Anda di halaman 1dari 40

MATA KULIAH: TEORI-TEORI BELAJAR & MODEL -MODEL PEMBELAJARAN.

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH:


Prof. Dr. Syamsul Bachri Thalib, M. Si.
Dr. Ahmad, S.Ag., S.Psi., M.Si.

TUGAS INDIVIDU
TEORI BELAJAR BRUNER DAN VAN HIELE DALAM
PENGAPLIKASIANNYA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA
SEKOLAH DASAR

Oleh :

A. TENRIESA RACHMAN, S.Psi / 201053201018

PRODI MAGISTER PSIKOLOGI


UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2020/2021

i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualikum Wr. Wb.


Segala puji syukur Saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas
rahmat dan karunia-Nya, Saya dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata
kuliah Teori-teori belajar dan model-model pembelajaran dengan tepat waktu.
Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang
syafa’atnya kita nantikan kelak. Penulisan makalah berjudul “Teori belajar Bruner
dan Van Hiele dalam pengaplikasiannya pada pembelajaran matematika Sekolah
Dasar” dapat diselesaikan dengan baik. Saya sangat berharap makalah tentang
“Teori belajar Bruner dan Van Hiele dalam pengaplikasiannya pada pembelajaran
matematika Sekolah Dasar” dapat menjadi suatu referensi bagi kita semua. Selain
itu, saya juga banyak berharap agar pembaca mendapatkan sudut pandang baru
setelah membaca makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah “Teori belajar Bruner dan Van Hiele
dalam pengaplikasiannya pada pembelajaran matematika Sekolah Dasar” yang
Saya buat ini masih banyak memerlukan penyempurnaan. Saya menerima segala
bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah. Apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini, Saya memohon maaf. Demikian yang dapat
Saya sampaikan. Akhir kata, Saya mengucapkan semoga makalah ini nantinya,
dapat bermanfaat bagi kita semua Aamiin. Wassalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.

Polewali, 25 Maret 2021


Hormat Saya

Penulis
(A. Tenriesa Rachman, S.Psi)
Daftar Isi

ii
Halaman Sampul .......................................................................................................i

Kata Pengantar ..........................................................................................................ii

Daftar Isi ....................................................................................................................iii

Bab 1 Pendahuluan

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan............................................................................................3
D. Manfaat Penulisan..........................................................................................4

Bab II Pembahasan

A. Profil Jerome S. Bruner..................................................................................5


B. Teorema Brunner Mengenai Belajar Matematika.........................................6
C. Model Tahapan Belajar Menurut Brunner.....................................................7
D. Teorema Bruner Tentang Cara Belajar dan Mengajar Matematika...............11
E. Discovery Learning Menurut Bruner.............................................................16
F. Aplikasi Teori Belajar Brunner dalam Pembelajaran Matematika SD..........23
G. Teori Belajar Van Hiele.................................................................................27
H. Tahapan belajar menurut Van Hiele...............................................................27
I. Karakteristik teori belajar Van Hiele.............................................................29
J. Manfaat teori belajar Van Hiele.....................................................................30
K. Kelebihan dan kekurangan teori belajar Van Hiele.......................................31
L. Relevansi Teori Van Hiele untuk pembelajaran geometri di sekolah............32
M. Aplikasi teori belajar van Hiele pembelajaran matematika di SD.................34

Bab III Penutup

A. Kesimpulan....................................................................................................35
B. Saran ..............................................................................................................36

Daftar Pustaka ...........................................................................................................37

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam proses belajar mengajar, guru memiliki tugas untuk mendorong,
membimbing, dan memberikan fasilitas belajar bagi siswa guna mencapai tujuan
pembelajaran. Guru mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu
yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa (Slameto,
2010). Maka dari itu tugas atau peranan dari seorang guru tidak mudah.
Mata Pelajaran matematika juga perlu diberikan kepada semua peserta
didik mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi untuk membekali peserta
didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,sistematis, kritis dan kreatif, serta
kemampuan bekerjasama. Menurut Sutawijaya (1997), memahami konsep saja
tidak cukup, karena dalam praktek kehidupan sehari-hari siswa memerlukan
keterampilan matematika.
Dengan demikian untuk mencapai dan mewujudkan pendidikan yang akan
berkualitas, peranan guru dalam menyampaikan materi dalam kelas terutama pada
mata pelajaran matematika memiliki pengaruh besar terhadap tercapainya tujuan
pembelajaran, sehingga seorang guru diharapkan mampu menghadirkan proses
pembelajaran yang kreatif, bermakna, menyenangkan, serta mengaktifkan siswa.
Setiap guru harus paham akan tujuan mengapa matematika diajarkan di
sekolah dasar. Sebagaimana Kita ketahui bersama ada beberapa tujuan yang
menyebabkan mata pelajaran matematika diajarkan dalam sekolah. Salah satunya
bahwa matematika bertujuan untuk mengembangkan kemampuan siswa untuk
menggunakan matematika dalam menyelesaikan masalah yang terkait dengan
kehidupan sehari-hari. Selain itu pendidikan matematika juga digunakan sebagai
bentuk mempersiapkan siswa-siswa untuk terjun ke dunia kerja. Oleh karena itu
keberhasilan guru dalam mengajarkan matematika sangat dibutuhkan, demi
terciptanya bangsa yang makmur, cerdas, dan berkualitas.
Sebagai guru matematika dalam menanamkan pemahaman seseorang belajar
matematika utamanya menanamkan pengetahuan konsep-konsep dan pengetahuan
prosedural. Pembelajaran matematika di Sekolah Dasar kita pahami bahwa sangat

1
perlu memperhatikan keefektifan komunikasi dan penerapan teori belajar yang
tepat agar pesan yang diterima siswa sesuai dengan tingkat kemampuan dan
perkembangannya. Untuk itu, guru haruslah mampu untuk menemukan kiat-kiat
tertentu, agar materi pelajaran matematika yang disajikan, disenangi dan dapat
menarik minat siswa. Oleh sebab itu guru perlu mengetahui teori-teori belajar
yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Karena di dalam teori-teori tersebut
tercantum cara-cara yang tepat agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif
dan memperoleh hasil yang maksimal. Dalam pembelajaran matematika di tingkat
SD, diharapkan terjadi reinvention (penemuan kembali).
Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesaian secara
informal dalam pembelajaran di kelas. Walaupun penemuan tersebut sederhana
dan bukan hal baru bagi orang yang telah mengetahui sebelumnya, tetapi bagi
siswa SD penemuan tersebut merupakan suatu hal yang baru (Heruman, 2013).
Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan teori belajar dari ahli psikologi
yakni teori belajar Bruner dan Van Hiele kemudian penerapannya dalam
pembelajara matematika di SD. Sehingga asumsi dari siswa bahwa mata pelajaran
matematika adalah pelajaran yang paling sulit sedikit akan terkikis dengan
digunakannya teori-teori belajar yang tepat. Setelah membaca makalah ini
diharapkan pembaca dapat menjelaskan teori belajar kognitif menurut Bruner,
teori Bruner mengenai belajar matematika, memahami model tahapan belajar
menurut Bruner, teorema-teorema Brunner mengenai belajar matematika SD,
pengertian belajar penemuan menurut pandangan Brunner dan aplikasi teori
belajar Bruner dalam Pembelajaran Matematika di SD.
Selain memahami teori Bruner juga diharapkan memahami teori Van Hiele,
baik dari pemahaman teori belajar Van Hiele, Tahapan belajar menurut Van Hiele,
tahapan-tahapan pembelajaran geometri menurut tokoh Van Hiele, Karakteristik
pembelajaran Van Hiele, manfaat teori-teori belajar Van Hiele, kelebihan dan
kekurangan belajar Van Hiele, relevansi teori-teori belajar van Hiele untuk
pembelajaran geometri disekolah dasar dan aplikasi teori belajar Van Hiele dalam
pembelajaran Matematika di sekolah dasar.

2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana profil Bruner ?
2. Bagaimana teori Bruner mengenai belajar matematika ?
3. Apa saja model tahapan belajar menurut Bruner ?
4. Bagaimana teorema Bruner mengenai belajar matematika ?
5. Seperti apa belajar penemuan (discovery learning) menurut pandangan
Bruner ?
6. Bagaimana aplikasi teori belajar Bruner pada pembelajaran Matematika di
Sekolah Dasar ?
7. Bagaimana teori belajar Van Hiele ?
8. Bagaimana tahapan belajar menurut Van Hiele ?
9. Bagaimana tahapan pembelajaran geometri menurut tokoh Van Hiele ?
10. Apa saja karakteristik pembelajaran Van Hiele ?
11. Apa saja manfaat teori-teori belajar Van Hiele ?
12. Apa saja kelebihan dan kekurangan belajar Van Hiele ?
13. Bagaimana bentuk relevansi teori belajar van Hiele untuk pembelajaran
geometri disekolah dasar ?
14. Bagaimana Aplikasi teori Van Hiele dalam pembelajaran Matematika di
sekolah dasar ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui profil Bruner.
2. Untuk mengetahui teori Bruner mengenai belajar matematika.
3. Untuk mengetahui model-model tahapan belajar menurut Bruner.
4. Untuk mengetahui teori Bruner mengenai belajar matematika.
5. Untuk dapat mengetahui bagaimana bentuk belajar penemuan (discovery
learning) menurut pandangan Bruner.
6. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi teori-teori belajar oleh Bruner pada
pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar.
7. Untuk mengetahui teori belajar Van Hiele.
8. Untuk mengetahui tahapan belajar menurut Van Hiele.
9. Untuk mengetahui tahapan pembelajaran geometri menurut Van Hiele.
10. Untuk mengetahui karakteristik pembelajaran Van Hiele.
11. Untuk mengetahui manfaat teori-teori belajar Van Hiele.

3
12. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan belajar Van Hiele.
13. Untuk mengetahui relevansi teori belajar van Hiele untuk pembelajaran
geometri disekolah dasar.
14. Untuk mengetahui aplikasi teori belajar Van Hiele dalam pembelajaran
matematika di sekolah dasar .

D. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai mahasiswa pendalaman psikologi pendidikan dan perkembangan
sebagai pendidik nantinya dapat mengetahui bagaimana teori belajar
Bruner dan teori belajar Van Hiele.
2. Sebagai mahasiswa pendalaman psikologi pendidikan dan perkembangan
sebagai pendidik nantinya dapat mengetahui bagaimana teori Bruner dan
teori belajar Van Hiele mengenai belajar matematika.
3. Sebagai mahasiswa pendalaman psikologi pendidikan dan perkembangan
sebagai pendidik nantinya dapat atau mampu menerapkan model-model
tahapan belajar menurut Bruner dan Van Hiele dalam pembelajaran.
4. Sebagai mahasiswa pendalaman psikologi pendidikan dan perkembangan
sebagai pendidik mengetahui teorema Bruner mengenai belajar
matematika.
5. Sebagai mahasiswa pendalaman psikologi pendidikan dan perkembangan
sebagai pendidik nantinya dapat mengaplikasikan teori belajar Bruner dan
Van Hiele pada pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar.
6. Sebagai mahasiswa pendalaman psikologi pendidikan dan perkembangan
sebagai pendidik nantinya dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan
teori Belajar Van Hiele.
7. Sebagai mahasiswa pendalaman psikologi pendidikan dan perkembangan
sebagai pendidik nantinya dapat mengetahui karakteristik dan relevansi
teori belajar Van Hiele dalam pembelajaran matematika.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Profil Jerome S. Bruner

Jerome S. Bruner adalah seorang ahli ilmu psikologi perkembangan dan


psikologi belajar kognitif. Pendekatannya tentang bidang ilmu psikologi adalah
elektik. Penelitiannya yang demikian banyak meliputi persepsi manusia, motivasi,
belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, Ia menganggap manusia
sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi.
Mengenai daftar riwayat hidup dan perjalanan karirnya, tokoh yang
memiliki nama lengkap Jerome Seymour Bruner ini, dilahirkan di New York City
pada tanggal 1 Oktober 1915. Ia berkebangsaan Amerika. Bruner menyelesaikan
pendidikan sarjana di Duke University di mana Ia menerima gelar sarjananya
(B.A) pada tahun 1937. Selanjutnya, Bruner belajar ilmu psikologi di Harvard
University dan mendapat gelar doktornya. Pada tahun 1939 dan mendapat gelar
Ph.D. Pada tahun 1939 dibawah bimbingan Gordon Allport. Pendekatannya
tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya meliputi persepsi manusia,
motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam aktivitasnya mempelajari manusia, Bruner
mengganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Bruner
menerbitkan artikel psikologis pertama yang berisi tentang mempelajari pengaruh
ekstrak timus pada perilaku seksual tikus betina.Pada tahun 1941, tesis doktornya
yang berjudul "A Psychological Analysis of International Radio Broadcasts of
Belligerent Nations".
Setelah menyelesaikan program doktornya, Bruner memasuki Angkatan
Darat Amerika Serikat dan bertugas di Divisi Warfare Psikologis dari Markas
Agung Sekutu Expeditory Angkatan Eropa komite di bawah Eisenhower, meneliti
fenomena psikologi sosial di mana karyanya berfokus pada propaganda (subyek
tesis doktornya) serta opini publik di Amerika Serikat. Dia adalah editor Public
Opinion Quarterly (1943-1944). Pada tahun 1945, Bruner kembali ke Harvard
sebagai profesor psikologi dan sangat terlibat dalam penelitian yang berkaitan
dengan psikologi kognitif dan psikologi pendidikan. Ia dengan cepat naik pangkat
dari dosen menjadi profesor pada tahun 1952. Dia sangat berperan penting dalam

5
membangun Path Breaking Center For Cognitive Studies pada tahun 1960
menjabat sebagai direktur pada tahun 1972. Pada tahun 1964-1965 Ia terpilih dan
menjabat sebagai presiden dari American Psychological Association.
Pada tahun 1970, Bruner meninggalkan Harvard untuk mengajar di
Universitas Oxford di Inggris. Dia kembali ke Amerika Serikat pada tahun 1980
untuk melanjutkan penelitian di bidang psikologi perkembangan. Pada tahun
1972, Bruner berlayar melintasi Atlantik. Hal ini dikarenakan untuk mengambil
posisi Watts Professor of Experimental Psychology at Oxford University. Pada
tahun 1991, Bruner bergabung dengan fakultas di New York University Law
School. Selain itu, Bruner juga telah dianugerahi gelar doktor kehormatan dari
Yale dan Columbia, serta perguruan tinggi dan universitas seperti Sorbonne,
Berlin, dan Roma, dan merupakan Fellow dari American Academy of Arts dan
Ilmu.
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Bruner, mampu membuktikan dan
memunculkan teori baru, yang kemudian teori itu memiliki ciri khas sendiri, dan
berbeda dengan teori sebelumnya, inilah yang dinamakan teori kognitif menurut
pandangan Jerome S Bruner, yaitu menganggap manusia sebagai pemroses,
pemikir dan pencipta informasi.
Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) suatu proses
perolehan informasi baru, (2) proses mentransformasikan informasi yang diterima
dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Perolehan informasi baru
dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan penjelasan guru mengenai
materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan lain-lain. Informasi ini
mungkin bersifat penghalusan dari informasi sebelumnya. Sedangkan proses trans
formasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana mampu memperlakukan
pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang
diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih abstrak agar
suatu saat dapat dimanfaatkan (Aisyah, 2016).

B. Teori Bruner Mengenai Belajar Matematika


Menurut Bruner (dalam Hudoyo,1990) belajar matematika adalah belajar
mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam

6
materi yang dipelajari, serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan
struktur-struktur matematika itu. Menurut Bruner (dalam Suherman, 2003),
dengan mengenal konsep dan struktur yang terdapat dalam bahan yang
dibicarakan, akan mampu memahami materi yang harus dikuasai. Bruner, melalui
teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi
kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara
khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep
matematika. Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung
bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang
diperhatikannya itu. Peran guru dalam penyelenggaraan pelajaran tersebut, (a)
perlu memahami sturktur mata pelajaran, (b) pentingnya belajar aktif suapaya
seorang dapat menemukan sendiri konsep-konsep sebagai dasar untuk memahami
dengan benar. Dengan demikian siswa dalam belajar, haruslah terlibat aktif.Ini
menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu
akan lebih mudah dipahami dan diingat anak. (Aisyah, 2016)
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai
dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).
Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing
untuk menguasai konsep matematika. Proses internalisasi akan terjadi secara
sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara optimal). Proses
pemerolehan pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga model tahapan
yaitu model tahap enaktif, model ikonik dan model tahap simbolik.

C. Model Tahapan Belajar Menurut Bruner


Teori Bruner tentang tiga tahap proses belajar berkait dengan tiga tahap
yang harus dilalui siswa agar proses pembelajarannya menjadi optimal, sehingga
akan terjadi internalisasi pada diri siswa, yaitu suatu keadaan dimana pengalaman
yang baru dapat menyatu ke dalam struktur kognitif mereka. Shadiq & Mustajab
(2011) mengungkapkan ketiga tahap pada proses belajar tersebut adalah :

1. Tahap Enaktif (Pengalaman Langsung)


Pada tahap ini, para siswa mempelajari matematika dengan menggunakan
sesuatu yang “konkret” atau “nyata”, yang berarti juga dapat diamati dengan

7
menggunakan panca indera. Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui
tindakan anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik)
objek. Pada tahap ini anak belajar sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu
dipelajari secara aktif, dengan menggunakan suatu benda-benda konkret atau
menggunakan situasi yang nyata, pada penyajian ini anak tanpa menggunakan
imajinasinya atau kata-kata. Ia akan dapat memahami sesuatu dari berbuat atau
melakukan sesuatu (Aisyah, 2016).
Contohnya, ketika akan membahas penjumlahan dan pengurangan di awal
pembelajaran, siswa dapat belajar dengan menggunakan batu, kelereng, buah, lidi,
atau dapat juga memanfaatkan beberapa model atau alat peraga lainnya. Ketika
belajar penjumlahan dua bilangan bulat, para siswa dapat saja memulai proses
pembelajarannya dengan menggunakan beberapa benda nyata sebagai “jembatan”
seperti:
• Garis bilangan dalam bentuk dua bilah papan. Gambar ini menunjukkan
bahwa posisi ‘−3’ pada bilah papan bagian bawah sudah disejajarkan dengan
posisi ‘0’ pada bilah papan bagian atas, sehingga didapat beberapa hasil
penjumlahan −3 dengan bilangan lainnya. Contohnya: −3 + 5 = 2 (lihat tanda ruas
garis berpanah) atau −3 + (−2) = −5

Semacam koin dari plastik dengan tanda “+” dan “–“.

Dengan cara ini, diharapkan siswa akan lebih mudah mempelajari materi
yang diberikan. Dengan demikian cara pembelajaran matematika adalah memulai

8
dengan sesuatu yang benar-benar konkret dalam arti dapat diamati dengan
menggunakan panca indera.

2. Tahap Ikonik (Pengalaman Gambar)


Para siswa sudah dapat mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk
gambar atau diagram sebagai perwujudan dari kegiatan yang menggunakan benda
konkret atau nyata. Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan
pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-
gambar yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan
gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya (Aisyah, 2016). Pada tahap
pengalaman gambar siswa berusaha mewujudkan pengetahuan dalam bentuk
bayangan visual yang menggambarkan situasi konkrit yang terdapat pada tahapan
pengalaman langsung.
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana
pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual
(visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan
kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas
(butir a). Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian
seseorang mencapai masa transisi dan menggunakan penyajian ikonik yang
didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir
abstrak (Aisyah, 2016).
Sebagai contoh, dalam proses pembelajaran penjumlahan dua bilangan bulat
dimulai dengan menggunakan benda nyata berupa garis bilangan sebagai
“jembatan”, maka tahap ikonik untuk 5 + (–3) = 2 dapat berupa gambar atau
diagram berikut.

9
3. Tahap Simbolik (Pengalaman Abstrak)
Menurut Bruner, tahap simbolik adalah tahap dimana pengetahuan tersebut
diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain, siswa harus
mengalami proses abstraksi dan idealisasi. Proses abstraksi terjadi pada saat
seseorang menyadari adanya kesamaan di atara perbedaan-perbedaan yang ada
(Cooney & Henderson: Shadiq & Mustajab, 2011).
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi
simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat
dengan objek- objek seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah
mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap
simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak
(abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang akan dipakai berdasarkan
kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol
verbal (misalnya: huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat-kalimat), lambang-lambang
matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.
Perbedaan yang terjadi saat menentukan hasil dari 2 + 3 ataupun 3 + 4 baik 
pada tahap  enaktif  maupun  ikonik  merupakan  proses  abstraksi  yang  terjadi 
dikarenakan  siswa  menyadari  adanya  kesamaan  gerakan  yang  dilakukannya,
yaitu  ia  akan  bergerak  dua  kali  ke  kanan.  Dengan  bantuan  guru,  siswa 
diharapkan dapat menyimpulkan bahwa penjumlahan dua bilangan positif akan
menghasilkan  bilangan  positif  pula. Tidaklah mungkin hasil penjumlahan dua
bilangan positif akan berupa bilangan negatif.
Melalui proses abstraksi yang serupa, pikiran siswa dibantu untuk
memahami bahwa penjumlahan dua bilangan negatif akan menghasilkan bilangan
negatif juga. Karena dua kali pergerakan ke kiri akan menghasilkan suatu titik
yang terletak beberapa langkah di sebelah kiri titik awal 0. Melalui proses ini,
siswa juga dapat memahami bahwa jika 2 + 3 = 5 maka −2 + (−3) = −5. Dengan
demikian siswa dapat dengan mudah menentukan −100 + (−200) = −300 karena
100 + 200 = 300 dan −537 + (−298) = −835 karena 537 + 298 = 835. Pada intinya,
menentukan penjumlahan dua bilangan negatif adalah sama dengan menentukan
penjumlahan dua bilangan positif, hanya tanda dari hasil penjumlahannya
haruslah negatif.

10
Proses abstraksi yang lebih sulit akan terjadi pada penjumlahan dua
bilangan bulat yang tandanya berbeda, hasilnya bisa positif dan bisa juga negatif,
tergantung pada seberapa jauh perbedaan gerakan ke kiri dengan gerakan ke
kanan. Guru dapat meyakinkan siswanya bahwa hasil penjumlahan dua bilangan
yang tandanya berbeda akan didapat dari selisih atau beda kedua bilangan tersebut
tanpa melihat tandanya. Sebagai misal, 2 + (− 3) = −1 karena beda atau selisih
antara 2 dan 3 adalah 1, sedangkan hasilnya bertanda negatif karena pergerakan ke
kiri lebih banyak banyak. Namun 120 + (−100) = 20 karena beda antara 100 dan
120 adalah 20 serta pergerakan ke kanan lebih banyak. 
Contoh lainnya yaitu dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah,
pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal
itu dengan menggunakan benda-benda konkret (misalnya menggabungkan 3 buah
kelereng dengan 2 kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya kelereng
semuanya ini merupakan tahap enaktif). Kemudian, kegiatan belajar dilanjutkan
dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2
kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng
semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut/ tahap yang kedua
ikonik, siswa-siswa juga bisa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan
pembayangan visual (visual imagenary) dari kelereng tersebut. Pada tahap
berikutnya yaitu tahap simbolis, siswa-siswa melakukan penjumlahan kedua
bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan, yaitu : 3 + 2 = 5
(Aisyah, 2016).

E. Teorema Bruner Tentang Cara Belajar Dan Mengajar Matematika.


Berdasarkan hasil-hasil eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh
Bruner dan Kenney, pada tahun 1963 kedua pakar tersebut mengemukakan 4
prinsip tentang cara belajar dan mengajar matematika yang masing-masing
mereka sebut sebagai ‘teorema’.
Meskipun pepatah Cina menyatakan “Satu gambar sama nilainya dengan
seribu kata”, namun menurut Bruner, pembelajaran sebaiknya dimulai dengan
menggunakan benda nyata lebih dahulu. Karenanya, seorang guru ketika mengajar

11
matematika hendaknya menggunakan model atau benda nyata untuk topik-topik
tertentu yang dapat membantu pemahaman siswanya.
Menurut Bruner ada empat prinsip prinsip tentang cara belajar dan mengajar
matematika yang disebut teorema. Keempat teorema tersebut adalah teorema
penyusunan (Construction theorem), teorema notasi (Notation theorem), teorema
kekontrasan dan keanekaragaman (Contras  and variation theorem), teorema
pengaitan (Connectivity theorem) (Suherman, 2003). Berikut Penjelasannya:
a) Teorema penyusunan (Construction theorem).
Teorema konstruksi menyatakan bahwa siswa lebih mudah memahami ide-
ide abstrak dengan menggunakan peragaan kongkret (enactive) dilanjutkan ke
tahap semi kongkret (iconic) dan diakhiri dengan tahap abstrak (symbolic).Dengan
menggunakan tiga tahap tersebut, siswa dapat mengkonstruksi suatu representasi
dari konsep atau prinsip yang sedang dipelajari(Shadiq & Mustajab, 2011).
Di dalam teorema kontruksi dikatakan bahwa yakni cara yang terbaik bagi
seseorang siswa untuk mempelajari sesuatu atau prinsip dalam Matematika adalah
dengan mengkontruksi atau melakukan penyusunan sebagai sebuah representasi
dari konsep atau prinsip tersebut. Siswa yang lebih dewasa mungkin bisa
memahami sesuatu konsep atau sesuatu prinsip dalam matematika hanya dengan
menganalisis sebuah representasi yang disajikan oleh guru mereka, akan tetapi,
untuk kebanyakan siswa, khususnya untuk siswa yang lebih muda, proses belajar
akan lebih baik atau melekat jika para siswa mengkonstruksi sendiri representasi
dari apa yang dipelajari tersebut. Alasannya, jika para siswa bisa mengkontuksi
sendiri representasi tersebut mereka akan lebih mudah menemukan sendiri konsep
atau prinsip yang terkandung dalam representasi tersebut, sehingga untuk
selanjutnya mereka juga mudah untuk mengingat hal-hal tesebut dan dapat
mengaplikasikan dalam situasi-situasi yang sesuai (Aisyah, 2016).
Teorema ini menyatakan bahwa bagi anak cara yang paling baik untuk
belajar konsep dan prinsip-prinsip dalam matematika adalah dengan melakukan
penyusunan representasinya. Pada permulaan belajar konsep pengertian akan
menjadi lebih melekat apabila kegiatan yang menujukkan representasi konsep itu
dilakukan oleh siswa sendiri.

12
Dalam proses perumusan dan penyusunan ide-ide, apabila anak disertai
dengan bantuan benda-benda konkrit mereka lebih mudah mengingat ide-ide
tersebut. Dengan demikian, anak lebih mudah menerapkan ide dalam situasi nyata
secara tepat. Dalam hal ini ingatan diperoleh bukan karena penguatan, akan tetapi
pengertian yang menyebabkan ingatan itu dapat dicapai. Sedangkan pengertian itu
dapat dicapai karena anak memanipulasi benda-benda konkrit. Oleh karena itu
pada permulaan belajar, pengertian itu dapat dicapai oleh anak bergantung pada
aktivitas-aktivitas yang menggunakan benda-benda konkrit.
Contoh, untuk memahami tentang konsep kubus atau balok maka guru
memperlihatkan benda-benda dalam kehidupan sehari-hari yang berbentuk kubus
atau balok. Contoh lainnya, anak mempelajari konsep perkalian yang didasarkan
pada prinsip penjumlahan berulang, akan lebih memahami konsep tersebut. Jika
anak tersebut mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk mem-
perlihatkan proses perkalian tersebut.
Contoh lain, anak mempelajari konsep perkalian yang didasarkan pada
prinsip penjumlahan berulang, akan lebih memahami konsep tersebut. Jika anak
tersebut mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk memperlihatkan
proses perkalian tersebut. Misalnya 3 x 5, ini berarti pada garis bilangan meloncat
3x dengan loncatan sejauh 5 satuan, hasil loncatan tersebut kita periksa ternyata
hasilnya 15. Dengan mengulangi hasil percobaan seperti ini, anak akan benar-
benar memahami dengan pengertian yang mendalam, bahwa perkalian pada
dasarnya merupakan penjumlahan berulang (Aisyah, 2016).

b)  Teorema Notasi


Teorema notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi
memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah
konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Ini
berarti untuk menyatakan sebuah rumus misalnya, maka notasinya harus dapat
dipahami oleh anak, tidak rumit dan mudah dimengerti.
Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang
paling sederhana sampai yang paling sulit. Urutan penggunaan notasi disesuaikan
dengan tingkat perkembangan  kognitif anak.

13
Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar, yang pada umumnya masih
berada pada tahap operasi kongkret, soal berbunyi: “Tentukanlah sebuah bilangan
yang jika ditambah 3 akan menjadi 8”, akan lebih sesuai jika direpresentasikan
dalam diberikan bentuk ... + 3 = 8 atau a + 3 = 8 (Aisyah, 2016).
Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang
paling sederhana sampai yang paling sulit. Penyajian seperti dalam matematika
merupakan pendekatan spiral. Dalam pendekatan spiral setiap ide-ide matematika
disajikan secara sistimatis dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat.
Pada tahap awal notasi ini sederhana, diikuti dengan notasi berikutnya yang lebih
kompleks (Aisyah, 2016).
c)  Teorema pengkontrasan dan keanekaragaman
Dalam teorema ini dinyatakan bahwa dalam mengubah dari representasi
konkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu konsep dalam matematika,
dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan keanekaragaman. Artinya agar suatu
konsep yang akan dikenalkan pada anak mudah dimengerti, konsep tersebut
disajikan dengan mengontraskan dengan konsep-konsep lainnya dan konsep
tersebut disajikan dengan beranekaragam contoh. Dengan demikian anak dapat
memahami dengan mudah karakteristik konsep yang diberikan tersebut.
Untuk menyampaikan suatu konsep dengan cara mengontraskan dapat
dilakukan dengan menerangkan contoh dan bukan contoh. Sebagai contoh untuk
menyampaikan konsep bangun ruang maka pada anak diberikan beberapa gambar
dan siswa menunjukkan gambar yang termasuk bangun ruang dan yang bukan
merupakan bangun ruang.
Dengan contoh soal yang beranekaragam, kita dapat menanamkan suatu
konsep dengan lebih baik daripada hanya contoh-contoh soal yang sejenis saja.
Seperti ditunjukkan gambar di bawah ini tentang contoh dan bukan contoh pada
konsep trapesium.

14
Dengan keanekaragaman contoh yang diberikan siswa dapat mengenal
dengan jelas karakteristik konsep yang diberikan kepadanya. Misalnya, dalam
pembelajaran konsep persegi panjang, persegi panjang sebaiknya ditampilkan
dengan berbagai contoh yang bervariasi, misalnya ada persegi panjang yang
posisinya bervariasi (ada yang kedua sisinya yang berhadapan terletak horisontal 
dan dua sisi yang lainnya vertikal, ada yang posisinya miring, dan sebagainya),
ada persegipanjang yang perbedaan panjang dan lebarnya begitu mencolok, dan
ada persegipanjang yang panjang dan lebarnya hampir sama, bahkan ada
persegipanjang yang panjang dan lebarnya sama. Dengan digunakannya contoh-
contoh yang bervariasi tersebut, sifat-sifat atau ciri-ciri dari persegi panjang akan
dapat dipahami dengan baik. Dari berbagai contoh tersebut siswa akan bisa
memahami bahwa sesuatu konsep bisa direpresentasikan dengan bebagai contoh
yang spesifik. Sekalipun contoh-contoh yang spesifik tersebut mengandung
perbedaan yang satu dengan yang lain, semua contoh (semua kasus) tersebut
memiliki ciri-ciri umum yang sama (Aisyah, 2016).

d)  Teorema pengaitan (Konektivitas)


Di dalam teorema konektivitas disebutkan bahwa setiap konsep, setiap
prinsip, dan setiap ketrampilan dalam matematika berhubungan dengan konsep-
konsep, prinsip-prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan yang lain (Aisyah, 2016).
Teorema ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan
konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga

15
dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan
prasyarat bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk
menjelaskan konsep lainnya. Seperti pada penentuan luas sisi bangun ruang balok
maka dibutuhkan pengetahuan prasyarat siswa tentang luas persegi panjang.
Guru harus dapat menjelaskan kaitan-kaitan tersebut pada siswa. Hal ini
penting agar siswa dalam belajar matematika lebih berhasil. Dengan melihat
kaitan-kaitan itu diharapkan siswa tidak beranggapan bahwa cabang-cabang
dalam matematika itu sendiri berdiri sendiri-sendiri tanpa keterkaitan satu sama
lainnya (Aisyah, 2016). Adanya hubungan antara konsep-konsep, prinsip-prinsip,
dan ketrampilan-ketrampilan itu menyebabkan struktur dari setiap cabang
matematika menjadi jelas. Adanya hubungan-hubungan itu juga membantu guru
dan pihak-pihak lain (misalnya penyusun kurikulum, penulis buku, dan lain-lain)
dalam upaya untuk menyusun program pembelajaran bagi siswa (Aisyah, 2016).
Perlu dijelaskan bahwa keempat teorema tersebut di atas tidak dimaksudkan
untuk diterapkan satu persatu dengan urutan seperti di atas. Dalam penerapannya,
dua teorema ini atau lebih dapat diterapkan secara bersamaan dalam proses
pembelajaran suatu materi matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada
karakteristik dari materi atau topik matematika yang dipelajari dan karakteristik
dari siswa yang belajar.

E. Discovery Learning Menurut Bruner


Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah
model dari Jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan
(Discovery Learning).Istilah Discovery Learning sering diartikan Inquiry
Training atau Problem Solving dan ketiganya sering dipakai secara bergantian.
Akan tetapi Jonson membedakan bahwa inti dari discovery learning yaitu usaha
untuk memperoleh pengertian dan pemahaman yang lebih dalam dari pada
Inquiry.
Pengertian Discovery learning menurut Jerome Bruner adalah metode
belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik
kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman. Dan yang
menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner

16
memakai cara dengan apa yang disebutnya Discovery learning, yaitu dimana
murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir.
Discovery learning dari Buner ini, merupakan suatu model pengajaran yang
dikembangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan
prinsip- prinsip konstruktivis. Di dalam discovery learning siswa didorong untuk
belajar sendiri secara mandiri. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam memecahkan suatu masalah, dan guru
mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan
yang memungkinkan siswa menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri,
bukan memberi tahu tetapi memberkan kesempatan atau dengan berdialog agar
siswa menemukan sendiri. Pembelajaran ini membangkitkan keingintahuan siswa,
memotivasi siswa untuk bekerja sampai menemukan jawabannya. Siswa belajar
memecahkan secara mandiri dengan ketrampilan berpikir sebab mereka harus
menganalisis dan memanipulasi informasi (Aisyah, 2016).
Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar
penemuan. Agar belajar menjadi bermakna dan memiliki struktur informasi yang
kuat, siswa harus aktif mengidentifikasi prinsip-prinsip kunci yang ditemukannya
sendiri, bukan hanya sekadar menerima penjelasan dari guru saja. Bruner yakin
bahwa belajar penemuan adalah proses belajar di mana guru harus menciptakan
situasi belajar yang problematis, menstimulus siswa-siswa dengan pertanyaan-
pertanyaan, mendorong siswa-siswa mencari jawaban sendiri, dan melakukan
eksperimen.
Bentuk lain dari belajar penemuan adalah guru menyajikan contoh-contoh
dan siswa bekerja dengan contoh tersebut sampai dapat menemukan sendiri
hubungan antarkonsep. Menurut Bruner, belajar penemuan pada akhirnya dapat
meningkatkan penalaran dan kemampuan untuk berpikir secara bebas dan melatih
keterampilan kognitif siswa dengan cara menemukan dan memecahkan masalah
yang ditemui dengan pengetahuan yang telah dimiliki dan menghasilkan
pengetahuan yang benar-benar bermakna bagi dirinya. Saat ini model belajar
penemuan menduduki peringkat atas dalam dunia pendidikan modern. Salah satu
yang banyak diterapkan dalam pembelajaran di Indonesia adalah konsep belajar
siswa aktif atau cara belajar siswa aktif (CBSA). Dalam menerapkan model

17
belajar penemuan ini, seorang guru dianjurkan untuk tidak memberikan materi
pelajaran secara utuh. Siswa cukup diberikan konsep utama, untuk selanjutnya
siswa dibimbing agar nantinya dapat menemukan sendiri sampai akhirnya dapat
mengorganisasikan konsep tersebut secara utuh. Untuk itu guru perlu memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mendapatkan konsep-konsep yang
belum disampaikan oleh guru dengan pendekatan belajar problem solving.
Di dalam Discovery Learning siswa didorong untuk belajar sendiri secara
mandiri. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip dalam memecahkan masalah, dan guru mendorong siswa untuk
mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan siswa
menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri, bukan memberi tahu tetapi
memberikan kesempatan atau dengan berdialog agar siswa menemukan sendiri.
Pembelajaran ini membangkitkan keingintahuan siswa, memotivasi siswa untuk
bekerja sampai menemukan jawabannya. Siswa belajar dan memecahkan secara
mandiri dengan ketrampilan berpikir sebab mereka harus menganalisis dan
memanipulasi informasi.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan ini menunjukkan
beberapa kebaikan. Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama diingat bila
dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain. Kedua,
hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil
belajar lainnya. Dengan kata lain, konsep- konsep dan prinsip-prinsip yang
dijadikan milik kognitif seorang lebih mudah diterapkan pada situasi yang baru.
Ketiga, secara menyeluruh belajar penemuan meningktkan penalaran siswa dan
kemampuan untuk berpikir secara bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih
keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah masalah
tanpa pertolongan dari orang lain. Belajar penemuan juga dapat membangkitkan
keingin tahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan
jawaban- jawaban lagi, mengajarkan ketrampilan memecahkan masalah tanpa
pertolongan orang lain dan meminta para siswa-siswa untuk menganalisis dan
memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja.
Pada dasarnya belajar penemuan ini sarat akan suatu makna, dengan belajar
penemuan mendorong siswa untuk aktif dan memberikan moivasi dalam belajar

18
sehingga melatih kemampuan-kemapuan kognitifnya untuk memecahkan suatu
permasalahan.
Menurut Syah (2004) dalam mengaplikasikan Discovery Learning di kelas,
ada beberapa prosedur/tahapan yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar
mengajar secara umum antara lain sebagai berikut:
1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini siswa akan dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu
guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran
membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan
pemecahan masalah. 
2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-
agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah
satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara
atas pertanyaan masalah). Permasalahan yang telah dipilih itu selanjutnya
harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan
sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.Memberikan
kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan
yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun
siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah. 
3) Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para
siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan
untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis.Pada tahap ini berfungsi
untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya
hipotesis.Dengan demikian siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan
(collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati
objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan
sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk

19
menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi,
dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah
dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4) Data Processing (Pengolahan Data)
Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya,
semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan apabila perlu
dihitung dengan cara-cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat-tingkat
kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002). Data processing disebut juga dengan
suatu pengkodean/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep
dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa-siswa akan mendapatkan
pengetahuan baru tentang alternatif-alternatif penyelesaian yang perlu
mendapat pembuktian secara logis.
5) Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan
temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing. Verification
menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan
suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia
jumpai dalam kehidupannya. Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau
informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan
terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti
atau tidak.
6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi.
Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari
generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus mem-perhatikan proses
generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna
dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas mendasari pengalaman seseorang,

20
serta pentingnya proses-proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-
pengalaman itu.
7) Penilaian pada Model Pembelajaran Discovery Learning.
Dalam model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan
dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang
digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil
kerja siswa. Jika bentuk penilaiannya berupa penilaian kognitif, maka dapat
menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian
proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa dapat menggunakan nontes.

Dengan mengajar seperti yang dimaksud oleh Bruner, Peran guru dalam
pembelajaran penemuan sebagai berikut.
a. Merencanakan pelajaran demikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada
masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki oleh para siswa.
b. Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa
untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat
mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan,
misalnya dengan penggunaan fakta-fakta yang berlawanan. Guru hendaknya
mulai dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru
mengemukakan sesuatu yang berlawanan. Dengan demikian terjadi konflik
dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbullah masalah. Dalam keadaan
yang ideal, hal yang berlawanan itu menimbulkan suatu kesangsian yang
merangsang para siswa untuk menyelidiki masalah itu, menyusun hipotesis-
hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang
mendasari masalah itu.
c. Selain hal-hal yang tersebut di atas, guru juga harus memperhatikan tiga cara
penyajian yang telah dibahas terdahulu. Cara cara penyajian itu ialah cara
enaktif, cara ikonik, dan cara simbolik. Contoh cara-cara penyajian ini telah
diberikan dalam uraian terdahulu. Untuk menjamin keberhasilan belajar, guru
hendaknya jangan menggunakan cara penyajian yang tidak sesuai dengan
tingkat kognitif siswa. Disarankan agar guru mengikuti aturan penyajian dari
enaktif, ikonik, lalu simbolik. Karena perkembangan intelektual diasumsikan

21
mengikuti urutan enaktif, ikonik, dan simbolik, jadi demikian pula harapan
tentang urutan pengajaran.
d. Bila siswa memecahkan masalah di laboratonium atau secara teoretis, guru
hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya
jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan
dipelajari, tetapi ia hendaknya rnemberikan saran-saran bilamana diperlukan.
Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu
yang tepat. Umpan balik sebagai perbaikan hendaknya diberikan dengan cara
demikian rupa, hingga siswa tidak tetap tergantung pada pertolongan guru.
Akhirnya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor itu.
e. Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan.
Seperti kita ketahui, tujuan-tujuan tidak dapat dirumuskan secara mendetail,
dan tujuan-tujuan itu tidak diminta sama untuk berbagai siswa. Lagi pula
tujuan dan proses tidak selalu seiring. Secara garis besar, tujuan belajar
penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan
sendiri generalisasi-generalisasi itu. Di lapangan, pènilaian basil belajar
penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu
bidang studi, dan kemampuan siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip itu
pada situasi baru. Untuk maksud ini bentuk tes dapat berupa tes objektif atau
tes essai. Manfaat belajar penemuan adalah sebagai berikut:
1. Belajar penemuan dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah
bermakna.
2. Pengetahuan yang diperoleh siswa akan tertinggal lama dan mudah
diingat.
3. Belajar penemuan sangat diperlukan dalam pemecahan masalah sebab
yang diinginkan dalam belajar adar siswa dapat mendemonstrasikan
pengetahuan yang diterima.
4. Transfer dapat ditingkatkan dimana generalisasi telah ditemukan sendiri
oleh siswa dari pada disajikan dalam bentuk jadi.
5. Penggunaan belajar penemuan mungkin mempunyai pengaruh dalam
menciptakan motivasiswa.

22
6. Meningkatkan penalaran siswa dan kemampuanuntuk berpikir secara
bebas.

Jadi dapat disimpulkan peran guru menurut Bruner, guru bisa menjadi tutor,
fasilitator, motivator dan evaluator. Dengan kata lain dalam belajar penemuan,
guru tidak begitu mengendalikan proses pembelajaran. Guru itu, hendaknya
mengarahkan pelajaran pada penemuan dan pemecahan masalah. Penilaian hasil
belajar meliputi tentang konsep dasar dan penerapannya pada situasi yang baru.

F. Aplikasi Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran Matematika di


Sekolah Dasar
Sebagaimana  disampaikan  di  bagian  depan,  teori  Bruner berkaitan dengan
tiga tahap pada proses pembelajaran, yaitu tahap enaktif yang menggunakan
benda konkret (nyata), tahap ikonik (ingat kata ikon pada komputer yang berupa
gambar atau lambang) yang menggunakan benda semi konkret, dan tahap
simbolik dimana pengalaman tersebut diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol
abstrak.
Berikut ini adalah contoh-contoh rancangan dari suatu pembelajaran dengan
menggunakan tiga tahapan enaktif, ikonik, dan simbolik.
Contoh :
Guru akan mengajarkan konsep perkalian, objek digunakan misalnya sapi.Tahap
enaktif, anak kita bawa ke kandang sapi,dengan mengamati danmengotak-atik dari
3 ekor sapi, jika kita perhatikan adalah:
 Banyaknya kepala .................... ada 3
 Banyaknya ekor ........................ada 3
 Banyaknya telinga ....................ada 6
 Banyaknya kaki .......................ada 12
Tahap Ikonik, anak dapat diberikan 3 ekor gambar sapi sebagai berikut:

23
 Banyaknya kepala ..................... ada 3
 Banyaknya ekor ........................ ada 3
 Banyaknya telinga .................... ada 6
 Banyaknya kaki .........................ada 12
Tahap simbolis dapat ditulis kalimat perkalian yang sesuai untuk ketiga sapi
tersebut bila tinjauannya berdasarkan pada:
 Kepalanya, maka banyak kepala = 3 x 1
 Ekornya, maka banyaknya ekor = 3 x 1
 Telinganya, maka banyak telinga = 3 x 2, Kakinya, maka banyaknya kaki =
3 x 4 Dari fakta dan kalimat perkalian yang akan bersesuaian tersebut
disimpulkan bahwa: 3 x 1 = 3, 3 x 2 = 6 dan 3 x 4 = 12.Untuk lebih jelas
simbolis dipandang adalah kakinya, maka untuk:
 Banyaknya kaki pada 1 sapi = 4
 Banyaknya kaki 2 sapi = 8 ( karena kaki sapi 1 + kaki sapi 2 )= 4 + 4
 Banyaknya kaki 3 sapi = 12 ( kaki sapi 1 + kaki sapi 2 + kaki sapi
3)= 4 + 4 + 4Dengan konstruksi berpikir semacam ini maka banyaknya kaki
untuk1 sapi = 1 x 4 = 42 sapi = 2 x 4 = 4 + 4 = 83 sapi = 3 x 4 = 4 + 4 + 4 = 12
Contoh lainnya :

24
Melanjutkan perkalian tersebut, tanpa menunjukkan gambar sapi, anak
dapatmenyelesaikan, 4 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 = 165 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 206
x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24 dan seterusnya. Dengan cara yang sama dapat
dilanjutkan dengan perkalian fakta dasar lainnya (Aisyah, 2016).
Contoh pada topik pengurangan bilangan dua angka dengan bilangan satu
angka yang hasilnya berupa bilangan satu angka:
1. Siswa diminta menentukan hasil dari pengurangan 10 – 1, 10 – 2, 10 – 3, 10 – 
4, 10 – 5.  
2. Siswa diminta memahami masalah berikut. Cek adakah kata‐kata yang belum 
dikuasai siswa. 

Anto memiliki 12 kelereng. Sembilan kelereng diberikan kepada adiknya


3. (ENAKTIF) Siswa    diminta  menggunakan  benda‐benda  konkret  (biji‐
bijian serta  tali  rafia)  yang  dimilikinya  untuk  dapat menggambarkan  12 
kelereng  yang dimiliki Anto.  

4. Minta setiap kelompok melakukan diskusi tentang cara mereka mendapatkan


hasilnya. Guru berkeliling untuk bertanya, memantau pekerjaan dan diskusi
para siswa, dan memberi pendapat serta saran.
5. (IKONIK) minta  setiap  kelompok  melakukan  diskusi-diskusi  tentang  cara 
mereka mendapatkan  hasilnya  dan  menngambarkannya. Guru berkeliling
untuk bertanya, memantau pekerjaan dan diskusi para siswa-siswa, memberi
pendapat serta saran.
6. Minta siswa melaporkan hasil yang didapat, terutama yang caranya berbeda. 
Alternatif jawabannya adalah sebagai berikut. 

25
7. Minta  siswa  untuk  menyelesaikan  soal - soal  seperti  13  –  9  dan  12  –  8. 
Mereka  masih  dimungkinkan  untuk  menggunakan  benda‐benda  konkret 
dan menggambarkannya.  
8. (SIMBOLIK)  minta  siswa-siswa untuk  mendiskusikan  cara  menyelesaikan 
soal seperti  16 – 9 dan 13 – 7 tanpa  menggunakan  benda-benda  konkret  dan 
menggambarkannya. 
Contoh diatas menunjukkan pentingnya penggunaan benda-benda konkret,
diikuti dengan gambar-gambar (semi-konkret), dan juga diakhiri dengan simbol
matematika. Hal ini harus makin memantapkan para guru-guru SD/MI untuk
menggunakan benda konkret kemudian gambar setelah itu menggunakan simbol
matematika selama proses pembelajaran matematika di SD/MI.
Pepatah cina mengatakan: “Saya mendengar, Saya lupa. Saya melihat, Saya
ingat. Saya melakukan, Saya paham.” Kalimat terakhir, yaitu: “Saya melakukan,
Saya paham,” akan semakin membantu siswa-siswa (murid) jika dilakukan
dengan menggunakan benda-benda konkret. Sekali lagi, pengertian konkret atau
nyata di sini ditunjukkan dengan benda-benda yang dapat diamati dengan panca
indera. Namun istilah lain yang muncul saat ini adalah kata ‘real.’ Lalu apa
bedanya kata ‘real’ dengan ‘nyata’? Ternyata, realistik berarti hal-hal yang mudah
dibayangkan atau diterima oleh siswa.
Jika pembelajaran dimulai dari sesuatu yang real yang mudah dibayangkan
atau diterima siswa, maka pembelajaran akan potensial mendorong proses
berpikir. Pembelajaran harus dimulai dari sesuatu yang sudah diketahui atau
sudah pernah dialami siswa, sehingga proses pembelajarannya menjadi mudah
dipahami para siswa. Menggunakan istilah yang dikemukakan Ausubel maka
pembelajarannya akan menjadi bermakna. Menggunakan istilah yang
dikemukakan Piaget maka selama proses pembelajaran, pengetahuan yang baru

26
dapat diasimilasi (disesuaikan) dengan pengetahuan lama yang sudah ada di benak
siswa.

G. Teori Belajar Van Hiele


Van Hiele adalah seorang pengajar matematika Belanda yang telah
mengadakan penelitian di lapangan, melalui observasi dan tanya jawab, kemudian
hasil penelitiannya ditulis dalam disertasinya pada tahun 1954. Penelitian yang
dilakukan Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap
perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Van Hiele (Ismail dalam
Purwoko, 2010) menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu:
Tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan keakuratan. Teori belajar
merupakan salah satu faktor yang dapat menjadi pedoman atau tolak ukur bagi
seorang guru untuk melakukan proses belajar mengajar yang diinginkan, oleh
karena itu guru sangatlah perlu untuk mengetahui dan memahami teori belajar
yang nantinya akan ia gunakan ketika mengajar.
Ruseffendi (Suwangsih & Tiurlina 2010) memaparkan bahwa teori belajar
ialah teori yang bercerita tentang kesiapan siswa untuk belajar sesuatu. Atau
uraian tentang kesiapdidikan siswa untuk menerima sesuatu. Jadi pada prinsipnya
teori belajar itu berisi tentang apa yang terjadi dan apa yang diharapkan terjadi
pada mental anak yang dapat dilakukan pada usia (tahap perkembangan mental)
tertentu.
Van Hiele seorang guru matematika bangsa Belanda yang mengadakan
penelitian dalam pengajaran geometri, menurut tokoh Van Hiele (Suwangsih &
Tiurlina 2010) ada tiga unsur utama dalam pengajaran geometri, yaitu waktu,
materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga unsur
ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada
tahapan berpikir yang lebih tinggi.

H. Tahapan Belajar Van Hiele


1. Tahap Pengenalan (Visualisasi)
Pada tahap ini anak mulai belajar mengenal suatu bentuk geometri secara
keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk

27
geometri yang dilihatnya itu. Sebagamana contoh, jika pada anak diperlihatkan
sebuah kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang
dimiliki oleh kubus tersebut. Ia belum tahu bahwa kubus mempunyai sisi-sisi
yang merupakan bujusangkar, anak belum mengetahui bahwa bujursangkar
(persegi) keempat sisinya sama dan ke empat sudutnya siku-siku.
2. Tahap analisis.
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki bangun
geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang
terdapat pada bangun Geometri itu. Misalnya pada saat ia mengamati persegi
panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan,
dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. tapi tahap ini anak belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda
geometri lainnya. Misalnya anak belum mengetahui bahwa persegi adalah
persegipanjang atau, persegi itu adalah belah ketupat dan sebagainya.
3. Tahap pengurutan (deduksi infromal).
Pada tahap ini anak-anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan
kesimpulan yang kita kenal dengan sebutan (istilah) berfikir deduktif. Namun
kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui
adalah, anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia
sudah mengenali bahwa persegi adalah jajaran genjang, bahwa belah ketupat
adalah layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang,
anak-anak atau peserta didik memahami bahwa kubus adalah balok juga,
dengan keistimewaannya yaitu bahwa semua sisinya berbentuk persegi. Pola
pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal
suatu persegi panjang itu sama panjangnya. Anak mungkin belum memahami
bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang kongruen.
4. Tahap Deduksi.
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif,
yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal
yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya
peranan unsur-unsur yang tidak didepinisikan, di samping unsur-unsur yang
didepinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. selain itu, pada

28
tahap ini anak sudah mulai mampu mengggunakan aksioma atau postulat yang
digunakan dalam pembuktian. tetapi anak belum mengerti mengapa sesuatu itu
dijadikan postulat atau dalil.
5. Tahap Akurasi.
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan
dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, Ia
mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri
Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi, rumit, dan
kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak,
meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai
pada tahap berfikir ini.

I. Tahapan Pembelajaran Geometri Menurut Van Hiele


Adapun tahap – tahap Van Hiele tersebut digambarkan sebagai berikut ini:
1. Tahap Informasi.
Melalui diskusi, guru mengidentifikasi apa yang sudah diketahui siswa
mengenai sebuah topik dan siswa menjadi berorientasi pada topik baru itu.
Guru dan siswa terlibat dalam percakapan dan aktifitas mengenai objek-objek,
pengamatan yang dilakukan, pertanyaan dimunculkan dan kosakata khusus
diperkenalkan.
2. Tahap Orientasi terarah.
Siswa menjajaki objek-objek pengajaran dalam tugas yang distrukturkan
secara cermat seperti pelipatan, pengukuran, atau pengkonstruksian. Guru
memastikan bahwa siswa menjajaki konsep-konsep spesifik.
3. Tahap Eksplitasi.
Siswa menggambarkan apa yang telah mereka pelajari mengenai topik
dengan kata-kata mereka sendiri, guru membantu siswa dalam menggunakan
kosa kata yang benar dan akurat, guru memperkenalkan istilah-istilah
matematika yang relevan.
4. Tahap Orientasi Bebas (Free Orientation).
Siswa menerapkan hubungan-hubungan yang sedang mereka pelajari untuk
memecahkan soal dan memeriksa tugas yang lebih terbuka (open-ended).
5. Tahap 5 Integrasi (Integration)

29
Siswa meringkas atau membuat ringkasan dan mengintegrasikan apa yang
telah dipelajari, dengan mengembangkan satu jaringan baru objek-objek dan
relasi-relasi.

J. Karakteristik Teori Belajar Van Hiele


Crowley 1987 (Nur’aeni, 2008) menyatakan bahwa karakteristik teori Van
Hiele adalah sebagai berikut:
1. Tingkatan tersebut bersifat rangkaian yang berurutan.
2. Tiap tingkatan memiliki symbol dan bahasa tersendiri.
3. Apa yang implisit pada satu tingkatan akan menjadi eksplisit pada tingkatan
berikutnya.
4. Bahan yang diajarkan pada siswa diatas tingkatan pemikiran mereka dianggap
sebagai reduksi tingkatan.
5. Kemajuan dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya lebih tergantung pada
pengalaman pembelajaran, bukan pada kematangan atau usia.
6. Seseorang melangkah melalui berbagai tahapan dalam melalui satu tingkatan
ke tingkatan berikutnya.
7. Pembelajar tidak dapat memiliki pemahaman pada satu tingkatan tanpa melalui
tingkatan sebelumnya.
8. Peranan guru dan peranan bahasa dalam konstruksi pengetahuan siswa sebagai
sesuatu yang krusial.

K. Manfaat Teori Belajar Van Hiele.


Ansari (2009) mengemukakan bahwa teori yang diterapkan Van Hiele lebih
kecil ruang lingkupnya dibandingkan dengan teori belajar yang lainnya karena
Van Hiele hanya mengkhususkan pada pembelajaran geometri. Namun demikian
terdapat beberapa hal yang dapat diambil manfaat teori belajar Van Hiele yaitu :
1. Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkebangan kognitif siswa di
SD, dalam hal ini guru dapat mengetahui mengapa seorang siswa tidak
memahami bahwa persegi itu merupakan persegipanjang karena siswa tersebut
tahap berpikirnya masi berada pada tahap analisis kebawah dan belum sampai
pada tahap pengurutan.

30
2. Agar siswa dapat memahami geometri maka pengajarannya harus disesuaikan
dengan tahap berpikir siswa, sehingga jangan sekali-kali memberikan pelajaran
yang berada diatas tahap berpikirnya.
3. Agar topik pelajaran pada materi geometri dapat dipahami siswa dengan baik,
maka topik pelajaran tersebut dapat dipelajari berdasarkan urutan tingkat
kesukarannya dan dimulai dari tingkat yang paling mudah sampai dengan
tingkat yang paling rumit dan kompleks.

L. Kelebihan dan kekurangan teori belajar Van Hiele


Di dalam sebuah strategi maupun teori tentunya memiliki kelebihan dan
kekurangnya, dan dari pemaparan diatas terdapat kelebihan dan kekurangan teori
Van Hiele diantaranya adalah:
1. Kelebihan Teori Van Hiele
Teori Van Hiele ini membantu siswa untuk lebih memahami geometri
dengan belajar melalui pengalaman, siswa tidak dituntut untuk mengetahui
terlebih dahulu materi geometri yang akan diajarkan sehingga siswa akan
menemukan pengetahuannya sendiri melalui proses belajar yang mereka
lakukan, selain itu kecepatan pemahaman dari tahap awal ke tahap selanjutnya
lebih tergantung pada isi dan metode pembelajaran yang digunakan guru
daripada usia dan kematangan berfikir siswa.
2. Kekurangan Teori Van Hiele
Pengajaran teori Van Hiele ini harus dilakukan secara bertahap karena jika
tidak, kemungkinan siswa untuk dapat memahami geometri dengan baik tidak
akan tercapai. Hal ini karena dalam tahapan-tahapan teori Van Hiele ini bekerja
secara berkesinambungan atau berkaitan antara satu tahapan dengan tahapan
selanjutnya. Teori ini juga menuntut guru untuk kreatif dalam mengemas
pengajaran yang dapat menyesuaikan dengan tingkat berpikir siswa, serta guru
harus mampu menentukan strategi yang tepat dalam pelaksanaannya.

31
M. Relevansi Teori Van Hiele untuk Pembelajaran Geometri di Sekolah Dasar
Dari beberapa pemaparan diatas serta dari beberapa sumber, dapat dikatakan
bahwa teori Van Hiele yang digunakan untuk pembelajaran geometri di SD
tentulah sangat relevan jika dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan yang ada
dalam teori ini. Sebagaimana Ruseffendi (1991,) menyatakan bahwa, terdapat
beberapa dalil atau pendapat mengenai pengajaran geometri dari Van Hiele.
Diantaranya ialah:
1. Kombinasi yang baik antara waktu, materi pelajaran, dan metode mengajar
yang dipergunakan untuk tahap tertentu dapat meningkatkan kemampuan
berfikir siswa kepada tahap yang lebih tinggi.
2. Dua orang yang tahap berpikirnya berbeda dan bertukar pikiran, satu sama lain
tidak akan mengerti. Misalnya sering ada anak yang tidak mengerti mengapa
gurunya membuktikan sudut-sudut alas sebuah segitiga samakaki itu sama
besar (tahap berfikir anak paling tinggi adalah pada tahap 3), sebab baginya
sudah jelas sama besar. Contoh lain ialah, siswa tidak mengerti yang dikatakan
gurunya bahwa jajargenjang itu adalah trapesium (tahap berfikir anak paling
tinggi adalah tahap 2). Pada kedua contoh tersebut, gurunya sering juga tidak
mengerti mengapa siswa itu tidak mengerti. Selanjutnya ia mengatakan,
mungkin saja siswa yang tahap berpikirnya legih rendah itu dapat “berhasil”
belajar mengenai sesuatu yang sebenarnya masih ada diatas tahap berpikirnya.
Tetapi “berhasilnya” itu melalui hafalan, tidak melalui pengertian.
3. Kegiatan berpikir siswa atau peserta didik itu, harus sesuai dengan tahap
berpikir siswa. Tujuannya selain agar siswa-siswa memahaminya dengan
pengertian, untuk memperkaya pengalaman dan berpikir siswa atau peserta
didik, juga untuk persiapan meningkatkan berpikirnya kepada tahap yang lebih
tinggi.

Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa teori Van Hiele
cocok atau relevan digunakan di SD apabila memang gurunya sudah memahami
tingkatan atau tahapan-tahapan yang dapat di tempuh siswanya, sehingga dengan
guru memahami pada tingkat mana siswa tersebut dapat memahami geometri
maka guru dapat menerapkan strategi dan pengajaran geometri sesuai dengan

32
tingkat atau tahap berpikir siswa, bukan malah siswa yang menyesuaikan dengan
tahap pengajaran guru.

N. Aplikasi Teori Belajar Van Hiele dalam Pembelajaran Matematika SD


Pembelajaran yang Dilaksanakan pada Setiap Fase Pembelajaran :
1. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 1 (Informasi).
a. Dengan memakai gambar bermacam-macam bangun segiempat, siswa
diinstruksikan untuk memberi nama masing-masing bangun.
b. Guru mengenalkan kosa kata khusus, seperti: simetri lipat, simetri putar, sisi
berhadapan, sudut berhadapan, dan sisi sejajar.
c. Dengan metode tanya jawab, guru menggali kemampuan awal siswa.
2. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 2 (Orientasi).
Siswa disuruh membuat suatu model bangun segiempat dari kertas.
a. Dengan menggunakan model bangun tersebut serta kertas berpetak siku-
siku, siswa diinstruksikan untuk menyelidiki:
1) Banyaknya sisi berhadapan yang sejajar.
2) Sudut suatu bangun siku-siku atau tidak
b. Dengan menggunakan suatu model bangun, siswa diminta untuk melipat
model bangun tersebut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menemukan sumbu
simetri. Selanjutnya siswa diinstruksikan untuk menyelidiki banyaknya
sumbu simetri yang dimiliki oleh suatu bangun.
c. Melipat model tersebut pada diagonalnya, kemudian menempatkan yang
satu di atas yang lain. Siswa diminta untuk menyelidiki banyaknya pasangan
sudut berhadapan yang besarnya sama.
d. Memotong pojok yang berdekatan, kemudian menempatkan salah satu sisi
potongan pertama berimpit dengan salah satu sisi potongan yang kedua.
Siswa diminta untuk menyelidiki apakah sudut yang berdekatan membentuk
sudut lurus.
e. Memotong semua pojoknya dan menempatkan potongan-potongan tersebut
sedemikian sehingga menutup bidang rata. Selenjutnya siswa diminta untuk
menyelidiki apakah keempat sudut itu membentuk sudut putaran.

33
f. Siswa diinstruksikan untuk mengukur panjang sisi-sisi suatu segiempat,
apakah ada sisi yang sama panjang ?
g. Siswa diinstruksikan untuk mengukur diagonal suatu segi empat, apakah
diagonalnya sama panjang ?
3. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 3 (Penjelasan).
Siswa diberi bemacam-macam potongan segiempat. Mereka diminta untuk
mengelompokkan segiempat berdasarkan sifat-sifat tertentu, seperti:
a. Segiempat yang mempunyai sisi sejajar.
b. Segiempat yang mempunyai sudut-sudut siku-siku.
c. Segiempat yang mempunyai sisi-sisi sama panjang.
4. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 4 (Orientasi Bebas)
Dengan menggunakan potongan segitiga, siswa diminta untuk membentuk
segiempat, dan menyebutkan nama segiempat yang telah terbentuk.
5. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 5 (Integrasi), siswa dibimbing untuk
menyimpulkan sifat-sifat segiempat tertentu, seperti:
a. Sifat persegi adalah: ....
b. Sifat persegipanjang adalah ....
c. Sifat belahketupat adalah ....
d. Sifat jajargenjang adalah ....
e. Sifat layang-layang adalah ....
f. Sifat trapesium adalah ....

34
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Bruner, melalui teorinya, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar
anak sebaiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga
yang dirancang secara khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam
memahami suatu konsep matematika. Melalui alat peraga yang ditelitinya itu,
anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang
terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu.
Dengan demikian siswa dalam belajar, haruslah juga terlibat aktif. Ini
menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu
akan lebih mudah dipahami dan diingat anak. Dalam setiap kesempatan,
pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah
yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Proses pemerolehan
pengetahuan menurut Bruner terbagi dalam tiga model tahapan yaitu model
tahap enaktif, model ikonik dan model tahap simbolik. Menurut Bruner ada
empat prinsip prinsip tentang cara belajar dan mengajar matematika yang
disebut teorema. Pengertian discovery learning menurut Jerome Bruner adalah
metode belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan
menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman.
Selain Bruner, Van Hiele juga memaparkan pandangannya atau teori
belajarnya. Menurut Van Hiele, setidaknya terdapat lima tahapan-tahapan
pemahaman geometri, sebagai berikut: (a) Tahap Pengenalan, (b) Tahap
Analisis, (c) Tahap Pengurutan, (d) Tahap Deduksi dan (e) Tahap Keakuratan.
Menurut van Hiele, terdapat tiga unsur utama dalam pengajaran geometri,
yaitu: waktu, meteri pengajaran, dan metode pengajaran. Apabila ketiga unsur
itu dikelola dengan baik, maka peningkatan kemampuan berpikir anak lebih
tinggi. Dan bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu
sama lain, kemudian saling bertukar pikiran, maka kedua. Orang tersebut tidak
akan mengerti.

35
Ada 5 fase pembelajaran geometri, yaitu: fase informasi, fase orientasi,
fase eksplisitasi, fase orientasi bebas, dan fase integrasi. Manfaat teori belajar
Van Hiele dalam suatu pembelajaran geometri yaitu guru dapat memahami
mengapa seorang anak mengerti suatu topik dalam geometri. Supaya kita
menginginkan anak belajar geometri dengan mengerti, tahap pembelajaran
kita harap disesuaikan dengan tahap berpikir siswa, tidak sebaliknya siswa
yang menyesuaikan diri dengan tahap pembelajaran kita.

B. Saran
Matematika sering dianggap sulit bagi peserta didik. Karena dalam
pembelajaran matematika seringkali materi disajikan tidak menghubungkan
materi dengan hal-hal yang ada dikehidupan nyata. Oleh karena itu guru
sebaiknya mampu mengembangkan materi pembelajaran matematika dengan
menerapkan teori-teori belajar yang ada. Ketika ingin menggunakan teori-teori
balajar, maka kita harus mempertimbangkan karakteristik materi yang akan
kita sampaikan tersebut apakah sesuai dengan teori yang akan kita jadikan
acuan. Sehingga proses pembelajaran akan mencapai tujuan yang diharapkan.
Tahapan-tahapan pemahaman geometri menurut van hiele ini sangat penting
untuk guru dalam membimbing siswa mempelajari geometri. Untuk itu
diharapkan guru mampu memahami teori ini sehingga pembelajaran geometri
akan sampai kepada siswa. Guru sebagai pembimbing sebaiknya memadukan
teori-teori belajar dalam proses mengajar karena akan membuat siswa lebih
memahami pelajaran, seperti dalam pembelajaran matematika, siswa tidak
hanya memahami metode matematika dengan konsep perhitungan sederhana
akan tetapi juga memahami geometri yang memiliki arti hubungan antara
garis, sudut, bidang dan bangun ruang, yang sebagaimana kita ketahui, hal
tersebut juga sebagai bagian dari ilmu matematika.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis dan para pembaca
dalam menambah ilmu pengetahuan dan wawasan. Penulis menyadari masih
banyak terdapat kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu saya Sebagai
penulis mengucapkan dan memohon maaf yang sebesar-besarnya.

36
Daftar Pustaka
Aisyah, N., dkk. 2016. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Script.
Online UNY: Diakses pada 24 Maret 2021.
Arsyad, A. 2006. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Ansari, B. (2009), Komunikasi Matematika Konsep dan Aplikasi. Aceh: Yayasan
Pena Banda Aceh Divisi Penerbitan.
Heruman. 2013. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung:
Rosda
Hudoyo, H. (1990). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Malang: IKIP
Malang.
Nur’aeni, E. (2008). Teori Van hiele Dan Komunikasi Matematik (Apa, Mengapa
Dan Bagaimana). Online: Diakses Tanggal 24 Maret 2021.
Purwoko. 2010. Pengembangan Pembelajaran Matematika. Online:Diakses pada
tanggal 23 Maret 2021.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito
Sadiq, F., & Mustajab, M. (2011). Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran
Matematika di SD. Yogyakarta: Kemendikbud.
Suherman, E. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
JICA-UPI.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sutawijaya, A. (1997) Pemecahan Masalah Dalam Pembelajatran Matematika.
Makalah Seminar Nasional Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan
Matematika dalam Era Globalisasi. Program Pasca Sarjana: IKIP Malang.
Suwangsih & Tiurlina. (2010). Model Pembelajaran Matematika. Bandung:UPI
PRESS
Wikipedia. (2021).Teori Belajar Brunner.Online: Diakses pada tanggal 25 Maret
2021.

37

Anda mungkin juga menyukai