Anda di halaman 1dari 38

Tinjauan Pustaka

TRAKEOSTOMI PADA ANAK

Oleh:

Dr. Wahyu Satrio

Pembimbing:

Dr. Lisa Apri Yanti, Sp.T.H.T.K.L (K), FICS

BAGIAN ILMU KESEHATAN THTKL FK UNSRI/


DEPARTEMEN THTKL RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2017

0
TRAKEOSTOMI PADA ANAK
Wahyu Satrio, Lisa Apri Yanti

Bagian IK THTKL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/


Departemen IK THTKL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak
Sumbatan jalan napas pada anak diatasi dengan berbagai teknik,
tergantung pada penyebab, berat, sifat sumbatan kronik atau akut serta hasil yang
diharapkan. Trakeostomi merupakan prosedur operatif dalam mengatasi
sumbatan jalan napas dengan membuka trakea dan melakukan insersi kanul.
Prosedur ini lebih sulit dilakukan pada pasien pediatri dibandingkan pasien
dewasa, karena pasien pediatri memiliki anatomi trakea yang lebih kecil dan
lunak serta lapang operasi yang lebih sempit. Insidensi trakeostomi pada anak
dengan usia kurang dari 1 tahun dibandingkan anak usia lebih tua yaitu 4%
hingga 78%. Terdapat tiga indikasi utama trakeostomi pada pasien pediatri yaitu
gagal napas sehingga membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang, obstruksi
jalan napas atas dan memberikan akses untuk pulmonary toilet. Teknik
trakeostomi dilakukan dengan insisi vertikal dalam anestesi umum. Komplikasi
trakeostomi pada anak dibagi menjadi intraoperatif, awal dan lanjut pasca
operasi. Perawatan trakeostomi meliputi humidifikasi, penghisapan sekret
(suctioning), penggantian kanul serta pemberian antibiotik profilaksis.
Keberhasilan dekanulasi bergantung pada indikasi trakeostomi.

Kata kunci : Trakeostomi, anak, pediatri

Abstract
Airway obstruction in children managed by various technique, depend on
the cause, severity, chronic or acute also the expecting outcome. Tracheostomy is
an operative procedure managing upper airway obstruction by opening trachea
and insert the tube. This procedure is more difficult in pediatric patient than
adult, cause the anatomy of trachea is smaller and softer, also limited surgical
field. The incidence of tracheostomy in children younger than 1 years old
compared in older children is about 4% till 78%. There are three main
indications of tracheostomy, respiratory failure in dependence on prolong
ventilation, upper airway obstruction and giving access for pulmonary toilet.
Tracheostomy done in some technique, mostly by vertical insision in general
anesthesia. The complications of tracheostomy in children divided into
intraoperative, early and late postoperative. Tracheostomy care included
humidification, suctioning, tube changing also profilactic antibiotics. The
successful decannulation depend on the underlying disease which are the
indications of tracheostomy.

Keywords :Tracheostomy, children, pediatric

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sumbatan jalan napas pada anak diatasi dengan berbagai teknik,


tergantung pada penyebab, berat, sifat sumbatan kronik atau akut serta hasil yang
diharapkan. Trakeostomi merupakan prosedur operatif dalam mengatasi
sumbatan jalan napas dengan membuka trakea dan melakukan insersi kanul yang
memungkinkan pertukaran udara trakea dan bagian eksternal terjadi langsung.
Teknik ini merupakan salah satu prosedur operatif tertua yang pertama kali
dilakukan oleh bangsa Yunani pada tahun 100 Sebelum Masehi, dan makin sering
dilakukan hingga abad ke-19. Trakeotomi berasal dari bahasa Yunani, dari kata
trachea dan tome (memotong). Istilah trakeotomi lebih mengacu kepada tindakan
pembedahan pada trakea untuk fungsi ventilasi. Trakeotomi merupakan tindakan
pembedahan untuk membebaskan jalan nafas atas melalui leher hingga mencapai
trakea. Trakeotomi pertama kali tertulis dalam Rig Veda, kitab suci agama Hindu
yang ditulis antara tahun 2000 sampai 1000 sebelum Masehi. Pada tahun 1620,
Nicholas Habicot berhasil melakukan 4 trakeotomi, salah satunya pada anak laki-
laki yang berusia 14 tahun. Prosedur ini lebih sulit dilakukan pada pasien pediatri
dibandingkan pasien dewasa, karena pasien pediatri memiliki anatomi trakea
yang lebih kecil dan lunak serta lapang operasi yang lebih sempit.1,2,3,4,5
Saat ini dengan beberapa kemajuan temuan baru dibidang klinis seperti
penggunaan antibiotik, teknik intubasi dan tatalaksana kegawatan, membuat
indikasi trakeostomi berkurang. Terdapat tiga indikasi utama trakeostomi pada
pasien pediatri yaitu gagal napas sehingga membutuhkan bantuan ventilasi jangka
panjang, obstruksi jalan napas atas dan memberikan akses untuk pulmonary
toilet. Obstruksi jalan napas atas, kebutuhan ventilasi jangka panjang dan
hipotonia sekunder akibat kelainan neurologis merupakan indikasi trakeostomi
yang paling sering pada pasien anak. Teknik trakeostomi pada anak dapat
dilakukan dengan beberapa jenis insisi, namun insisi vertikal merupakan teknik
yang paling sering digunakan dan relatif aman untuk anak. Trakeostomi pada
anak memiliki insiden komplikasi yang cukup tinggi dibandingkan pada dewasa.

2
Komplikasi trakeostomi pada anak dibagi menjadi komplikasi intraoperatif,
komplikasi awal dan lanjut paska operasi. Tingkat mortalitas anak dengan
trakeostomi dilaporkan cukup rendah dengan penyebab kematian yaitu penyakit
dasar yang menjadi indikasi trakeostomi pada anak.1,4,5,6,7

3
BAB II
TRAKEOTOMI PADA ANAK

2.1 Sejarah Trakeotomi Pada Anak


Trakeotomi pertama kali tertulis dalam Rig Veda, kitab suci agama
Hindu yang ditulis antara tahun 2000 sampai 1000 sebelum Masehi. Pada
abad ke-8 sebelum Masehi, Homer melakukan operasi pemotongan trakea
secara terbuka untuk menolong orang yang tersedak. Pada abad ke-4
sebelum Masehi, Alexander Agung dilaporkan menusuk trakea dengan
ujung pedangnya pada prajurit yang tersedak tulang. Ascepliades melalukan
trakeotomi elektif pertama kali di Roma pada abad ke-2 sebelum Masehi.
Prosedur ini diperjelas lagi oleh Anthyllus pada abad ke-2 setelah Masehi,
yang merekomendasikan trakea dipotong dengan incisi tranversa pada
cincin ketiga atau keempat.1,3
Dari abad ke-7 hingga abad ke-16 setelah Masehi, hanya sedikit
catatan medis tentang trakeotomi. Ada beberapa referensi tentang
trakeotomi dari abad ke-16 hingga tahun 1830, kebanyakan negatif
dihubungkan dengan prosedur yang tidak bermanfaat dan berbahaya. Pada
abad ke-16, seorang ahli medis Italia, Antonio M. Brasovala berhasil
melakukan trakeotomi pada pasien yang menderita abses pada trakea. Pada
tahun 1620, Nicholas Habicot berhasil melakukan 4 trakeotomi, salah
satunya pada anak laki-laki yang berusia 14 tahun. Pada tahun 1766, Caron
melakukan trakeostomi pada anak berusia 7 tahun untuk mengambil benda
asing. Tindakan ini dianggap sebagai tindakan trakeostomi pertama yang
sukses dilakukan pada kelompok usia anak-anak. Prosedur trakeostomi
yang sukses selanjutnya dilaporkan oleh Andree pada tahun 1782 dan
Chevalier pada tahun 1814.1,3
Pada tahun 1833, Trousseau dilaporkan berhasil menyelamatkan 50
orang anak-anak yang menderita difteri dengan melakukan trakeotomi.
Tindakan trakeotomi yang berhasil mengatasi sumbatan jalan nafas pada
pasien-pasien difteri menyebabkan tindakan trakeotomi menjadi populer

4
untuk kasus-kasus sumbatan jalan nafas lainnya seperti sindroma croup,
benda asing dan trauma. Pada pertengahan abad ke-19, literature medis
dipenuhi oleh artikel tentang trakeotomi termasuk tehnik, komplikasi post
operasi dan indikasi. Chevalier Jackson mengambarkan berkurangnya
angka kematian ketika trakeotomi dilakukan dengan tepat, khususnya
terdapat juga perawatan post operasi yang benar. Jackson mengatakan
bahwa tingginya angka stenosis laring dan trakea akibat tindakan
trakeotomi letak tinggi, yang merusak kelenjar tiroid dan trakea. Jackson
menyarankan trakeotomi dibawah cincin trakea kedua yang secara
signifikan mengurangi stenosis laring dan trakea dan dapat menurunkan
angka kematian terutama pada anak-anak.1,3
Pada sekitar tahun 1930, trakeotomi menjadi populer sebagai
prosedur yang bermanfaat pada perawatan pernafasan pada pasien yang
menderita poliomielitis. Pada sekitar tahun 1950, adanya vaksin polio
menurunkan insiden poliomielitis sehingga menurunnya juga indikasi
tindakan trakeotomi pada kasus tersebut. Pada akhir tahun 1970, pada kasus
laringotrakeobronkitis dan epiglotitis merupakan indikasi trakeotomi yang
umum pada anak sebelum intubasi endotrakeal menjadi tatalaksana populer
untuk sumbatan jalan nafas akut akibat inflamasi. Sejak tahun 1960 dan
1970, indikasi trakeotomi pada anak bergeser dari yang dominan dilakukan
untuk tatalaksana sumbatan jalan nafas akut karena infeksi dan inflamasi
menjadi indikasi yang diperlukan pada intubasi lama pada pasien gagal
nafas seperti prematuritas dan bronchopulmonary displasia, tatalaksana
sumbatan jalan nafas kronis dan pembersihan sekret dari saluran nafas dan
paru.1,3

2.2 Kekerapan
Meskipun trakeostomi merupakan suatu prosedur operatif yang cukup
jarang dilakukan pada anak, namun Simons menjelaskan bahwa satu
penelitian mendapatkan trakeostomi dilakukan pada 4.861 anak pada tahun
1997 di Amerika. Pada penelitian yang dilakukan oleh Astra dkk
menjelaskan bahwa pada empat penelitian yang sebelumnya dilakukan,

5
mendapatkan bahwa trakeostomi lebih sering dilakukan pada bayi prematur
atau bayi dengan berat badan lahir sangat rendah. Berdasarkan jenis
kelamin, trakeostomi lebih banyak ditemukan pada pasien anak laki-laki.
Insidensi trakeostomi pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun
dibandingkan anak usia lebih tua yaitu 4% hingga 78%, dan terus
meningkat selama beberapa dekade terakhir. Penelitian Astra juga
menjelaskan bahwa dari 27 penelitian yang dilakukan pada tahun 2005-
2014, trakeostomi dilakukan pada 4303 pasien anak. Penelitian yang
dilakukan oleh Astra dkk, tahun 2017, mendapatkan bahwa insidensi
trakeostomi pada anak berkisar antara 41,3% hingga 63,0%. Temuan ini
berkaitan dengan teknik perawatan intensif, perubahan epidemiologi
penyakit infeksi, peningkatan angka bertahan hidup (survival rate) bayi
prematur serta peningkatan kejadian bayi dengan kelainan kongenital atau
didapat.
Penelitian yang dilakukan oleh Akdag dkk, di Rumah Sakit
Universitas Dicle Turki antara tahun 2006 sampai 2013, 56 pasien anak
(65% laki-laki, 35% perempuan) yang dilakukan tindakan trakeotomi,
dengan median umur 120 bulan (antara 28 hari hingga 216 bulan) dan rata-
rata umur 9,8 ± 6 tahun, indikasi paling sering yaitu obstruksi jalan napas
atas (37,7%), komplikasi awal yang sering terjadi yaitu terlepasnya kanul
(accidental decannulation) (4,2%), komplikasi lanjut yang paling sering
yaitu fistula trakeokutaneus dan terbentuknya jaringan granulasi
suprastomal, serta angka kesuksesan dekanulasi pasien yaitu 13,2% dengan
rata-rata waktu dekanulasi yaitu 1-131 hari pasca trakeostomi. Penelitian
yang dilakukan oleh Lee dkk mendapatkan bahwa dari 59 pasien yang
menjadi subjek penelitian, 9 pasien (14%) pasien dilakukan trakeostomi,
dengan usia rata-rata 2-5 tahun. Lee menjelaskan indikasi trakeostomi pada
9 pasien yang menjadi sampel antara lain trakeomalasia (2 pasien), edema
subglotis (1 pasien), bronkitis berat (1 pasien), 1 pasien sindrom Down
dengan obstructive sleep apnea yang mengakibatkan gagal jantung kanan, 3
pasien dengan ketergantungan ventilator jangka panjang akibat penyakit
kardiopulmoner dan 1 pasien dengan sitopati mitokrondial. Tujuh dari

6
pasien ini berhasil didekanulasi, 1 meninggal akibat penyakit dasar dan 1
pasien bertahan dengan kanulasi sekunder akibat penyakit sitopati
mitokrondial.1,2,4,6

2.3 Anatomi Laring dan Trakea Pada Anak


2.3.1 Anatomi Laring Pada Anak
Laring terletak antara faring dan trakea, memanjang dari dasar lidah
hingga kartilago krikoid. Laring merupakan organ fonasi dan melindungi
bagian trakeobronkial selama proses menelan dan batuk. Perkembangan
sistem respirasi dimulai dari minggu ketiga masa gestasi, diawali dengan
pembentukan kanal laringotrakea yang berasal dari dinding ventral foregut.
Laring biasanya dapat diidentifikasi pada usia gestasi 41 hari. Kartilago
krikoid dan tiroid mulai mengalami kondrifikasi pada usia gestasi 7
minggu, sedangkan glotis primitif terbentuk pada masa gestasi minggu ke-
10 saat plika vokalis terpisah. Kegagalan pada proses ini menyebabkan
laryngeal web, atau pada beberapa kasus, menyebabkan atresia laring
kongenital. Divisi inkomplit dari foregut ke anterior trakea dan posterior
esofagus menyebabkan terbentuknya fistula trakeoesofagus.1,8
Laring terdiri dari kartilago tiroid, kartilago krikoid, sepasang
aritenoid dan epiglotis, kornikulata kecil dan kartilago kuneiformis.
Susunan anatomis ini membentuk suatu rangka kartilago yang berartikulasi
dengan ligamen-ligamen, yang dapat bergerak akibat kerja otot-otot
laringeal. Kartilago yang paling besar yaitu kartilago tiroid, yang terbuka
pada bagian posterior dan membentuk prominensia laringeus (Adam’s
apple) di anterior. Dibawah kartilago tiroid terdapat kartilago krikoid, yang
berbentuk cincin dengan bagian posterior yang lebih lebar, merupakan
cincin kartilago yang paling sempurna pada traktus respiratorius. Pada saat
lahir, batas bawah kartilago krikoid berada di anterior vertebra servikal
keempat. Pada saat usia 6 tahun, batas ini setinggi vertebra servikalis
kelima dan pada dewasa setinggi vertebra servikalis keenam. Karena
ukuran kartilago krikoid pada anak lebih kecil, dan ini merupakan cincin

7
yang sempurna, adanya edema mukosa pada lokasi ini akan sangat
mempengaruhi jalan napas pada anak. Sepasang kartilago aritenoid
berartikulasi pada bagian posterosuperior kartilago krikoid. Masing-masing
aritenoid memiliki prosesus anterior, atau prosesus vokalis, tempat
melekatnya ligamen vokalis. Pada bagian apeks masing-masing kartilago
aritenoid terdapat kartilago kornikulata triangularis, yang melekat pada
perikondrium. Lipatan vestibular, atau plika palsu, terbentuk dari mukosa
yang melapisi otot tiroaritenoid. Plika vokalis merupakan lipatan yang
dilapisi oleh mukosa. Refleks aduksi plika vokalis dan plika palsu disebut
sebagai laringospasme dan disebabkan oleh stimulasi lokal laring atau
stimulasi operatif tanpa anestesi yang adekuat.1,8

Gambar 1. Posisi cephalad laring pada anak9

Membran krikotiroid bersifat keras, terbentuk dari jaringan ikat lunak


mulai dari pertemuan (persendian) antara prosesus inferior kartilago tiroid
dan krikoid. Insisi membran ini memberikan akses pada obstruksi jalan
napas akut yang terjadi setinggi atau diatas laring. Epiglotis merupakan
struktur yang berbentuk seperti “daun” yang melekat pada batas posterior
kartilago tiroid melalui ligamen tiroepiglotis. Pada dewasa, epiglotis lebih
lebar, dengan aksis paralel pada trakea. Epiglotis bayi lebih sempit, lebih
lembut dan lebih horizontal dibandingkan dewasa. Pada laringoskopi,
epiglotis pada neonatus terlihat sangat lebih sempit pada ujunng bebasnya,
dan pada beberapa bayi terlihat berbentuk V.1,8,9

8
Kartilago kuneiformis terletak dari bagian anterior ke arah kartilago
korikulata, pada lipatan ariepiglotis. Makin superior lokasi laring pada anak
akan menyebabkan kesulitan dalam visualisasi laring karena angulasi antara
basis lidah dan pembukaan laringeal akan semakin berat. Laring pada anak
dipersarafi oleh nervus vagus melalui cabang laringeal rekuren dan
superior. Nervus laringeal superior mempersarafi cabang laring internal
yang berjalan dibawah mukosa fosa piriformis. Letak anatomis ini lebih
mudah dilakukan anestesi lokal pada prosedur laringoskopi dan
bronkoskopi. Bagian atas laring dan permukaan inferior epiglotis diinervasi
oleh nervus vagus. Kerusakan pada nervus laringeal rekuren mengakibatkan
paralisis plika vokalis menyebabkan plika tidak dapat bergerak pada garis
tengah. Paralisis bilateral menyebabkan hilangnya suara dan dapat
menyebabkan obstruksi selama inspirasi mengakibatkan dispnea dan stridor
inspirasi. Laring mendapatkan vaskularisasi dari arteri laringeus superior
dan inferior. Arteri laringeus superior merupakan cabang dari arteri tiroid
superior, kemudian bersama cabang nervus laringeus superior menembus
membran tirohioid untuk berjalan di bawah mukosa dinding lateral dan
dasar sinus piriformis dan memperdarahi otot-otot laring. Arteri laringeus
inferior cabang arteri tiroid inferior, bersama-sama nervus laringeus inferior
ke belakang sendi krikotiroid dan memasuki laring melalui daerah pinggir
bawah muskulus konstriktor inferior. Vena laringeus superior dan inferior
terletak sejajar dengan arteri dan selanjutnya bergabung dengan vena tiroid
superior dan inferior. Aliran limfe laring melalui pembuluh limfe superior
dan inferior yang terdapat di plika vokalis.1,8,9,10

9
Gambar 2. Konfigurasi laring dewasa dan anak8

Gambar 3. Efektif relatif edema jalan napas pada anak dan dewasa. Jalan napas normal
pada anak dan dewasa ditunjukkan pada gambar kiri; jalan napas yang mengalami edema
(sirkumferensial 1mm, mengurangi 2mm diameter) pada gambar kanan8

2.3.2 Anatomi Trakea Pada Anak


Trakea merupakan organ pipa yang terdiri dari tulang rawan dan otot
yang dapat dibagi menjadi trakea bagian atas (servikal) dan trakea bagian
bawah (torakal). Trakea terletak dibagian medial leher dan makin ke distal
akan bergeser ke sebelah kanan dan masuk mediastinum dibelakang
manubrium sterni. Panjang trakea, dari pertemuan laring dan trakea setinggi
C6 (kartilago krikoid) sampai bifurkasio aorta setinggi T4, setingga
vertebra torakalis ketiga pada anak-anak dan vertebra torakalis kedua pada
dewasa. Trakea terdiri dari 15-20 cincin trakea yang berbentuk U, dibagian
posterior terdapat jaringan yang merupakan batas dengan esofagus, yang
disebut dinding trakeoesofagus. Cincin trakea ini dihubungkan dengan
membran elastik yang tipis. Mukosa didaerah subglotik merupakan jaringan
ikat jarang, yang disebut konus elastikus, bila terangsang dapat dengan
mudah terjadi edema dan terjadi pembentukan jaringan granulasi bila
berlangsung lama. Perdarahan trakea berasal dari cabang-cabang yang
berasal dari arteri tiroid superior, arteri bronkial dan arteri torakalis interna.
Drainase melalui vena tirooid inferior dan dialirkan menuju vena
brakiosefalik. Aliran limfe melalui kelenjar limfe servikal, trakea dan
trakeobronkial. Persarafan simpatik berasal dari cabang-cabang kardial
trunkus simpatikus servikal dan nervus viseral toraks. Persarafan
parasimpatis berasal dari nervus vagus dan nervus laringeus rekuren.1,10,11

10
2.4 Indikasi Trakesotomi Pada Anak
Terdapat tiga indikasi utama trakeostomi pada pasein pediatri yaitu
gagal napas sehingga membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang,
obstruksi jalan napas atas dan memberikan akses untuk pulmonary toilet.
Survei yang dilakukan pada 85 ahli otolaringologi anak yang melakukan
lebih dari 2000 trakeostomi menunjukkan bahwa 40% trakeostomi pada
anak dilakukan atas indikasi kebutuhan pada ventilasi jangka panjang, 30%
obstruksi jalan napas ekstratorakal, 20% pada disfungsi neurologis dan 10%
obstruksi jalan napas intratorakal. Wermore dkk mendapatkan bahwa
intubasi jangka panjang merupakan indikasi primer trakeostomi pada 53%
pasien, obstruksi jalan napas pada 39% pasien dan sisanya yaitu pulmonary
toilet. Pada suatu penelitian, bayi dan anak usia muda paling sering
dilakukan trakeostomi pada keadaan anomali kongenital, prematuritas,
penyakit paru, atau beberapa kombinasi penyakit, sedangkan pada remaja,
trauma menjadi indikasi paling sering dilakukannya trakeostomi. Pada
anak-anak, gagal napas dan kebutuhan ventilator jangka panjang sering
diakibatkan oleh prematuritas dan displasia bronkopulmoner. Pada
penelitian yang dilakukan pada neonatus preterm, trakeostomi dilakukan
pada 73% neonatus dengan ketergantungan ventilasi jangka panjang, 18%
pada obstruksi jalan napas dan 9% untuk pulmonary toilet. Obstruksi jalan
napas atas pada anak dapat disebabkan oleh abnormalitas kraniofasial atau
struktural jalan napas atas atau obstruksi akibat hipotonia sekunder pada
penyakit neurologis atau neuromuscular. Beberapa keadaan yang menjadi
indikasi trakeostomi pada anak dijelaskan pada tabel dibawah ini1,5,6,12

11
Tabel 1. Indikasi trakeostomi pada anak akibat obstruksi jalan napas, penggunaan intubasi
jangka panjang dan pulmonary toilet1
Obstruksi Jalan Napas Atas Intubasi Jangka
Stenosis Laring Panjang/Gagal Napas
Stenosis subglotis Prematuritas
Stenosis glotis posterior Displasia bronkopulmoner
Stenosis Trakeal Anomali jantung congenital
Laringomalasia berat Pulmo hipoplasti
Trakeomalasia berat Trauma
Mikrognatia Cedera otak traumatik
Makroglosia Perdarahan pulmonal
Laryngeal web Flail chest
Paralisis plika vokalis Infeksi/Inflamasi
Hidrosefalus Pneumonia
Malformasi Chiari Bronkiolitis
Sindrom mobius Meningitis
Idiopatik Ensefalitis
Iatrogenik Neoplasma
Sindrom Kraniofasial Tumor otak
Kelainan Pierre-Robin Tumor medula spinalis
Sindrom Treacher-Collin Gangguan neurologis
Sindrom Ensefalopati hipoksik
Beckwith- iskemik
Wiedemann Miastenia gravis
Malformasi Vaskular Sindrom Guillain-Barre
Limfatik Hipoventilasi
Trauma pusat/gangguan
Fraktur laring respirasi
Trauma laring atau trakea
Trauma fasialis dengan Pulmonary Toilet
edema berat pada Gangguan Neurologis
jaringan lunak Ensefalopati
Trauma pada nervus statis/cerebral palsy

12
laringeus Ensefalopati hipoksik
rekuren iskemik
Infeksi/Inflamasi Gangguan neuromuscular
Epigotitis Cedera otak traumatik
Laringotrakeobronkitis Hipotonia
Difteri Aspirasi Sekunder Akibat
Tetanus Paralisis Plika Vokalis
Ludwig angina Aspirasi Sekunder Akibat
Neoplasma Penurunan Sensasi Laringeal
Tumor laring
Tumor trakea
Tumor besar pada kavitas
oral/orofaring
Papilomatosis berat
Hemangioma subglotis
Hipotonia Sekunder
Penyakit neurologis
neuromuskular
Obstructive sleep apnea
berat

Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh lesi kongenital atau


didapat. Lesi yang menyebabkan obstruksi jalan napas antara lain kelainan
mulai dari bagian proksimal hingga trakea, termasuk keadaan yang
mempengaruhi hidung dan mulut (seperti kelainan Robin dan abnormalitas
kraniofasial), lesi yang mempengaruhi laring secara langsung (seperti
laringomalasia dan paralisis plika vokalis) serta lesi yang dapat terjadi pada
berbagai lokasi pada jalan napas (neoplasma seperti hemangioma dan
limfangioma), selain itu, obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh
infeksi dan trauma fisik, kimia serta luka bakar, defisit neurologis yang
dapat mempengaruhi kemampuan pasien dalam bernapas, mengunyah,
batuk dengan efektif atau keadaan yang mengganggu proteksi jalan napas.
Penggunaan alat bantu ventilasi yang lama dibutuhkan pada penyakit paru

13
seperti displasia bronkopulmoner pada bayi prematur, untuk menangani
keadaan gagal napas secara langsung maupun tidak langsung, penyakit
yang berkaitan dengan abnormalitas neurologis kongenital atau didapat,
abnormalitas pulmoner serta kardiovaskular. Pada pasien dewasa,
trakeostomi dilakukan bila intubasi telah dilakukan lebih dari 10 hari,
namun durasi “intubasi jangka panjang” pada anak sulit diperkirakan,
bergantung pada keadaan pasien, karena beberapa anak dapat mentoleransi
penggunaan intubasi dalam waktu beberapa minggu hingga bulan tanpa
komplikasi lanjut pada laring, namun penggunaan intubasi dalam jangka
waktu lama pada anak dapat berakibat pada perkembangan normal anak dan
dapat menyebabkan gangguan laringotrakeal. Trakeostomi diperlukan pada
obstruksi jalan napas dimana intubasi laring tidak mungkin dilakukan,
untuk mempertahankan ventilasi tekanan positif dalam jangka waktu lama,
terutama pada neonatus preterm dan kondisi yang dapat menyebabkan
kerusakan otak, penyakit sistem saraf pusat dan luka bakar luas.9,13,14

Tabel 2. Indikasi trakeostomi pada anak1,13,15

Penyakit Keterangan

Kongenital Paresis plika Imobilitas plika


vokalis bilateral vokalis
menyebabkan plika
dalam posisi
paramedian
sehingga
membatasi aliran
udara pada jalan
napas
Stenosis subglotis Penyempitan pada
kongenital region subglotis
Atresia laring atau Web biasanya
laryngeal web ditemukan pada
bagian anterior

14
laring dan dapat
ditemukan dalam
berbagai derajat
dan ketebalan
Hemangioma Sama seperti nevus
subglotis “strawberry”
kutaneus yang
tumbuh pada awal
masa kehidupan
namun biasanya
mengalami reseksi
seiring waktu

Didapat Stenosis subglotis Berkaitan dengan


didapat intubasi dalam
jangka waktu lama
yang menyebabkan
penyempitan pada
subglotis
Papiloma Warty sekunder
akibat infeksi virus
Human papiloma
yang dapat
menyebabkan
obstruksi jalan
napas
Kista subglotis Kista yang
berkaitan dengan
riwayat intubasi
sebelumnya
Stenosis trakea

15
Paresis plika
vokalis
Luka bakar atau
trauma pada regio

2.5 Teknik Trakeostomi Pada Anak


Trakeostomi pada anak harus dilakukan dalam anestesi umum di
ruang operasi, kecuali bila kasus gawat darurat yang mengancam nyawa.
Bila memungkinkan, prosedur ini dilakukan dalam keadaan pasien
terintubasi dengan kanul endotrakeal untuk mengontrol jalan napas. Bila
terdapat obstruksi jalan napas yang signifikan dan intubasi endotrakeal
tidak memungkinkan namun bronkoskopi ventilasi rigid dapat diinsersi,
prosedur ini dilakukan dengan bronkoskopi. Laryngeal mask airway (LMA)
juga dapat digunakan bila intubasi endotrakeal tidak dapat dilakukan dan
bronkoskopi rigid tidak tersedia. Pada anak-anak, trakeostomi dalam
keadaan sadar tanpa kontrol jalan napas hanya dilakukan pada keadaan
yang mengancam nyawa, saat intubasi endotrakeal, bronkoskopi rigid dan
LMA tidak dapat dilakukan. Trakeostomi perkutaneus tidak biasa dilakukan
pada anak-anak. Pasien dalam posisi supinasi diatas meja operasi dengan
bantalan pada bahu untuk mengekstensikan leher. Pada anak-anak dengan
leher yang pendek atau lemak submental yang signifikan, dapat digunakan
perekat untuk mempertahankan submental pannus dan posisi kepala.
Lakukan palpasi pada leher serta tandai kartilago krikoid, tonjolan tiroid
dan sternal. Laring bayi terletak lebih tinggi dibandingkan anak-anak dan
dewasa, kartilago tiroid lebih lebar dan kartilago krikoid biasanya
merupakan struktur yang paling menonjol saat palpasi. Insisi kulit ditandai
antara level tonjolan sterna dan kartilago krikoid. Lakukan anestesi lokal
pada kulit dengan cara infiltrasi menggunakan epinefrin.1,13

16
Gambar 4. Pasien diposisikan dengan bantalan bahu, head ring dan perekat submental16

Park dkk mengemukakan bahwa jenis insisi pada trakea berpengaruh


terhadap pertumbuhan dan patensi trakea. Terdapat empat jenis insisi yang
sering dilakukan pada prosedur trakeostomi yaitu insisi vertikal, insisi
inferiorly based flap atau U terbalik atau flap Bjork, insisi horizontal dan
insisi palang (starplasty). Insisi vertikal merupakan insisi standar yang
paling sering dilakukan dan digunakan bila trakeostomi hanya
dipertahankan selama beberapa minggu. Jahitan penahan trakea akan
mempermudah identifikasi lumen trakea bila kanul terlepas (accidental
decannulation). Teknik inferiorly based flap atau U terbalik atau flap Bjork
menggunakan dua cara insisi yaitu insisi horizontal dan vertikal. Insisi
horizontal dibuat pada dinding anterior trakea yaitu pada cincin trakea ke 2-
3, ke 3-4 atau 5-6. Flap dibentuk dengan membuat dua buah insisi vertikal
yang kemudia disatukan pada ujung horizontal dan melewati dua buah
cincin. Lebar flap sama dengan lebar kanul, flap kemudian dijahitkan pada
jaringan subkutan dan dermis dibagian inferior. Teknik dengan insisi Bjork
ini lebih sering dihindari pada pasien pediatri. Insisi palang (starplasty)
dibuat berdasarkan geometri Z plasty 3 dimensi. Pertama dibuat insisi
berbentuk huruf X pada kulit dan kemudia dilanjutkan dengan insisi
berbentuk + pada trakea diikuti dengan penjahitan flap kesekelilingnya.
Insisi ini diindikasikan pada trakeostomi jangka panjang (misal pada
penyakit neurologis) dan permanen. Insisi horizontal, teknik insisi ini
mempersulit pemasangan kanul (rekanulasi) dan meningkatkan angka
kolaps suprastomal.1,13,17

17
Gambar 5. Insisi vertikal pada trakea; Flap Bjork17

Gambar 6. Teknik insisi palang (starplasty)17

Lakukan insisi horizontal ataupun vertikal. Lemak subkutan yang


berlebihan pada insisi dapat dibuang dengan menggunakan elekrokauter.
Fasia platysma dibagikan atau ditarik kemasing-masing sisi. Otot disekitar
insisi kemudian ditarik dan diretraksi secara vertikal. Ismus tiroid dapat
diretraksi secara superior atau inferior, atau ditarik ke dua sisi. Bila ismus
tiroid berada pada lokasi dimana insisi pada trakea harus dilakukan, ismus
harus diinsisi menjadi 2 bagian dengan menggunakan elektrokauter dan
diligasi. Kemudian lakukan palpasi sesering mungkin pada trakea selama
prosedur dilakukan untuk memastikan trakea berada di garis tengah. Trakea
anak-anak lebih lunak dan memiliki mobilitas lateral lebih dibandingkan
dewasa, sehingga penting untuk memasikan disekesi dilakukan pada garis
tengah dengan trakea menjadi bagian pusat pada apang operasi. Diseksi
lateral yang berlebihan harus dihindari untuk meminimalkan udara
subkutan dan mengurangi risiko trauma pada pleura atau nervus laringeal
rekuren. Saat menggunakan elektrokauter selama trakeostomi, fraksi
oksigen inspirasi harus dibawah 30% untuk mencegah surgical fire.1,13,15

18
Gambar 7. Posisi trakeostomi yang tepat pada pasien anak. Pasien berada pada posisi
supinasi dengan bantalan bahu untuk mengekstensikan leher, kemudian beri tanda pada
kartilago krikoid, tonjolan sterna dan insisi pada kulit1

Pada bayi dan anak yang lebih kecil, insisi vertikal pada trakea lebih
dipilih. Insisi vertikal dapat mengurangi insiden kolaps suprastoma dan
stenosis trakea. Pada anak yang lebih tua dan remaja, insisi vertikal pada
trakea atau insisi dengan dasar flap inferior dapat dilakukan. Wald dkk
mengemukakan bahwa flap trakea dengan basis inferior harus dilakukan
pada semua pasien pediatric, namun sebuah survei mendapatkan bahwa
sebagian besar ahli lebih memilih insisi vertikal. Insisi vertikal pada trakea
dibuat antara cincin kedua dan ketiga. Jahitan retensi (jahitan permanen)
dilakukan pada posisi paramedian masing-masing sisi insisi untuk
mempertahankan insisi terbuka pada trakea selama operasi dan
memfasilitasi penggantian kanul (tube) bila dekanulasi darurat harus
dilakukan pada periode awal pasca operasi, sebelum terbentuknya traktus
stoma trakeostomi yang matur.1,18,19

19
Gambar 8. Lakukan identifikasi otot disekitar insisi1

Gambar 9. (a) Otot dibagi menjadi dua secara vertikal pada garis tengah dan lakukan retraksi.
(b) Lakukan paparan pada trakea dan tandai insisi vertikal pada garis tengah1

Gambar 10. Ismus tiroid dibagi. Bila ismus tiroid berada pada posisi insisi trakea harus
dilakukan, ismus harus dibagi menjadi dua dan diligasi1

20
Gambar 11. Insisi vertikal pada trakea dilakukan antara cincin kedua dan ketiga. Jahitan
permanen dilakukan pada posisi paramedian pada masing-masing sisi insisi1

Pipa endotrakeal kemudian ditarik perlahan-lahan untuk melakukan


insersi trakeostomi, namun ujung pipa endotrakeal harus dipertahankan
dibawah glotis dan tidak boleh diangkat seutuhnya hingga kanul
trakeostomi berada pada posisi yang tepat dan aman. Bila kanul trakeostomi
telah berada pada posisi yang tepat dan telah dipastikan bahwa pasien
mendapatkan ventilasi yang adekuat melalui pipa, lakukan inspeksi ulang
pada lapang operasi untuk memastikan hemostasis baik, kemudian pipa
endotrakeal dapat dilepaskan secara utuh. Pemberian krim dapat dilakukan
pada leher untuk mencegah iritasi akibat ikatan kanul trakeostomi. Lakukan
ikatan kanul trakeostomi dengan kapas untuk melindungi trakea. Pada anak-
anak, dianjurkan untuk tidak menjahit sisi tepi kanul trakeostomi pada kulit
karena anak-anak lebih sering menggunakan kanul trakeostomi yang lebih
pendek, yang lebih mudah lepas dari trakea.1,13,17
Lakukan jahitan permanen (stay suture) dengan perekat (kanan dan
kiri) dan rekatkan pada dinding dada. Trakeoskopi fleksibel melalui kanul
trakestomi dapat dilakukan untuk memastikan bahwa kanul trakeostomi
berada pada posisi yang tepat terhadap karina. Pada pasien dengan intubasi
jangka panjang, laringoskopi direk dan trakeoskopi rigid dapat dilakukan
untuk melihat trauma atau inflamasi yang dapat terjadi pada region plika
vokalis, subglotis dan trakea suprastomal. Trakeostomi pediatri dapat
dilakukan dengan atau tanpa maturasi stoma. Maturasi stoma membutuhkan
jahitan pada ujung kulit pada kartilago trakea.1,13

21
Gambar 12. Lakukan jahitan permanen pada masing-masing sisi pada haris tengah dengan
insisi vertikal pada trakea1

Teknik maturasi stoma membutuhkan jahitan pada empat kuadran


atau flap kulit vertikal pada kartilago trakea, jahitan dengan basis flap
kartilago secara inferior pada kulit (flap Bjork) dan teknik stuplasti, dimana
empat flap kulit dimasukkan secara selang-seling diantara empat flp
kartilago trakea sesuai dengan prinsip Z-plasty. Suatu penelitian
menunjukkan bahwa maturasi stoma dapat mengurangi morbiditas
dekanulasi awal serta tidak meningkatkan insiden pembentukan fistula
trakeokutaneus. Kanul trakeostomi dengan stoma yang matur lebih mudah
dilepaskan pada dekanulasi awal pasca operasi, selain itu maturasi stoma
juga berkaitan dengan pembentukan jaringan granulasi dan fistula
trakeokutaneus.1,13,16

Gambar 13. (a) Lakukan penjahitan maturasi permanen pertama. (b) buat stoma dengan
empat jahitan maturasi16

22
Pilihan kanul trakeostomi tergantung pada usia dan ukuran anak serta
status respirasi pasien. Pasien yang membutuhkan ventilasi tekanan positif
membutuhkan kanul trakeostomi yang ketat (snug-fitting) atau kanul yang
terkunci (cuffed tube) untuk mencegah kebocoran udara yang terlalu besar
disekitar kanul yang akan mempersulit ventilasi. Meskipun diperlukan
ventilasi tekanan positif, anak-anak yang lebih kecil sering diberikan
ventilasi menggunakan uncuffed tube, yang mencegah masalah yang
berkaitan dengan cuff, seperti overinflasi, trauma mukosa dan stenosis
trakea. Pada anak-anak yang tidak membutuhkan ventilator, dapat
digunakan kanul trakeostomi yang lebih kecil, yang memberikan tekanan
lebih kecil pada dinding trakea dan mempermudah aliran udara disekitar
kanul trakeostomi sehingga memungkinkan proses fonasi dan penggunaan
katup plika (speaking valve).1,13,17

Gambar 14. (a) Kanul trakeostomi pada posisi yang tepat dengan jahitan permanen.
(b) Posisi kanul trakeostomi yang tepat1

2.6 Kanul Trakeostomi Pada Anak


Kanul trakeostomi pada anak-anak berbeda dengan kanul pada
dewasa. Terdapat beberapa merk dan jenis kanul trakeostomi pediatri yang
sering digunakan. Kanul trakeostomi ini tersedia dalam lebar, panjang,
material berbeda, dengan atau tanpa balon (cuff). Terdapat kanul
trakeostomi pediatri metal (Jackson and Hollinger), walaupun jarang
digunakan dan hanya digunakan pada keadaan tertetu seperti selama
prosedur rekonstruksi jalan napas. Ukuran kanul trakeostomi dibuat
berdasarkan diameter bagian dalam kanul. Ukuran kanul trakeostomi anak
dirancang dengan khusus yaitu mulai dari ukuran 00 lebih kecil
dibandingkan ukuran 0. Ukuran ini didesain sesuai dengan perkiraan

23
diameter dalam, sama seperti desain pada pipa endotrakeal. Kanul neonatal
sama dengan kanul trakeostomi pada anak-anak pada diameter bagian
dalam dan luar, namun memiliki panjang lebih pendek dibandingkan kanul
trakeostomi pada anak-anak. Diameter bagian dalam yang lebih kecil untuk
kanul trakeostomi neonatal dan pediatri membuat kanula bagian dalam
impractical, sehingga saat membersihkan dan mengganti kanul trakeostomi,
kanul harus diangkat seluruhnya. Kanul trakeostomi dengan balon inflasi
dan self-expanding foam cuff tidak biasa digunakan, namun diindikasikan
pada beberapa pasien, seperti pada pasien yang membutuhkan tekanan yang
tinggi pada jalan napas. Kanul trakeostomi pediatri tidak berfenestrasi.
Penghubung eksternal biasanya tersedia dalam satu ukuran, sehingga sering
relatif lebih besar pada leher bayi, dan dapat melekat pada sirkuit ventilator
yang sama, katup bicara (speaking valve) dan hidung artificial (artificial
nose). Beberapa kanul trakeostomi memiliki ekstensi anterior ke pinggir
(flange) trakeostomi, mempermudah adaptor terproyeksi sehingga
mengurangi angka insidensi komplikasi akibat posisi dan pergerakan dagu
pasien.1,9

Tabel 3. Ukuran kanul trakeostomi berdasarkan usia dan diameter dalam kanul13
Usia Trakea (diameter Diameter Bagian
transversum, mm) Dalam Kanul
Trakeostomi (mm)
Preterm – 1 bulan 5 2,5-3
1-6 bulan 5-6 3,5
6-18 bulan 6-7 4
18 bulan-3 tahun 7-8 4,5
3-6 tahun 8-9 5
6-9 tahun 9-10 5,5
9-12 tahun 10-13 6
12-14 tahun 13 7

24
Jenis-jenis kanul trakeostomi antara lain kanul dengan cuff, kanul
tanpa cuff, fenestrated tube dan trakeostomi dengan extended tube. Kanul
dengan cuff diindikasikan pada pasien yang membutuhkan ventilasi tekanan
positif yang cukup tinggi. Tekanan udara dalam cuff dipertahankan 20-25
mmHg, jika tekanan lebih tinggi dapat menekan kapiler, menyebabkan
iskemia mukosa dan stenosis trakea. Jika tekanan cuff lebih rendah dapat
menyebabkan mikroaspirasi dan meningkatkan risiko pneumonia
nosokomial. Kanul jenis ini relatif dikontraindikasikan pada anak-anak usia
kurang dari 12 tahun karena adanya risiko kerusakan perkembangan
membran trakea. Komplikasi dari kanul ini adalah adanya gangguan
menelan karena balon akan menghalangi elevasi laring saat proses menelan
sehingga tidak ada proteksi dari aspirasu sekret. Kanul tanpa cuff biasanya
digunakan pada pasien yang tidak membutuhkan ventilasi tekanan positif
jangka lama, tidak adanya risiko aspirasi seperti pada pasien yang
mengalami paralisis plika vokalis, tumor kepala dan leher serta gangguan
neuromuskular. Fenestrated tubes memiliki 1 atau beberapa lubang pada
lengkung kanul, yang tersedia dengan atau tanpa balon. Trakeostomi
dengan extended tube biasanya digunakan pada pasien anak dengan
pembesaran kelenjar tiroid atau pasien yang mengalami penebalan jaringan
lunak leher, trakeomalasia, stenosis trakea pada level yang rendah karena
memiliki ukuran lebih panjang dibandingkan kanul jenis lain.1,13
Sebagian besar kanul trakeostomi memiliki balon (cuff). Untuk pasien
yang membutuhkan ventilasi intermiten, Bivona memiliki kanul
trakeostomi dengan balon yang melekat erat pada kanul, balon didesain
agar mengembang sangat dekat dengan kanul sehingga meminimalisasi
kontak langsung dengan dinding trakea bila tidak digunakan, serta memiliki
ekstensi kearah anterior sehingga mencegah oklusi lumen kanul trakeostomi
oleh lemak subkuan yang berlebihan. Bivona juga memiliki kanul
trakeostomi hiperinfasi yang terbuat dari silicon kawat sehingga dapat
digunakan untuk memastikan bentuk jalan napas dan cocok untuk pasien
dengan skoliosis berat.1,13

25
Gambar 15. Kanul trakeostomi neonatus memiliki diameter bagian dalam dan luar yang
hampir sama dibandingkan kanul trakeostomi pada dewasa, namun lebih pendek. (b) Kanul
trakeostomi pediatri standar (kiri atas), kanul trakeostomi flextend (3 kanul di kanan),
kanul trakeostomi hiperfleks (kiri)1

2.7 Komplikasi Trakeostomi Pada Anak


Trakeostomi pada anak memiliki insiden komplikasi yang cukup
tinggi dibandingkan pada dewasa. Komplikasi trakeostomi pada anak
dibagi menjadi komplikasi intraoperatif, komplikasi awal dan lanjut pasca
operasi. Komplikasi awal pasca operasi terjadi pada minggu pertama pasca
tindakan dan terjadi sekitar 5-28% serta untuk komplikasi lanjut pasca
operasi dilaporkan terjadi pada 63,5% tindakan. Komplikasi intraoperatif
yang sering terjadi yaitu perdarahan. Teknik diseksi dan kontrol perdarahan
dengan menggunakan elektrokauter, dapat mencegah perdarahan
intraoperatif. Komplikasi intraoperatif lain yang dapat terjadi yaitu

26
emfisema, pneumomediastinum, pneumotoraks, trauma esofagus, trauma
pada nervus laringeal rekuren, kesulitan ventilasi dan kejadian
kardiopulmoner. Udara interstisial seperti emfisema subkutan dapat dicegah
dengan menghindari jahitan pada ujung insisi kulit dan melakukan insisi
pada garis tengah trakea, tidak terlalu lateral. Pneumomediastinum dan
pneumotoraks dapat terjadi sebagai kejadian lanjut emfisema subkutan atau
akibat trauma pada pleura selama prosedur trakeostomi. Pada bayi, apeks
paru dapat memanjang hingga keatas klavikula. Ruptur alveoli disebabkan
oleh batuk yang berlebihan sesaat pasca operasi atau akibat meningkatnya
tekanan negatif intratorakal yang juga dapat menyebabkan
pneumomediastinum dan penumotoraks. Emfisema subkutan dan
pneumomediastinum secara umum dapat mengalami perbaikan spontan.
Pneumotoraks ringan dapat diobservasi saja, namun pneumotoraks yang
lebih berat membutuhkan pemasangan kanul trakeostomi. Trauma esofagus
dan fistula trakeoesofageal dapat terjadi intraoperatif, dan biasanya dicegah
dengan tidak melakukan insisi pada dinding anterior trakea terlalu dalam,
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding posterior trakea (trakea
membranosa), menghindari penekanan pada kanul trakestomi ke trakea dan
melepaskan kanul esofagus untuk makan selama tindakan. Trauma pada
nervus laringeal rekuren dapat dihindari dengan mencegah diseksi terlalu
dekat dengan garis tengah.1,2,5,14
Komplikasi awal pasca trakeostomi berupa terlepasnya kanul
(accidental decannulation) (3.3-11.6%) dan oklusi kanul trakeostomi (1.8-
9.9%) sering menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas.
Obstruksi kanul trakeostomi lebih sering terjadi pada bayi prematur atau
bayi baru lahir dibandingkan anak usia lebih dari 1 tahun. Hal ini terjadi
akibat ukuran kanul trakeostomi yang lebih kecil, selain itu bayi prematur
lebih sering mengalami displasia bronkopulmoner yang dapat menyebabkan
sekresi bronkial lebih kental. Penyebab tersering obstruksi yaitu akumulasi
mukus dan krusta pada lumen, yang dapat diatasi dengan suction berkala
dengan humidifikasi yang adekuat. Rusaknya jahitan stoma atau selulitis
stoma dapat terjadi pada periode awal dan lanjut. Pada suatu penelitian,

27
komplikasi ini terjadi pada 29% kasus pasca trakeostomi. Penting untuk
meminimalisir tekanan dari jalur ventilator pada kanul trakeostomi.
Perawatan luka yang adekuat dapat mencegah terbukanya jahitan stoma.
Pemberian triple antibiotik lokal dapat mengatasi infeksi ringan dan
jaringan granulasi disekitar stoma. Dua komplikasi lanjut yang sering
terjadi adalah pembentukan jaringan granulasi peristomal (6.1-26.7%) dan
jaringan granulasi suprastomal (38.7-48.8%). Jaringan granulasi dapat
menyebabkan perdarahan, kesulitan penggantian kanul trakeostomi dan
obstruksi suprastomal. Jaringan granulasi peristomal dapat diatasi dengan
pemberian triple antibiotik topikal atau katerisasi dengan nitrat silver.
Jaringan granulasi peristomal yang berat dapat menyebabkan stenosis
stomal trakeostomi yang membutuhkan perbaikan stoma. Obstruksi akibat
jaringan granulasi suprastomal dapat diatasi dengan berbagai teknik, seperti
eksisi terbuka, eksisi endoskopi dengan forsep optikal atau eksisi melalui
stoma.1,4,14
Granuloma juga dapat ditemukan pada ujung kanul trakeostomi dan
dapat mengancam nyawa pada lokasi ini karena menyebabkan obstruksi
total. Obstruksi granulasi seperti ini dapat diatasi dengan pengangkatan
menggunakan endoskopi dengan berbagai teknik seperti forsep optikal atau
laser. Steroid topikal dapat diberikan melalui kanul trakeostomi untuk
mengurangi beratnya jaringan granulasi trakea. Kolaps kartilago
suprastomal merupakan komplikasi lanjut lainnya. Kolaps yang ringan
biasa terjadi dan bukan suatu masalah, namun kolaps berat dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas dan dapat mengurangi tingkat
keberhasilan dekanulasi pada 2.4-18% kasus. Kolaps suprastomal yang
berat dapat diatasi dengan eksisi endoskopi dengan eksisi parsial laser pada
segmen yang kolaps, penjahitan suspensi trakea dan rekonstruksi laring
menggunakan graft kartilago anterior. Komplikasi serius lainnya yaitu
stenosis trakea yang dapat disebabkan oleh tekanan pada ujung distal atau
balon kanul trakeostomi akibat infeksi atau inflamasi. Selain itu,
trakeomalasia dapat juga terjadi.1,2,10

28
Terbentuknya fistula arteri trakeo-inominasi merupakan komplikasi
yang menjadi kasus gawat darurat dan memiliki tingkat mortalitas yang
tinggi. Fistula arteri ini berasal dari aorta dan menyilang trakea, baik
melalui sternum dalam atau bagian inferior leher. Tekanan pada dinding
trakea anterior yang berasal dari ujung kanul trakeostomi atau balon dapat
menyebabkan erosi dan menjadi faktor predisposisi pembentukan fistula
arteri. Penatalaksanaan definitif kasus ini membutuhkan sternotomi dan
ligasi pada arteri inominasi. Fistula trakeokutaneus persisten setelah
dekanulasi terjadi pada 2.5-37.1% kasus dan lebih sering terjadi pada pasien
dengan trakeostomi jangka panjang. Secara umum, tingkat mortalitas anak
dengan trakeostomi sebesar 13-40%, namun kematian ini biasanya
disebabkan oleh penyakit dasar yang menjadi indikasi dilakukannya
trakeostomi, dibandingkan akibat tindakan trakeostomi. Tingkat mortalitas
anak dengan trakeostomi di Spanyol dilaporkan sekitar 12,5%, sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Karapinar dkk mendapatkan bahwa dari
keseluruhan angka mortalitas anak yang mencapai 32,2% hanya 3,2%
mortalitas pada anak dengan trakeostomi. Trakeostomi anak dengan
indikasi obstruksi jalan napas atas memiliki tingkat mortalitas yang lebih
rendah dibandingkan dengan anak dengan penyakit paru kronik, kelainan
neurologis atau keduanya. Tabel dibawah ini memperlihatkan komplikasi
yang dapat terjadi pada tindakan trakeostomi pediatri1,7,10,12,20

Tabel 4. Komplikasi tindakan trakeostomi pada anak1,9,19


Komplikasi Intraoperatif
Perdarahan
Emfisema subkutan
Pneumomediastinum
Pneumotoraks
Trauma esofagus
Terbentuknya jalur yang salah
Trauma nervus laringeal rekuren
Kejadian kardiopulmonal
Kematian

29
Komplikasi Awal Pasca Operasi (<7 hari)
Terlepasnya kanul trakeostomi (accidental tracheostomy)
Oklusi kanul trakeostomi
Perdarahan
Emfisema subkutan
Pneumomediastinum
Pneumotoraks
Terbentuknya jalur trakeostomi yang salah
Terbukanya stoma atau selulitis stoma
Erosi kulit leher
Trakeitis
Komplikasi Lanjut Pasca Operasi
Terlepasnya kanul trakeostomi (accidental tracheostomy)
Oklusi kanul trakeostomi
Jaringan granulasi peristomal
Jaringan granulasi suprastomal
Selulitis stoma
Stenosis stoma trakeostomi
Stenosis supraglotis
Trakeomalasia
Trakeitis
Stenosis trakea
Jaringan granulasi trakea
Perdarahan jalan napas
Fistula arteri trakeo-inominasi
Fistula trakeokutaneus persisten

2.8 Perawatan Kanul Trakeostomi Pada Anak


Pasien pediatri harus dirawat di ruang rawat intensif paling tidak
selama 5-7 hari setelah trakeostomi hingga penggantian kanul trakeostomi
yang pertama dapat dilakukan. Jika diperlukan, pasien harus dipertahankan
dalam keadaan sedasi hingga penggantian kanul trakeostomi pertama

30
dilakukan, untuk mencegah terlepasnya kanul (accidental decannulation).
Penghisapan sekret (suctioning) melalui kanul trakeostomi harus dilakukan
setiap 1-2 jam dalam beberapa hari awal untuk mencegah sumbatan sekret.
Ventilator harus dijaga agar tidak menyebabkan traksi pada kanul
trakeostomi yang dapat menyebabkan terlepasnya kanul (accidental
decannulation) atau erosi stoma. Penggantian kanul trakeostomi yang
pertama, setelah 5-7 hari, harus dilakukan oleh ahli agar dapat menentukan
apakah traktus stoma sudah cukup baik untuk dilakukan perawatan dirumah
oleh tenaga non ahli. Setelah penggantian kanul trakeostomi yang pertama,
jahitan pada kanul dapat diganti dengan benang yang lebih kecil dan
lembut, dan setelah hari kelima-ketujuh, setelah stoma trakeostomi
terbentuk sempurna, jahitan dapat dilepaskan. Foto toraks dapat dilakukan
pasca trakeostomi untuk memastikan posisi dan panjang trakeostomi
terhadap karina dan untuk menyingkirkan adanya pneumomediastinum dan
pneumotoraks.1,3,19,21
Anak dengan trakeostomi tanpa ventilator mulai dapat makan per oral
pada hari pertama paska trakeostomi. Bila terdapat risiko aspirasi atau
disfagia, harus dilakukan pemeriksaan lanjut pada kemampuan mengunyah
dan menelan oleh terapis. Namun bila risiko menetap, maka perlu dilakukan
pemeriksaan tambahan seperti videofluoroscopic (barium) atau pemeriksaan
endoskopi optik fiber saat menelan (FEES). Setelah penggantian kanul yang
pertama, perawat pasien mulai belajar unutuk mengatasi beberapa masalah
yang dapat timbul antara lain sumbatan mukus, terlepasnya dekanulasi dan
resusitasi kardiopulmoner. Perawat diajarkan mengenai teknik penggantian
kanul, frekuensi penggantian kanul, teknik dan frekuensi penghisapan
sekret (suctioning), perawatan luka, mengenali tanda-tanda infeksi dan
distres pernapasan, prosedur gawat darurat dan aktivitas-aktivitas yang
boleh dilakukan oleh pasien. Alat-alat yang harus tersedia di rumah antara
lain oksigen, alat dan kateter penghisap sekret, cairan salin normal, monitor,
oksimetri, ambu bag, kanul trakeostomi dengan ukuran sama dan lebih
kecil dari yang terpasang. Penggantian kanul dapat dilakukan per minggu.
Penggantian kanul luar dilakukan bila terdapat obstruksi kanul, perubahan

31
posisi kanul, kerusakan cuff atau ukuran kanul tidak cocok, sedangkan
kanul dalam dapat dibersihkan dua kali sehari atau lebih sering sesuai
kebutuhan pasien untuk mencegah obstruksi. Beberapa ahli otolaringologi
anak, biasanya melakukan pemeriksaan endoskopi rutin dalam interval 3-6
bulan untuk mencegah timbulnya komplikasi. Pasien dengan trakeostomi
harus dilakukan humidifikasi agar transpor mukosilier baik dan mencegah
obstruksi akibat sekret, yang dapat dilakukan menggunakan cold water
humidifier, hot water humidifier, heat and moisture exchange ((HME),
protektor stoma dan nebulisasi. Sebagai kesimpulan, perawatan trakeostomi
meliputi humidifikasi, penghisapan sekret (suctioning), penggantian kanul
serta pemberian antibiotik profilaksis (bila terdapat tanda-tanda infeksi dan
setelah dilakukan kultur serta tes sensitivitas).3,10,19,21

2.9 Dekanulasi
Indikasi trakeostomi mempengaruhi keberhasilan dekanulasi. Pada
suatu penelitian, pasien dengan abnormalitas kraniofasial memiliki tingkat
keberhasilan dekanulasi yaitu 63%. Pasien dengan intubasi jangka panjang
memiliki tingkat keberhasilan dekanulasi sebesar 47% dan pasien dengan
gangguan neurologis hanya memiliki tingkat keberhasilan dekanulasi
12,5%. Agar dekanulasi berhasil, harus ada perbaikan yang adekuat atau
resolusi pada keadaan yang menjadi indikasi trakeostomi, baik gagal napas,
ventilasi jangka panjang, obstruksi jalan napas atas atau perlunya akses
pulmonary toilet. Sebelum melakukan dekanulasi, pemeriksaan endoskopi
pada jalan napas menggunakan laringoskopi fiberoptic fleksibel,
laringoskopi direk dan bronkoskopi rigid harus dilakukan untuk
memastikan tidak ada obstruksi suprastomal dari jaringan granulasi atau
kolaps kartilago, untuk melihat fungsi plika vokalis dan menentukan tidak
adanya obstruksi jalan napas lain yang dapat menghambat keberhasilan
dekanulasi. Kanul trakeostomi diganti dengan ukuran yang lebih kecil
(downsizing) sehingga tersedia ruangan pada jalan napas untuk respirasi.
Kanul trakeostomi kemudian disumbat, dibawah supervisi, untuk
menentukan apakah pasien dapat bernapas dengan mudah melalui laring

32
dan jalan napas atas. Percobaan penyumbatan trakeostomi ini dapat
dilakukan di rumah selama anak terbangun, bila percobaan ini berhasil
maka dilakukan percobaan pada anak di ruang intensif selama malam hari
saat anak dalam keadaan tidur. Apabila percobaan ini ditoleransi dengan
baik maka dapat dilakukan dekanulasi dengan observasi. Saat kanul
trakeostomi diangkat, berikan penutup (dressing) dengan tekanan minimal
pada area stoma. Bila ditemukan obstruksi jalan napas yang signifikan,
kolaps jalan napas atau obstructive sleep apnea, dapat dilakukan
polisomnogram dengan kanul trakeostomi tersumbat, sebelum melakukan
dekanulasi. Follow up harus dilakukan selama kurang lebih 1 bulan setelah
dekanulasi untuk menentukan kemampuan anak untuk mempertahankan
patensi jalan napas tanpa trakeostomi.1,3,13,16,18,22

33
BAB III
SIMPULAN

Trakeostomi merupakan prosedur operatif dalam mengatasi sumbatan jalan


napas dengan membuka trakea dan melakukan insersi kanul yang memungkinkan
pertukaran udara trakea dan bagian eksternal terjadi langsung. Prosedur ini lebih
sulit dilakukan pada pasien pediatri dibandingkan pasien dewasa, karena pasien
pediatri memiliki anatomi trakea yang lebih kecil dan lunak serta lapang operasi
yang lebih sempit. Berdasarkan insidensi trakeostomi pada anak lebih sering pada
anak laki-laki (65%) dengan median umur 120 bulan (antara 28 hari hingga 216
bulan) dan rata-rata umur 9,8 ± 6 tahun, indikasi paling sering yaitu obstruksi
jalan napas atas (37,7%), komplikasi awal yang sering terjadi yaitu terlepasnya
kanul (accidental decannulation) (4,2%), komplikasi lanjut yang paling sering
yaitu fistula trakeokutaneus dan terbentuknya jaringan granulasi suprastomal,
serta angka kesuksesan dekanulasi pasien yaitu 13,2%. Terdapat tiga indikasi
utama trakeostomi pada pasien pediatri yaitu gagal napas sehingga membutuhkan
bantuan ventilasi jangka panjang, obstruksi jalan napas atas dan memberikan
akses untuk pulmonary toilet. Obstruksi jalan napas atas, kebutuhan ventilasi
jangka panjang dan hipotonia sekunder akibat kelainan neurologis merupakan
indikasi trakeostomi yang paling sering pada pasien anak. Trakeostomi dilakukan
dalam anestesi umum dengan melakukan insisi vertikal pada cincin trakea dan
insersi kanul trakeostomi. Komplikasi trakeostomi pada anak dibagi menjadi
komplikasi intraoperatif, komplikasi awal dan lanjut pasca operasi. Komplikasi
intraoperatif yang sering terjadi yaitu perdarahan, sedangkan komplikasi awal dan
lanjut pasca trakeostomi yang paling sering adalah terlepasnya kanul (accidental
decannulation) dan terbentuknya jaringan granulasi. perawatan trakeostomi

34
meliputi humidifikasi, penghisapan sekret (suctioning), penggantian kanul serta
pemberian antibiotik profilaksis. Indikasi trakeostomi mempengaruhi
keberhasilan dekanulasi. Dekanulasi dilakukan dengan mengganti kanul dengan
ukuran yang lebih kecil (downsizing) kemudian melakukan percobaan (trial
partial decannulation).

DAFTAR PUSTAKA

1. Simons JP. Pediatric Tracheotomy. In: Johnson JT, Rosen CA, editors.
Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5 th Ed. Vol 1.
Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins. 2014.p.1382-98.
2. Dal’ Astra Ap et al. Tracheostomy in Childhood: Review of Literature on
Complications and Mortality Over The Last Three Decades. Braz
Jotorhinolaryngol. 2017;83(2):207-14.
3. Fraga JC et al. Pediatric Tracheostomy. J Pediatr. 2009;85(2):97-103.)
Behrbohm H et al. Ear, Nose and Throat Disease. 3 rd Ed. New York:
Thieme, 2009.p.351-7.
4. Akdag M et al. Retrospective Analysis of Pediatric Tracheostomy. Hindawi
Publishing Corporation. 2014:1-4.
5. Itamoto CH et al. Indications and Complications of Tracheostomy in
Children. Braz J Otorhinolaryngol. 2010;76(3):326-31.
6. Lee W et al. Indications for Tracheostomy in the Pediatric Intensive Care
Unit Population. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2002;128:1249-52.
7. Ertugrul I et al. Tracheostomy in Pediatric Intensive Care Unit : When and
Where. Iran J Pediatr. 2016;26(1):1-5.
8. Adewale L. Anatomy and Assessment of The Pediatric Airway. Pediatric
Anesthesia. 2009;19(1):1-8.
9. Deutsch ES. Tracheostomy: Pediatric Consideration. Respiratory Care.
2010;55(8):1082-90.
10. Behrbohm H et al. Ear, Nose and Throat Disease. 3 rd Ed. New York:
Thieme, 2009.p.293-6.

35
11. Weathers E. The Anatomy of The Pediatric Airway. Educational
Consulting Services. 2010.p.1-21.
12. Barbato A et al. Tracheostomy in Children: An Ancient Procedure Still
Under Debate. Eur Respir J. 2012;40:1322-3.
13. Vaz F. Paediatric Tracheostomy. In: Russel C, Matta, editors.
Tracheostomy A Multiprofessional Handbook. New York: Cambridge,
Greenwich Medical Media. 2004.p.309-16.
14. Sheth R et al. Study of Indications and Complications of Tracheostomy in
Pediatric Age Group. International Journal of Medical Science and Public
Health. 2016;5(3):500-4.
15. Maheshwari PK, Khan MR, Haque A. Elective Tracheostomy in
Mechanically Ventilated Children. Journal of The College of Physicians
and Surgeons Pakistan. 2012;22(6):414-5.
16. Koch HI, Jonas N. Paediatric Tracheostomy. Atlas of Otolaryngology,
Head and Neck Operative Surgery.2013:1-10.
17. Novialdi, Azani S. Trakeostomi dan Krikotirotomi. Bagian Telinga Hidung
Tenggorokan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas. 2012.
18. Yu KC. Airway Management and Tracheotomy. In: Lalwani AK, editor.
Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck Surgery.
3rd Edition. New York: Mc-Graw Hill; 2012. p.536-42.
19. Dhillon RS, East CS. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery,
An Illustrated Colour Text. Toronto: Elsevier Churchill Livingstone.
2013.p.68-71.
20. Karapinar B, Arslan M, Ozcan C. Pediatric Bedside Tracheostomy in The
Pediatric Intensive Care Unit: Six Years Experience. The Turkish Journal
of Pediatrics. 2008;50:366-72.
21. Johnson T, Andrews L. Nursing Care of The Child With A Tracheostomy.
In: Russel C, Matta B. Tracheostomy: A Multiprofessional Handbook. San
Fransisco: Greenwich Medical Media. 2004.p.317-30.

36
22. Zalzal GH, Cotton RT. Glottic and Subglottic Stenosis. In: Flint PW et al,
editors. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5 th Ed, Vol 1.
Philadelphia: Elsevier. 2010.p.2912-24.

37

Anda mungkin juga menyukai