 baris padi di pinggir petakan pada
keadaan serangan berat.
Tikus menyerang padi pada malam hari. Pada
siang harinya, tikus bersembunyi di dalam lubang
pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah, pematang,

Gejala serangan tikus dengan kategori serangan fuso di Desa Lara,


Kecamatan Tirawuta, Kolaka Timur
(Sumber: Taufik, 2014/2015)

48 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada periode
bera, sebagian besar tikus bermigrasi ke daerah
perkampungan dekat sawah dan akan kembali lagi ke
sawah setelah pertanaman padi menjelang generatif.
Kehadiran tikus pada daerah persawahan dapat
dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki
(foot print), jalur jalan (run way), kotoran/feces,
lubang aktif, dan gejala serangan. Tikus berkembang
biak sangat cepat dan hanya terjadi pada periode padi
generatif. Satu ekor tikus betina dapat menghasilkan
80 ekor tikus baru dalam satu musim tanam.

Cara pengendalian
Pengendalian tikus dilakukan dengan pendekatan
PHTT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu) yaitu
pendekatan pengendalian yang didasarkan pada
pemahaman biologi dan ekologi tikus, dilakukan
secara dini (dimulai sebelum tanam), intensif
dan terus-menerus dengan memanfaatkan semua
teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu.
Pelaksanaan pengendalian dilakukan oleh petani secara
bersama-sama (berkelompok) dan terkoordinasi
dengan cakupan wilayah sasaran pengendalian dalam
skala luas (hamparan).
Kegiatan pengendalian yang sesuai dengan stadia
pertumbuhan padi antara
lain dapat dilihat pada
tabel disamping.
K e g i a t a n
pengendalian tikus
ditekankan pada awal
musim tanam untuk
menekan populasi
awal tikus sejak awal (Sumber: Syam & Wurjandari, 2005)

HAMA UTAMA — 49
pertanaman sebelum tikus memasuki masa reproduksi.
Kegiatan tersebut meliputi kegiatan gropyok masal,
sanitasi habitat, pemasangan TBS dan
LTBS.
Gropyok dan sanitasi dilakukan
pada habitat-habitat tikus seperti
sepanjang tanggul irigasi, pematang
besar, tanggul jalan, dan batas sawah
dengan perkampungan. Pemasangan
bubu perangkap pada pesemaian dan
pembuatan TBS (Trap Barrier System)/
Sistem Bubu Perangkap dilakukan pada
daerah endemik tikus untuk menekan
populasi tikus pada awal musim tanam.
TBS merupakan petak tanaman padi
dengan ukuran minimal 20 x 20 m yang
TBS
ditanam 3 minggu lebih awal dari tanaman (Sumber: Taufik, 2013)
di sekitarnya, dipagar dengan plastik
setinggi 60 cm yang ditegakkan dengan
ajir bambu pada setiap jarak 1 m, bubu perangkap
dipasang pada setiap sisi dalam pagar plastik dengan
lubang menghadap keluar dan jalan masuk tikus.
Petak TBS dikelilingi parit dengan
lebar 50 cm yang selalu terisi air untuk
mencegah tikus menggali atau melubangi
pagar plastik. Prinsip kerja TBS adalah
menarik tikus dari lingkungan sa wah
di sekitarnya (hingga radius 200 m)
karena tikus tertarik padi yang ditanam
lebih awal dan bunting lebih dahulu,
Parit
sehingga dapat mengurangi populasi (Sumber: Taufik 2013)
tikus sepanjang pertanaman.
LTBS merupakan bentangan pagar plastik
sepanjang minimal 100 m, dilengkapi bubu perangkap

50 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


pada kedua sisinya secara
berselang-seling sehingga
mampu menangkap tikus dari
dua arah (habitat dan sawah).
Pemasangan LTBS
dilakukan di dekat habitat tikus
seperti tepi kampung, sepanjang
tanggul irigasi, dan tanggul
jalan/pematang besar. LTBS
juga efektif menangkap tikus Pemasangan pagar plastik
(Sumber: Taufik, 2013)
migran, yaitu dengan memasang
LTBS pada jalur migrasi yang
dilalui tikus sehingga tikus dapat diarahkan masuk bubu
perangkap.
Fumigasi paling efektif dilakukan pada saat
tanaman padi stadia generatif. Pada periode
tersebut, sebagian besar tikus sawah sedang
berada dalam lubang untuk reproduksi.
Metode tersebut terbukti efektif membunuh
tikus beserta anak-anaknya di dalam
lubangnya. Rodentisida hanya digunakan Fumigasi
apabila populasi tikus sangat tinggi, dan (Sumber: Syam & Wurjandari, 2005)
hanya akan efektif digunakan pada periode
bera dan stadium padi awal vegetatif.

Penggerek Batang Padi


Penggerek batang padi kuning
Scirpophaga incertulas (Walker)... (1)
Penggerek batang padi putih
Scirpophaga innotata (Walker)... (2)
Penggerek batang padi bergaris
Chilo suppressalis (Walker)... (3)
Lepidoptera: Pyralidae

HAMA UTAMA — 51
Penggerek batang padi merah jambu
Sesamia inferens (Walker)... (4)
Lepidoptera: Noctuidae

Penggerek batang padi merupakan


hama yang sangat penting pada padi
dan sering menimbulkan kerusakan dan
menurunkan hasil panen secara nyata.
Terdapatnya penggerek di lapang dapat
dilihat dari adanya ngengat di pertanaman
dan larva di dalam batang.
Mekanisme kerusakan disebabkan larva
merusak sistem pembuluh tanaman di dalam Penggerek Batang
batang. Stadia tanaman yang rentan terhadap (Sumber: Syam & Wurjandari, 2005)
serangan penggerek adalah dari
pembibitan sampai pembentukan
malai. Gejala kerusakan yang
ditimbulkannya mengakibatkan
anakan mati yang disebut sundep
pada tanaman stadia vegetatif dan
beluk (malai hampa) pada tanaman Larva di dalam batang
stadia generatif. (Sumber: Taufik, 2016)

Gejala penggerek batang padi gogo lokal yaitu malai tumbuh tegak,
bulir padi hampa dan berwarna putih
(Sumber: Taufik, 2016)

52 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Siklus hidupnya 40-70 hari tergantung pada
spesiesnya. Ambang ekonomi penggerek batang adalah
10% anakan terserang; 4 kelompok telur per rumpun
(pada fase bunting). Perlu diketahui bahwa kerusakan
pada stadia generatif maka tindakan pengendalian sudah
terlambat atau tidak efektif lagi.

Cara pengendalian
Aplikasi insektisida dilakukan bila keadaan serangan
melebihi ambang ekonomi atau jika populasi ngengat
meningkat pada saat tanaman fase generatif. Gunakan
insektisida yang berbahan aktif: karbofuran, bensultap,
bisultap, karbosulfan, dimehipo, amitraz, atau fipronil.

HAMA UTAMA — 53
54 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
PENYAKIT UTAMA
Blas (Pyricularia oryzae Cav.)
5
Penyakit blas adalah penyakit utama pada
budidaya padi gogo. Hal ini sesuai yang telah
dilaporkan oleh Totok (2008) bahwa infeksi Pyricularia
oryzae adalah masalah utama pada tanaman
padi gogo. Sementara jika peningkatan produksi
padi gogo dengan mengoptimalkan pemupukan
seperti pemupukan N yang tidak tepat dosis dapat
menyebabkan pada peningkatan kerentanan tanaman
terhadap penyakit blas.
Hal ini sesuai
penelitian Hasfia
et al. (2012) bahwa
penambahan pupuk
NPK melebihi dosis
anjuran dapat merubah
tingkat ketahanan
tanaman menjadi
lebih rentan terhadap
penyakit blas (P. oryzae).
Bahwa padi gogo sangat Gejala penyakit blas pada padi gogo varietas nasional
rentan terhadap blas dan galur-galur uji
dapat dilihat pada padi (Sumber: Taufik, 2011)
gogo varietas nasional
seperti Situ Patenggang, Situ Bagendit dan Danau
Tempe serta beberapa galur padi gogo yang siap akan
dilepas.
Melalui hasil penelitian yang telah dilakukan
dalam tiga tahun terakhir membuktikan bahwa
varietas tersebut sangat rentan terhadap penyakit blas
dengan keparahan penyakit lebih dari 50% bahkan
pada kondisi tertentu fuso, sebaliknya beberapa
kultivar lokal seperti Endokadia, Bakala, Enggalaru
memiliki respon agak tahan terhadap penyakit blas
(P. oryzae) dengan tingkat keparahan penyakit 5
sampai 10% dibandingkan dengan varietas nasional
(Situpatenggang) dengan keparahan penyakit lebih
dari 50% dan pada beberapa kondisi mengalami fuso
(Taufik et al., 2011).
Hasil penelitian terbaru membuktikan bahwa
kultivar Bakala masih tetap tahan terhadap infeksi
P. oryzae (Taufik et al., 2013a). Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa kultivar lokal kita masih jauh
lebih tahan terhadap penyakit blas dibandingkan
dengan varietas padi gogo nasional.

Bercak Coklat (Helminthosporium oryzae)


Gejala khas penyakit ini adalah bercak berwarna
kecoklatan sebesar biji wijen pada daun, pelepah,
dan gabah. Penyakit ini dapat menyebabkan
hawar pesemaian, bila terjadi di pesemaian. Bibit
yang terinfeksi penyakit menjadi kerdil dan mati.
Gejala awal atau yang belum berkembang kecil, dan
melingkar, berwarna coklat tua atau coklat keunguan.
Bercak yang sudah berkembang penuh berwarna
coklat dengan pusat bercak berwarna keputih-putihan.
Daun dengan banyak bercak menjadi layu, kering,
dan mati. Keparahan penyakit akan bertambah pada
kondisi tanah yang miskin unsur kalium (K), dan

56 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


mampu bertahan hidup
pada gabah selama lebih
dari empat tahun, sangat
mudah berkembang
pada lahan marginal
yang berdrainase buruk
(Suprayono et al., 1982).
Hasil penelitian
yang telah dilakukan
oleh Daud (2011)
bahwa benih padi gogo Gejala penyakit bercak coklat
(Sumber: http://www.agronomers.com/2014/12, 2014)
dapat membawa patogen
seperti Helminthosporium oryzae dapat menyebabkan
rebah kecambah dengan kejadian penyakit sampai
44%, namun jika benih padi gogo diberi perlakuan
rhizobakteri lebih dahulu maka kejadian penyakit
terbawa benih (H. oryzae) hanya 14%. Penelitian
tersebut menggambarkan bahwa aplikasi rhizobakteria
cukup diandalkan karena dapat mereduksi kejadian
penyakit bercak coklat.

Hawar pelepah (Rhizoctonia solani)


Bila patogen menginfeksi bibit, maka bibit
sakit menjadi layu dan akhirnya mati. Bila terjadi
pada tanaman yang sudah berkembang, penyakit
menyebabkan bercak besar yang tidak beraturan pada
pelepah dan disebut hawar (blight). Pada awalnya,
bercak berbentuk lonjong, berwarna hijau keabuan,
dan berukuran panjang antara 1-3 cm. Pusat bercak
menjadi berwarna putih keabuan dengan tepi
berwarna coklat.

PENYAKIT UTAMA — 57
Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut: (1) hendaknya tidak menanam
terlalu rapat, (2) menggunakan pupuk nitrogen sesuai
dengan kebutuhan tanaman, (3) menggunakan pupuk
kalium dengan dosis 75-100 kg/ha., (4) Beberapa
fungisida seperti benomyl dan iprodione efektif
menekan penyakit ini (Sudir et al., 2001).

Gejala hawar pelepah pada gogo lokal kultivar Bakala


(Sumber: Taufik, 2013)

Cendawan Curvularia oryzae


Menurut Alexopoulos et al. (1996) bahwa C.
oryzae termasuk ke dalam Filum Ascomycota, Kelas
Loculoascomycetes, Genus Curvularia, Spesies
Curvularia oryzae Bugnic. Curvularia sp. adalah
cendawan hyphomycetes yang merupakan patogen
fakultatif bagi kebanyakan spesies tanaman, seperti
tanaman serealia dan rumput rumputan (CAB

58 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


International, 2005). Inang lain adalah jagung, nenas,
kubis, dan kelapa. Curvularia sp. dapat ditemukan di
daerah tropik maupun subtropik.
Cendawan ini memiliki hifa cokelat kehitaman
yang berseptat. Pada awal perkembangan miselium
berwarna putih ke abu-abuan namun ketika miselium
telah menua berubah menjadi warna coklat atau
kehitaman (Anonim, 2009). Konidia transparan
berukuran 8-14 × 21-35 μm. Konidiofor berwarna
cokelat, dengan bentuk sederhana atau bercabang
yang biasa disebut sebagai pertumbuhan genikulat
simpodial.

Gejala khas Curvularia oryzae


adanya kumpulan miselium pada permukaan gabah padi gogo
(Sumber: Taufik, 2013)

Konidia cendawan ini disebut juga prokonidia


yang lurus atau pyriform, cokelat, multiseptat, dan
memiliki tonjolan dasar hifa yang gelap. Septat yang
transparan dan membagi setiap konidium menjadi sel
yang berlipat-lipat. Septum pusat sering nampak lebih
gelap dibandingkan dengan yang lain. Pembengkakan
sel pusat menyebabkan konidium tampak bersiku
(Boedijn, 1933 dalam CABI International, 2005).

PENYAKIT UTAMA — 59
Terdapat satu atau lebih konidia pada konidiofor,
konidia dapat saling tumpang tindih, kedua ujung
konidia mengecil, septa yang keduanya biasanya lebih
lebar atau besar dibanding septa yang lain (Ou, 1985)
Gejala morfologi C. oryzae adalah bermould dan
hitam mengembang, koloni seperti beludru dengan
miselium bersepta. Spesies Curvularia sp. memiliki
miselium, konidiofor, dan konidia berwarna coklat
tua. Menurut Smiley et al., (1992) dalam (Taufik,
2013b), berdasarkan bentuk konidiumnya spesies
Curvularia dikelompokkan menjadi tiga tipe yaitu
pertama konidium terdiri dari tiga sekat, sel ketiga
dari pangkal lebih besar dari yang lain. Tipe kedua
konidium terdiri atas tiga sekat, dua sel ditengah lebih
besar dari sel-sel yang lain dan tipe ketiga konidium
mempunyai empat sekat, sel paling tengah lebih besar
dari yang lain (Siregar, 2003).
Mertin dan Altstatt (1940) dalam Ou (1985)
melaporkan bahwa penyebaran penyakit di lapang
dibantu oleh serangga. Lebih lanjut dilaporkan bahwa
tumpukan jerami dapat menjadi sumber inokulum
di Amerika Serikat dan C. lunata dilaporkan juga
menginfeksi tomat, cabai, kubis dan kacang-kacangan.
Cendawan C. oryzae pertama kali dilaporkan
berasal dari bulir-bulir padi yang menyebabkan
diskolorisasi (Busi et al. 2009; Butt et al. 2011). Spesies
ini umum ditemukan di daerah tropik dan subtropik
sebagai parasit fakultatif. dengan bentuk teleomorf
Cochliobolus dan Pseudocochliobolus (Busi et al. 2009).
Kerugian yang disebabkan infeksi C. oryzae pada padi
dapat mencapai 20% sampai 50% (Du et al. 2001).
Salah satu strategi untuk menekan kerugian
ialah dengan menanam varietas padi yang tahan.
Gejala infeksi C. oryzae terlihat ketika tanaman

60 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


telah menghasilkan malai. Bulir padi berubah warna
menjadi agak gelap cenderung hitam. Permukaan
bulir-bulir padi ditumbuhi miselium cendawan
yang berwarna cokelat kehitaman dan sering
kali membentuk lapisan hitam yang tebal. Bulir
padi terinfeksi mudah dibedakan dari bulir padi
yang tidak terinfeksi yang berwarna kekuningan.
Padi gogo kultivar lokal mulai menunjukkan
gejala pada 16 MST dengan keparahan penyakit
yang rendah dan meningkat pada 18 MST (Tabel
5.1) berturut-turut pada kultivar Pae Kori, Pae
Endokadia, dan Pae Enggalaru. Padi gogo galur
pengembangan menunjukkan gejala pada 18 MST
dengan keparahan penyakit lebih tinggi dibandingkan
dengan pada kultivar lokal berturut-turut pada galur
B11577E, B10580E, B11580E, dan TB368B (Tabel 5.1).
Tabel 5.1. Keparahan penyakit dan tipe ketahanan padi gogo terhadap infeksi
Curvularia oryzae (Taufik et al., 2012)
Kultivar/galur Keparahan penyakit (%) Tipe ketahanan
Pae Kori 12.72 Tahan
Pae Endokadia 6.35 Tahan
Pae Enggalaru 12.37 Tahan
B11577E 56.22 Rentan
B10580E 47.23 Agak rentan
B11580E 48.11 Agak rentan
TB368 62.97 Rentan

Tipe ketahanan tanaman berdasarkan


gejala yang muncul pada padi gogo kultivar
Pae Kori, Pae Endokadia, dan Pae Enggalaru
termasuk ringan dengan keparahan penyakit 25%
sehingga 4 galur tersebut digolongkan sebagai
galur agak rentan (B10580E dan B11580E) dan
rentan (B11577E dan TB368B) (Tabel 5.1).
PENYAKIT UTAMA — 61
Sumber infeksi C. oryzae di lapangan dapat
berasal dari cendawan yang terbawa benih atau dari
tanaman inang lain yang berada di sekitar pertanaman
padi, termasuk tumbuhan gulma seperti rumput-
rumputan Cyperus difformis dan C. iria (de Luna et al.
2002). Kondisi lapangan seperti di Desa Unggulino,
Kecamatan Puriala, Kabupaten Konawe, Provinsi
Sulawesi Tenggara dengan suhu berkisar 32.7-38.4
°C dan kelembapan 67.9- 84.2% diketahui sangat
mendukung infeksi dan perkembangan C. oryzae.
Keparahan penyakit yang tinggi pada galur
B11577E dan TB368B menunjukkan bahwa tanaman
tidak memiliki sistem pertahanan yang kuat untuk
menekan infeksi C. oryzae. Pada tanaman yang rentan
terjadi reaksi kompatibel antara inang dan patogen
sehingga patogen mampu memenetrasi dinding
sel tanaman inang, sebaliknya pada tanaman yang
tahan reaksi yang terjadi ialah reaksi inkompatibel
(Song dan Goodman 2001; de Luna et al. 2002).
Padi gogo yang diuji tergolong kultivar tahan
terhadap C. oryzae sehingga berpotensi untuk
digunakan sebagai tetua dalam program pemuliaan
tanaman padi unggul tahan penyakit, khususnya
tahan terhadap C. oryzae. Mekanisme ketahanan
kultivar lokal tersebut belum pernah diteliti. Secara
umum mekanisme ketahanan tanaman terhadap
infeksi patogen dapat terjadi melalui satu atau
kombinasi cara struktural dan reaksi biokimia.
Ketahanan secara struktural terjadi melalui
struktur penghambat fisik yang mengakibatkan
patogen tidak dapat menembus sel inang dan
berkembang. Ketahanan biokimia terjadi
melalui pembentukan senyawa yang bersifat
toksik atau menghambat pertumbuhan patogen.
62 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
Penelitian terkini tentang ketahanan padi
terhadap beberapa patogen menunjukkan adanya
peran gen-gen mayor yang berasal dari donor
resisten (Song dan Goodman 2001; de Luna et al.
2002). Ketahanan padi gogo lokal perlu diteliti
lebih lanjut dalam rangka penyusunan strategi
program pemuliaan padi gogo tahan C. oryzae.

PENYAKIT UTAMA — 63
64 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
AGENS HAYATI
Agens hayati adalah mikrorganisme yang karena
aktivitas hidupnya menyebabkan pertumbuhan
6
patogen yang ada di sekitar, permukaan dan di dalam
jaringan tanaman terhambat sehingga kemampuannya
untuk menyebabkan tanaman sakit menjadi tidak
optimal.
Berbagai agens hayati telah diujicobakan untuk
mengendalikan berbagai patogen tanaman baik
cendawan, bakteri dan virus, meskipun efektivitasnya
memang masih variatif namun ada kesimpulan yang
didukung oleh banyak peneliti bahwa agens hayati
adalah solusi alternatif yang baik untuk mengendalikan
penyakit tanaman dan merupakan salah satu bentuk
penerapan pertanian berkelanjutan, selain cara-cara
pengendalian konvensional.
Selama ini pengendalian penyakit hanya
bergantung pada penggunaan bahan kimia sintetis
yang secara ekologis tidak ramah lingkungan dan
reduksi penggunaan bahan kimia sintentis adalah
bentuk aplikasi pertanian yang berkelanjutan. Agens
hayati tidak hanya mampu mengurangi populasi
patogen tetapi juga memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman.
Kami mencoba mendefinisikan terminologi
konsorsium yaitu suatu cara pengendalian yang
menggabungkan lebih dari satu agens hayati dalam
satu kali aplikasi pada bagian tertentu dari tanaman
yang bertujuan mengendalikan satu atau lebih
patogen. Sebenaranya istilah konsorsium lebih banyak
digunakan pada terminologi ekonomi perusahaan,
yaitu gabungan beberapa perusahaan sehingga
perusahaan tersebut menjadi lebih efisien dan efektif,
atau membentuk suatu konsorsium untuk mengikuti
tender yang levelnya lebih tinggi karena jika tidak
membentuk konsorsium masing-masing perusahaan
tersebut tidak dapat mengikuti tender. Fenomena
yang sama terjadi pada agens hayati jika hanya bekerja
secara sendiri-sendiri maka akan sulit menghadapi
patogen yang semakin kompleks.
Penggunaan konsorsium agens hayati sebagai
solusi tepat untuk mengatasi persoalan penyakit saat ini
telah didukung oleh berbagai penelitian pendahuluan
yang kami lakukan membuktikan bahwa agens hayati
Trichoderma sp. cukup efektif mengurangi kejadian
penyakit layu pada tanaman tomat (Taufik, 2008).
Lebih lanjut dilaporkan bahwa aplikasi
rhizobakteri mampu menginduksi ketahanan tanaman
cabai terinfeksi CMV melalui akumulasi asam salisilat
(Taufik et al., 2010). Aplikasi mikoriza pada tanaman
jambu mete memperbaiki pertumbuhan tanaman
mete (Sarmin, 2012), atau penggunaan campuran
(konsorsium) rhizobakteria bersama dengan
trichoderma dapat meningkatkan tinggi tanaman
jambu mete (Anacardium occidentale) 12 cm lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol sakit (Taufik et
al., 2012).
Hasil penelitian tersebut mengilhami kami
menggunakan konsorsium agens hayati untuk
meningkatkan ketahanan padi gogo dari berbagai
infeksi penyakit dan saat yang sama mampu
menstimulasi pertumbuhan dan produksi padi gogo
(Taufik et al., 2013a).

66 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Melalui penelitian yang telah kami lakukan,
membuktikan bahwa faktor pemupukan dengan
beberapa taraf pemupukan sebagai petak utama dan
konsorsium sebagai anak petak. Hasil penelitian
membuktikan bahwa pemupukan sesuai rekemondasi
berbeda tidak nyata dengan pemupukan yang hanya
75% dari rekomendasi, secara mandiri (Tabel 6.1).
Tabel 6.1. Rata-rata tinggi tanaman padi gogo kultivar Bakala 11 minggu
setelah tanam
Rekomen- 75% 50% Mandiri
Perlakuan
dasi pupuk pupuk pupuk (Konsorsium)
Tanpa konsorsium 114,33 120,33 117,67 117,44
Trichoderma+
123,29 122,00 117,24 120,84
Mikoriza
Trichoderma+
123,05 119,24 117,66 119,98
Rhizobakteri
Rhizobakteri +
121,00 117,48 120,24 119,57
Mikoriza
Mandiri (Pupuk) 120,42a 119,76ab 118,20b

Hal menjelaskan bahwa dosis pemupukan dapat


dikurangi dari dosis anjuran. Implikasinya ke depan
adalah petani tidak perlu melakukan pemupukan
sesuai rekomendasi pemupukan jika penyiapan lahan
dilakukan secara baik dan penambahan bahan organik
dan dolomit dilakukan sesuai hasil analisis tanah
setempat. Pengurangan dosis tidak mempengaruhi
jumlah anakan padi gogo (Tabel 6.2). Oleh karena
itu mengurangi dosis pemupukan tidak mengurangi
pertambahan jumlah anakan padi gogo kultivar
Bakala, sebaliknya meningktan efisiensi dalam
budidaya padi gogo.
Jumlah malai yang diamati pada waktu
50% tanaman sampel telah menghasilkan malai

AGENS HAYATI — 67
Tabel 6.2. Rata-rata jumlah anakan padi gogo kultivar Bakala 11 minggu
setelah tanam
Rekomen- 75% 50% Mandiri
Perlakuan
dasi pupuk pupuk pupuk (Konsorsium)
Tanpa konsorsium 16,47 17,43 17,95 17,28
Trichoderma+
19,19 15,76 13,53 16,16
Mikoriza
Trichoderma+
20,52 21,00 16,00 19,17
Rhizobakteri
Rhizobakteri +
20,67 17,43 16,33 18,14
Mikoriza
Mandiri (Pupuk) 19,21a 17,90ab 15,95b

menunjukkan adanya interaksi antara kombinasi


taraf perlakuan pemupukan 75% dan konsorsium
Trichoderma dan rhizobakteria. Kombinasi perlakuan
tersebut menghasilkan rata-rata 5 malai lebih banyak
dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain
(Tabel 6.3).
Tabel 6.3. Rata-rata jumlah malai antar kombinasi pemupukan dan
konsorsium
Rekomendasi
Perlakuan 75% pupuk 50% pupuk
pupuk
15,09P 13,38Q 13,05P
Tanpa konsorsium
a a a
Trichoderma+ 15,05P 14,81Q 14,38P
Mikoriza a a a
Trichoderma+ 16,72P 19,08P 14,00P
Rhizobakteri a a a
Rhizobakteri + 18,28P 14,09Q 14,95P
Mikoriza a a a

Hasil pengamatan berat 1000 bulir menunjukkan


respon pada perlakuan mandiri konsorsium agens

68 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


hayati berbeda tidak nyata kecuali perlakuan
rhizobakteri dan mikoriza berbeda nyata dengan tanpa
agens hayati. Ada tren bahwa aplikasi konsorsium
dapat meningkatkan berat 1000 bulir kultivar lokal
Bakala dibandingkan dengan tanpa agens hayati, berat
1000 bulir perlakuan Trichoderma dan rhizobakteri
menghasilkan 2 g lebih berat dibandingkan dengan
tanpa agens hayati (Tabel 6.4).

Tabel 6.4. Rata-rata berat 1000 bulir (g) padi gogo lokal kultivar Bakala
Rekomen- 75% 50% Mandiri
Perlakuan
dasi pupuk pupuk pupuk (Konsorsium)
Tanpa konsorsium 27,33 26,67 26,78 26,93b
Trichoderma+
27,23 27,33 26,45 27,00ab
Mikoriza
Trichoderma+
28,53 27,94 26,67 27,71ab
Rhizobakteri
Rhizobakteri +
27,55 28,10 28,33 28,00a
Mikoriza
Mandiri (Pupuk) 27,66 27,51 27,06

Produksi padi gogo lokal juga menunjukkan


hasil yang cukup baik dengan rata-rata produksi
dapat mencapai 5 ton/ha dan berbeda nyata dengan
perlakuan tanpa konsorsium agens hayati (Tabel
6.5). Berdasarkan pada Tabel 6.5 telah menjelaskan
bahwa dengan menggunakan konsorsium yang
diikuti dengan dosis pemupukan yang lebih rendah
dari rekomendasi mampu menghasilkan gabah kering
giling 5 ton/ha.
Hasil ini berbeda dengan yang telah dilakukan
oleh Pirngadi et al., (2007) yang melaporkan produksi
gabah kering giling beberapa bahwa varietas padi gogo
seperti Situbagendit, Situpatenggang dan Batutegi

AGENS HAYATI — 69
Tabel 6.5. Rata-rata produksi padi gogo lokal bakala dalam ton/ha
Rekomen- 75% 50% Mandiri
Perlakuan
dasi pupuk pupuk pupuk (Konsorsium)
Tanpa konsorsium 4,58 3,73 3,87 4,06b
Trichoderma+
4,63 4,67 4,63 4,64ab
Mikoriza
Trichoderma+
4,64 5,29 4,33 4,75ab
Rhizobakteri
Rhizobakteri +
5,10 4,57 5,57 5,08a
Mikoriza
Mandiri (Pupuk) 4,74 4,57 4,60

hanya mencapai 3-4 ton/ha gabah kering giling.


Perbedaan hasil tersebut mungkin disebabkan oleh
varietas yang diigunakan, atau perbedaan tersebut
disebabkan oleh hasil aplikasi konsorsium agens
hayati.
Pirngadi et al. (2007) tidak menggunakan agens
hayati tetapi hanya menggunakan standar budidaya
padi gogo tanpa ada introduksi mikroba yang
menguntungkan. Produksi yang dicapai tersebut
sesungguhanya tidak berlebihan karena Toha dan
Darajat (2006) telah melaporkan bahwa potensi hasil
padi gogo dapat mencapai lebih dari 4 ton gabah
kering giling/ha. Hal ini memberikan gambaran
bahwa sesungguhnya angka 5 ton bukanlah hal yang
luar biasa tetapi sudah sesuai dengan potensi dari padi
gogo sendiri.
Mengenai pengamatan keparahan penyakit,
khusus penyakit utama padi gogo yaitu blas yang
disebabkan oleh P. oryzae menunjukkan tingkat
ketahanan padi gogo yang tinggi. Tingginya ketahanan
padi gogo yang dibuktikan dengan rendahnya gejala
visual penyakit blas yang ada permukaan daun.

70 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Gambaran tersebut telah memberikan informasi
bahwa konsorsium mampu melindungi tanaman
dari infeksi alami patogen P. oryzae mulai dari fase
vegetatif sampai pada saat sampai pada fase pengisian
bulir relatif lebih rendah pada fase pertumbuhan fase
generatif. Daun padi gogo relatif mulus dari infeksi
blas. Sebaliknya infeksi alamiah penyakit bercak
coklat disebabkan oleh H. oryzae lebih tinggi yang
terjadi pasca pengisian bulir (Tabel 6.6).
Tabel 6.6. Rata-rata keparahan penyakit bercak coklat pada kultivar padi Bakala
menjelang panen
Rekomen- 75% 50% Mandiri
Perlakuan
dasi pupuk pupuk pupuk (Konsorsium)
Tanpa konsorsium 67,78 68,89 75,19 70,62a
Trichoderma+
65,19 66,63 71,48 67,77b
Mikoriza
Trichoderma+
62,96 64,26 70,37 65,86c
Rhizobakteri
Rhizobakteri +
65,18 67,04 72,22 68,15b
Mikoriza
Mandiri (Pupuk) 65,28b 66,71b 72,31a

Dinamika epidemi penyakit tanaman


membuktikan bahwa keberadaan penyakit tanaman
di lapang cukup fluktuatif, infeksi berbagai patogen
sangat mungkin terjadi dengan intensitas kejadian dan
keparahan penyakitnya yang juga berbeda-berbeda.
Kompleksnya penyakit tanaman di lapang
membutuhkan strategi pengendalian penyakit yang
juga lebih tepat, oleh karena itu pengendalian penyakit
dengan menggunakan konsorsium agens hayati yang
terdiri atas berbagai mikroba yang bermanfaat bagi
tanaman tetapi merugikan bagi patogen sangat tepat.
Secara teori mekanisme kerja masing-masing mikroba

AGENS HAYATI — 71
tersebut berbeda, Trichoderma memiliki kemampuan
untuk memberikan pengaruh buruk terhadap patogen
cendawan (Taufik et al., 2012; Gusnawaty dan Taufik
2012 dan 2013a), salah satu anggota konsorsium
yaitu rhizobakteria yang memiliki keunggulan
menghasilkan fitohormon IAA, melarutkan fosfat,
mengkelat Fe dan memfiksasi N dan diisolasi dari tipe
tanah yang dominan di Sulawesi Tenggara yaitu merah
kuning (Khaeruni et al., 2010 dalam Taufik, 2013b).
Hasil penelitian Taufik et al. (2005) berhasil
membuktikan bahwa aplikasi rhizobakteri dapat
mengurangi keparahan penyakit akibat infeksi
CMV (Cucumber Mosaic Virus) dan ChiVMV
(Chilli Veinal Mottle Virus) pada tanaman cabai.
Lebih lanjut dilaporkan bahwa aplikasi rhizobakteri
mampu menginduksi ketahanan tanaman dengan
mengakumulasi asam salisilat sebagai indikator
aktivasi gen pertahanan tanaman (Taufik et al., 2010).
Penelitian lanjutan dengan memadupadankan
Trichoderma dan rhizobakteri pada tanaman
jambu mete (A. occidentale L.) terbukti mengurangi
penyakit jamur akar putih (JAP) yang disebabkan
oleh Rigidoporus sp. yang diinokulasi secara artifisial.
Peranan mikoriza juga telah dilaporkan memberikan
pengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman.
Hasil penelitian Halim (2009) menunjukkan
bahwa inokulasi 10 g mikoriza indigenous gulma
Imperata cylindrica pada tanah inceptisol Jatinangor
mampu meningkatkan produksi jagung sebesar 10
ton/ha dibandingkan tanpa inokukasi mikoriza.
Sarmin (2012) melaporkan bahwa mikoriza mampu
mengolonisasi akar tanaman mete sebesar 76%
sedangkan jika aplikasi mikoriza dipadukan dengan
trichoderma persentasenya mencapai 53% meskipun
diinokulasi dengan JAP. Merupakan pilihan yang
72 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
tepat menggunakan konsorsium agens hayati yang
berfungsi ganda meningkatkan ketahanan dan
produksi padi gogo. Selain itu efisiensi pemupukan
yang menggunakan bahan kimia sintetis dan aplikasi
agens hayati adalah cara-cara budidaya pertanian
yang berkelanjutan seperti tuntutan konsumen dan
masyarakat internasional sekarang ini.

Tampilan vegetatif kultivar Bakala sampai munculnya malai.


Infeksi penyakit bercak masih rendah namun menjelang
panen gejala bercak coklat mulai meningkat. Gejala khas
bercak coklat (bawah paling kanan)
(Sumber: Taufik, 2013)

AGENS HAYATI — 73
74 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
BAHAN BACAAN
Alexopoulos, C.J., C.W. Mims and M. Blackweel. 1996. Introductory
Mycology. John Wiley & Sons INC. Singapore. 866p
Aksi Agraris Kanisius, 1990. Budidaya Tanaman Padi. Kanisius.
Yogyakarta.
Andrianto, T. T., dan N. Indarto, 2004. Budidaya Dan Analisis Usaha
Tani Padi, Kacang Hijau, Kacang Panjang. Absolut. Yogyakarta .
Anonim, 1994. Koleksi dan Karakterisasi Plasma Nutfah Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.
Anonim, 2006. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi dan Palawija. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Anonim. 2014. Penyakit-penyakit penting pada tanaman padi.
http://www.agronomers.com/2014/12/penyakit-penting-pada-
tanaman-padi.html. Diakses pada tanggal 2 Januari 2015.
Arsyad, S. 1983. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-ilmu
Tanah. Fakultas Pertanian IPB Bogor.
Azwir dan Syafrial, A., 2001. Pengaruh umur dan jumlah bibit
terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah varietas batang
piaman. Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Jambi.
Blevins, R.L. D. Cook, S.H. Philip, And R.E. Philips. 1971. Influence
of No-Tillage on Soil Moisture. Agronomy Journal, 63:593-596.
Busi S, Peddikotla P, Suryanarayana M, Upadyayula, Yenamandra V.
2009. Secondary metabolites of Curvularia oryzae MTCC 2605.
Rec Nat Prod. 3(4):204-208.
Butt AR, Yaseen SI, Javaid A. 2011. Seedborne mycoflora of stored rice
grains and its chemical control. J Anim Plant Sci. 21(2):193-196.
[CABI] Commonwealth Agricultural Bureaux International.
2005. Crop Protection Compendium. Wallingford, UK: CAB
International. Disajikan dalam Compact Disk (CD).
Chozin, M.A., D. Sopandie, S. Sastrosumarjo dan Suwarno. 2000.
Physiology and Genetic of Upland Rice Adaptation to Shade.
Final Report of Graduate Team Research Grant, URGE Project.
Directorate General of Higher Education, Ministry of Education
and Culture.
Chang, Te-Tzu and S.K. De Datta. 1975. Agronomic Traits Needed in
Upland Rice Varieties Major Research in Upland Rice. IRRI, Los
Banos, Philippines.
CIAT. 1984. Upland Rice in Latin America. An Overview of Upland
Rice Research. IRRI, Los Banos, Philippines. p. 93-119.
Damanik, M. M. B., B. E. Hasibuan., Fauzi., Sarifuddin dan Hamidah,
H. 2010. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press. Medan.
Daud, L., 2011. Efek Rhizobakteria dalam Memacu Pertumbuhan
dan Mengendalikan Penyakit Terbawah Benih pada Tanaman
Padi Gogo (Oryza sativa L. ) Lokal Sulawesi Tenggara. [Skripsi]
Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman, Jurusan
Agroteknologi, Faperta Universitas Halu Oleo.
Daradjat, A.A., Suprihatno, B., dan Nafisah, 2006. Pedoman Konservasi
dan Aktualisasi Potensi Varietas Padi Lokal. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
De Datta, S.K. and B.S. Vergara. 1975. Climates of Upland Rice Regions.
Major Research in Upland Rice. IRRI Los Banos, Phlippines. p.
14-26.
De Datta, S.K. 1981. A Weed Control in Rice in South and Southeast
Asia. Weeds and Weed Control in Asia. FFTC Book Series No.
20:1-24.

76 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


De Datta, S.K., and M.A. Liages. 1983. Prospect for Reduced Tillage
Techniques in Rice and Rice-Based Cropping System. Proceeding
Symposium on Weed Control in Cropping System. Asian Pasific
Weed Science Society.
De Luna LZ, Watson AK, Paulitz TC. 2002. Reaction of rice (Oryza
sativa) cultivars to penetration and infection by Curvularia
tuberculata and C. oryzae. Plant Dis. 86(5):470-476. doi: 10.1094/
PDIS.2002.86.5.470.
Doorenbos, J. and W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for Predicting Crop
Water Requirements. Revised Food and Agriculture Organization
of United Nation. Rome.
Du PV, Loan LC, Cuong ND, Nghiep HV, Thach ND. 2001. Survey on
seedborne fungi and its effects on grain quality of common rice
cultivars in the Mekhong Delta. Omonrice. 9:107-113.
Forest, F and F.N. Reyners., J.M. Klams. 1984. Influence of Rainfall
Regime on Upland Rice Production: Water Demand Simulation.
An Overview of Upland Rice Research. IRRI Los Banos,
Phlippines. p. 143-160.
Gani, J. A., 2000. Padi Varietas Unggul Baru. Penerbit Instalasi
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram,
Mataram.
Garrity, D.P. (1984). Asian Upland Rice Enviroments. An Overview of
Upland Rice IRRI Los Banos, Phlippines. p. 143-160.
Ghildyal, B. P. and V.S. Tomar. 1982. Soil Physical Properties that
Affect Rice Root Systems under Drought Resistence in Crops
with Emphasis on Rice. IRRI Los Banos, Phlippines. p. 83-96.
Ginting, J. 2014. Pertumbuhan dan Produksi Varietas Padi Gogo di
Areal Tanaman Karet Belum Menghasilkan. [Disertasi] Program
Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Halim, 2009. Peran Mikoriza Indigenous Gulma Imperata cylindrica
(L.) Beauv dan Eupatorium odorata (L) terhadap kompetisi Gulma
dan Tanaman Jagung. [Disertasi] Program Doktor Universitas
Padjadjaran Bandung. 45-40 p. (tidak dipublikasikan).

BAHAN BACAAN — 77
Hasfiah, M. Taufik M, dan T. Wijayanto. 2012. Uji Daya Hasil dan
Ketahanan Padi Gogo Lokal Terhadap Penyakit Blas (Pyricularia
oryzae) pada berbagai Dosisi Pemupukan. Jurnal Berkala
Penelitian Agronomi, Vol 1 (1): 26-36.
Hayes, W.A. (1982). Minimum Tillage Farming. No-till Farmer Inc.
Brookfield, Wisconsin.
Hidayat, M.A. 2014. Inovasi Teknologi Untuk Pengelolaan Padi
(Oryza sativa) pada Proses Pengeringan dan Penggilingan
di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar
Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September
2014. Hlm: 155-163.
http://www.litbang.deptan.go.id. 2011. Pengaruh Pemupukan N
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo Dataran Sedang.
Akses tanggal 23 April 2011.
http://pustaka.litbang.deptan.go.id. 2011. Mesin Penyiang Gulma.
Akses tanggal 20 April 2011.
http://iirc.ipb.ac.id, 2011. Pengendalian Gulma secara Mekanis. Akses
tanggal 20 April 2011.
IITA. 1984. Upland Rice in Africa. An Overview of Upland Rice. IRRI,
Los Banos Philippines.
Indrakusuma. 2000. Proposal Pupuk Organik Cair Supra Alam Lestari.
PT Surya Pratama Alam. Yogyakarta.
Jiao, D.M., H.Y. Tong, and J.X. Zhang. 1993. Identification of
photosynthetic characteristics adapted to wide range of light
intensities in rice varieties. Chinese J. Rice Sci. 7(4):243-246.
Kastanja, A.Y. 2011. Kajian Penerapan Teknik Budidaya Padi Godo
Varietas Lokal. J. Agrof. 6(2):1907-7556.
Larcher, W. 1975. Physiological Plant Ecologi. Springer Verlag. Berlin
Heidelberg, New York. 251 p.
Laowson, T.L. 1984. Climate of Upland Rice in Africa. An Overview of
Upland Rice Research. IRRI, Los Banos, Philippines. p. 229-246.
Luh, B. S., 1991. Rice Production. An AVI Book. New York.
78 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
Moenandir, J. 2004. Prinsip-prinsip Utama Cara Menyukseskan
Produksi Pertanian: Dasar-dasar Budidaya Pertanian. Fakultas
Pertanian Univesitas Brawijaya, Malang.
Muliasari,A. A dan Sugiyanta., 2009. Optimasi Jarak Tanam dan
Umur Bibit pada Padi Sawah (Oryza sativa L.). Makalah Seminar
Departemen Agronomi dan Hortikultura. IPB – Bogor.
Murty K.S., S.K. Dey, P. Swain, and M.J. Baig. 1992. Low Light
Adapted Restorers of Different Maturity Durations for Hybrid
Rice Breeding. Int. Rice Res. Newsletter. 17(6):6-7.
Norsalis, E., 2011. Padi Gogo Dan Padi Sawah. http://repository.usu.
ac.id/bitstream/123456789/17659/4/Chapter%20II.pdf. Akses
tanggal 5 Desember 2011.
Nurhayati, T. K., 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Eska Media,
Jakarta.
Oldeman, L.R. 1984. Upland rice growing environment. Method for
Characterization and Zonation in Asia. An Overview of Upland
Rice Research. IRRI, Los Banos, Philippines. p. 247-274.
Ou, S.H., 1985. Rice Disease 2nd ed. CMI, England.58
Pane H dan S.Y. Jatmiko, 2005. Pengendalian Gulma pada Tanaman
Padi. http://www.litbang.deptan.go.id.
Partohardjono, P dan Makmur,A. 1993. Peningkatan produksi padi
gogo. Balittan – IPB Bogor.
Perdana, A.S. 2012. Budidaya Padi Gogo. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Pirngadi, K., H.M. Toha dan B. Nuryanto. 2007. Pengaruh pupuk N
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo Dataran Sedang.
Apresiasi Hasil Penelitian Padi: 325-338.
Prasetyo Y.T, 2007. Bertanam Padi Gogo Tanpa Olah Tanah. Swadaya,
Jakarta.
Priyastomo,V., Yuswiyanto., D.R. Sari., dan S. Hakim. 2006.
Peningkatan Produksi Padi Gogo Melalui Pendekatan Model
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Universitas
Muhammadiyah. Malang.
BAHAN BACAAN — 79
Pujiwati, I., 2005. Pengendalian Gulma pada Tanaman Pangan. http://
www.scribd.com. Akses tanggal 15 Mei 2011.
Pustaka Departemen Pertanian, 2009. http://www.pustakadeptan.
go.id.2009.pdf-Padi. Akses tanggal 24 Juni 2009.
Rahayu, M., Prajitno, D., dan Syukur A., Pertumbuhan vegetatif padi
gogo dan beberapa varietas nanas dalam sistem tumpangsari
di lahan kering gunung kidul, Yogyakarta. Universitas Gadjah
Mada (UGM). Yogyakarta.
Rahayu, T., 2009. Budidaya tanaman padi dengan teknologi MIG-
6 plus. http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/persyaratan-
tumbuh-padi-gogo. Akses tanggal 5 Desember 2011.
Santoso, M. 1984. Stasiun Meteorologi Pertanian dan Beberapa Cara
Pengolahan Data Iklim. Fakultas kehutanan IPB, Bogor.
Siregar, H., 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Sastra Hudaya.
Sitaniapessy, P.M. 1982. Pengaruh Iklim dan Cuaca terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman. Jurusan Agrometeorologi,
Fakultas Sains dan Matematika IPB, Bogor.
Setyati, S. 1983. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.
Soemartono, Samad, B., Hardjono, R., 1979. Bercocok Tanam Padi.
C.V. Yasaguna. Jakarta.
Soewito, T., S. Harahap dan Suwarno. 1995. Perbaikan varietas Padi
Sawah Mendukung Pelestarian Swasembada Beras. Dalam
Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Jakarta/
Bogor. 23-25 Agustus 1995. Kinerja Tanaman Pangan Buku 2.
Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian, p:398 – 411.
Song F, Goodman RM. 2001. Molecular biology of disease resistance
in rice. Physiol Mol Plant Pathol. 59(1):1-11. doi: 10.006/
pmpp.2001.0353.
Sopandie, D. M. A Chozin, S. Sastrosumarjo, Suwarno, A.P. Lontoh
and T. Takano. 1999. Upland rice tolerance to shade: Field
screening and preliminary study on physiological mechanisms.
Proceeding of International Plant Breeding Symposium.
Okayama, September 25-26, Japan.
80 — Padi Gogo si Mutiara Pangan
Sudarmo S, 1991. Pengendalian Serangga Hama Penyakit dan Gulma
Padi. Kanisius. Jakarta.
Sudir, Suprihanto dan Suparyono. 2001. Status penyebaran penyakit
hawar pelepah dan busuk batang padi di beberapa sentra
produksi padi. Disampaikan pada Kongres XVI dan Seminar
Nasional PFI, Bogor 22-24 Agustus, 2001.
Sugeng, H. R., 1998. Bercocok Tanam Padi. Aneka Ilmu. Semarang.
Suhardi. 1983. Dasar-dasar Bercocok Tanam. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Suprayono, A.S., Suriamihardja and T. Tjubarjat, 1982. Rice bacterial
pathotype group which attacks the IR36 group of rice variety.
Jurnal Ilmu Pertanian 3(5). 1982.
Sutrisno DR, Achmad, Jumali, Setyono A. 2006. Pengaruh kapasitas
kerja terhadap efisiensi pengeringan gabah menggunakan
box dryer bahan bakar sekam. Prosiding Seminar Nasional
Mekanisasi Pertanian. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian Bogor, Asosiasi Perusahaan Alat dan Mesin Pertanian
Indonesia. Hlm 331341.
Syiam, M. dan D. Wurjandari, 2005. Masalah Lapang Hama Penyakit
Hara pada Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. http://api.or.id/Data/HPH%20Pada%20Padi.pdf. Akses
08 November 2016.
Taufik, M., 2008. Efektivitas Agens Antagonis Trichoderma sp. pada
Berbagai Media Tumbuh Terhadap Penyakit Layu Tanaman
Tomat Hal: 240-249. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan
Tahunan XIX PEI PFI dan Balitserial Maros, 5 Nov 2008, ISBN
978-979-95026-8-1.
Taufik, M., A. Rahman, dan A. Nurmas. 2009. Analisis Sifat Ketahanan
Terhadap Blast dan Efektivitas Serapan Hara dan Air pada Padi
Gogo Unggul Lokal Potensi Produksi Tinggi (> 5 Ton/Ha) di
Sulawesi Tenggara. Laporan Hibah Kompetitif Penelitian sesuai
Unggulan Nasional Batch III.

BAHAN BACAAN — 81
Taufik, M., A. Rahman, A Wahab, dan S.H. Hidayat. 2010. Mekanisme
Ketahanan Terinduksi oleh PGPR (Plant Growth-Promoting
Rhizobacteria) Pada Tanaman Cabai Terinfeksi CMV (Cucumber
Mosaic Virus). Jurnal Hortikultura Vol. 20 (3): 273-283
Taufik, M. 2011. Evaluasi Ketahanan padi gogo lokal terhadap penyakit
blas (Pyricularia oryzae) di lapang. Agriplus, Vol. 21(1): 68-74.
Taufik, M., Mariadi dan H.S. Gusnawaty. 2012. The Utilization of
Trichoderma sp. and Rhizobacteria as Biological Agents to control
white root rot fungi disease (Rigidoporus sp) on Cashew Plant,
International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences
(ISSAAS) International Symposium & Congress. Theme “Pushing
Agriculture to Achieve the Millennium Development Goals”
Hotel St. Ellis and Bicol University, Legazpi City, Philippines on
November 13-16, 2012.
Taufik, M. , Asniah, Syair. 2012. Ketahanan Lapangan Padi Gogo
terhadap Infeksi Curvularia oryzae. Jurnal Fitopatologi Indonesia
Vol. 8 (2) :50-53.
Taufik, M., H.S. Gusnawaty, A. Nurmas, dan S. Alam. 2013a.
Pengembangan Konsorsium Agens Hayati dan Mikoriza Untuk
Meningkatkan Ketahanan dan Produksi Padi Gogo Sebagai
Penyangga Pangan Nasional. Laporan Penelitian Strategis
Nasional. Lembaga Penelitian Universitas Halu Oleo.
Taufik, M. 2013b. Pengelolaan Penyakit Tanaman Berbasis Konsorsium
Agens Hayati sebagai Penginduksi Ketahanan dan Pemicu
Produksi Padi Gogo sebagai Pengaman Ketahanan Pangan.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Penyakit Tanaman pada
Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, 31 Desember 2013.
Kendari.
Taufik, M., Sarawa M., LD. Santiadji, dan Syair. 2016. Peningkatan
Ketahanan dan Produksi Padi Gogo melalui Aplikasi Konsorsium
Mikroba Plus. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Halu Oleo. Laporan Penelitian MP3EI.
Triharso, 2010. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

82 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Tobing dan Tampubolon. 1983. Tanaman Pangan/
Sela. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Tobing dan Chozin, 1980. Pengendalian Gulma secara
Mekanis dan Kultur Teknis. http://iirc.ipb.ac.id.
Toha HM, Permadi K, Yuliardi. 2005. Peningkatan
produksi padi gogo melalui pendekatan model
pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu
(ptt). Bogor: Seminar Rutin Puslitbang Tanaman
Pangan. 28 Juli 2005.
Toha, H.M. dan A.A. Daradjat. 2006. Keragaan varietas
unggul dan galur harapan padi pada budidaya
padi gogo dan padi sawah. Seminar Rutin Balai
Besar Penelitian padi, Selasa, 1 Agustus 2006.
Uphoff, N. 2001. Oppurtunities for raising Yields
by Changing management Practices: The
System of Rice Intensification in Madagascar.
Agroecological Innovation: Increasing Roof
Production With Participatory Development.
Wahab, A. 2011. Karakterisasi Padi Gogo Lokal dan
Evaluasi Ketahanannya Terhadap Penyakit Blas
(Pyricularia oryzae) di Sulawesi Tenggara. [Tesis]
Pascasarjana Universitas Halu Oleo.
Watanabe, N., C. Fujii, M. Shirota, and Y. Furuta.
1993. Changes in chlorophyll, thylakoid proteins
and photosynthetic adaptation to sun and shade
environments in diploid and tetraploid Oryza
punctuata Kotschy and diploid Oryza eichingeri
Peter. Plant Physiol. Biochem. Paris. 31(4):469-
474.
Welsh, J.R., 1991. Dasar-Dasar Genetika dan
Pemuliaan Tanaman. Alih Bahasa J.P. Mogea.
Erlangga, Jakarta.

BAHAN BACAAN — 83
Yeo M.E., A.R. Yeo, and T.J. Flowers. 1994.
Photosynthesis and photorespiration in the genus
oryza. J. Exp. Bot. 45 (274):553-560.
Yoshida, S. 1975. Factors that Limit the Growth and
Yields of Upland Rice: 46 -47. In IRRI (ed.) Major
Research in Upland Rice. Los Banos. Philippines.

84 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


INDEX
A M
Agens hayati 65 Malai 6, 15, 16, 19, 20, 23, 24, 25, 27,
35, 39, 41, 21, 22, 21, 22
B Mikoriza 26, 27, 28, 57, 66, 68, 72
Bercak Coklat 56 P
Blas 55
Bulir 16, 25, 26, 27, 28, 46, 52, 68, Padi 2, 3, 5, 8, 9, 12, 18, 19, 26, 32,
69, 71 34, 41, 51
Bunga 6 Pae
Bakala 1, 20, 21, 22, 24, 25
C Besu 1, 20, 21, 22, 24, 25
Curvularia oryzae 58, 59 Endokadia 1, 20, 21, 22, 24, 25
Enggalaru 18
G Kori 18
Loiyo 18
Gabah 6, 47 Unggorunu 1, 20, 21, 22, 24, 25
gogo 1, 3, 5, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, Wulo 18
15, 16, 18, 19, 20, 24, 25, 26, Panen 2, 18, 37, 40, 41, 42, 48, 52,
27, 30, 32, 33, 34, 35, 37, 38, 71, 73
40, 44, 45, 52, 55, 56, 57, 58, Penggerek batang padi 51, 52
59, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 73 Pupuk 35, 36, 67, 68, 69, 70, 71
Gulma 29, 30, 31, 32, 35, 36, 37, 38,
39, 40, 47, 72 R
H Rhizobakteria 26, 27, 28, 57, 66, 68,
72
Hawar pelepah 57
S
K
Situpatenggang 19, 23, 24, 25, 26, 56,
Konsorsium 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 22
72, 73
Kultivar 2, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26
T
Tanah 2, 3, 5, 10, 12, 13, 14, 15, 16,
28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35,
36, 37, 38, 39, 56, 67, 72
Tikus 48, 49
Trichoderma 26, 27, 28, 66, 67, 68,
69, 70, 71, 72

V
Varietas 2, 8, 11, 14, 16, 17, 18, 19,
20, 23, 24, 25, 26, 27, 34, 35,
37, 41, 44, 46, 55, 56, 69, 70

W
Walang sangit 46
Wereng
Coklat 43, 44, 45
Hijau 43, 44, 45

86 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


CURRICULUM VITAE
Prof. Dr. Ir. Muhammad Taufik, M.Si., Lahir pada tanggal 24 Juli 1968
di Pangkajene, Sulawesi Selatan. Tahun 1981 tamat dari Sekolah Dasar
Negeri 41 Enrekang dan lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri
1 Enrekang pada tahun 1984. Pendidikan Menengah Atas diselesaikan
di SMA Negeri 374 Enrekang pada tahun 1987. Pada tahun yang
sama melanjutkan kuliah di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan memperoleh gelar
Insinyur Pertanian pada Tahun 1991. Pendididikan Magister dan
Doktor dibidang Ilmu Penyakit Tumbuhan (Fitopatologi) diselesaikan
di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor masing-masing pada
tahun 2000 dan 2005. Tahun 2013 dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Penyakit
Tanaman pada Fakultas Pertanian UHO.
Sejak tahun 1996 hingga sekarang, penulis bertugas sebagai staf pengajar tetap di Fakultas Pertanian
Universitas Halu Oleo Kendari, selama berkarier di UHO pernah menjabat sebagai Sekretaris
Laboratorium Agroteknologi Fakultas Pertanian UHO (2009-2011), Ketua Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian UHO (2012-2013), dan Kepala Divisi Kerjasama Dalam Negeri, LKHI-UHO
(2013- 2015). Aktif juga di organisasi keprofesian yaitu sebagai Ketua Perhimpunan Fitopatologi
Indonesia Komda Sulawesi Tenggara (2011-2015), Sekretaris FlipMas Wilayah (FW) Bumi Anoa
Sultra (2012- 2015), Ketua FW Bumi Anoa (2015-2018), Anggota Perhimpunan Mikoriza Indonesia
Cabang Kendari (2012-2013), Anggota International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences
(ISSAAS) tahun 2014-2015, dan Ketua Umum Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (2015-2017).
Penghargaan yang pernah didapat oleh penulis selama berkarier diantaranya yaitu sebagai Dosen
Berprestasi I Fakultas Pertanian UHO, Poster Terbaik pada seminar Hasil Pelaksanaan Program
Pengabdian Kepada Masyarakat Mono Tahun 2013, Berprestasi tingkat nasional dalam inovasi
pangan dan pertanian, dan Presenter terbaik pada Seminar Hasil Pengabdian Mono Tahun 2015.
Penulis banyak melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terkait dengan
pengelolaan penyakit tanaman (termasuk tanaman PADI GOGO) dan aktif bekerjasama
dengan instansi pemerintah seperti DIKTI, Kementan RI, pihak BUMN dan lain sebagainya.
Penulis juga sering tampil sebagai narasumber di instansi pemerintah di Sulawesi
Tenggara dan pemakalah di forum lokal, nasional, dan internasional. Terakhir
menjadi narasumber pada International ISSAAS, Conference Agricultural Sciences
for Sustainable Development” November 5-7, 2016 Vietnam National University of
Agriculture, Hanoi, Vietnam. Title: ROLE OF MICROBES IN PROMOTING PLANT
GROWTH AND IN INCREASING DISEASE RESISTANT OF UPLAND RED RICE.
Asmar Hasan, S.P., M.P., Lahir pada tanggal 20 April 1980 di
Wua-Wua, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penulis
menamatkan pendidikan Sekolah Dasar tahun 1992 pada SD
Negeri 01 Anduonohu Kota Kendari, kemudian melanjutkan studi
ke SMP Negeri Anduonohu Kota Kendari dan lulus pada tahun
1995. Selanjutnya lulus dari SMU Negeri 2 Kendari pada tahun
1998. Tahun yang sama penulis masuk ke UHO Program Studi
Ilmu Hama & Penyakit Tumbuhan melalui jalur PPMP dan lulus
tahun 2003. Tahun 2011 penulis melanjutkan studi ke jenjang S2
pada Program Studi Agronomi (Kajian Fitopatologi) Program Pascasarjana UHO
dan lulus pada bulan Juli 2013.
Sejak tahun 2004 penulis aktif bertugas sebagai tenaga dosen tidak tetap pada
Fakultas Pertanian UHO hingga pada tahun 2014 saat penulis ditetapkan sebagai
tenaga dosen tetap PNS. Selama berkarier di UHO, penulis pernah menjadi pengelola
database akademik (EPSBED dan SIAKAD On-Line) dan pengelola Laboratorium
Komputer Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian UHO (2012-2013), serta
menjadi anggota pengelola majalah ilmiah Agroteknos hingga sekarang. Penulis
juga menjadi anggota organisasi profesi Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI)
Komda Sulawesi Tenggara bidang sosial dan pengabdian kepada masyarakat (2011-
2014), bidang pendidikan dan pelatihan (2016-2017).
Selain mengajar, penulis juga sering diikutkan dalam penelitian, pengabdian
dan penulisan jurnal ilmiah yang dilakukan oleh dosen senior pada Fakultas
Pertanian UHO sebagai anggota sekaligus tenaga teknis pengolah data.
Penulis juga pernah menjadi pembicara pada Seminar Karantina Pertanian
“Sebaran OPT/OPTK di Sulawesi Tenggara” tahun 2012 di Kendari.

88 — Padi Gogo si Mutiara Pangan


Dr. Ir. Rahayu M., M.P., Lahir pada tanggal 02 Maret 1961 di
Watampone, Sulawesi Selatan. Tahun 1972 tamat dari Sekolah
Dasar Negeri 8 Watampone dan lulus dari Sekolah Menengah
Pertama Negeri 11 Watampone pada tahun 1975. Pendidikan
Menengah Atas diselesaikan di SMA Negeri Watampone pada
tahun 1979. Tahun yang sama melanjutkan kuliah di Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas
Hasanuddin dan memperoleh gelar Insinyur Pertanian pada
Tahun 1985. Pendididikan Magister dibidang Ilmu Hama
Tumbuhan diselesaikan tahun 1994 di Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Doktor dibidang Ilmu Pertanian (Kajian
Hama Tumbuhan) diselesaikan di Program Pascasarjana UHO Kendari pada tahun
2015.
Sejak tahun 1987 hingga sekarang, penulis aktif sebagai staf pengajar tetap di
Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kendari. Selama berkarier di UHO,
pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian (1996-2001), Ketua Wanita dalam Kelompok Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (WIPTEK) tahun 1996-1998 dan sebagai Kepala Laboratorium
Proteksi Tanaman (2016).
Penulis aktif melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terkait
dengan pengelolaan hama tanaman. Penulis juga sering tampil sebagai narasumber
di instansi pemerintah di Sulawesi Tenggara dan pemakalah di forum lokal,
nasional, dan internasional. Kegiatan yang baru saja diikuti yaitu sebagai
narasumber pada Seminar Nasional Pertanian dengan Tema Pengembangan
Pengembangan Pertanian Berkelanjutan yang Adaptif terhadap Perubahan
Iklim Menuju Ketahanan Pangan dan Energi dengan judul “Padat Populasi
dan Intensitas Serangan (Paraeucosmetus palliornis Dallas) pada Tanaman
Padi di Sulawesi Tenggara” yang dilaksanakan di Mataram, 12 November 2016.

CURRICULUM VITAE — 89
Dr. Ir. Andi Khaeruni R, M.Si., lahir pada tanggal 27 Juni 1967
di Sengkang, Sulawesi Selatan. Tahun 1981 tamat dari Sekolah
Dasar Negeri 7 Sengkang dan lulus dari Sekolah Menengah
Pertama Negeri 1 Sengkang pada tahun 1984. Pendidikan
Menengah Atas diselesaikan di SMA Negeri 1 Maros pada tahun
1987. Pada tahun yang sama melanjutkan kuliah di Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas
Hasanuddin dan memperoleh gelar Insinyur Pertanian pada
Tahun 1991. Pendididikan Magister dan Doktor dibidang Ilmu
Penyakit Tumbuhan (Fitopatologi) diselesaikan di Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor masing-masing pada tahun 1996 dan 2005.
Pada tahun 1994 hingga sekarang, penulis bertugas sebagai staf pengajar tetap
di Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kendari, selama berkarier di UHO
pernah menjabat sebagai kepala Laboratorium Unit Hama dan Penyakit Tumbuhan
(1999-2001), Kepala Kebun Percobaan Fakultas Pertanian (2010-2012), Kepala
Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi UHO (2012-2015), dan saat
ini sebagai Ketua Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian (2016-Sekarang).
Banyak melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terkait dengan
pengelolaan penyakit tanaman pangan dan hortikultura berbasis agens hayati
indigenos. Penulis juga sering tampil sebagai narasumber di instansi pemerintah
di Sulawesi Tenggara dan pemakalah di forum lokal, nasional, dan internasional.

90 — Padi Gogo si Mutiara Pangan

Anda mungkin juga menyukai