TEKNOLOGI FARMASI
SEDIAAN CAIR DAN SEMI SOLID
SUSPENSI DAN EMULSI
Disusun oleh :
Nama : VITA PERMANASARI
Kelas : 2B
No.Absen : 202004058
PERCOBAAN 1
A. SUSPENSI
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Menghitung derajat flokulasi (β)
2. Mengenal cara pembuatan dan evaluasi bentuk sediaan suspensi.
II. DASAR TEORI
Suspensi adalah suatu bentuk sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam
bentuk halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa. Zat yang terdispersi harus
halus dan tidak boleh cepat mengendap. Jika digojok perlahan-lahan endapan harus segera
terdispersi kembali.
Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas suspensi antara lain :
1. Ukuran partikel
2. Banyak sedikitnya partikel bergerak
3. Tolak menolak partikel karena adanya muatan listrik pada partikel
4. Konsentrasi suspensoid.
Bila muatan partikel diabaikan maka faktor yang mempengaruhi stabilitas suspensi
dapat dilihat dari hukum Stokes :
V=
Keterangan :
V = Kecepatan sedimentasi (cm/detik)
g = kecepatan gravitasi (980 cm/detik2)
d = diameter partikel (cm)
d1 = kerapatan fase dispers (g/mL)
d2 = kerapatan medium dispers (g/mL)
Deflokulasi :
1. Partikel suspensi dalam keadaan terpisah satu dengan yang lainnya.
2. Sedimentasi terjadi lambat, masing-masing partikel mengendap secara terpisah dan
ukuran partikel adalah minimal.
3. Sedimen terbentuk lambat.
4. Ujud suspensi menyenangkan karena zat tersuspensi stabil dalam waktu yang relatif
lama.
5. Tampak ada endapan dan cairan bagian atas berkabut.
Peristiwa flokulasi dan deflokulasi
Ada beberapa cara dalam pembuatan suspensi. Pemilihannya tergantung pada apakah
parrtikel akan terdeflokulasi atau terflokulasi. Cara pertama dengan menggunakan
struktur vehicle yang berfungsi menjaga partikel tetap terdeflokulasi dalam suspensi. Yang
kedua adalah menggunakan sistem terflokulasi yaitu suatu cara mencegah terbentuknya
“cake”, sedangkan yang ketiga adalah kombinasi dari keduanya yang menghasilkan suatu
suspensi stabilitas optimal.
Elektrolit merupakan bahan pemflokulasi yang paling banyak digunakan. Bahan ini
beraksi dengan mengurangi kekuatan tolak menolak elektrik antar partikel sehingga
memungkinkan partikel-partikel membentuk flok. Dalam suatu suspensi yang terflokulasi,
fase terdispersi akan mengendap secara cepat dan supernatannya merupakan cairan yang
jernih. Untuk menilai suatu suspensi/emulsi dapat dipergunakan volume endapan (F) yaitu
perbandingan volume endapan pada suatu saat dengan volume suspensi/emulsi mula-mula.
F = Vu / Vo Dimana:
F = Volume endapan
Vu = Volume endapan setelah proses pengendapan.
Vo = Volume suspensi/emulsi sebelum pengendapan.
F = Hu/Ho Dimana :
F = Volume pengendapan.
Hu = Tinggi endapan setelah proses pengendapan.
Ho = Tinggi suspensi/emulsi sebelum pengendapan.
Suatu parameter yang lebih baik untuk menilai suspensi adalah dengan menggunakan
derajat flokulasi (β) yang menerangkan hubungan antara volume pengendapan suspensi
terflokulasi (F) dengan volume pengendapan suspensi yang sama jika suspensi tersebut dalam
keadaan ter lokulasi (F ). Suspensi yang terde lokulasi sempurna akan mempunyai endapan
yang relatif kecil yang ditandai dengan V. volume pengendapan suspensi tersebut berdasarkan
persamaan (1) menjadi :
F = V / Vo
Perbandingan antara F dengan F adalah derajat lokulasi (β)
β = F / F
Substitusi dari harga F dan F dari persamaan (1) dan (3) ke persamaan
(4) menjadi :
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa :
β =
Apabila harga β 1 berarti tidak terjadi flokulasi dalam sistem tersebut.
BAHAN:
Sulfadiazin, sulfamerazin, sulfadimidina, asam sitrat, CMC-Na, metil paraben, NaOH,
Gula, Etanol, Dioktil sodium sulfosuksinat (DSS), AlCl3, aquades.
2. Cara pembuatan :
a. Larutkan DSS ke dalam sebagian aquades
b. Serbuk sulfadiazin didispersikan dalam larutan yang mengandung DSS, aduk
sampai semua serbuk terbasahi, jika perlu tambahkan sedikit aquades.
c. Tambahkan larutan AlCl3 secara seksama pada formula B, C, D dan E aduk
sampai homogen dan terjadi suatu dispersi yang terflokulasi.
d. .Dispersi kemudian dituang kedalam tabung reaksi berskala, ditambah aquades
sampai 20 mL, digojok homogen.
e. Tempatkan tabung dalam rak. Catat tinggi pengendapan pada waktu tertentu :
0; 5; 15; 20; 25; 30 dan 60 menit. Diamati pula supernatannya.
f. Tentukan suspensi yang terdeflokulasi dan suspensi yang flokulasi serta buat
grafik waktu vs harga F untuk kelima formula tersebut.
g. Hitunglah derajat flokulasi suspensi dengan rumus :
β = F / F
β = derajat flokulasi
F = vol. Pengendapan suspensi flokulasi
F = vol. Pengendapan suspensi deflokulasi
Cara presipitasi :
1. CMC-Na disuspensikan dalam air panas, distirer dengan kecepatan 120 rpm.
2. Ditambahkan air dingin (air es) dan dinginkan sampai temperatur kamar (25°
C).
3. Distirer selama 60 menit atau hingga terbentuk larutan yang jernih.
4. Metil paraben dilarutkan dalam etanol
5. Dicampurkan ketiga sulfat diatas
6. Dilarutkan NaOH dalam sebagian air, kemudian ditambahkan pada campuran
ketiga sulfat tersebut.
7. Ditambahkan (1) sambil diaduk, kemudian (2) dan dihomogenkan.
8. Lalu ditambahkan 9 sirup simpleks dibuat dahulu gula dan air dengan
perbandingan 65:35,( pemanasan jangan terlalu tinggi)
9. Sambil diaduk, ditambahkan larutan asam sitrat ke dalam campuran,
ditempatkan suspensi dalam tabung reaksi yang telah diberi skala untuk
pengamatan.
Membuat suspensi ( Dalam bentuk bagan )
Cara Praesipitasi:
CMC-Na disuspensikan dalam air panas, distirer dengan kecepatan 120
rpm.
Ditambahkan air dingin (air es) dan dinginkan sampai temperatur kamar
(25° C).
Lalu ditambahkan
Sambil 9 sirup simpleks
diaduk, ditambahkan larutandibuat
asam dahulu gula
sitrat ke dan air
dalam dengan
campuran,
perbandingan 65:35,( pemanasan
ditempatkan suspensi jangan
dalam tabung terlalu
reaksi yangtinggi)
telah diberi skala untuk
pengamatan.
Cara dispersi :
1. CMC-Na disuspensikan dalam air panas, distirer dengan kecepatan 120 rpm.
2. Ditambahkan air dingin (air es) dan dinginkan sampai temperatur kamar (25° C).
3. Distirer selama 60 menit atau hingga terbentuk larutan jernih.
4. Dilarutkan metil paraben dalam etanol.
5. Dicampurkan ketiga sulfat diatas
6. Kedalam campuran sulfat, ditambahkan larutan CMC-Na sedikit demi sedikit sambil
diaduk hingga homogen.
7. Ditambahkan juga larutan metil paraben, sirup simpleks, larutan asam sitrat dan larutan
NaOH sambil dihomogenkan.
8. Ditempatkan suspensi dalam tabung reaksi yang telah diberi skala untuk pengamatan.
Ditambahkan air dingin (air es) dan dinginkan sampai temperatur kamar
(25° C).
Dimana :
F = Volume pengendapan.
F = 12/12 = 1
B = 2,4 / 1 = 2,4
FORMULA B
F = HO / HU => 13 cm
Dimana :
F = Volume pengendapan.
B = 2 / 1 = 2 cm
FORMULA C
F = HO / HU => 13,5 cm
Dimana :
F = Volume pengendapan.
B = 1,154 / 1 = 1,154
FORMULA D
F = HO / HU => 13 cm
Dimana :
F = Volume pengendapan.
FORMULA E
F = HO / HU => 13 cm
Dimana :
F = Volume pengendapan.
12
10
E
8 D
6 C
4 B
A
2
0
0 5 15 20 25 30 60
VI. PEMBAHASAN
Pada formulasi cara presipitasi semakin lama waktu pengendapan semakin kecil
angka ketinggian endapan, ketinggian terkecil yang didapat pada menit ke 60 pada
formula pertama hingga formula kelima yaitu 5 cm, 6,5 cm, 11,7 cm, 9 cm, 4,3 cm. Pada
cara presipitasi tidak terbentuk cake melainkan serbuk yang mengendap dan pada cairan
diatas terlihat bening, menunjukkan suspensi yang kurang baik. pH yang didapat pada
pengamatan dengan menggunakan pH indikator adalah 5.
Formulasi cara dispersi dengan melarutkan CMC dengan aquadest panas
membuat serbuk homogen dengan baik, karena pada pengamatan ketinggian endapan
angka ketingian konstan pada menit ke 60 yaitu 2,4 cm, 2 cm, 1,154 cm, 1,44 cm, 3,02
cm. Endapan terbentuk cake dan pada cairan diatas endapan terlihat keruh yang
menunjukkan wujud suspensi baik. pH yang didapat pada pengamatan dengan
menggunakan pH indikator adalah 4.
VII. KESIMPULAN
Dari kedua formulasi ini yang menunjukan metode yang lebih baik adalah metode
dispersi karena terbentuk endapan yang lebih rendah dari pada endapan pada cara
presipitasi. Pada cara dispersi terbentuk wujud suspensi yang lebih bagus.
Dengan pebandingan menggunakan berbagai literatur, ketiga formula dapat
dinyatakan berhasil dalam segi pembuatan, pengamatan maupun perhitungan.
PERCOBAAN II
B. EMULSI
I. TUJUAN
Emulsi adalah suatu sistem heterogen terdiri dari 2 cairan yang tidak bercampur, cairan
yang satu terdispersi di dalam cairan yang lain dalam bentuk tetes-tetes kecil yang pada
umumnya mempunyai diameter > 0,1 µm.
Dalam bidang farmasi, secara sederhana emulsi diartikan sebagai campuran homogen
dari 2 cairan yang dalam keadaan normal tidak dapat bercampur (fase air dan fase minyak),
dengan pertolongan suatu bahan penolong yang disebut emulgator. Dalam sistem dispersi
cairan yang terdispersi disebut fase dispersi atau fase intern, sedangkan cairan dimana
terdapat fase dispers disebut medium dispers atau fase extern. Fase yang berair dapat terdiri
dari air atau campuran sejumlah substansi hidrofil seperti : alkohol, glikol, gula, garam
mineral, garam organik dan lain-lain. Sedangkan fase organik pada umumnya berminyak
dapat terdiri dari substansi lipofil seperti asam lemak, alkohol asam lemak, lilin, zat-zat aktif
liposolubel dan lain-lain.
Penggunaan Emulsi :
Sediaan farmasi maupun kosmetik bentuk emulsi banyak sekali dijumpai baik untuk
topikal maupun sistemik, misal :
Per-oral : kebanyakan adalah emulsi tipe o/w, bentuk, ini mempunyai banyak keuntungan
antara lain mudah diabsorpsi, homogenitas dosis mudah didapat.
Topikal : dalam sediaan farmasi topikal maupun kosmetik, tipe emulsi baik o/w maupun w/o
banyak sekali tergantung maksud penggunaannya.
EMULGATOR
Dalam bidang farmasi, emulgator yang sering digunakan sebagai bahan tambhaan
dapat dikelompokkan dalam 3 golongan sebagai berikut :
1. Surfaktan / SAA
2. Hidrokoloid
3. Zat padat halus yang terdispers
1. Surfaktan
Surfaktan adalah suatu zat yang mempunyai gugus hidrofil dan gugus lipofil sekaligus
dalam molekulnya. Zat ini akan berada dipermukaan cairan antau antarmuka 2 cairan dengan
cara teradsorpsi. Gugus hidrofil akan berada pada bagian air sedangkan gugus lipofil akan
berada pada bagian minyak.Berdasarkan atas muatan yg di hasilkan kalau zat ini
terhidrolisis dalam air, maka surfaktan dapat di bagi menjadi 4 golongan:
1. Surfaktan anionik
Contoh: sodium lauril sulfate, sodium dioctyl sulfosuksinat
2. Surfaktan kationik
Contoh: cetrimide (hexadecy trimethyl ammonium bromide), dodecy pyridium
iodide
3. Surfaktan amfoterik
Contoh:lecithin, N-dodecyl alanine
4. Surfaktan non-ionik
Contoh: tween 80, span 80
2. Hidrokoloid
Emulgator hidrokoloid dapat menstabilkan emulsi dengan cara membentuk
lapisan yang rigid / kak, bersifat viskoelastik pada permukaan minyak tanah. Zat ini
bersifat larut dalam air (menjadi koloid dengan adanya air), dan akan membentuk
emulsi tipe o/w. Yang termasuk emulgator hidrokoloid : a. Gom : Gom arab :
Tragacanth b. Ganggang laut : agar-agar : alginat : caragen c. Biji-bijian : guar gum d.
Selulosa : karboksilmetilselulosa (CMC) : metilselulosa (MC) e. Collagen : gelatin f.
Lain-lain : polimer sintetik; protein ; dan lain-lain
PEMBUATAN EMULSI
Cara pencampuran :
1. Bila menggunakan surfaktan
a. Surfaktan yang larut dalam minyak dilarutkan dalam minyak. Surfaktan yang
larut dalam air dilarutkan dalam air. Kemudian fase minyak ditambahkan ke dalam
fase air. Cara ini digunakan bila diinginkan terbentuknya sabun (hasil reaksi,
sebagai emulgator).
b. Fase minyak ditambah surfaktan (misalnya tween dan span). Dipanaskan kurang
lebih 60-70° C, kemudian fase air ditambahkan porsi per porsi sambil diaduk
hingga terbentuk emulsi, kemudian didinginkan sampai temperatur kamar sambil
dilakukan pengadukan.
2. Bila menggunakan hidrokoloid atau padatan yang terdispersi
Metode Anglosaxon
Dibuat musilago antara emulgator dengan sebagian air, kemudian minyak dan air
ditambahkan sedikit demi sedikit secara bergantian sambil di aduk.
Metode continental (4-2-1)
Minyak 4 bagian ditambah gom 1 bagian dihomogenkan dalam mortir kering,
kemudian ditambahkan 2 bagian air, diaduk hingga terjadi korpus emulsi,
kemudian ditambahkan sisa airnya sedikit-sedikit sampai habis sambil diaduk.
Cara pencampuran yang berlainan akan memberikan hasil yang berlainan. Sebagai
contoh emulsi yang dibuat dengan emulgator surfaktan. Bila surfaktan dilarutkan
dahulu dalam air, maka akan terbentuk mantel air disekitar misel yang terjadi, ini
menyulitkan pemasukan fase minyak kedalam misalnya.
Teori terjadinya Emulsi ada 4 yaitu :
1. Teori Tegangan Permukaan ( Surface Tension )
Molekul memiliki daya tarik menarik antar molekul sejenis yang disebut
dengan kohesi. Selain itu, molekul juga memiliki daya tarik menarik antar molekul
yang tidak sejenis yang disebut dengan adhesi. Daya kohesi suatu zat selalu sama
sehingga pada permukaan suatu zat cair akan terjadi perbedaan tegangan karena tidak
adanya keseimbangan daya kohesi. Tegangan terjadi pada permukaan tersebut
dinamakan dengan tegangan permukaan “surface tension”. Dengan cara yang sama
dapat dijelaskan terjadinya perbedaan tegangan bidang batas dua cairan yang tidak
dapat bercampur “immicble liquid”. Tegangan yang terjadi antara 2 cairan dinamakan
tegangan bidang batas. “interface tension”.
2. Teori Orientasi Bentuk Baji
Teori ini menjelaskan fenomena terbentuknya emulsi berdasarkan adanya
kelarutan selektif dari bagian molekul emulgator; ada bagian yang bersifat suka air
atau mudah larut dalam air dan ada moelkul yang suka minyak atau muudah larut
dalam minyak. Setiap molekul emulgator dibagi menjadi dua:
Kelompok hidrofilik, yaitu bagian emulgator yang suka air.
Kelompok lipofilik, yaitu bagian emulgator yang suka minyak.
Masing-masing kelompok akan bergabung dengan zat cair yang disenanginya,
kelompok hidrofil ke dalam air dan kelompok lipofil ke dalam minyak. Dengan
demikian, emulgator seolah-olah menjadi tali pengikat antara minyak dengan air
dengan minyak, antara kedua kelompok tersebut akan membuat suatu kesetimbangan.
Setiap jenis emulgator memiliki harga keseimbangan yang besarnya tidak
sama. Harga keseimbangan itu dikenal dengan istilah HLB (Hydrophyl Lypophyl
Balance) yaitu angka yang menunjukan perbandingan Antara kelompok lipofil dengan
kelompok hidrofil. Semakin besar harga HLB berarti semakin banyak kelompok yang
suka pada air, itu artinya emulgator tersebut lebih mudah larut dalam air dan demikian
sebaliknya.
3. Teori Interparsial Film (Teori Plastic Film )
Teori ini mengatakan bahwa emulgator akan diserap pada batas antara air
dengan minyak, sehingga terbentuk lapisan film yang akan membungkus partikel fase
dispers atau fase internal. Dengan terbungkusnya partikel tersebut, usaha antar
partikel sejenis untuk bergabung menjadi terhalang. Dengan kata lain, fase dispers
menjadi stabil. Untuk memberikan stabilitas maksimum.
Syarat emulgator yang dipakai adalah:
Dapat membentuk lapisan film yang kuat tetapi lunak.
Jumlahnya cukup untuk menutup semua permukaan partikel fase dispers.
Dapat membentuk lapisan film dengan cepat dan dapat menutup semua
partikel dengan segera.
4. Teori Electric Double Layer (lapisan listrik rangkap)
Jika minyak terdispersi ke dalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan
dengan permukaan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan lapisan berikutnya
akan mempunyai muatan yang berlawanan dengan lapisan di depannya. Dengan
demikian seolah-olah tiap partikel minyak dilindungi oleh 2 benteng lapisan listrik
yang saling berlawanan. Benteng tersebut akan menolak setiap usaha partikel minyak
yang akan melakukan penggabungan menjadi satu molekul yang besar, karena
susunan listrik yang menyelubungi setiap partikel minyak yang mempunyai susunan
yang sama. Dengan demikian, antara sesama partikel akan tolak menolak, dan
stabilitas akan bertambah.
Pengawetan emulsi
Emulsi maupun suspensi mudah ditumbuhi mikroba. Cara yang paling baik untuk
mengatasinya adalah dengan menggunakan bahan yang sedikit mungkin terkontaminasi
oleh mikroba atau dengan menambahkan preservative/pengawet. Pengawet sebaiknya
mempunyai sifat : toksisitas rendah, stabil (dalam panas dan penyimpanan), dapat campur
dengan bahan lain, efektif sebagai antimikroba. Selain karena mikroba emulsi dapat juga
rusak karena reaksi oksidasi, maka pada emulsi dapat pula ditambahkan antioksidan,
misalnya : natrium bisulfida, natrium meta bisulfit, thioerea, ADTA, dan lain-lain.
2. Homogenizer
Alat ini mempunyai karakteristik memperkecil ukuran partikel yang sangat efektif
namun tidak menghomogenkan campuran. Cara kerja alat ini adalah dengan menekan
cairan, dipaksa melalui suatu celah yang sempit, kemudian dibenturkan ke suatu
dinding atau ditumbukkan pada peniti-peniti 18 metal yang ada dalam celah tersebut.
Cara ini efektif sehingga bisa didapatkan diameter partikel rata-rata < 1 m.
KONTROL EMULSI
Kontrol emulsi dimaksudkan untuk mengetahui sifat fisika dari emulsi dan
dipergunakan untuk mengevaluasi stabilitas emulsi. Pada saat produksi keseragaman
sifat fisika dari batch satu ke batch yang lain sangat penting agar kualitas obat tetap
sama. Konsumen/pemakai tidak selalu memperoleh sedimen dengan nomer batch
yang sama apalagi untuk konsumen yang rutin mempergunakannya.
Cara-cara kontrol emulsi :
1. Determinasi tipe emulsi
ᵒ Metode pengenceran : dalam tabung reaksi yang berisi air ditambahkan
beberapa tetes emulsi. Bila terjadi campuran homogen atau emulsi terencerkan
oleh air maka emulsi bertipe o/w dan sebaliknya.
ᵒ Metode pewarnaan : emulsi tipe o/w akan terwarnai oleh zat warna yang larut
dalam air. Demikian sebaliknya untuk emulsi yang bertipe w/o dapat diwarnai
oleh zat warna yang larut minyak.
ᵒ Konduktibilitas elektrik : pada umumnya air merupakan konduktor yang lebih
baik dibandingkan minyak. Bila emulsi dapat menghantar aliran listrik maka
emulsi tersebut bertipe o/w. Sebaliknya bila tidak menghantar listrik bertipe w/o.
Jika suatu emulsi dengan surfaktan nonionik kemungkinan konduktabilitasnya
lemah sekali, sehingga untuk mendeteksi dapat ditambahkan NaCl.
2. Distribusi granulometrik
Distribusi granulometrik dari partikel fase dispers dan diameter rata-rata nya
dapat digunakan untuk mengevaluasi stabilitas emulsi vs waktu. Bila terjadi
peristiwa koalesensi, diameter rata-rata partikel akan berubah menjadi besar.
Disamping itu sedimen emulsi 19 umumnya berupa sedimen yang mempunyai
konsentrasi tinggi, sehingga menyulitkan perhitungan distribusi granulometrinya.
Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan pengencerean sedimen.
3. Determinasi sifat rheologi
Kontrol sifat rheologi emulsi/suspensi (sistem dispers) termasuk penting
karena perubahan konsistensi dapat disebabkan karena proses : fabrikasi atau
penyimpanan. 4. Test penyimpanan yang dipercepat
Test ini dimaksudkan untuk memperpendek waktu pengamatan suatu sedimen
emulsi/suspensi. Dalam prakteknya agar diperoleh gambaran yang lebih
mendekati keadaan yang sesungguhnya perlu dicari korelasi antara kondisi
pengamatan yang dipercepat dengan pengamatan sesungguhnya dalam kondisi
normal.
Ada beberapa cara test pada penyimpanan yang dipercepat :
a. Temperatur 40-60° C : penyimpanan pada suhu yang relatif lebih tinggi akan
menurunkna viskositasnya (tergantung sifat emulsi). Penurunan viskositas akan
mempengaruhi kestabilan fisika emulsi/suspensi.
b. Sentrifugasi : sentrifugasi pada kecepatan tertentu akan menaikkan harga g
(gravitasi) pada rumus stokes. Dengan demikian akan terjadi pemisahan partikel
yang lebih cepat pula.
c. Shock thermic : emulsi /suspensi disimpan pada temperatur tinggi dan rendah
secara bergantian pada waktu tertentu. Misal pada suhu 60° C selama 1 hari
kemudian dilanjutkan pada suhu 4° C selama sehari. Ini diulangi sampai masing-
masing 4 kali, kemudian didiamkan pada suhu kamar untuk kemudian dilakukan
pembacaan hasil
D. CARA PERCOBAAN
a. Formula:
R/ Oleum Arachidis 10 gram,
Tween 80,
Span 80
Aquadest ad 50ml
b.Buatlah 3 formula seperti di atas dengan menggunakan tween dan span dengan
perbandingan sebagai berikut
I II III
Tween 80 75 50 25 bagian
Span 80 25 50 75 bagian
E. PEMBUATAN
1. Oleum arachidis ditambah tween dan span, panaskan dalam bekker glass sampai 70°C
2. Sementara itu siapkan air yang telah dipanasi 70° C
3. Tuangkan bagian air ke dalam bagian minyak porsi per porsi sambil diaduk.
4. Masukkan cairan kedalam blender, putarkan selama 1 menit. Kemudian masukkan ke
dalam bekker glass besar sambil diaduk sampai dingin (dengan meletakkan bekker
glass di dalam yang berisi air).
5. Masukkan emulsi kedalam tabung reaksi yang berskala dan amati pemisahan yang
terjadi. (bila perlu dilakukan sentrifugasi).
6. Tentukan pula viskositas emulsi dengan viskosimeter stormer. (tentukan dulu 2 cairan
yang telah diketahui viskositasnya pada suhu tertentu).
7. Hitung masing-masing HLB campuran tween-span yang dipakai.
8. Bandingkan nilai HLB dengan stabilitas emulsi, pertimbangkan pula viskositasnya.
F. HASIL PENGAMATAN
PERHITUNGAN FORMULA 1
Tween = 75/100x 25= 1.875g
Span = 25/100x 25= 0.625g
PERHITUNGAN FORMULA 2
Tween =50/100x2.5 =1.25g
Span = 50/100x2.5 =1.25g
PERHITUNGAN FORMULA 3
Tween = 25/100x2.5= 0.625g
Span = 75/100x2.5= 1.875g
HLB Tween 80 = 15
HLB Span 80 = 4.3
HLB CAMPURAN FORMULASI 1
Tween 80= 75/100*15= 11.25
Span 80 = 25/100x 4.3= 1.075
HLB Campuran = 11.25+1.075= 12.325
HLB CAMPURAN FORMULASI 2
Tween 80= 50/100*15 = 7.5
Span 80 = 50/100*4.3= 2.15
HLB Campuran = 7.5+2.15 = 9.65
HLB CAMPURAN FORMULASI 3
Tween 80= 25/100*15 =3.75
Span 80 = 75/100*4.3 = 32,25
Kontrol emulsi yang digunakan pada percobaan kali ini adalah Shock thermic. Shock
thermic adalah suatu kontrol emulsi dengan cara cairan emulsi disimpan pada temperatur
suhu tinggi dan rendah secara bergantian pada waktu tertentu. Pada percobaan ini dilakukan
pada suhu ruang dan pada suhu didalam lemari es. Dilakukan dalam 3 siklus, setiap satu
siklus (2 hari) hari pertama pada suhu dingin hari kedua pada suhu ruang. Diulang sampai
siklus ke tiga.
pH :5 Rasa : tengik
Bau : tengik
Rasa : tengik
Terdapa endapan Formula 3:
Ph :5
pH :5 Bau : tengik
SIKLUS 1
SIKLUS 2
SIKLUS 3
SIKLUS 1
SIKLUS 2
SIKLUS 3
SIKLUS 1
SIKLUS 2
Tidak ada endapan,
HARI KE-3 Dingin
tetap homohen
SIKLUS 3
F. PEMBAHASAN
Dalam pembuatan suatu emulsi digunakan suatu emulgator atau surfaktan
yang bertujuan untuk menurunkan tegangan antar muka air dan minyak serta
membentuk lapisan film pada permukaan fase terdispersi. Pada percobaan
ini digunakan dua surfaktan yang dikombinasikan dengan tujuan untuk
memperoleh HLB surfaktan yang persis sama dengan HLB minyak yang
dibutuhkan.
Secara kimia molekul surfaktan terdiri atas gugus polar dan non polar.
Apabila surfaktan dimasukkan ke dalam sistem yang terdiri dari air dan minyak,
maka gugus polar akan mengarah ke fase air sedangkan gugus non polar akan
mengarah ke fase minyak. Griffin menyusun suatu skala ukuran HLB surfaktan
yang dapat digunakan menyusun daerah efisiensi HLB optimum untuk setiap
fungsi surfaktan. HLB butuh minyak yang digunakan juga perlu diketahui. Pada
umumnya nilai HLB butuh suatu minyak adalah tetap untuk setiap emulsi
tertentu dan nilai ini di tentukan berdasarkan percobaan. Menurut Griffin, nilai
HLB butuh setara dengan nilai HLB surfaktan yang digunakan untuk
mengemulsikan minyak dengan air sehingga membentuk suatu emulsi yang stabil.
Dalam percobaan ini digunakan kombinasi emulgator tipe air (Tween 80)
dan emulgator tipe minyak (span 80). Pada percobaan ini sebagai fase minyak
digunakan Oleum Ricini yang dicampur dengan span 80, sedangkan sebagai fase
air adalah aquadest yang dicampur dengan tween 80.
Dalam pembuatan emulsi oleum arachidis, terlebih dahulu dihitung
berapakah nilai HLB butuh yang akan digunakan dalam pembuatan emulsi. HLB
butuh setara dengan HLB campuran surfaktan yang digunakan untuk
mengemulsikan minyak sehingga membentuk emulsi yang stabil. Dimana nilai
HLB (Hydrophylic-Lipophylic Balance) sendiri merupakan angka yang
menunjukan ukuran keseimbangan dan regangan gugus hidrofilk dan lipofilk
yaitu tween 80 dan span 80 sebagai surfaktan yang menjadi emulgator dalam
pembuatan emulsi oleum ricini. Surfaktan adalah suatu zat yang mempunyai
gugus hidrofilk dan lipofilk segaligus dalam molekulnya, oleh karena itu
surfaktan digunakan sebagai emulgator yang berfungsi untuk membuat partikel
minyak menjadi terdispersi dalam air.
Pembuatan sediaan emulsi dilakukan dengan mencapurkan fase minyak
dengan Span 80 dan fase air dengan tween 80. Tween 80 bersifat polar sehingga
dapat bercampur dengan air sedangkan span 80 bersifat nonpolar sehinggan dapat
bercampur dengan minyak. Masing-masing campuran tersebut kemudian
dipanaskan hingga suhu 70oC. Pembuatan emulsi dilakukan pada suhu yang sama
yaitu 70oC untuk mencegah pemisahan kembali antara fase minyak dan fase air
yang telah dicampurkan.
Emulsi Oleum Arachidis kemudian diamati secara organoleptis. Emulsi
Oleum Arachidis berwarna putih susu dengan bau yang tengik dan rasa tengik.
Emulsi Oleum Arachidis memiliki pH yaitu 5.
Dari ketiga formula yang sudah dilakukan dapat diketahui pada emulsi
yang stabil adalah yang nilai HLB nya setara dengan nilai HLB surfaktan. Seperti
pada uji yang dilakukan pada formula 2 dan 3. Emulsi tersebut stabil karna tidak
menghasilkan endapan.
G. KESIMPULAN
Emulsi adalah sistem dua fase yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Dalam percobaan ini digunakan
kombinasi emulgator tipe air (Tween 80) dan emulgator tipe minyak (span 80).
Pada percobaan ini sebagai fase minyak digunakan Oleum Ricini yang dicampur
dengan span 80, sedangkan sebagai fase air adalah aquadest yang dicampur
dengan tween 80.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap sediaan emulsi, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1) Uji Organoleptik : sediaan berbentuk emulsi tipe minyak dalam air (m/a),
berwarna putih susu, bau tengik dan rasa tengik.
2) Uji Pemeriksaan pH ; pH sediaan emulsi adalah 5
Dan diketahui bahwa emulsi yang stabil adalah emulsi yang mempunyai nilai
HLB setara dengan nilai HLB surfaktannya.
PERCOBAAN 3
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa mengetahui pengaruh penggunaan alat terhadap stabilitas
emulsi.
II. DASAR TEORI
Emulsi adalah suatu sistem heterogen terdiri dari 2 cairan yang
tidakbercampur, cairan yang satu terdispersi di dalam cairan yang lain
dalam bentuk tetes-tetes kecil yang pada umumnya mempunyai diameter >
0,1µm . Dalam bidang farmasi, secara sederhana emulsi diartikan sebagai
campuran homogen dari 2 cairan yang dalam keadaan normal tidak dapat
bercampur (fase air dan fase minyak), dengan pertolongan suatu bahan
penolong yang disebut emulgator. Dalam sistem dispersi cairan yang
terdispersi disebut fase dispersi atau fase intern, sedangkan cairan dimana
terdapat fase dispers disebut medium dispers atau fase extern. Fase yang
berair dapat terdiri dari air atau campuran sejumlah substansi hidrofil
seperti : alkohol, glikol, gula, garam mineral, garam organik, dan lain-lain.
Sedangkan fase organik pada umumnya berminyak, dapat terdiri dari
substansi lipofil seperti : asam lemak, alkohol asam lemak, lilin, zat-zat
aktif liposolubel dan lain-lain.
Penggunaan emulsi :
Sediaan farmasi maupun kosmetik bentuk emulsi banyak sekali dijumpai
baik untuk pemakaian topikal maupun sistemik, misalnya :
Per-oral : kebanyakan adalah emulsi tipe o/w, bentuk ini mempunyai
banyak keuntungan antara lain mudah diabsorbsi, homogenitas dosis
mudah didapat.
Topikal : dalam sediaan farmasi topikal maupun kosmetik, tipe emulsi
baik o/w maupun w/o banyak sekali digunakan tergantung maksud
penggunaannya.
EMULGATOR
Dalam bidang farmasi, emulgator yang sering digunakan sebagai bahan
tambahan dapat dikelompokkan dalam 3 golongan sebagai berikut :
1. Surfaktan / SAA14
2. Hidrokoloid
3. Zat padat halus yang terdispersi
1. Surfaktan
Surfaktan adalah suatu zat yang mempunyai gugus hidrofil dan gugus
lipofil sekaligus dalam molekulnya. Zat ini akan berada dipermukaan
cairan atau antarmuka 2 cairan dengan cara teradsorpsi. Gugus hidrofil
akan beradapada bagian air sedangkan gugus lipofil akan berada pada
bagian minyak.
Berdasarkan atas muatan yang dihasilkan kalau zat ini terhidrolisis dalam
air, maka surfaktan dapat dibagi menjadi 4 golongan :
1. Surfaktan anionik
Contoh : sodium lauril sulfate, sodium dioctyl sulfosuksinat
2. Surfaktan kationik
Contoh : cetrimide (hexadecy trimetyl ammonium bromide), dodecy
pyridium iodide
3. Surfaktan amfoterik
Contoh : lecithin, N-dodecyl alanine
4. Surfaktan non-ionik
Contoh : tween 80, span 80
2. Hidrokoloid
Emulgator hidrokoloid dapat menstabilkan emulsi dengan cara
membentuk lapisan yang rigid / kak, bersifat viskoelastik pada permukaan
minyak tanah. Zat ini bersifat larut dalam air (menjadi koloid dengan
adanya air), dan akan membentuk emulsi tipe o/w.
Yang termasuk emulgator hidrokoloid :
a. Gom : Gom arab, Tragacanth
b. Ganggang laut : agar-agar , alginat, caragen
c. Biji-bijian : guar gum
d. Selulosa : karboksilmetilselulosa(CMC), metilselulosa (MC)
e. Collagen : gelatin
f. Lain-lain : polimer sintetik, protein ,dan lain-lain
PEMBUATAN EMULSI
Cara pencampuran :
1. Bila menggunakan surfaktan
a. Surfaktan yang larut dalam minyak dilarutkan dalam minyak.
Surfaktan yang larut dalam air dilarutkan dalam air. Kemudian fase
minyak ditambahkan ke dalam fase air. Cara ini digunakan
biladiinginkan terbentuknya sabun (hasil reaksi, sebagai emulgator).
b. Fase minyak ditambah surfaktan (misalnya tween dan span).
Dipanaskan kurang lebih 60-70° C, kemudian fase air ditambahkan
porsi per porsi sambil diaduk hingga terbentuk emulsi, kemudian
didinginkan sampai temperatur kamar sambil dilakukan pengadukan.
2. Bila menggunakan hidrokoloid atau padatan yang terdispersi
Metode Anglosaxon
Dibuat musilago antara emulgator dengan sebagian air,
kemudianminyak dan air ditambahkan sedikit demi sedikit secara
bergantian sambil di aduk.
Metode continental (4-2-1)
Minyak 4 bagian ditambah gom 1 bagian dihomogenkan dalam mortir
kering, kemudian ditambahkan 2 bagian air, diaduk hingga terjadi
korpus emulsi, kemudian ditambahkan sisa airnya sedikit-sedikit
sampai habis sambil diaduk.
Cara pencampuran yang berlainan akan memberikan hasil yang berlainan.
Sebagai contoh emulsi yang dibuat dengan emulgator surfaktan. Bila
surfaktan dilarutkan dahulu dalam air, maka akan terbentuk mantel air
disekitar misel yang terjadi, ini menyulitkan pemasukan fase minyak
kedalam miselnya.
Pengawetan emulsi
Emulsi maupun suspensi mudah ditumbuhi mikroba. Cara yang paling
baik untuk mengatasinya adalah dengan menggunakan bahan yang sedikit
mungkin terkontaminasi oleh mikroba atau dengan menambahkan
preservative/pengawet. Pengawet sebaiknya mempunyai sifat : toksisitas
rendah, stabil (dalam panas dan penyimpanan), dapat campur dengan
bahan lain, efektif sebagai antimikroba. Selain karena mikroba emulsi
dapat juga rusak karena reaksi oksidasi, maka pada emulsi dapat pula
ditambahkan antioksidan, misalnya : natrium bisulfida, natrium meta
bisulfit, thioerea, ADTA, dan lain-lain.
2. Homogenizer
Alat ini mempunyai karakteristik memperkecil ukuran partikel yang sangat
efektif namun tidak menghomogenkan campuran. Cara kerja alat ini
adalah dengan menekan cairan, dipaksa melalui suatu celah yang
sempit,kemudian dibenturkan ke suatu dinding atau ditumbukkan pada
peniti-peniti metal yang ada dalam celah tersebut. Cara ini efektif sehingga
bisa didapatkan diameter partikel rata-rata < 1 µm.
V. HASIL PRAKTIKUM
Dari praktikum ini didapat hasil sebagai berikut :
- Mortir : emulsi berwarna putih kekuningan, kurang
homogen, ada sedikit lapisan minyak dibagian atas, pH 6, rasa asam
- Homogenizer : emulsi berwarna putih susu, tercampur homogen,
rasa asam, pH 6
1 0 - -
5 1 0,5
10 2 1
15 2,5 1,5
20 3 2
25 3,5 2,5
30 4 3
2 - 4,5 3,5
3 - 5 4,5
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini alat yang digunakan adalah mortir dan
homogenizer. Tahap pertama adalah pembuatan larutan CMC-Na dengan
mensuspensikan CMC-Na dalam air panas yang di maksudkan agarcepat
terbentuk koloid, kemudian larutan di aduk hingga jernih,
untukmempercepat proses pengadukan dapat di gunakan stirrer.
Dan penambahan aires berfungsi untuk membantu penurunan suhu agar
tercapai suhu 25oc. Adapun metode yang digunakan dalam membuat
emulsi dengan metodegom basah (metode inggiris) yaitu dengan cara
oleum arachidis di masukkanmixer dan ditambahkan larutan CMC-Na
sedikit demi sedikit sampai terbentuk corpus emulsi dan diencerkan
dengan aquadest hingga diperoleh 1000 ml. Kemudian dibagi menjadi 2
bagian masing – masing 500 ml. Bagian 1 dilanjutkan pengadukan dengan
mixer selama 2 menit, bagian II denganhomogenizer ± 2 menit. Lalu
masing-masing emulsi dibagi dalam 2 tabung reaksiberskala untuk di
amati stabilitasnya.
Pada pengujian pengaruh penggunaan alat terhadap stabilitas
emulsi ini diperoleh hasil yang berbeda untuk setiap alat yang digunakan.
Pada penggunaan alat mortir dan homogenizer didapat hasil yang lebih
stabil emulsinya adalah emulsi dengan alat homogenizer karena
homogenizer mempunyai karakteristikmemperkecil ukuran partikel.
Semakin kecil ukuran partikel homogenitaslarutan juga semakin
baik dan stabilitas emulsi mempertahankan kondisilarutan supaya
stabil juga akan semakin tinggi, sehingga emulsi yang diperoleh tidak
mudah memisah. Sedangkan penggunaan alat mortir yang manual, emulsi
yang dihasilkan cepat memisah.
VII. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat
dalam pembuatan emulsi mempengaruhi stabilitas emulsi yang dihasilkan.
Didapatkan hasil penggunaan alat homogenizer emulsi yang dihasilkan
lebih stabil dibandingkan dengan penggunaan alat mortir, hal tersebut
sesuai dengan teori yang diajarkan.
DAFTAR PUSTAKA