Anda di halaman 1dari 76

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK PELEDAKAN

Oleh :
Nama : Bagus Mawanto
NIM : 7100190150
Kelompok : 25

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL YOGYAKARTA
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN
PRAKTIKUM TEKNIK PELEDAKAN

Dibuat Sebagai Persyaratan Memenuhi Kurikulum Mata Kuliah Praktikum Teknik


Pertambanagan Pada Semester IV Tahun Akademik 2020/2021

Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknologi Mineral Institut


Teknologi Nasional Yogyakarta

OLEH:
BAGUS MAWANTO

YOGYAKARTA ,MEI 2021

Menyetujui, Mengetahui,
Asdos Praktikum Dosen Mata Kuliah

(Desy Fatmala Kusuma Ningrum) (Erry Sumariono.S.T.,M.T)


NIM : 710016024 NIK : 19730254

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat- Nya, sehingga laporan ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Dengan telah tersusunnya laporan ini, maka saya selaku penyusun


mengucapkan terimakasih kepada:

1. Erry Suamriono S.T., M.T. selaku dosen pembimbing


2. Desy Fatmala Kusuma Ningrum, selaku Asisten Dosen yang telah
memberikan bimbingan dan arahan.
3. Mama, papa dan adik-adik yang selalu mendukung dan mendoakan saya
4. Teman-teman dan semua pihak baik secara Langsung maupun tidak
langsung yang telah membantu sehingga laporan ini dapat terselesaikan
dengan baik.

Penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk


perbaikan kedepan. Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat dan
memberikan ilmu pengetahuan bagi pembaca.

Yogyakarta, Mei 2021


Penyusun

Bagus Mawanto
7100190150

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. 1

HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................2

KATA PENGANTAR...........................................................................................3

DAFTAR ISI...........................................................................................................4

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................6

DAFTAR TABEL..................................................................................................7

DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................8

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................9

1.1 Latar Belakang..........................................................................................9

1.2 Tujuan.......................................................................................................9

BAB 11 DASAR TEORI......................................................................................10

2.1 Istilah-Istilah dalam Peledakan................................................................10

2.2 Tujuan Peledakan.....................................................................................11

2.3 Pengenalan Bahan Peledak......................................................................11

2.3.1 Pengertian Bahan Peledak………………………………………..11

2.3.2 Bahan Peledak……………………………………………………12.

2.3.3 Reaksi dan Produk Peledak……………………………………….12

2.4 Klasifikasi Bahan Peledak.......................................................................14

2.5 Komponen Operasi dari Sistem Pemboran..............................................15

2.5.1 Komponen Operasi……………………………………………….16

2.5.2 Sistem Peralatan Pemboran………………………………………18

2.6 Kriteria Penggalian dan Alat Bor...........................................................25

2.6.1 Kriteria Penggalian……………………………………………….25

2.6.2 Alat Bor…………………………………………………………..26

4
2.7 Peralatan dan Perlengkapan Peledakan...................................................29

2.7.1 Peralatan Peledakan………………………………………………29

2.7.2 Perlengkapan Peledakan………………………………………….31

BAB III PEMBAHASAN....................................................................................37

3.1 Geometri Peledakan menurut R.L. Ash...................................................37

3.2 Geometri Peledakan menurut C.J. Konya...............................................40

3.3 Fragmentasi Hasil Peledakan...................................................................47

3.3.1 Perhitungan Tingkat Fragmentasi Peledakan…………………….47

3.4 Peledakan Tambang Bawah Tanah…………………………………….48

3.4.1 Lubang
Kosong…………………………………………………...49

3.4.2 Perhitungan Burden dan Spasi……………………………………50

BAB IV PENUTUP…………………………………………………………….54

4.1 Kesimpulan …………………………………………………………….54

4.2 Kritik dan Saran………………………………………………………..54

4.2.1 Kritik………………………………………………………………54

4.2.2 Saran………………………………………………………………55

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..56

LAMPIRAN………………………………………………………………….. 57

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Klasifikasi Bahan Peledak Menurut J.J Manon (1978)……………14

Gambar 2.2 Klasifikasi Bahan Peledak…………………………………………15

Gambar 2.3 Metode Kecepatan Seismik Untuk Penentuan Macam Penggalian


(Atkinson,1971)…………………………………………………………………25

Gambar 7.1 Mesin bor (Crawler Drill) Dan Kompresior…………………….…29

Gambar 7.2 Batang Bor Extension Drill Steel…………………………………..30

Gambar 7.3 Mata Bor……………………………………………………………30

Gambar 7.4 Pencampuran Bahan Peledak di MMU…………………………….31

Gambar 7.5 Plain Detonator……………………………………………………..32

Gambar 7.6 Detonator Nonel…………………………………………………….32

Gambar 7.7 Sumbu Api (SafetybFuse)………………………………………….33

Gambar 7.8 Sumbu Ledak Cordtex……………………………………………...33

Gambar 7.9 Booster (Pentolite Cast Booster)…………………………………...34.

Gambar 7.10 Dayagel Dahana Magnum…………………………………………34

Gambar 7.11 Relay Connector MS-17…………………………………………..35

Gambar 7.12 Relay Connector MS-42…………………………………………..35

Gambar 7.13 Relay Connector MS-67…………………………………………..36.

Gambar 3.1 Letak Pola Peledakan Tambang Bawah Tanah…………………….41

6
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Bahan Peledak……………………………………………15

Tabel 3.1 Parameter Nilai Kr,Kd,Ks……………………………………………41

7
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Tugas 1……………………………………………………………...58

Lampiran 2 Tugas 2……………………………………………………………...65

Lampiran 3 tugas 3………………………………………………………………71

8
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suatu operasi peledakan batuan akan mencapai hasil optimal apabila
perlengkapan dan peralatan yang dipakai sesuadengan metode peledakan yang
diterapkan. Pekerjaan peledakan adalah pekerjaan yang penuh bahaya. Oleh
karena itu harus dilakukan dengan penuh perhitungan dan hati-hati agar tidak
ter!adi kegagalan atau bahkan kecelakaan. Untuk itu operator yang melakukan
pekerjaan peledakan harus mengerti benar tentang cara kerja sifat dan fungsi
dari peralatan yang digunakan. Karena persiapan peledakan yang kurang baik
akan menghasilkan bisa menyebabkan hasil yang tidak sempurna serta
mengandung resiko bahaya terhadap keselamatan pekerja maupun peralatan.
Dalam hal ini pemilihan metode peledakan, pemilihan serta penggunaan
peralatan dan perlengkapan juga berpengaruh terhadap hasil yang dicapai.
Oleh karena itu selain mempelajari tentang metode peledakan juga diperlukan
pengetahuan tentang peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan dalam
setiap masing-masing metode peledakan. Hal ini akan mengurangi dampak
buruk atau kerugian yang ditimbulkan.

1.2 Tujuan

Tujuan Praktikum Teknik Peledakan adalah :

1. Memahami definisi dasar dariperalatan dan perlengkapan peledakan

2. Memahami fungsi dari peralatan dan perlengkapan peledakan

3. Dapat mengeytahui lebih banyak istilah-istilah dalam peledakan

4. Membuat pola pledakan dengan memasukkan parameter peralatan dan


perlengkapan

9
BAB II

DASAR TEORI

2.1 Istilah- Istilah Dalam Peledakan


Peledakan (blasting/explosion) merupakan Kegiatan pemecahan suatu
material (batuan) dengan menggunakan bahan peledak atau Proses
terjadinya ledakan. Beberapa istilah dalam peledakan :

1. Peledakan bias (refraction shooting) merupakan Peledakan di dalam lubang


atau sumur dangkal untuk menimbulkan getaran guna penyelidikan
geofisika cara seismicbias.
2. Peledakan bongkah (block holing) merupakan Peledakan sekunder untuk
pengecilan ukuran bongkah batuan dengan cara membuat lobang
tembak berdiatemeter kecil dan diisi sedikit bahan peledak
3. Peledakan di udara (air shooting) merupakan Cara menimbulkan energi
seismik di permukaan bumi dengan meledakkan bahan peledak di udara
4. Peledakan lepas gilir (off-shift blasting) merupakan Peledakan yang
dilakukan di luar jam gilir kerja
5. Peledakan lubang dalam (deep hole blasting) merupakan Cara peledakan
jenjang kuari atau tambang terbuka dengan menggunakan lubang tembak
yang dalam disesuaikan dengan tinggi jenjang
6. Peledakan parit (ditch blasting) merupakan Proses peledakan dalam
pembuatan parit
7. Peledakan teredam (cushion blasting)merupakan Cara peledakan dengan
membuat rongga udara antara bahan peledak dan sumbat ledak atau
membuat lubang tembak yang lebih besar dari diameter dodol sehingga
menghasilkan getaran yang relatif lembut

10
2.2 Tujuan Peledakan

Tujuan pekerjaan peledakan dalam dunia pertambangan itu sendiri yaitu


memecah atau membongkar batuan padat atau material berharga atau endapan
bijih yang bersifat kompak atau masive dari batuan induknya menjadi material
yang cocok untuk dikerjakan dalam proses produksi berikutnya. dalam suatu
operasi peledakan pada pertambangan didahului oleh pemboran yang bertujuan
untuk membuat lubang tembak. Lubang tembak sendiri akan diisi oleh bahan
peledak yang terlebih dahulu di isi oleh material atau pasir yang disebut Sub-
drilling bertujuan agar hasil peledakan tidak terjadi toes atau tonjolan-tonojolan
pada lantai tambang yang mengakibatkan alat berat sulit bergerak saat pemuatan
dan pengangkutan hasil peledakan. setelah disi oleh rangkaian bahan peledak
seperti TNT atau ANFO yang dilengkapi dengan nonel, maka selanjutnya diisi
material penutup yangdisebut stemming berfungsi menahan tekanan keatas agar
energi yang dihasilkan oleh bahan peledak tersebar kesegala arah dan
menghancurkan batuan disampingnya.

2.3 Pengenalan Bahan Peledak

2.3.1 Pengertian Bahan Peledak


a. Bahan peledak adalah suatu bahan yang stabil yang apabila dikenai
stimulasi secara tepat maka dengan cepat akan berubah dari padat atau cair
menjadi gas yang panas dan ekspansif, yang mengakibatkan tekanan
disekitarnya (Grolier FamilyEncyclopedia, 1995).
b. Bahan peledak adalah suatu bahan atau campuran yang dapat bereaksi
dalam waktu sangat singkat dan menghasilkan energy dalam jumlah besar
oleh karena terjadinya volume gas yang sangat besar pada temperatur dan
tekanan yang sangat tinggi, diikuti efek mekanik, visual dan akustik yang
sangat tinggi (Berta G, 1990).
c. Bahan peledak adalah bahan atau zat yang berbentuk padat, cair atau
campurannya, yang apabila dikenai suatu aksi berupa panas, benturan atau
gesekan akan berubah secara kimiawi menjadi zat-zat ain yang sebagian

11
besar atau seluruhnya berbentuk gas, dan perubahan tersebut berlangsung
dalam waktu yang sangat singkat, disertai efek panas dan tekanan yang
sangat tinggi. (Keppres RI No. 5 Tahun 1988).

2.3.2 Bahan Peledak


Bahan Peledak yang dimaksudkan adalah bahan peledak kimia yang
didefinisikan sebagai suatu bahan kimia senyawa tunggal atau campuran
berbentuk padat, cair, atau campurannya yang apabila diberi aksi panas,
benturan, gesekan atau ledakan awal akan mengalami suatu reaksi kimia
eksotermis sangat cepat dan hasil reaksinya sebagian atau seluruhnya berbentuk
gas disertai panas dan tekanan sangat tinggi yang secara kimia lebih stabil.Panas
dari gas yang dihasilkan reaksi peledakan tersebut sekitar 4000° C. Adapun
tekanannya, menurut Langerfors dan Kihlstrom (1978), bisa mencapai lebih dari
100.000 atm setara dengan 101.500 kg/cm² atau 9.850 MPa (» 10.000 MPa).
Sedangkan energi per satuan waktu yang ditimbulkan sekitar 25.000 MW atau
5.950.000 kcal/s. Perlu difahami bahwa energi yang sedemikian besar itu bukan
merefleksikan jumlah energi yang memang tersimpan di dalam bahan peledak
begitu besar, namun kondisi ini terjadi akibat reaksi peledakan yang sangat
cepat, yaitu berkisar antara 2500 – 7500 meter per second (m/s). Oleh sebab itu
kekuatan energi tersebut hanya terjadi beberapa detik saja yang lambat laun
berkurang seiring dengan perkembangan keruntuhan batuan.

2.3.3 Reaksi dan Produk Peledak

Peledakan akan memberikan hasil yang berbeda dari yang diharapkan


karena tergantung pada kondisi eksternal saat pekerjaan tersebut dilakukan yang
mempengaruhi kualitas bahan kimia pembentuk bahan peledak tersebut. Panas
merupakan awal terjadinya proses dekomposisi bahan kimia pembentuk bahan
peledak yang menimbulkan pembakaran, dilanjutkan dengan deflragrasi dan
terakhir detonasi. Proses dekomposisi bahan peledak diuraikan sebagai berikut:

12
a) Pembakaran adalah reaksi permukaan yang eksotermis dan dijaga
keberlangsungannya oleh panas yang dihasilkan dari reaksi itu sendiri dan
produknya berupa pelepasan gas-gas. Reaksi pembakaran memerlukan
unsur oksigen (O2) baik yang terdapat di alam bebas maupun dari ikatan
molekuler bahan atau material yang terbakar. Untuk menghentikan
kebakaran cukup dengan mengisolasi material yang terbakar dari oksigen.
Contoh reaksi minyak disel (diesel oil) yang terbakar sebagai berikut:
CH3(CH2)10CH3 + 18½ O2 ® 12 CO2 + 13 H2O
b) Deflagrasi adalah proses kimia eksotermis di mana transmisi dari reaksi
dekomposisi didasarkan pada konduktivitas termal (panas). Deflagrasi
merupakan fenomena reaksi permukaan yang reaksinya meningkat menjadi
ledakan dan menimbulkan gelombang kejut shock wave) dengan kecepatan
rambat rendah, yaitu antara 300 – 1000 m/s atau lebih rendah dari kecep
suara (subsonic).
c) Ledakan, menurut Berthelot, adalah ekspansi seketika yang cepat dari gas
menjadi bervolume lebih besar dari sebelumnya diiringi suara keras dan
efek mekanis yang merusak. Dari definisi tersebut dapat tersirat bahwa
ledakan tidak melibatkan reaksi kimia, tapi kemunculannya disebabkan oleh
transfer energi ke gerakan massa yang menimbulkan efek mekanis merusak
disertai panas dan bunyi yang keras. Contoh ledakan antara lain balon karet
ditiup terus akhirnya meledak, tangki BBM terkena panas terus menerus
bisa meledak, dan lain-lain.
d) Detonasi adalah proses kimia-fisika yang mempunyai kecepatan reaksi
sangat tinggi, sehingga menghasilkan gas dan temperature sangat besar yang
semuanya membangun ekspansi gaya yang sangat besar pula. Kecepatan
reaksi yang sangat tinggi tersebut menyebarkan tekanan panas ke seluruh
zona peledakan dalam bentuk gelombang tekan kejut (shock compression
wave) dan proses ini berlangsung terus menerus untuk membebaskan energi
hingga berakhir dengan ekspansi hasil reaksinya. Kecepatan rambat reaksi
pada proses detonasi ini berkisar antara 3000 – 7500 m/s. Contoh kecepatan
reaksi ANFO sekitar 4500 m/s. Sementara itu shock compression wave
mempunyai daya dorong sangat tinggi dan mampu merobek retakan yang

13
sudah ada sebelumnya menjadi retakan yang lebih besar. Disamping itu
shock wave dapat menimbulkan symphatetic detonation, oleh sebab itu
peranannya sangat penting di dalam menentukan jarak aman (safety
distance) antar lubang. Contoh proses detonasi terjadi pada jenis bahan
peledakan antara lain:

v TNT : C7H5N3O6 ® 1,75 CO2 + 2,5 H2O + 1,5 N2 + 5,25 C


v ANFO : 3 NH4NO3 + CH2 ® CO2 + 7 H2O + 3 N2
v NG : C3H5N3O9 ® 3 CO2 + 2,5 H2O + 1,5 N2 + 0,25 O2
v NG + AN : 2 C3H5N3O9 + NH4NO3 ® 6 CO2 + 7 H2O + 4 N4 + O2

Dengan mengenal reaksi kimia pada peledakan diharapkan peserta akan lebih
hati-hati dalam menangani bahan peledak kimia dan mengetahui nama-
nama gas hasil peledakan dan bahayanya.

2.4 Klasifikasi Bahan Peledak


Bahan peledak diklasifikasikan berdasarkan sumber energinya menjadi bahan
peledak mekanik, kimia dan nuklir seperti terlihat pada Gambar 1.1 (J.J. Manon,
1978). Karena pemakaian bahan peledak dari sumber kimia lebih luas dibanding
dari sumber energi lainnya, maka pengklasifikasian bahan peledak kimia lebih
intensif diperkenalkan. Pertimbangan pemakaiannya antara lain, harga relatif
murah, penanganan teknis lebih mudah, lebih banyak variasi waktu tunda (delay
time) dan dibanding nuklir tingkat bahayanya lebih rendah. Oleh sebab itu modul
ini hanya akan memaparkan bahan peledak kimia.

Gambar 2.1 Klasifikasi Bahan Peledak menurut J.J. Manon (1978)

Bahan peledak permissible dalam klasifikasi di atas perlu dikoreksi karena


tidak semua merupakan bahan peledak lemah. Bahan peledak permissible
digunakan khusus untuk memberaikan batubara ditambang batubara bawah tanah

14
dan jenisnya adalah blasting agent yang tergolong bahan peledak kuat, sehingga
pengkasifikasian akan menjadi seperti dalam Gambar 1.2. Sampai saat ini terdapat
berbagai cara pengklasifikasian bahan peledak kimia, namun pada umumnya
kecepatan reaksi merupakan dasar pengklasifikasian tersebut. Contohnya antara
lain sebagai berikut:

Menurut R.L. Ash (1962), bahan peledak kimia dibagi menjadi:

1. Bahan peledak kuat (high explosive) bila memiliki sifat detonasi atau
meledak dengan kecepatan reaksi antara 5.000 – 24.000 fps (1.650 –8.000
m/s)
2. Bahan peledak lemah (low explosive) bila memiliki sifat deflagrasi atau
terbakar kecepatan reaksi kurang dari 5.000 fps (1.650 m/s)

Gambar 2.2 Klasifikasi Bahan Peladak

1. Menurut Anon (1977), bahan peledak kimia dibagi menjadi 3 jenis seperti
terlihat pada Tabel berikut :

Tabel 2.1 Klasifikasi bahan peledak

2.5 Komponen Operasi dan Sistem Pemboran

15
Sebelum operasi pemboran dapat dilaksanakan, pertama-tama yang perlu
dilakukan adalah apa yang disebut dengan tahap persiapan. Tahap persiapan ini
pun terdiri dari beberapa tahapan mulai dari persiapan tempat, pengiriman
peralatan pada lokasi, penunjukan pekerja sampai pada persiapan akhir sebelum
dimulainya aktivitas pemboran seperti pengecekan tiap-tiap system dan persiapan
lumpur pemboran.

Bila seandainya tempat untuk lokasi pemboran yang diperkirakan ada


cadangan minyak atau gas yang cukup potensial dan tempat tersebut masih
merupakan suatu tempat yang dianggap frontier maka kita perlu membuat tempat
tersebut menjadi memungkinkan terlaksananya operasi pemboran.

2.5.1 Komponen Operasi

Sistem-mempunyai keterkaitan, sehingga sistem tersebut bekerja pada


saat bersamaan. Operasi pemboran (drilling operation) adalah suatu kegiatan
yang merupakan bagian yang terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan lain dalam
industri perminyakan.

Operasi pemboran dilaksanakan baik di darat (onshore) maupun di lepas


pantai (offshore). Peralatan yang digunakan untuk operasi kedua tempat tersebut
pada dasarnya adalah sama yang berbeda hanyalah tempat untuk menempatkan
menara (rig) beserta perlengkapannya.

Untuk pemboran di darat, kebutuhan tempat biasanya tidak merupakan


masalah, berbeda dengan pemboran di lepas pantai yang harus
memperhitungkan luas dari anjungan yang dipakai serta mempergunakan tempat
seefisien mungkin karena luasnya yang sangat terbatas.

Pemboran yang dilakukan dewasa ini umumnya pemboran dengan


prinsip rotary drilling. Pada rotary drilling, pembuatan lubang dilaksanakan
dengan memutar bit disertai pemberian beban pada bit oleh beratnya drill collar.
Bit ini diputar dari rotary table melalui drill string yang merupakan rangkaian
dari drill pipe dan drill collar.

16
Secara umum, jenis pemboran terbagi menjadi 2 fasa yaitu pemboran
eksplorasi dan eksploitasi (produksi). Explorasi yaitu tahapan pemboran sumur
untuk mendapatkan data bawah permukaan sebanyak-banyaknya seperti data
logging, coring, tekanan, mud logging dan lain-lain untuk membuktikan
keberadaan hidrokarbon. Sedangkan pemboran eksploitasi merupakan tahapan
pemboran untuk memproduksikan hidrokarbon ke permukaan.

Secara detail, tahapan pemboran sebenarnya yaitu sebagai berikut:

1. Exploration

2.      Appraisal atau Delineation

Tahapan ini merupakan pemboran beberapa sumur untuk mendapatkan


lebih banyak data dan untuk mendapatkan batas kontak reservoir baik secara
vertikal ataupun secara lateral.

3.      Development

Setelah mendapatkan data-data reservoir, kemudian dibuat perencanaan


atau skenario pengembangan lapangan dan dihitung keokonimannya. Jika
proyek tersebut ekonomis, maka selanjutnya yaitu perusahaan diwajibkan
mengajukan rencana pengembangan lapangan (POD) ke Lembaga yang
berwenang mengatur segala kegiatan Migas di suatu Negara, seperti SKK Migas
untuk mendapatkan lisensi atau izin suatu blok Migas.

4.      Maintenance

Setelah rencana pengembangan disetujui oleh pihak berwenang, SKK


Migas, maka perusahaan tersebut wajib menjalankan rencanya tersebut dan
mengatur serta memelihara sumur-sumur hingga berporduksi dan menyiapkan
fasilitas produksi.

5.      Abandonment

Setelah beberapa tahun produksi, maka kemampuan dan cadangan suatu


lapangan tersebut akan menurun bahkan hingga tidak bernilai ekonomis untuk

17
terus diproduksikan. Sehingga, pada saat sudah mencapai kondisi ini, lapangan
tersebut dapat ditinggalkan sesuai dengan kaidah keteknisan dan perjanjian.
Semua sumur akan ditutup dan peralatan permuakaan akan dipindahkan ke
tempat yang aman.

2.5.2 Sistem Peralatan Pemboran

Seperti yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa sistim
peralatan utama pemboran terdiri dari 5 (lima) komponen, yaitu: sistim tenaga,
sistim pengangkat, sistim putar, sistim sirkulasi dan sistim pencegah sembur liar.

1.      Sistem Tenaga (Power System)

Sistim tenaga dalam suatu operasi pemboran terdiri dari dua sub komponen
utama, yaitu :

a.       Power Supply Equipment

Tenaga yang dibutuhkan pada suatu operasi pemboran dihasilkan oleh


mesin-mesin besar, yang dikenal dengan "prime mover unit" (penggerak utama).
Tenaga yang dihasilkan tersebut digunakan untuk keperluan-keperluan sebagai
berikut :

•     Sirkulasi Lumpur

•     Hoisting

•     Rotary Drill String

b.      Distribution (Transmission) Equipment

Berfungsi untuk meneruskan atau menyalurkan tenaga dari penggerak


utama, yang diperlukan untuk suatu operasi pemboran. Sistim distribusi
(transmisi) yang biasa digunakan ada dua macam, yaitu sistim transmisi mekanis
dan sistim transmisi listrik (electric). Rig tidak akan berfungsi dengan baik bila
distribusi tenaga yang diperoleh tidak mencukupi. Oleh sebab itu diusahakan

18
tenaga yang hilang karena adanya transmisi atau distribusi tersebut dikurangi
sekecil mungkin, sehingga kerja mesin akan lebih efisien.

Sistim tenaga yang dipasang pada suatu unit operasi pemboran secara
prinsip harus mampu memenuhi keperluan-keperluan sebagai berikut :

•     Hoisting system

•     Rotary system

•     Pump system

•     Lightning system

2.      Sistem Pengangkatan (Hoisting System)

Sistim pengangkatan dalam pemboran memegang peranan yang sangat


penting, mengingat bahwa sistim pengangkatan ini adalah sistim yang mendapat
beban, baik beban vertikal maupun horizontal.

Beban vertikal yang dialami berasal dari beban menara itu sendiri, beban
drill string, casing string, tegangan dari fast line, beban karena tegangan deadline
serta beban dari blok-blok. Sedangkan beban horizontal berasal dari tiupan angin
yang mana hal ini sangat terasa mempengaruhi beban sistim pengangkatan pada
pemboran di lepas pantai (offshore).

Sistim pengangkatan terdiri dari dua sub komponen, yaitu:

1)    Struktur penyangga (supporting structure)

Struktur penyangga (rig) adalah suatu kerangka sebagai platform yang


berfungsi sebagai penyangga peralatan pemboran. Kerangka ini diletakkan
di atas titik bor. Fungsi utamanya untuk trip, serta untuk menahan beban
yang terjadi akibat peralatan bor itu sendiri maupun beban dari luar.
Struktur penyangga meliputi :

 Substructure

19
Fungsinya untuk menahan beban tekan yang berasal dari peralatan
pemboran itu sendiri.

 Rig Floor

Fungsinya untuk menampung peralatan pemboran yang berukuran kecil,


tempat berdirinya menara dan sebagai tempat kerja para roughneck.

2).    Drilling Tower (derrick)

Fungsi utamanya untuk memberikan ruang kerja yang cukup untuk


pengangkatan dan penurunandrill collar serta casing string. Oleh sebab itu tinggi
dan kekuatannya harus sesuai dengan keperluan.

3. Sistem Pemutar (Rotary System)

Fungsi utama sistim pemutar adalah untuk memutar rangkaian pipa bor
dan memberikan beban pada bagian atas dari pahat selama operasi pemboran
berlangsung. Selain itu peralatan putar juga berfungsi untuk menggantungkan
rangkaian pipa bor yaitu dengan slip yang dipasang pada rotary table ketika
disambung atau melepas bagian-bagian drill pipe.

Sistim pemutar ini terdiri dari tiga sub komponen utama, yaitu :

1).      Peralatan putar (rotary assembly)

Peralatan putar ditempatkan pada lantai bor di bawah crown block dan
diatas lubang. Peralatan putar terdiri dari rotary table, master bushing, kelly
bushing, dan rotary slip.

2).      Rangkaian pipa bor

Rangkaian pipa bor merupakan suatu rangkaian yang menghubungkan


antara swivel dan mata bor, dan berfungsi untuk:

 Untuk Menaik turunkan mata bor .


 Untuk  Memberikan beban di atas pahat untuk penembusan.
 Untuk  Meneruskan putaran ke mata bor.

20
 Untuk  Menyalurkan fluida pemboran yang bertekanan ke mata bor.

Rangkaian pipa bor secara berurutan terdiri dari Swivel, Kelly, Drill Pipe,
dan Drill Collar.

3).      Mata bor atau pahat (bit)

Mata bor merupakan ujung paling bawah dari rangkaian pipa bor yang
secara langsung bersentuhan dengan lapisan formasi. Mata bor berfungsi
untuk menghancurkan batuan dan menembus formasi sampai pada
kedalaman yang diinginkan. Berdasarkan fungsinya mata bor
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu :

Drag bit. : Drag bit tidak mempunyai roda-roda yang dapat bergerak dan
membor dengan gaya keruk dari bladenya. Bit jenis ini biasanya
digunakan pada formasi lunak dan plastik.

Roller – cone : Merupakan bit yang mempunyai kerucut (cone) yang dapat


berputar untuk menghancurkan batuan. Pada masing-masing cone terdapat
gigi-gigi. Gigi yang relatif panjang dan jarang atau renggang digunakan
pada pemboran formasi lunak, sedangkan gigi yang relatif pendek dan
berdekatan digunakan untuk menembus formasi batuan yang sedang
sampai keras.

Diamond bit : Pengeboran dengan menggunakan diamond bit sifatnya


bukan penggalian, tetapi berprinsip pada proses penggoresan dari butir-
butir intan yang dipasang pada matriks besi sehingga laju pemboran yang
terjadi adalah lambat. Pemakaian intan dipertimbangkan karena intan
dianggap zat padat yang paling keras dan abrasif, dan pada prakteknya
pemakaian diamond bit pada operasi pemboran mempunyai umur yang
relatif panjang (awet) sehingga mengurangi frekuensi round trip, dengan
demikian akan mengurangi biaya pemboran.

Specialized Down Hole Tools : Specialized down hole tools merupakan


peralatan khusus yang digunakan untuk mengontrol kerja rangkaian pipa

21
bor selama operasi pemboran berlangsung. Specialized down hole tools
yang umum digunakan adalah :

Stabilizer : Stabilizer digunakan sebagai bottom hole assembly untuk


menjaga kestabilan bit dan DC dalam lubang bor selama berlangsung
operasi pemboran.

Rotary Reamers : Merupakan peralatan yang digunakan pada operasi


pemboran terutama menjaga ukuran lubang bor.

Sock Absorber : Sering juga disebut "shock sub", merupakan peralatan


yang diletakkan pada bagian bawah section DC untuk mengurangi getaran
dan kejutan yang ditimbulkan oleh "cutting action of the bit" ketika
membor batuan keras patahan dan selang-seling batuan keras-lunak, hal ini
akan mengurangi terjadinya kerusakan rangkaian pipa bor dan rig.

4.      Sistem Sirkulasi (Circulation System)

Tujuan utama dari sistim sirkulasi pada suatu operasi pemboran adalah
untuk mensirkulasikan fluida pemboran (lumpur bor) ke seluruh sistim
pemboran, sehingga lumpur bor mampu mengoptimalkan fungsinya. Adapun
peralatan system sirkulasi meliputi shale shaker, degasser, desander, mud gas
separator, desilter, mud tank dan mud pit.

5.      Sistem Pencegah Sembur Liar (BOP System)

Blowout preventer (BOP) adalah peralatan yang diletakkan tepat di atas


permukaan sumur untuk menyediakan tenaga untuk menutup sumur bila terjadi
kenaikan tekanan dasar sumur yang tiba-tiba dan berbahaya selama atau sedang
dalam operasi pemboran. Jumlah, ukuran dan kekuatan BOP yang digunakan
tergantung dari kedalaman sumur yang akan dibor serta antisipasi maksimum
terhadap tekanan reservoir yang akan dijumpai. Blowout preventer (BOP)
system digunakan untuk mencegah aliran fluida formasi yang tidak terkendali
dari lubang bor. Saat bit menembus zone permeabel dengan tekanan fluida
melebihi tekanan hidrostatik normal, maka fluida formasi akan menggantikan

22
fluida pemboran. Masuknya fluida formasi ke dalam lubang bor sering disebut
dengan kick.

Dalam kasus-kasus tertentu, prosedur untuk mengontrol sumur


menghendaki agar kick tidak ditutup, tetapi dikeluarkan dan dikontrol dari jauh.
Prosedur pengalihan blowout di sini tidak membutuhkan suatu susunan Blowout
preventer yang lengkap, sebagai gantinya digunakan diverter bags yang relatif
mengurangi tekanan kerja peralatan. 

2.6 Kriteria Penggalian dan Alat Bor


2.6.1 Kriteria Penggalian

1. Kriteria Penggalian Menurut Rmr

Kemampuan untuk menaksir kemampugalian atau potongan suatu massa


batuan sangatlah penting, apalagi bila akan menggunakan alat gali mekanis
menerus. Fowell & Johnson (1982) menunjukkan hubungan yang erat antara
kinerja (produksi) Road header kelas berat (> 50 ton) dengan RMR

Selanjutnya pada tahun 1991 mereka melaporkan juga bahwa hubungan


tersebut di atas dapat dibagi menjadi 3 zona penggalian :

a). Zone 1 Kinerja penggalian sangat ditentukan oleh sifat-sifat batuan


utuh.

b). Zone 2 Keberhasilan kinerja penggalian dibantu oleh kehadiran struktur


massa batuan. Pengaruh sifat-sifat batuan utuh menurun dengan
memburuknya kualitas massa batuan.

c).Zone 3 Kinerja penggalian semata-mata dipengaruhi oleh struktur massa


batuan.

Nilai-nilai UCS, Energi Spesifik, Koefisien Abrasivity secara keseluruhan


menyimpulkan bahwa batuan utuh tersebut tidak dapat digali dengan
memuaskanoleh roadheader. Namun seperti dilaporkan oleh Fowell & Johnson
(1991) bahwa pada kenyataannya massa batuan itu dapat digali dengan cara

23
hanya menggoyangbongka-bongkah batuan dari induknya yang akhir jatuh
bebas.

RMR juga pernah dipakai untuk mengevaluasi kinerja roadheader Dosco


SL120 (Sandbak 1985). Penelitian ini dilaksanakan pada bijih tembaga
Kalamazoo & San Manuel, Arizona. Dapat disimpulkan bahwa kemajuan
penggalian atau kinerja Dosco tsb dapat diperkirakan dengan menggunakan
persamaan berikut ini :

Y = 2.39 eˉ0.02x R² = 0.79

2. Kriteria Penggalian Menurut Rmr & Q-Sistem

Hubungan antara RMR dan Q-Sistem untuk berbagai kondisi penggalian


Jelas tampak bahwa hubungan antara RMR & Q-Sistem adalah linier. Titik-
titik yang menunjukkan angka RMR & Q-Sistem yang tinggi
mencerminkankondisi material keras yang penggaliannya perlu peledakan.
Sedangkan kehadiran alat gali seperti Surface Miner yang menggunakan
mekanisme potong rupanya dapat menggantikan operasi peledakan.

Dalam upaya melengkapi informasi Gambar 3, data asli hasil penelitian


Abdullatif & Cruden (1983) dimasukkan dan data penggunaan surface
minerdiperoleh dari Kramadibrata (1992 - Potong).

3. Indeks Ekskavasi

Dalam upaya memudahkan pendugaan kemampugaruan suatu massa


batuan, Kirsten (1982) mengklasifikasikan massa batuan menurut sifat fisik
(Ms), relativitas orientasi struktur massa batuan terhadap arah penggalian dan
beberapa parameternya Q-Sistem yang disebut dengan Indeks Ekskavasi yang
dinyatakan dengan :

N = Ms x x Js x

N adalah Indeks penggalian dan paramater lainnya sama dengan


parameteryang digunakan oleh Q-Sistem, sedangkan Ms dan Js Kirsten
membagi nilai indeks ekskavasi sebagai berikut :

24
1 < N < 10 Mudah digaru (ripping) 10 < N < 100 Sulit digaru

100 < N < 1000 Sangat sulit digaru

1000 < N < 10000 Antara digaru dan peledakanN > 10000 Peledakan

Sudah tentu bahwa klasifikasi Kirsten tidak menjamin keberhasilan


penggaruan oleh suatu jenis buldoser pada kondisi tertentu, karena daya mesin
dan tipe alat garu tidak dilibatkan di dalam perhitungan.

4. Kriteria Penggalian Menurut Kecepatan Seismik

Seperti sudah disebutkan bahwa kecepatan seismik sudah banyak dipakai


untuk menduga kemampugaruan suatu massa batuan. Berbagai kemungkinan
cara penggalian untuk berbagai macam massa batuan menurut kecepatan
seismik diberikan oleh Atkinson (1971). Penggalian disini meliputi dari
caramanual hingga mekanis penuh.

Gambar 2.3 Metode kecepatan seismik untuk penentuan macam


penggalian(Atkinson,1971)

5. Kriteria Penggalian Menurut Indeks Kekuatan Batu

Franklin dkk (1971) mengusulkan klasifikasi massa batuan menurut dua


paramater, yaitu Fracture Index dan Point Load Index (PLI). Fracture Index
dipakai sebagai ukuran karakteristik diskontinuiti dan didefinisikan sebagai jarak
rata-rata fraktur dalam sepanjang bor inti atau massa batuan . Kedua parameter
ini digambarkan dalam satu diagram untuk menduga kemampugaruan suatu massa
batuan dimana If dan Is masing- masing menyatakan Fracture Index dan PLIi.

6. Klasifikasi Kemampugaruan

Klasifikasi massa batuan untuk kepentingan penggaruan yang melibatkan


parameter mesin penggaru dan sifat-sifat fisik, mekanik dan dinamik massa

25
batuan diberikan oleh Klasifikasi Kemampugaruan (rippability chart)
klasifikasi penggaruan menurut Weaver (1975) yang sudah sering dipakai oleh
para kontraktor penggalian dan kriterianya didasarkan pada pembobotan total
dari parameter pembentuknya bersamaan dengan daya bulldozer yang
diperlukan. Parameter yang dipakai dalam klasifikasi ini adalah kecepatan
seismik, kekerasan batuan, tingkat pelapukan, jarak kekar.

Klasifikasi Kemampugaruan telah digunakan dengan hasil memuaskan di


daerah Afrika Selatan oleh Weaver (1975). Namun demikian perlu diketahui
bahwa klasifikasi ini selanjutnya dimodifikasi oleh Singh dkk (1987) yang
hanya melibatkan sifat-sifat batuan seperti UCS, ITS, Young's Modulus,
danKecepatan rambat gelombang seismik di lapangan. Pettifer & Fookes di
UK (1994) mencoba untuk melakukan modifikasi terhadap kriteria penggaruan
sebelumnya.

Kriteria versi mereka memungkinkan kemudahan penggalian suatu massa


batuan dianalisis Kriteria ini sejenis dengan kriterianya Franklin. Selanjutnya,
mereka menduga bahwa jarak kekar rata-rata dengan kuat tekan batu
merupakan parameter penting dalam menilai.

kemampugaruan, yang percontoh batuannya dapat diperoleh dari


singkapan atau bor inti. Grafik ini bukanlah petunjuk mutlak yang mampu
memberikan jawaban sebenarnya, karena biaya dan faktor lainnya juga ikut
menentukan kemampugaruan suatu massa batuan oleh sebuah bulldozer.

2.6.2 Alat Bor

Udara bertekanan tinggi yang dihasilkan oleh kompresor merupakan


sumber tenagabagi alat bor, misal jack hammer dan crawl rock drill ( CRD )
dll. Disamping sebagaisumber tenaga untuk menggerakkan rangkaian alat bor,
udara bertekanan tinggi tersebutjuga berfungsi untuk :

1. Membersihkan lubang bor yang mengangkat cuttings.


2. Mendinginkan mata bor.

Klasifikasi kompresor berdasarkan cara kerjanya adalah :

26
1. Percussion Compressor ( single stage, multistage )
2. Rotary Compressor.
3. Rotary-Percussion Compressor .

Kapasitas kompresor dinyatakan dalam Cubic Feet per Menit (Cfm),


yaitu udara bebas yang dihisap dan ditekan oleh kompresor merupakan udara
pada kondisi tekanan udara bebas atau atmosfer ( 1 atm ), yang berada pada
batas permukaan air laut. Prosespenekanan udara tersebut ada 2 macam:

1. Kompresi Adiabatik : yaitu proses penekanan udara yang tekanannya tetap.


2. Kompresi Isotermik : yaitu proses penekanan udara dimana suhunya tetap

Menurut tipenya kompresor dibagi menjadi 2 kelompok yang


didasarkan pada tekanan yang dihasilkan yaitu:

1. Perpindahan dinamik ( dynamic displacement ), dimana peningkatan


tekanan dicapai dengan cara akselerasi udara dengan suatu elemen rotasi
dan aksi posterior dari sebuah diffuser . Kompresor sentifugal dan aksial
masuk dalam kelompok ini.
2. Perpindahan positif (positif displacement), jenis ini yang dipakai untuk
mesinbor, dimana tekanan tinggi diperoleh dengan cara menekan gas
dalam ruang tertutup, mengurangi volume dengan gerakan satu atau
beberapa elemen. Kompresor rotari atau bolak-balik termasuk dalam
kelompok ini. Jenis yang paling banyak dipakai untuk pemboran adalah
kompresor piston (resiprocating ).
Perlengkapan kompresor yang paling penting dalam penggunaannya
untukpengeboran antara lain :
1. Saringan hampa (vacuum filters)
2. Pemisah air (water separator )
3. Penyimpan udara (air receiver )
4. Lubrikator
5. Penguat tekanan ( pressure multiplier atau booster )
6. Slang fleksibel ( flexible hose)

27
Dalam pemilihan kompresor harus mempertimbangkan tekanan udara
yang dibutuhkan alat bor, jika aliran udara bertekanan tidak mencukupi dapat
berakibat:

1. Kecepatan pemboran akan berkurang


2. Biaya pemakaian mata bor dan batang bor meningkat
3. Konsumsi bahan bakar bertambah
4. Perlu merawat lebih banyak kompresor

Jadi untuk menentukan kapasitas dan jumlah kompresor yang


diperlukan dalam suatuoperasi pemboran harus mempertimbangkan hal-hal
seperti berikut:

1. Jumlah dan ukuran mesin bor yang harus dilayani


2. Ketinggian tempat kerja (berpengaruh pada tekanan udara bebas)
3. Luas tempat kerja (berpengaruh pada panjang jaringan dan kehilangan
tekanan)

Kompresor digunakan untuk mendukung kinerja dari alat bor.


Sedangkan berdasarkan prinsip kerjanya alat bor dibagi menjadi dua golongan
yaitu:

1. Manual driven

Prinsip kerja dari manual driven sangat sederhana karena hanya


menggunakan tenaga manusia sebagai tenaga penggerak. Contoh : auger
drill , bangka bor, churndrill , bor mesin semprot (BMS).

2. Mechanic driven

Prinsip kerja dari mechanical driven yaitu penggunaan mesin sebagai


tenagapenggerak alat bor. Mechanic driven dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Percussive drill : churn drill dan hammer drill


b. Rotary drill : hydraulic drill, diamond drill, chiled shot drill, turbo drill
danjet pierce drill
c. Rotary percuassive drill : jack hammer

28
2.7 Peralatan dan Perlengkapan Peledakan

2.7.1 Peralatan Peledakan


Peralatan Peledakan Adalah semua bahan atau alat-alat yang dapat
digunakan lebih dari satu kali pemakaian dalam operasional peledakan, antara
lain:

1)   Mesin Bor dan Kompresor

Sumber energi penghasil gaya adalah udara bertekanan tinggi (Pneumatic)


yang dihasilkan dari kompresor dan sekaligus sebagai tenaga penggerak unit
alat bor untuk berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, (Gambar 1).
Konsumsi udara yang diperlukan tergantung pada ukuran mesin bor,makin
besar  ukuran mesin akan diperlukan konsumsi udara yang besar pula.

Gambar 7.1 Mesin Bor (Crawler Drill) dan Kompresor

2)   Batang Bor dan Mata Bor

Batang bor Extension Drill Steels menghubungkan DHT Hummer atau Shank


Adaptor dengan Extension Rods. Selain itu batang bor jenis Extension Drill
Steels dapat dipakai untuk mendapatkan kedalaman pemboran yang

29
diinginkan. Panjang batang bor di PT. Trimegah Perkasa Utama adalah tiga
meter

Gambar 7.2 Batang bor Extension Drill Steel

Mata bor (Drill Bit) akan meneruskan energi putaran dan tekanan dari batang
bor ke batuan

Gambar 7.3 Mata Bor

3)   Mobil Mixer/Manufacturing Unit (MMU)

Mobil Mixer/Manufacturing Unit adalah alat yang digunakan untuk pengisian


lubang ledak secara mekanis.MMU umumnya terdiri dari tiga kompartemen
yang bermuatan butiran Ammonium Nitrate (AN), bahan bakar (solar), dan
emulsi.

30
Gambar 7.4 Pencampran bahan peledak di MMU

4)   Alat Pengaman Peledakan

Peralatan pengamanan yang biasa digunakan dalam operasi peledakan


diantaranya adalah radio komunikasi Portable atau Handy-Talk (HT) untuk
pengawasan keamanan lokasi sekitar peledakan, sirine, serta bendera merah
sebagai tanda area yang akan diledakkan.

2.7.2 Perlengkapan Peledakan

Perlengkapan peledakan adalah semua bahan atau alat-alat yang hanya


dapat digunakan untuk satu kali peledakan, antara lain :

1)   Detonator Biasa (Plain Detonator)

Merupakan Detonator yang menjadi pemicu awal proses peledakan. Ukuran


tabung Detonator biasa adalah diameter 6,40 mm dan panjang 42 mm dengan
kandungan isian dasar adalah PETN atau TNT (Tri Nitro Toluene)
(. Detonator ini selalu digunakan dengan dikombinasikan dengan sumbu api
atau Safety Fuse.

31
Gambar 7.5 Plain Detonator

2)   Bahan Peledak

Bahan peledak yang digunakan untuk pengisian lubang tembak  adalah jenis
emulsi/Dabex dengan perbandingan 70% Matrix dan 30% Ammonium
Nitrate Fuel Oil (ANFO). Sedangkan primer menggunakan Booster 400
gram, satu kilogram Dynamite Daya Gel atau dengan menggunakan
keduanya.

3)   Detonator Nonel (In-Hole Delay)

Detonator Nonel telah dirancang untuk mengatasi kelemahan yang ada


pada Detonator listrik dan cocok untuk daerah dengan intensitas petir
tinggi.  Detonator Nonel diterima oleh konsumen lengkap dengan sumbu
signalnya yang dimana merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, Detonator ini memiliki panjang 18 meter dan waktu Delay 50

Gambar 7.6 Detonator Nonel

32
4)   Sumbu Api (Safety Fuse)

Sumbu api adalah alat berupa sumbu yang fungsinya merambatkan api
dengan kecepatan tetap . Perambatan api tersebut dapat menyalakan ramuan
pembakar (Ignition Mixture) di dalam Detonator biasa, sehingga dapat
meledakkan isian primer dan isian dasarnya

Gambar 7.7 Sumbu api (Safety Fuse)

5)   Sumbu Ledak (Detonating Cord)

Sumbu ledak adalah sumbu yang pada bagian intinya terdapat


bahan peledak PETN, dengan kecepatan detonasi 21.000 ft per detik.
Memiliki ketahanan terhadap air yang baik, ringan dan Fleksible, serta
memiliki kuat tarik yang baik. Sumbu ledak lebih dikenal dengan
sebutan Cordtex 

33
Gambar 7.8 Sumbu ledak Cordtex

6)   Booster (Pentolite Cast Booster)

Merupakan bahan peledak dengan daya ledak paling tinggi diantara semua
jenis handak yang dipakai di dunia pertambangan saat ini. Merupakan
pencampuran proses pelelehan dari TNT (Tri Nitro Toluena) dengan PETN
(Penta Erytrithol Tetra Nitrate) (Gambar 9).

Gambar 7.9 Booster (Pentolite Cast Booster)

7)   Dynamite Dayagel Dahana Magnum

Merupakan bahan peledak istimewa yang memiliki kekuatan tinggi dan


beremulsi sensitif yang kuat, namun demikian memiliki sensitivitas yang
rendah terhadap impak mekanik. Dayagel Magnum merupakan bahan
peledak kuat yang tahan terhadap air. Dayagel Magnum dikemas
dalam Cartridge dari bahan Nylon Film yang apabila diperlukan dapat
dipotong.

34
Gambar 7.10 Dayagel Dahana Magnum

8)   Relay Connector (Surface Delay)

Relay Connector merupakan perlengkapan peledakan yang digunakan


untuk waktu tunda di atas permukaan, baik antar baris maupun antar
lubang bor. Waktu tunda tersebut memiliki tujuan untuk meminimalisir
terjadinya getaran tanah (Ground Vibration), mengurangi suara dari
ledakan (Noise), serta untuk mengarahkan lemparan fragmentasi batuan
hasil peledakan sesuai yang ditentukan dan menghindari terjadinya Fly
Rock yang memiliki dampak terhadap lingkungan dan keamanan.
Beberapa jenis Relay Connector yang umum digunakan diantaranya
adalah Relay Connector MS-17 , Relay Connector MS-42 , Relay
Connector MS-67 

Gambar 7.11 Relay Connector MS-17

Gambar .7.12 Relay Connector MS-42

35
Gambar 7.13 Relay Connector MS-67

36
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Geometri Peledakan Menurut R.L Ash

R.L. Ash (1967) membuat suatu pedoman perhitungan geometri peledakan


jenjang berdasarkan pengalaman empirik yang diperoleh di berbagai tempat
dengan jenis pekerjaan dan batuan yang berbeda-beda. Sehingga R.L. Ash
berhasil mengajukan rumusan-rumusan empirik yang dapat digunakan sebagai
pedoman dalam rancangan awal suatu peledakan batuan. Untuk penentuan nilai
geometri R.L.Ash dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
1. Burden

Menurut R.L Ash harga Burden tergantung pada Burdden Ratio dan diameter
lubang Bor.Besarnya burden ratio antara 20-40 dengan harga Kb standard adalah
30.Sedangkan harga Kb standard sebesar 30 terjadi pada kondisi sebagai berikut:

1) Desintas atau kerapatan batuan : 160 ib/cuft


2) Spercific Gravity bahan peledak : 1,20 ton/m³
3) Kecepatan detonasi bahan peledak : 12.000 fps

Pada kondisi batuan yang berbeda dan penggunaan bahan peledak yang
berbeda,maka harga Kb turut berubah.Untuk mengatasi perubahan angka Kb
perlu dihitung terlebih dahulu harga factor penyesuian pada kondisi batuan dan
bahan peledak yang berbeda.

Faktor penyesuaian terhadap bahan peledakan (AF₁) adalah :

Keterangan :

SG : Berat jenis bahan peledak yang diguanakan

37
Ve : Kecepatan detonasi bahan peledak yang diguanakan

SGstd : Berat jenis bahan peledak standard 1,20

Vestd : Kecepatan detonasi bahan peledak standard 12.000fps

Faktor penyesuaian terhadap batuan (AF₂) adalah :

Keterangan :

Dstd : Bobot isi batuan standard,160 lb/cuff

Kbstd : Bobot isi batuan yang di ledakan

Sehingga harga Kb yang terkoreksi adalah :

Kb= Kb standard x AF₁ x AF₂

Keterangan :

Kb : Burden ratio yang terkoreksi

Kbstd : Burden ratio standard

Untuk menentukan burden,maka menggunakan Rumus :

Keterangan :

B : Burden (m)

Kb: Burden ratio

De: Diameter lubang ledak (mm)

38
2 Spasi (S)

Persamaan menghitung nilai spasi menurut R.L Ash adalah sebagai berikut

S = Ks x B

Keterangan:

S : Spasi (m)

Ks : Spacing ratio (1,00-2,00)

B : Burden (m)

Berdasarkan cara urutan peledakannya,penentuan spasi adalah sebagai


berikut:

 Peledakan serentak S=2B


 Peledakan berurutan dengan delay interval lama (second delay), S=B
 Peledakan Millisecond delay,S antara 1.2B -1,8B
 Peledakan dengan pola Equirateral dan beruntun tiap lubang ledak dalam
baris yang sama S=1,5B
3 Stemming (T)

Untuk menghitung stemming dipakai persamaan :

T = Kt x B

Keterangan :

Kt: Stemming ratio (0,70 – 1,00)

T: Stemming (m)

B: Burden (m)

4. Kedalam Lubang Ledak (H)


Apabila tinggi jenjang sudah ditetapkan atau sudah diketahui
sebelumnya,Maka perhitunga kedalaman lubang ledak menggunakan Rumus :

39
H=L+J

Keterangan :
H: kedalaman lubang ledak (m)
J : subdrilling (m)
L : tinggi jenjang (m)

5. Subdrilling
Hitungan Kj dengan burden diekspresikan dengan persamaan berikut:
J = Kj x B
Keterangan :
J : Subdrilling ratio (m)
Kj : subdrilling (0,2 – 0,3)
B : burden (m)
5.1.1 Powder Columb (PC)
Powder columb merupakan kolom isian bahan peledak dengan
persamaan :
PC = H – T
Keterangan
PC : Pannjang kolom isian bahan peledak (m)
H : kedalaman lubang ledak (m)
T : stemming (m)

3.2 Geometri Peledakan Menurut C.J Konya

Perhitungan geometri peledakan menurut Konya (1990) tidak hanya


mempertimbangkan faktor bahan peledak, sifat batuan dan diameter lubang ledak
tetapi juga memperhatikan faktor koreksi terhadap posisi lapisan batuan, keadaan
struktur geologi serta koreksi terhadap jumlah lubang ledak yang diledakkan.
Faktor terpenting untuk dikoreksi menurut Konya (1990) adalah masalah
penentuan besarnya nilai burden (B).

40
1. Burden (B)

Pemilihan nilai burden yang tepat merupakan keputusan yang terpenting


dalam rancangan peledakan. Burden adalah jarak tegak lurus antara lubang
ledak terhadap bidang bebas terdekat dan merupakan arah pemindahan batuan
(displacement) akan terjadi Pada penentuan jarak burden, ada beberapa faktor
yang harus diperhitungkan seperti diameter lubang ledak, bobot isi batuan dan
struktur geologi dari batuan tersebut. Semakin besar diameter lubang ledak
maka akan semakin besar jarak burden, karena dengan diameter lubang ledak
yang semakin besar maka bahan peledak yang digunakan akan semakin

banyak pada setiap lubangnya sehingga akan menghasilkan energi ledakan


yang semakin besar. Sedangkan apabila densitas batuannya yang semakin
besar, maka agar energi ledakan berkontraksi maksimal dilakukan dengan
memperkecil ukuran burden, sehingga fragmentasi batuan yang dihasilkan
akan baik. Sedangkan struktur geologi batuan digunakan sebagai faktor koreksi
pada penentuan burden. Untuk faktor koreksi berdasarkan geologi batuan dapat
dibagi kedalam 2 konstanta yaitu Kd yang merupakan koreksi terhadap posisi
lapisan batuan dan Ks yaitu koreksi terhadap struktur geologi batuan dilihat
pada tabel berikut :

Tabel 3.1 Parameter Nilai Kr,Kd Ks

Dalam penentuan panjang burden berdasarkan rumusan Konya sebagai berikut :

Keterangan :

41
B1 = Burden (m)

SGe = Berat jenis bahan peledakSGr = Berat jenis batuan De = Diameter lubang
ledak (mm)

Sedangkan perhitungan koreksi burden digunakan rumusan dibawah ini :

B2 = Kd x Ks x Kr x B1

Keterangan :

B1 = Burden awal (m)

B2 = Burden terkoreksi (m)

Kd = Faktor koreksi berdasarkan struktur geologi batuan

Ks = Faktor koreksi berdasarkan orientasi perlapisan

Kr = Faktor koreksi berdasarkan jumlah baris peledakan, yaitu

Kr = 1 jika terdapat satu atau 2 baris dan

Kr = 0,9 jika terdapat 3 baris atau lebih.

2. Spasi (S)

Spasi adalah jarak terdekat antara dua lubang ledak yang berdekatan di
dalam satu baris (row). Apabila jarak spasi terlalu kecil akan menyebabkan
batuan hancur menjadi halus, disebabkan karena energi yang menekan terlalu
kuat, sedangkan bila spasi terlalu besar akan menyebabkan banyak bongkah atau
bahkan batuan hanya mengalami keretakan dan menimbulkan tonjolan diantara
dua lubang ledak setelah diledakkan, hal ini disebabkan karena energi ledakan

42
dari lubang yang satu tidak mampu berinteraksi dengan energi dari lubang
lainnya.

Penerapan jarak spasi harus mempertimbangkan perbandingannya dengan


burden agar didapat pencakupan energi peledakan yang cukup untuk
mendapatkan hasil fragmentasi yang kita inginkan. Perbandingan jarak spasi
dengan burden (S/B) pada pola peledakan dan penyebaran energinya .

Untuk memperoleh jarak spasi maka digunakan rumusan sebagai berikut:

1. Serentak tiap baris lubang ledak


a. Untuk tinggi jenjang rendah (low benches)

H < 4B, S = ( H + 2B) / 3

b. Untuk tinggi jenjang yang besar (high benches)

H = 4B, S = 2B

2. Beruntun dalam tiap baris lubang ledak


a. Untuk tinggi jenjang rendah (low benches)

H < 4B, S = ( H + 7B ) / 8

b. Untuk tinggi jenjang yang besar (high benches)

H = 4B, S = 1,4B

3. Stemming (T)

Stemming adalah tempat material penutup di dalam lubang ledak, yang


letaknya di atas kolom isian bahan peledak. Fungsi stemming adalah agar
terjadi keseimbangan tekanan dan mengurung gas-gas hasil ledakan sehingga
dapat menekan batuan dengan energi yang maksimal. Disamping itu stemming
juga berfungsi untuk mencegah agar tidak terjadi batuan terbang (flyrock) dan
ledakan tekanan udara (airblast) saat peledakan. Untuk penentuan tinggi
stemming digunakan rumusan seperti yang tertera berikut ini:

T = 0,7 x B

43
Keterangan :

T = Stemming (m)

B = Burden (m)

Ada dua hal yang berhubungan dengan stemming yaitu :

a. Panjang Stemming

Secara teoritis, stemming berfungsi sebagai penahan agar energi ledakan


terkurung dengan baik sehingga dapat menekan dengan kekuatan yang
maksimal. Apabila peledakan menerapkan stemming yang terlalu pendek,
maka akan mengakibatkan pecahnya energi ledakan terlalu mudah mencapai
bidang bebas sebelah atas sehingga menimbulkan batuan terbang dan energi
yang menekan batuan tidak maksimal, serta fragmentasi batuan hasil peledakan
secara keseluruhan kurang baik. Pada jenjang yang terbentuk juga akan timbul
retakan yang melewati batas jenjang (overbreak). Sedangkan stemming yang
terlalu panjang dapat mengakibatkan energi ledakanterkurung dengan baik,
tetapi fragmentasi batuan pada bagian batas stemmingkeatas akan menjadi
bongkah, karena energi ledakan tidak mampu mencapainya serta dapat pula
menimbulkan backbreak.

b. Jenis dan ukuran material stemming.

Ukuran material stemming sangat berpengaruh terhadap batuan hasil


peledakan dan pemilihan bahan stemming yang tepat sangat penting jika kita
ingin meminimalkan panjang stemming. Apabila bahan stemming terdiri dari
bahan-bahan halus hasil pemboran (cutting pemboran), maka kurang
memiliki gaya gesek terhadap lubang ledak sehingga udara yang bertekanan
tinggi akan mudah mendorong stemming tersebut keluar, dengan demikian

44
energi yang seharusnya terkurung dengan baik dalam lubang ledak akan
hilang keluar bersamaan dengan terbongkarnya stemming. Untuk mengatasi
tersebut diatas maka digunakan bahan yang memiliki karakteristik susunan
butir saling berkaitan dan berbutir kasar serta keras. Persamaan yang
digunakan untuk menentukan ukuran material stemming adalah :

Sz = 0,05 x De

Keterangan :

De = Diameter lubang ledak (mm)

Sz = Ukuran material stemming (mm)

3. Subdrilling (J)

Subdrilling adalah tambahan kedalaman pada lubang bor di bawah lantai


jenjang yang dibuat dengan maksud agar batuan dapat terbongkar sebatas lantai
jenjangnya. Jika panjang subdrilling terlalu kecil maka batuan pada batas lantai
jenjang (toe) tidak lengkap terbongkar sehingga akan menyisakan tonjolan pada
lantai jenjangnya, sebaliknya bila panjang subdrilling terlalu besar maka akan
menghasilkan getaran tanah dan secara langsung akan menambah biaya
pemboran dan peledakan.

Dalam penentuan tinggi subdrilling yang baik untuk memperoleh lantai


jenjang yang rata maka digunakan rumusan sebagai berikut :

J = 0,3 x B

Keterangan :

J = Subdrilling (m)

B = Burden (m)

H = Kedalaman Lubang Ledak (H)

Dalam penentuan kedalaman lubang ledak biasanya disesuaikan dengan


tingkat produksi (kapasitas alat muat) dan pertimbangan geoteknik pada

45
prinsipnya kedalaman lubang ledak merupakan jumlah total antara tinggi
jenjang dengan besarnya subdrilling, yang dapat ditulis sebagai berikut:

H = L+ J

Keterangan:

H = Kedalaman lubang ledak (m)

L = Tinggi jenjang (m)

J = Subdrilling (m)

4. Panjang Kolom Isian (PC)

Panjang kolom isian merupakan panjang kolom lubang ledak yang akan diisi
bahan peledak. Panjang kolom ini merupakan kedalaman lubang ledak dikurangi
panjang stemming yang digunakan.

PC = H – T

Keterangan :

PC = Panjang kolom isian (meter)

H = Kedalaman lubang ledak (meter)

T = Stemming (meter)

Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang


bor dan alat muat yang tersedia. Tinggi jenjang berpengaruh terhadap hasil
peledakan seperti fragmentasi batuan, ledakan udara, batu terbang dan getaran
tanah. Hal ini dipengaruhi oleh jarak burden. Berdasarkan perbandingan tinggi
jenjang dan jarak burden yang diterapkan (stiffness ratio), maka akan diketahui
hasil dari peledakan tersebut (Tabel 2.2).

Penentuan ukuran tinggi jenjang berdasarkan stiffness ratio digunakan


rumus sebagai berikut :

L = 5 x De

46
Keterangan :

L = Tinggi jenjang minimum (ft)

De = Diameter lubang ledak (inchi)

Sedangkan dari segi perlapisan batuan, untuk mendapatkan fragmentasi


batuan yang baik, diterapkan arah lubang ledak yang berlawanan arah dengan
bidang perlapisan batuan karena energi ledakan akan menekan batuan secara
maksimal.

3.3 Fragmentasi Hasil Peledakan

Fragmentasi adalah bentuk material hasil free digging, penggalian mekanik


maupun peledakan berdasarkan ukuran tertentu. Tingkat fragmentasi batuan
merupakan tingkat pecahan material dalam ukuran tertentu sebagai hasil dari
proses peledakan. (Rudi Frianto,2014)

Model Kuz-Ram merupakan gabungan antara persamaan Kuznetsov dan


persamaan Rossin-Rammier. Persamaan Kuznetsov memberikan ukuran
Fragmentasi batuan ratarata dan persamaan Rossin-Rammier menentukann
persentase material yang tertampung diayakan dengan ukuran tertentu.

3.3.1 Perhitungan Tingkat Fragmentasi Hasil Peledakan

1. Fragmentasi Rata – rata (Xbar)


Diketahui :

E = Relative Weight Strenght bahan peledak, untuk Anfo = 80/100

Q = Bahan peledak Perlubang

A = Faktor Batuan (Roc Factor )

Indek Peledakan (BI) = 0,5 x (RMD + JPS + JPO + SGI + H )

Faktor Batuan (A) = BI X ,12

47
2. Indeks Keseragaman (n)
Diketahui :

S = Space

B = Burden

PC = isian lubang ledak

L= Tinggi Jenjang

De = Handak perlubang

3. Karakterstik Ukuran (Xc)


Diketahui :

Fragmentasi Rata-rata (xBar)

Indeks Keseragaman (n)

4. Saringan (cm)
Diketahui :

Karakteristik Ukuran (Xc)

3.4 Peledakan Tambang Bawah Tanah

48
Pada sistem peledakan terdapat 2 kondisi peledakan yaitu, kondisi peledakan
bawah tanah dan peledakan permukaan, dimana perbedaan tersebut didasarkan
atas

1. Peledakan bawah tanah dilakukan ke arah 1 bidang bebas (free face),


sedangkan peledakan di permukaan dilakukan ke arah 2 bidang atau lebih.
2. Tempat peledakan atau ruang bawah tanah lebih terbatas. Oleh karena itu
perlu dibuat suatu bidang bebas ( secondary free face )

Peledakan khusunya peledakan bawah tanah, sebelum dilakukan peledakan


haru diperhatikan beberapa hal yaitu :

1. Tegangan insitu
2. Air tanah
3. Arah ledakan 1 – 2 maksimum bidang bebas
4. Terbatas ruang, udara, penerangan
5. Specific charge 3 – 10 kali > Specific charge permukaan
6. Cut : burn cut, wedge cut
7. Look out

Pada peledakan bawah tanah terdapat tahapan – tahapan yang disebut “siklus
penerowongan“, dimana siklus tersebut ialah :

1. Pemboran
2. Pemuatan
3. Peledakan
4. Pembersihan asap (ventilasi)
5. Scalling – grouting (pembersihan sisa-sisa batuan hasil peledakan yang
masih ada di dinding terowongan hasil peledakan)
6. Penyanggaan (apabila kondisi terowongan hasil memerlukan penyangga)
7. Pemuatan & dan pengangkutan
8. Persiapan pemboran selajutnya

3.4.1 Lubang Kosong

49
Lubang kosong memiliki rumus yaitu :

T = Kt x B

Keterangan :

Kt = Koefiesien Stemming

B = Burden

Untuk Stemming Ratio (Kt) antara 0,75 sampai 1 meter agar dapat
memaksimalkan dalam mengontrol fly rock, airblast dan fume hasil reaksi
bahan peledak.

3.4.2 Perhitungan Burden dan Spasi

Setelah perhitungan cut hole sudah dilakukan. Maka dilakukan


perhitungan lifter, wall, roof, dan stoping dalam pola peledakan.
Menurutjimenno,1995

Gambar 3.1 letak pola peledakan tambang bawah tanah

Perhitungan geometri pemboran dan peledakan dapat dihitung dengan


menggunakan persamaan berikut :

Perhitungan Lifter

1. Burden Maksimum

2. Jumlah Lubang Ledak Lifter

50
3. Spacing ( S )

4. Spasi Lifter, dengan lubang ledak diujung

𝑆𝐿′ =𝑆−𝐻 𝑆𝑖𝑛 𝛾

5. Partical Burden Lifter (BL’)

𝐵𝐿′ =𝐵−(𝐻 𝑥 𝑆𝑖𝑛𝛾 )

6. Panjang Isian Dasar


(hb)hb =1,25 Bl
7. Panjang Isian Column (hc)
hc =H−hb−T

Keterangan :

C = Corrected rock constant (0,4) F = Fixation factor

NB = Jumlah Lubang (Buah) H = Kedalama pemboran (m) ɣ = Lookout


(degree)

S = Jarak antar lubang (m)

SL’ = Jarak antar lubang pada ujung lifter (m) Hb = Panjang Isian Dasar (m)

Hc = Panjang Isian Column(m) Perhitungan Countour, Roof

8. Spacing (S)

𝑆=𝑘 𝑥 𝑑

9. Burden ( B)

S/B = 0,8

51
10. Konsentrasi Muatan Roof (Ir)

𝐼𝑟=90 𝑥 𝑑2

Keterangan :

K = Konstanta ( 15-16)

D = Diameter (m) Perhitungan Countour, Wall

11. Panjang yang Ditempati oleh wall hole = Tinggi Abutment – Bl – Br


12. Spasi

𝑆=𝑘 𝑥 𝑑

13. Burden Maksimum ( B)

14. Burden Wall ( Bw )

𝐵𝑤=𝐵−𝐻 𝑠𝑖𝑛𝛾−𝐹

15. Jumlah Lubang ( NB )

16. Spasi wall ( Sw )

Perhitungan stoping

52
17. StopingHorizontal F= 1,45

S/B = 1,25

C’ = 0,4

𝐵ℎ =𝐵−𝑓

18. Stoping Downword

F = 1,2

S/B = 1,25

C’ = 0,4

𝐵ℎ =𝐵−𝑓

Dimana,

F= Devisiasi maksimum Pemboran

53
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kegiatan peledakan merupakan tindak lanjut dari kegiatan pemboran
dimana tujuannya yaitu memisahkan dari bongkahannya, memecah atau
membongkar batuan padat menjadi material yang berukuran tertentu (fragmen-
fragmen yang lebih kecil) yang cocok untuk dikerjakan dalam proses produksi
selanjutnya dan mempermudah dalam proses pengangkutan dan pengolahannya.

Adapun dari laporan yang telah di susun dapat mengetahui bahan peledak
yang digunakan pada kegiatan blasting ini seperti, Ammonium Nitrat (Nh4no3),
Bulk Anfo, dan lain-lain.

Dalam proses kegiatan peledakan baik peledakan tambang terbuka maupun


tambang bawah tanah membutuhkan biaya yang besar dan resiko keselamatan
kerja dan lingkungan yang tinggi. Oleh karena itu kegiatan peledakan harus
direncanakan dan dirancang oleh orang-orang yang kompeten dan dalam
pengaplikasiannya juga harus dilakukan dengan tepat sehingga menghasilkan
hasil fragmentasi sesuai yang diinginkan, efektif, efisien serta memperhatikan
keselamatan kerja dan lingkungan.

4.2 Kritik dan Saran


4.2.1 Kritik

Sebelumnya terima kasih kepada para asisten yang telah sabar dan
memberi arahan kepada praktikan. Tetapi dalam teknis praktikummasih

54
kurang dalam penyampaian dan kejelasan materi praktikum dan sebagai
praktikan masih banyak kebingungan dan tidak memahami alur, tujuan dan
output yang didapatkan dari praktikum ini.

4.2.2 Saran

Sebelum kegiatan praktikum alangkah lebih baiknya diadakan technical


meeting terlebih dahulu dan menjelaskan bagaimana alur praktikum yang akan
dilaksanakan dan dalam setiap acara pertemuan diberi materi sehingga praktikan
bisa membaca terlebih dahulu sebelum acara di mulai, sehingga para mahasiswa
terarah dalam mencari referensi untuk pengerjaan tugasnya nanti.

55
DAFTAR PUSTAKA

http://artikelbiboer.blogspot.com/2009/12/blasting-peledakan.html

https://1902miner.wordpress.com/2011/10/29/blasting-peledakan/

https://himatto.wordpress.com/2011/05/22/pengenalan-bahan-peledak/

http://engginer012.blogspot.com/2014/05/klasifikasi-bahan-peledak.html

http://www.smkmigasjogja.com/2016/12/sistem-pemboran.html?m=1

http://atmantokukuh.blogspot.com/2016/01/peralatan-dan-perlengkapan-
peledakan.html

Manon, J,J., 1978, Explosives: their classification and characteristics. E/MJ


Operating Handbook of Uderground Mining, New York, USA.

M. Simangunsong, Ganda. “Underground Blasting Design” Fakultas Teknik


Pertambangan & Perminyakan ITB. Bandung.

Febrianto, F., Yulhendra, D., & Abdullah, R. (2014). Perencanaan ulang geometri
peledakan untuk mendapatkan fragmentasi yang optimum di lokasi penambangan
front iv quarry pt. Semen padang. Bina Tambang, 1(1), 11-20.

Atmojo,Tri. 2011. Penyusunan program aplikasi komputasi Perancangan


peledakan pada tambang terbuka dengan menggunakan bahasa pemrograman
visual basic 6.Skripsi Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.

Lopez Jimeno C., (1995), “Drilling and Blasting of Rocks”, A.A. Balkema,
Roterdam, Nedherlans

Alkadrie, S. S., & Syafrianto, M. K. Kajian Distribusi Ukuran Fragmen Batuan


Granodiorit Di Pt Hansindo Mineral Persada Desa Peniraman Kecamatan Sungai
Pinyuh Kabupaten Mempawah Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Mahasiswa
Munawir, M. (2016). Analisis Geometri Peledakan Terhadap Ukuran Fragmentasi

56
Overburden Pada Tambang Batubara PT. Pamapersada Nusantara Jobsite Adaro
Kalimantan Selatan. Jurnal Geomine, 1(1).

Nugroho, B. E., & Syafrianto, M. K. Kajian Fragmentasi Hasil Peledakan


Komoditas Batuan Granodiorit Pada Pt Total Optima Prakarsa. JurnalMahasiswa
Teknik Sipil Universitas Tanjungpura, 6(1).

Rizani, A., Kartini, K., & Umar, K. Observasi Hasil Peledakan Menggunakan
Metode Peledakan Nonel Dan Electronic Detonator. Jurnal GEOSAPTA, 6(2),
117-120.

Teknik Sipil Universitas Tanjungpura, 6(1).

57
LAMPIRAN 1

TUGAS 1

58
59
60
61
LAMPIRAN 2
TUGAS 2

62
63
64
65
66
67
LAMPIRAN 3

TUGAS 3

68
69
70
71
72
73
74
75

Anda mungkin juga menyukai