Anda di halaman 1dari 21

BAHAN AJAR

MATA PELATIHAN MANAJEMEN PELATIHAN

PADA PELATIHAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS


(E-LEARNING)

Nama: Abdul Haris Pito


NIP: 197612192003121002

PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS PENDIDIKAN DAN KEAGAMAAN


BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI
J A K A R T A
2020
BAHAN AJAR
MANAJEMEN PELATIHAN

A. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini bertujuan untuk menjelaskan dan menerapkan konsep
manajemen program pelatihan secara efektif dan efisien.

B. Kompetensi Dasar
1. Menjelaskan dan menerapkan manajemen program pelatihan yang efektif dan
efisien.
2. Menyusun dan mempresentasikan program pelatihan yang efektif dan efisien.

C. Konsep Pelatihan
Kata pelatihan menurut Poerwadarminta (1986) berasal dari kata “latih”
ditambah berawalan pe-, dan akhiran -an yang artinya telah biasa, keadaan telah biasa
diperoleh seseorang setelah melalui proses belajar atau diajar. Latihan berarti pelajaran
untuk membiasakan diri atau memperoleh kecakapan tertentu, sedangkan pelatih
adalah orang-orang yang memberikan latihan. Menurut Undang-Undang No.13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan pasal I ayat 9, pelatihan adalah keseluruhan kegiatan
untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian
tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan.
Berdasarkan pendapat para ahli, pelatihan memiliki makna yang beragam.
Pelatihan menurut Imam Hardjanto (2012:69) merupakan bagian dari pendidikan yaitu
menyangkut proses belajar yang dilaksanakan di luar sekolah, memerlukan waktu yang
relatif singkat, serta lebih menekankan pada praktik. Pelatihan bersifat spesifik, praktis,
dan segera. Spesifik mengandung maksud pelatihan berhubungan dengan bidang
pekerjaan yang dilakukan. Praktis dan segera berarti pelatihan yang dilaksanakan
merupakan upaya memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan kerja dalam waktu
yang relatif singkat dan lebih banyak praktek daripada teori.
Gomes (1997:197) juga menyatakan bahwa pelatihan adalah setiap usaha untuk
memperbaiki prestasi kerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi
tanggung jawabnya. Untuk itu, idealnya pelatihan harus dirancang untuk mewujudkan
tujuan-tujuan organisasi, yang pada waktu bersamaan juga mewujudkan tujuan-tujuan
para pekerja secara perorangan. Pelatihan sering dianggap sebagai kegiatan yang paling
umum dilakukan oleh para pimpinan/atasan untuk meningkatkan keterampilan pegawai
atau para pekerja, agar lebih produktif dalam bekerja sekalipun manfaat-manfaat
tersebut harus diperhitungkan dengan waktu yang tersita karena pegawai/pekerja
tersebut sedang melaksanakan pelatihan.
Oemar Hamalik (2007:10) mengemukakan bahwa pelatihan adalah suatu proses
yang meliputi serangkaian tindakan (upaya) yang dilaksanakan dengan sengaja dalam
bentuk pemberian bantuan kapada tenaga kerja yang dilakukan oleh tenaga profesional
kepelatihan dalam satuan waktu yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerja
peserta dalam bidang pekerjaan tertentu guna meningkatkan efektivitas dan
produktivitas dalam suatu organisasi. Dengan demikian dapat diuraikan bahwa: 1)
Pelatihan adalah suatu proses, 2) Pelatihan dilaksanakan dengan sengaja, 3) Pelatihan
diberikan dalam bentuk pemberian bantuan, 4) Sasaran pelatihan adalah unsur
ketenagakerjaan, 5) Pelatihan dilaksanakan oleh tenaga professional, 6) Pelatihan
berlangsung dalam satuan waktu tertentu, 7) Pelatihan meningkatkan kemampuan kerja
peserta, dan Pelatihan harus berkenaan dengan pekerjaan tertentu.
Model pelatihan pada awalnya berkembang pada dunia usaha terutama melalui
kegiatan magang secara tradisional. Dalam sebuah magang tradisional, kegiatan belajar
mengajar dilakukan oleh seorang warga belajar (peserta pelatihan) dan seorang sumber
belajar (tutor). Pada perkembangan selanjutnya, interaksi edukatif yang terjadi dalam
pelatihan tidak hanya melalui perorangan akan tetapi terjadi melalui kelompok warga
belajar/peserta pelatihan yang memiliki kebutuhan dan tujuan belajar yang sama
dengan didampingi oleh satu atau lebih pelatih/sumber
belajar/trainers/tutor/instruktur/widyaiswara. Menurut Allison Rosset (1987) dalam
Djudju Sudjana (1993:12) menyatakan bahwa tujuan pelatihan dapat tercapai apabila
warga belajar, tutor saling memahami, saling menghargai, saling pengertian dan saling
membelajarkan satu dengan lainnya.
Selanjutnya menurut Sudjana, pada abad pertengahan sampai awal abad ke-19,
kondisi dan perkembangan interaksi edukatif dalam model pelatihan/training yang
dikembangkan oleh dunia usaha dibangun atas dasar kebutuhan peningkatan produksi,
memperluas pemasaran, dan kemampuan perusahaan dalam memantapkan pengelolaan
unit usaha itu sendiri. Interaksi edukatif yang terjadi pada model pelatihan saat itu
adalah adanya interaksi edukatif antara tiga kelompok orang dalam kegiatan
belajarnya. Kelompok pertama, adalah orang-orang yang telah memiliki keahlian
dalam bidang usaha. Merekalah yang menguasai pengetahuan dan keterampilan untuk
meningkatkan produksi, pengadaan bahan Baku, dan pemilikan Dana. Kelompok
kedua, yaitu orang-orang yang telah memiliki keahlian sebagaimana keahlian
kelompok pertama. Keahlian itu mereka peroleh dengan belajar dari kelompok
pertama, namun mereka tidak memiliki modal usaha. Kelompok ketiga adalah orang-
orang yang belum memiliki keahlian sebagaimana keahlian yang telah dimiliki oleh
orang pertama dan kedua. Orang-orang yang termasuk pada kelompok ketiga ini
sedang belajar dari kelompok pertama dan atau kelompok kedua pada saat mereka
bekerja di perusahaan. Dengan kata lain kelompok ketiga tersebut belajar sambil
bekerja. Model pelatihan ini terjadi ketika dunia industri mulai berkembang.
Saat ini, pelatihan mengalami perkembangan yang cukup pesat dan
diselenggarakan oleh berbagai lembaga pelatihan baik pemerintah maupun non
pemerintah. Beberapa kategori dan model pelatihan yang dilakukan lembaga
pemerintah Departemen dan non-Departemen menurut Mustafa Kamil (2003) di
antaranya adalah dalam bentuk: pre-service training (pra jabatan), in-service training
(latihan dalam jabatan) dan social service training (latihan dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat). Pelatihan-pelatihan tersebut di antaranya berdasar pada
konsep kebutuhan jabatan dan atau self-actualisation.
Berdasarkan tempat penyelenggaraannya, pelatihan dibedakan dalam 3 jenis
yaitu: Program On the Job Training yaitu program pelatihan ini dikembangkan dan
diimplementasikan organisasi secara formal sekalipun ada juga yang
mengembangkannya secara tidak formal; 2) Program On Site but not On the Job
Training yaitu program pelatihan yang sesuai untuk organisasi yang membutuhkan
after-hour programs dimana organisasi menghendaki agar kajian mandiri pelatihan dan
pengembangan SDM pegawai tetap keep in touch atau berkaitan dengan bidang
pekerjaannya. Metode ini juga sesuai untuk pegawai yang ingin meng-up date keahlian
dan pengetahuannya. 3) Program Off the Job Training yaitu program pelatihan yang
digunakan untuk pegawai non-manajerial dan pegawai manajerial. Pelatihan ini dapat
menggunakan metoda formal course, simulation, human relations role playing, human
relation sensitivity training, case discussion, dan wilderness training.
Pelatihan bertujuan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan
kompetensi kerja dalam meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan,
seperti: 1) memperbaiki kinerja pegawai yang bekerja karena kekurangan keterampilan,
2) memuktahirkan keahlian para pegawai sejalan dengan kemajuan teknologi. Melalui
pelatihan, pelatih memastikan bahwa pegawai dapat megaplikasikan teknologi baru
secara efektif, 3) mengurangi waktu pembelajaran bagi pegawai baru agar kompeten
dalam pekerjaan, 4) membantu memecahkan masalah orperasional, 5) mempersiapkan
pegawai untuk promosi/ satu cara untuk menarik, menahan, dan memotivasi pegawai,
6) mengorientasikan pegawai terhadap organisasi, dan 7) memenuhi kebutuhan
pertumbuhan organisasi (Simamora, 2006).
Beberapa manfaat program pelatihan diantaranya: 1) meningkatkan kuantitas dan
kualitas produktivitas, 2) mengurangi waktu belajar yang diperlukan pegawai untuk
mencapai standar kinerja yang dapat diterima, 3) membentuk sikap, loyalitas, dan
kerjasama yang lebih menguntungkan, 4) memenuhi kebutuhan perencanaan
semberdaya manusia, 5) mengurangi frekuensi dan biaya kecelakaan kerja, dan 6)
membantu pegawai dalam peningkatan dan pengembangan pribadi mereka. Program
pelatihan/Diklat yang efektif adalah program pelatihan yang dapat mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dan berdampak pada meningkatnya kinerja peserta pelatihan
(Simamora, 2006).

D. Konsep Manajemen Program Pelatihan

Menurut Syarifudin (2005:1) yang dimaksud manajemen adalah kemampuan


mengarahkan dan menggerakkan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan dari
kelompok manusia dengan menggunkan potensi-potensi sumber daya manusia dan
sumberdaya lainnya. Sedangkan pelatihan menurut Sugiyono (1998:1) adalah semua
kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan kinerja pegawai pada pekerjaan yang
sedang atau yang akan dihadapi. Berdasarkan kedua pengertian tersebut, yang
dimaksud manajemen pelatihan adalah seni mengelola berbagai komponen dalam
kegiatan pelatihan secara efektif dan efisien agar sesuai dengan tujuan program
pelatihan yang diharapkan. Komponen pelatihan meliputi: tujuan, materi, metode,
media, instruktur/narasumber dan evaluasi.
Penyusunan program pelatihan hendaknya dilakukan untuk mengatasi masalah
tertentu yang akan memberi kontribusi dalam mencapai tujuannya. Pelatihan bukanlah
sebuah program untuk menghabiskan dana yang telah dianggarkan, tetapi program
pelatihan hendaknya merupakan suatu kegiatan yang terstruktur yang harus dapat
memberi nilai tambah (adding value) bagi organisasi.
Kegiatan manajemen pelatihan terdiri atas perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian dan evaluasi. Pada tahap perencanaan, hal-hal yang perlu diperhatikan
diantaranya persiapan penentuan kurikulum, penentuan peserta pelatihan, penentuan
instruktur, penentuan metode pelatihan, dan lain-lain. Pada tahap pelaksanaan, adalah
pada proses kegiatan pelatihannya. Sedangkan pengendalian dan evaluasi merupakan
kegiatan yang berfungsi sebagai kontrol terhadap ketercapaian tujuan pelatihan.
Efektifitas program pelatihan dapat ditunjukkan melalui kegiatan evaluasi
program pelatihan/diklat untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari
kegiatan yang direncanakan sekaligus sebagai upaya menyediakan informasi dalam
menetapkan berbagai alternatif pengambilan keputusan berdasarkan hasil evaluasi
(Nasihatun, 2019). Ahli evaluasi Donald Kirkpatrick (15 Maret 1924 s.d. 9 Mei 2014)
mengemukakan 4 level evaluasi, meliputi: 1) level reaction/reaksi, 2) level
learning/belajar, 3) level behavior/perilaku, dan 4) level result/dampak/hasil untuk
mengukur efektifitas program pelatihan. Model evaluasi Kirkpatrick populer dengan
nama Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model atau model evaluasi 4 level
Kirkpatrick. Menurut Kirkpartick, indikator keberhasilan pelatihan dapat diukur
melalui 4 hal yaitu pada evaluasi reaksi, evaluasi pembelajaran, evaluasi perilaku, dan
evaluasi hasil pelatihan.
Evaluasi reaksi peserta pelatihan/training berarti mengukur kepuasan peserta.
Program pelatihan dianggap efektif apabila proses pelatihan dirasa menyenangkan dan
memuaskan bagi peserta pelatihan, sehingga mereka tertarik dan termotivasi untuk
belajar dan berlatih dengan antusias. Dengan kata lain, peserta pelatihan akan
termotivasi apabila proses pelatihan berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada
akhirnya akan memunculkan reaksi menyenangkan dari peserta pelatihan. Sebaliknya,
apabila peserta tidak merasa puas terhadap proses pelatihan yang diikutinya mereka
tidak akan termotivasi untuk mengikuti pelatihan. Hal-hal yang dievaluasi pada tahap
reaksi ini diantaranya meliputi: evaluasi terhadap instruktur/pelatih/narasumber,
fasilitas pelatihan, jadwal pelatihan, media pelatihan, materi pelatihan, konsumsi,
modul pelatihan, dan lain-lain.
Evaluasi pembelajaran bertujuan untuk mengetahui sejauhmana daya serap
peserta program pelatihan terhadap materi pelatihan baik dalam hal peningkatan
knowledge, skill dan attitude mengenai suatu hal yang dipelajari selama pelatihan
berlangsung. Peserta pelatihan/training dikatakan telah belajar apabila pada dirinya
telah mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan
keterampilan. Oleh karena itu, untuk mengukur efektivitas porgram pelatihan/training
maka ketiga aspek tersebut perlu untuk diukur. Tanpa adanya perubahan sikap,
peningkatan pengetahuan atau keterampilan pada peserta training maka program dapat
dikatakan gagal. Penilaian learning evaluating ini ada yang menyebut dengan penilaian
hasil (output) belajar.
Evaluasi perilaku difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi pada saat
kegiatan pembelajaran dilakukan sehingga lebih bersifat internal, sedangkan penilaian
tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah laku peserta setelah selesai mengikuti
kegiatan pelatihan sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal.
Perubahan perilaku peserta pelatihan ini merupakan perubahan sikap dan perilaku
setelah mengikuti program pelatihan yang terjadi di tempat kerja peserta pelatihan.
Dengan kata lain, yang perlu dinilai adalah apakah peserta pelatihan merasa
senang/termotivasi setelah mengikuti training dan kembali ke tempat kerja atau tidak,
serta bagaimana peserta pelatihan dapat mentrasfer pengetahuan, sikap dan ketrampilan
yang diperoleh selama pelatihan untuk benar-benar dimanfaatkan dan diaplikasikan di
dalam perilaku kerja sehari-hari dan berpengaruh secara signifikan terhadap
peningkatan kinerja/kompetensi di unit kerjanya masing-masing.
Evaluasi hasil adalah evaluasi terhadap impact program pelatihan (pengaruh
program pelatihan). Evaluasi hasil ini berfungsi untuk mengukur hasil dari pelatihan
terhadap keuntungan pelaksanaan program pelatihan (profitability), dan
produktifitasnya. Evaluasi hasil akhir ini dapat dilakukan dengan membandingkan
kelompok kontrol dengan kelompok peserta pelatihan, mengukur kemampuan peserta
pelatihan/training sebelum dan setelah mengikuti pelatihan apakah ada peningkatan
atau tidak.
Mendesain Program Pelatihan
Desain pelatihan berkaitan dengan penyusunan program pelatihan yang
mempertimbangkan aspek organisasi, pekerjaan, dan individu. Desain pelatihan yang
efektif berarti program pelatihan yang mampu menghasilkan outcomes berupa
cognitive outcomes, skill-based out-comes, affective outcomes dan reaction outcomes
(Noe, et al., 2003). Program pelatihan dinyatakan efektif apabila peserta pelatihan
memperoleh berbagai manfaat pelatihan yang dapat dilihat dari aspek kognitif, aspek
ketrampilan, aspek afeksi dan aspek reaksi.
Cognitive outcomes berkaitan dengan ukuran seberapa jauh peserta pelatihan
mampu menguasai prinsip, fakta, teknik, prosedur dan proses yang ditekankan dalam
pelatihan. Ukuran kognitif ini menunjukan tingkat pemahaman peserta dalam
mengikuti proses pembelajaran pada program pelatihan. Skill-based outcomes
berkaitan dengan seberapa jauh peserta pelatihan menggunakan ketrampilan yang
diperolehnya untuk pekerjaan sehari-hari. Manajer atau pengawas dapat mengetahui
efek pelatihan dengan mengamati perilaku bawahannya, apakah ia menggunakan
ketrampilan yang diperolehnya pada saat pelatihan atau tidak.
Affective outcomes berkaitan dengan sikap individu terhadap fasilitas pelatihan,
pelatih/instruktur, dan materi pelatihan. Sedangkan reaction out-comes berkenaan
dengan kenyamanan individu terhadap fasilitas pelatihan yang diperolehnya pada saat
pelatihan, sikap positif terhadap pelatihnya dan kepuasan pada materi yang
diperolehnya. Dukungan organisasional adalah keyakinan karyawan tentang seberapa
jauh organisasi memperhatikan kesejahteraan dan memberikan nilai bagi kontribusi
yang telah diberikannya terhadap organisasi.
Dukungan organisasional berkaitan dengan keinginan pihak manajemen untuk
memberikan kompensasi terhadap berbagai usaha karyawannya, memberikan bantuan
kesejahteraan, memberikan solusi permasalahan dalam pekerjaan, dan menjamin
lingkungan kerja yang nyaman (Aube et al., 2007). Di sisi lain, dukungan pengawas
adalah keyakinan karyawan tentang seberapa jauh pengawas memperhatikan
kesejahteraan dan memberikan nilai bagi kontribusi yang telah diberikannya terhadap
organisasi (Eisenberger et al., 2002).
Dukungan organisasional memainkan peran yang penting dalam menentukan
kinerja suatu pekerjaan karena berkaitan dengan terbentuknya komit-men individu,
perilaku sosial dan kesejahteraan karyawan (Johlkeet al., 2002). Selain itu, dukungan
organisasional dan pengawasan ini sangat menentukan keberhasilan transfer pelatihan
karena sangat berkaitan dengan lingkungan kerja. Individu akan termotivasi untuk
menggunakan ketrampilan dan pengetahuan baru yang diperolehnya apabila
lingkungan kerjanya memang mendukungnya. Artinya, atasan dan pihak organisasi
secara umum tidak bersikap antipasti terhadap sesuatu hal yang baru dan mendukung
sepenuhnya realisasi aplikasi keterampilan dan pengetahuan baru tersebut.
Selain itu, peran pelatih/Instruktur pelatihan juga sangat mendukung keberhasilan
program pelatihan. Seorang pelatih atau instruktur seyogyanya memiliki kualifikasi
tertentu agar berhasil dalam melakukan pelatihan dan pengembangan terhadap
pegawai, seperti kemampuan dalam:
a. Teaching Skills , seorang pelatih harus mempunyai kecakapan intuk mendidik atau
mengajarkan, membimbingkan, memberi petunjuk, dan mentransfer
pengetahuannyakepada peserta pengembangan. Ia harus dapat memberikan
semangat, membina dan mengembaangkan agar peserta mampu untuk bekerja
mandiri serta dapat menumbuhkan kepercayaan pada dirinya
b. Comunications skills, seorang pelatih harus mempunyai kecakapan komunikasi
baik lisan, maupun tulisan secara efektif. Jadi suaranya jelas, tulisannya baik, dan
kata-katanya mudah dipahami peserta pengembangan
c. Personality autholity, seorang pelatih harus memiliki kewibawaan terhadap peserta
pengembangan. Ia harus berperilaku baik, sifat, dan kepribadiannya disenangi,
kemampuan dan kecakapannya diakui
d. Social skills, seorang pelatih harus mempunyai kemahiran dalam bidang sosial agar
terjamin kepercayaan dan kesetiaan dari para peserta pengembanga. Ia harus suka
menolong, obyektif, dan senang jika anak didiknya maju serta dapat menghargai
pendapat orang lain
e. Technical competent, seorang pelatih harus berkemampuan teknis, kecakapan
teoritis, dan tangkas dalam mengambil suatu keputussan
f. Stabilitas esmosi, seorang pelatih tidak boleh berprasangkajelek terhadap anak
didiknya, tidak boleh cepar marah, mempunyai sifat kepapakan, keterbukaan, tidak
pendendam, serta memberi nilai yang objektif
Tahapan Program Pelatihan
Tahapan program pelatihan secara konseptual dapat dirumuskan bahwa dalam
program pelatihan setidaknya meliputi tiga tahapan yaitu: 1) analisis kebutuhan
pelatihan (training needs analysis), 2) implementasi program pelatihan, dan 3) evaluasi
pelatihan.
1. Analisis kebutuhan pelatihan (training needs analysis)
Pada tahap pertama organisasi melakukan fase penilaian yang ditandai
dengan suatu kegiatan utama yaitu analisis kebutuhan pelatihan (training needs
analysis/TNA). TNA merupakan sebuah analisis kebutuhan workplaceyang secara
spesifik dimaksudkan untuk menentukan apa sebetulnya kebutuhan pelatihan yang
menjadi prioritas. Informasi kebutuhan tersebut akan dapat membantu perusahaan
dalam meggunakan sumberdaya (waktu, dana, dan lain-lain) secara efektif
sekaligus menghindari kegiatan pelatihan yang tidak perlu. TNA dapat pula
dipahami sebagai sebuah investigasi sistematis dan komperhensif tentang berbagai
masalah dengan tujuan mengidentifikasi secara tepat tentang beberapa dimensi
persoalan. Sedemikian rupa sehingga akhirnya perusahan dapat mengetahui apakah
masalah tersebut memang perlu dipecahkan melalui program pelatihan atau tidak.
Analisis kebutuhan pelatihan dilakukan melalui sebuah proses Tanya jawab (asking
questions getting answears). Pertanyaan diajukan kepada setiap pegawai dan
kemudian membuat verfikasi dan dokumentasi tentang berbagai masalah dimana
akhirnya kebutuhan pelatihan diketahui untuk memecahkan masalah tersebut.
Masalah yang membutuhkan pelatihan selalu berkaitan dengan lack of skills or
knowledge sehingga kerja standar tidak dapat dicapai. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa TNA merupakan sebuah proses yang membandingkan kinerja
actual dengan kinerja standard.
Oleh karena itu, TNA berfungsi sebagai: 1) pengumpulan informasi tentang
skills, knowledge, dan feelings pekerja; 2) pengumpulan informasi tentang job
content dan job context; 3) Identifikasi kinerja standard dan kinerja actual dalam
rincian yang operasional; 4) Pelibatan para stakeholders dan membentuk
dukungan; 5) Data untuk keperluan perencanaan program selanjutnya. Hasil dari
TNA adalah identifikasi performance gap yaitu kesenjangan antara kinerja yang
diharapkan dan kinerja actual individu. Kesenjangan kinerja dapat ditemukan
dengan mengidentifikasi dan mendokumentasikan standar atau persyaratan
kompetensi yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pekerjaan dan
mencocokannya dengan kinerja actual individu di tempat kerja. Pada hakekatnya
pelatihan adalah untuk mengatasi kesenjangan keahlian, pengetahuan dan
keterampilan bagi pegawai dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang
diberikan.
2. Implementasi Pelatihan
Keberhasilan implementasi program pelatihan dan pengembangan program
SDM tergantung pada pemilihan (selecting) program untuk memproleh the right
people under the right conditions.TNA dapat membantu mengidentifikasi the right
people dan the right program sedangkan beberapa pertimbangan program (training
and development consideration) dapat membantu dalam menciptakan the right
conditions. Terdapat beberapa pertimbangan utama dalam mensosialisasikan
implementasi program pelatihan. Adapun pertimbangan tersebut antara lain:
a. Siapa yang akan menjadi peserta kegiatan program pelatihan?
b. Siapa yang akan mengajar dalam kegiatan program pelatihan?
c. Siapa penyelenggara kegiatan program pelatihan?
d. Media apa saja yang akan digunakan dalam kegiatan program pelatihan?
e. Apa jenis kegiatan/level program pelatihan yang diselenggarakan?
f. Bagaimana desain penyelenggaraan kegiatan program pelatihan?
3. Evaluasi Program Pelatihan
Program pelatihan harus mampu menghasilkan produk tertentu. Oleh karena
itu, peran evaluasi program pelatihan sangatlah vital untuk memastikan bahwa
semua sumber daya yang akan digunakan mampu memberikan kontribusi positif
bagi perusahaan. Evaluasi program dimaksudkan sebagai pemenuhan keberadaan
arti atau nilai signifikan sebuah program pelatihan dan hubungannya dengan tujuan
dan sasaran yang harus dikembangkan.
Evaluasi tidak sekedar difokuskan pada assessing the learners (pretest, postes
dan ujian), meskipun hasil penilian individual tersebut juga merupakan
pertimbangan utama dalam perencanaan. Evaluasi pelatihan merupakan analisis
terhadap penyelenggaraan kegiatan pelatihan melalui proses pengumpulan
informasi secara sistematis tentang program pelatihan itu sendiri, partisipan,
pelatihan, rancangan, metode, sumber daya dan material yang digunakan, serta
outcomes pelatihan. Evaluasi dapat dilakukan serentak melibatkan semua
komponen atau dapat pula secara parsial.
Fokus analisis dalam evaluasi terletak pada dua isu yaitu efektivitas program
dan nilai (value) atas program yang berkaitan dengan apakah upaya (efforts) dan
biaya (cost) yang telah dikeluarkan memiliki makna signifikan terhadap outcomes
pelatihan. Fokus efektifitas program ini berkaitan dengan apakah benar program
pelatihan telah mencapai hal yang sesungguhnya ingin dicapai/tujuan pelatihan.
Sedangkan fokus isu kebremaknaan pelatihan terhadap nilai (value) pelatihan
sebagai upaya (efforts) dan biaya (cost) yang telah dikeluarkan adalah outcomes
hasil Diklat yang memilki peningkatan kompetensi dan kinerjanya.
Dalam hal ini, terdapat hubungan positif antara strategi dan evaluasi. Strategi
dalam konteks ini adalah tentang identifikasi tujuan program dan memastikan
bahwa rancangan dan penyelenggaraan pelatihan berada pada jalur yang benar (on
the right track). Sedangkan evaluasi merupakan pengujian untuk melihat apakah
strategi tersebut correct atau tidak. Ketiga tahapan proses pelatihan di atas
merupakan satu kesatuan yang harus mendapat perhatian seksama untuk mencapai
pelatihan yang efektif. Kegagalan manajer pelatihan dalam mencapai efektivitas
umumnya disebabkan pengabaian salah satu dari tahapan tersebut.
E. Metode pelatihan

Metode pelatihan dan pengembangan yang tepat, sangat tergantung kepada


tujuannya. Tujuan atau sasaran pelatihan dan pengembangan yang berbeda akan
berakibat pemakaian metode yang berbeda pula.
1. Prinsip umum bagi metode pelatihan dan pengembangan
Terlepas dari berhagai metode yang ada, apapun bentuk metode yang dipilh,
metode tersebut harus rnemenuhi prinsip – prinsip seperti:
a. Memotivasi para peserta pelatihan.
b. Memperlihatkan ketrampilan-ketrampilan.
c. Harus konsisten dangan isi pelatihan.
d. Peserta berpartisipasi aktif.
e. Memberikan kesempatan untuk perluasan ketrampilan.
f. Memberikan feedback.
g. Mendorong dari hasil pelatihan ke pekerjaan.
h. Harus efektif dari segi biaya.
2. Jenis-jenis metode pelatihan, diantaranya :
a. Metode Demonstrasi dan Contoh
Suatu demonstrasi untuk menunjukkan dan merencanakan bagaimana suatu
pekerjaan atau bagaimana sesuatu itu harus dikerjakan. Metode ini lebih banyak
melibatkan penguraian dan cara memperagakan sesuatu melalui contoh-contoh.
Metode ini sangat mudah bagi para manajer dalam mengajarkan para pegawai
baru tentang berbagai aktivitas nyata melalui suatu tahap-tahap perencanaan
dari “Bagaimana dan apa sebabnya” pegawai akan mengerjakan pekerjaan yang
ia kerjakan. Metode ini sangat efektif, karena lebih mudah dalam menunjukkan
kepada para peserta tentang bagaimana cara dalam mengerjakan suatu tugas,
karena telah dikombinasikan dengan alat Bantu belajar seperti : gambar-
gambar, teks materi, ceramah, dan diskusi.
b. Metode Simulasi
Metode ini merupakan suatu situasi atau peristiwa yang mana telah
menciptakan bentuk realitas atau imitasi dari realitas kerja yang sesungguhnya.
Simulasi ini merupakan pelengkap dan sebagai tehnik duplikat yang lebih
mendekati dengan kondisi nyata pada pekerjaan. Metode simulasi yang paling
popular adalah permainan bisnis (bussiness games). Metode jenis ini
merupakan metode pelatihan yang sangat mahal, akan tetapi juga sangat
bermanfaat dan banyak diperlukan dalam dunia kerja yang sesungguhnya.
c. Metode On The Job Training
Hampir dari 90% pengetahuan pekerjaan banyak diperoleh dari metode on the
job training. Prosedur metode jenis ini lebih bersifat informal, observasi
sederhana dan cukup mudah serta praktis. Pegawai akan langsung mempelajari
pekerjaannya dengan cara mengamati pekerja orang lain yang sedang bekerja,
dan kemudian mengobservasikan perilakunya. Aspek-aspek lain dari on the job
training adalah lebih bersifat formal dalam format. Pegawai senior akan
memberikan contoh tentang bagaimana cara mengerjakan pekerjaan dan
pegawai baru harus memperhatikannya.
Metode jenis ini dapat pula menggunakan peta-peta, gambar-gambar, sample-
sampel masalah dan langsung mendemonstrasikan pekerjaan agar pegawai baru
dapat memahaminya dengan jelas. Metode jenis ini sangat tepat untuk
mengajarkan skill yang dapat dipelajari hanya dalam beberapa hari atau
beberapa minggu saja. Manfaat dari metode jenis ini adalah para peserta belajar
dengan berbagai perlengkapan yang nyata dan dalam limgkungan pekerjaan
atau job yang jelas.
d. Metode Vestibule atau Balai
Vestibule adalah suatu ruangan terisolasi atau terpisah yang disiapkan hanya
untuk tempat pelatihan bagi para pegawai baru yang nantinya akan menduduki
suatu jabatan. Metode jenis ini merupakan metode pelatihan yang sangat cocok
bagi banyak peserta (para pegawai baru) yang akan dilatih dengan jenis
pekerjaan yang sama dan dalam waktu yang juga sama. Pelaksanaan metode
jenis ini biasanya dilakukan dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa
bulan dengan pengawasan instruktur, misalnya pelatihan pekerjaan, pengetikan
klerek, operator mesin produksi dan lain-lain.
e. Metode Apprenticeship
Metode jenis ini adalah suatu cara bagaimana dalam mengembangkan
ketrampilan (skill) pengrajin atau pertukangan. Metode jenis ini tidak memiliki
standar format. Para peserta pegawai akan mendapatkan bimbingan umum dan
dapat langsung mengerjakan pekerjaannya masing-masing.
f. Metode Ruang Kelas/klassikal
Metode pelatihan jenis ini merupakan metode training yang dilakukan di dalam
ruang kelas walaupun sebenarnya dapat juga dilakukan di area pekerjaan.
Metode ruang kelas adalah seperti perkuliahan, konferensi, studi kasus, bermain
peran dan pengajaran berprogram (programmed instruction).
F. Teknik Program Pelatihan
Program-program pelatihan dan pengembangan dirancang untuk meningkatkan
perestasi kerja, mengurangi absensi dan perputaran, serta memperbaiki kepuasan kerja.
Ada dua kategori pokok program pelatihan dan pengembangan manajemen.
1. Metode praktis (on the job training)
2. Teknik-teknik presentasi informasi dan metode-metode simulasi (off the job
training)
Masing-masing kategori mempunyai sasaran pengajaran sikap konsep atau
pengetahuan dan/atau keterampilan utama yang berbeda. Dalam pemilihan teknik
tertentu untuk dugunakan pada program pelatihan dan pengembangan, ada beberapa
trade offs. Ini berarti tidak ada satu teknik yang selalu baik: metode tergantung pada
sejauh mana suatu teknik memenuhi faktor-faktor berikut:
1. Efektivitas biaya.
2. Isi program yang dikehendaki
3. Kelayakan fasilitas-fasilitas
4. referensi dan kemampuan peserta
5. Preferensi dan kemampuan instruktur atau pelatih
6. Prinsip-prinsip belajar
Teknik-teknik on the job merupakan metode latihan yang paling banyak
digunakan. Pegawai dilatih tentang pekerjaan baru dengan supervisi langsung oleh
seorang pelatih yang berpengalaman atau pegawai yang lain yang sudah mahir.
Berbagai macam teknik ini yang bisa digunakan dalam on the job training adalah
sebagai berikut:
1. Rotasi jabatan
2. Latihan instruksi pekerjaan
3. Magang (apprenticeships)
4. Coaching
5. Penugasan sementara
Teknik-teknik off the job, dengan pendekatan ini peserta latihan menerima
representasi tiruan (articial) suatu aspek organisasi dan diminta untuk menanggapinya
seperti dalam keadaan sebenarnya. Dan tujuan utama teknik presentrasi (penyajian)
informasi adalah untuk mengajarkan berbagai sikap, konsep atau keterampilan kepada
para peserta. Metode yang bisa digunakan adalah:
1. Metode studi kasus
2. Kuliah/Studi
3. Program computer
4. Komperensi
5. Presentasi
Implementasi program pelatihan dan pengembangan berfungsi sebagai proses
transformasi. Pata tenaga kerja (pegawai) yang tidak terlatih diubah menjadi para
pegawai yang berkemampuan dan berkulitas dalam bekerja, sehingga dapat diberikan
tanggungjawab lebih besar.

G. Faktor Pendukung dan Penghambat Program Pelatihan


1. Faktor Pendukung
Faktor pendukung program pelatihan adalah segala aspek pendukung yang
mempengaruhi keberhasilan program pelatihan. Faktor pendukung dapat bersifat
internal maupun eksternal, diantaranya:
a. Adanya regulasi yang mensyaratkan peserta pelatihan untuk mengikuti suatu
program pelatihan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya.
b. Motivasi peserta pelatihan karena mengetahui manfaat yang diperoleh setelah
mengikuti pelatihan.
c. Dukungan sarana dan prasarana yang memadai.
d. Narasumber/instruktur pelatihan yang handal dan profesional.
e. Lembaga penyelenggara program pelatihan yang terakreditasi baik dan
terpercaya.
f. Kurikulum pelatihan berbasis kebutuhan peserta pelatihan atau sesuai hasil
TNA.
g. Panitia penyelenggara pelatihan yang responsif dan kompeten.
h. Program pelatihan yang berkualitas dan sesuai kebutuhan users.
i. Durasi waktu program pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan users.
j. dan lain-lain.
2. Faktor Penghambat
Faktor penghambat dalam penyelenggaraan pelatihan akan selalu ada dan perlu
untuk dicarikan solusinya agar program pelatihan dapat terselenggara secara efektif
dan efisien, berbagai kendala program pelatihan diantaranya:
a. Peserta pengembangan dan latihan mempunyai latar belakang yang tidak sama,
atau heterogen, seperti pendidikan dasarnya, pengalaman kerjanya, dan usianya.
Hal ini akan menyulitkan dan menghambat kelancaran pelaksanaan latihan dan
pendidikan karena daya tangkap, persepsi, dan daya nalar mereka terhadap
pelajaran yang diberikan berbeda
b. Pelatih atau instruktur yang ahli dan cakap mentransfer pengetahuannya kepada
para peserta latihan dan pendidikan sulit didapat. Akibatnya sasaran yang
diinginkan tidak tercapai. Misalnya, ada pelatih yang ahli dan pintar tetapi tidak
dapat mengajar dan berkomunikasi secara efektif atau teaching skill-nya tidak
efektif, jadi dia hanya pintar serta ahli untuk dirinya sendiri.
c. Fasilitas pengembangan dan prasarana yang dibutuhkan untuk latihan dan
pendidikan sangat kurang atau tidak baik. Misalnya buku- buku atau alat-alat
dan mesin- mesin, yang akan digunakan untuk praktek kurang atau tidak ada.
Hal ini akan menyulitkan dan menghambat lancarnya pengembangan dan
pelatihan
d. Kurikulum yang ditetapkan dan diajarkan kurang serasi atau menyimpang serta
tidak sistematis untuk mendukung sasaran yang diinginan oleh pekerjaanatau
jabatan peserta bersangkutan, untuk menetapkan kirikulum dan waktu
mengajarkannya yang tepat sangat sulit
e. Dana pengembangan, dana yang tersedia untuk pengembangan sangat terbata,
sehingga seringdilakukan secara terpaksa, bahkan pelatih maupun sarananya
kurang memenuhi persyaratan yang dibutuhkan.

H. Struktur dan Silabus Mata Pelatihan


Menyusun sebuah pelatihan memang tidak semudah yang dibayangkan. Ada
berbagai macam pertimbangan yang sering dilakukan sebelum memutuskan semua
jenis kebutuhan ini. Rencana pelatihan biasanya meliputi nama pelatihan, kompetensi
yang ingin dicapai, rangkaian materi yang akan disampaikan, durasi atau jumlah jam
pelaksanaan pelatihan.
Untuk itu sebelum melaksanakan pelatihan haruslah disusun terlebih dahulu
kurikulum pelatihan. Kurikulum ini minimal berisi struktur kuriklum dan silabus
pelatihan. Strukur kurikulum biasanya berisi daftar mata pelatihan dan jumlah
jamnya. Sedangkan silabus pelatihan berisi rangkaian kegiatan yang akan
dilaksanakan mulai dari Mata pelatihan, Kompetensi, Indikator, Materi Pokok dan
lain sebagainya.
Di Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Kementerian Agama
Struktur program pelatihan dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok mata pelatihan yaitu
kelompok dasar, kelompok inti dan kelompok penunjang.
Mata pelatihan kelompok merupakan rangkaian mata pelatihan yang mendasari
seluruh rangkaian kegiatan pelatihan. Biasanya materi pada kelompok dasar ini lebih
banyak menyampaikan tentang kebijakan yang terkait dengan substansi pelatihan.
Mata diklat yang dikategorikan sebagai mata diklat inti merupakan substansi
dari program pelatihan yang memuat materi tentang pemenuhan kompetensi yang
akan dicapai. Rangkaian materi dalam kelompok inti ini diusahakan sebanyak
mungkin dalam bentuk praktik sehingga memberikan kesempatan bagi peserta
pelatihan untuk mendapatkan pengalaman dan pembekalan sebanyak mungkin terkait
dengan kompetensi yang ditargetkan.
Mata pelatihan penujang merupakan kegiatan yang mendukung terlaksananya
pencapaian materi inti tetapi tidak termasuk kategori materi inti, misalnya
pelaksanaan overview, pembukaan, penutupan, dan sebagainya.

Berikut ini adalah contoh format struktur pelatihan yang bisa dibuat.
STRUKTUR PROGRAM PELATIHAN

NAMA : PELATIHAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)


KOMPETENSI : Menganalisis Hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

NO MATA PELATIHAN JAM PELATIHAN

A KELOMPOK DASAR
1 Pembangunan Bidang Agama 3
2 Nilai-Nilai Dasar Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian Agama 3
3 Sistem Pelatihandan Pengembangan SDM Kementerian Agama 3
Jumlah 9
B KELOMPOK INTI
1 Konsep Penelitian Tindakan Kelas 4
2 Proposal Penelitian Tindakan Kelas 8
3 Instrumen Penelitian Tindakan Kelas 8
4 Simulasi Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas 8
5 Teknik Pengolahan Data Hasil Penelitian Tindakan Kelas 8
6 Laporan Hasil Penelitian Tindakan Kelas 8
Jumlah 44

C KELOMPOK PENUNJANG
1 Overview 1
2 Building Learning Commitment 3
3 Rencana Tindak Lanjut 1
4 Evaluasi Program 1
5 Ujian 1
Jumlah 7

TOTAL 60

Contoh Format silabus pelatihan.


SILABUS PELATIHAN

NAMA : PELATIHAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)


KOMPETENSI : Menganalisis hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

MATERI POKOK/
KOMPETENSI DAFTAR PUSTAKA/
NO MATA PELATIHN JP INDIKATOR SUB MATERI
MATA PELATIHAN REFERENSI
POKOK

A. KELOMPOK DASAR
1. Pembangunan Bidang 3 Memahami peran 1.1 Menjelaskan tugas 1. Tugas dan 1. Moderasi
Agama pemerintah dalam Kementerian Agama Fungsi Beragama
pelayanan umat 1.2 Menjelaskan fungsi Kementerian Kemeterian
beragama Kementerian Agama Agama Agama
1.3 Dst.. 2. Moderasi (Kementerian
Beragama Agama)
3. Dst.. 2. Dst..
2. Nilai-Nilai Dasar 3 Memahami konsep 2.1 Mendeskripsikan nilai- 1. Revolusi Mental: 1. Revolusi
Sumber Daya Manusia revolusi mental, konsep nilai revolusi mental 2. Wawasan Pancasila (Yudi
SDM Kementerian ikhlas beramal, lima nilai dalam kehidupan Kebangsaan Latif,Mizan)
Agama budaya kerja, dan kode 2.2 Menjelaskan wawasan 3. Dst 2. Dst..
etik pegawai kebangsaan
Kementerian Agama 2.3 Dst...
3. Dst. 3.1 1.
Jumlah A 9
B. KELOMPOK INTI
1 Konsep Penelitian 4 1. Memahami Konsep Peserta pelatihan dapat: 1. Konsep PTK 1. Suharsimi Arikunto
Tindakan Kelas PTK 1.1. Mendeskripsikan 2. Prinsip, prosedur (2004)
konsep PTK dan karakteristik 2. Pedoman Penilaian
1.2. Menjelaskan prinsip PTK Kegiatan PKB
PTK 3. Dst.. (Kemendikbud
1.3. Dst.. GTK 2019)
2 Proposal Penelitian 8 2. Menganalisis 2.1. Menjelaskan 1. Proposal PTK
Tindakan Kelas Proposal PTK sistematika proposal 2. Sistematika
MATERI POKOK/
KOMPETENSI DAFTAR PUSTAKA/
NO MATA PELATIHN JP INDIKATOR SUB MATERI
MATA PELATIHAN REFERENSI
POKOK
2.2. Menganalisis proposal proposal PTK
Penelitian Tindakan Dst..
Kelas
2.3. Dst...
3 Dst..... 1.1. a.
Jumlah B 44
KELOMPOK
C.
PENUNJANG
1. Overview 1 Memahami target dan 1.1. Menyebutkan kompetensi 1. Target Output 1. Pedoman Diklat
cara mencapai yang harus dicapai pasca Pelatihan 2. Dst..
kompetensi pelatihan pelatihan 2. Tata Tertib
1.2. Menyebutkan tata tertib Pelatihan
1.3. Dst.. 3. Dst.
2. Building Learning 3 Memahami cara 2.1. Menjelaskan konsep diri 1. Konsepdiri 1. Building Learning
Commitment mengenali diri sendiri 2.2. Menjelaskan experiential 2. Experiential Commitment
dan orang lain learning cycle Learning Cycle (Jakarta: LAN-
2.3. Menyusun komitmen 3. Komitmen RI.2003)
belajar belajar
3. 3.1. 1.
4. 4.1. 1.

I. Aktivitas Pembelajaran/Project Work


1. Carilah berbagai artikel terkait Konsep Manajemen Pelatihan dari internet dan
berbagai sumber lain. Bacalah dengan cermat, kritis, dan teliti artikel-artikel
tersebut dan gunakanlah sebagai bahan untuk menambah wawasan Anda.
2. Temukan dan diskusikan secara kritis suatu permasalahan terkait peningkatan
kompetensi SDM di lingkungan saudara yang dapat diselesaikan melalui
pelaksanaan pelatihan. Tentukan kompetensi yang akan ditingkatkan dan materi
pelatihan yang dibutuhkan.
3. Rancanglah pelatihan tersebut dengan membuat Struktur Program Pelatihan
tersebut, kemudian rancang silabus pelatihannya!
4. Setelah selesai, presentasikan pada pertemuan daring melalui LMS Pusdiklat
J. Latihan/Lembar Kerja
1. Untuk struktur mata pelatihan gunakan format dibawah ini

STRUKTUR PROGRAM PELATIHAN


NAMA PELATIHAN : ........................................................................................
KOMPETENSI : ........................................................................................

NO MATA PELATIHAN JAM PELATIHAN

A KELOMPOK DASAR
1
2 Dst..
Jumlah

B KELOMPOK INTI
1
2
3 Dst.....
Jumlah

C KELOMPOK PENUNJANG
1
2 Dst.
Jumlah

TOTAL

2. Untuk Silabus pelatihan silahkan menggunakan format berikut:

SILABUS PELATIHAN

NAMA :
KOMPETENSI :

MATERI POKOK/
KOMPETENSI DAFTAR PUSTAKA/
NO MATA PELATIHN JP INDIKATOR SUB MATERI
MATA PELATIHAN REFERENSI
POKOK

A. KELOMPOK DASAR
1.
2.
3. Dst.

B. KELOMPOK INTI
1
2
3 Dst.....

KELOMPOK
C.
PENUNJANG
1.
2.
3.
4.
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Denny, Pelatihan Kerja, Definisi, Tujuan, Teknik Dan Manfaatnya, dalam Jurnal
Manajemen, diunduh dari http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009_04_01_archive.html.
diakses pada tanggal 18 April 2020.
Eko Hariyanto, Ratno Purnomo, dan Icuk Rangga Bawono, “Desain Pelatihan, Dukungan
Organisasional, Dukungan Supervisor dan Self-Efficacy sebagai Faktor Penentu
Keefektifan Transfer Pelatihan”, dalam Jurnal Siasat Bisnis Vol. 15 No. 2, Juli 2011
hlm.213-227,
Hamalik, Oemar, “Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan Pendekatan Terpadu:
Pengembangan Sumber Daya Manusia”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 10-11.
Hardjanto, Imam, “Manajemen Sumber Daya Aparatur (MSDA)”. (Malang: 2012).
Jusuf, Irianto, “Prinsip-prinsip Dasar Manajemen Pelatihan (Dari Analisis Kebutuhan
Sampai Evaluasi Program Pelatihan)”, (Jakarta: Insani Cendekia, 2001)
Kamil, Mustafa, “Model-model Pelatihan”. (Bandung: Journal Visi UPI Bandung 2003).
Mangkunegara, Anwar Prabu, “Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia”,
(Bandung : PT Refika Aditama, 2006)
Mangkuprawira, Sjafri, “Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik”, (Jakarta Selatan:
Ghalia Indonesia, 2004).
Pelatihan dan Pengembangan SDM, “Pengertian, Manfaat, Metode”.
https://irrineayu.wordpress.com/2015/04/03/pelatihan-dan-pengembangan-sdm-
pengertian-manfaat-metode/
Simamora, Henry, “Manajemen Sumber Daya Manusia”, Edisi 2, (Yogyakarta: STIE YKPN,
2006).
Sudjana, Djudju, “Metoda dan Teknik Pembelajaran Partisipatif”. (Bandung: Nusantara
Press, 1993).
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Yuliana, Lia, “Manajemen Pelatihan”, diakses dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/lia-yuliana-mpd/22-bahan-ajar-
manajemen-pelatihan.pdf.

Anda mungkin juga menyukai