Anda di halaman 1dari 15

Etika Bahasa Jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik

Bagan 1. Etika Bahasa Jurnalistik

A. Pengertian Etika
Secara etimologis, berdasarkan yang diungkapkan Bertens dalam (Hikmat, 2011) etika
berasal dari bahasa Yunani Kuno, ethikos, yang berarti ‘timbul dari kebiasaan’. Ada juga yang
mengkategorikannya berasal dari kata ethos yang berarti ‘adat’ atau ‘kebiasaan’. Bentuk
jamaknya adalah la etha atau ta ethe yang bermakna ‘sama adat kebiasaan’.
Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari
terdapat perbedaan. Moral atau moralitas untuk perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika
untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah lain yang identik dengan etika adalah
susila dan akhlak. Susila (Sansekerta) lebih menunjukan kepada dasar-dasar, prinsip, dan
aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Akhlak (Arab) berarti moral dan etika berarti ilmu
akhlak menurut Ruslan dalam (dalam Lastra, 2011).
Menurut Ki Hajar Dewantara etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan
dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan
rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat
merupakan perbuatan. Sementara itu, menurut K. Bertens, etika dapat dibedakan dalam tiga
arti. Pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau niali moral. Maksudnya adalah kode etik. Ketiga,
etika adalah ilmu tentang apa yang baik atau buruk.
Dalam hukum dan masyarakat terdapat etika. Jika hukum berbicara tentang peraturan
tertulis dan bersifat memaksa, etika lebih banyak menyentuh peraturan tidak tertulis sebagai
hasil kesepakatan-kesepakatan dalam masyarakat yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi yang lain. Dalam etika tak ada kekuatan yang sifatnya memaksa. Etika berpulang
pada hati nurani setiap individu (Sumadiria, 2005: 228).

B. Pengertian Bahasa Jurnalistik


Menurut Jus Badudu dalam dalam (Nina, 2013), bahasa jurnalistik tunduk pada bahasa
baku. Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang paling luas
pengaruhnya dan paling besar wibawanya. Selanjutnya, dalam (Sarwoko, 2007) Jus Badudu
juga menyatakan bahwa bahasa jurnalistik itu harus sederhana; mudah dipahami; teratur; dan
efektif. Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami berarti menggunakan kata dan struktur
kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa umum. Bahasanya teratur berarti setiap kata
dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai dengan kaidah. Efektif mencirikan bahasa pers
haruslah tidak bertele-tele, tetapi tidak juga terlalu berhemat sehingga maknanya menjadi
kabur. Berdasarkan pendapat para pakar dan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahasa
jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur, atau pengolah
media massa dalam menyusun; menyajikan; memuat; menyiarkan; dan menayangkan berita
serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik dengan
tujuan mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya.

1
C. Ciri Bahasa Jurnalistik
Terdapat tujuh belas ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk
media massa, yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis,
populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan
kata (diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan
kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika (Sumadiria, 2005:53-61).
Ketujuh belas ciri bahasa jurnalistik menurut Sumadiria tersebut dijelasankan secara berturut-
turut di bawah ini.
1. Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang paling
banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari
tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan geografisnya. Kata-kata dan
kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan
dalam bahasa jurnalistik.
2. Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak
berputar-putar, atau tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau
kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat
terbatas, sedangkan isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekuensinya adalah apa pun pesan
yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik
pers.
3. Padat
Menurut. Patmono S K., redaktur senior Sinar Harapan, dalam buku Teknik Jurnalislik
(1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf
yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini
berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalinat yang
singkat tidak berarti memuat banyak informasi, sedangkan kaliamat yang padat, kecuali
singkat, juga mengandung lebih banyak informasi.
4. Lugas
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan
kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan
persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta
menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
5. Jelas
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak bias dan kabur. Analoginya adalah
warna hitam dan putih. Hitam adalah warna yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika
kedua warna itu disandingkan, terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula
yang disebut putih. Pada kedua warna itu sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu.
Perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa jelas sebagai ciri bahasa jurnalistik mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas
susunan kata atau kalimatnya (sesuai dengan kaidah subjek-objek-predikat-keterangan
(SPOK), dan jelas sasaran atau maksudnya.

2
6. Jernih
Jernih berarti transparan, jujur, dan tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang
bersifat negatif, seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan perbandingan, kita hanya dapat
menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium dengan air yang jernih
bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila dimasukkan
ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh.
Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan
kalimat yang tidak memiliki maksud tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan.
Kata dan kalimat harus merefleksikan suatu fakta, kebenaran, dan kepentingan publik. Dalam
bahasa kiai, jermh berarti berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari
prasangka buruk (suudzon). Menurut orang komunikasi, jernih berarti senantiasa
mengembangkan pola pikir positif dan menolak pola pikir negatif. Hanya dengan pola pikir
positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam
masyarakat dengan kepala dingin, hati jernih, dan dada lapang. Dengan begitu, informasi yang
disampaikan adak faktual, sesuai dengan fakta.
Pers (media massa secara umum) tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers
ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan,
kebenaran, kepentingan rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada hasutan pers
untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan
partai politik. Ini berarti pers tidak boleh memihak kepantingan individu tertentu atau
kelompok tertentu.
7. Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan
perhatian khalayak pembaca; memicu selera baca; serta membuat orang yang sedang
“tertidur”, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku.
Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan
karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada memunculkan
semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya
wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut
seniman.
Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan “senyuman” atau bahkan
“cubitan sayang”; bukan dengan “mimik muka tegang” atau “kepalan tangan dengan pedang”.
Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, tidak akan dan tidak boleh membangkitkan
kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang
harus provokatif, tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan kaidah normatif. Tidak semena-
mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif.
Nilai dan nuansa edukatif itu juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.
8. Demokratis
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis.
Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan
dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika
bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan
komunal sehingga sama sekali tidak dikenal pendekatan feodal sebagaimana dijumpai pada
masyarakat dalam lingkungan priyayi dan kraton.
Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun secara sama. Kalau dalam berita
disebutkan presiden mengatakan, kata mengatakan tidak bisa atau tidak harus diganti dengan

3
kata bersabda. Presiden dan pengemis keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa
jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar,
karikatur, atau teks foto.
Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang
sama di depan hukum sehingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang
berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value)
yang membedakan di antara keduanya. Salah satu penyebab bahasa Melayu dipilih dan
ditetapkan sebagai bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa
Indonesia memang sangat demokratis. Sebagai contoh adalah presiden makan, saya makan,
pengemis makan, dan kambing makan. Siapa pun subjek kalimatnya tetap menggukan kata
yang sama sebagai predikat kalimatnya.
9. Populis
Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat yang terdapat dalam karya-karya
jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca, pendengar,
atau. pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, yakni diterima dan diakrabi oleh semua
lapisan masyarakat, mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu rumah
tangga sampai ibu-ibu pejabat dharma wanita. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa
yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja,
terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan sosial tinggi.
10. Logis
Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraf karya
jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat. Bahasa jurnalistik
harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Di sini berlaku hukum logis. Tentu
tidak logis ketika dalam sebuah berita atau laporan pandangan mata, misalnya, seorang
wartawan atau seorang reporter stasiun televisi mengatakan, “jumlah korban tewas dalam
musibah longsor dan banjir banding itu 225 orang, namun sampai berita ini diturunkan
belum juga melapor”. Pernyataan itu tentu saja sangat tidak logis karena tidak mungkin
korban yang sudah tewas bisa melapor.
Menurut salah seorang wartawan senior surat kabar harian Kompas dalam bukunya yang
mengupas masalah kalimat jumalistik bahwa dengan berbekal kemampuan menggunakan
logika (silogisme), seorang wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan, fakta,
persoalan, ataupun pernyataan seorang sumber berita. Ia akan lebih kritis dan tidak mudah
terkecoh oleh sumber berita yang mengemukakan peryataan atau keterangan dengan motif-
motif tertentu (Dewabrata, 2004:76).
11. Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam
bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi
sesuai dengan ketentuan tata bahasa, tata tulisnya sesuai pedoman tata ejaan yang resmi
berlaku, dan sesuai dengan pedoman pembentukan istilah yang juga resmi berlaku. Bahasa
baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu
bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau
tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15
persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jumalistik baku atau
gramatikalnya: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi
25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.

4
12. Menghindari Kata Tutur
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara
informal. Kata tutur yang dimaksud digunakan dalam situasi yang tidak resmi. Setiap orang
bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa pun sejauh pihak yang diajak bicara
memahami maksud dan maknanya. Kata tutur hanya menekankan pada pengertian, sama
sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang,
dilangin, bikin, diksih tahu, mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin. Coba Anda cari
bentuk baku masing-masing kata tersebut!
13. Menghindari Kata dan Istilah Asing
Berita ditulis untuk dibaca atau disampaikan secara lisan untuk didengar. Pembaca atau
pendengar harus mengetahui arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita
atau laporan yang banyak diselipi kata-kata asing akan menjadi tidak informatif, tidak
komunikatif, dan juga membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonim dan heterogen. tidak saling
mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-
ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi, dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori
jurnalistik, penggunaan kata atau istilah asing secara berlebihan pada berita yang ditulis atau
disampaikan secara lisan akan membuat pembaca atau pendengar tidak mudah menyerap
informasi yang disampaikan.
Istilah asing boleh digunakan dalam berita jika belum diserap ke dalam kosa kata bahasa
Indonesia dan belum ditentukan padanannya dalam bahasa Indonesia oleh Badan Pusat
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa atau sering disingkat dengan nama Badan Pusat
Bahasa. Contoh kata atau istilah asing yang belum ditentukan padanannya dalam bahasa
Indonesia adalah bluetooth. Meskipu belum secara resmi diserap ke dalam kosa kata bahasa
Indonesia, kata tersebut sangat sering digunakan dalam kegiatan berbahasa sehari-hari. Kata
semacam ini harus ditulis dengan huruf miring.
14. Pilihan Kata (Diksi) yang Tepat
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak
hanya harus produktif, tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektivitas. Hal itu berarti setiap
kata yang dipilih harus tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin
disampaikan kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi dalam bahasa jurnalistik tidak sekadar
hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada
pertimbangan matang untuk penyampaian informasi secara optimal terhadap khalayak sasaran
berita atau karya-karya jurnalistik lainnya.
Pilihan kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap karya jurnalistik dapat
menimbulkan kesalahpahaman yang dapat berakibat fatal, misalnya menyinggung perasaan
atau merusak harga diri seseorang atau lembaga tertentu. Hal itu selaras dengan yang
ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, yakni pengertian pilihan kata atau diksi jauh
lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata itu. Istilah ini bukan saja digunakan
untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan,
tetapi juga meliputi persoalan penyusunan kalimat yang tidak bias makna atau bermakna
ganda (fraseologi) dan gaya bahasa.
Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya atau
yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Kata orang tua
dalam kalimat orang tuanya sudah pindah ke kota lain dan dalam kalimat orang tua itu
berjalan tertatih-tatih berbeda makna. Itu bergantung kepada susunan kata yang

5
mengikutinya. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan
yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf,
2004:22-23).
15. Mengutamakan Kalimat Aktif
Kalimat akiff lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada
kalimat pasif, misalnya presiden mengatakan (bentuk aktif) dan dikatakan oleh presiden
(betnuk pasif). Contoh lainnya adalah pencuri mengambil perhiasan dari dalam almari
pakaian (bentuk aktif) dan diambilnya perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri
(bentuk pasif). Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan katanya dan kuat maknanya. Kalimat
aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat pasif sering
menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.
16. Menghindari Kata atau Istilah Teknis
Karena ditujukan untuk umum, bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami,
ringan dibaca, tidak membingungkan, apalagi sampai menimbulakan ketidakpahaman atau
kesalahpahaman. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau
istilah-istilah teknis. Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok
atau komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif
filsafat bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efektif,
penggunaan istilah teknis juga kurang tepat sasaran.
Berbagai istilah teknis dalam dunia kedokteran atau berbagai istilah teknis dalam dunia
mikrobiologi, misalnya, tidak akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila
dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan
mudah dipahami maksudnya, istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa
dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tidak terhindarkan, istilah teknis itu harus disertai
penjelasan dan ditempatkan dalam tanda kurung.
Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis,
mencerminkan media itu:
o kurang melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya;
o tidak memiliki editor bahasa;
o idak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan; atau
o tidak memiliki sikap profesional dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.
17. Tunduk kepada Kaidah Etika
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, fungsi mendidik. Fungsi ini bukan saja
harus tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya, melainkan juga
harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan
pikiran, tetapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu.

D. Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik


Penggunaan bahasa jurnalistik itu tidak boleh sembarangan. Akan tetapi, harus
berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Selain itu, penggunaan bahasa
jurnalistik haarus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam bahasa jurnalistik yang telah
ditentukan.
Dalam bahasa jurnalistik ada empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan oleh
Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip
ekspresifitas.

6
1. Prinsip Prosesibilitas
Prinsip ini merupakan suatu proses ketika seorang penulis harus memahami pesan yang
akan disampaikan. Dengan demikian, pembaca dapat mudah memahami apa yang ditulisnya.
Untuk itu, seorang penulis harus menentukan beberapa hal, yaitu:
a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan,
b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan
tersebut,
c) bagaiman mengurutkan satuan-satuan pesan tersebut.
Ketiga hal di atas akan saling berkaitan. Penyusunan bahasa jurnalistik dengan
menerapkan bahasa Indonesia yang baik itu harus cepat menimbulkan pemahaman pembaca
dalam kondisi apapun tentang fakta atau berita yang disampaikan sehingga prinsip
prosesibilitas ini tidak terlanggar.
2. Prinsip Kejelasan
Berdasarkan prinsip ini seorang penulis dituntut menyampaikan teks dengan mudah
dapat dipahami oleh pembaca. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks dihindarkan dari
keambiguan sehingga mudah dipahami.
3. Prinsip Ekonomi
Mengacu kepada prinsip ini, seorang penulis berita harus membuat teks sesingkat
mungkin tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Dalam hal ini, wartawan atau jurnalis
harus mampu menyampaikan berita secara singkat, tetapi memenuhi aspek 5W+H.
4. Prinsip Ekspresivitas
Pinsip ekspresivitas disebut pula dengan prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan
teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Maka dari itu, untuk dapat menerapkan
prinsip-prinsip tersebut, seorang wartawan atau jurnalis perlu dilatih berbahasa tulis secara
terus-menerus serta melakukan penyuntingan tanpa pernah berhenti. Dengan demikian,
keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang sesuai dengan kaidah-
kaidah bahasa Indonesia dan mudah dimengerti oleh masyarakat serta memuaskan
pembacanya akan bisa diwujudkan.

E. Berpedoman pada Bahasa Baku


Bahasa jurnalistik yang ditulis dalam bahasa Indonesia juga harus dapat dipahami oleh
pembaca di seluruh nusantara. Bahasa Indonesia juga mengenal berbagai ragam bahasa,
termasuk dialek. Bila surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya menggunakan bahasa
Indonesia dengan salah satu dialek tertentu, besar kemungkinannya tulisan dalam surat
kabar/majalah tersebut tidak dapat dipahami oleh pembaca lain di seluruh nusantara. Berkaitan
dengan hal itu J.S. Badudu mengatakan bahasa baku, baik lisan maupun tulisan, dipakai oleh
golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya. Berikut ini
contoh penggunaan bahasa baku dalam sebuah surat kabar nasional.

PLN sebagai penyedia layanan publik tentu harus bertanggung jawab atas
kerugian itu. Terlebih-Iebih, sumber kerusakan sebenamya sudah diketahui empat hari
sebelumnya, bahkan hari pemadaman pun sudah direncanakan dan diatur PLN.
(Republika, 23 Mei 1997)

7
Bahasa Indonesia baku itulah yang seharusnya digunakan dalam bahasa jumalistik agar
dapat dipahami oleh pembaca di seluruh tanah air. Oleh karena itu, bahasa jurnalistik sama
sekali tidak berbeda dengan bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia yang digunakan dalam
komunikasi resmi, seperti pidato resmi kenegaraan, surat-menyurat resmi, laporan resmi, buku
ajar, makalah, skripsi, tesis, disertasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.
Jadi, kalau pada kenyataannya ada sedikit perbedaan antara bahasa jurnalistik dengan bahasa
Indonesia baku, bukan pada hakikatnya memang harus berbeda, tetapi perbedaan itu lebih
disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat teknis di samping kurangnya kemampuan
berbahasa para jurnalis dan redaktur surat kabar yang bersangkutan.

F. Bahasa yang Digunakan Efektif dan Efisien


Bahasa yang efektif ialah bahasa yang mencapai sasaran yang dimaksudkan (Moeliono,
1993: I). Bahasa Indonesia jurnalistik yang efektif membuahkan hasil atau efek yang
diharapkan pembicaraan karena cocok atau relevan dengan peristiwa atau sesuai dengan
keadaan yang menjadi latarnya. Bahasa Indonesia jurnalistik yang efisien ialah bahasa yang
mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku, dengan mempertimbangkan mh~'
ukuran umum, yang mengatasi varlasi dialek atau idiolek (perseorangan), bagi pemakaian
bahasa yang benar dan patut menjadi contoh untuk diikuti. Hoed (1977: 3) dalam
penelitiannya tentang "Kata Mubazir dalam Surat Kabar Harlan Berbahasa Indonesia"
menyatakan, usaha mencapai efisiensi didasarkan pada probabilitas munculnya suatu kata
dalam konteks tertentu (probability of accurance).

G.Penyimpangan Bahasa Jurnalistik


Meskipun bahasa jurnalistik mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang telah ditentukan,
masih terlihat penyimpangan terhadap kaidah bahasa yang dimaksud. Penyimpangan juga
berlaku pada tataran ejaan. Penyimpangan bahasa jurnalistik ini sepertinya menjadi hal yang
lazim sehingga bahasa jurnalistik dianggap sebagai perusak bahasa Indonesia. Mestinya
bahasa junalistik tetap harus mengacu pada kaidah bahasa yang telah baku. Jika terdapat
penyimpangan terhadap kaidah tata bahasa dan tata ejaan, dikhawatirkan akan berpengaruh
kepada penggunaan bahasa oleh masyarakat karena media massa sangat erat kaitannya dengan
masyarakat. Beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dari kaidah bahasa Indonesia baku
dapat diidentifikasi dan dipaparkan di bawah ini.
1. Penyimpangan Klerikal (Ejaan dan Tanda Baca)
Kesalahan ini sering kali ditemukan dalam media massa, seperti kata Jumat ditulis
Jum’at, kata khawatir ditulis kuatir, kata jadwal ditulis jadual, atau kata sinkron ditulis
singkron. Selain itu, kesalahan tanda baca juga dapat ditemui dalam penggunaan tanda titik,
tanda koma, tanda hubung, dan lain-lain. Penulisan nama gelar, misalnya, masih sering
dijumpai kesalahan, Sudarto, S.H. masih sering ditulis dengan Sudarto S.H. atau Sudarto, S.H
pada papan nama firma hukum atau notaris.Dalam hal ini penutur bahasa Indonesia masih
melanggar kaidah penulisan tanda baca koma (,) dan tanda baca titik (.) untuk penulisan nama
gelar kesarjanaan.
2. Penyimpangan Gramatikal
Penyimpangan gramatikal ini dapat diklasidikasikan menjadi tiga macam. Ketiganya
dipaparkan secara berturut-turut di bawah ini.
a) Kesalahan Pemenggalan

8
Kesalahan pemenggalan kata dalam media massa terkesan asal penggal saja. Hal ini
dikarenakan pemenggalannya menggunakan program komputer bahasa asing.
Kesalahan ini bisa diatasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
b) Penyimpangan Morfologis
Penyimpangan ini sering dijumpai pada judul berita dalam media massa yang
menggunakan kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan
penghilangan afiks atau imbuhan. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau
awalan dihilangkan, misalnya Muluskan Boediono, Lobi Komisi IX; Cemburu,
Pelajar Bunuh Pelajar; dan Ngaku Buat Jaga Diri Bapak-Bapak Ditangkep Pulisi
Karena Bawa Sajam.
c) Kesalahan Sintaksis
Kesalahan ini berupa pemakaian tata bahasa atau struktur kalimat yang kurang tepat
sehingga sering mengacaukan arti kalimat tersebut. Hal ini disebabkan logika penulis
yang kurang bagus, misalnya Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke
Amerika Serikat. Judul tersebut seharusnya ditulis Hasil Kerajinan Desa Kasongan
Banyak Diekspor Ke Amerika Serikat.
3. Penyimpangan Semantik
Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan penghalusan makna (eufemisme) atau
menimbulkan dampak buruk pemberitaan dan untuk melebih-lebihkan (bombastis).
Contohnya adalah penyesuaian tarif BBM merupakan kebijakan pemerintah yang tidak
populis. Pemakaian kelompok kata penyesuaian tarif, tidak dapat dimaknai dari segi makna
lugas saja, melainkan harus dilihat juga dari makna figuratif (kias) yang mengandung
eufimisme dengan alasan penghalusan makna.
4. Penyimpangan dari Aspek Kewacanaan
Penyimpangan aspek kewacanaan ini dapat diketahuai melalui penggunaan bahasa yang
dilihat berdasarkan makna bahasa yang berkaitan dengan aktivitas dan sistem-sistem di luar
bahasa. Contoh penyimpangan aspek kewacanaan ini adalah berita tentang tragedi kematian
Munir, seorang aktivis HAM. Meski pelaku dan dalang pembunuhnya belum ditemukan,
media massa telah membentuk opini masyarakat tentang para pelakunya. Pemberitaan tersebut
memiliki pendapat yang berbeda pada masing-masing media sehingga isi berita menjadi tidak
realistis. Bahkan, terlalu dibesar-besarkan sehingga membuat para pembacanya bingung.
Permasalahan yang muncul adalah masalah peminjaman istilah-istilah atau kata-kata
asing yang pada dasarnya sudah populer di masyarakat. Penggunaan istilah asing tersebut
telah bertaburan di media massa. Akan tetapi, penggantian istilah asing yang tidak ada
penggantinya dalam bahasa Indonesia akan menimbulkan kesulitan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, perlu dilakukan penyuntingan, baik
menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, ejaan, maupun pemakaian bahasa jurnalistik
yang baik secara umum. Agar penulis atau wartawan mampu memilih kosakata yang tepat,
mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik
sinonimi dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang
sama, yang nuansa maknanya sama atau hampir sama. Dalam teknik antonimi penulis bisa
mendaftar kata-kata dan lawan katanya.
Dengan demikian, penulis atau wartawan bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan
bermakna bagi pembaca. Sementara itu, dalam penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat
beberapa prinsip yang dilakukan.
a) Balancing, yaitu menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan.

9
b) Visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data yang
aktual.
c) Logika cerita yang mereferensi pada kecocokan.
d) Akurasi data.
e) Kelengkapan data, setidaknya prinsip 5W+H.
f) Panjang-pendeknya tulisan (keterbatasan halaman).
Oleh karena itu diperlukan latihan menulis secara terus-menerus, dan latihan
penyuntingan yang berkelanjutan. Dengan upaya pelatihan dan penyuntingan tersebut,
diharapkan seorang jurnalis dapat menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa
dan memuaskan selera pembacanya, pendengarnya, atau penontonnya.

-o0o-

Bagian 2: Kode Etik Jurnalistik

A. Pengertian Kode Etik Jurnalistik


Kode (Inggris: code, dan Latin: codex) adalah buku undang-undang kumpulan sandi dan
kata yang disepakati dalam lalu lintas telegrafi serta susunan prinsip hidup dalam masyarakat.
Etik atau etika merupakan moral filosofi filsafat praktis dan ajaran kesusilaan. Menurut KBBI
etika mengandung arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk tentang hak dan
kewajiban. Moral adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak dan nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Berdasarkan paparan pada paragraf di atas dapat disimpulkan bahwa kode etik
jurnalistik (KEJ) adalah aturan tata susila kewartawanan dan juga norma tertulis yang
mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penertiban. Kode Etik jurnalistik ialah ikrar yang
bersumber pada hati nurani wartawam dalam melaksanakan kemerdekaan mengeluarkan
pikiran yang dijamin sepenuhnya oleh pasal 28 UUD 1945. Pasal tersebut merupakan landasan
konstitusi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kemerdekaan mengeluarkan pikiran ialah hak paling mendasar yang dimiliki setiap
insan wartawan yang wajib dijungjung tingggi dan dihormati oleh semua pihak. Sekalipun
kemerdekaan mengeluarkan pikiran merupakan hak wartawan yang dijamin konstitusi, setiap
wartawan wajib menegakan hukum, keadilan, dan kebenaran dalam menggunakan haknya
untuk mengaluarkan pikiran mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah negara
berdasarkan hukum.
KEJ pertama kali dikeluarkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dalam KEJ itu,
antara lain, ditetapkan norma yang berikut.
a) Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
b) Wartawan senantiasa meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum
menyiarkan.
c) Wartawan sebisanya membedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini).
d) Wartawan harus menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak
mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di
mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk
merahasiakannya.
e) Wartawan tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for
your eyes only).

10
f) Wartawan dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari
suatu surat kabar atau penerbitan untuk kesetiakawanan profesi.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru,
organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Dengan
demikian, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun
demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya
Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan
berkumpul di Bandung dan menandatangani Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut.
a) Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar.
b) Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan
menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
c) Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan
fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak
melakukan plagiat.
d) Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis,
cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
e) Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
f) Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi
latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
g) Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan
serta melayani Hak Jawab.
Pada kemudian hari, KEWI ditetapkan sebagai kode etik yang berlaku bagi seluruh
wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan kode etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak
masyarakat. Kode etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi
pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Pengawasan
dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada
jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.

B. Mengapa Diperlukan Kode Etik Jurnalistik Bagi Para Jurnalis?


Kode etik jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan dan juga norma tertulis
yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penerbitan. Mengapa Perlu Kode EtiK?
Kode etik jurnalistik diperlukan karena membantu para wartawan menentukan apa yang benar
dan apa yang salah, baik atau buruk, dan bertanggung jawab atau tidak dalam proses kerja
kewartawanan. Etika ditentukan dan dilaksanakan secara pribadi. Secara sederhana, kaidah
etika dirujuk dari kode etik yang bersifat normatif dan universal sebagai kewajiban moral yang
harus dijalankan oleh institusi dan insan pers. Epitsemologi diwujudkan melalui langkah
metodologis berdasarkan pedoman perilaku yang bersifat praksis dan spesifik bagi setiap
wartawan dalam lingkup lembaga persnya. Nilai dari kode etik bertumpu pada rasa malu dan
bersalah dari hati nurani. Berdasarkan itulah kode etik terkait dengan perkembangan dan
pergeseran nilai masyarakat.

11
C. Ciri-ciri Kode Etik Jurnalistik
Sebagai salah satu bentuk dokumen yang dapat digolongkan dalam kelompok produk
undang-undang, berikut ini dirincikan ciri khas dari suatu kode etik.
a) Kode etik mempunyai sanksi yang bersifat moral terhadap anggota kelompok
tersebut.
b) Daya jangkau suatu kode etik hanya tertuju kepada kelompok yang mempunyai kode
etik tersebut.
c) Kode etik dibuat dan di susun oleh lembaga / kelompok profesi yang bersangkutan
sesuai dengan aturan organisasi itu dan bukan dari pihak luar.
Seorang jurnalis tidak boleh mencelakakan sumber berita, baik itu karena
keterusterangannya yang konyol dan tolol maupun karena tidak tahu situasi dan kondisi
sumber berita yang bersangkutan, dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, kode etik
jurnalistik sesungguhnya berfungsi sebagai berikut.
a) Alat control social, yaitu tidak hanya megatur hubungan antara sesame anggota
seprofesi, tetapi juga dapat juga mengatur hubungan antara anggota organisasi profesi
tersebut dengan masyarakat.
b) Mencegah adanya control dan campur tangan pihak lain, termasuk pemeritnah atau
kelompok masyarakat tertentu.

D. Manfaat Kode Etik Jurnalistik


Manfaat kode etik jurnalistik adalah memperlihatkan kepada publik suatu karya
jurnalistik sesuai etika kejurnalistikan. Kode etik ini berfungsi pula sebagai penuntun seorang
wartawan dalam melakukan tugasnya, baik dalam peliputan suatu berita maupun menulis dan
menyiarkan berita tersebut. Dengan memiliki kode ini, wartawan dapat menimbang apakah
tindakan yang dilakukannya benar atau salah, baik atau jahat, bertanggung jawab atau tidak.
Ketaatan terhadap kode etik jurnalistik dapat dijadikan tolok ukur keprofesionalan
warawan. Dengan demikian, seorang wartawan dapat dikatakan professional jika ia menaati
kode etik jurnalistik, yaitu memberitakan secara berimbang; meneliti kebenaran berita; tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi; tidak menyuap dan disuap; tidak membuat
berita bohong; menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah; dan menghormati kehidupan
pribadi narasumber.
Melalui keberadaan kode etik ini, seorang wartawan seharusnya dapat melakukan dua
hal di bawah ini.
a) Wartawan dapat menimbang prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai, kewajiban terhadap
dirinya dan kewajiban terhadap orang lain.
b) Wartawan dapat menentukan bagi dirinya sendiri bagaimana ia akan hidup,
bagaimana ia akan melaksanakan pekerjaan kewartawanannya, bagaimana ia akan
berpikir tentang dirinyasendiri dan tentang orang lain, bagaimana ia akan berperilaku
dan bereaksi terhadap orang-orang serta isu-isu di sekitarnya. (Wartawan dan Kode
Etik Jurnalistik, Rosihan Anwar 1996).
Wartawan Indonesia juga bekerja berdasarkan kode etik yang disusun mengikuti
perubahan dan tuntutan zaman. Kendati kode etik ini tidak langsung berkaitan dengan hukum,
tetapi pelanggaran kode etik sangat berpotensi untuk berhadapan dengan hukum. Kode etik
wartawan Indonesia mengenal beberapa prinsip utama yang tidak boleh dilanggar.
a) Wartawan Indonesia harus menghormati hak masyakat untuk memperoleh informasi
yang benar.

12
b) Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan
informasi serta memberikan identitas kepada sumber berita.
c) Wartawan Indonesia menghormati asa praduga tak bersalah, tidak mencampurkan
adukkan fakta dan opini, berimbang, serta selalu meneliti kebenaran informasi serta
tidak melakukan plagiat.
d) Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis,
dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
e) Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
f) Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai embargo, latar belakang dan off
the record sesuai kesepakatan.
g) Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan
serta melayani hak jawab.
Prinsip mematuhi kode etik ini kini semakin penting mengingat kesadaran masyarakat
akan hukum makin tinggi. Di luar kode etik yang ditetapkan oleh Dewan Pers, sebenarnya
pegangan wartawan Indonesia dalam melakukan tugas adalah “berkiblat” terhadap aturan-
aturan di dalam undang-undang yang berlaku.
Hak seseorang atas wilayah rumah dan pekarangannya, misalnya, diatur dalam hukum
positif. Dalam kaitan ini, seorang wartawan tidak bisa, atas nama tugas, untuk masuk tanpa
izin. Perbuatan dan sikap seperti itu tidak hanya melanggar etika, tetapi telah melanggar hak
privat seseorang. Kasus-kasus demikian sangat berpotensi untuk diperkarakan. Pihak yang
dirugikan mempunyai hak untuk, misalnya, melapor ke polisi.
Mengakui identitas diri sebagai wartawan adalah keharusan. Akan tetapi, dalam hal-hal
tertentu, untuk kegiatan investigasi reportase, identitas ini kadang harus ditutupi. Kendati
demikian, dalam proses investigasi ini, pada saatnya wartawan harus membuka identitasnya.
Kode Etik jurnalis menjadi penuntun seorang wartawan untuk dua hal dalam melakukan
profesinya, yaitu pencarian dan penulisan berita. Pencarian meliputi etika selama proses
perencanaan hingga pencarian berita itu (termasuk pengambilan foto, proses wawancara,
pemuatan dokumen) serta penulisan berita yang meliputi proses penulisan sampai berita
tersebut selesai. Dengan demikian, maka ketika seseorang wartawan merencanakam untuk
menulis sebuah berita dengan rencana tertentu yang tidak terpuji, ia sebenarnya sudah mulai
melanggar kode etik.
Kode etik sebagai suatu pertanggungjawabam bermakna pula bahwa seorang wartawan
berani dan jujur untuk mengakui bahwa berita yang dibuatnya adalah mengambil milik orang
lain atau berita yang dibuatnya salah. Dalam kaitan inilah, wartawan harus menyebut sumber
berita untuk berita yang dibuatnya. Penyebutan ini, di sisi lain, juga untuk mencegah jika
ternyata berita itu salah dan ada pihak yang menggugat.
Mengakui kekeliruan adalah harga mahal yang harus dilakukan wartawan terhadap
berita atau ketidakakuratan yang dibuat. Akan teapi, harga mahal ini mutlak harus dilakukan
dan dengan cara ini justru akan memberikan penilaian dan citra positif pada pers. Karena
itulah, bantahan atau ralat, sepanjang itu memang benar, harus dilakukan pada kesempatan
yang pertama. Wartawan harus mengakui kekeliruannya dan meminta maaf atas kekeliruan
yang dibuat.

E. Contoh Penyimpangan Kode Etik Jurnalistik


Berikut ini dipaparkan dua kasus penyimpangan kode etik jurnalistik. Kasus pertama
adalah kasus kekeliruan berita di News Online dan kasus kedua berkaitan dengan pemberitaan
salah satu perusahaan BUMN.
13
Dewan Pers mengesahkan kode etik jurnalistik online pada 3 Februari 2012. Nama
resminya adalah Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) (Asep Syamsul M.Romli,
JURNALISTIK ONLINE: 2012). Pengesahan dilakukan oleh Ketua Dewan Pers, Bagir
Manan dan 31 perusahaan berita, 11 organisasi dan tokoh pers menandatangani PPMS yang
disusun Dewan Pers.
PPMS mengacu pada UUPers no. 40 tahun 1999, dan Kode Etik Jurnalistik (2006) dan
Kode Etik WartawanIndonesia (KEWI). Pada dasarnya PPMS ini sama saja dengan
KEJ/KEWI “tidak boleh memuat informasi bohong, fitnah sadis dan cabul; tidak memuat isi
yang mengandung prasangka, dan kebencian yang terkait dengan suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan kekerasan; tidak memuat isi
diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat
orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani”. Diungkap juga mengenai koreksi,
hak jawab atau ralat.
Salah satu contoh kasus kekeliruan berita di news online adalah kasus Imanda Amalia
yang dikabarkan sebagai WNI yang tewas saat kerusuhan di Mesir bulan Februari 2011 lalu.
Berita ini diperoleh dari sebuah posting di akun facebook milik Science of Universe.
Imanda dikabarkan berada di Mesir sebagai relawan United Nations Relief and Works
Agency (UNRWA). Meski belum ada kejelasan data dari Kedutaan Besar maupun dari
Kementerian Luar Negeri, namun beberapa news online seperti detik.com dan tribunnews telah
memberitakan hal tersebut di running news mereka, bahkan sampai diikuti oleh beberapa
stasiun televisi swasta sehingga hampir seluruh masyarakat percaya akan hal itu.
Namun rupaya berita tersebut hanyalah isu belaka, pada akhirnya Kemenlu RI
memastikan bahwa tidak ada WNI yang tewas di Mesir. Meskipun demikian, kekeliruan berita
dalam news online adalah sering dianggap sebagai hal wajar karena memang para wartawan
media online harus bersaing untuk mendapatkan berita tercepat dan karena pemuatan berita
tersebut bersifat running news, sehingga berita yang salah dapat diperbaiki dalam berita
terbaru yang dimuat. Inilah rupanya yang membuat masyarakat jarang sekali protes bila ada
kekeliruan berita di news online.
Pelanggaran etika jurnalistik dalam media online, seperti yang terjadi dalam kasus di
atas memang rawan terjadi. Contoh pelanggaran etika jurnalistik pada kasus di atas ialah
penggunaan media sosial sebagai sumber berita tanpa adanya verifikasi terlebih dahulu. Selain
itu, dalam media online juga rawan terjadi pelanggaran hak cipta dengan mengambil gambar
dan mengutip tanpa mencantumkan sumber, dan plagiarisme.
Hal ini jelas merupakan pelanggaran bagi kode etik jurnalistik (KEJ) yang dalam pasal-
pasalnya menyebutkan bahwa wartawan Indonesia menghasilkan berita yang akurat,
menghasilkan berita faktual dan jelas sumbernya, pengambilan gambar, foto, suara dilengkapi
sumber, tidak melakukan plagiat, dan selalu menguji informasi.
Kasus kedua berkaitan dengan pemberitaan salah satu perusahaan di bawah naungan
kementerian BUMN, yakni PT Krakatau Steel. Dewan Pers menilai terjadi pelanggaran kode
etik dalam kasus dugaan permintaan hak istimewa untuk membeli saham penawaran umum
perdana PT Krakatau Steel oleh wartawan. Pelanggaran itu berupa penyalahgunaan profesi
serta pemanfaatan jaringan yang dimiliki sejumlah wartawan peliput di Bursa Efek Indonesia.
”Tindakan itu menimbulkan konflik kepentingan karena sebagai wartawan yang meliput
kegiatan di Bursa Efek Indonesia juga berusaha terlibat dalam proses jual beli saham untuk
kepentingan pribadi. Ini bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik,” ujar Ketua

14
Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Agus Sudibyo di
Jakarta, Rabu (1/12).
Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak
menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Dalam situs Dewan Pers, tafsiran
terhadap pasal ini, (a) menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil
keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut
menjadi pengetahuan umum; (b) suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda,
atau fasilitas dari pihak lain yang memengaruhi independensi.
Agus menyatakan, Dewan Pers menghargai sikap profesional dan niat baik detik.com,
Kompas, MetroTV, dan Seputar Indonesia dalam proses penyelesaian kasus ini. Dewan Pers
mengimbau segenap pers Indonesia menegakkan kode etik jurnalistik dan profesionalisme
media.
Harian Kompas pun menghormati putusan Dewan Pers yang menyatakan seorang
wartawan Kompas berinisial RN terbukti melanggar kode etik jurnalistik. Pada hari yang
sama, harian Kompas telah menindaklanjuti putusan Dewan Pers itu dengan memberhentikan
wartawannya itu sebagai wartawan Kompas.
”Manajemen harian Kompas pun memberhentikan yang bersangkutan sebagai wartawan
Kompas. Pemberhentian berlaku sejak diterbitkannya Keputusan Dewan Pers,” kata Redaktur
Pelaksana Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Dalam keputusannya, Dewan Pers sejauh ini belum menemukan bukti kuat adanya
praktik pemerasan, yang dilakukan wartawan, terkait dengan kasus pemberitaan penawaran
umum perdana saham PT Krakatau Steel. Keputusan ini dibuat Dewan Pers setelah melakukan
pemeriksaan silang dan klarifikasi dengan pihak-pihak terkait.

15

Anda mungkin juga menyukai