Anda di halaman 1dari 105

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap ibu hamil menginginkan bisa melahirkan secara normal dan

lancar. Namun, ada banyak faktor yang menyebabkan ibu hamil harus

menjalani persalinan yang tidak normal atau persalinan dengan tindakan.

Kondisi tersebut menghadapkan ibu hamil kepada pilihan melakukan operasi

Sectio Caesarea (SC). Persalinan Sectio Caesarea adalah melahirkan janin

yang sudah mampu hidup (beserta plasenta dan selaput ketuban) secara

transabdominal melalui insisi uterus (Benson, 2009).

Idealnya persalinan itu berlangsung secara normal/pervaginam, akan

tetapi ada beberapa persalinan yang harus dilakukan dengan tindakan SC.

menurut World Health Organization (WHO) sekitar 10% sampai 15% dari

semua proses persalinan dilakukan dengan tindakan SC. Di negara maju

seperti Britania Raya angka kejadian SC sebesar 20% dan di Amerika Serikat

sebesar 23%. Di Indonesia jumlah persalinan SC di rumah sakit pemerintah

adalah sekitar 20-25% dari total jumlah persalinan, sedangkan di rumah sakit

swasta jumlahnya lebih tinggi yaitu sekitar 30-80% dari total jumlah

persalinan (Mulyawati, dkk., 2011).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUD Syarifah Ambami Rato

Ebuh Bangkalan didapatkan pada tahun 2013 ibu yang melahirkan SC

sebanyak 394 (58%) dari 677 persalinan dan persalinan selain SC sebanyak

283 (42%) dari 677 persalinan sedangkan pada bulan Januari sampai Oktober

1
2

2014 ibu yang melahirkan dengan SC sebanyak 317 (58%) dari 545

persalinan dan persalinan selain SC 228 (42%) hal ini memungkinkan adanya

kenaikan sampai akhir tahun 2014.

Tabel 1.1 Hasil studi pendahuluan persalinan SC dan Non SC (pervaginam) di


RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
SC Non SC
Usia
<20 dan ≥ 35 tahun 169 (77%) 51 (23%)
20-34 tahun 148 (46%) 177 (54%)
Paritas
Primipara dan Grande multipara 175 (61%) 113 (39%)
Multipara 142 (55%) 115 (45%)
Riwayat SC
Ya 65 (82%) 14 (9%)
Tidak 252 (54%) 214 (45%)
KPP
Ya 50 (58%) 35 (42%)
Tidak 267 (58%) 193 (42%)
PEB
Ya 42 (81%) 10 (19%)
Tidak 275 (56%) 218 (44%)
Kelainan letak
Ya 13 (72%) 5 (28%)
Tidak 304 (58%) 223 (42%)
Permintaan pasien
Ya 2 (0,8%) 226 (99,2%)
Tidak 315 (99,3%) 2 (0,7%)
Sumber : Rekam medik RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan

Berdasarkan data diatas didapatkan tingginya persalinan SC menurut

indikasi disebabkan karena riwayat SC dan KPP, sedangkan menurut usia ibu

bersalin SC didapatkan rentang usia <20 dan ≥ 35, dan menurut paritas yaitu

Primipara dan Grande multipara.

Alasan peningkatan persalinan SC tersebut menurut Cunningham

(2006) adalah terjadinya penurunan paritas, wanita yang melahirkan berusia

lebih tua, pemantauan janin secara elektronik, kehamilan dengan presentasi

bokong, insiden pelahiran per vaginam midpelvik menurun, kekhawatiran

akan tuntutan malpraktek, faktor sosioekonomi dan demografi, riwayat SC.

Usia sangat menentukan terhadap kelancaran proses kehamilan dan proses


3

persalinan karena beda usia, beda pula kondisi fisiknya. Kehamilan diusia <

20 tahun sering menimbulkan masalah karena kurang siapnya kondisi fisik

dan psikologis begitu juga dengan kehamilan diusia ≥35 karena fungsi organ

reproduksi sudah menurun (Damayanti, 2012). Begitu pula dengan paritas,

paritas berpengaruh terhadap ketahanan uterus. Pada primipara otot-otot

uterus dan jalan lahir masih kaku sedangkan pada grandemultipara otot uterus

mulai kendor sehingga mempengaruhi kekuatan otot uterus dalam persalinan.

Pada riwayat SC beresiko mengalami rupture uteri dan pada KPP beresiko

mengalami infeksi yang dapat membahayakan ibu dan bayi (Manuaba, 2008).

Walaupun pada situasi tertentu persalinan SC menjadi pilihan, namun

sebagai salah satu jenis operasi, persalinan SC memiliki resiko terhadap ibu

dan bayinya. Menurut Bensons dan Pernolls (2009), angka kematian pada

operasi SC adalah 40-80 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini

menunjukkan risiko 25 kali lebih besar dibanding persalinan per vaginam.

Untuk infeksi mempunyai angka 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan

persalinan per vaginam. Sedangkan resiko yang sering ditemukan pada bayi

dengan persalinan SC antara lain hipoksia dan sindroma gawat pernafasan.

Selain itu, persalinan SC berpengaruh terhadap kehamilan berikutnya karena

kehamilan dengan riwayat bekas operasi SC merupakan kehamian yang

berisiko tinggi terhadap proses persalinan selanjutnya (Rochyati, 2003).

Salah satu upaya pemerintah untuk menekan angka kejadian persalinan

SC adalah dengan mempersiapkan tenaga kesehatan yang kompeten agar

dapat melakukan deteksi dini dan pencegahan komplikasi serta memberikan

konseling tentang bahaya SC pada ibu hamil pada setiap pemeriksaan


4

antenatal care selama kehamilannya serta penggunaan partograf pada setiap

persalinan untuk deteksi dini penyulit persalinan sehingga kemungkinan

persalinan dengan SC dapat diminimalkan dan dicegah sedini mungkin

(Depkes RI, 2009). Selain itu cara lain untuk menekan angka persalinan SC

pada ibu hamil dengan riwayat operasi SC adalah dengan melakukan Trial of

labor atau Vaginal Birth After Caesarean (VBAC) pada setiap ibu bersalin

dengan riwayat SC yang memenuhi prasyarat.

Berdasarkan data diatas didapatkan Tingginya persalinan SC di RSUD

syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan yang disebabkan karena indikasi

riwayat SC dan KPP, sedangkan menurut usia ibu bersalin SC didapatkan

rentang usia <20 dan ≥ 35, dan menurut paritas yaitu Primipara dan Grande

multipara merupakan yang terbanyak, sehingga perlu dilakukan penelitian

tentang pengaruh usia, paritas, riwayat SC dan KPP terhadap resiko tindakan

persalinan Sectio Caesaria (SC) di RSUD syarifah Ambami Rato Ebuh

Bangkalan.
5

1.2 Identifikasi Penyebab Masalah

Alasan peningkatan persalinan SC

a. Paritas
b. Usia
c. Pemantauan janin secara Tingginya persalinan
elektronik SC di RSUD Syarifah
d. Kelainan letak Ambami Rato Ebuh
e. Faktor sosioekonomi dan % Bangkalan yaitu 58
demografik
f. Kekhawatiran akan tuntutan
malpraktek
g. Riwayat SC
h. KPP

Gambar 1.1 Identifikasi penyebab masalah (Cunningham, 2006)

Adapun alasan peningkatan persalinan SC menurut Cunningham (2006) adalah :

a. Usia

Usia merupakan salah satu tolok ukur kesiapan seorang ibu untuk

melahirkan, dimana usia ideal untuk menjalani proses kehamilan dan

persalinan adalah usia 20-35 tahun. Wanita berusia kurang dari 20 tahun

biasanya memiliki kondisi psikis yang belum matang serta kemampuan

finansial yang kurang mendukung, sementara wanita berusia lebih dari 35

tahun cenderung mengalami penurunan kemampuan reproduksi serta

beresiko mengalami persalinan dengan tindakan SC (Damayanti, 2012).

b. Paritas

Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami seorang ibu yang

telah melahirkan seorang bayi (Sulistyawati, 2009). Paritas merupakan salah

satu faktor yang berhubungan dengan peningkatan persalinan SC, paritas


6

primapara beresiko 1,15 kali dan grande multipara beresiko 0,75 kali

melahirkan SC (Pandesolang, 2012).

c. Pemantauan Janin secara elektronik

Sejak awal tahun 1970an, pemantauan janin secara elektronik telah

digunakan secara luas, tidak diragukan lagi bahwa teknik ini menyebabkan

peningkatan angka seksio sesarea dibandingkan dengan auskultasi denyut

jantung janin secara intermiten. Walaupun seksio sesarea yang terutama

dilakukan atas indikasi gawat janin (Cunningham, 2006).

d. Kelainan Letak

Menurut Notzon (1994) dalam Cunningham (2006), 83% diantara semua

bayi dengan presentasi bokong dilahirkan melalui abdomen.

e. Faktor sosioekonomi dan demografi

Berdasarkan penelitian Gomes (1999) dalam Andree (2006) menemukan

ibu yang bekerja di dalam rumah hampir dua kali kecenderungannya untuk

melahirkan SC dibandingkan kelompok ibu yang sebagian waktunya berada

dalam rumah. Sedangkan ibu yang tinggal diperkotaan beresiko 1,33 kali

untuk melahirkan secara SC.

f. Kekhawatiran akan tuntutan malpraktek

Kekhawatiran akan tuntutan malpraktek telah secara bermakna berperan

menyebabkan angka seksio sesarea menjadi seperti sekarang. Tidak

dilakukannya seksio sesarea sehingga terjadi kelainan neurologis atau

cerebral palsy pada neonatus merupakan klaim yang dominan dalam

tuntutan malpraktek obstetri di Amerika Serikat (Cunningham, 2006).


7

g. Riwayat SC

Ibu dengan riwayat persalinan SC beresiko 3, 09 kali untuk melahirkan

SC dibandingkan ibu tanpa riwayat SC (Silvia, 2011)

h. KPP

Penelitian Wildayani (2009) menyatakan ibu yang mengalami ketuban

pecah dini akan memiliki risiko baik ibu maupun janin untuk terkena infeksi

dan salah satu jalan yang dipilih untuk pertolongan persalinan dengan SC.

1.3 Batasan Masalah

Penelitian ini hanya meneliti tentang pengaruh usia, paritas, riwayat SC

dan ketuban pecah prematur (KPP) terhadap resiko tindakan persalinan Sectio

Caesarea (SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat ditarik rumusan masalah sebagai

berikut :

1.4.1 Apakah ada pengaruh usia ibu bersalin terhadap resiko tindakan persalinan

SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan?

1.4.2 Apakah ada pengaruh paritas ibu bersalin terhadap resiko tindakan

persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan?

1.4.3 Apakah ada pengaruh riwayat SC terhadap resiko tindakan persalinan SC

di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan?

1.4.4 Apakah ada pengaruh KPP terhadap resiko tindakan persalinan SC di

RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan?


8

1.4.5 Apakah ada pengaruh usia, paritas, riwayat SC dan KPP terhadap

persalinan SC?

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh usia, paritas, riwayat SC dan ketuban pecah

premature (KPP) terhadap persalinan Sectio Caesarian (SC)

1.5.2 Tujuan Khusus

a. Menganalisis pengaruh usia ibu bersalin terhadap resiko tindakan

persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan

b. Menganalisis pengaruh paritas ibu bersalin terhadap resiko tindakan

persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan

c. Menganalisis pengaruh riwayat SC terhadap resiko tindakan persalinan

SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan

d. Menganalisis pengaruh KPP terhadap resiko tindakan persalinan SC di

RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan

e. Menganalisis pengaruh usia, paritas, riwayat SC dan KPP terhadap

persalinan SC
9

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Teoritis

Sebagai referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan kebidanan

sehingga diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan SC

1.6.2 Praktis

Memberikan informasi pada masyarakat mengenai faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap persalinan SC, sehingga masyarakat dapat

mengetahui dan melakukan upaya pencegahan sedini mungkin.


10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persalinan

2.1.1 Pengertian Persalinan

Persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan

pengeluaran bayi yang cukup bulan atau hampir cukup bulan disusul dengan

pengeluaran placenta dan selaput janin dari tubuh ibu (Kuswanti, dkk.,

2014). Sedangkan menurut Jaringan Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi

(JNPK-KR) tahun 2008 persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan

selaput ketuban keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika

prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu)

tanpa disertai adanya penyulit. Persalinan dimulai (inpartu) sejak uterus

berkontraksi dan menyebabkan perubahan pada servik (membuka dan

menipis) dan berakhir dengan lahirnya plasenta secara lengkap. Ibu belum

inpartu jika kontraksi uterus tidak mengakibatkan perubahan servik.

2.1.2 Pembagian Persalinan

Pembagian persalinan menurut cara persalinan menurut Kuswanti, dkk

(2014) dibagi menjadi :

a. Persalinan spontan adalah persalinan yang berlangsung dengan kekuatan

ibu sendiri.

b. Persalinan normal (eutosia) adalah proses kelahiran janin pada

kehamilan cukup bulan (aterm, 37-42 minggu), pada janin letak

10
11

memanjang, presentasi belakang kepala yang disusul dengan

pengeluaran plasenta dan seluruh proses kelahiran itu berakhir dalam

waktu kurang dari 24 jam 37 tanpa tindakan/pertolongan buatan dan

tanpa komplikasi.

c. Persalinan anjuran adalah persalinan yang terjadi jika kekuatan yang

diperlukan untuk persalinan ditimbulkan dari luar dengan jalan

rangsangan, yaitu merangsang otot rahim berkontraksi seperti dengan

menggunakan prostaglandin, oksitosin, atau memecahkan ketuban

d. Persalinan tindakan adalah persalinan yang tidak dapat berjalan normal

secara spontan atau tidak berjalan sendiri, oleh karena terdapat indikasi

adanya penyulit sehingga persalinan dilakukan dengan memberikan

tindakan menggunakan alat bantu.

Persalinan tindakan terdiri dari :

1) Persalinan tindakan pervaginam apabila persyaratan pervaginam

memenuhi, meliputi ekstraksi vakum dan forsep untuk bayi yang

masih hidup dan embriotomi jika bayi sudah meninggal

2) Persalinan tindakan perabdomen apabila persyaratan pervaginam

tidak memenuhi, berupa Seksio Cesarea.

2.1.3 Fase-Fase Persalinan Normal

Fase-Fase Persalinan Normal menurut JNPK-KR (2008) antara lain;

Persalinan dimulai (inpartu) sejak uterus berkontraksi dan menyebabkan

perubahan pada serviks (membuka dan menipis) dan berakhir dengan

lahirnya plasenta secara lengkap. Ibu belum inpartu jika kontraksi uterus

tidak mengakibatkan perubahan serviks.


12

Tanda dan gejala inpartu meliputi:

a. Penipisan dan pembukaan serviks

b. Kontraksi uterus yang mengakibatkan perubahan serviks (frekuensi

minimal 2 kali dalam 10 menit).

c. Cairan lendir bercampur darah (show) melalui vagina.

Terdapat tiga fase (kala) pada persalinan normal.

1) Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus yang teratur

dan meningkat (frekuensi dan kekuatannya) hingga serviks membuka

lengkap (10 cm). Kala I persalinan terdiri dari dua fase, yaitu fase laten

dan fase aktif.

Fase laten pada kala I persalinan:

a) Dimulai sejak awal berkontraksi yang menyebabkan penipisan dan

Fase aktif pada kala I persalinan

b) Frekuensi dan lama kontraksi uterus akan meningkat secara bertahap

(kontraksi dianggap adekuat/memadai jika terjadi tiga kali atau lebih

dalam waktu 10 menit, dan berlangsung selama 40 detik atau lebih).

c) Dari pembukaan 4 cm hingga mencapai pembukaan lengkap atau 10

cm, akan terjadi dengan kecepatan rata-rata 1 cm per jam (nulipara

atau primigravida) atau lebih dari 1 cm hingga 2 cm (multipara).

d) Terjadi penurunan bagian terbawah janin.

2) Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10

cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi. Kala II juga disebut sebagai kala

pengeluaran bayi.
13

Gejala dan tanda kala II persalinan adalah :

a) Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi.

b) Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rektum dan/atau

vaginanya.

c) Perineum menonjol

d) Vulva dan sfingter ani membuka

e) Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

f) Pembukaan serviks sudah lengkap

g) Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina

3) Kala III persalinan disebut juga sebagai kala uri atau kala pengeluaran

plasenta, dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya

plasenta dan selaput ketuban.

Tanda-tanda lepasnya plasenta :

a) Perubahan bentuk dan tinggi fundus. Setelah bayi lahir dan sebelum

miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk bulat penuh dan

tinggi fundus biasanya di bawah pusat. Setelah uterus berkontraksi

dan plasenta terdorong ke bawah, uterus berbentuk segitiga atau

seperti buah pear atau alpukat dan fundus berada di atas pusat

(seringkali mengarah ke sisi kanan).

b) Tali pusat memanjang, terlihat menjulur keluar melalui vulva (tanda

Ahfeld).

c) Semburan darah mendadak dan singkat. Darah yang terkumpul di

belakang plasenta akan membantu mendorong plasenta keluar

dibantu oleh gaya gravitasi.


14

4) Kala IV persalinan dimulai setelah lahirnya plasenta dan berakhir dua

jam setelah itu.

2.1.4 Faktor-Faktor Persalinan Normal

Adapun faktor-faktor persalinan normal menurut Manuaba (2012),

adalah :

a.Power (kekuatan / tenaga )

Kekuatan yang mendorong janin saat persalinan adalah his, kontraksi

otot-otot perut, kontraksi diafragma, aksi dari ligament dan refleksi

mengejan

b.Passage (jalan lahir )

Jalan lahir terdiri atas bagian keras tulang-tulang panggul (rangka

panggul) dan bagian lunak (otot-otot, jaringan-jaringan dan ligament-

ligamen). Jalan lahir yang paling penting dan menentukan proses

persalinan adalah pelvis minor (panggul kecil) yang terdiri dari:

1) Pintu atas panggul

2) Bidang terluas panggul

3) Bidang sempit panggul

4) Pintu bawah panggul

c.Passenger (janin dan plasenta).

Bagian janin yang paling menentukan dalam proses persalinan

1) Bentuk ukuran kepala janin, kemampuan kepala untuk melewati

jalan lahir

2) Presentasi janin dan bagian janin yang terletak pada bagian depan

jalan lahir, seperti : presentasi kepala (verteks, muka, dahi),


15

presentasi bokong (bokong murni / frenk breech), bokong kaki

(complete breech) letak lutut atau letak kaki (incomplete breech),

presentasi bahu (letak lontang)

3) Sikap janin, hubungan bagian janin (kepala) dengan bagian janin

lainnya (badan), misalnya fleksis, defleksi, dll.

4) Posisi janin, hubungan penentu dari bagian terendah janin dengan

panggul ibu.

d. Faktor psikologis parturien

1) Penerimaan parturien terhadap kehamilannya (kehamilan

dikehendaki atau tidak dikehendaki)

2) Penerimaan parturien terhadapnya jalannya perawatan antenatal,

petunjuk dan persiapannya untuk menghadapi persalinan

3) Kemampuan untuk bekerja sama dengan pemimpin/penolong

persalinan

4) Adaptasi parturien terhadap rasa nyeri persalinan

e. Penolong persalinan

1) Pengalaman dalam menolong persalinan

2) Kesabaran dan pengertiannya dalam menghadapi parturien, terutama

terhadap primipara (baru pertama kali menghadapi persalinan).

Jika salah satu dari kelima faktor tersebut tidak berjalan dengan baik dan

normal maka persalinan tidak akan berlangsung secara normal dan harus

segera dilakukan tindakan untuk melahirkan bayi, salah satunya dengan

persalinan SC
16

2.1.5 Proses Persalinan

Menurut Manuaba (2012), persalinan letak belakang kepala, yang disebut

persalinan eutosia mempunyai gerakan utama sebagai berikut :

a. Turun / masuknya kepala janin (decent/engagement)

Turunnya kepala dikenal dengan dua bentuk :

1) Masuknya kepala (engagement)

Pada primigravida, hal ini sudah terjadi pada minggu ke-36. Proses

ini disebabkan oleh kontraksi Braxton Hicks, ketegangan pada

dinding abdomen dan ligamentum rotundum. Pada multigravida hal

ini terjadi karena his persalinan

2) Majunya kepala janin (decent)

Terjadi karena his persalinan dan diikuti oleh mekanisme persalinan

kepala. Sebagian besar kepala turun dan masuk pintu atas panggul

dalam keadaan sinklitismus, asinklitismus anterior menurut Naegele

dan asinklitismus posterior menurut Litzmann.

b. Fleksi kepala janin

Proses majunya kepala janin disebabkan oleh tekanan air ketuban,

tekanan langsung bokong terhadap kepala janin, kontraksi yang dominan

pada fundus uteri, mengecilnya volume uterus, perubahan bentuk badan

janin dan kekuatan mengejan. Posisi dan bentuk persendian leher

menyebabkan perubahan posisi kepala yang semula fleksi, sehingga

dagu janin sekang menempel ke dadanya. Keuntungan yang didapat

dengan bertambahnya fleksi adalah terjadinya perubahan posisi diameter

kepala, dari diameter suboksipitofrontalis menjadi diameter


17

suboksipitobregmatika (9,6 cm) dengan lingkar kepala yang masuk ke

jalan lahir sebesar 32 cm.

c. Putaran paksi dalam

Putar paksi dalam merupakan upaya kepala janin untuk

menyesuaikan diri dengan jalan lahir sehingga hipomoklion berada

dibawah simpisis pada letak belakang kepala, hipomoklionnya

suboksipitalis

d. Defleksi kepala janin

Dimulai dengan suboksipitalis berada dibawah simfisis yang

berfungsi sebagai hipomoklion, disertai dengan kekuatan his dan

mengejan, maka terdapat peluang proses defleksi dan berturut-turut lahir

UUB, dahi, mata, hidung, mulut, dan dagu. Dengan demikian sebagian

besar kepala janin telah lahir.

e. Ekstensi kepala janin

Setelah sebagian besar kepala janin keluar, kekuatan persalinan

selanjutnya akan menyebabkan ekstensi kepala sehingga seluruh kepala

lahir. Bersamaan dengan lahirnya seluruh kepala janin, bahu janin

masuk ke jalan lahir dalam posisi depan belakang.

f. Putaran paksi luar

Dengan masuknya bahu janin ke jalan lahir dengan posisi depan

belakang, kepala janin menyesuaikan diri sehingga oksipitalis kembali

ke posisinya, sederet dengan posisi tulang belakang, ini disebut putaran

paksi luar.
18

g. Ekspulsi

Dengan masuknya bahu janin ke jalan lahir dengan posisi depan

belakang, maka bahu depan bertindak sebagai hipomoklion. Bahu

belakang lahir terlebih dahulu, diikuti bahu depan, sehingga kedua bahu

anak lahir. Persalinan sisa badan janin tidak mengalami kesulitan.

2.2 Persalinan Sectio Caesaria (SC)

2.2.1 Definisi Persalinan Sectio Caesaria (SC)

Persalinan Sectio Caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin

dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim

dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram

(Prawirohardjo, 2009). Dalam bahasa inggris sering disebut Cesarean

Section atau Caesarean Section dalam logat inggris-Amerika. Kadangkala

dokter sering menyebut C-Section atau CS saja (Indiarti, 2007).

2.2.2 Jenis Persalinan Sectio Caesaria (SC)

Adapun jenis persalinan Sectio Caesaria (SC) menurut Oxorn, et al

(2010) antara lain :

a. Segmen Bawah : Insisi Melintang

Karena cara ini memungkinkan kelahiran per abdominam yang

aman sekalipun dikerjakan kemudian pada saat persalinan dan

sekalipun rongga rahim terinfeksi, maka insisi melintang segmen

bawah uterus telah menimbulkan revolusi dalam pelaksanaan obstetrik

pada hal-hal berikut:


19

1) Insisi ini memungkinkan ahli kebidanan untuk mengubah

keputusannya

2) Insisi ini menghasilkan konsep trial of labor, trial of oxytocin

stimulation dan trial forceps.

3) Indikasi kelahiran dengan forceps yang membawa cedera benar-

benar ditiadakan.

4) Indikasi untuk sectio caesarea semakin meluas.

5) Morbiditas dan mortalitas maternal lebih rendah dibandingkan

insisi segmen atas.

6) Cicatrix yang terjadi pada uterus lebih kuat.

Dalam pemikiran kami, insisi melintang segmen bawah ini

merupakan prosedur pilihan. Abdomen. Abdomen dibuka dan uterus

dsingkapkan. Lipatan vesi-couterina periteoneum (bladder flap) yang

terletak dekat sambungan segmen atas dan bawah uterus ditentukan

dan disayat melintang; lipatan ini dilepaskan dari segmen bawah dan

bersama-sama kandung kemih didorong ke bawah serta ditarik agar

tidak menutupi lapangan pandang. Pada segmen bawah uterus dibuat

insisi melintang yang kecil, luka insisi ini dilebarkan ke samping

dengan jari-jari tangan dan berhenti di dekat daerah pembuluh darah

uterus. Kepala janin pada sebagian besar kasus terletak dibalik insisi

diekstraksi atau didorong, diikuti bagian tubuh lainnya dan kemudian

placenta serta selaput ketuban. Insisi melintang tersebut ditutup

dengan jahitan catgut bersambung satu lapis atau dua lapis. Lipatan

vesicouterina kemudian dijahit kembali pada dinding uterus sehingga


20

seluruh luka insisi terbungkus dan tertutup dari rongga peritoneum

generalisata. Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis.

Adapun keuntungannya antara lain :

1) Insisi pada segmen bawah uterus. Namun demikian, kita harus

yakin bahwa tempat insisi ini berada pada segmen bawah yang tipis

dan bukannya pada bagian inferior dari segmen atas yang muskuler

2) Otot tidak dipotong tetapi dipisah ke samping, cara ini mengurangi

perdarahan.

3) Insisi jarang terjadi sampai plasenta

4) Kepala janin biasanya berada dibawah insisi dan mudah diekstraksi

5) Lapisan otot yang tipis dari segmen bawah rahim lebih mudah

dirapatkan kembali dibandingkan segmen atas yang tebal

6) Keseluruhan luka insisi terbungkus oleh lipatan vesicouterina

sehingga mengurangi perembasan ke dalam cavum peritonei

generalisata

7) Ruptur jaringan cicatrix yang melintang kurang membahayakan

jiwa ibu dan janin karena insiden rupture tersebut lebih rendah,

kejadian tersebut jarang terjadi sebelum aterm. Dengan demikian

pasien sudah dalam pengamatan ketat di rumah sakit.

8) Perdarahan dari segmen bawah yang kurang mengandung

pembuluh darah itu lebih sedikit dibandingkan perdarahan di

corpus

9) Ruptura bekas insisi melintang yang rendah letaknya kadang-

kadang diikuti dengan ekspulsi janin atau engan terpisahnya


21

placenta, sehingga masih ada kesempatan untuk menyelamatkan

bayi.

Sedangkan kerugian dari tekhnik segmen bawah dengan insisi

melintang adalah :

1) Jika insisi terlampau jauh ke lateral, seperti pada kasus bayi besar,

maka pembuluh darah uterus dapat terobek, sehingga menimbulkan

perdarahan hebat.

2) Prosedur ini tidak dianjurkan kalau terdapat abnormalitas pada

segmen bawah seperti fibroid atau varices yang luas

3) Pembedahan sebelumnya atau pelekatan yang padat yang

menghalangi pencapaian segmen bawah akan mempersulit operasi

4) Kalau segmen bawah belum terbentuk dengan baik maka

pembedahan sukar dikerjakan

5) Kadang-kadang vesica urinaria melekat pada jaringan cicatrix yang

terjadi sebelumnya sehingga vesica urinaria dapat terlua.

b. Segmen Bawah : Insisi Membujur

Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus sama seperti

pada insisi melintang. Insisi membujur dibuat dengan skalpel dan

dilebarkan dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada

bayi.

Insisi membujur mempunyai keuntungan yaitu kalau perlu luka

insisi bisa diperlebar ke atas. Pelebaran ini diperlukan jika bayi besar.

Pembentukan segmen bawah jelek , ada malposisi janin seperti letak

lintang atau kalau ada anomali janin seperti kehamilan kembar yang
22

menyatu (conjoined twins). Sebagian ahli kebidanan menyukai jenis

insisi ini untuk placenta previa

Salah satu kerugian utamanya adalah perdarahan dari tepi sayatan

yang lebih banyak karena terpotongnya otot, sering luka insisi tanpa

dikehendaki meluas ke segmen atas sehingga nilai penutupan

retroperitoneal yang lengkap akan hilang.

c. Sectio Caesaria Klasik

Insisi longitudinal di garis tengah dibuat dengan skalpel ke dalam

dinding anterior uterus dan dilebarkan keatas serta ke bawah dengan

gunting yang berujung tumpul, diperlukan luka insisi yang lebar karena

bayi sering dilahirkan dengan bokong dahulu, janin serta plasenta

dikeluarkan dan uterus dijahit dengan tiga lapis. Pada masa modern ini

hampir sudah tidak dipertimbangkan lagi untuk mengerjakan section

caesaria klasik.

Adapun indikasi section caesaria klasik adalah :

1) Kesulitan dalam menyingkapkan segmen bawah misalnya karena

adanya pembuluh darah besar pada dinding anterior, vesica urinaria

yang letaknya tinggi dan melekat, myoma pada segmen bawah

2) Bayi yang tercekam pada letak lintang

3) Beberapa kasus plasenta previa anterior

4) Malformasi uterus tertentu

Sedangkan kerugian dari section caesaria klasik adalah :

1) Myometrium yang tebal harus dipotong, sinus-sinus yang lebar

dibuka dan perdarahannya banyak


23

2) Bayi sering diekstraksi bokong dahulu sehingga kemungkinan

aspirasi cairan ketuban lebih besar

3) Apabila placenta melekat pada dinding depan uterus, insisi akan

memotongnya dan dapat menimbulkan kehilangan darah dari

sirkulasi janin yang berbahaya

4) Letak insisi tidak tertutup dalam cavum peritonei generalisata dan

isi uterus yang terinfeksi kemungkinan besar merembes dengan

akibat peritonitis

5) Insidensi pelekatan isi abdomen pada luka jahitan uterus lebih

tinggi

6) Insidensi rupture uteri pada kehamilan berikutnya lebih tinggi.

d. Section Caesaria Extraperitoneal

Pembedahan extraperitoneal dikerjakan untuk menghindari

perlunya histerektomi pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas

dengan mencegah peritonitis geeneralisata yang sering bersifat fatal.

Ada beberapa metode section caesaria extraperitoneal, seperti metode

Waters, Latzko dan Norton. Teknik pada prosedur ini relatif sulit,

sering tanpa sengaja masuk ke dalam cavum peritonei, dan insidensi

cedera vesica urinaria meningkat. Perawatan prenatal yang lebih baik,

penurunan insidensi kasus yang terlantar, dan tersedianya darah serta

antibiotik telah mengurangi perlunya teknik extraperitoneal. Metode

ini tidak boleh dibuang tetapi tetap disimpan sebagai cadangan bagi

kasus-kasus tertentu.
24

e. Histerektomi caesaria

Pembedahan ini merupakan section caesaria yang dilanjutkan

dengan pengeluaran uterus. Kalau mungkin histerektomi harus

dikerjakan lengkap (histerektomi total). Akan tetapi, karena

pembedahan subtotal lebih mudah dan dapat dikerjakan lebih cepat,

maka pembedahan subtotal menjadi prosedur pilihan kalau terdapat

perdarahan hebat dan pasiennya shock atau kalau pasien dalam

keadaan jelek akibat sebab-sebab lain. Pada kasus kasus semacam ini,

tujuan pembedahan adalah menyelesaikannya secepat mungkin.

Adapun indikasi dari histerektomi caesaria adalah :

Perdarahan akibat atonia uteri setelah terapi konservatif gagal

1) Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan pada kasus-kasus

placenta previa dan abruptio placenta tertentu

2) Placenta acreta

3) Fibrimyoma yang multiple dan luas

4) Pada kasus-kasus tertentu kanker cervix atau ovarium

5) Ruptura uteri yang tidak dapat diperbaiki

6) Sebagai metode sterilisasi kalau kelanjutan haid tidak dikehendaki

demi alasan medis

7) Pada kasus-kasus yang terlantar dan terinfeksi kalau resiko

peritonitis generalisata tidak dijamin dengan mempertahankan

uterus, misalnya pada seorang ibu yang sudah memiliki beberapa

orang anak dan tidak ingin menambahnya lagi

8) Cicatrix yang menimbulkan cacat pada uterus


25

9) Pelebaran luka insisi yang mengenai pembuluh-pembuluh darah

sehingga perdarahan tidak bisa dihentikan dengan pengikatan

ligature.

Sedangkan komplikasi dari tindakan histerektomi caesaria adalah :

1) Angka morbiditasnya 20%

2) Darah lebih banyak hilang

3) Kerusakan pada trakrus urinarus dan usus termasuk pembentukan

fistula

4) Trauma psikologis akibat hilangnya rahim.

2.2.3 Istilah Persalinan Sectio Caesaria (SC)

Menurut Mochtar (2013) ada beberapa istilah persalinan Sectio

Caesaria (SC) yaitu :

a.Sectio Caesarea primer (efektif)

Sejak semula telah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara

SC, tidak diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada panggul

sempit (CV kurang dari 8 cm)

b.Sectio Caesarea sekunder

Kita mencoba menunggu kelahiran biasa (partus percobaan), jika tidak

ada kemajuan persalinan atau partus percobaan gagal, baru dilakukan

SC

c.Sectio Caesarea ulang

Ibu pada kehamilan yang lalu menjalani SC dan pada kehamilan

selanjutnya juga dilakukan persalinan SC ulang


26

d.Sectio Caesarea histerektomi

Suatu operasi yang meliputi pelahiran janin dengan SC yang secara

langsung diikuti histerektomi karena suatu indikasi

e.Operasi Porro

Suatu opersi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (tentunya

janin sudah mati), dan langsung dilakulkan histerektomi, misalnya

pada keadaan infeksi rahim yang berat.

Section Caesarea oleh ahli kebidanan disebut obstetric panacea, yaitu

obat atau terapi ampuh bagi semua masalah obstetri.

2.2.4 Indikasi Persalinan Sectio Caesaria (SC)

Menurut Rasdjidi (2009) Persalinan SC merupakan persalinan tindakan

yang dilakukan jika persalinan normal tidak bisa dilakukan karena

indikasi-indikasi sebagai berikut :

a. Indikasi Mutlak

1) Indikasi Ibu antara lain :

a) Panggul sempit absolut

b) Kegagalan melahirkan secara normal karena kurang adekuatnya

stimulasi

c) Tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi

d) Stenosis servik dan vagina

e) Plasenta previa

f) Ruptur uteri membakat

2) Indikasi Janin

a) Kelainan letak
27

b) Gawat janin

c) Prolapsus plasenta

d) Perkembangan bayi yang terhambat

e) Mencegah hipoksia janin misalnya karena preeklamsia

b. Indikasi Relatif

1) Riwayat SC sebelumnya

2) Presentasi bokong

3) Distosia

4) Preeklamsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes

5) Ibu dengan HIV positif sebelum inpartu

6) Gemeli, menurut Eastman, SC dianjurkan bila janin pertama letak

lintang atau presentasi bahu, bila terjadi interlock, distosia karena

tumor, IUFD.

c. Indikasi Sosial

1) Wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman sebelumnya

2) Wanita yang ingin SC elektif karena takut bayinya mengalami

cedera atau asfiksia selama persalinan atau mengurangi risiko

kerusakan dasar panggul.

3) Wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau

sexuality image setelah melahirkan.

2.2.5 Kontraindikasi Persalinan Sectio Caesaria (SC)

Adapun kontraindikasi persalinan SC menurut Rasdjidi (2009) adalah :

a. Janin mati

b. Syok
28

c. Anemia berat

d. Kelainan kongenital berat

e. Infeksi piogenik pada dinding abdomen

f. Minimnya fasilitas operasi SC

2.2.6 Komplikasi Persalinan Sectio Caesaria (SC)

Menurut Martius (2010) terdapat beberapa bahaya yang telah dikenal

bagi fetus bila persalinan dilakukan dengan SC, terlepas dari yang

ditunjukkan oleh keadaan abnormal yang diindikasikan SC. Resiko ini

meliputi :

a. Hipoksia akibat sindroma hipotensi telentang

b. Depresi pernapasan karena anestesia

c. Sindroma gawat pernapasan, jelas lebih lazim pada bayi yang dilahirkan

dengan SC

Resiko komplikasi pada ibu antara lain :

a. Infeksi yang didapat di rumah sakit, terutama setelah dilakukan seksio

pada persalinan

b. Fenomena tromboemboli, terutama pada multipara dengan varikositas

c. Ileus terutama karena peritonitis

d. Kecelakaan anestesi

Sedangkan komplikasi yang serius menurut Oxorn (2010) adalah :

a. Perdarahan karena Atonia uteri, Pelebaran Insisi uterus, kesulitan

mengeluarkan plasenta, hematoma ligamentum latum (broad ligament)

b. Infeksi traktus genetalia, insisi, traktus urinaria, paru-paru dan traktus

respiratorius atas
29

c. Thrombophlebitis

d. Cedera dengan atau tanpa fistula traktus urinaria, usus

e. Obstruksi usus (mekanis dan paralitik)

Adapun komplikasi jangka panjangnya menurut Gallager (2005) yaitu :

a. Masalah psikologis

Berdasarkan penelitian, perempuan yang mengalami operasi cesar

punya perasaan negatif usai menjalaninya (tanpa memperhatikan

kepuasan atas hasil operasi). Depresi pascapersalinan juga merupakan

masalah yang sering muncul. Beberapa mengalami reaksi stress pasca

trauma berupa mimpi buruk, kilas balik, atau ketakutan luar biasa

terhadap kehamilan.

b. Perlekatan organ bagian dalam

Penyebab pelekatan organ bagian dalam pasca operasi cesar adalah

tidak bersihnya lapisan permukaan dari noda darah.

c. Pembatasan kehamilan

Perempuan yang pernah menjalani operasi cesar hanya boleh

melahirkan tiga kali pada jaman dahulu, namun sekarang dengan

teknik operasi yang lebih baik, ibu memang boleh melahirkan lebih

dari itu bahkan sampai lima kali, akan tetapi resiko dan komplikasinya

lebih berat

d. Rupture uteri

e. Pengerasan plasenta (Plasenta Akreta)


30

2.2.7 Alasan Terjadinya Peningkatan Peralinan SC

Menurut Cunningham (2006) alasan terjadinya kenaikan persalinan

dengan Sectio Caesaria (SC) antara lain :

a. Pengurangan parietas. Hal ini menyebabkan separuh dari wanita yang

hamil adalah nullipara. Oleh karena itu, peningkatan jumlah sectio

caesaria dapat diperkirakan pada beberapa keadaan yang lebih lazim

dijumpai pada wanita nullipara, khususnya distosia dan kehamilan

dengan hipertensi.

b. Wanita cenderung mempunyai anak pada usia yang lebih tua.

Peningkatan usia ibu hamil diatas 35 tahun meningkatkan proses

melahirkan dengan SC.

c. Pemantauan janin secara elektronik, meningkatkan peluang untuk

mendeteksi gawat janin dan meningkatkan kenaikan jumlah SC.

d. Bayi dengan presentasi letak bokong, sering dilahirkan dengan SC.

e. Kekhawatiran akan tuntutan malpraktek telah secara bermakna

berperan menyebabkan angka SC seperti sekarang.

f. Faktor sosioekonomi dan demografik mungkin berperan meningkatkan

angka persalinan SC. Gould dkk (1989) melaporkan bahwa angka SC

primer di wilayah los angeles adalah 23% untuk wanita dari daerah

dengan pendapatan lebih dari US$ 30.000 dibandingkan dengan

dengan 13% wanita dengan pendapatan kurang dari US$ 11.000

g. Sectio Caesaria berulang secara bermakna meningkatkan total jumlah

persalinan SC
31

2.2.8 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persalinan Sectio Caesarea

(SC)

Adapun faktor resiko persalinan SC menurut Pandesolang dan Annisa

(2012) sebagai berikut :

a. Faktor Sosiodemografi

1) Usia Ibu

2) Pendidikan Ibu

3) Sosial Ekonomi

4) Tempat Tinggal

5) Faktor sosial budaya lainnya

b. Faktor Gizi

1) Status Gizi/IMT

c. Faktor riwayat kehamilan

1) Usia kehamilan

2) Kondisi kehamilan

3) Perawatan Kehamilan (Antenatal Care/ANC)

d. Faktor riwayat persalinan

1) Paritas

2) Jarak Kehamilan atau Kelahiran Sebelumnya

3) Bekas SC

4) Berat badan bayi saat dilahirkan


32

2.2.9 Prognosis

Angka kematian ibu pada rumah sakit yang memiliki fasilitas operasi

yang baik dan tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000

kelahiran. Nasib janin yang ditolong SC sangat bergantung pada keadaan

janin sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari Negara-negara dengan

pengawasan antenatal yang baik dan fasilitas neonatal yang sempurna,

angka kematian perinatal sekitar 4-7% (Mochtar, 2013).

2.2.10 Nasihat Pascaoperasi

Menurut Mochtar (2013) ada beberapa nasehat yang harus disampaikan

kepada ibu pasca operasi SC antara lain :

a. Dianjurkan jangan hamil selama kurang lebih satu tahun dengan

memakai kontrasepsi

b. Kehamilan berikutnya hendaknya diawasi dengan pemeriksaan

antenatal yang baik

c. Dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit besar

d. Apakah pelahiran selanjutnya harus ditolong dengan SC bergantung

pada indikasi SC dan keadaan pada kehamilan berikutnya.

e. Hampir di semua institut di Indonesia tidak dianut dictum "once a

caesarean always a caesarean".

f. Yang dianut adalah "once a caesarean not always a caesarean",

kecuali pada panggul sempit atau disproporsi sefalopelvik.


33

2.3 Konsep Dasar Usia

2.3.1 Pengertian Usia

Menurut Nursalam (2001) dalam Padila (2014) Usia adalah umur

individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.

Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan

lebih matang dalam berpikir dan bekerja.

Usia adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan)

(Hoetomo, 2005). Statistik menunjukkan bahwa usia yang paling

menguntungkan bagi wanita untuk hamil adalah antara dua puluh sampai

pertengahan tiga puluh tahun. Selama periode ini, masalah yang muncul

lebih sedikit dibanding jika wanita hamil diusia belasan, akhir tiga puluh

dan empat puluh (Simkin, 2013).

2.3.2 Perbedaan Hamil dan Bersalin Berdasarkan Usia

Tren perempuan hamil saat ini semakin menuju usia yang matang. Jika

tahun 1975 perempuan yang hamil di usia 30-an tahun hanya sebanyak 5%,

di tahun 1999 jumlahnya naik menjadi 23%. Sedangkan saat ini perempuan

di usia 35-49 tahun jumlahnya melonjak tiga kali lipat sejak tahun 1970-an.

Meskipun sudah sering mendengar risiko kehamilan oleh perempuan usia

lebih dari 35 tahun nampaknya peringatan tersebut tidak selalu dibutuhkan,

berapapun usianya, perempuan bisa hamil sepanjang tubuhnya sehat.

Menurut penelitian Woro Tri Hardjanti (2007) seorang wanita sebagai

insan biologis sudah memasuki usia produksi beberapa tahun sebelum

mencapai umur dimana kehamilan dan persalinan dapat berlangsung aman,

yaitu 20-35 tahun, setelah itu resiko ibu akan meningkat setiap tahun.
34

Wiknjosastro (2005), juga menyatakan bahwa dalam kurun reproduksi sehat

dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30

tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia

dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal

yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali

sesudah usia 30-35 tahun (Padila, 2014).

Berikut ini beberapa perbedaan jika perempuan hamil di usia 20-an, 30-

an dan 40-an menurut Damayanti (2012).

a. Usia ibu kurang dari 20 tahun

Remaja adalah individu antara umur 10-19 tahun. Penyebab utama

kematian pada perempuan berumur 15-19 tahun adalah komplikasi

kehamilan, persalinan, dan komplikasi keguguran. Kehamilan dini

mungkin akan menyebabkan para remaja muda yang sudah menikah

merupakan keharusan sosial (karena mereka diharapkan untuk

membuktikan kesuburan mereka), tetapi remaja tetap menghadapi risiko-

risiko kesehatan sehubungan dengan kehamilan dini dengan tidak

memandang status perkawinan mereka.

Kehamilan yang terjadi pada sebelum remaja berkembang secara

penuh, juga dapat memberikan risiko bermakna pada bayi termasuk

cedera pada saat persalinan, berat badan lahir rendah, dan kemungkinan

bertahan hidup yang lebih rendah untuk bayi tersebut. Wanita hamil

kurang dari 20 tahun dapat merugikan kesehatan ibu maupun

pertumbuhan dan perkembangan janin karena belum matangnya alat

reproduksi untuk hamil. Penyulit pada kehamilan remaja (<20 tahun)


35

lebih tinggi dibandingkan kurun waktu reproduksi sehat antara 20-30

tahun. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan

tekanan (stress) psikologi, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan

terjadinya keguguran (Manuaba, 1998). kehamilan remaja dengan usia di

bawah 20 tahun mempunyai risiko:

1) Sering mengalami anemia.

2) Gangguan tumbuh kembang janin.

3) Keguguran, prematuritas, atau BBLR.

4) Gangguan persalinan.

5) Preeklampsi.

6) Perdarahan antepartum.

Para remaja yang hamil di negara-negara berkembang seringkali

mencari cara untuk melakukan aborsi. Di negara-negara di mana aborsi

adalah ilegal atau dibatasi oleh ketentuan usia, para remaja ini mungkin

akan mencari penolong ilegal yang mungkin tidak terampil atau

berpraktik di bawah kondisi-kondisi yang tidak bersih. Aborsi yang tidak

aman menempati proporsi tinggi dalam kematian ibu di antara para

remaja.

b. Hamil usia 20-an tahun

Wanita sehat diusia ini biasanya lebih mudah untuk hamil. Jadi tidak

mengherankan di usia ini mereka banyak memiliki anak. Mereka

biasanya langsung mengandung setelah dua bulan bersenggama dan

hanya memiliki risiko keguguran yang rendah sekitar 10% dan sedikit

mengalami komplikasi selama kehamilan. Melahirkan anak di usia ini


36

juga kecil terkena Down Syndrome atau cacat kromosom dan jarang

melahirkan melalui Caesar.

c. Hamil usia 30-an tahun

Wanita hamil pada usia ini menurut studi di Denmark ditemuklan

bahwa lebih dari 20% wanita hamil usia 35-39 tahun mengalami

keguguran dan bayi yang dilahirkan beresiko mengalami Down

Syndrome. Ibu hamil pada usia 35 tahun juga cenderung memiliki

masalah preeklamsia, diabetes, kelahiran premature dan BBLR serta

plasenta previa yang akan menyebabkan banyak komplikasi sehingga

persalinan harus ddilaksanakan melalui operasi Caesar.

d. Hamil usia 40-an tahun

Melahirkan anak pertama di usia 40-an tahun saat ini sudah tidak

biasa karena sulit dilakukan. Ada dua risiko yang besar ketika hamil di

usia ini yakni cacat kromosomtermasuk didalamnya Down Syndrome dan

keguguran. Rasionya satu dari 100 kehamilan di usia 40-an tahun dan 1

dari 30 orang di usia 45 tahun melahirkan anak Down Syndrome. Rasio

keguguran mencapai 50% dan 3 kali lebih besar mengalami diabetes

selama kehamilan dan komplikasi–komplikasi lain selama proses

persalinan sehingga mengahruskan persalinan operasi Caesar.

2.3.3 Pengaruh Usia Terhadap Persalinan Sectio Caesarea (SC)

Umur dianggap penting karena ikut menentukan prognosis dalam

persalinan, karena dapat mengakibatkan kesakitan (komplikasi) baik pada

ibu maupun janin. Menurut WHO usia yang dianggap paling aman untuk

menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Menurut Adjie,


37

dalam damayanti (2012), usia sangat menentukan terhadap kelancaran

proses kehamilan dan proses persalinana karena beda usia beda pula kondisi

fisiknya. Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun bisa menimbulkan masalah

karena kondisi fisik dan psikologi belum siap 100%. Organ-organ

reproduksi belum berfungsi dengan sempurna sehingga bila terjadi

kehamilan dan persalinan akan lebih mudah mengalami komplikasi. Selain

itu, kekuatan otot-otot perineum dan otot-otot perut belum bekerja secara

optimal sehingga sering terjadi persalinan lama atau macet yang

memerlukan tindakan, seperti bedah sesar.

Ibu hamil berumur muda juga memiliki kecenderungan perkembangan

kejiwaannya belum matang sehingga belum siap menjadi ibu dan menerima

kehamilannya ini menyebabkan kesadaran untuk memeriksakan

kehamilannya rendah sehingga pengetahuan terhadap keadaan

kehamilannya juga rendah yang berimbas meningkatnya kecemasan dan

ketakutan yang berakibat buruk terhadap his saat persalinan. Ibu dengan

kecemasan dan rasa takut akan menyebabkan his yang tidak adekuat

sehingga menyebabkan persalinan berlangsung lama selain itu beberapa

resiko dapat terjadi pada kehamilan diusia <20 tahun yaitu kenaikan tekanan

darah dan pertumbuhan janin yang terhambat serta terjadinya komplikasi

obstetri yang dapat meningkatkan angka kematian ibu dan perinatal 4-6 kali

lipat dibanding wanita yang hamil dan bersalin di usia 20-30 tahun

(Damayanti, 2012).

Sedangkan persalinan diusia ≥35 tahun merupakan persalinan resiko

tinggi karena keadaan dan fungsi otot uterus sudah mulai menua (menurun)
38

yakni terjadi perubahan pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir

yang tidak lentur lagi sehingga sering menyebabkan distosia pada proses

pesalinan (Manuaba, 2008). Fungsi otot uterus yang menurun berpengaruh

terhadap kontraksi yang dihasilkan dimana kontraksi yang dihasilkan

cenderung lemah (inersia), sedangkan jalan lahir yang tidak lentur lagi atau

kaku menyebabkan proses persalinan berlangsung lama. Selain itu

persalinan dan kehamilan di usia tersebut sering diikuti dengan penurunan

kesehatan dan penyakit seperti hipertensi, pre eklamsia, KPD dan diabetes

yang berpengaruh terhadap proses persalinan serta resiko perdarahan pasca

persalinan. Ibu yang bersalin diusia ≥ 35 tahun lebih sering mengalami

kelelahan saat proses persalinan sehingga proses persalinan berlangsung

lama dan kebanyakan harus berakhir dengan operasi Caesar. Resiko lain

yang dapat terjadi yaitu melahirkan bayi down syndrome (Damayanti,

2012).

Faktor risiko untuk persalinan sulit pada ibu yang belum pernah

melahirkan pada kelompok umur ibu di bawah 20 tahun dan pada kelompok

umur di atas 35 tahun adalah 3 kali lebih tinggi dari kelompok umur

reproduksi sehat (20-35 tahun). Hasil penelitian Aghamohammadi dan

Nooritajer (2011) di Iran menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara usia

ibu >35 tahun dengan persalinan seksio sesarea dan komplikasi gestasional,

seperti preeklamsia dan malpresentasi. Begitu pula dengan penelitian

Supriyati, Doeljachman, dan Susilowati (2000) mendapatkan temuan bahwa

umur ibu hamil merupakan faktor risiko distosia yang memerlukan

tindakan. Ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
39

tahun berisiko 4 kali terjadi distosia dibandingkan ibu hamil yang berumur

antara 20 sampai 35 tahun dan penelitian Pandesolang (2012) didapatkan

bahwa ibu dengan usia ≥ 35 tahun beresiko 1, 24 kali untuk melahirkan

dengan SC (95%CI: 1,03-1,50) dibanding ibu dengan usia 20-34 tahun.

2.4 Konsep Dasar Paritas

2.4.1 Pengertian Paritas

Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang

wanita (BKKBN, 2006). Sedangkan menurut Varney (2006), paritas adalah

jumlah kehamilan yang berakhir dengan kelahiran bayi atau bayi dapat

bertahan hidup. Titik ini dicapai pada usia kehamilan 20 minggu atau berat

janin 500 gram. Lain lagi menurut Siswosudarmo (2008), paritas adalah

jumlah janin dengan berat badan lebih dari atau sama dengan 500 gram

yang pernah dilahirkan hidup atau mati. Bila berat badan tidak diketahui

maka dipakai umur kehamilan yaitu 24 minggu.

2.4.2 Klasifikasi Paritas

Adapun klasifikasi paritas sebagai berikut :

a. Nullipara

Nullipara adalah perempuan yang belum pernah melahirkan anak sama

sekali (Manuaba, 2009).

b. Primipara

Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak yang

cukup besar untuk hidup di dunia luar (Varney, 2006).


40

c. Multipara

Multipara adalah wanita yang telah melahirkan melahirkan seorang anak

lebih dari satu kali (Prawirohardjo, 2009)

Multigravida adalah wanita yang sudah hamil dua kali atau lebih

(Varney, 2006)

d. Grandemultipara

Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau

lebih (Varney, 2006).

2.4.3 Pengaruh Paritas Terhadap Persalinan Sectio Caesarea (SC)

Paritas berpengaruh pada ketahanan uterus. Menurut Manuaba (2008)

pada primipara ketiga faktor persalinan yaitu power passage dan passanger

belum teruji sehingga pertolongan persalinan pada primipara memerlukan

observasi yang lebih tepat dan ketat. Pada primipara proses persalinan

berlangsung lebih lama dibandingkan dengan multipara karena ibu belum

berpengalaman melahirkan diasamping itu otot-otot jalan lahir masih kaku

dan belum dapat mengejan dengan baik (Varney, 2006). Pada primipara

dimana servik kaku dapat menyebabkan distosia servikalis primer yaitu

servik tidak membuka karena tidak mengadakan relaksasi berhubungan

dengan incoordinate uterine action. Kala I akan berlangsung lama dan dapat

diraba jelas pinggir servik yang kaku dan ditambah lagi belum adanya

pengalaman melahirkan membuat ibu primipara cenderung merasakan

kecemasan dan rasa takut yang berlebih menghadapi persalinan, sehingga

menyebabkan inkoordinasi otot rahim/ his tidak adekuat. Kalau keadaan ini

dibiarkan, maka tekanan kepala yang terus menerus dapat menyebabkan


41

nekrosis jaringan serviks dan berakibat lepasnya bagian tengah servik secara

sirkuler (Prawirohardjo, 2005).

Pada Grande Multipara yaitu ibu dengan kehamilan/melahirkan 4 kali

atau lebih merupakan risiko persalinan patologis. Keadaan kesehatan yang

sering ditemukan pada ibu grande multipara adalah kesehatan terganggu

karena anemia dan kurang gizi, kekendoran pada dinding perut, tampak ibu

dengan perut menggantung dan kekendoran dinding rahim. Adapun bahaya

yang dapat terjadi pada kelompok ini adalah kelainan letak dan persalinan

letak lintang, robekan rahim pada kelainan letak lintang. persalinan lama,

Perdarahan pasca persalinan (Rochjati 2003). Pada grande multipara dimana

otot uterus sudah kendor dapat menyebabkan distosia persalinan karena his

yang tidak adekuat (inersia uteri). Dalam keadaan ini his yang dihasilkan

kekuatannya lemah untuk melakukan pembukaan servik atau mendorong

anak keluar. Hal ini disebabkan karena kekuatan otot uterus yang terlalu

teregang (kendor) ditambah lagi dengan keadaan kesehatan yang kurang

baik yang biasanya dijumpai pada ibu hamil grande multipara yakni anemia

dan kurang gizi akan memperlama proses persalinan berlangsung (Rukiyah,

2010).

Menurut Wiknjosastro (2005), paritas yang paling aman adalah paritas 2–

3. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal

lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh kematangan dan penurunan fungsi

organ-organ persalinan. Ibu yang sering melahirkan memiliki risiko

mengalami komplikasi persalinan pada kehamilan berikutnya apabila tidak

memperhatikan kebutuhan nutrisi. Pada paritas lebih dari empat keadaan


42

rahim biasanya sudah lemah yang dapat menimbulkan persalinan lama dan

pendarahan saat kehamilan sehingga harus diakhiri dengan persalinan

Caesar (Depkes RI, 2003).

Hasil penelitian Yuli K. (2006) di RS Dr. Moewardi Surakarta

disimpulkan bahwa ada hubungan antara grandemultipara dengan kejadian

persalinan SC (OR 3,42 : 95% CI:1,67-6,93). Begitu juga dengan hasil

penelitian Aghamohammadi dan Nooritajer (2011) di Iran yang

menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara multipara dengan persalinan

sectio caesarea dan komplikasi gestasional, seperti diabetes gestasional (OR

4,0:95% CI 3,0- 5,0) dan penelitian Pandesolang (2012) pada Analisis Data

Rikesda 2010 menghasilkan adanya hubungan antara paritas dengan

persalinan SC.

2.5 Konsep Dasar Riwayat Sectio Caesarea (SC)

Selama bertahun-tahun, uterus yang mengalami jaringan parut dianggap

merupakan kontraindikasi untuk persalinan karena ketakutan akan

kemungkinan ruptur uterus (Cunningham, 2006).

Pada persalinan dengan riwayat SC dimana terdapat parut uterus beresiko

mengalami rupture karena pada saat his korpus uteri berkontraksi dan

mengalami retraksi, dinding korpus uteri atau SAR menjadi lebih tebal dan

volume korpus uteri menjadi lebih kecil akibatnya tubuh janin yang

menempati korpus uteri terdorong ke bawah dan ke dalam SBR, SBR

menjadi lebih lebar/ menipis. Pada keadaan uterus dengan parut maka akan

menyebabkan rupture karena SBR kurang kuat menahan kontraksi dan


43

tekanan dari volume korpus uteri. Resiko rupture uteri meningkat dengan

meningkatnya jumlah seksio sesarea sebelumnya. Pasien dengan SC lebih

dari satu kali mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya rupture uteri

( (Mochtar, 2013).

Pada persalinan bekas SC beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya

rupture uteri menurut Cunningham (2006) adalah :

a. Pasien lebih dari satu kali menjalani SC

b. Usia pasien yang semakin tua

c. Jarak melahirkan yang pendek

d. Adanya demam pada persalinan terdahulu (adanya infeksi)

e. Induksi partus

f. Persalinan yang lambat/ macet

g. Kelainan bentuk rahim

Namun, Seitchik dan Ramakrishna dalam Pritchard, et al (1991) dalam

Kaufmann (2007) menyatakan bahwa SC sebelumnya dilakukan karena

adanya kegagalan dilatasi servik atau penurunan bagian terendah janin,

kelainan tersebut bukanlah merupakan suatu kontraindikasi mutlak untuk

kelahiran pervaginam berikutnya.

Riwayat persalinan SC dapat meningkatkan resiko terjadinya plasenta

previa yaitu plasenta yang melekat di dekat atau menutupi servik. Hal ini

diduga berhubungan dengan abnormalitas dari vaskularisasi endometrium

yang mungkin disebabkan oleh timbulnya parut akibat trauma operasi/

infeksi (Mochtar, 2013). Perdarahannya berhubungan dengan adanya

pembentukan segmen bawah uterus (SBR) pada trimester ketiga, plasenta


44

yang melekat diarea ini akan rusak akibat ketidakmampuan SBR untuk

berkonstruksi dengan adekuat. Perdarahan pada plasenta previa terjadi

karena separasi mekanis plasenta dari tempat implantasinya saat

pembentukan SBR atau saat terjadi dilatasi dan pendataran servik. Resiko

lain yang terjadi akibat parut pada uterus yaitu plasenta Acreta yaitu

plasenta lebih kuat melekat pada dinding uterus, hal ini disebabkan karena

SBR yang tipis mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas

(Mochtar, 2013).

Selain resiko diatas, resiko lain jangka panjang yang dialami ibu yang

pernah mengalami operasi Caesar menurut yaitu masalah psikologis.

Perempuan yang mengalami operasi Caesar punya perasaan negatif usai

menjalani persalinan ditambah lagi dengan pengalaman proses persalinan

sebelumnya. Beberapa mengalami reaksi stress pascatrauma seperti mimpi

buruk, kilas balik atau ketakutan yang luar biasa terhadap kehamilan

sehingga ketika mereka hamil lagi, mereka cenderung untuk memilih

melakukan operasi Caesar lagi (Nabila, 2010).

Pada tahun 1996, 28% wanita dengan riwayat sesar melahirkan per

vaginam (Vaginal Birth After prior Cesarean/VBAC). Pada tahun 1999,

American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)

menganjurkan VBAC dicoba hanya di institusi yang dilengkapi untuk

melakukan perawatan darurat.


45

Tabel 2.1. Rekomendasi ACOG (1999) untuk Pemilihan Kandidat untuk VBAC

Kriteria seleksi
a. Riwayat satu atau dua kali sesar transversal - rendah
b. Panggul secara klinis memadai
c. Tidak ada jaringan parut lain atau riwayat ruptur
d. Sepanjang persalinan aktif terdapat dokter yang mampu memantau dan melakukan
sesar darurat
e. Tersedianya anestesi dan petugas untuk prosedur sesar darurat
Sumber: American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG): Vaginal Birth
After Previous Cesarean Delivery No. 5, Juli 1999.

Berdasarkan penelitian Annisa (2012) didapatkan bahwa ada hubungan

antara riwayat seksio sesarea dengan kejadian persalinan seksio sesarea

(p=0,018). Ibu dengan riwayat seksio sesarea pada persalinan sebelumnya

memiliki risiko 3,09 kali untuk mengalami persalinan seksio sesarea

berikutnya daripada ibu yang belum pernah seksio sesarea pada persalinan

sebelumnya. (OR=3,09; 95%CI=1,15-8,25).

2.6 Konsep Dasar Ketuban Pecah Prematur (KPP)

Ketuban pecah dini (KPD) merupakan riwayat komplikasi yang dekat

dengan proses persalinan. KPD adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat

tanda-tanda persalinan dan ditunggu 1 jam belum terjadi inpartu (Manuaba,

2010). Sedangkan menurut Mochtar (2013) ketuban pecah dini (KPD)/

premature rupture of the membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban

sebelum inpartu yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan

pada multipara kurang dari 5 cm. Ketuban Pecah Dini disebabkan oleh

karena berkurangnya kekuatan membrane atau meningkatnya tekanan intra

uterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membrane

disebabkan adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan servik

(Prawirohardjo, 2005).
46

Selaput ketuban berfungsi melindungi janin terhadap pengaruh luar dan

infeksi. KPD berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya

infeksi korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan

mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi ibu. Apabila persalinan tidak

terjadi dalam 24 jam, akan terjadi risiko infeksi intrauterine sehingga harus

dilakukan persalinan seksio sesarea. Ketuban biasanya pecah ketika

menjelang persalinan atau pembukaan lengkap hal ini berhubungan untuk

merangsang persalinan, fungsi lain dari air ketuban pada saat inpartu adalah

menyebarkan kekuatan sehingga servik dapat membuka dan sebagai pelicin

saat persalinan sehingga jika ketuban pecah sebelum servik mendatar, masih

keras, tebal dan tertutup akan menghasilkan persalinan yang lama dan tidak

efisien karena kekuatan his tidak terkoordinasi dengan baik yang

menyebabkan his tidak adekuat (Mochtar, 2013).

Penelitian Wildayani (2009) menyatakan ibu yang mengalami ketuban

pecah dini akan memiliki risiko baik ibu maupun janin untuk terkena infeksi

dan salah satu jalan yang dipilih untuk pertolongan persalinan adalah

dengan seksio sesarea. Bari (2005) pada penelitiannya juga menyebutkan

ketuban pecah dini adalah masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan

terjadinya infeksi khorioamnionitis sampai sepsis yang meningkatkan

morbiditas dan mortalitas serta menyebabkan infeksi pada ibu. Penanganan

ini memerlukan pertimbangan usia gestasi, infeksi pada ibu dan janin, dan

adanya tanda-tanda persalinan, setelah itu lakukan induksi oksitosin dan jika

gagal segera lakukan seksio sesarea. Menurut Mochtar (2013) menyebutkan

bahwa keadaan obstetric yang buruk seperti KPP, riwayat SC, abortus,
47

IUFD dan sebagainya pada kehamilan sebelumnya beresiko menyebabkan

komplikasi pada proses kehamilan dan persalinan.

2.7 Kerangka Konseptual

Konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan

membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel

(Nursalam, 2013).

Fungsi Organ
Alasan peningkatan persalinan reproduksi belum
SC sempurna / menurun

a. Paritas
b. Usia Elastisitas otot
c. Pemantauan janin uterus kurang
secara elektronik
Tindakan persalinan
d. Kelainan letak
SC
e. Faktor sosioekonomi
dan demografik
f. Kekhawatiran akan Rupture uteri
tuntutan malpraktek
g. Riwayat SC
h. KPP
Infeksi

Keterangan :
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
: hubungan / pengaruh

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual pengaruh usia, paritas, riwayat SC dan KPP
terhadap resiko tindakan persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato
Ebuh Bangkalan

Berdasarkan kerangka konseptual diatas dapat dijelaskan bahwa Alasan

peningkatan persalinan SC menurut Cunningham (2006) adalah paritas, usia,


48

pemantauan janin secara elektronik, kelainan letak, faktor sosioekonomi dan

demografi, kekhawatiran akan tuntutan malpraktek, riwayat SC dan KPP.

Paritas mempengaruhi elastisitas otot uterus sehingga menyebabkan

persalinan dilakukan dengan tindakan SC, usia mempengaruhi fungsi organ

reproduksi yang belum sempurna atau menurun sehingga persalinan

dilakukan dengan tindakan SC, riwayat SC beresiko mengalami rupture uteri

sehingga persalinan dilakukan dengan tindakan SC dan KPP beresiko infeksi

sehingga persalinan dilakukan dengan tindakan SC.

2.8 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan

duga atau dalil sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam

penelitian tersebut (Notoatmojo, 2012). Adapun jenis hipotesis menurut

Nursalam (2008) yaitu :

a. Hipotesis nol (H0) adalah hipotesis yang digunakan untuk pengukuran

statistik dan interpretasi hasil statistik.

b. Hipotesis alternatif (Ha/H1) adalah hipotesis penelitian. Hipotesis ini

menyatakan adanya suatu hubungan, pengaruh dan perbedaan antara dua

atau lebih variabel. Hubungan, perbedaan dan pengaruh tersebut dapat

sederhana atau kompleks dan bersifat sebab akibat.

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ha 1 : Ada pengaruh usia ibu terhadap resiko tindakan persalinan Sectio

Caesarea (SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan


49

Ha 2 : Ada pengaruh paritas ibu terhadap resiko tindakan persalinan

Sectio Caesarea (SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh

Bangkalan

Ha 3 : Ada pengaruh riwayat SC terhadap resiko tindakan persalinan

Sectio Caesarea (SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh

Bangkalan

Ha 4 : Ada pengaruh ketuban pecah premature (KPP) terhadap resiko

tindakan persalinan Sectio Caesarea (SC) di RSUD Syarifah

Ambami Rato Ebuh Bangkalan

Ha 5 : Ada pengaruh usia, paritas, riwayat Sectio Caesarea (SC) dan

KPP terhadap resiko tindakan persalinan Sectio Caesarea (SC) di

RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan


50

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian,

memungkinkan pengontrolan maksimal beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi akurasi suatu hasil (Nursalam, 2008).

Berdasarkan tujuan penelitian, desain penelitian yang digunakan adalah

analitik yaitu penelitian yang dilaksanakan untuk mengembangkan hubungan

antar variabel dan menjelaskan hubungan yang ditemukan (Nursalam, 2008).

Sedangkan menurut waktunya adalah penelitian cross sectional yaitu

rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada

saat bersamaan antara faktor resiko/paparan dengan penyakit (Hidayat, 2007).

3.2 Identifikasi Variabel

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep

pengertian tertentu (Notoatmojo, 2005). Variabel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah variabel bebas (independen) dan variabel tergantung

(dependen).

3.2.1 Variabel Independen

Variabel independen merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan

atau timbulnya variabel dependen (Hidayat, 2007). Variabel independen

dalam penelitian ini adalah usia, paritas, riwayat SC dan KPP.

50
51

3.2.2 Variabel Dependen

Variabel dependent merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi

akibat karena variabel independen /bebas (Hidayat, 2007). Variabel

dependen dalam penelitian ini adalah persalinan SC.

3.3 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti

untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu

objek atau fenomena (Hidayat, 2007).

Tabel 3.1 Definisi Operasional pengaruh usia, paritas, riwayat Sectio Caesarea
(SC) dan KPP terhadap resiko tindakan persalinan Sectio Caesarea
(SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan
Variabel Definisi Alat ukur Skala Kriteria
Operasional ukur
Variabel
independen
Usia Usia individu yang Dokumentasi Ordinal 1 : <20 tahun
terhitung mulai saat Rekam medis 2 : 20-35 tahun
dilahirkan sampai 3 : > 35 tahun
ulang tahun terakhir
saat melahirkan
Parameter :
1. Usia <20 tahun
2. Usia 20-35 tahun
3. Usia > 35 tahun

Paritas Jumlah anak yang Dokumentasi Nominal 1. :Grande multipara


pernah dilahirkan Rekam medis 2. : Multipara
ibu
Parameter :
1. Primipara: jumlah
anak 1
2. Multipara
Jumlah anak 2-4
3. Grande multipara
: jumlah anak ≥5
Nominal 1: Ya jika pernah
Riwayat SC Riwayat melahirkan Dokumentasi melahirkan SC
SC pada persalinan Rekam medis sebelumnya
52

Parameter : 2: Tidak jika belum


Terdapat pernah melahirkan
keterangan bekas SC sbelumnya
SC pada rekam 1: Ya jika ibu
medis mengalami KPP
Ketuban Pecahnya ketuban Dokumentasi Nominal 2:Tidak jika ibu tidak
pecah pada saat persalinan Rekam medis mengalami KPP
premature belum berlangsung
(KPP) Parameter :
Terdapat
keterangan KPP
pada rekam medis
Variabel Jenis persalinan Dokumentasi Nominal 1: Ya jika ibu
dependen tindakan melalui Rekam medis melahirkan SC
Persalinan suatu insisi pada 2 :Tidak jika ibu
SC dinding perut dan melahirkan selain SC
dinding rahim yang
dipilih oleh ibu

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmojo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu

bersalin di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan pada bulan

Januari sampai Desember 2014 berjumlah 675 orang

3.4.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2005).

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu bersalin di RSUD

Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan pada bulan Januari sampai

Desember 2014.

Dalam penelitian ini kriteria sampel meliputi kriteria inklusi dan kriteria

eksklusi
53

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi merupakan batasan ciri atau karakter umum pada

subjek penelitian, dikurangi karakter yang masuk dalam kriteria

eksklusi (saryono, 2011).

Adapun kriteria inklusi pada sampel penelitian ini adalah :

1) Ibu bersalin dengan kehamilan tunggal dan aterm

b. Kriteria ekslusi

Kriteria eksklusi merupakan sebagian subjek yang memenuhi criteria

inklusi, harus dikeluarkan dari penelitian karena berbagai sebab yang

dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga terjadi bias (Saryono,

2011).

Adapun kriteria ekslusi pada sampel penelitian ini adalah

1) Ibu hamil gemeli

2) Ibu bersalin primipara

3) IUFD, premature dan post date

4) Ibu yang melahirkan secara SC yang sudah direncanakan

sebelumnya oleh karena adanya penyakit penyerta (kardiovaskuler,

paru dan diabetes), panggul sempit (TB ≤ 145 cm) dan tumor jalan

lahir.

3.4.3 Besar Sampel

Besar sampel adalah anggota yang akan dijadikan sampel (Notoatmojo,

2005). Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :
54

N
n =
1+N (d 2 )

Keterangan :
N = Besar populasi
n = Besar sampel
d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan

675
n=
1+675 ( 0,052 )

n =251,1 ≈251

3.4.4 Teknik Sampling

Teknik sampling adalah cara atau teknik-teknik tertentu yang digunakan

dalam mengambil sampel penelitian, sehingga sampel tersebut sedapat

mungkin mewakili populasinya (Notoatmojo, 2005).

Dalam penelitian ini besarnya sampel ditentukan dengan rumus statistik

dan menggunakan teknik sampling probabilitas yaitu simple random

sampling yang artinya setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai

kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Notoatmodjo,

2005).

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh

Bangkalan pada bulan Februari 2015

3.6 Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan

data terutama pengelompokan data, apakah menggunakan angket atau


55

kuesioner, observasi, wawancara, dokumentasi atau skala likert (Hidayat,

2007). Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

rekam medis.

3.7 Cara Pengumpulan Data

Penelitian ini dilaksanakan setelah memperoleh surat ijin dari bagian

Pendidikan STIKES Ngudia Husada Madura dan RSUD Syarifah Ambami

Rato Ebuh Bangkalan.

Peneliti memberikan surat penjelasan pelaksanaan penelitian kepada

kepala rekam medik RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan.

Kemudian peneliti menuju rekam medik untuk melakukan observasi pada

berkas rekam medis sesuai petunjuk petugas rekam medis. Data tersebut

diambil dengan cara lotre sampai memenuhi besar sampel yang dibutuhkan

sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian jika ada data yang kurang

lengkap peneliti ke ruang bersalin untuk melihat kelengkapan data di ruang

bersalin. Hasil observasi direkap pada tabel rekapitulasi data.

3.8 Pengolahan Data

Data yang terkumpul dari rekam medis kemudian diolah dengan tahap

berikut :

3.8.1 Pemeriksaan Data (Editing)

Editing adalah upaya memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh

atau yang dikumpulkan (Hidayat, 2007). Tahapan ini dilakukan untuk

mengoreksi rekam medik apakah sudah terisi semua kolom yang harus diisi,
56

jika belum, maka perlu penyesuaian dengan tidak merubah esensi isi yang

sebenarnya.

3.8.2 Pemeriksaan Kode (Coding)

coding merupakan kegiatan pemberian kode numeric (angka) yang terdiri

atas beberapa kategori (Hidayat, 2007). Selanjutnya data yang bersumber

dari rekam medik dimasukkan (entry data) dengan cara member kode pada

kolom yang telah disediakan disetiap item informasi yang dibutuhkan untuk

memudahkan dalam pengelolaan data. Pengkodean dilakukan pada masing-

masing criteria yang terdapat pada definisi operasional. Adapun pengkodean

pada penelitian ini sebagai berikut :

a. Usia

<20 tahun : kode 1

20-35tahun : kode 2

>35 tahun : kode 3

b. Paritas

Grande multipara : kode 1

Multipara : kode 2

c. Riwayat SC

Ya : kode 1

Tidak : kode 2

d. KPP

Ya : kode 1

Tidak : kode 2
57

e. Persalinan SC

Ya : kode 1

Tidak : kode 2

3.8.3 Tabulasi (Tabulating)

Tabulating atau penyusunan data merupakan pengorganisasian data

sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah, disusun, dan ditata

untuk disajikan dan dianalisa.

Data hasil observasi rekam medis disajikan dalam bentuk tabel kemudian

diteliti satu persatu dan dikelompokkan selanjutnya ditabulasi silang

menggunakan distribusi frekuensi dalam bentuk prosentase dan narasi untuk

memudahkan dalam pengevaluasian dan analisa data setelah dihitung

dengan menggunakan kriteria

3.9 Analisa Data

Teknik analisa data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

analisis univariat dan bivariat

3.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat yang dilakukan pada tiap variabel dari hasil penelitian.

Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan

presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2005). Data dan informasi

yang diperoleh dari analisa univariat dapat mendeskripsikan variabel bebas

dan variabel terikat dalam penelitian dan disajikan dalam distribusi

frekuensi.
58

Dalam pengolahan data dapat dinyatakan berdasarkankan prosentase

sebagai berikut :

100% : seluruhnya

75% - 99% : hampir seluruhnya

51% - 74% : sebagian besar

50% : setengahnya

26% - 49% : hampir setengahnya

1% - 25% : sebagian kecil

0% : tidak satupun

(Arikunto, 2006)

3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2005). Analisa ini dilakukan

untuk mengetahui hubungan usia, paritas, riwayat SC dan KPP dengan

persalinan SC. Setelah itu disajikan dalam tabel tabulasi silang, kemudian

dilakukan uji statistik. Untuk variabel independent yang berskala ordinal

dan variabel dependent bersakala nominal yaitu variabel usia dengan

variabel persalinan SC menggunakan uji statistik Lambda dengan tingkat

kemaknaan α = 0,05 sedangkan untuk variabel penelitian yang berskala

nominal. variabel paritas dan persalinan SC, variabel riwayat SC dengan

variabel persalinan SC dan variabel KPP dengan variabel persalinan SC

menggunakan uji statistik Chi Square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05.


59

3.9.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariate digunakan untuk mengetahui pengaruh secara

bersama-sama variabel independen dengan variabel dependen, dan

variabel independen mana yang lebih besar pengaruhnya terhadap variabel

dependen dengan menggunakan uji regresi logistik karena variabel

dependen penelitian ini kategorik yang bersifat dikotomi/binary.

Analisis regresi logistik untuk menjelaskan pengaruh beberapa

variabel independen secara bersamaan dengan variabel dependen. Adapun

prosedur yang dilakukan pada uji regresi logistik, variabel yang

dimasukkan dalam analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis

bivariat mempunyai nilai p < 0,25 .

Analisis multivariat pada penelitian ini menggunakan metode Enter.

Semua variabel kandidat dimasukkan bersama-sama untuk

dipertimbangkan menjadi model dengan hasil menunjukkan nilai p < 0,05.

Variabel terpilih dimasukkan dalam model dan nilai P yang tidak

signifikan dikeluarkan dari model, berurutan dari nilai P yang tertinggi.

Selanjutnya dilakukan interpretasi nilai OR / EXP (B) sebagai berikut :

a. Jika OR > 1 dengan bentang nilai 95 % CI >1 maka variabel

independen / exposure merupakan faktor resiko terhadap variabel

dependen artinya faktor resiko menyebabkan sakit

b. Jika OR < 1 dengan bentang nilai 95 % CI < 1 maka variabel

independen / exposure merupakan faktor protektif terhadap variabel

dependen artinya faktor resiko mencegah sakit


60

c. Jika OR = 1 diikuti dengan bentang nilai 95 % CI melewati angka 1

faktor resiko bersifat netral artinya resiko kelompok terpajan sama

dengan kelompok tidak terpajan

3.10 Kerangka Kerja

Variabel independen Variabel dependen


Usia, Paritas, Riwayat SC dan KPP Persalinan SC

Populasi
Estimasi seluruh ibu bersalin bulan Januari – Desember 2014 sebanyak 675 orang

Sampel
Sebagian ibu bersalin bulan Januari – Desember 2014 sebanyak 251 dengan simple
random sampling

Pengumpulan data
Variabel independen : rekam medis
Variabel dependent : rekam medis

Pengolahan data
Editing, Coding dan Tabulating

Analisa data
Univariat : Distribusi Frekuensi
Bivariat : crosstabulation dan uji statistik Chi Square dan Lambda
Multivariate : uji regresi logistik dengan metode Enter

Hasil dan Kesimpulan

Gambar 3.1 Kerangka Kerja pengaruh usia, paritas, riwayat SC dan KPP terhadap
resiko tindakan persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh
Bangkalan
61

3.11 Etika Penelitian

Penelitian dilakukan setelah mendapatkan ijin dari RSUD Syarifah

Ambami Rato Ebuh Bangkalan, kemudian penelitian dilakukan dengan

menekankan pada masalah etika yang meliputi :

3.11.1 Informed Consent (Lembar Persetujuan)

Informed Consent merupakan bentuk persetujuan anatara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan (Hidayat,

2010). Lembar persetujuan penelitian diberikan kepada pihak RSUD

Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tujuannya adalah instansi

mengetahui maksud, tujuan, manfaat dan dampak penelitian.

3.11.2 Anonimity (Tanpa nama)

Masalah etika merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam

penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil

penelitian yang akan disajikan (Hidayat, 2010). Didalam surat pengantar

penelitian dijelaskan bahwa nama subjek yang terdapat dalam rekam

medis tidak dicantumkan, maka peneliti member kode pada tiap lember

pengumpulan data.

3.11.3 Confidentiality (Kerahasiaan)

Confidentiality adalah memberikan jaminan kerahasiaan hasil

penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua

informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti,


62

hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset

(Hidayat, 2010).

3.12 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian adalah masalah-masalah yang ditemui peneliti

dalam proses pengumpulan data (Nursalam, 2008)

a. Keterbatasan peneliti dalam memperoleh dan mengumpulkan data

penelitian yang bersumber pada rekam medik karena tidak ada penerapan

control manajemen yang menuntut kelengkapan rekam medik. Untuk

mengatasi masalah tersebut peneliti mencocokkan dan melengkapi

kekurangan yang ada di rekam medik dengan dokumentasi bidan dan

perawat yang ada diruangan VK

b. Data-data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data sekunder

sehingga peneliti tidak dapat mengontrol secara maksimal validitas data

yang diperoleh. Selain itu, dalam penelitian ini tidak ditentukan lama

terjadinya KPD sehingga kemungkinan mempengaruhi hasil dan juga

tidak disebutkan jarak persalinan pada paritas sehingga juga dapat

mempengaruhi hasil penelitian.

c. Keterbatasan referensi yang dijadikan acuan peneliti dalam menyusun

dan mengembangkan hasil penelitian dan pembahasan sehingga dapat

berpengaruh terhadap hasil akhir penulisan skripsi


63

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rekam medik RSUD Syarifah Ambami

Rato Ebuh Bangkalan. Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit milik

pemerintah Kabupaten Bangkalan dengan predikat tipe B dan merupakan

Rumah Sakit rujukan utama bagi sarana pelayanan kesehatan pemerintah dan

swasta yang ada diseluruh wilayah Madura.

RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan terletak di Jalan Pemuda

Kaffa No. 9 dengan luas lahan ± 25.247m2 dan luas bangunan keseluruhan ±

8.077 m2 dan kapasitas jumlah tempat tidur sebanyak 170 buah dengan batas

sebelah utara berbatasan dengan Desa Bencaran, batas sebelah selatan

berbatasan dengan Desa Kraton, sebelah timur berbatasan dengan Desa

Burneh, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Pajegen.

4.2 Data Umum

4.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan tingkat pendidikan di


RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
Tingkat Pendidikan Jumlah Prosentase (%)
Pendidikan Dasar 118 47
Pendidikan Menengah 128 51
Pendidikan Tinggi 5 2
Total 251 100
Sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 251 responden sebagian besar

(51%) memiliki tingkat pendidikan menengah.

63
64

4.2.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pekerjaan di RSUD


Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
Pekerjaan Jumlah Prosentase (%)
Bekerja 18 7
Tidak Bekerja 233 93
Total 251 100
Sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari 251 responden hampir

seluruhnya (93%) tidak bekerja (Ibu Rumah Tangga)

4.2.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Cara Datang

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan cara datang di RSUD


Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
Cara datang Jumlah Prosentase (%)
Rujukan 248 99
Bukan rujukan 3 1
Total 251 100
Sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 251 responden hampir

seluruhnya (99%) datang dengan cara rujukan.

4.3 Data Khusus

4.3.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Usia di RSUD Syarifah


Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
Usia Jumlah Prosentase (%)
< 20 tahun 23 9
20-35 tahun 116 46
> 35 tahun 112 44
Total 251 100
Sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa dari 251 responden hampir

setengahnya (46%) berusia 20-35 tahun


65

4.3.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Paritas di RSUD


Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
Paritas Jumlah Prosentase (%)
Multipara 132 53
Grande multipara 119 47
Total 251 100
Sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari 251 responden sebagian

besar (53%) merupakan paritas multipara.

4.3.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Riwayat SC

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Riwayat SC di RSUD


Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
Riwyat SC Jumlah Prosentase (%)
Ya 101 40
Tidak 150 60
Total 251 100
Sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 251 responden

sebagian besar (60%) tidak ada riwayat SC

4.3.4 Karakteristik Responden Berdasarkan KPP

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan KPP di RSUD Syarifah


Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
Riwayat KPP Jumlah Prosentase (%)
Ya 76 29
Tidak 175 71
Total 251 100
Sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan bahwa dari 251 responden sebagian

besar (71%) tidak mengalami KPP.


66

4.3.5 Karakteristik Persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh

Bangkalan tahun 2014

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis persalinan di RSUD


Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
Persalinan Jumlah Prosentase (%)
SC 151 60
Tidak SC 100 40
Total 251 100
Sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan bahwa dari 251 responden sebagian

besar (60%) bersalin secara SC

4.3.6 Distribusi Frekuensi Pengaruh Usia Terhadap Resiko Tindakan Persalinan

Sectio Caesarea (SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan

tahun 2014

Tabel 4.9 Tabulasi silang pengaruh usia terhadap resiko tindakan persalinan SC
RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
Persalinan SC
Total OR
Usia Ya Tidak P
CI 95%
∑ % ∑ % ∑ %
1.003
< 20 tahun 9 39 14 61 23 100 0,847
(0,242- 1.001)
20-35 tahun 60 52 56 48 116 100 ref
>35 tahun 82 73 30 27 112 100 0,050 1.070
Total 151 60 100 40 251 100 (0,537-2.132)
Uji statistic Lambda Sig. : 0,034, uji korelasi Lambda :0,115
sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.9 menunjukkan responden dengan usia < 20 tahun

hampir setengahnya (39%) bersalin dengan SC dan sebagian besar (61%)

bersalin tidak dengan SC. Responden dengan usia 20-35 tahun sebagian

besar (52%) juga bersalin dengan SC dan hampir setengahnya (48)

bersalin tidak dengan SC. Begitu juga dengan responden usia > 35 tahun

sebagian besar (73%) bersalin dengan SC dan hampir setengahnya (27%)

bersalin tidak dengan SC. Hasil uji statistik bivariat dengan menggunakan

uji Lambda dengan α 5% di dapatkan hasil sig. 0,034< 0,05 yang berarti
67

H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh usia

terhadap resiko tindakan persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato

Ebuh Bangkalan tahun 2014, meskipun hasil uji korelasinya dengan

Lambda didapatkan hasil 0,115 yang menunjukkan bahwa korelasinya

sangat lemah. Sedangkan untuk korelasi tiap kategori usia sebagai berikut

usia < 20 tahun P value 0,847>a; OR =1,003 (0,242- 1.001) dan usia> 35

tahun P value 0,050 ≤ a; OR = 1,070 (0,537-2.132).

4.3.7 Distribusi Frekuensi Pengaruh Paritas Terhadap Resiko Tindakan

Persalinan Sectio Caesarea (SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh

Bangkalan tahun 2014

Tabel 4.10 Tabulasi silang pengaruh paritas terhadap resiko tindakan persalinan
SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
Persalinan SC
Total OR
Paritas Ya Tidak P
CI 95%
∑ % ∑ % ∑ %
0,000 2,889
Grande multipara 87 73 32 27 119 100
(1,701-4,907)
Multipara 64 48 68 52 132 100 Ref
Total 151 60 100 40 251 100
Uji statistic Chi square Sig. : 0,000,
Sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.10 menunjukkan bahwa responden dengan paritas

grande multipara sebagian besar (73%) bersalin dengan SC dan hampir

setengahnya (27%) bersalin tidak dengan SC. sedangkan responden

dengan paritas multipara hampir setengahnya (48%) bersalin dengan SC

dan sebagian besar (52%) yang bersalin tidak dengan SC. Hasil uji statistik

bivariat dengan menggunakan uji Chi square dengan α 5% di dapatkan

hasil sig. 0,000 < 0,05 dengan OR = 2,889 (1,701-4,907) yang berarti H0

ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh Paritas

terhadap resiko tindakan persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato


68

Ebuh Bangkalan tahun 2014 dengan odd ratio grande multipara beresiko

2,889 kali melahirkan dengan SC dibandingkan dengan paritas multipara

4.3.8 Distribusi Frekuensi Pengaruh Riwayat Sectio Caesarea (SC) Terhadap

Resiko Tindakan Persalinan Sectio Caesarea (SC) di RSUD Syarifah

Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014

Tabel 4.11 Tabulasi silang pengaruh Riwayat SC terhadap resiko tindakan


persalinan SC RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan
tahun 2014
Persalinan SC
Total OR
Riwayat SC Ya Tidak
CI 95%
∑ % ∑ % ∑ %
4,629
Ya memiliki riwayat 81 80 20 20 101 100
(2,578- 8,309)
Tidak memiliki Ref
70 47 80 53 150 100
riwayat
Total 151 60 100 40 251 100
Uji statistik : Chi Square 0,000
Sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.11 menunjukkan bahwa bahwa responden yang

memiliki riwayat SC hampir seluruhnya (80%) bersalin dengan cara SC

dan hanya sebagian kecil (20%) responden yang memiliki riwayat SC yang

tidak bersalin dengan cara SC. Sedangkan responden yang tidak memiliki

riwayat SC hampir setengahnya (47%) yang bersalin dengan cara SC dan

sebagian besar (53%) bersalin dengan cara tidak SC. Hasil uji statistik

bivariat dengan menggunakan uji Chi-Square dengan α 5% di dapatkan

hasil p value 0,000 < 0,05 dengan OR = 4,629 (2,578-8,309) yang berarti

H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh

riwayat SC terhadap resiko tindakan persalinan SC di RSUD Syarifah

Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014 dengan odd ratio ibu yang

memiliki riwayat persalinan SC beresiko 4,629 kali mengalami persalinan


69

dengan cara SC dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat

persalinan SC

4.3.9 Distribusi Frekuensi Pengaruh KPP Terhadap Resiko Tindakan Persalinan

Sectio Caesarea (SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan

tahun 2014

Tabel 4.12 Tabulasi silang pengaruh KPP terhadap resiko tindakan persalinan
SC RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
Persalinan SC
Total OR
Riwayat KPP Ya Tidak
CI 95%
∑ % ∑ % ∑ %
8,065
Ya mengalami KPP 67 88 9 12 76 100
(3,785-17.172)
Tidak mengalami Ref
84 48 91 52 175 100
KPP
Total 151 60 100 40 251 100
Uji statistik : Chi Square : 0,000
Sumber : data sekunder, 2014.

Berdasarkan tabel 4.12 menunjukkan bahwa responden yang

mengalami KPP hampir seluruhnya (88%) bersalin dengan cara SC dan

hanya sebagian kecil (12%) responden yang mengalami KPP yang tidak

bersalin dengan cara SC. Sedangkan responden yang tidak mengalami

KPP hampir setengahnya (48%) yang bersalin dengan cara SC dan

sebagian besar (52%) bersalin dengan cara tidak SC. Hasil uji statistik

bivariat dengan menggunakan uji Chi Square dengan α 5% di dapatkan hasil

p value 0,000 < 0,05 dengan OR = 8,065 (3,785-17.172) yang berarti H0

ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh KPP

terhadap persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan

tahun 2014 dengan odd ratio ibu yang mengalami KPP beresiko 8,065 kali

melahirkan dengan cara SC.


70

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa semua variabel

independen memenuhi syarat untuk dilakukan analisis multivariate yaitu

usia (sig: 0,034), paritas (sig : 0,000), riwayat SC (sig: 0,000) dan riwayat

KPP (sig: 0,000). Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh secara simultan

antara usia, paritas, riwayat SC dan KPP terhadap resiko tindakan

persalinan SC dilakukan analisa regresi logistic binary dengan metode

enter menggunakan SPSS.16 dan hasil pengujian dikatakan bermakna jika

nilai p < 0,05. Hasil perhitungan akhir ditunjukkan pada tabel 4.13 berikut

ini

Tabel 4.13 Hasil Analisis Regresi Logistik Binary pengaruh usia, paritas,
riwayat SC dan KPP terhadap resiko tindakan persalinan SC
RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014
95.0% C.I.for
EXP(B)
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step usia 2.633 2 .268
a
1 usia(1) -.602- .553 1.183 1 .277 .548 .185 1.620
usia(2) -.562- .354 2.514 1 .113 .570 .285 1.142
paritas(1) -.255- .384 .442 1 .506 .775 .365 1.644
riwayatSC(1) 1.152 .338 11.643 1 .001 3.164 1.633 6.131
kpp(1) 1.690 .425 15.815 1 .000 5.418 2.356 12.458
Constant .056 .347 .027 1 .871 1.058
Keterangan : Akurasi model 70,1%

Berdasarkan tabel 4.13 dapat dijelaskan hasil analisis regresi logistik

binary bahwa variabel independent yang berpengaruh paling kuat terhadap

resiko tindakan persalinan SC adalah riwayat dan riwayat KPP. Hal ini

dapat dilihat dari nilai sig < 0,05 yaitu riwayat SC sig.0,001, SC OR= 3,
71

164 (95 % CI: 1,633- 6,131) dan KPP sig. 0,000 OR= 5,418 (95 % CI:

2,356-12,458). Sedangkan usia < 20 tahun, 20-35 tahun dan paritas grande

multipara tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap resiko

tindakan persalinan SC hal ini dapat dilihat dari nilai sig.>0,05.


72

BAB 5

`PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Usia Responden Bersalin di RSUD Syarifah Ambami Rato

Ebuh Bangkalan tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 251 responden

hampir setengahnya (46%) berusia 20-35 tahun. Kategori usia dalam

penelitian ini berdasarkan tingkat resiko yang mungkin dialami oleh ibu dan

janin pada masa kehamilan dan persalinan yakni usia < 20 tahun, usia 20-35

tahun dan usia > 35 tahun.

Usia dianggap penting karena ikut menentukan prognosis dalam

persalinan, karena dapat mengakibatkan komplikasi baik pada ibu maupun

janin sebagaimana menurut Adji, dalam Damayanti (2012), usia sangat

menentukan terhadap kelancaran proses kehamilan dan persalinan karena

beda usia beda pula kondisi fisiknya. Usia berkaitan dengan tingkat

kematangan dan pengalaman seseorang. Semakin cukup umur/usia maka

semakin matang organ tubuh dan pola berpikir atau psikisnya serta semakin

banyak pengalamannya. Usia ibu < 20 tahun memiliki resiko lebih besar

mengalami komplikasi kehamilan yaitu kenaikan tekanan darah, pertumbuhan

janin terhambat, kelahiran premature serta komplikasi obstetric yang lain

yang dapat meningkatkan angka kematian ibu dan perinatal 4-6 kali lipat

dibanding wanita yang hamil dan bersalin di usia 20-30 tahun begitu juga

dengan usia >35 tahun merupakan usia beresiko untuk menjalani kehamilan

dan persalinan karena menurunnya kesehatan dan fungsi organ reproduksi.

72
73

Pada usia >35 tahun resiko komplikasi yang biasanya terjadi adalah

hipertensi, KPP, pre eklamsia, diabetes dalam kehamilan, persalinan lama

serta risiko BBLR dan Ddown syndrome pada bayi. Menurut Stone (2012)

usia ibu yang semakin tua juga dapat beresiko mengalami komplikasi

penurunan persalinan spontan. Faktor resiko untuk persalinan sulit pada ibu

kelompok umur < 20 tahun dan > 35 tahun 3 kali lebih tinggi dibandingkan

kelompok reproduksi sehat (20-35 tahun).

Usia 20-35 tahun merupakan usia yang dianggap aman untuk proses

kehamilan dan persalinan karena organ reproduksi berfungsi sempurna pada

usia tersebut, sehingga jika terjadi kehamilan tubuh sudah siap dengan segala

perubahan yang akan terjadi dan janin yang dikandung akan tumbuh sehat

karena kebutuhannya dapat terpenuhi dengan baik (Damayanti, 2012).

Hasil penelitian Ezra Marisi (2007) di RSUD Sidakalang yang

menyatakan dari 258 persalinan, sebanyak 78,7% adalah ibu melahirkan

dengan umur 20-35 tahun dan penelitian Annisa (2010) di RSUD Dr.

Adjidarmo Kabupaten Lebak yang mengaatakan proporsi ibu melahirkan

paling banyak di usia 20-35 tahun begitu juga dengan hasil penelitian

Pandesolang (2012) pada Analisis data Rikesda 2010 didapatkan hasil

proporsi usia ibu melahirkan SC juga pada rentang usia 20-35 tahun..

Pada penelitian ini didapatkan hampir setengah dari ibu bersalin di RSUD

Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan berusia 20-35 tahun. Hal ini senada

dengan penelitian sebelumnya. Tingginya proporsi ibu melahirkan pada

kelompok umur 20-35 tahun dikarenakan populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh ibu bersalin di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan. Selain
74

itu usia 20-35 tahun merupakan kelompok umur reproduksi optimal sehingga

banyak ibu hamil dan melahirkan pada usia tersebut. Selain itu, kelompok

umur 20-35 tahun memiliki kecenderungan perkembangan kejiwaan yang

sudah matang sehingga siap menjadi ibu dan menerima kehamilannya

disebabkan karena usia tersebut merupakan usia reproduksi sehat.

5.2 Gambaran Paritas Responden Bersalin di RSUD Syarifah Ambami Rato

Ebuh Bangkalan tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 251 responden

sebagian besar (53%) merupakan paritas multipara. Penggolongan paritas

pada penelitian ini terdiri dari multipara dan grande multipara sedangkan

paritas primipara tidak dilakukan penelitian karena akan mempengaruhi

variabel penelitian yang lain.

Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dimiliki seorang wanita

(BKKBN, 2010). Paritas merupakan factor penting dalam menentukan nasib

ibu dan janin baik selama kehamilan maupun selama proases persalinan.

Paritas berpengaruh terhadap ketahanan uterus. Paritas menurut teori dibagi

menjadi 3. Paritas primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang

anak yang cukup besar untuk hidup diluar. Resiko komplikasi kehamilan dan

persalinan pada primipara dapat ditangani dengan asuhan obstetric yang lebih

baik (Varney, 2007). Paritas multipara adalah wanita yang telah melahirkan

seorang anak lebih dari satu kali. Paritas multipara merupakan paritas paling

aman untuk kehamilan dan persalinan (Prawirohardjo, 2005). Sedangkan

grande multipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau
75

lebih. Paritas grande multipara biasanya mengalami penyulit dalam

kehamilan dan persalinan karena kondisi fisik yang tidak prima lagi. Adapun

paritas yang paling aman untuk proses kehamilan dan melahirkan adalah

paritas 2-3. Paritas 1 dan lebih dari 3 mempunyai angka kematian maternal

yang tinggi (Wiknjosastro, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian ini sebagian besar merupakan paritas

multipara disebabkan karena paritas multipara merupakan paritas yang aman

atau beresiko rendah untuk mengalami komplikasi saat kehamilan dan

persalinan karena secara fisiologis organ reproduksi sudah berfungsi secara

maksimal dan secara psykologis juga ibu multipara sudah matang ditambah

dengan pengalaman melahirkan sebelumnya membuat persalinan bagi ibu

multipara lebih mudah, sehingga sangat wajar jika sebagian responden

berparitas multipara.

5.3 Gambaran Riwayat Sectio Caesarea (SC) Pada Responden Bersalin di

RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 251 responden

sebagian besar (60%) tidak ada riwayat SC. Penggolongan riwayat SC pada

penelitian ini yaitu memiliki riwayat SC dan tidak memiliki riwayat SC.

Riwayat SC adalah keadaan dimana sebelumnya pernah melahirkan

dengan cara SC. Selama bertahun-tahun uterus yang mengalami jaringan parut

dianggap merupakan kontraindikasi untuk persalinan karena ketakutan akan

kemungkinan rupture uterus (Cunningham, 2006).


76

Pada persalinan bekas SC beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya

rupture uteri antara lain adalah lebih dari satu kali menjalani SC, usia yang

semakin tua juga meningkatkan resiko rupture uteri, jarak persalinan yang

pendek, adanya infeksi pada persalinan terdahulu, induksi persalinan,

persalinan macet dan kelainan bentuk rahim. Selain resiko tersebut diatas pada

persalinan dengan bekas SC juga dapat meningkatkan resiko plasenta previa

yang disebabkan karena abnormalitas dari vaskularisasi endometrium yang

mungkin disebabkan oleh adanya parut atau infeksi (Mochtar, 2013).

Resiko lain jangka panjang yang dapat dialami ibu dengan bekas SC

adalah masalah psikologis. Wanita dengan bekas SC memiliki trauma akan

proses persalinan sebelumnya sehingga mereka cenderung untuk melakukan

persalinan SC lagi pada persalinannya (Nabila, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan sebagian besar responden tidak

memiliki riwayat SC hal ini disebabkan karena RSUD Syarifah Ambami Rato

Ebuh Bangkalan merupakan RS type B dan satu-satunya di wilayah Madura,

sehingga hampir seluruh (99%) responden yang bersalin di RSUD Syarifah

Ambami Rato Ebuh Bangkalan merupakan pasien rujukan, sehingga tidak

hanya ibu dengan riwayat SC saja yang bersalin di RS tersebut melainkan ibu

bersalin dengan komplikasi-komplikasi lain yang tidak bisa ditangani oleh

tempat pelayanan kesehatan lain diseluruh wilayah Madura yang

pelayanannya dibawah RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan.

Sedangkan persalinan dengan riwayat SC atau sering disebut BSC (bekas SC)

memang harus dilakukan di tempat pelayanan kesehatan yang memiliki

fasilitas pelayanan obstetric ginekologi yang lengkap dan selalu siap


77

menangani dalam keadaan kegawatdaruratan karena bekas SC merupakan

suatu kondisi yang beresiko menyebabkan rupture uteri jika persalinan tidak

dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang lengkap.

5.4 Gambaran KPP Pada Responden Bersalin di RSUD Syarifah Ambami

Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 251 responden

sebagian besar (71%) tidak mengalami KPP. Penggolongan KPP dalam

penelitian ini yaitu mengalami KPP dan tidak mengalami KPP.

KPP merupakan salah satu komplikasi mendekati persalinan yang sering

dialami oleh ibu bersalin. Menurut Manuaba (2010) KPP adalah pecahnya

ketuban sebelum terdapat tanda-tanda persalinan dan di tunggu satu jam

belum terjadi inpartu. Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam

proses persalinan. Namun, 8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami

ketuban pecah dini di mana selaput ketuban pecah sebelum persalinan. KPP

disebabkan karena berkurangnya kekuatan membrane atau meningkatnya

tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan

membrane disebabkan adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan

servik (Prawirohardjo, 2005). Adapun faktor resiko yang meningkatkan

kejadian KPP antara lain adalah polihidramnion (cairan ketuban berlebih),

riwayat KPP sebelumnya, kelainan atau kerusakan selaput ketuban,

kehamilan kembar, trauma, servik yang pendek dan infeksi pada kehamilan

seperti bacterial vaginosis.


78

Ketuban pecah dini merupakan masalah yang masih kontroversial dalam

kebidanan. KPD merupakan salah satu penyulit dalam kehamilan dan

persalinan yang berperan dalam meningkatkan kesakitan dan kematian

maternal dan neonatal karena dengan tidak adanya selaput ketuban maka

flora vagina yang normal bisa menjadi pathogen ataupun mikroorganisme

berbahaya dari luar bisa dengan mudah menginfeksi uterus dan janin. KPD

yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan

disebabkan karena kompresi muka dan anggota badan (Prawirohardjo, 2005).

Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37

minggu adalah sindrom distress pernapasan yang terjadi pada 10-40% bayi

baru lahir. Selain itu resiko infeksi meningkat pada kejadian KPD

sebagaimana penelitian Bari (2005) yang menyebutkan bahwa KPP adalah

masalah penting dalam obstetric yang berkaitan dengan tejadinya infeksi

chorioamnionitis sampai sepsis yang meningkatkan morbiditas dan

mortalitas. Penangannya memerlukan pertimbangan usia gestasi, infeksi pada

ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar

responden tidak mengalami KPP hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan

bahwa hanya 8-10% saja ibu hamil aterm yang mengalami KPP. Selain itu

KPP bukanlah satu-satunya komplikasi yang mungkin saja terjadi pada saat

mendekati persalinan, namun masih banyak komplikasi lain yang bisa terjadi

pada saat mendekati persalinan dan saat persalinan seperti PEB, eklamsia,

partus lama, partus macet, dan lain-lain yang membutuhkan penanganan pada

tingkat pelayanan Rumah Sakit.


79

Persalinan itu sendiri akan berlangsung normal jika 5 komponen yakni

power, passage, pasanger, psikologi ibu dan penolong dalam keadaan baik,

akan tetapi jika salah satu dari komponen tersebut ada masalah maka

persalinan akan berjalan tidak normal sehingga harus dirujuk ke fasilitas

kesehatan yang bisa memberikan pelayanan mumpuni yaitu rumah sakit.

Sedangkan KPP merupakan masalah penting dalam obstetric yang bisa

menyebabkan infeksi sampai sepsis yang dapat meningkatkan resiko

morbiditas dan mortalitas bagi maternal dan neonatal. Sehingga

penanganannya harus dilakukan di fasilitas kesehatan yang memiliki petugas

dan peralatan lengkap untuk meminimalisir dan menangani komplikasi yang

menyertai KPP.

5.5 Gambaran Persalinan Sectio Caesarea (SC) di RSUD Syarifah Ambami

Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 251 responden

sebagian besar (60%) bersalin secara SC. Pengelompokkan variabel

persalinan dalam penelitian ini adalah persalinan SC dan persalinan tidak SC

(normal, vacum dan forcep).

Persalinan SC adalah persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui

suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam

keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Prawirohardjo, 2009). Ada

banyak indikasi seseorang harus dilakukan tindakan persalinan SC antara lain

indikasi mutlak yaitu panggul sempit absolute, tumor jalan lahir, plasenta

previa, rupture uteri imminen. Indikasi janin antara lain kelainan letak, gawat
80

janin, perkembangan bayi yang terlambat. Indikasi relative antara lain riwayat

SC sebelumnya, presentasi bokong, distosia, PEB, penyakit kardiovaskuler,

diabetes, ibu hamil dengan HIV positif belum masuk inpartu dan gemeli.

Indikasi sosial seperti permintaan pasien. Selain ada indikasi persalinan SC

juga mempunyai kontraindikasi antara lain yaitu, IUFD, syok, kelainan

congenital berat, infeksi pieogenik pada dinding abdomen dan minimnya

fasilitas SC (Rasdjidi, 2009).

Persalinan SC merupakan persalinan tindakan yang seharusnya dilakukan

jika persalinan normal tidak bisa dilakukan, selain mempunyai keuntungan

juga mempunyai beberapa komplikasi yang dapat terjadi jangka pendek dan

jangka panjang. Komplikasi tersebut menurut Martius (2010) antara lain yaitu

tromboemboli, hipoksia, infeksi, perdarahan akibat atonia uteri, ileus,

obstruksi usus, rupture uteri dan perlekatan organ. Namun meskipun

komplikasinya banyak persalinan SC masih banyak diminati. Menurut

Cunningham (2006) alasan terjadinya kenaikan persalinan SC antara lain

yaitu pengurangan parietas, kehamilan di usia > 35 tahun, pemantauan janin

secara elektronik, riwayat SC dan factor sosioekonomi.

Hasil penelitian Ezra Marisi (2007) di RSUD Sidakalang yang

menyebutkan bahwa proporsi ibu melahirkan dengan persalinan seksio

sesarea lebih besar (57,6%) daripada persalinan normal 29 (42,4%). Dan

penelitian Annisa (2010) di RSUD Dr. Adjidarmo menunjukkan dari 407

persalinan didapatkan 258 kasus persalinan seksio sesarea (63,4%) dan 149

persalinan normal (36,6%). Begitu juga dengan hasil penelitian ini yang

menunjukkan bahwa sebagian besar (60%) responden bersalin dengan SC.


81

Tingginya angka persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh

Bangkalan tahun 2014 disebabkan karena RS tersebut merupakan rumah sakit

pusat rujukan bagi seluruh Rumah Sakit, pelayanan kesehatan masyarakat

(Puskesmas) dan klinik-klinik kesehatan lain swasta maupun milik pemerintah

di Madura. Pasien yang datang ke RS tersebut tidak hanya berasal dari dalam

Kabupaten Bangkalan tetapi juga luar Kabupaten Bangkalan. Hal ini berarti

sebagian besar persalinan yang dibawa ke RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh

Bangkalan adalah persalinan dengan penyulit sehingga harus segera

mendapatkan pertolongan, terutama melalui persalinan seksio sesarea. Hampir

seluruh kasus persalinan juga merupakan rujukan dari pelayanan kesehatan

lain, yaitu 99 %.

Fakta ini menguatkan bahwa kasus persalinan di RSUD Syarifah Ambami

Rato Ebuh Bangkalan sebagian besar merupakan persalinan dengan penyulit

sehingga banyak ditemukan persalinan seksio sesarea. Dapat dilihat dari usia

dan paritas responden yang bersalin di RS tersebut sebagian besar merupakan

paritas multipara yang seharusnya bisa bersalin secara normal tanpa

komplikasi, namun persalinannya harus diakhiri dengan SC. Hal tersebut

mungkin disebabkan oleh proses kehamilan dan persalinan tidak dijaga

dengan baik, tidak ANC rutin, tidak konsumsi tablet Fe dan asam folat dan

lain lain, maka akan beresiko juga mengalami komplikasi yang menyebabkan

persalinan dilakukan dengan SC. hal tersebut juga didukung oleh pendidikan

ibu yang sebagian besar berpendidikan dasar dan menengah sebagaimana hasil

penelitian Maulidah (2002) yang mengatakan bahwa pendidikan ibu yang

rendah (≤ SMP) memiliki resiko 6 kali lebih tinggi untuk mengalami partus
82

lama dibandingkan dengan ibu pendidikan tinggi. Untuk penatalaksanaan

partus lama ini salah satunya dengan persalinan SC.

Selain hal diatas peningkatan angka persalinan SC diduga terkait dengan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknik kedokteran khususnya di bidang

obstetric dan ginekologi, tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih baik

serta meningkatnya ibu hamil pada usia tua, paritas yang tinggi, komplikasi

pada ibu dan janin dan akses informasi yang luas tentang berbagai jenis teknik

persalinan sehingga membuka peluang bagi masyarakat khususnya ibu hamil

untuk memilih persalinan yang sesuai dengan keinginannya khusunya SC.

5.6 Pengaruh Usia Terhadap Resiko Tindakan Persalinan Sectio Caesarea

(SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan responden dengan usia < 20

tahun hampir setengahnya (39%) bersalin dengan SC dan sebagian besar

(61%) bersalin tidak dengan SC. Responden dengan usia 20-35 tahun

sebagian besar (52%) juga bersalin dengan SC dan hampir setengahnya (48)

bersalin tidak dengan SC. Begitu juga dengan responden usia > 35 tahun

sebagian besar (73%) bersalin dengan SC dan hampir setengahnya (27%)

bersalin tidak dengan SC.

Hasil uji statistik bivariat dengan menggunakan uji Lambda dengan α 5%

di dapatkan hasil sig. 0,034< 0,05 yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima.

Hal ini menunjukkan adanya pengaruh usia terhadap resiko tindakan

persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014,

meskipun hasil uji korelasinya dengan Lambda didapatkan hasil 0,115 yang
83

menunjukkan bahwa korelasinya sangat lemah. Sedangkan untuk OR tiap

kategori sebagai berikut usia < 20 tahun P value 0,847>a; OR =1.070 (0,537-

2.132) dan usia> 35 tahun P value 0,050 ≤ a; OR = 1,003 (0,242- 1.001).

Hal ini sesuai teori Damayanti (2012) yang menyatakan bahwa kehamilan

dan persalinan pada usia kurang dari 20 tahun dapat menyebabkan berbagai

komplikasi dan penyulit. Hal ini disebabkan karena organ-organ reproduksi

tidak berfungsi dengan sempurna sehingga bila terjadi kehamilan dan

persalinan akan lebih mudah mengalami komplikasi. Selain itu, kekuatan

otot-otot perineum dan otot-otot perut belum bekerja secara optimal sehingga

sering terjadi persalinan lama atau macet yang memerlukan tindakan, seperti

sectio caesarea. Ibu hamil berumur muda juga memiliki kecenderungan

perkembangan kejiwaannya belum matang sehingga belum siap menjadi ibu

dan menerima kehamilannya di mana hal ini dapat berakibat terjadinya

komplikasi obstetri yang dapat meningkatkan angka kematian ibu dan

perinatal. Begitu juga pada kehamilan dan persalinan di usia > 35 tahun akan

menyebabkan penyulit dan komplikasi karena kesehatan dan fungsi alat

reproduksi yang menurun (menua) sehingga untuk mengakhiri kehamilan

dilakukan dengan persalinan SC. Sedangkan kehamilan dan persalinan di usia

20-35 tahun merupakan kehamilan yang tidak beresiko karena usia 20-35

tahun merupakan usia reproduksi sehat dimana organ reproduksi dan

psikologi siap untuk proses kehamilan dan persalinan (Damayanti, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian ini sebagian besar responden usia < 20 tahun

bersalin tidak dengan SC sedangkan sebagian besar responden usia 20-35

tahun bersalin dengan cara SC hal ini disebabkan karena kehamilan pada
84

dasarnya merupakan keadaan yang beresiko bagi setiap wanita karena risiko

untuk mengalami komplikasi bisa saja terjadi setiap saat, sehingga diperlukan

pengawasan yang optimal bagi ibu hamil itu sendiri, keluarga, petugas

kesehatan dan masyarakat sekitar agar proses kehamilan berjalan dengan

lancar sampai dengan proses persalinannya pada kehamilan di usia < 20 tahun

memang mempunyai resiko tinggi karena belum optimalnya fungsi dari alat

reproduksi namun resiko tersebut dapat ditekan seminimal mungkin jika ibu

menjaga kehamilannya dengan baik mulai dari periksa ANC rutin, memenuhi

nutrisi sesuai kebutuhan, istirahat, personal hygiene, olahraga hamil serta

konsumsi tablet tambah darah rutin begitu halnya dengan kehamilan di usia

20-35 tahun pada dasarnya hamil dan melahirkan di usia tersebut merupakan

usia yang dianjurkan untuk hamil dan bersalin namun jika tidak di ikuti

dengan menjaga proses kehamilan seperti memenuhi nutrisi, personal

hygiene, istirahat, ANC rutin maka kehamilan tidak dapat berjalan dengan

normal serta lebih beresiko mengalami komplikasi yang menyebabkan

persalinan diakhiri dengan SC. Sedangkan untuk usia > 35 tahun memang

merupakan usia yang beresiko tinggi mengalami komplikasi baik yang

disebabkan langsung oleh kehamilannnya seperti PEB sampai Eklamsia dan

disebabkan oleh penyakit yang menyertai sebelum hamil seperti DM,

hipertensi serta kelainan power saat melahirkan dikarenakan kelelahan dalam

proses persalinan sehingga sebagian besar ibu hamil yang bersalin di usia

tersebut bersalin dengan SC.

Selain faktor lain yang mungkin berpengaruh yaitu pekerjaan, tingkat

pendidikan dan system rujukan karena Sebagian besar pekerjaan responden


85

adalah IRT dan berpendidikan dasar sampai menengah hal ini dapat

mempengaruhi pengetahuan responden terhadap kehamilan dan persalinan,

pendidikan dapat mencerminkan seberapa besar seseorang dapat menyerap

informasi dengan baik, sedangkan pekerjaan sebagai IRT memungkinkan

seseorang untuk jarang berinteraksi dengan dunia luar sehingga kemungkinan

kurang mendapatkan pengetahuan yang baik tentang bagaimana menjaga

proses kehamilan dan persalinan dengan baik sedangkan untuk system

rujukan, dapat diketahui sebagian besar persalinan di RSUD Syarifah

Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014 merupakan hasil rujukan dari

berbagai daerah di wilayah Madura dengan medan yang sulit dan jarak

tempuh yang lama sehingga ketika sudah sampai di tempat rujukan

merupakan keadaan gawat darurat dan harus segera melakukan terminasi

kehamilan dengan persalinan SC.

Sebagaimana penelitian Rusydi (2004) di RSUP Palembang menemukan

bahwa partus kasep yang akhirnya dilakukan tindakan operasi seksio sesarea

merupakan kasus rujukan yang sebelumnya ditolong oleh bidan dan dukun di

luar rumah sakit dan bertempat tinggal di luar kota.

Hasil penelitian Aghamohammadi dan Nooritajer (2011) di Iran yang

menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan persalinan SC.

Begitu pula dengan penelitian Karla, Maria, Anibal, Avelar, dan Olimpio di

Brazil menyimpulkan bahwa umur ibu paling kuat berhubungan dengan

persalinan dengan tindakan.

Supriyati, Doeljachman, dan Susilowati (2000) mendapatkan temuan

bahwa umur ibu hamil merupakan faktor risiko distosia yang memerlukan
86

tindakan persalinan SC. Ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun atau

lebih dari 35 tahun berisiko 4 kali terjadi distosia dibandingkan ibu hamil

yang berumur antara 20 sampai 35 tahun. Begitu juga dengan hasil penelitian

Pandesolang (2012) pada Analisis Data Rikesda tahun 2010 didapatkan

bahwa ibu dengan usia > 35 tahun beresiko 1,24 kali untuk melahirkan

dengan SC (95% CI: 1,03-1,50) dibandingkan ibu dengan usia 20-34 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan adanya pengaruh usia terhadap

resiko tindakan persalinan SC hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya

yang telah disebut di atas dimana usia > 35 tahun beresiko 1,070 kali untuk

melahirkan dengan SC (95% CI: 0,537-2.132). Sedangkan untuk usia < 20

mempunyai resiko 1.003 kali untuk melahirkan dengan SC (0,242- 1.001)

atau bisa diartikan bahwa usia < 20 tahun dan usia > 35 tahun memiliki resiko

persalinan SC yang sebanding/ sama dengan usia 20-35 tahun hal ini

dikarenakan karena sebagian besar responden (61%) usia < 20 tahun bersalin

tidak dengan SC. sedangkan responden dengan usia 20-35 tahun sebagian

besar (52%) bersalin dengan SC begitu juga dengan responden usia > 35

tahun sebagian besar (73%) bersalin dengan SC.

Berdasarkan penelitian ini dapat diasumsikan bahwa baik usia < 20 tahun,

usia 20-35 tahun dan usia > 35 tahun dapat beresiko bersalin dengan SC jika

tidak menjaga proses kehamilan dan persalinannya dengan baik seperti

melakukan ANC rutin yang berkualitas, memenuhi nutrisi, istirahat dan

personal hygine sesuai kebutuhan, karena kehamilan itu sendiri merupakan

keadaan beresiko bagi setiap yang mengalaminya, hanya saja resiko tersebut

dapat diminimalkan jika menjaga proses kehamilan dan persalinan dengan


87

baik dan sehat. Namun meskipun begitu, proses kehamilan hendaknya terjadi

pada usia reproduktif yaitu 20-35 tahun karena ini merupakan kondisi yang

paling ideal untuk hamil. Akan tetapi jika ada pasangan yang baru

mendapatkan kehamilan pertamanya pada usia > 35 tahun hendaknya selalu

memeriksakan kehamilannya kepada petugas kesehatan dengan rutin,

menjaga kehamilan dengan senantiasa mengkonsumsi makanan gizi seimbang

sesuai dengan kebutuhan, istirahat dan olahraga secukupnya. Dan bagi ibu

dengan usia > 35 tahun dan sudah memiliki anak hendaknya mengikuti

program KB yang dianjurkan pemerintah yaitu kontrasepsi mantap (MOW

dan MOP). Sedangkan bagi setiap pasangan usia subur harus merencanakan

kehamilannya, dan setiap remaja harus memperoleh pendidikan kesehatan

reproduksi untuk mempersiapkan reproduksi sehat. Semua hal tersebut

dilakukan dengan tujuan agar terhindar dari kehamilan dan persalinan yang

beresiko tinggi yang dapat mengancam jiwa ibu dan bayinya.

5.7 Pengaruh Paritas Terhadap Resiko Tindakan Persalinan SC di RSUD

Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan

paritas grande multipara sebagian besar (73%) bersalin dengan SC dan

hampir setengahnya (27%) bersalin tidak dengan SC. sedangkan responden

dengan paritas multipara hampir setengahnya (48%) bersalin dengan SC dan

sebagian besar (52%) yang bersalin tidak dengan SC.

Hasil uji statistik bivariat dengan menggunakan uji Chi square dengan α

5% di dapatkan hasil sig. 0,000 < 0,05 dengan OR = 2,889 (1,701-4,907)


88

yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan adanya

pengaruh Paritas terhadap resiko tindakan persalinan SC di RSUD Syarifah

Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014

Hasil ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Prawirohardjo (2005)

yang menyatakan Jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh seorang wanita

merupakan faktor penting dalam menentukan nasib ibu dan janin baik selama

kehamilan maupun selama persalinan. Hal ini dipengaruhi oleh kematangan

dan penurunan fungsi organ reproduksi. Persalinan yang pertama sekali

(primipara) biasanya mempunyai resiko relatif tinggi terhadap ibu dan anak

dikarenakan belum pernah memiliki pengalaman melahirkan, kemudian

risiko ini menurun pada paritas kedua dan ketiga, dan akan meningkat lagi

pada paritas keempat dan seterusnya karena keadaan rahim yang sudah lemah

dapat menimbulkan kontraksi yang tidak adekuat yang berakibat persalinan

lama, kelainan letak dan perdarahan sehingga harus diakhiri dengan

persalinan SC. Sedangkan pada Grande Multipara (ibu yang melahirkan >5

kali), elastisitas uterusnya menurun, terjadilah peregangan berlebihan dari

uterus menyebabkan berbagai penyulit persalinan disamping itu pada ibu

grande multipara biasanya selalu disertai dengan penurunan kesehatan dan

penyakit sehingga memperburuk proses kehamilan dan persalinan dan harus

diakhiri dengan persalinan SC.

Hasil penelitian Yuli K. (2006) di RS Dr. Moewardi Surakarta

mendapatkan bahwa multipara paling banyak dijumpai baik pada kasus

tindakan persalinan, termasuk sectio caesarea maupun persalinan normal.

Dalam penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa ada hubungan antara


89

grandemultipara dengan kejadian persalinan SC (OR 3,42 : 95% CI:1,67-

6,93). Begitu juga dengan hasil penelitian Aghamohammadi dan Nooritajer

(2011) di Iran yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara multipara

dengan persalinan sectio caesarea dan komplikasi gestasional, seperti diabetes

gestasional (OR 4,0:95% CI 3,0- 5,0) dan penelitian Pandesolang (2012) pada

Analisis Data Rikesda 2013 menghasilkan adanya hubungan antara paritas

dengan persalinan SC.

Hasil penelitian ini senada dengan penelitian sebelumnya yang telah

dijelaskan diatas, dimana didapatkan adanya pengaruh paritas terhadap

persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan. Ibu dengan

paritas grande multipara beresiko 2,889 kali melahirkan dengan SC

dibandingkan dengan paritas multipara.

Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Annisa

(2010) di RSUD Dr. Adjidarmo Lebak yang mendapatkan tidak adanya

hubungan antara paritas dengan persalinan SC. Ketidaksesuaian hasil

penelitian ini dengan penelitian tersebut disebabkan karena pada penelitian ini

paritas dibagi menjadi dua kategori yaitu multipara dan grande multipara

sedangkan pada penelitian Annisa dibedakan menjadi tiga kategori yaitu

primipara, multipara dan grande multipara.

Menurut asumsi penelitian ini ibu dengan persalinan pertama biasanya

mempunyai resiko komplikasi baik terhadap ibu maupun pada anak,

kemudian resiko ini menurun pada paritas kedua dan ketiga, dan akan

meningkat lagi pada paritas keempat dan seterusnya (grande multipara). hal

ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan sebagian besar paritas
90

grande multipara bersalin dengan SC sedangkan ibu dengan paritas multipara

sebagian besar bersalin tidak dengan SC.

Paritas grande multipara merupakan paritas yang beresiko tinggi karena

fungsi organ reproduksi pada paritas grande multipara biasanya sudah

menurun dan biasanya kehamilan dengan paritas grande multipara sering

disertai dengan penyakit yang dapat mempengaruhi proses kehamilan dan

persalinan, sehingga kehamilan dan persalinan pada paritas tersebut biasanya

sering diikuti komplikasi yang diakhiri dengan tindakan SC.

5.8 Pengaruh Riwayat Sectio Caesarea (SC) Terhadap Resiko Tindakan

Persalinan Sectio Caesarea (SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh

Bangkalan tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang

memiliki riwayat SC hampir seluruhnya (80%) bersalin dengan cara SC dan

hanya sebagian kecil (20%) responden yang memiliki riwayat SC yang tidak

bersalin dengan cara SC. Sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat

SC hampir setengahnya (47%) yang bersalin dengan cara SC dan sebagian

besar (53%) bersalin dengan cara tidak SC.

Hasil uji statistik bivariat dengan menggunakan uji Chi-Square dengan α

5% di dapatkan hasil p value 0,000 < 0,05 dengan OR = 4,629 (2,578-8,309)

yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan adanya

pengaruh riwayat SC terhadap resiko tindakan persalinan SC di RSUD

Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014 dengan odd ratio ibu

yang memiliki riwayat persalinan SC beresiko 4,629 kali mengalami


91

persalinan dengan cara SC dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki

riwayat persalinan SC

Hasil ini sesuai dengan teori Cunningham (2006) yang mengatakan bahwa

uterus yang mengalami jaringan parut dianggap merupakan kontraindikasi

untuk persalinan normal karena ketakutan akan kemungkinan rupture uteri,

sehingga persalinan dengan parut uterus lebih dianjurkan dengan cara SC.

Resiko rupture uteri meningkat dengan meningkatnya jumlah persalinan SC

sebelumnya, pasien dengan persalinan SC lebih dari satu kali mempunyai

resiko lebih tinggi untuk terjadinya rupture uteri .Resiko rupture uteri

meningkat pada usia pasien > 35 tahun, jarak melahirkan yang pendek,

adanya infeksi, kelainan bentuk rahim dan induksi partus.

Hasil penelitian Annisa (2012) di RSUD Dr. Adjidarmo Lebak

mendapatkan bahwa adanya hubungan antara riwayat SC dengan kejadian

persalinan SC (p = 0,018, OR 3, 09). Sedangkan hasil penelitian ini

didapatkan adanya pengaruh riwayat SC terhadap resiko tindakan persalinan

SC di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh bangkalan Tahun 2014 (p value

0,000; OR = 4,629). Hal ini menunjukkan kesesuaian hasil penelitian ini

dengan penelitian sebelumnya.

Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara

riwayat seksio sesarea dengan resiko tindakan persalinan seksio sesarea

berikutnya dimana hampir seluruh ibu bersalin yang memiliki riwayat SC

melahirkan dengan cara sama yakni persalinan SC dan sebagian besar ibu

yang tidak memiliki riwayat persalinan SC tidak bersalin dengan SC.


92

Sehingga dapat disimpulkan bahwa riwayat persalinan sebelumnya dengan

seksio sesarea merupakan faktor risiko persalinan seksio sesarea berikutnya.

Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung penelitian Yuli K.

(2006) di RS Dr. Moewardi Surakarta yang memperoleh hasil bahwa kondisi

kehamilan risiko tinggi, antara lain ditandai dengan riwayat obstetri yang

jelek berupa riwayat abortus, lahir mati, atau pernah mengalami persalinan

tindakan sebelumnya (SC) merupakan faktor risiko yang sangat berpengaruh

terhadap persalinan dengan tindakan. Ibu dengan kondisi kehamilan risiko

tinggi mempunyai risiko sebesar 11,01 kali lebih besar untuk mengalami

persalinan dengan tindakan, termasuk seksio sesarea. Hasil penelitian ini juga

sejalan dengan penelitian Unsi (2009) yang menyatakan bila sudah menjalani

bedah sesar, maka kelahiran selanjutnya juga dengan bedah sesar dikarenakan

dikhawatirkan terjadinya ruptur uteri.

Sebanyak 101 ibu melahirkan dalam penelitian ini memiliki riwayat partus

seksio sesarea dalam persalinan terdahulu, dengan proporsi 81 ibu melahirkan

dengan seksio sesarea dan 20 ibu melahirkan secara normal. Pada tahun 1916,

Cragin mengutarakan pendapatnya yang terkenal “Sekali seksio sesarea,

selalu seksio sesarea.” Walaupun menurut J. Whitridge Williams (1917)

menyebut pendapat tersebut berlebihan, di mana pada tahun-tahun berikutnya

banyak dilakukan VBAC (Vaginal 5 Birth After prior Caesarean). Tahun

1978 Merrill dan Gibbs melaporkan dari University of Texas di San Antonio

bahwa pelahiran pervaginam secara aman dilakukan pada 83% pasien yang

pernah menjalani seksio sesarea. Laporan ini memicu peningkatan VBAC di


93

Amerika Serikat menjadi 14 kali lipat pada wanita dengan riwayat seksio

sesarea.

Namun, sejak tahun 1989 terdapat beberapa laporan yang dipublikasikan

di seluruh Amerika Serikat dan Kanada yang menyatakan bahwa VBAC lebih

berisiko daripada yang diperkirakan. Scott (1991) melaporkan bahwa di Utah,

12 wanita mengalami ruptur uteri saat percobaan melahirkan pervaginam.

Dua wanita memerlukan histerektomi, terdapat tiga kematian perinatal dan

dua bayi menderita gangguan neurologis jangka panjang yang signifikan.

Laporan-laporan semacam ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang

keamanan VBAC. American College of Obstetricians and Gynecologists

(ACOG) mengamati bahwa “Menjadi semakin jelas bahwa VBAC berkaitan

dengan peningkatan kecil tetapi bermakna risiko ruptur uteri dengan akibat

buruk bagi ibu dan bayi.” Pada tahun 1999, ACOG menganjurkan VBAC

dicoba hanya di institusi yang dilengkapi untuk melakukan perawatan darurat.

Selama bertahun-tahun, uterus yang mengalami jaringan parut akibat insisi

bedah seperti pada seksio sesarea, merupakan kontraindikasi untuk persalinan

karena risiko terjadinya ruptur uterus sangat besar. Lebih dari 90% kasus

ruptur uterus berkaitan dengan riwayat seksio sesarea. Hal ini dikarenakan

terpisahnya jaringan parut bekas seksio sesarea sebelumny akibat

inkoordinasi kontraksi uterus pada saat persalinan.

Pasien dengan jaringan parut akibat seksio sesarea kemungkinan

mengalami robekan jaringan parut simtomatik pada kehamilan berikutnya.

Angka ruptur uteri dilaporkan terjadi pada berbagai jenis insisi uterus saat

seksio sesarea, terutama pada insisi klasik. Morbiditas dan mortalitas dapat
94

terjadi antara lain akibat rasa nyeri yang hebat, perdarahan pervaginam masif,

peningkatan risiko infeksi, dan kematian janin dalam kandungan. Oleh karena

itu, untuk menghindari morbiditas dan mortalitas pada ibu dengan riwayat

seksio sesarea, maka persalinan seksio sesarea merupakan pilihan yang utama

saat ini. Sedangkan persalinan normal bisa dicoba di pusat pelayanan

kesehatan yang mempunyai fasilitas lengkap untuk kondisi kegawat

daruratan.

5.9 Pengaruh KPP Terhadap Resiko Tindakan Persalinan Sectio Caesarea

(SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang

mengalami KPP hampir seluruhnya (88%) bersalin dengan cara SC dan hanya

sebagian kecil (12%) responden yang mengalami KPP yang tidak bersalin

dengan cara SC. Sedangkan responden yang tidak mengalami KPP hampir

setengahnya (48%) yang bersalin dengan cara SC dan sebagian besar (52%)

bersalin dengan cara tidak SC.

Hasil uji statistik bivariat dengan menggunakan uji Chi Square dengan α

5% di dapatkan hasil p value 0,000 < 0,05 dengan OR = 8,065 (95% CI :

3,785-17.172) yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan

adanya pengaruh riwayat KPP terhadap persalinan SC di RSUD Syarifah

Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun 2014

Hasil ini sesuai dengan teori Manuaba (2010) yang menyatakan bahwa

ketuban pecah dini merupakan komplikasi tersering yang terjadi saat

mendekati persalinan. Komplikasi yang timbul akibat KPD dapat terjadi


95

infeksi maternal ataupun neonatal, korioamnionitis, persalinan prematur, tali

pusat atau ektremitas yang menumbung dan hipoksia. Oleh karena itu,

penatalaksanaannya adalah dengan terminasi kehamilan. Sedangkan menurut

Taber (2002) Apabila KPD terjadi >24 jam dan persalinan belum terjadi,

maka harus segera dilakukan persalinan seksio sesarea.

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan adanya pengaruh KPP

terhadap resiko tindakan persalinan SC di RSUD Syarifah Ambami Rato

Ebuh bangkalan Tahun 2014. Hal ini mendukung penelitian Wildayani (2009)

yang menyatakan bahwa ibu yang mengalami ketuban pecah dini akan

memiliki risiko bagi ibu maupun janin untuk terkena infeksi dan salah satu

jalan yang dipilih untuk pertolongan persalinan adalah dengan seksio sesarea

begitu juga dengan hasil penelitian dari Bari (2005) yang menyatakan

ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetric berkaitan

dengan terjadinya infeksi chorioamnionitis sampai sepsis yang meningkatkan

morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal, sehingga penanganannya

memerlukan pertimbangan usia gestasi, infeksi, dan tanda-tanda persalinan,

penatalaksanaannya dengan cara induksi oksitosin dan jika gagal segera

dilakukan seksio sesarea.

Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Annisa

(2010) di RSUD Dr. Adjidarmo Lebak dan Yuli K (2006) di RS Dr.

Moewardi Surakarta di yang mendapatkan bahwa tidak ada hubungan antara

KPP dengan kejadian persalinan SC. Hal ini mungkin disebabkan karena

pasien RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan merupakan pasien

rujukan yang berasal dari berbagai wilayah di daerah Madura dengan jarak
96

tempuh dan medan yang berbeda-beda serta budaya sosial di Madura yang

sangat kental dimana untuk melakukan rujukan persalinan masih harus

dilakukan musyawaroh yang tidak hanya melibatkan suami namun keluarga

bahkan tokoh agama dan tokoh masyarakat sehingga untuk memutuskan

persetujuan pasien dirujuk atau tidak membutuhkan waktu yang lama

sehingga ketika pasien sudah sampai di tempat rujukan sudah merupakan

pasien gawat darurat atau KPP sudah terjadi komplikasi seperti infeksi dan

fetal distress sehingga penanganan yang terbaik adalah dengan tindakan

persalinan SC.

Sebenarnya masalah KPP merupakan masalah yang berhubungan dengan

lamanya KPD yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga asuhan

antenatal yang komprehensif pada kehamilan merupakan salah satu cara

untuk memberikan pengetahuan pada ibu dan keluarga tentang tanda bahaya

kehamilan yang salah satunya adalah KPD. Sehingga jika ibu mengalami

KPD ibu bisa segera mendeteksi dan segera mencari pertolongan kepada

tenaga kesehatan terdekat (bidan), sehingga meskipun terjadi KPD segera

dapat ditangani tanpa disertai adanya infeksi dan kompplikasi yang lain yang

dapat membahayakan ibu dan bayi yang di kandung.


97

5.10Pengaruh Usia, Paritas, Riwayat Sectio Caesarea (SC) dan Ketuban

Pecah Prematur (KPP) Terhadap Resiko Tindakan Persalinan Sectio

Caesarea (SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh Bangkalan tahun

2014

Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan hasil analisis regresi logistik

binary bahwa variabel independent yang berpengaruh paling kuat terhadap

resiko tindakan persalinan SC adalah riwayat dan riwayat KPP. Hal ini dapat

dilihat dari nilai sig < 0,05 yaitu riwayat SC sig.0,001, SC OR= 3, 164 (95 %

CI: 1,633- 6,131) dan KPP sig. 0,000 OR= 5,418 (95 % CI: 2,356-12,458).

Sedangkan usia < 20 tahun, 20-35 tahun dan paritas grande multipara tidak

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap resiko tindakan persalinan SC

hal ini dapat dilihat dari nilai sig.>0,05.

Hasil ini sesuai dengan teori Mochtar (2013) yang menyebutkan bahwa

riwayat SC dan KPP merupakat keadaan obstetric yang buruk yang beresiko

terjadinya komplikasi pada proses kehamilan dan persalinan. Kehamilan dan

persalinan dengan riwayat SC dapat memberikan resiko rupture uteri, partus

lama dan plasenta previa sedangkan kehamilan dan persalinan dengan KPP

dapat memberikan resiko infeksi, partus lama dan hipoksia janin. Kedua

komplikasi tersebut dapat beresiko meningkatkan angka morbiditas dan

mortalitas maternal dan neonatal karena kedua masalah tersebut secara

langsung berhubungan dengan organ reproduksi dan juga janin yang

dikandung sehingga persalinan harus diawasi dengan ketat di pusat

pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas kegawatdaruratan yang siap

dan lengkap.
98

usia dan paritas tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

resiko tindakan persalinan SC. Sebenarnya hal tersebut sudah dapat dilihat

dari hasil uji korelasi lambda pada usia dan hasil uji coeficcien contingency

pada paritas, dimana hasilnya korelasi usia terhadap resiko tindakan

persalinan SC yaitu 0,115 yang artinya kekuatan hubungan atau

pengaruhnya sangat lemah begitu juga hasil OR = 1 95% CI = 1 yang

artinya tidak ada perbedaan resiko tindakan persalinan SC baik pada usia <

20 tahun, > 35 tahun maupun usia 20-35 tahun. Hal ini disebabkan karena

sebagian besar responden yang bersalin dengan SC dalam rentang usia 20-

35 tahun dan rentang > 35 tahun. Begitu juga dengan paritas, dimana hasil

uji korelasinya terhadap resiko tindakan persalinan SC yaitu 0, 244 yang

artinya juga lemah.

Meskipun dalam analisis bersama (regresi logistic binary) variabel usia

dan paritas tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan, namun bukan

berarti usia dan paritas tidak memberikan pengaruh pada resiko tindakan

persalinan SC. Usia dan paritas tetap saja memberikan pengaruh hanya saja

tidak sebesar pengaruh riwayat SC dan KPP. Usia dan paritas memberikan

resiko terhadap proses kehamilan dan persalinan dimana usia berpengaruh

terhadap kondisi fisik. Beda usia beda pula kondisi fisiknya dimana

kehamilan dan persalinan pada usia < 20 tahun dan > 35 tahun akan lebih

beresiko mengalami komplikasi karena fungsi organ tubuh yang belum

sempurna dan psikologi yang belum siap sedangkan usia > 35 tahun fungsi

organ tubuh serta kesehatan yang mulai menurun. Usia 20-35 tahun

merupakan usia yang optimal untuk hamil dan melahirkan akan tetapi harus
99

didukung oleh beberapa factor lain yang menunjang proses kehamilan dan

persalinan yang sehat seperti nutrisi, istirahat, personal hygiene, ANC rutin,

imunisasi TT dan konsumsi tablet Fe. Pada intinya usia 20-35 tahun

merupakan usia dengan resiko rendah mengalami komplikasi jika proses

kehamilan dan persalinan dijaga dengan baik. Begitu juga dengan paritas,

paritas memberikan pengaruh terhadap ketahanan uterus.

Oleh karena itu untuk menghindari resiko yang bisa mengancam

morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi, petugas kesehatan harus memiliki

kompetensi yang baik dalam penanganan kegawatdaruratan, sistem rujukan

yang baik pada kasus kegawatdaruratan dan yang tak kalah penting adalah

deteksi dini dan pemberian ANC yang berkualitas dapat mengurangi resiko

tindakan persalinan SC dan resiko-resiko lain yang menyebabkan

morbiditas dan mortalitas fetal dan maternal.


100

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

6.1.1 Ada pengaruh usia terhadap resiko tindakan persalinan Sectio Caesarea

(SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh bangkalan

6.1.2 Ada pengaruh paritas terhadap resiko tindakan persalinan Sectio Caesarea

(SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh bangkalan

6.1.3 Ada pengaruh riwayat Sectio Caesarea (SC) terhadap resiko tindakan

persalinan Sectio Caesarea (SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh

bangkalan

6.1.4 Ada pengaruh KPP terhadap resiko tindakan persalinan Sectio Caesarea

(SC) di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebuh bangkalan

6.1.5 Variabel independen yang paling memberikan pengaruh secara signifikan

terhadap resiko tindakan persalinan Sectio Caesarea (SC) adalah variabel

riwayat Sectio Caesarea (SC) dan KPP.

6.2 Saran

6.2.1 Saran teoritis

Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut dengan variabel yang lebih

variatif, sampel yang lebih banyak dan metode penelitian yang lebih baik

misalnya dengan menggunakan data primer untuk mengetahui lebih

banyak factor yang mempengaruhi tingginya persalinan SC.

100
101

6.2.2 Saran praktis

Diharapkan dapat meningkatkan upaya deteksi dini ibu hamil risiko

tinggi dan melakukan pemantauan secara aktif perjalanan kehamilan

melalui pemberian ANC yang berkualitas merupakan salah satu upaya

yang bisa dilakukan untuk menurunkan persalinan SC.


102

DAFTAR PUSTAKA

Aghamohammadi dan Nooritajer. Maternal Age as a Risk Factor for Pregnancy


Outcomes: Maternal, Fetal, and Neonatal Complication. African
Journal of Pharmacy and Pharmacology Vol.5 (2), pp.264-269,
February 2011

Alimul Hidayat, A. 2007. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisa Data.


Jakarta : Salemba Medika

Andree, AR. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persalinan melalui


Operasi SC Tahun 1997-2003 (Tesis). Jakarta : FKM UI

Arikunto Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


Jakarta : Rineka Cipta

Aswin Anom, dkk. 2009. Statistik untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta : Graha
Ilmu

Aulia Annisa, S. 2010. faktor-faktor risiko persalinan dengan seksio sesarea di


RSUD Dr. Adjidarmo Lebak periode Oktober-Desember 2010 (Skripsi).
Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah

Benson Ralph, et al. 2009. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi Edisi 9. Jakarta :
EGC

Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta : EGC

Cunningham Gary, F. 2006. Obstetri William Edisi 21, volume 1. Jakarta : EGC

Dahlan Sopiyudin, M. 2008. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi 3.


Jakarta : Salemba Medika

Damayanti, Erina. 2012. Kehamilan dan Persalinan yang Sehat dan


Menyenangkan di Atas Usia 30 tahun. Yogyakarta: Araska

Ezra MD Sinaga. Karakteristik Ibu yang Mengalami Persalinan dengan Seksio


Sesarea yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidakalang
Tahun 2007. Skripsi FKM USU 2009

Firda, Yani Triyana. 2013. Panduan Klinis Kehamilan dan persalinan.


Jogjakarta : D-Medika

Gallager. 2005. Pemulihan Pasca Operasi Caesar. Jakarta: Erlangga

Hartono. 2011. Statistik untuk Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

102
103

Indiarti, M.T. 2007. Caesar Kenapa Tidak ?Cara aman Menyambut Buah Hati
Anda . Yogyakarta: Elmatera

Jaringan Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR). 2008. Buku Acuan


Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : JNPK-KR DEPKES RI

Kaufmann Elizabeth. 2007. Persalinan Normal setelah Operasi Caesar (Vaginal


Birth After Cesarean). Jakarta : Bhuana Ilmu Populer

Kusumawati, Y. 2006. Faktor – Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadp


Persalinan dengan Tindakan (Studi Kasus di RS. Dr. Moewardi
Surakarta. Tesis Program Pascasarjana Magister Epidemiologi Undip

Manuaba, 2012. Buku Ajar Pengantar Kuliah Teknik Operasi Obstetri dan
Keluarga Berencana. Jakarta: Cv Tras Info Media

. 2006. Buku Ajar Patologi Obstetri untuk Mahasiswa


Kebidanan. Jakarta: EGC

. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB


Jakarta: EGC

. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB


Edisi 2. Jakarta: EGC

Martius, G dalam Andriyanto, P. 2010. Bedah Kebidanan Martius Edisi 12.


Jakarta : EGC

Maulidah, dkk. 2003. Hubungan antara Kelengkapan Pelaksanaan Deteksi


Resiko Tinggi dan Persalinan Lama di Kabupaten Purworejo. Jurnal
Sain Kesehatan mei 2003, vol 16; no 2; p: 301-314

Mochtar Rustam. 2013. Sinopsis Obstetri, Obstetri Operatif Obstetri Sosial Jilid 2
Edisi 3. Jakarta : EGC

Mulyawati, dkk.2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan


Persalinan melalui Operasi Sectio Caesarea. Jurnal Kesehatan
Masyarakat.Vol 7, No. 1 : 15-24.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi penelitian kesehatan. Edisi revisi.


Jakarta: Rhineka Cipta.

. 2012. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT


Rineka Cipta

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
104

. 2008. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis


Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.

Oxorn, et al. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan Human
Labor and Birth. Yogyakarta : Andi

Padila. 2014. Keperawatan Maternitas sesuai dengan Staandar Kompetensi


(PLO) dan Kompetensi Dasar (CLO). Yogyakarta : Nuha Medika

Pandesolang, Rivo. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persalinan


Seksio Sesarea pada Ibu Tanpa Riwayat Komplikasi Kehamilan dan
atau Penyulit Persalinan di Indonesia (Analisis Data Rikesda 2010)
Tesis. Jakarta : FKM Prrogram Studi Pasca Sarjana Epidemiologi UI

Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirihardjo. Edisi IV.


Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Rahmawati Nur. 2011. Ilmu Praktis Kebidanan. Surabaya : Victory Inti Cipta

Rasjidi. 2009. Manual Seksio Sesarea dan Laparotomi Kelainan Adneksa


Berdasarkan Evidance Based. Jakarta : Sagung Seto

Riwidikdo Handoko. 2009. Statistik Kesehatan. Jogjakarta : Mitra Cendikia

Rochjati P. 2003. Skrining Antenatal pada Ibu Hamil. Surabaya: Airlagga

Rukiyah Yeyeh, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan IV Patologi Kebidanan. Jakarta :


Trans Info Media

Rusydi, SD. Partus Kasep di RSUP Palembang selama 5 tahun (1 Januari 2000-31
Desember 2004). Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, April 2005, vol.37
no.2; p:1005-1008.

Saifudin A.B. 2006.  Buku  Acuan Nasional  Pelayanan  Kesehatan  Maternal


dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Saifudin A.B. 2006. “Kematian Ibu di Indonesia Dapatkah kita mencapai target M
DGs 2015”. dalam  MOGI. 30: 37

Sulistyawati Ari, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin. Jakarta :
Salemba Medika

Simkin, et al. 2013. Panduan Lengkap Kehamilan, Melahirkan dan Bayi. Jakarta :
Arcan.

. 2005. Buku Saku Persalinan. Jakarta : EGC

Siswosudarmo, R. 2008. Obstetri Fisiologi. Yogyakarta : Pustaka Cendekia


105

Supriyati, Doeljachman, Susilowati. 2000. Factor Sosio Demografi dan perilaku


ibu hamil dalam perawatan antenatal sebagai resiko terjadinya
distokia di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Berita Kesehatan
Masyarakat; Vol XVIII; no 2; p: 65-70

Taber, B. Kapita Selekta Kedaruratan Obsetri dan Ginekologi (Alih bahasa


Supriyadi T dan Gunawan J). Jakarta: EGC. 2002

Varney Helen. 2006. Buku Asuhan Kebidanan Volume 2. Jakarta : EGC

Wiknjosastro, H. 2005. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Cetakan Ketujuh. Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Anda mungkin juga menyukai