PEDOMAN PELAKSANAAN
PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM)
KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan rahmatNya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan buku Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM)
Kesehatan Balita pada Krisis Kesehatan. Buku pedoman ini menjelaskan langkah operasional
pelayanan kesehatan balita pada situasi bencana yang ditujukan bagi penyedia layanan kesehatan
dan penyedia bantuan kemanusiaan pada situasi bencana.
Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Balita pada Krisis
Kesehatan berisi latar belakang, tujuan, sasaran, dan dasar hukum penyelenggaraan pelayanan
kesehatan balita pada bencana, situasi kesehatan balita pada saat bencana termasuk jenis bencana
dan pengaruhnya terhadap balita, tahapan penanggulangan bencana dan pendekatan klaster, upaya
pada tahap prakrisis kesehatan, upaya pada tahap tanggap darurat krisis kesehatan, upaya pada
tahap pascakrisis kesehatan, pemantauan dan evaluasi pada setiap tahapan kegiatan.
Terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang turut berkontribusi dalam penyusunan hingga
terbitnya Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Balita pada
Krisis Kesehatan. Kami menyadari buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
saran/masukan sangat diharapkan guna penyempurnaan buku ini di masa yang akan datang. Semoga
pedoman ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam meningkatkan program kesehatan balita
dalam rangka terpenuhinya hak kesehatan anak pada situasi bencana.
ii DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
SAMBUTAN
Indonesia terletak di wilayah yang rawan bencana, baik bencana alam, non alam, maupun bencana
sosial. Bencana selain menimbulkan korban jiwa, juga dapat mengakibatkan kerusakan infrastruktur,
gangguan kesehatan fisik dan psikologis, terhentinya proses pendidikan, serta gangguan
kesejahteraan sosial dan keamanan. Kelompok yang paling rentan terdampak bencana diantaranya
adalah kelompok balita yang mudah terserang berbagai penyakit, karena sistem kekebalan tubuhnya
belum berfungsi dengan baik.
Masa balita merupakan masa emas pertumbuhan dan perkembangan fisik, psikososial dan mental,
yang memerlukan perlindungan dari orang dewasa. Situasi bencana seringkali menimbulkan krisis
kesehatan, yang antara lain ditandai oleh peningkatan kematian, kesakitan dan kecacatan pada
balita; serta risiko keterpisahan dari orang tua, yang berdampak pada kondisi fisik dan psikis balita.
Kondisi higiene dan sanitasi yang buruk serta tempat pengungsian yang tidak memadai dan tidak
ramah anak akan meningkatkan risiko terhadap penyakit infeksi, kekurangan gizi, trauma dan
kekerasan pada balita. Pelayanan kesehatan balita pada situasi krisis kesehatan merupakan bagian
dari upaya pemenuhan hak-hak anak yang perlu dipenuhi, khususnya hak untuk hidup, berkembang
dan mendapatkan perlindungan. Agar hak-hak tersebut dapat dipenuhi, pada situasi krisis
kesehatan, balita harus memiliki akses terhadap pelayanan multiprogram dan multisektor yang
terpadu.
Kementerian Kesehatan melalui Sub Klaster Kesehatan Reproduksi telah menerbitkan pedoman
PPAM Kesehatan Reproduksi pada tahun 2015 yang meliputi komponen kesehatan ibu dan bayi baru
lahir, kekerasan seksual, HIV/AIDS, kontrasepsi/keluarga berencana, dan kesehatan usia reproduksi
dan remaja, namun pedoman tersebut belum mengakomodir komponen kesehatan balita. Hal ini
sangat diperlukan untuk memastikan pelayanan kesehatan balita tetap dilaksanakan pada situasi
krisis kesehatan. Oleh karena itu perlu disusun buku Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN iii
Minimum (PPAM) Kesehatan Balita pada Krisis Kesehatan sehingga kebutuhan kesehatan balita
selama situasi krisis kesehatan dapat terpenuhi.
Saya menyambut baik terbitnya buku Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum
(PPAM) Kesehatan Balita pada Krisis Kesehatan ini dan saya berharap agar buku pedoman ini dapat
disebarluaskan untuk digunakan sebagai acuan bagi semua pemangku kepentingan di berbagai
tingkatan dalam memastikan ketersediaan pelayanan kesehatan balita pada situasi krisis kesehatan
melalui pendekatan klaster.
Penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan pedoman ini. Semoga upaya pemenuhan hak kesehatan anak khususnya balita dapat
terus kita tingkatkan.
iv DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ii
Kata Sambutan Iii
Daftar Isi iv
Daftar Lampiran-Gambar-Tabel-Boks vii
Daftar Singkatan ix
Daftar Istilah x
Bab I Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Sasaran 3
1.4 Dasar Hukum 3
Bab II Situasi Balita Pada Saat Bencana 5
2.1 Situasi Kesehatan Balita pada Bencana 5
2.2 Jenis Bencana dan Pengaruhnya terhadap Balita 8
Bab III Tahapan Penanggulangan Bencana dan Pendekatan Klaster 10
3.1 Tahapan Penanggulangan Bencana 10
3.2 Pendekatan Klaster dalam Bencana 12
Bab IV Upaya Pada Tahap Prakrisis Kesehatan 20
Bab V Upaya Pada Tahap Tanggap Darurat Krisis Kesehatan 25
5.1 Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Balita Pada Krisis Kesehatan 25
5.2 Alur Pelayanan Kesehatan Balita di Lokasi Bencana 36
5.3 Komponen dan Waktu Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Balita 37
Bab VI Upaya Pada Tahap Pascakrisis Kesehatan 41
6.1 Penilaian Status Kesehatan Balita 41
6.2 Penilaian Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Balita 41
6.3 Penyiapan Pelayanan Kesehatan Balita oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan 42
Setempat
6.4 Pendampingan Pelayanan Kesehatan 43
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN v
Bab VII Pemantauan dan Evaluasi 46
7.1 Pemantauan dan Evaluasi pada Prakrisis Kesehatan 46
7.2 Pemantauan dan Evaluasi pada Tanggap Darurat 47
7.3 Pemantauan dan Evaluasi pada Pascakrisis Kesehatan 48
Daftar Pustaka 50
Lampiran 51
vi DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
DAFTAR LAMPIRAN-GAMBAR-TABEL-BOKS
No Daftar Halaman
Lampiran
1 Penilaian Cepat (Rapid Health Assesment/RHA) Pelayanan Kesehatan Balita 51
2 MTBS untuk Batuk dan Sukar Bernapas 54
3 MTBS untuk Diare 55
4 MTBS untuk Demam 56
5 Logistik 58
6 Instrumen Status Kesehatan Balita 63
7 Instrumen Penilaian Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Balita 65
8 Media KIE terkait Bencana Asap 69
9 Media KIE terkait dengan PMBA 72
10 Media KIE terkait dengan Malaria 74
11 Tim Penyusun 75
Gambar
3.1 Tahapan krisis kesehatan 11
3.2 Klaster Bencana di Tingkat Nasional 13
3.3 Pusat Krisis Kesehatan Regional 15
3.4 Struktur Sub Klaster Kesehatan Reproduksi dan Komponen Kesehatan Balita di Tingkat 16
Pusat
3.5 Struktur Sub Klaster Kesehatan Reproduksi dan Komponen Kesehatan Balita di Daerah 17
Tabel
3.1 Komposisi Klaster Kesehatan Nasional 14
3.2 Peran Sub Klaster Kesehatan dalam Pelayanan Kesehatan Balita 18
5.1 Komponen PPAM Kesehatan Balita dan Waktu Pelaksanaan 38
7.1 Indikator dan Waktu Pemantauan pada Tahap Prakrisis Kesehatan 47
7.2 Indikator dan Waktu Pemantauan pada Tahap Tanggap Darurat 47
7.3 Indikator dan Waktu Pemantauan pada Tahap Pascakrisis Kesehatan 48
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN vii
Boks
1 Jenis Data Sekunder Kesehatan Balita pada Tahap Prakrisis Kesehatan 22
2 Logistik Pelayanan Kesehatan Balita 24
3 Ringkasan Kegiatan Kesiagaan pada Tahap Prakrisis Kesehatan untuk Pelayanan 24
Kesehatan Balita
4 Ringkasan Kegiatan pada Tahap Pascakrisis Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Balita 30
viii DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
DAFTAR SINGKATAN
ASI Air Susu Ibu
Basarda Badan SAR Daerah
Basarnas Badan SAR Nasional
BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah
CSR Corporate social responsibility
DVI Disaster victim investigation
IPAL instalasi pengolahan air limbah
KIA Kesehatan Ibu dan Anak
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MP ASI Makanan pendamping ASI
MTBS Manajemen terpadu balita sakit
PAUD Pendidikan anak usia dini
PFA Psychological First Aid
PHBS Perilaku hidup bersih dan sehat
PJ Penanggung-Jawab
PKK Pusat Krisis Kesehatan
PMBA Pemberian Makanan Bayi dan Anak
PPAM Paket Pelayanan Awal Minimum
SAR Search abd Rescue
SDIDTK Stimulasi, Deteksi dan lntervensi Dini Tumbuh Kembang
SPM Standar Pelayanan Minimal
STBM Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
Yankes Pelayanan kesehatan
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN ix
DAFTAR ISTILAH
Bencana. Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda dan dampak psikologis.
Rencana Kontinjensi. Rencana yang disusun dalam keadaan yang tidak menentu, dengan skenario dan
tujuan, tindakan teknis dan manajerial ditetapkan, serta sistem tanggapan dan pengerahan potensi
disetujui bersama untuk mencegah, atau menanggulangi secara lebih baik dalam situasi darurat atau
kritis.
Pengelolaan Kedaruratan. Seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan
kedaruratan, pada menjelang, saat dan sesudah terjadi bencana, yang mencakup kesiapsiagaan, tanggap
darurat dan pemulihan darurat.
Standar Pelayanan Minimum. Suatu penetapan tingkatan terendah yang harus dicapai pada tiap
bidang/sektor dan berfungsi sebagai tolok ukur untuk perencanaan program, mengukur dampak program
atau proses dan akuntabilitas.
Tanggap Darurat. Upaya yang dilakukan segera pada saat bencana untuk menanggulangi dampak yang
ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian.
Transisi. Tindakan yang harus dilakukan setelah rencana kontinjensi tersusun, baik terjadi bencana atau
tidak terjadi bencana.
Rumah Oksigen atau rumah aman asap. Rumah yang disediakan untuk mendapatkan udara bersih, pada
keadaan polusi asap yang pekat dalam waktu yang cukup lama, misalnya pada karhutla. Tersedia juga
masker dan oksigen bagi masyarakat yang membutuhkan, serta tempat bermain bagi balita.
x DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang rawan bencana, baik bencana alam (misalnya gempa, banjir, gunung
meletus, tsunami, kebakaran hutan dan lahan), maupun bencana non-alam, seperti situasi konflik.
Bencana selain menimbulkan korban jiwa, juga dapat mengakibatkan kerusakan infrastruktur,
gangguan kesehatan fisik dan psikologis, terhentinya proses pendidikan, serta gangguan
kesejahteraan sosial dan keamanan. Kelompok yang paling rentan terdampak bencana diantaranya
adalah kelompok balita yang mudah terserang berbagai penyakit, karena sistem kekebalan tubuhnya
belum berfungsi dengan baik. Masa balita merupakan masa emas pertumbuhan dan perkembangan
fisik, psikososial dan mental, yang memerlukan perlindungan dari orang dewasa.
Situasi bencana seringkali menimbulkan krisis kesehatan, yang antara lain ditandai oleh peningkatan
kematian, kesakitan dan kecacatan pada balita; serta risiko keterpisahan dari orang tua, yang
berdampak pada kondisi fisik dan psikis balita. Kondisi higiene dan sanitasi yang buruk serta tempat
pengungsian yang tidak memadai dan tidak ramah anak akan meningkatkan risiko terhadap penyakit
infeksi, kekurangan gizi, trauma dan kekerasan pada balita.
Pelayanan kesehatan balita pada bencana merupakan bagian dari upaya pemenuhan hak-hak anak
yang perlu dipenuhi, khususnya hak untuk hidup, berkembang dan mendapatkan perlindungan. Agar
hak-hak tersebut dapat dipenuhi, pada situasi krisis kesehatan, balita harus memiliki akses terhadap
pelayanan multiprogram dan multisektor yang terpadu. Pelayanan tersebut mempunyai ruang lingkup
yang luas, mencakup pencegahan dan penanganan berbagai penyakit infeksi (misalnya ISPA, diare,
campak, malaria, demam berdarah); gangguan gizi dan tumbuh-kembang; gejala stres akut, depresi,
trauma dan kekerasan. Selain itu kebutuhan dasarnya, seperti makanan bergizi, termasuk ASI bagi
bayi, imunisasi, sanitasi dan kebersihan diri perlu dipenuhi.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 1
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan balita pada saat bencana yang terkoordinasi dengan baik
dapat mencegah kematian, kesakitan, kecacatan dan kekerasan yang tidak perlu terjadi. Dewasa ini
pelayanan kesehatan balita pada situasi bencana belum terselenggara dengan baik, karena belum
adanya acuan dan sub-klaster yang menampungnya. Untuk keperluan tersebut, Pedoman
Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Balita pada Krisis Kesehatan ini
disusun agar dapat digunakan sebagai acuan bagi semua pemangku kepentingan di berbagai
tingkatan.
1.2 Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum penyusunan Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan
Balita pada Krisis Kesehatan adalah menyediakan acuan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
balita yang terkait dengan bencana guna mencegah kematian, kesakitan, kekerasan dan kecacatan
pada balita.
Tujuan Khusus
Tujuan khususnya sebagai berikut.
a. Tersedianya acuan tentang upaya yang perlu dilakukan sebelum terjadi bencana (tahap prakrisis),
yang merupakan kegiatan persiapan dalam menghadapi bencana yang mungkin timbul di
kemudian hari, terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan balita.
b. Tersedianya acuan tentang upaya yang perlu dilakukan pada saat bencana (tahap tanggap darurat
krisis kesehatan) terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan balita.
c. Tersedianya acuan tentang upaya yang perlu dilakukan pada pascabencana (tahap
pascakrisis/rehabilitasi) terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan balita.
d. Tersedianya acuan tentang pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan kesehatan
balita pada ketiga tahap tersebut di atas yang terkait dengan situasi bencana.
2 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
1.3 Sasaran
Sasaran Pedoman ini sebagai berikut.
a. Sektor Kesehatan dan sektor terkait, termasuk: pengelola program kesehatan, pengelola
penanggulangan krisis kesehatan, pengelola penanggulangan bencana dan tenaga kesehatan.
b. Pemerintah daerah dan jajarannya.
c. Mitra dalam penanggulangan bencana/situasi konflik.
d. Relawan.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 3
Lainnya.
o. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan.
p. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan
Kesehatan untuk Memberikan Informasi atas Adanya Dugaan Kekerasan terhadap Anak.
q. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
r. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak.
s. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2015 tentang Standar Kapsul Vitamin A bagi Bayi,
Anak Balita dan Ibu Nifas.
t. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi.
u. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2019 tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu
Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan.
4 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
BAB II
SITUASI BALITA PADA SAAT BENCANA
Balita termasuk kelompok yang paling rentan terdampak bencana, namun seringkali terabaikan.
Proporsi balita cukup besar diantara para pengungsi, namun kelompok ini belum mendapatkan
perhatian yang layak. Dalam situasi bencana, perlu dipastikan bahwa mereka terlindung dari bahaya
dan tercakup dalam pelayanan kesehatan serta pelayanan dasar lainnya secara memadai. Hal ini untuk
menjaga agar hak-hak anak tetap dapat terpenuhi, walaupun dalam situasi bencana1.
Balita menghadapi berbagai ancaman, seperti gangguan kesehatan yang ada dapat memburuk,
ancaman baru dapat muncul sewaktu-waktu dan kemungkinan kehilangan perlindungan. Ancaman
terhadap kelangsungan dan kualitas hidup balita meningkat, termasuk penyakit infeksi, malnutrisi,
cedera, terpisah dari keluarga, gangguan psikososial dan kekerasan fisik. Dampak dari berbagai
gangguan tersebut akan semakin nyata pada balita yang paling rentan, misalnya balita dengan
disabilitas, yatim-piatu, dan yang berasal dari kalangan minoritas.
Kapasitas dan kebutuhan balita bervariasi, tergantung umur dan tahapan perkembangannya, yang
sekaligus menentukan tingkat ketahanan mereka terhadap berbagai risiko yang dihadapi pada saat
bencana. Hal ini juga dipengaruhi oleh ketersediaan kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman
yang aman, air bersih, tempat berlindung dengan sanitasi yang memadai dan pelayanan kesehatan.
Seringkali kebutuhan dasar tersebut tidak bisa dipenuhi dengan baik pada saat bencana2.
1
Sphere Association. The Sphere Handbook: Humanitarian Charter and Minimum Standards in Humanitarian Response,
fourth edition, Geneva, Switzerland, 2018.
2 UNICEF and UN GLOBAL COMPACT. Children In Humanitarian Crises: What Business Can Do. September 2016.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 5
Pengaruh bencana terhadap balita dan orang dewasa sangat berbeda. Balita sangat rentan untuk
mengalami kesakitan dan trauma fisik, antara lain karena lebih mudah kedinginan, mempunyai lebih
sedikit cairan tubuh dan lebih banyak terpapar infeksi akibat sering bermain dengan tanah. Dalam
kondisi bencana, balita memerlukan perlindungan dari orang dewasa, karena mereka belum
memahami cara menyelamatkan diri. Mereka sangat ketakutan dan mungkin tidak mampu untuk
mengutarakan apa yang dirasakannya, sehingga balita yang didampingi orangtua atau pengasuhnya
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya.
Bencana dapat membawa dampak penyakit, di tengah kondisi serba darurat, maka penyakit akan
mudah datang dan menular. Pada umumnya, penyakit yang sering muncul pasca bencana, yaitu:
• Diare
Tercemarnya sumber air bersih rentan membuat pengungsi mengalami diare. Penyakit ini bisa
ditularkan oleh bakteri dan virus yang hidup di air, antara lain norovirus, Salmonella, dan V.
cholerae. Gejala utama diare adalah sakit perut, buang air besar terus menerus, yang biasanya
diikuti demam. Dalam tahap lanjut, penyakit diare juga bisa mematikan karena pasien mengalami
dehidrasi akut dan kekurangan nutrisi.
• Hepatitis A dan E
Hepatitis A dan E rentan menyerang pengungsi yang sumber airnya tercemar kotoran manusia.
Penyakit hepatitis biasanya membuat tubuh menguning, yang diiringi dengan mual muntah,
demam, dan juga perasaan lemas. Dengan penanganan tepat, penyakit hepatitis tidak akan
menghilangkan nyawa. Hanya saja, ibu hamil dan anak-anak patut berhati-hati karena bisa
mengalami komplikasi lanjutan.
• Tifoid
Terbatasnya akses sanitasi pasca bencana menyebabkan kualitas personal hygiene menurun dan
meningkatnya risiko penularan penyakit infeksi saluran pencernaan.
• Penyakit infeksi saluran pernapasan (ISPA, Influenza, Pneumonia, Tuberkulosis)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang bisa menyebabkan
kematian pada pengungsi. Penyakit ini berbahaya terutama jika menyerang anak - anak berusia
di bawah 5 tahun. Berkumpulnya banyak orang di tempat yang sempit, rendahnya asupan nutrisi,
6 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
dan paparan asap dari memasak yang dilakukan dengan api adalah faktor risiko ISPA yang harus
diperhatikan. Bencana merusak fasilitas rumah, fasilitas hunian dan bagunan lain dan
runtuhannya menyebabkan kualitas udarabdan suhu terganggu yang dapat menyebabkan
penumonis pada anak.
• Malaria
Keterbatasan di tenda darurat, serta terbatasnya ruang yang ada, maka nyamuk anopheles dapat
menginfeksi para korban. Malaria merupakan ancaman karena pengungsi tidur di luar rumah
tanpa perlindungan terhadap gigitan nyamuk.
• DBD
Saat terjadi bencana banjir, genangan air dapat menjadi sarang nyamuk aedes aegypti dan karena
pengungsi tidur di luar rumah tanpa perlindungan terhadap gigitan nyamuk.
• Leptospirosis
Biasa disebut penyakit kencing tikus adalah salah satu penyakit lainnya yang mengintai
pengungsi. Kencing tikus yang mencemari sumber air bersih bisa menginfeksi manusia hanya
dengan kontak atau terpapar di makanan. Penyakit ini rentan menimbulkan korban jiwa pada
anak - anak dan lansia yang daya tahan tubuhnya lebih rendah.
• Campak
Virus campak mudah menular pada kondisi pengungsian yang padat dan lingkungan jelek. Perlu
diperhitungkan juga ancaman tambahan, jika musim hujan akan segera tiba.
• Meningitis
Bakteri Neisseria meningitidis bisa menyerang orang - orang dalam jumlah banyak yang
berkumpul di satu tempat, seperti pengungsi. Demam, lemas, nyeri kepala, hingga perasaan lesu
mengintai orang yang terinfeksi penyakit ini. Penyakit ini bisa mematikan jika bakteri meningitis
menjalar ke bagian lain tubuh seperti paru-paru, otak, dan darah.
• Tetanus
Reruntuhan bangunan, besi atau paku bekas akibat bencana, bisa memicu terjadinya tetanus bila
melukai kulit. Tetanus disebabkan oleh racun saraf yang dikeluarkan oleh kuman yang terdapat
di tempat kotor. Kuman itu lalu masuk ke dalam sistem saraf dan berkembang biak melalui luka
yang terbuka.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 7
Stres psikologis akibat bencana dapat berakibat buruk pada balita, karena mereka belum bisa
memahami sepenuhnya tentang hal yang terjadi dan belum mempunyai kendali terhadap situasi yang
dihadapi. Mereka juga belum mempunyai pengalaman untuk bangkit dari situasi sulit3. Anak-anak
menunjukkan reaksi yang berbeda sesuai dengan usianya. Reaksi terhadap pengalaman traumatis
dibagi menjadi empat fase, yaitu:
• Gangguan stress akut
• Gangguan stress pascatrauma akut
• Gangguan pascatrauma kronis
• Gangguan pascatrauma awitan lambat
Reaksi bayi dan anak berumur 1-2 tahun sangat dipengaruhi oleh suasana kejiwaan orangtuanya
dalam menghadapi bencana. Bila orangtua panik dan cemas, maka anak-anak tersebut akan gelisah,
rewel dan mudah terkena penyakit. Anak usia prasekolah mudah merasa tidak berdaya dan terus
mengingat trauma psikis yang dialami akibat bencana. Hal ini mengakibatkan gangguan tidur dan anak
lebih banyak berdiam diri. Bimbingan untuk bermain dapat mengurangi masalah tersebut.
Bencana muncul dalam berbagai bentuk, yang tentu mempunyai dampak yang berbeda bagi mereka
yang mengalaminya, termasuk balita. Dalam berbagai bentuknya, bencana tetap menimbulkan efek
yang lebih berat bagi kelompok rentan, seperti balita. Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia
antara lain: gempa bumi, tsunami, likuefaksi, longsor, banjir, erupsi gunung berapi dan kebakaran
hutan/lahan, di samping bencana non-alam, seperti situasi konflik.
8 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Setiap jenis bencana memerlukan kewaspadaan dan tindakan yang berbeda untuk mengatasinya.
Namun, penanganan secara keseluruhan bagi mereka yang terpapar, termasuk balita, mempunyai
prinsip yang sama. Dalam situasi bencana apapun, prinsip melindungi balita dari bahaya dan
memastikan ketersediaan pelayanan kesehatan serta pelayanan dasar lain yang dibutuhkannya selalu
diterapkan. Berikut ini beberapa jenis bencana dan pengaruhnya pada balita.
1. Gempa bumi: biasanya terjadi tiba-tiba, dapat mengakibatkan kerusakan bangunan, tergantung
kekuatan gempa dan kualitas bangunan. Balita berisiko terjebak dan mengalami trauma fisik, di
samping trauma psikhis. Bantuan ke lokasi gempa tidak selalu mudah, sehingga pemenuhan
kebutuhan dasar dan ketersediaan pelayanan kesehatan mungkin terhambat.
2. Tsunami: gelombang yang tinggi dapat sangat destruktif, walaupun ada tanda peringatan tapi
waktu evakuasi sangat singkat. Balita memerlukan perlindungan dari keluarga untuk dapat segera
dievakuasi sebelum gelombang tsunami timbul.
3. Banjir: terkait dengan musim, kejadian dapat berlangsung lambat, cepat atau tanpa peringatan.
Dapat memutus akses dan mengisolasi masyarakat. Kerusakan tergantung pada tinggi air, luas
dan lamanya genangan, kecepatan aliran air. Dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat,
termasuk diare dan ISPA pada balita.
4. Tanah longsor: kejadian berlangsung cepat, dengan/tanpa peringatan, mengakibatkan kerusakan
bangunan. Biasanya memerlukan evakuasi dan tindakan medis segera, sementara akses ke lokasi
mungkin sulit. Balita berisiko terbawa oleh tanah longsor bila sedang berada di lokasi tanpa
pengawasan yang memadai.
5. Kebakaran hutan/lahan (karhutla) yang cukup luas: menimbulkan asap tebal di wilayah yang
cukup luas, melewati ambang batas untuk udara sehat. Kelompok rentan, termasuk balita akan
mudah mengalami infeksi dan gangguan pernafasan lainnya, termasuk serangan asma.
Pemerintah menyediakan bantuan logistik dan dukungan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan jenis
bencana yang terjadi. Misalnya pada karhutla, Pemerintah membagikan masker dan sesuai dengan
kebutuhan dapat menyediakan rumah/ruang bebas asap dan bantuan nebulizer untuk balita dan
kelompok rentan lainnya yang mengalami gangguan pernafasan. Pada banjir yang cukup tinggi, sarana
perahu karet digunakan sebagai transportasi untuk evakuasi atau untuk mengangkut logistik.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 9
BAB III
TAHAPAN PENANGGULANGAN BENCANA DAN PENDEKATAN KLASTER
Penanggulangan bencana perlu dimulai dengan upaya kesiagaan sebelum terjadi bencana dan
kesiapan dalam menghadapi bencana, khususnya untuk daerah yang berpotensi bencana. Hal ini akan
mengurangi dampak bencana secara keseluruhan. Hal tersebut juga berlaku untuk sektor kesehatan,
termasuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan balita. Pendekatan yang diterapkan selama ini
adalah pendekatan klaster yang bertujuan untuk memudahkan koordinasi. Klaster-klaster tersebut
saling terkait dan saling mendukung upaya yang dilakukan oleh tiap klaster.
Terdapat tiga tahapan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan balita yang terkait dengan
bencana. Pada setiap tahapan, pelayanan kesehatan mengutamakan pada pencegahan kejadian krisis
kesehatan yang lebih buruk, dengan memperhatikan aspek pengurangan risiko bencana. Ketiga tahap
tersebut sebagai berikut (lihat Gambar 1).
a. Tahap Prakrisis Kesehatan: merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum terjadi
bencana di daerah yang berpotensi bencana. Tujuannya adalah mempersiapkan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan ketika terjadi bencana, antara lain melalui peningkatan kapasitas sumber
daya setempat, termasuk:
i) perencanaan penanggulangan dan pengurangan risiko akibat krisis kesehatan;
ii) pendidikan dan pelatihan tentang kebencanaan;
iii) penetapan persyaratan standar teknis dan analisis penanggulangan krisis kesehatan;
iv) kesiap-siagaan dan mitigasi kesehatan.
10 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Pra Bencana - Tanggap darurat krisis Pasca Bencana -
Prakrisis Pasca krisis
b. Tahap Tanggap Darurat Krisis Kesehatan: merupakan serangkaian kegiatan pada saat terjadinya
bencana, yang bertujuan mengurangi risiko akibat bencana. Kegiatan dilakukan dengan segera
pada saat bencana untuk mengatasi dampak kesehatan yang ditimbulkan, yang meliputi:
i) kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban;
ii) pemenuhan kebutuhan dasar;
iii) perlindungan dan pemulihan korban; dan
iv) penyediaan prasarana serta fasilitas pelayanan kesehatan.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 11
darurat ditetapkan oleh Pemerintah, berdasarkan rekomendasi dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Dalam penanggulangan bencana diperlukan koordinasi dan kerja sama dari berbagai pihak di berbagai
tingkat, pemerintah dan swasta, serta masyarakat. Pendekatan klaster diterapkan untuk mengurangi
kesenjangan dan tumpang-tindih pemberian bantuan dan pelayanan. Klaster merupakan sekelompok
badan, organisasi dan/atau lembaga yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam
mengatasi kebutuhan suatu sektor – dalam hal ini sektor kesehatan – saat terjadi bencana.
Pendekatan klaster merupakan pendekatan koordinatif yang menyatukan semua pihak terkait, baik
pemerintah maupun non-pemerintah dalam upaya penanggulangan bencana.
Indonesia menerapkan pendekatan klaster dalam upaya tanggap darurat dan pemulihan dampak
bencana gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006 dan di Sumatera Barat pada tahun 2009.
Pembelajaran implementasi pendekatan klaster ini menunjukkan bahwa upaya penanggulangan
bencana menjadi lebih terkoordinasi dan efektif. Dibawah ini institusi dan klaster yang bertanggung
jawab dalam penanggulangan bencana.
a. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB): merupakan lembaga pemerintah non-
departemen setingkat menteri yang memiliki fungsi merumuskan dan menetapkan kebijakan
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi secara cepat, tepat, efektif dan efisien.
BNPB melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu dan menyeluruh di tingkat nasional.
b. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD): adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk
melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. Di tingkat
provinsi, BPBD dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat Eselon
Ib, sedangkan di tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
bupati/walikota atau setingkat Eselon IIa. Kepala BPBD dijabat secara rangkap (ex-officio) oleh
Sekretaris Daerah yang bertanggung jawab langsung kepada Kepala Daerah.
12 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
c. Klaster Bencana di Tingkat Nasional: pada tahun 2014 BNPB bersama Kementerian/Lembaga
terkait menyepakati pembentukan sistem klaster nasional melalui keputusan Kepala BNPB Nomor
173 Tahun 2015, yang terdiri dari 8 klaster (Gambar 2), yaitu:
i) Kesehatan
ii) Pencarian dan Penyelamatan
iii) Logistik
2) Klaster Bencana di Tingkat Nasional
iv) Pengungsian dan Perlindungan
Di Indonesia, pendekatan klaster internasional telah diimplementasikan dalam upaya tanggap darurat
v) Pendidikan dan pemulihan dampak bencana gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 dan Sumatera Barat tahun 2009.
Pembelajaran implementasi pendekatan klaster di Indonesia menunjukkan bahwa upaya penanggulangan
vi) Sarana dan Prasarana
bencana menjadi lebih terkoordinir dan efektif.
Pada tahun 2014, BNPB bersama Kementerian/Lembaga terkait menyepakati pembentukan sistem klaster
vii) Pemulihannasional
Dinimelalui keputusan Kepala BNPB Nomor 173 tahun 2015,yang terdiri dari 8 (delapan) klaster yaitu: (1)
Kesehatan, (2) Pendidikan, (3) Pengungsian dan Perlindungan, (4) Sarana dan Prasarana, (5) Pemulihan Dini,
viii) Ekonomi (6) Ekonomi, (7) Logistik, (8) Pencarian dan Penyelamatan. Pada klaster nasional, penanggung jawab bidang
kesehatan adalah klaster kesehatan dalam hal ini Kementerian Kesehatan sebagai koordinator.
Penanggung jawab Bidang Kesehatan di tingkat nasional adalah Klaster Kesehatan, yang
dikoordinasikan oleh Kementerian Gambar 3.Kesehatan
Klaster Bencanamelalui Pusat Krisis Kesehatan.
di Tingkat Nasional
KESEHATAN
KEMENKES
KEMENDAGRI BNPB
PENGUNGSIAN DAN
SARANA DAN PERLINDUNGAN
PRASARANA
KEMENSOS
KEMENTERIAN PU
PENDIDIKAN
KEMENDIKBUD
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 13
d. Klaster Kesehatan Nasional: penanggulangan bencana di bidang kesehatan dilakukan melalui
pendekatan sub klaster dan wilayah/regional. Menteri Kesehatan menetapkan enam sub klaster
kesehatan yang diketuai oleh Kepala Pusat Krisis Kesehatan (PKK). Setiap sub klaster bertanggung
jawab dalam koordinasi upaya penanggulangan bencana sesuai tugas dan fungsinya. Anggota
Klaster Kesehatan maupun sub klasternya dapat berasal dari pemerintah maupun non pemerintah
yang mempunyai perhatian dan tujuan pada bidang yang sama. Dalam rangka meningkatkan
upaya kesiapsiagaan dan memperkuat koordinasi, pendekatan melalui sistem sub klaster
kesehatan ini direplikasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
14 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
sebagaiDisamping pembentukan
pusat pengendali sub klaster,
bantuan untuk mempercepat
kesehatan ketersediaan
(medical assistance akses dan
command mendekatkan
center), pusat rujukan keseha
fungsi bantuan pelayanan kesehatan dibentuk sembilan Pusat Krisis Kesehatan (PKK) regional di
dan pusat informasi kesehatan.
seluruh Indonesia (Gambar 3). PKK regional berfungsi sebagai unit fungsional di daerah dalam
penanggulangan krisis kesehatan dan berperan sebagai pusat pengendali bantuan kesehatan,
Gambar
pusat rujukan kesehatan 4. Regional
dan pusat informasi Pusat Krisis Kesehatan
kesehatan.
Regional Sumut (Berpusat di Medan dengan wilayah Regional Jatim (Berpusat di Surabaya dengan wilayah
kerja Prov. NAD, Sumut, Riau, Kepri dan Sumbar) Kerja Prov. Jatim)
Regional Sumsel (Berpusat di Palembang dengan Regional Bali (Berpusat di Denpasar dengan wilayah
kerja Prov. Bali, NTB dan NTT)
Gambar 4. Regional Pusat Krisis
wilayahkerja Prov. Bengkulu, Sumsel, Jambi dan Babel) Kesehatan
Regional DKI Jakarta (Berpusat di Jakarta dengan Regional Kalsel (Berpusat di Banjarmasin dengan
wilayah kerja Prov. Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jabar wilayah kerja Prov. Kalsel, Kalteng dan Kaltim)
dan Kalbar)
Regional Sulut (Berpusat di Manado dengan wilayah
Regional Jateng (Berpusat di Semarang dengan wilayah kerja Prov. Gorontalo, Sulut dan Malut)
kerja Prov. Jateng dan DI Yogyakarta)
Regional Sulsel (Berpusat di Makasar dengan wilayah
kerja Prov. Sulsel, Sulteng, Sulbar, Sultra, Maluku,
Papua Barat dan Papua)
e. Komponen Kesehatan Balita: Komponen Kesehatan Balita berada dibawah koordinasi Sub Klaster
6) Sub Klaster Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi. Di tingkat Pusat, Direktur Kesehatan Keluarga adalah Eselon II pemangku
Sub klasterDRAFT
kesehatan reproduksi merupakan bagian dari klaster kesehatan yang bertanggung jawab terhad
PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 15
tersedia dan terlaksananya pelayanan kesehatan reproduksi pada krisis kesehatan untuk mengurangi ris
kesakitan dan kematian kelompok rentan kesehatan reproduksi. Sub klaster kesehatan reproduksi dibentuk
tingkat pusat hingga di tingkat daerah secara berjenjang, berfungsi dan berkoordinasi sejak pra krisis, saat kr
jabatan yang berperan sebagai Koordinator Sub Klaster Kesehatan Reproduksi. Sebagai
implikasinya, semua program dibawah Direktorat Kesehatan Keluarga, termasuk Program
Kesehatan Balita, menjadi komponen program yang berada dibawah koordinasi Sub Klaster
Kesehatan Reproduksi dan menjadi anggota Tim Siaga Kesehatan Reproduksi (Gambar 4).
Menteri Kesehatan
Sekjen
PJ Komponen PJ Komponen
PJ Komponen PJ Komponen PJ Komponen PJ Komponen Kespro Remaja Kesehatan
Penanganan Pencegahan Maternal dan Logistik (KRR) Balita
Kekerasan Seksual Penularan IMS HIV Neonatal Kespro (anggota)
(anggota) (anggota) (anggota) (anggota) (anggota)
Gambar 3.4 Struktur Sub Klaster Kesehatan Reproduksi dan Komponen Kesehatan Balita di Tingkat Pusat
Penanggung jawab Komponen Kesehatan Balita berperan untuk memastikan tersedianya dan
terlaksananya pelayanan kesehatan balita pada krisis kesehatan dalam rangka mengurangi risiko
kematian, kesakitan, kecacatan dan kekerasan pada balita. Tugas dan fungsinya adalah menyusun
16 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
rencana, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pada ketiga tahapan bencana, serta
memastikan persiapan dan ketersediaan logistik, disamping berkoordinasi dengan pihak terkait. Di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota, penanggung jawab komponen kesehatan balita adalah
penanggung jawab Program Kesehatan Keluarga di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Gambar 5).
Gambar 3.5. Struktur Sub Klaster Kesehatan Reproduksi dan Komponen Kesehatan Balita di Daerah
Sasaran Komponen Kesehatan Balita adalah bayi (0-11 bulan) dan anak balita (usia 12-59 bulan). Fokus
pelayanan yang dicakup Komponen Kesehatan Balita melalui Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM)
Kesehatan Balita pada Krisis Kesehatan: i) tata laksana penyakit yang dilakukan dengan pendekatan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS); dan ii) pemantauan tumbuh kembang/Stimulasi Deteksi
Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK). Tempat pelayanan disesuaikan dengan situasi setempat
dan layak untuk tempat pelayanan kesehatan balita. Komponen Kesehatan Balita juga bekerja sama
dan berkoordinasi dengan komponen lainnya dibawah Sub Klaster Kesehatan Reproduksi, seperti
Komponen Maternal dan Neonatal, Kespro Remaja, Pencegahan Penularan IMS/HIV, dan Logistik.
Berbagai sub klaster kesehatan memiliki peran dalam pelayanan kesehatan balita pada tanggap
darurat bencana, contoh peran sub klaster diantaranya sebagai berikut:
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 17
Tabel 3.2 Peran Sub Klaster Kesehatan dalam Pelayanan Kesehatan Balita
18 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
5 Sub Klaster Identifikasi Korban Menyelenggarakan identifikasi korban balita meninggal
Mati Akibat Bencana (DVI) dan penatalaksanaannya
6 Tim Logistik Kesehatan Menyelenggarakan perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian, dan penyerahan logistik
kesehatan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan balita sakit, seperti obat, BHP, vaksin
7 Tim Data dan Informasi Menyelenggarakan manajemen data dan informasi serta
penyebarluasan informasi terkait kelompok rentan
termasuk balita
8 Tim Promosi Kesehatan Menyelenggarakan upaya promosi kesehatan ibu dan anak
melalui kegiatan KIE kesehatan balita, misalnya PHBS,
makanan bergizi seimbang, dengan metode interaktif
(menarik/permainan)
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 19
BAB IV
UPAYA PADA TAHAP PRAKRISIS KESEHATAN
Pada tahap prakrisis kesehatan, bencana belum terjadi. Tahap ini memberi kesempatan kepada semua
pihak untuk mempersiapkan diri, agar bila terjadi bencana maka dampak buruknya dapat dikurangi
secara berarti dan bantuan dapat diterima dengan tepat dan cepat. Wilayah berisiko besar terhadap
bencana perlu mempunyai persiapan yang memadai pada tahap ini. Kegiatan yang dilakukan pada
prinsipnya adalah peningkatan kapasitas dan koordinasi semua pihak dalam menghadapi bencana.
Prinsip ini juga diterapkan pada penyelenggaraan Klaster Kesehatan, termasuk Komponen Kesehatan
Balita, dengan kegiatan sebagai berikut.
1. Penetapan PenanggungJawab (PJ) Komponen Kesehatan Balita dan timnya dalam tim Klaster
Kesehatan (Sub Klaster Kesehatan Reproduksi)
Penetapan Penanggung Jawab Komponen Balita dengan surat penugasan dari Kepala Dinas
Kesehatan atau Kepala Dearah setempat. PJ Komponen Kesehatan Balita, yang berada dibawah
koordinasi Sub Klaster Kesehatan Reproduksi, adalah penanggung-jawab Program Kesehatan
Balita, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Tugasnya menyusun rencana,
memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan, serta memastikan persiapan dan ketersediaan
logistik dan berkoordinasi dengan pihak terkait.
Koordinasi dengan pihak-pihak terkait diperlukan pada tahap prakrisis kesehatan. Pemantapan
koordinasi dapat dilakukan melalui rapat dan pertemuan rutin minimal dua kali per tahun, yang
dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan. Berikut ini pemantapan koordinasi di berbagai
tingkat.
a. Tingkat Pusat: PJ Komponen Kesehatan Balita berkoordinasi dan berkolaborasi dengan
subklaster lainnya, seperti Subklaster Gizi, Subklaster Kesehatan Jiwa, Subklaster Pengendalian
Penyakit dan Kesehatan Lingkungan, serta bila perlu berkoordinasi dengan klaster lainnya.
20 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
b. Tingkat daerah:
• Pemantapan koordinasi di lingkungan Pemda: PJ Komponen Kesehatan Balita daerah ditunjuk
dengan melibatkan organisasi perangkat daerah terkait di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota untuk melakukan koordinasi dengan program/sektor terkait.
• Pemantapan koordinasi Pemda dengan sektor dan pihak lain (mitra pembangunan, sektor
swasta, universitas/akademisi dan LSM). Tujuannya untuk memetakan lembaga dan
organisasi yang berpotensi memberikan dukungan/pelayanan untuk balita pada situasi krisis
kesehatan dengan jenis dukungan/pelayanan masing-masing. Dengan pemetaan yang baik,
peluang untuk memberikan layanan yang tepat pada situasi bencana menjadi lebih cepat.
Pada saat bencana banyak organisasi/lembaga yang terlibat dalam pelayanan kesehatan balita,
sehingga diperlukan pembagian peran antara Pemerintah, mitra pembangunan, LSM, dll, agar
pelayanan yang dilakukan tidak tumpang-tindih dan terkoordinasi dengan baik.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 21
Boks 1. Jenis Data Sekunder Kesehatan Balita pada Tahap Prakrisis Kesehatan
22 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
3. Advokasi dan Sosialisasi Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM)
Kesehatan Balita pada Krisis Kesehatan
Advokasi dan sosialisasi penyelenggaraan PPAM kesehatan balita ditujukan kepada penentu
kebijakan, pengelola program dan pemangku kepentingan terkait, baik di sektor kesehatan
maupun lintas sektor tentang pentingnya dukungan dalam persiapan dan pelaksanaan pelayanan
kesehatan balita yang terintegrasi pada krisis kesehatan.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 23
Boks 2. Logistik pelayanan kesehatan balita
• Kit Individual Balita (Sub Klaster Kesehatan Reproduksi)
• Kit Pelayanan Kesehatan Balita (Sub Klaster Kesehatan Reproduksi)
• Ketersediaan makanan dan nutrisi/PMBA (Sub Klaster Pelayanan Gizi)
• Ketersediaan obat dan vaksin (Tim Logistik)
• Buku KIA dan KIE terkait kesehatan balita (Sub Klaster Kesehatan Reproduksi)
• Dapur umum pelayanan khusus balita (PMBA) (Sub Klaster Pelayanan Gizi)
• Permainan untuk Balita (Sub Klaster Kesehatan Jiwa)
Boks 3.
Ringkasan Kegiatan Kesiagaan pada Tahap Prakrisis Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Balita
1. Penetapan Penanggung Jawab Komponen Kesehatan Balita dalam tim Klaster Kesehatan (Sub Klaster
Kesehatan Reproduksi.
2. Memastikan Ketersediaan Data Sekunder Kesehatan Balita.
3. Advokasi dan sosialisasi Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Balita
pada Krisis Kesehatan.
4. Peningkatan kapasitas pelayanan kesehatan balita dalam menghadapi risiko bencana.
5. Penyiapan logistik pelayanan kesehatan balita.
6. Sosialisasi kesiapsiagaan bencana kepada masyarakat.
7. Pemantauan dan evaluasi.
24 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
BAB V
UPAYA PADA TAHAP TANGGAP DARURAT KRISIS KESEHATAN
Pelayanan kesehatan balita pada saat krisis kesehatan adalah serangkaian kegiatan prioritas yang
harus segera dilaksanakan sebagai respon tanggap darurat untuk menyelamatkan jiwa, di samping
untuk mencegah kesakitan, kekerasan dan kecacatan pada balita. Pada tahap awal krisis kesehatan,
masa 2x24 jam pertama adalah tahap pencarian dan penyelamatan serta bantuan untuk reunifikasi
balita bila terpisah dari keluarganya. Fasilitas pelayanan kesehatan pada saat krisis mungkin tidak
berfungsi, atau masih berfungsi tapi sulit dijangkau oleh masyarakat yang terdampak bencana.
Pelayanan kesehatan balita dilaksanakan untuk merespons secepat mungkin kebutuhan balita yang
terdampak bencana, karena kesakitan/cedera yang dialami mungkin bersifat fatal atau menjadi lebih
buruk bila tidak segera diatasi. Pelaksanaan pelayanan ini perlu terkoordinasi dengan rencana
pelayanan kesehatan secara keseluruhan dan logistik yang tersedia bagi penduduk terdampak, seperti
yang seharusnya telah dibahas pada Tahap Prakrisis. Komponen pelayanan kesehatan balita perlu
dilaksanakan sesegera mungkin, sambil menunggu hasil kajian dari Tim Kaji Cepat (Rapid Health
Assessment – lihat Lampiran 1) di lapangan, yang perlu didukung oleh analisis dasar data sekunder
yang telah dikumpulkan pada Tahap Prakrisis.
5.1 Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Balita pada Krisis Kesehatan
Pada tahap tanggap darurat krisis kesehatan, pelayanan yang diprioritaskan bertujuan untuk menekan
kejadian kematian, kesakitan, kekerasan dan kecacatan pada balita. Di samping menangani kasus yang
ada dan merujuk kasus ke sub klaster kesehatan yang terkait, prioritasi pelayanan secara keseluruhan
perlu ditentukan dengan menganalisis data sekunder pola kesakitan balita di tingkat kabupaten/kota
wilayah bencana (bila tidak tersedia, digunakan data provinsi). Prioritas pelayanan kesehatan balita
juga ditentukan berdasarkan pengalaman lapangan tentang respon kemanusiaan pada situasi
bencana.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 25
Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) pada Tahap Tanggap Darurat Krisis Kesehatan dalam
pelayanan kesehatan balita dibawah ini perlu dilaksanakan secepatnya. Langkah-langkahnya sebagai
berikut:
a. Penugasan Penanggung Jawab Komponen Kesehatan Balita dan Pelaksanaan Koordinasi
dibawah Sub Klaster Kesehatan Reproduksi
Kegiatan yang dilakukan antara lain sebagai berikut.
i. Penanggung Jawab Komponen Kesehatan Balita dan timnya, ditetapkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan atau Kepala Daerah setempat, segera melaksanakan koordinasi lintas
program/sektor dan pihak-pihak terkait dibawah koordinasi Sub Klaster Kesehatan
Reproduksi. Dalam melakukan koordinasi perlu diingat bahwa ada kelompok balita yang
paling rentan, misalnya balita berkebutuhan khusus, penderita penyakit kronis, HIV dan
korban kekerasan, perlu mendapat perhatian dan dipantau secara khusus.
ii. Melakukan pertemuan koordinasi untuk mendukung dan berkomunikasi dengan koordinator
subklaster dan penanggung-jawab komponen terkait. Hal yang dilaporkan antara lain:
• isu-isu dan data terkait kesehatan balita, ketersediaan sumber daya serta logistik;
• tingkat ketersediaan dan pendistribusian logistik kesehatan balita, antara lain ketersediaan
air bersih, water purifier, sanitasi dan promosi kesehatan, ketersediaan makanan, kualitas
nutrisi dan pemberian makanan bayi dan anak (PMBA), tenda shelter dan tenda keluarga.
iii. Menggunakan data sekunder (Boks 1) untuk mengetahui kasus yang sering muncul pada
wilayah yang mengalami bencana.
iv. Membuat peta daerah setempat dan menandai lokasi dengan jumlah balita.
v. Melakukan pencatatan ulang dengan melakukan penilaian pelayanan kesehatan balita di
puskesmas dan rumah sakit dan menentukan jumlah aktual balita di lokasi bencana.
vi. Melakukan penilaian fungsi puskesmas dan rumah sakit.
vii. Melakukan pembuatan peta tematik dengan metode tumpang susun (overlay) pada peta
terhadap beberapa data/indikator seperti jumlah balita dan jumlah layanan di situasi
bencana. Indikator dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan.
26 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Pada tahun 2016, 43 juta anak yang tinggal di 63 negara membutuhkan bantuan dalam
situasi krisis untuk terlindungi dari malnutrisi, penyakit, kekerasan, pelecehan, dan
eksploitasi. Dalam konteks krisis kemanusiaan, dari bencana alam hingga konflik,
kelompok masyarakat yang paling rentan adalah anak-anak, yang mengalami dampak
terburuk dan haknya tidak terpenuhi. Tidak hanya masalah sebelumnya semakin parah,
tapi ancaman baru bermunculan dan sistem perlindungan anak yang seringkali gagal.
Satu dari 200 anak di dunia adalah pengungsi, yang dipaksa mengungsi di negaranya
sendiri, atau diluar negeri karena kekerasan dan konflik. Jumlah ini meningkat 2 kali lipat
dari tahun 2005 hingga tahun 2015. Hampir 250 juta anak tinggal di negara yang dilanda
konflik dan jutaan lainnya menghadapi risiko dari bahaya alam dan epidemi yang
menyebar dengan cepat. Dari semua populasi pengungsi di dunia, lebih dari separuhnya
adalah anak-anak. Hampir setengah dari semua kematian balita di dunia terjadi di
negara yang terdampak krisis kemanusiaan (UNICEF and UN GLOBAL COMPACT.
Children In Humanitarian Crises: What Business Can Do. September 2016).
Bencana alam masih mendominasi penyebab terjadinya krisis kesehatan pada tahun
2018, yaitu sebesar 195 kejadian (60%), disusul bencana non alam 120 kejadian (37%),
dan bencana sosial 11 kejadian (3%). Bencana yang paling banyak terjadi pada tahun
2018 adalah banjir, kebakaran, kejadian luar biasa (KLB) – keracunan, angin puting
beliung, tanah longsor, banjir bandang, banjir dan tanah longsor, kecelakaan
transportasi, aksi teror dan sabotase, gempa bumi, dan letusan gunung api
(Kementerian Kesehatan RI. Buku Tinjauan Penanggulangan Krisis Kesehatan Tahun
2018. Jakarta, 2019).
viii. Membuat pemetaan rencana dan respon cepat dalam memberikan pelayanan kesehatan
balita.
ix. Koordinasi dalam penilaian cepat kesehatan balita sesuai dengan Format Laporan Awal
Kejadian Bencana, Laporan Penilaian Kebutuhan Cepat Pelayanan Kesehatan (Permenkes 77
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 27
Tahun 2014). Data sekunder untuk pelayanan kesehatan balita dapat dilihat di Boks 1 (Bab
IV), yang seharusnya telah disusun pada Tahap Prakrisis.
x. Koordinasi dengan Basarnas dan Kementerian Sosial dalam rangka membantu upaya
reunifikasi balita yang terpisah dari keluarganya. Balita tersebut perlu mendapatkan bantuan
penyelamatan, pencarian dan reunifikasi dengan keluarganya, sementara itu kesehatan fisik
dan psikis balita dipastikan tetap terjaga dan ada orang dewasa yang mendampinginya.
28 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
komponen kesehatan balita dapat segera mendistribusikan KIE sesuai dengan jenis
bencana baik melalui media elektronik maupun media cetak, dan melakukan koordinasi
dengan Tim Promosi Kesehatan.
Isi pesan perlu disesuaikan dengan kebutuhan/jenis bencana yang dihadapi. Namun
ada pesan yang selalu perlu disampaikan pada bencana jenis apapun pada ibu dan
balita, misalnya: mencuci tangan pakai sabun, makan makanan bergizi seimbang, dan
bermain.
iii) Menyediakan pelayanan MTBS
Penyakit menular yang sering terjadi pada balita di lokasi pengungsian, campak, diare,
pneumonia, malaria dan penyakit menular lainnya, sangat erat dengan lingkungan dan
faktor risiko lainnya serta masyarakat di sekitar penampungan pengungsi. Tatalaksana
pada balita sakit di pengungsian dilaksanakan mengikuti bagan MTBS. Tata-laksana
balita sakit di pengungsian mengikuti bagan MTBS sebagai berikut: tatalaksana
pneumonia (Lampiran 2); tatalaksana diare (Lampiran 3); tatalaksana demam (Lampiran
4) dan tatalaksana masalah gizi, termasuk gizi buruk (sesuai dengan pedoman dari
Subklaster Pelayanan Gizi).
Pada bencana karhutla tidak ada pengungsian, namun perlu penyediaan “rumah
oksigen” (bebas asap) dan rumah singgah. Untuk daerah yang pekat asap, balita dibawa
ke rumah singgah, diberi masker bedah sesuai dengan ukuran anak. Perlu dipastikan
bahwa “rumah oksigen” berjalan sesuai dengan standar prosedur operasional untuk
pemberian oksigen dengan pemasangan sungkup dan alat kesehatan lain yang
diperlukan.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 29
mobilitas penduduk antar-wilayah (kunjungan keluarga) dan cakupan imunisasi rendah, yang
semuanya itu akan meningkatkan kerawanan yang berat. Tablet Zn untuk meningkatkan daya
tahan tubuh. Petugas kesehatan perlu memastikan semua balita mendapatkan imunisasi dasar
lengkap dibawah koordinasi Penanggungjawab Komponen Imunisasi (Sub Klaster Pengendalian
Penyakit dan Kesehatan Lingkungan).
Dalam situasi bencana atau di lokasi pengungsian, upaya imunisasi harus dipersiapkan dalam
mengantisipasi terjadinya KLB PD3I terutama campak. Sedangkan pencegahan KLB penyakit
lain dengan upaya imunisasi dilakukan berdasarkan hasil dari penilaian cepat pasca bencana.
Imunisasi campak dilakukan terhadap anak berusia 9 s/d 59 bulan di lokasi pengungsian.
Perluasan sasaran imunisasi campak ke usia lebih tinggi, ditentukan berdasarkan analisis
epidemiologi dan kinerja program imunisasi di daerah tersebut sebelum terjadi bencana.
Apabila ditemukan kasus campak pasca bencana walaupun hanya satu kasus, maka dinyatakan
terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) pada daerah tersebut dan penanggulangannya mengacu pada
Pedoman Penatalaksanaan KLB. Perkiraan jumlah anak usia 9 s/d 59 bulan adalah sekitar 11%
x jumlah penduduk.
Pada saat bencana, pencegahan terhadap penyakit campak dilakukan dengan kriteria:
a) jika cakupan imunisasi campak di desa yang mengalami bencana lebih dari 80%, maka tidak
dilaksanakan imunisasi masal;
b) jika cakupannya meragukan, maka dilaksanakan imunisasi masal pada setiap anak usia 6-
59 bulan, tanpa memandang status imunisasi sebelumnya dengan target cakupan 95% atau
lebih. Tablet Zn seringkali diberikan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Imunisasi lain dapat diberikan berdasarkan analisis epidemiologi dari hasil penilaian cepat di
daerah bencana. Misalnya ditemukan kasus kolera pada daerah yang mempunyai hubungan
epidemiologi dengan daerah bencana. Maka dilakukan imunisasi kolera pada kelompok
sasaran tertentu dengan mempertimbangkan jenis vaksin yang tersedia. Contoh lain adalah
30 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
pemberian imunisasi TT terhadap kelompok populasi yang berisiko tinggi terhadap para
petugas, sukarelawan, petugas penyelamat dan pengungsi yang berusia ≥ 15 tahun. Untuk
mendapatkan perlindungan, maka pemberian Imunisasi tetanus diberikan 2 kali dengan
interval minimal 1 bulan. Bila tersedia dapat dipertimbangkan menggunakan vaksin Td (tetanus
difteri toksoid), agar memberikan perlindungan terhadap difteri selain tetanus. Bagi penderita
luka terbuka yang dalam, tertusuk paku / benda tajam, segera berikan ATS (Anti Tetanus
Serum).
Untuk tetap menjamin kesinambungan pelaksanaan imunisasi rutin, maka perlu dilakukan
kegiatan-kegiatan yang ditentukan berdasarkan hasil penilaian cepat. Pelaksanaan imunisasi
pada situasi bencana mengacu pada pedoman penyelenggaraan imunisasi pada daerah
bencara dan berkoordinasi dengan Sub Klaster Pengendalian Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 31
iv. Penanganan Gizi
Kegiatan penanganan gizi pada saat tanggap darurat dikelompokkan dalam dua tahap, yaitu
pada tahap tanggap darurat awal dan lanjutan yang mengacu pada Pedoman Penanganan Gizi
dalam Penganggulangan Bencana (2018) termasuk untuk pemberian makan bagi bayi dan
anak (PMBA). Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Sub Klaster Pelayanan Gizi. Pada tanggap
darurat awal kegiatan yang dilakukan adalah memastikan pengungsi tidak lapar dan dapat
mempertahankan status gizinya, mengawasi pendistribusian bantuan bahan makanan, dan
melakukan analisis hasil RHA segera, serta menghitung kebutuhan gizi. Pada tanggap darurat
lanjutan dilakukan analisis faktor penyulit berdasarkan hasil RHA, pengumpulan data
antropometri balita (berat badan, panjang badan/tinggi badan, umur) dan Lingkar Lengan Atas
(LiLA), menghitung proporsi status gizi balita kurus, menganalisis adanya faktor penyulit seperti
kejadian campak, demam berdarah, dan lain-lain, melaksanakan pemberian makanan
tambahan dan suplemen gizi, melakukan penyuluhan kelompok dan konseling perorangan
dengan materi yang disesuaikan (konseling menyusui, MP ASI, dan PMBA), dan memantau
perkembangan status gizi balita melalui surveilans gizi, serta memastikan balita di pengungsian
mendapat asupan nutrisi sesuai PMBA.
v. Kesehatan Lingkungan
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap kesehatan balita. Untuk mencegah kesakitan
dan kematian pada balita, maka Penanggung-Jawab Komponen Kesehatan Lingkungan akan
memperhatikan hal-hal berikut.
a) Pengendalian vektor penyakit.
b) Penyediaan akses dan sarana air bersih.
c) Pembuangan kotoran: kotoran pada popok sekali pakai harus dibersihkan terlebih dahulu
sebelum dibuang dan kotorannya dibuang ke jamban.
d) Pengaturan/pembuatan jamban, berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum.
e) Pengawasan makanan dan minuman.
32 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
c. Mencegah dan Menangani Kekerasan Seksual
Memastikan keamanan balita dalam menggunakan layanan kesehatan dan mencegah terjadinya
kekerasan seksual, dengan pengaturan/manajemen tenda atau penampungan sementara yang
aman. Bila ditemukan kekerasan seksual, maka perlu berkoordinasi dengan Sub Klaster Kesehatan
Reproduksi. Dalam upaya mencegah dan menangani kekerasan seksual perlu dilakukan langkah-
langkah yang dikoordinasikan oleh Sub Klaster Kesehatan Reproduksi sebagai berikut.
i. Memastikan balita yang terpisah dari keluarga dikumpulkan dalam satu tenda dan terjamin
keamanannya.
ii. Memastikan terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang ramah anak bagi penyintas
kekerasan seksual di tenda pengungsian.
iii. Menempatkan toilet laki-laki dan perempuan secara terpisah di tempat yang aman dengan
penerangan yang cukup dan dapat dikunci dari dalam.
iv. Memastikan anak balita didampingi pada saat ke toilet.
v. Melakukan koordinasi dengan penanggung jawab keamanan, untuk mencegah terjadinya
kekerasan seksual pada anak.
vi. Melibatkan lembaga/organisasi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di
pengungsian dalam rangka pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada anak.
vii. Memberikan informasi kepada orangtua melalui brosur, selebaran, radio, dll tentang layanan
bagi penyintas pelecehan, kekerasan seksual, perkosaan dengan nomor telepon yang bisa
dihubungi 24 jam.
viii. Memastikan adanya petugas yang kompeten dalam penanganan kasus kekerasan seksual
pada anak, dan melibatkan tokoh/kader sebagai motivator untuk memberikan semangat dan
penghubung antara penyintas kekerasan seksual dan pelayanan kesehatan.
ix. Memastikan tersedianya pelayanan kesehatan jiwa dan dukungan psikososial di organisasi
yang terlibat dalam respon bencana bagi penyintas kekerasan dan memastikan adanya
mekanisme rujukan, perlindungan sosial, tindakan hukum yang terkoordinasi dengan baik.
x. Mendorong partisipasi dan kesadaran pihak terkait termasuk masyarakat tentang masalah
kekerasan seksual, strategi pencegahan dan pelayanan yang tersedia untuk penyintas.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 33
d. Mencegah Penularan HIV pada Bayi dan Balita
Pengobatan ARV pada anak HIV perlu dimonitor secara ketat agar tidak terjadi drop out
pengobatan yang dapat menyebabkan kematian pada anak. Salah satu prioritas dalam
pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS adalah pemberian ARV profilaksis pada bayi dari ibu HIV
dan diagnosis dini HIV dengan pemeriksaan HIV DNA pada usia 6 minggu atau lebih hingga
sebelum 18 bulan dan bila terinfeksi HIV dilanjutkan dengan terapi ARV sedini mungkin.
Penanggung jawab komponen balita memastikan pemeriksaan dini pada bayi yang lahir dari ibu
HIV dan pemberian obat ARV pada balita yang terdaftar dalam program PPIA pada krisis
kesehatan.
Langkah-langkah yang dikoordinasikan oleh Sub Klaster Kesehatan Jiwa sebagai berikut.
i. Penilaian/asesmen bagi balita yang menunjukkan gejala gangguan psikis (misalnya, murung,
menyendiri, tidak bisa tidur, gelisah), termasuk anak yang terpisah dari orangtua/keluarga.
ii. Pelayanan dasar dan keamanan atau psychological first aid (PFA) bagi anak, termasuk kegiatan
bermain (melibatkan balita dalam kegiatan permainan dan rekreasional).
iii. Dukungan masyarakat dan keluarga: pendampingan, pemulihan, pengelolaan stres, konseling
dan pemantauan lanjutan trauma.
34 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Petugas dapat melakukan kegiatan yang terdapat dalam SDIDTK untuk melibatkan balita selama
masa pengungsian, terutama stimulasi tumbuh kembang balita, yaitu menerapkan prinsip:
i. Stimulasi dilakukan dengan dilandasi rasa cinta dan kasih sayang.
ii. Sikap dan perilaku yang baik selalu ditunjukkan oleh pelaksana stimulasi, karena anak akan
meniru tingkah laku orang-orang yang terdekat dengannya.
iii. Stimulasi diberikan sesuai dengan kelompok umur anak.
iv. Stimulasi dilakukan dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi yang bervariasi,
menyenangkan, tanpa paksaan dan tidak ada hukuman.
v. Stimulasi dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan sesuai dengan umur anak, terhadap
keempat aspek kemampuan dasar anak.
vi. Alat bantu/permainan yang digunakan bersifat sederhana, aman dan ada di sekitar anak.
vii. Kesempatan yang sama diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan.
viii. Anak selalu diberi pujian, bila perlu diberi hadiah atas keberhasilannya.
g. Pembiayaan
Pembiayaan pelayanan kesehatan balita pada tanggap darurat sesuai dengan aturan yang berlaku
bagi pemerintah pusat dan daerah dalam penanggulangan bencana (PMK No. 64/2013).
Pembiayaan dapat bersumber BNPB, BPJS, pemerintah pusat, pemerintah daerah, sesuai
kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 35
5.2 Alur Pelayanan Kesehatan Balita di Lokasi Bencana
Seperti disebutkan di atas, untuk mencegah terjadinya peningkatan kesakitan dan kematian balita
akibat bencana, pelayanan kesehatan dilakukan pada saat tanggap darurat awal dan di pengungsian.
a. Pelayanan pada masa tanggap darurat awal: Penanggung-jawab Komponen Kesehatan Balita
berkoordinasi dengan Tim SAR (Basarnas atau Basarda) yang akan mencari dan menyelamatkan
korban, termasuk balita. Tim SAR akan menilai keadaan korban, melakukan triase di lokasi dan
memberikan pertolongan pertama. Bila kondisi cukup berat, maka balita segera dirujuk ke rumah
sakit untuk mendapatkan pertolongan darurat. Bila masih bisa ditangani di tingkat pelayanan
primer, maka balita dibawa ke tempat pengungsian bersama/bergabung dengan keluarganya
untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kondisinya.
Jenis dan jumlah tenaga pemberi pelayanan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan logistik
pelayanan dapat dilihat pada Boks 2 dan Lampiran 5. Pelayanan yang diberikan terfokus pada
pelayanan kesehatan balita di tingkat pelayanan dasar dasar yang terkait dengan:
• tata laksana penyakit yang dilakukan dengan pendekatan MTBS;
• pemantauan tumbuh-kembang/SDIDTK; dan
• pengaturan rujukan seperti dijelaskan dibawah ini.
Bila balita memerlukan pertolongan lainnya, maka perlu dirujuk ke pelayanan terkait, misalnya:
• pelayanan rujukan primer, maka perlu berkoordinasi dengan Sub Klaster Pelayanan Kesehatan
untuk mendapat pelayanan rujukan di rumah sakit, misalnya untuk balita yang memerlukan
36 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
rawat inap, pemeriksaan spesialistik, tindakan bedah, dll;
• pelayanan imunisasi dan pemberian Zn untuk semua balita, maka perlu berkoordinasi dengan
Penanggung jawab Komponen Imunisasi, Sub Klaster Pengendalian Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan; demikian pula bila terjadi peningkatan kejadian diare di pengungsian;
• pelayanan gizi, termasuk tentang ASI, menu lokal untuk PMBA dan makanan bergizi seimbang
bagi anak balita; atau tentang gangguan gizi, seperti gizi kurang atau buruk, dll, maka perlu
berkoordinasi dengan Sub Klaster Pelayanan Gizi;
• pelayanan untuk mencegah atau mengatasi pelecehan seksual, maka perlu berkoordinasi
dengan Sub Klaster Kesehatan Reproduksi;
• pelayanan kesehatan jiwa, misalnya bagi balita yang menunjukkan gejala trauma psikis (tidak
mau bicara, tidak mau makan, sulit tidur, gelisah, menangis terus-menerus), atau terpisah dari
keluarga, maka perlu berkoordinasi dengan Sub Klaster Kesehatan Jiwa;
• pelayanan kesehatan neonatal, misalnya bayi baru lahir yang baru datang atau yang sakit, maka
perlu berkoordinasi dengan Penanggung Jawab Komponen Maternal-Neonatal Sub Klaster
Kesehatan Reproduksi;
• pelayanan balita yang meninggal, maka perlu berkoordinasi dengan Sub Klaster Identifikasi
Korban Mati Akibat Bencana (DVI).
Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) dalam pelayanan kesehatan balita pada saat bencana seperti
dijelaskan di atas perlu dilaksanakan secepatnya. Untuk itu ditetapkan standar waktu respon dalam
pelaksanaan komponen PPAM. Tabel 5.1 merangkum komponen PPAM Kesehatan Balita dan kegiatan
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 37
yang dilakukan dengan waktu respon.
Komponen PPAM
Kegiatan Waktu Respon
Kesehatan Balita
Komponen 1 a. Penetapan Penanggung Jawab Komponen Kesehatan Balita
Penugasan dan timnya oleh Kepala Dinas Kesehatan/Kepala Daerah a-f: 1 x 24 jam.
Penanggung setempat g. sesuai dengan
Jawab b. Melakukan pertemuan koordinasi untuk mendukung dan kebutuhan.
Komponen berkomunikasi dengan koordinator sub klaster dan
Kesehatan Balita penanggung jawab komponen terkait.
dan Pelaksanaan c. Menggunakan data sekunder (Boks 1) untuk mengetahui
Koordinasi kasus yang sering muncul pada wilayah yang mengalami
dibawah Sub bencana.
Klaster d. Membuat peta daerah setempat dan menandai lokasi
Kesehatan dengan jumlah balita.
Reproduksi e. Melakukan pencatatan ulang dengan melakukan penilaian
pelayanan kesehatan balita di puskesmas dan rumah sakit
serta menentukan jumlah aktual balita di lokasi bencana.
f. Melakukan penilaian fungsi puskesmas dan rumah sakit.
g. Melakukan pembuatan peta tematik dengan metode
tumpeng susun (overlay) pada peta terhadap beberapa
data/indikator seperti jumlah balita dan jumlah layanan di
situasi bencana. Indikator dapat ditambahkan sesuai dengan
kebutuhan.
h. Membuat pemetaan rencana dan respon cepat dalam
memberikan pelayanan kesehatan balita
i. Koordinasi dalam penilaian cepat kesehatan balita sesuai
dengan Format Laporan Awal Kejadian Bencana, Laporan
Penilaian Kebutuhan Cepat Pelayanan Kesehatan
(Permenkes No. 77 Tahun 2014). Data sekunder untuk
pelayanan kesehatan balita dapat dilihat di Boks 1 (Bab IV),
yang seharusnya telah disusun pada Tahap Prakrisis.
j. Koordinasi dengan Basarnas dan Kementerian Sosial dalam
rangka membantu upaya reunifikasi balita yang terpisah dari
38 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Komponen PPAM
Kegiatan Waktu Respon
Kesehatan Balita
keluarganya. Balita tersebut perlu mendapatkan bantuan
penyelematan, pencarian dan reunifikasi dengan
keluarganya, sementara itu kesehatan fisik dan psikis balita
dipastikan tetap terjaga dan ada orang dewasa yang
mendampinginya.
Komponen 2 a. Pelayanan kesehatan balita pada krisis kesehatan a) Perhatian khusus pada
Mencegah • pelayanan tanggap darurat 2 x 24 jam pertama.
Terjadinya • pelayanan kesehatan balita yang terdampak dan
Peningkatan pelayanan di pengungsian: mendirikan pos pelayanan a) sampai e) Transisi
Kesakitan dan balita, KIE, dan menyediakan pelayanan MTBS dari darurat (ke
Kematian pada b. Pelaksanaan imunisasi pelayanan normal
Balita c. Pemberian zinc secara berangsur-
d. Penanganan gizi angsur) setelah 2 x 24
e. Kesehatan lingkungan jam.
Komponen 3 a. Memastikan balita yang terpisah dari keluarga a) sampai j)
Mencegah Dan dikumpulkan dalam satu tenda dan terjamin Transisi darurat setelah
Menangani keamanannya. 2 x 24 jam.
Kekerasan b. Memastikan terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang
Seksual ramah anak bagi penyintas kekerasan seksual di tenda
pengungsian.
c. Menempatkan toilet laki-laki dan perempuan secara
terpisah di tempat yang aman dengan penerangan cukup
dan dapat dikunci dari dalam.
d. Memastikan anak balita didampingi pada saat ke toilet.
e. Melakukan koordinasi dengan penanggungjawab keamanan,
untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak.
f. Melibatkan lembaga/organisasi pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak di pengungsian dalam
rangka pencegahan dan penanganan kekerasan seksual
pada anak.
g. Memberikan informasi kepada orang tua melalui brosur,
selebaran, radio, dll tentang layanan bagi penyintas
pelecehan, kekerasan seksual, perkosaan dengan nomor
telepon yang bisa dihubungi 24 jam.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 39
Komponen PPAM
Kegiatan Waktu Respon
Kesehatan Balita
h. Memastikan adanya petugas yang kompeten dalam
penanganan kasus kekerasan seksual pada anak, dan
melibatkan tokoh/kader sebagai motivator untuk
memberikan semangat dan penghubung antara penyintas
kekerasan seksual dan pelayanan kesehatan.
i. Memastikan tersedianya pelayanan kesehatan jiwa dan
dukungan psikososial di organisasi yang terlibat dalam
respon bencana bagi penyintas kekerasan dan memastikan
adanya mekanisme rujukan, perlindungan sosial dan
tindakan hukum yang terkoordinasi dengan baik.
j. Mendorong partisipasi dan kesadaran pihak terkait,
termasuk masyarakat tentang masalah kekerasan seksual,
strategi pencegahan, dan pelayanan yang tersedia untuk
penyintas.
Komponen 4 a. Memastikan pemeriksaan dini (Early Infant Diagsosis/EID) a) sampai b)
Mencegah pada bayi baru lahir dari ibu HIV Transisi darurat setelah 2
Penularan HIV b. Memastikan pemberian obat ARV pada balita yang x 24 jam.
pada Bayi dan terdaftar dalam program PPIA
Balita
Komponen 5 a. Penilaian/asesmen bagi balita yang menunjukkan gejala a) sampai d) Transisi
Melaksanakan gangguan psikis (misalnya, murung, menyendiri, tidak bisa darurat setelah 2 x
Pelayanan tidur, gelisah), termasuk anak yang terpisah dari 24 jam.
Kesehatan Jiwa orangtua/keluarga.
dan Dukungan b. Pelayanan dasar dan keamanan atau psychological first aid
Psikososial (PFA) bagi anak, termasuk kegiatan bermain (melibatkan
balita dalam kegiatan permainan dan rekreasional).
c. Dukungan masyarakat dan keluarga: pendampingan,
pemulihan, pengelolaan stres, konseling dan pemantauan
lanjutan trauma.
d. Melaksanakan SDIDTK
Komponen 6 Memastikan tersedianya logistik dalam pelayanan kesehatan Berkelanjutan.
Memastikan balita yang terdistirbusi dengan baik sesuai dengan sasaran
Ketersediaan yang ada.
Logistik
40 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
BAB VI
UPAYA PADA TAHAP PASCAKRISIS KESEHATAN
Pemerintah berdasarkan rekomendasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menetapkan Tahap Pascakrisis. Ketika situasi mulai
stabil dan masa tanggap darurat telah dinyatakan berakhir, maka segera dimulai serangkaian kegiatan
untuk mengembalikan fungsi pelayanan kesehatan seperti semula. Perbaikan, pemulihan, dan/atau
pembangunan kembali prasarana dan fasilitas pelayanan kesehatan yang rusak dilaksanakan pada
tahap ini. Pendampingan masih tetap dilakukan sekitar satu bulan, agar masa transisi dapat
berlangsung dengan lancar.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 41
6.3 Penyiapan Pelayanan Kesehatan Balita oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Setempat
Sebagai tindak lanjut pelayanan kesehatan balita, standar pelayanan minimal (SPM) kesehatan
balita berikut ini harus tersedia setelah masa transisi darurat ke pemulihan.
a. Pelayanan kesehatan balita sehat: yaitu pelayanan pemantauan tumbuh kembang balita
dengan menggunakan Buku KIA dan skrining tumbuh kembang, yang meliputi:
i. Pelayanan kesehatan bayi(usia 0-11 bulan):
• Penimbangan berat badan, pengukuran panjang/tinggi badan dan lingkar kepala.
• Pemantauan perkembangan.
• Pemberian kapsul vitamin A (setelah usia 6 bulan).
• Pemberian imunisasi dasar lengkap (Hb-0, BCG, DPT, Hb-HiB, Polio, Campak-Rubella).
ii. Pelayanan kesehatan balita usia 12-23 bulan: seperti di atas, kecuali pemberian imunisasi
diganti dengan pemberian imunisasi lanjutan (DPT, Hb-HiB dan Campak-Rubella).
iii. Pelayanan kesehatan balita 24-59 bulan: seperti di atas, kecuali tidak diberikan imunisasi.
iv. Pemantauan perkembangan balita.
v. Sebelum 14 hari pasca bencana, semua balita usia 9-59 bln diberi imunisasi MR, sedangkan
jenis imunisasi lain, diberikan sesuai kajian epidemiologi.
vi. Edukasi dan informasi.
42 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
b. Memastikan ketersediaan sarana/prasarana standar pelayanan minimal kesehatan balita:
i. tempat pelayanan: puskesmas (Poli Anak), posyandu, PAUD;
ii. prasarana kesehatan: antropometri kit, SDIDTK kit, Paket MTBS, Buku KIA; obat: paket obat
MTBS, vaksin, vitamin A.
c. Memastikan ketersediaan fasilitas kesehatan rujukan:
i. dokter spesialis anak, dokter spesialis jiwa anak, psikolog, rehabilitasi medik;
ii. sarana/prasarana pelayanan rujukan.
d. Memastikan mekanisme sistem rujukan balita sakit.
e. Memastikan bahwa status kesehatan balita di wilayah tersebut dalam keadaan baik.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 43
Tugas dinas kesehatan provinsi menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut.
a. Membantu proses pemulihan kesehatan korban krisis kesehatan.
b. Melakukan koordinasi dengan seluruh sumber daya kesehatan dan instansi/lembaga yang
berperan-serta dalam penanggulangan krisis kesehatan untuk pemulihan darurat.
c. Memberikan dukungan dalam pelaksanaan penilaian kerusakan dan kerugian di bidang
kesehatan diwilayahnya.
d. Membantu terlaksananya upaya:
i. pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan yang terkait dengan pencegahan
kejadian luar biasa penyakit menular berpotensi wabah, yang meliputi pengendalian
penyakit, surveilans, imunisasi, perbaikan kualitas air dan sanitasi, dan promosi kesehatan;
ii. pelayanan kesehatan yang terkait dengan perbaikan gizi, kesehatan reproduksi, pelayanan
medis, pemulihan kesehatan jiwa;
iii. membantu kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana kesehatan.
e. membantu tersedianya data dan informasi terkait.
44 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
e. membantu tersedianya data dan informasi terkait.
Boks 4. Ringkasan Kegiatan pada Tahap Pascakrisis Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Balita
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 45
BAB VII
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pemantauan dan evaluasi upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan balita perlu dilakukan pada
tiap tahapan penanggulangan bencana, untuk mengetahui kemajuan dan keberhasilan upaya yang
dilakukan di setiap tahapan. Pemantauan pada umumnya berguna dalam mengetahui kemajuan
upaya, sehingga bila terjadi kendala dalam pelaksanaan maka perbaikan pelaksanaan dapat segera
dilakukan. Evaluasi dilakukan untuk melihat apakah upaya yang dilaksanakan dapat memberikan hasil
yang ditargetkan untuk dicapai, sehingga diperlukan kurun waktu yang lebih panjang, misalnya pada
akhir upaya; sedangkan pemantauan biasanya berlangsung sepanjang pelaksanaan suatu upaya
dengan menggunakan titik-titik kritis (milestone) pada pelaksanaan upaya tersebut.
Indikator yang digunakan untuk pemantauan biasanya lebih terfokus pada indikator input, proses dan
output, sedangkan untuk evaluasi biasanya terfokus pada indikator outcome dan dampak. Semakin
dekat ke lapangan, maka semakin terasa pentingnya memantau dengan menggunakan indikator input
dan proses, karena pencapaian target output sangat tergantung pada ketersediaan input dan proses
yang efektif dan efisien. Semakin jauh dari lapangan, maka biasanya untuk pemantauan digunakan
indikator output dan outcome untuk memastikan bahwa upaya yang dilakukan dapat memberikan
hasil yang diharapkan. Untuk evaluasi, biasanya terfokus pada indikator outcome dan dampak, namun
untuk evaluasi di tingkat yang dekat dengan lapangan, dapat juga terfokus pada indikator output dan
outcome.
Tujuan dari Tahap Prakrisis Kesehatan adalah mempersiapkan diri, agar bila terjadi bencana maka
dampak buruknya dapat dikurangi secara berarti dan bantuan dapat diterima dengan tepat dan cepat.
Pada Bab IV dijelaskan tujuh langkah kegiatan yang perlu dilakukan pada Tahap ini. Berdasarkan
46 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
kegiatan tersebut, dibawah ini contoh indikator yang dapat digunakan untuk pemantauan kegiatan
pada Tahap ini (Tabel 7.1)
Tabel 7.1 Indikator dan Waktu Pemantauan pada Tahap Prakrisis Kesehatan
No Indikator Waktu
1 Adanya Penanggung Jawab (PJ) Komponen Kesehatan Balita dan anggota Tim Segera
2 Adanya jejaring lintas program/sektor untuk mendukung pelayanan kesehatan balita Sebulan setelah
yang akan segera diaktifkan bila terjadi bencana dengan rencana kontigensinya adanya PJ/Tim
3 Adanya data sekunder tentang kesehatan balita sesuai dengan standar (lihat Boks 1) Sebulan setelah
adanya PJ/Tim
4 Persiapan logistik pelayanan kesehatan balita bila terjadi bencana dengan rencana Dua bulan setelah
kontigensinya adanya PJ/Tim
5 Pelaksanaan peningkatan kapasitas Tim Komponen Kesehatan Balita dan jejaringnya Setiap enam
setiap 6 bulan (baik tentang penyelenggaraan pelayanan maupun teknis pelayanan) bulan
6 Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat tentang kesiagaan terhadap bencana yang Setiap tahun
mungkin timbul (dapat digabungkan dengan Subklaster/Komponen kesehatan sekali
lainnya)
7.2 Pemantauan dan Evaluasi pada Tanggap Darurat
Tujuan dari Tahap Tanggap Darurat adalah menyelamatkan jiwa, disamping untuk mencegah
kesakitan, kekerasan dan kecacatan pada balita. Pada Bab V dijelaskan tujuh komponen PPAM
kesehatan balita yang dilakukan pada Tahap ini. Berdasarkan kegiatan tersebut di bawah ini contoh
indikator yang dapat digunakan untuk pemantauan kegiatan pada Tahap ini (Tabel 7.2).
Tabel 7.2 Indikator dan Waktu Pemantauan pada Tahap Tanggap Darurat
No Indikator Waktu
1 Adanya penetapan Penanggung-Jawab (PJ) Komponen Kesehatan Balita dan anggota Segera setelah
Timnya (bila belum dilakukan pada Tahap Prakrisis) terjadi bencana
2 Pelaksanaan jejaring pelayanan kesehatan balita yang integratif dengan komponen Sejak hari
pelayanan terkait di titik-titik strategis untuk memudahkan akses pelayanan pertama bencana
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 47
3 Tersedianya menu makan balita, konselor ASI dan dapur PMBA yang dilaksanakan Sejak hari
oleh Sub. Klaster Pelayanan Gizi pertama bencana
4 Adanya rencana pelayanan keseluruhan di wilayah bencana untuk yankes balita 2 x 24 jam
berdasarkan analisis data sekunder
5 Ketersediaan logistik pelayanan kesehatan balita secara memadai (lihat Boks 2) Dalam 2 x 24 jam
6 Telaksananya penilaian cepat kesehatan balita dan pemanfaatan hasilnya untuk Minggu pertama
peningkatan yankes balita di wilayah bencana
7 Adanya penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat setiap minggu dengan materi Sejak minggu
KIE yang relevan pertama
8 Adanya laporan dua-mingguan pelayanan kesehatan balita: Setiap dua
• Cakupan pelayanan tumbuh kembang balita (pengukuran anthropometri dan minggu
SDIDTK)
• Cakupan imunisasi dasar
• Persentase balita sakit
• Jenis kesakitan dan disabilitas pada balita
• Jumlah kejadian semua kekerasan pada balita dan jumlah kekerasan seksual
• Persentase balita mengalami kekerasan yang dirujuk
• Jumlah kematian balita
• Penyebab kematian balita
Tujuan dari Tahap Pascakrisis Kesehatan adalah mengembalikan fungsi pelayanan kesehatan seperti
semula secepatnya setelah situasi mulai stabil. Pada Bab VI dijelaskan tiga langkah utama yang
dilakukan pada Tahap ini. Berdasarkan kegiatan tersebut di bawah ini contoh indikator yang dapat
digunakan untuk pemantauan kegiatan pada Tahap ini (Tabel 7.3).
Tabel 7.3 Indikator dan Waktu Pemantauan pada Tahap Pascakrisis Kesehatan
No Indikator Waktu
1 Adanya pendampingan dari Penanggung Jawab (PJ) Komponen Kesehatan Balita dan Segera setelah
anggota Tim kepada dinas kesehatan setempat selama sekitar satu bulan untuk Tahap Tanggap
pencegahan penyakit, pelayanan kesehatan balita komprehensif-integratif. Darurat berakhir
48 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
No Indikator Waktu
2 Terlaksananya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana Mulai secepatnya
kesehatan setelah Tahap
Tanggap Darurat
berakhir
3 Adanya penilaian tentang status kesehatan balita sesuai dengan Instrumen Status Sebulan setelah
Kesehatan Balita (Lampiran 6) dan ketersediaan pelayanan kesehatan balita: perlu Tahap Tanggap
dilakukan dengan menggunakan Instrumen Penilaian Kerusakan dan Kerugian di Darurat berakhir
Bidang Kesehatan Balita (Lampiran 7).
4 Tersedianya Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan balita secara Secara berangsur
komprehensif-integratif. pada fase transisi
5 Adanya laporan bulanan pelayanan kesehatan balita: Setiap akhir
• Persentase puskesmas mampu memberikan pelayanan kesehatan balita bulan
• Cakupan pelayanan tumbuh kembang balita (pengukuran anthropometri dan
SDIDTK)
• Cakupan imunisasi dasar
• Persentase balita sakit
• Jenis kesakitan dan disabilitas pada balita
• Jumlah balita yang dirujuk menurut penyebabnya
• Jumlah kejadian semua kekerasan pada balita dan jumlah kekerasan seksual
• Persentase balita mengalami kekerasan yang dirujuk
• Penggunaan obat dan bahan habis pakai
• Jumlah kematian balita
• Penyebab kematian balita
6 Dokumentasi hasil analisis tentang situasi pelayanan kesehatan balita, serta hasilnya Akhir dari
yang meliputi output, outcome dan dampak secara keseluruhan sejak terjadinya bantuan
bencana sampai berakhirnya tahapan pengelolaan bencana penyelenggaraan
Pemantauan dan evaluasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi yang ada. Pada akhirnya,
kegiatan pemantauan dan evaluasi bertujuan untuk menjawab pertanyaan: apakah tujuan upaya yang
dilakukan tercapai seperti yang diharapkan? Akan lebih baik lagi bila dalam mencapai tujuan, upaya
yang dilakukan cukup efektif dan efisien.
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 49
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan RI. Buku Tinjauan Penanggulangan Krisis Kesehatan Tahun 2018. Jakarta,
2019.
2. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM)
Kesehatan Reproduksi Remaja pada Krisis Kesehatan. Jakarta, 2018.
3. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Penanganan Gizi dalam Penanggulangan Bencana. Jakarta,
2018.
4. Kementerian Kesehatan RI. Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan Masalah Kesehatan di
Situasi Kedaruratan. Jakarta, 2018.
5. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM)
Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan. Jakarta, 2017.
6. Kementerian Kesehatan RI. Buku Penanggulangan Krisis Kesehatan untuk Anak Sekolah: Lindungi
Diri Dari Bencana Kabut Asap. Jakarta, 2016.
7. Kementerian Kesehatan RI. Buku Penanggulangan Krisis Kesehatan untuk Anak Sekolah: Sudah
Siapkah Kita Menghadapi Gempa Bumi? Jakarta, 2016.
8. Kementerian Kesehatan RI. Buku Penanggulangan Krisis Kesehatan untuk Anak Sekolah:
Bersahabat Dengan Gunung Berapi. Jakarta, 2016.
9. Kementerian Kesehatan RI. Buku Penanggulangan Krisis Kesehatan untuk Anak Sekolah: Sudah
Siapkah Kita Menghadapi Banjir? Jakarta, 2016.
10. Kementerian Kesehatan RI. Buku Penanggulangan Krisis Kesehatan untuk Anak Sekolah: Sudah
Siapkah Kita Menghadapi Tanah Longsor? Jakarta, 2016.
11. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Panduan Perencanaan Kontinjensi Menghadapi
Bencana. Edisi kedua. Jakarta, 2011.
12. UNICEF and UN Global Compact. Children In Humanitarian Crises: What Business Can Do. 2016.
13. Sphere Association. The Sphere Handbook: Humanitarian Charter and Minimum Standards in
Humanitarian Response. Fourth edition. Geneva, Switzerland, 2018.
14. CDC. Accessed at https://www.cdc.gov/childrenindisasters/index.html on 30 December 2019.
15. WHO. Manual for the health care of children in humanitarian emergencies. Geneva, Switzerland,
2008.
50 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Lampiran 1 Penilaian Cepat (Rapid Health Assesment/RHA) Pelayanan Kesehatan
Balita pada Situasi Krisis Kesehatan
Provinsi :
Kabupaten/Kota :
Kecamatan :
Desa/Kelurahan :
Puskesmas :
Pos :
Jenis Bencana :
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 51
5 Penempatan lokasi pengungsian (barak, tenda,
tempat umum seperti sekolah, stadium,
masjid, gereja, dll)
6 Penempatan pengungsi
• Berdasarkan jenis kelamin/per keluarga
• Ketersediaan sekat/pembatas di pos
pengungsian
52 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
7 Buku untuk balita
8 Fasilitas pembuangan air (toilet)
9 Tempat pembuangan sampah
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 53
Lampiran 2. MTBS untuk Batuk dan Sukar Bernapas
54 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Lampiran 3. MTBS untuk Diare
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 55
Lampiran 4. MTBS untuk Demam
56 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 57
Lampiran 5. Logistik
Logistik kesehatan balita terdiri atas bahan-bahan sebagai berikut.
1. Media KIE
• Informasi hotline layanan balita: Sosial media pusat krisis
• Leaflet balita dalam menghadapi asap
• Leaflet balita dalam menghadapi banjir, tsunami, gempa, dll
• Media konseling untuk Pemberian Makanan untuk Anak dan dan Bayi (PMBA)
• Media KIE bencana yang tersedia: Promkes, malaria, diare, Pusat Krisis Kesehatan, UNICEF,
WVI (dilampirkan).
2. Tenda Balita
Sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang ada dan bila memungkinkan, akan menguntungkan bila
ada tenda balita untuk tempat kegiatan balita. Tenda ini bisa digunakan untuk tempat bermain
dan kegiatan lain yang berkaitan dengan kesehatan balita.
58 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
9 Sikat gigi balita 1 buah
10 Pasta gigi 3 buah 45 gram
Minimal kadaluarsa dalam 2 tahun
11 Minyak telon/kayu putih 3 botol 60 ml
Minimal kadaluarsa dalam 2 tahun
12 Sandal 1 pasang
13 Sisir 1 buah
14 Tisu basah 3 pak Kemasan 50 sheets
Minimal kadaluarsa dalam 2 tahun
15 Boneka anak 1 buah
16 Buku gambar, alat tulis, dan pensil warna 1 set
17 Tas resleting dengan logo dan label kit 1 buah
balita
18 Jerigen air lipat 1 buah Kapasitas 5 liter
19 Katalog didalam dan diluar tas 2 buah
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 59
4. Kit Pelayanan Kesehatan Balita
Emergency kit untuk bayi dan anak balita: alat resusitasi, inkubator portable, nebulizer, dll. Kit
kesehatan anak disesuaikan dengan lokasi: di lokasi darurat/bencana atau rujukan.
60 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
4.2 Obat-Obatan dan Bahan Habis Pakai untuk Pelayanan Kesehatan Balita (Disesuaikan
dengan Pedoman Pengelolaan Obat Bencana)
No Obat Jumlah Per Kit Keterangan
1 Vitamin A
2 Oralit
3 Zinc
4 Antibiotika
5 Obat-obat untuk MTBS
6 Paracetamol
7 Artesunat
8 Mineral mix
9 Tetes Mata
10 Ventolin ampul/Bronkodilator lain
11 Masker (ukuran bayi, anak balita)
12 Oxsican
13 Antihistamin (oral, topical)
14 Antifungi (oral, topical)
15 Antitusif
16 Antiasthma
17 Alkohol
18 Antiemetik
19 Betadine
20 Kasa/kapas steril
21 Spuit (3 cc, 5cc)
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 61
6. Pos Pelayanan Kesehatan Balita
Tenda untuk pelayanan kesehatan balita dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi yang
ada. Bila memungkinkan, sebaiknya berada atau berdekatan dengan tenda pelayanan Sub Klaster
Kesehatan Reproduksi. Kemungkinan lain adalah berada bersama dengan pelayanan kesehatan
lainnya yang juga terkait dengan pelayanan kesehatan balita, sehingga rujukan mudah dilakukan.
Bila jumlah balita banyak dan keadaan memungkinkan, bisa dipertimbangkan adanya tenda
pelayanan kesehatan khusus untuk balita dengan ukuran minimal 4x6 meter. Tenda ini dapat
diatur untuk beberapa ruangan dengan sekat, yaitu untuk registrasi dan ruang tunggu (di bagian
depan), ruangan periksa dokter, ruangan tindakan dan penyimpanan logistik.
Bila berada di tenda pelayanan Sub Klaster Kesehatan Reproduksi yang besar, tenda tersebut
dapat terdiri atas ruangan berikut:
1) Ruang pemeriksaan dan konsultasi
2) Ruang pelayanan persalinan, KB, dan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya
3) Ruang pemulihan/ruang ASI
4) Ruang penyimpanan logistik
Pelayanan kesehatan balita dapat dilaksanakan di ruang pemeriksaan dan konsultasi.
7. Buku KIA
Buku KIA diperlukan dalam jumlah cukup sesuai dengan jumlah balita yang belum mempunyai
Buku KIA. Kader dan bidan desa dapat mengidentifikasi kebutuhan Buku KIA khususnya bagi
pengungsi yang tidak lagi memiliki karena buku KIA dikarenakan rusak/hilang.
62 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Lampiran 6. Instrumen Status Kesehatan Balita
Provinsi :
Kabupaten/Kota :
Kecamatan :
Desa/Kelurahan :
Puskesmas :
Pos :
Jenis Bencana :
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 63
kekekeras
an
L P L P L P L P L P L P L P L P
1 0 – 28 hari
2 0 – 11 bulan
3 1 – 2 tahun
3 2 – 3 tahun
4 3 – 4 tahun
5 4 – 5 tahun
6 5 – 6 tahun
64 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Lampiran 7. Instrumen Penilaian Ketersediaan Pelayanan Kesehatan Balita
Provinsi :
Kabupaten/Kota :
Kecamatan :
Desa/Kelurahan :
Puskesmas :
Pos :
Jenis Bencana :
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 65
B Ketersediaan Peralatan Manajemen Terpadu
Ya/Tidak Jumlah Keterangan
Balita Sakit (MTBS)
1 Alat ukur PB bayi
2 Alat ukur TB Balita
3 Timbangan BB Bayi
4 Timbangan BB Balita
5 Ari timer/jam,
6 Termometer,
7 Meteran
8 RDT malaria
9 Blood lancet steril
10 Infuse set
11 Needle, 22G
12 Needle, 25G
13 Sarung tangan steril
14 Peralatan resusitasi bayi baru lahir
15 Baju Kangguru
16 Vaksin
• Hepatitis B0
• Polio
• IPV
• BCG
• DPT HB Hib
• Campak Rubella
17 Formulir MTBS/MTBM
18 Buku bagan MTBS
19 Buku KIA
20 Lembar balik/media KIE
21 Tersedia fasilitas cuci tangan/hand sanitizer
22 Tersedia air bersih
23 Needle waste box
24 Pemilahan sampah
66 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
C Stimulati Deteksi Intervensi Dini Tumbuh
Ya/Tidak Jumlah Keterangan
Kembang (SDIDTK)
1 SDIDTK Kit
2 Formulir SDIDTK
Keterangan
D Ketersediaan Tenaga Kesehatan Ya/Tidak Jumlah
(relawan/nakes lokal)
1 Dokter umum
2 Bidan
3 Perawat
4 Nakes terlatih MTBS
5 Nakes terlatih SAM/PMBA
6 Nakes terlatih pelayanan metode kangguru
7 Nakes terlatih resusitasi bayi baru lahir
8 Nakes terlatih SDIDTK/DDTK
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 67
F Layanan Lainnya untuk Balita Ya/Tidak Jumlah Keterangan
1 Tersedia ruang ramah anak di kamp pengungsi?
2 Terselenggara PAUD di kamp pengungsi?
3 Ada sekolah darurat untuk anak
68 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Lampiran 8. Media KIE terkait Bencana Asap
Masalah
Masalah
Kesehatan,
Kesehatan, AKIBAT
AKIBAT
POLUSI bencana
POLUSI bencana
Iritasi pada
mata, hidung,
Kemampuan
kerja paru
menjadi berkurang dan
menyebabkan orang
asap
dan tenggorokan, mudah lelah serta
serta menyebabkan mengalami kesulitan
reaksi alergi, Bagi yang
bernapas. berusia lanjut
peradangan dan
mungki juga dan anak-anak, yang
infeksi. punya penyakit kronis
dengan daya tahan
tubuh rendah serta wanita
yang sedang hamil,
Secara umum akan lebih rentan untuk
Infeksi berbagai mendapat gangguan
Saluran penyakit kronik kesehatan
Pernapasan juga dapat
Akut (ISPA) memburuk
Lebih Mudah
Terjadi
Bahan polutan
di asap kebakaran
hutan yang jatuh
ke permukaan bumi juga
mungkin dapat menjadi
Memperburuk sumber polutan di sarana
asma dan penyakit air bersih dan
paru kronis lain, makanan yang tidak
seperti bronkitis terlindungi
kronik, dan penyakit
paru kronik.
www.
promkes.
kemkes.
go.id
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 69
PERINGATAN
KESEHATAN
AKIBAT ASAP
INDEKS STATUS TINDAKAN
>
50 TIDAK SEHAT Bayi tidak direkomendasikan
keluar rumah
>
200 SANGAT
TIDAK SEHAT
Kelompok masyarakat rentan
(Balita, Ibu hamil dan lansia
serta penderita penyakit kronis)
tinggal dalam rumah
Anak Sekolah Dasar dan
Menengah Pertama diliburkan
>
300 BERBAHAYA Anak Sekolah Menengah
Atas dan perguruan tinggi
agar diliburkan
>
400 BERBAHAYA Masyarakat tidak melakukan
aktifitas diluar rumah
www.
promkes.
kemkes.
go.id
70 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Lampiran 8. Media KIE terkait Bencana Asap
•
Dampak Kabut Asap
Terhadap Anak
Pneumonia
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 71
Lampiran 9. Media KIE terkait dengan PMBA
72 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Lampiran 9. Media KIE terkait dengan PMBA
Air Susu Ibu (ASI)
adalah yang TERBAIK
pada situasi bencana
ASI aman
dan bersih
karena
langsung dari
payudara ibu
ASI adalah
makanan
terbaik dan ASI dapat
bergizi mencegah
sempurna Keunggulan bayi terkena
bagi bayi Air Susu Ibu penyakit
infeksi
(ASI)
Pada Situasi
Bencana
ASI
menguatkan ASI gratis
kasih sayang dan tersedia
antara ibu setiap saat
dan bayi
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 73
Lampiran 10. Media KIE terkait dengan Malaria
74 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Lampiran 11. Tim Penyusun
Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Balita pada Krisis
Kesehatan disusun bersama oleh Kementerian Kesehatan RI dan UNICEF Indonesia, serta lintas
program, lintas sektor, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, dan mitra pembangunan.
Pengarah:
dr. Erna Mulati, MSc, CMFM (Direktur Kesehatan Keluarga)
Editor:
• dr. Ardi Kaptiningsih, MPH (Konsultan)
• dr. Ni Made Diah PLD, MKM (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• Ribka Ivana Sebayang, SKM, MKM (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• Dwi Octa Amalia, SKM (Direktorat Kesehatan Keluarga)
Kontributor:
Lintas program di Kementerian Kesehatan RI
• dr. Laila Mahmudah, MPH (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• dr. Nindya Savitri, MKM (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• Sito Rukmi, SKM, MPH (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• dr. Widyawati (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• dr. Erni Risvayanti, MKM (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• dr. Milwiyandia, MARS (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• dr. Nuniek Ayu Setyadita (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• dr. Yunita Rina Sari (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• Sandy Waseso, SKM (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• dr. Stefani (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• dr. Wira Hartiti, MKM (Direktorat Kesehatan Keluarga)
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 75
• Imroatul Aflah, SKM (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• Henny Fatmawati, SKM (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• dr. Ratna Sari Junita (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• Elmy Rindang T., SKM, MKM (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• Rita Djupuri (Pusat Krisis Kesehatan)
• Supatmi, SKM, MKM (Pusat Krisis Kesehatan)
• Leny Juniarta (Pusat Krisis Kesehatan)
• Dody H. (Pusat Krisis Kesehatan)
• dr. Julina, MM (Direktorat Gizi Masyarakat)
• Nanda Indah P., S.Gz (Direktorat Gizi Masyarakat)
• Rian Anggraini, SKM, MKM (Direktorat Gizi Masyarakat)
• Tiska Yumeida, SKM, MA, MSE (Direktorat Gizi Masyarakat)
• Siti Hana, SKM, MKM (Direktorat Gizi Masyarakat)
• Catur Mei A. (Direktorat Gizi Masyarakat)
• Elisa Hermawan, SKM, MKM (Direktorat Gizi Masyarakat)
• Ze Eza Yulia Pearlovie (Direktorat Kesehatan Lingkungan)
• Astri Syativa (Direktorat Kesehatan Lingkungan)
• Deky Virandola (Direktorat Kesehatan Lingkungan)
• Muhani (Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat)
• R. Danu Ramadino (Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat)
• Ira (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung)
• Antony Azarsyah (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung)
• Agus Handito (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung)
• dr. Lina R. Margaweang, SpKJ (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa
dan Napza)
• Dyan Sawitri (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza)
• dr. Anita (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza)
• Hakimi (Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan)
76 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
• Novayanti (Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan)
• dr. Laode M. Dony (Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer
• Igam Bramantha Y (Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer)
• Diah Handaryati (Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer)
• Mina Febriani (Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer)
• Denti Widayanti (Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan)
• Albert C. (Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan)
• Virda Septina (Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan)
• Ratna Sulistiarini (Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan)
Lintas Sektor
• Rafa Karimah (Direktorat Tanggap Darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana)
• Rifa Rafika I (Direktorat Tanggap Darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana)
• Anita Martina R. (Direktorat Tanggap Darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana)
• Raymond Menardi (Direktorat Logistik, Badan Nasional Penanggulangan Bencana)
Organisasi Kemasyarakatan
• Firda Dewi Yani (Yayasan Sayangi Tunas Cilik/Save the Children)
• RInsan Tobing (Yayasan Sayangi Tunas Cilik/Save the Children)
• Vita Aristyanita (World Vision Indonesia)
• Rachmat Willy (World Vision Indonesia)
• Leny Jakaria, M.Pd
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 77
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota
• Dinas Kesehatan Provinsi DI Yogyakarta
• Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta
• Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah
• Dinas Kesehatan Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah
• Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat
• Dinas Kesehatan Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat
Mitra Pembangunan
• Bobby M. Syahrial (UNICEF Indonesia)
• Gercelina Silaen (UNICEF Indonesia)
• Ninik (UNICEF)
• Sugeng Eko Irianto (WHO Indonesia)
• Elvina Karjadi (World Bank Indonesia)
78 DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN
Tim Administrasi
• Eka Erniseptiani, SKM (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• Andhika Yudha Pratama, SE (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• Dedi Mulyawan (Direktorat Kesehatan Keluarga)
• Pidah Safrida (Direktorat Kesehatan Keluarga)
DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN BALITA PADA KRISIS KESEHATAN 79