Abstrak:
Kehidupan global merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan sekaligus membuka peluang-
peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi
untuk memperoleh kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar negeri. Sendi pendidikan termasuk
yang cukup sensitif menghadapi era globalisasi. Disinilah tantangan sekaligus peluang bagi peningkatan
mutu pendidikan Indonesia baik untuk memenuhi sumber daya manusia yang berkualitas bagi
kebutuhan domestik maupun global. (Mangatas Tampubolon, 2002).
Akhir-akhir ini pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, mengembangkan berbagai
kebijakan baru berdasarkan paradigma baru pula. Misalnya adalah kebijakan desentralisasi manajemen
pendidikan, penghapusan evaluasi belajar tahap akhir nasional (EBTANAS) sekolah dasar, dan
manajemen berbasis sekolah. Menurut Tilaar (dalam Sam M. Cham dan Tuti T. Sam, 2006), mengatakan
bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Manajemen berbasis sekolah ini telah
berhasil mengangkat kondisi dan memecahkan berbagai masalah pendidikan di beberapa negara maju,
seperti Australia dan Amerika. Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu upaya mencapai
keunggulan Pendidikan dan diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di
Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara mikro, meso, maupun makro.
Sebagaimana juga dimaklumi bersama bahwa ada berbagai persoalan besar dalam dunia pendidikan di
Indonesia sementara ini yang harus dicarikan solusinya sesegara mungkin. Berbagai persoalan yang
dimaksud, misalnya, pertumbuhan sekolah-sekolah secara kuantitatif yang tidak dibarengi peningkatan
kualitas. Dalam rangka pemerataan kesempatan belajar bagi seluruh warga negara pemerintah selalu
berusaha mengadakan sebanyak mungkin unit sekolah baru dan atau memberikan subsidi imbal
swadaya bagi lembaga-lembaga pendidikan swasta. Sebagai wujud keberhasilannya adalah makin
bertambahlah satuan-satuan pendidikan, dan dampaknya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan
semakin terbuka lebar bagi warga negara. Namun, tampaknya pertumbuhan kuantitatif tersebut tidak
dibarengi oleh pertumbuhan kualitatif. Bahkan justru sebaliknya, sebagaimana banyak dikritisi oleh para
pakar dan pengamat pendidikan.
Berbagai bukti dapat dikedepankan. Misalnya masih besarnya angka putus sekolah baik di Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) maupun Sekolah Menengah Umum (SMU), sehingga mereka menjadi
pengangguran, gelandangan, dan pengamen. Demikian pula, banyak lulusan SLTP yang tidak
melanjutkan pendidikan ke SMU atau Sekolah Menngah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah (MA),
dan tidak sedikit lualusan SMU/SMK/MA yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Banyak lulusan
SLTP/MTs dan SMU/SMK/MA yang tidak mampu menerapkan pengetahuan yang didapatkan di sekolah
ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akhirnya menjadi pengangguran, tidak mampu memecahkan
masalah kehidupanya sendiri apalagi bagi keluarga dan kemaslahatan umat manusia, dan bahkan tidak
sedikit di antara mereka yang menjadi sumber keributan.
Akar persoalannya adalah terletak pada masalah manajemen pendidikan di sekolah-sekolah sementara
ini pengelolaannya terlalu kaku dan sentralistik. Oleh karena itu adalah bijaksana sekali bilamana akhir-
akhir ini pemerintah mulai mengembangkan dan memasyarakatkan manajemen berbasis
sekolah.Manajemen berbasis sekolah merupakan paradigma baru yang memberikan otonomi luas pada
tingkat sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa
mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas
kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan (masyarakat) setempat. Pada manajemen berbasis
sekolah, sekolah dituntut untuk secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas,
mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada
masyarakat maupun pemerintah. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu diterapkan prinsip pendidikan
berbasis luas (Broad-Based Education) (Depdiknas, 2002).
Sebagaimana sistem pendidikan lainnya, manajemen berbasis sekolah menuntut adanya manajemen
yang tepat. Dalam rangka implementasi manajemen berbasis sekolah , diperlukan manajemen gugusan
substansi kurikulum dan pembelajaran yang tepat. Pertanyaan manajerialnya adalah bagaimana kepala
sekolah bersama seluruh guru yang dipimpin sebaiknya mengelola kurikulum dan pembelajaran, mulai
dari pengembangan kurikulum, menciptakan tradisi pembelajaran, pengembangan sistem evaluasi
pembelajaran, sehingga pada akhirnya siswa mendapatkan pengalaman belajar yang betul-betul sesuai
dengan yang diharapkan.
Manajemen sekolah yang dikembangkan dalam rangka implementasi manajemen berbasis sekolah
dalam paradigma menuju otonomi sekolah, dalam bentuk manajemen berbasis sekolah ( school based
management). Betapa vital dan strategisnya keberadaan manajemen berbasis sekolah yang efektif dan
efesien dalam rangka lebih mengoptimalkan seluruh potensi yang ada di sekolah. Beberapa tahun
terakhir ini pemerintah mulai mengembangkan, memasyarakatkan, dan menerapkan manajemen
berbasis sekolah.
Pembicaraan mengenai efektifitas sekolah telah menjadi wacana dalam disiplin manajemen berbasis
sekolah terutama pada akhir dekade 1990-an. Maraknya wacana ini disebabkan oleh bergesernya tujuan
perencanaan pendidikan dari bagaimana meningkatkan input sekolah ke bagaimana meningkatkan mutu
pendidikan. Pergeseran ini menyebabkan pemikiran teoretik dan penelitian diarahkan pada upaya
mengidentifikasi faktor-faktor yang dipandang memiliki kontribusi terhadap peningkatan mutu
pendidikan. Konsekuensinya adalah munculnya berbagai konsep dan pendekatan yang digunakan untuk
menjelaskan berbagai persoalan yang berhubungan dengan efektifitas sekolah.
Scheerens (2000) (dalam Surya Dharma, 2006) menunjukkan bahwa untuk mempelajari sekolah yang
efektif, manajemen berbasis sekolah perlu menjadi acuan. Kinerja lembaga dapat diperlihatkan melalui
autputnya, yang kemudian dapat ditindak lanjuti pengukuran prestasi rata-rata siswa pada akhir masa
pendidikan formal mereka. Pandangan serupa juga dikemukakan Sergiovanni (1984) serta Frymier, dkk.
(1984) bahwa sekolah pada dasarnya adalah suatu organisasi, oleh karena itu sekolah yang efektif
adalah sekolah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Biasanya
tingkat pencapaian sekolah yang efektif ditandai dengan prestasi lulusan dalam bidang keterampilan
dasar yang diukur melalui tes prestasi terstandar.
Para pakar yang menekankan pendekatan tujuan dalam analisis keefektifan sekolah, mendasarkan
argumentasi pada asumsi, bahwa sekolah akan dikatakan efektif oleh siswa, orangtua, masyarakat, dan
lainnya jika sekolah tersebut sukses mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan yang diwujudkan
dalam prestasi belajar. Disamping kajian tentang efektifitas sekolah berdasarkan tujuan, ada pula
pendapat lain yang menyatakan bahwa sekolah yang efektif juga didasarkan pada pendekatan proses,
seperti kondisi internal, kesuksesan mekanisme kerja, dan efesiensi dalam mendayagunakan semua
sumber yang tersedia dalam mencapai sekolah yang efektif. Kombinasi antara pendekatan tujuan dan
pendekatan proses menajadi opsi baru dalam kajian tentang keefektifan sekolah, namun kajian yang
dilakukan secara makro selama ini ternyata tidak dengan sendirinya menyelesaikan persoalan
keefektifan sekolah. Untuk lebih mengarahkan dalam pembahasn selanjutnya, maka berikut ini
dirumuskan tujuan yang ingin dicapai dari artikel ini adalah sebagai berikut: Untuk memahami
penerapan manajemen berbasis sekolah, memahami profil sekolah yang efektif, dan memahami upaya
menciptakan sekolah yang efektif melalui manajemen berbasis sekolah.
Sesuai dengan latar belakang dan tujuan yang ingin dicapai dari pembahasan makalah ini dan untuk
menghindari kesalahpahaman, maka berikut diuraikan ruang lungkup dari makalah ini, yaitu memahami
manajemen berbasis sekolah, memahami sekolah yang efektif, dan menciptakan sekolah yang efektif
melalui manajemen berbasis sekolah.
II. PEMBAHASAN
Menghadapi adanya peluang selakigus menghadapi tantangan era global ini, pendidikan di Indonesia
memerlukan paradigma baru yang cocok dan sesuai dengan tuntutan, perubahan dan perkembangan
zaman. Paradigma baru pendidikan untuk menghadapai era global sebagaimana dikemukakan oleh
Tilaar (dalam Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, 2006), bahwa pokok-pokok yang harus ada pada paradigma
baru pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, pendidikan ditujukan untuk membentuk
masyarakat Indonesia baru yang demokratis. Kedua, untuk mencapai masyarakat yang demokratis
diperlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis. Ketiga,
pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang dapat menjawab tantangan internal
sekaligus tantangan global. Keempat, pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa
Indonesia yang bersatu serta demokratis. Kelima, didalam menghadapi kehidupan global yang
kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengarahkan kemampuan berkompetisi di dalam
rangka kerja sama. Keenam, pendidikan harus mampu mengembangkan kebinekaan menuju pada
terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayan kebinekan masyarakat. Ketujuh,
pendidikan harus mampu mengIndonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia
merasa bangga menjadi insan Indonesia.
Pada hakekatnya proses pendidikan di sekolah merupakan proses kerjasama. Proses kerjasama tersebut
tentunya menyertakan banyak orang dan menggunakan berbagai fasilitas, tidak saja berupa sarana dan
prasarana melainkan juga dana. Semakin besar sebuah sekolah, maka semakin luas pula kerjasamanya
Semakain luas kerjasamanya semakin banyak pula orang yang dilibatkan dan atau fasilitas yang
digunakan. Agar dapat mencapai tujuan secara efektif dan efesien, tentunya semua orang yang
dilibatkan dan fasilitas yang ada didayagunakan sedemikian rupa. Proses pendayagunaan semua orang
dan fasilitas itulah yang disebutdengan manajemen.
Perihal manajemen sebagai proses pendayagunaan pernah dikemukakan banyak pakar administrasi
pendidikan, seperti Sergiovanni, Burligame, Coombs, dan Thurston (1987). Mereka mendefinisikan
manajemen sebagai process of working with and through otherrs to accomplish organizational goals
effcienctly, yaitu proses kerja dengan dan melalui (mendayagunakan) orang lain untuk menvcapai tujuan
organisasi secara efesien. Merka berpendapat bahwa manajemen itu merupakankajian administrasi
ditinjau dari sudut prosesnya. Menurut mereka manajemen itu proses, terdiri atas kegiatan-kegiatan
dalam upaya mencapai tujuankerjasama (administrasi) secara efesien. Pengertian tersebut sesuai
dengan pendapat Gorton (1976) yang menegaskan bahwa manajemen merupakan strategi atau
langkah-langkah yang digunakan administrator untuk melakukan tugas-tugas tertentu atau mencapai
tujuan tertentu.
Menurut Gorton (1976) manajemen pada hakekatnya merupakan proses pemecahan masalah, sehingga
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: Identifikasi masalah, diagnosa masalah, penetapan tujuan,
Pembuatan keputusan, perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pendelegasian,
penginisiasian, pengkomunikasian, kerja dengan kelompok-kelompok, dan penilaian.
Keempat kegiatan tersebut merupakan fungsi-fungsi organik manajemen. Artinya kegiatan tersebut,
seperti perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, atau kepemimpinan, dan pengawasan tidak boleh
tidak harus dilakukan dalam setiap administrasi. Ketidak mampuan atau kelalaian malakukan
kegiatantersebut sangat mempengaruhi keberhasilan. Keempat kegiatan tersebut disebut siklus
manajemen.
2.1.1. Perencanan
Perencanaan dapat didevinisika sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan semua aktivitas
yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan. Perencanaan
merupakan alangkah pertama dalam proses manajemen yang harus dilakukan oleh orang-orang yang
mengetahui semua unsur organisasi. Keberhasilan perencanaan sangat menunjang keberhasila kegiatan
manajemen secara keseluruhan. Oleh karena itu, perencanaan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.
2.1.2. Pengorganisasian
2.1.3. Kepemimpinan
2.1.4. Pengawasan
Pengawasan sebagai proses memonitor kegiatan-kegiatan yang tujuan untuk menentukan harapan-
harapan yang secara nyata dicapai dan mealakukan perbaikan-perbaikan terhadap penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi. Harapan-harapan yang dimaksud tersebut adalah tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan untuk dicapai, dan program-program yang telah direncanakan untuk dilakukan dalam
perioda tertentu. Dengan demikian, pengawasan dalam kontek pendidikan itu merupakan proses
memonitor kegiatan-kegiatan untuk mengetahui program-program lembaga pendidikan yang telah
diselesaikan dan tujuan-tujuan yang telah dicapai.
2.2. Manajemen Berbasis Sekolah
Mencermati situasi yang dihadapi Indonesia saat ini, yang sekaligus merupakan permasalahan di bidang
pendidiakan, sudah seharusnya yang sedang beralangsung saat ini tidak seperti yang terjadi selama ini di
mana pelaksanaan pendidiakan banyak diwarnai dengan pendkatan sarwa negara. Di masa yang akan
datang pendidiakan harus berorientasi pada aspirasi masyarakat (putting customer first), (Sam M. Chan
dan Tuti T. Sam, 2006). Pendidikan harus mampu mengenali siapa pelanggannya (the customers). Dari
pengenalan pelanggan ini, pendidikan akan memahami apa aspirasi dan kebutuhannya (need
assessment). Setelah mengetahui aspirasi dan kebutuhan mereka, barulah ditentukan sistem
pendidiakan yang termasuk di dalamnya kurikulum, tenaga pengajar, dan lain-lain yang berkaitan
dengan pendidikan.
Pola pengabilan keputusannya pun sudah harus berubah dari pola top down menjadi bottom up karena
pola top down mengakibatkan terjadinya sentralistik di bidang pendidikan, khususnya sistem
pendidikan. Oleh karena itu sistem pendidikan dimasa depan tidak lagi berorientasi pada sentralistik
kekuasaan, tetapi berbasis pada masyarakat. Masyarakat harus diperlakukan sebagai subjek, bukan
objek dalam bidang kependidikan.
Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah mulai mencoba menggunakan paradigma baru manajemen
pendidikan, baik secara makro maupun mikro. Dalam sekala makro, pemerintah telah mencoba
menerapkan pendekatan desentralistik manajemen pendidikan. Asumsi dasarnya adalah bahwa
peningkatan mutu pendidikan di sekolah, hanya akan terjadi secara efektif bilamana dikelola atau
melalui manajemen yang tepat.
Selama ini, peningkatan mutu pendidikan cendrung melalui manajemen yang sentralistik. Betapa banyak
dropping buku-buku perpustakaan, buku-buku pelajaran diupayakan secara terpusat, dan sekolah
tinggal menerima apa yang telah dialokasikan oleh pemerintah pusat, terlepas apakah barang-barang
tersebut dibutuhkan oleh sekolah atau tidak. Begitu banyak program peningkatan mutu penidikan
ditetapkan dan diupayakan secara sentralistik oleh pemerintah pusat. Begitu beragam program
pelatihan guru dirancang dan dilaksanakan secara terpusat dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Peningkatan mutu pendidikan sementara ini kurang memperhatikan kondisi atau tidak berbasis sekolah.
Akibatnya, peningkatan mutu pendidiaan tetap tidak banyak mengalami keberhasilan, kareaa selain
tidak sesuai dengan kondisi sekolah, juga tidak dibarengi oleh upaya-upaya dari sekolah yang
bersangkutan. Peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah akan terjadi hanya bilamana ada
kemauan dan prakarsa dari bawah, di mana kepala sekolah, guru kelas, orangtua siswa, komite sekolah
berkemauan dan bekerja keras berupaya mengembangkan program-program peningkatan mutu
pendidikan di sekolahnya.
Namun mulai tahun 2001, pemerintah mencoba menggunakan paradigma baru manajemen pendidikan.
Paradigma baru manajemen makro di bidang pendidikan adalah desentralisasi pendidikan yang dilandasi
oleh undang-undang Nomor 1999 tentang Pemerintah Daerah yang melahirkan otonomi pendidikan.
Secara mikro, adalah dengan dicobanya sebuah model manajemen pendidikan dari sekolah oleh sekolah
dan untuk sekolah, yaitu disebut dengan Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah
(MPMBS) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Dalam dunia pendidikan di Indonesia manajemen berbasis sekolah merupakan satu strategi manajemen
pendidikan baru, yaitu manajemen berbasis sekolah ( school-based manajement). Di beberapa negara
terdapat berbabagai istilah lain untuk manajemen berbasis sekolah, namun secara keseluruhan
mengarahkan kepada konsep desentralisasi pengelolaan pendidikan sampai pada level sekolah atau
pengelola secara mandiri oleh sekolah, sebagaimana selama ini banyak dilakukan di sekolah-sekolah
swasta dan lembaga-lembaga pendidikan pesantren.
Secara konseptual manajemen berbasis sekolah dapat didefinisikan sebagai proses manajemen sekolah
yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, yang mana secara otonomi direncanakan,
diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi sendiri oleh sekolah sesuai dengan kebutuhan sekolah
dengan melibatkan semua stakeholder sekolah. Sesuai dengan konsep tersebut, manajemen berbasis
sekolah itu pada hakekatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolah untuk secara aktif serta
mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu pendidikan sesuai
dengan kebutuhan sekolah sendiri.
David (dalam Depdiknas 2002) mendefinisikan manajemen berbasis sekolah sebagai otonomi sekolah
yang dibarengi dengan pembuatan keputusan secara partisipatori. Demikian pula Caldwell (dalam
Depdiknas, 2002) mendefinisikan MPMBS sebagai kewenangan pengalokasian sumber daya yang
didesentralisasikan. Dalam upaya menggalakkan manajemen berbasis sekolah harus dipahami dalam
dua konteks. (a) Bahwa, dengan diterapkannya MBS di sekolah-sekolah, pada dasarnya kedepan akan
terjadi peralihan dari pendekatan yang sentralistik menuju desentralistik dalam upaya meningkatkan
mutu pendidikan. Oleh karena sebagai pemberian otonomi, maka banyak sekali pakar manajemen
pendidikan dari berbagai negara yang menyebut MPMBS atau MBS sebagai otonomi sekolah atau
kewenangan yang didesentralisasikan tidak saja ke tingkat kabupaten dan kota melainkan juga sampai
ke sekolah. (b) manajemen berbasis sekolah mulai diperkenalkan di sekolah-sekolah di Indonesia sekitar
tahun 1997-1998, namun sebenarnya sekolah-sekolah swasta telah lama menerapkannya.
Sekolah swasta selama ini telah berusaha mengelola manajemen secara mandiri dan dalam rangka
mempertahankan serta meningkatkan kualitas dan eksistensinya sekolah swasta berusaha
meningkatkan kinerjanya secara mandiri, mencari cara-cara baru sesuai dengan kondisi sekolahnya
masing-masing, dan berusaha melibatkan masyarakat layanannya.
Levasic (dalam Depdiknas 2002) mengedepankan 3 karakteristik kunci manajemen berbasis sekolah
sebagai berikut. Pertama kekuasaan dan tanggung jawab dalam penganmbilan keputusan peningkatan
mutu pendidikan didesentralisasaikan kepada para stakeholder sekolah. Kedua domain manajemen
peningkatan mutu pendidikan yang didesentralisasikan mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu
pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan prasarana, penerimaan siswa baru, dan
kurikulum. Ketiga walaupun keseluruhan domain manajmen peningkatan mutu pendidikan
didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah regulasi yang mengatur
fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggungjawab sekolah.
Menurut Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah (2000), MPMBS bertujuan untuk
memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan, dan
sumberdaya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya maka diharapkan sekolah
sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi
dirinya dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah. Sekolah dapat
mengembangkan sendiri program-program sesuai kebutuhannya. Sekolah dapat bertanggungjawab
tentang mutu pendidikan masing-masing kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah. Sekolah dapat
melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Peningkatan efesiensi diperoleh malalui keleluasaan pengelolaan sumber daya yang ada, partisipasi
masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua
siswa, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru. Pemerataan pendidikan
tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli, sementara yang
kurang mampu akan menjadi tanggungjawab pemerintah. MBS yang ditawarkan sebagai bentuk
operasional desentralisasi pendidikan akan memberikan wawasan baru terhadap sistem yang sedang
berjalan selama ini.
Kajian beberapa faktor sehubungan dengan manajemen berbasis sekolah berkaitan dengan kewajiban
sekolah, kebijakan dan prioritas pemerintah, peranan orangtua dan masyarakat serta peranan
profesionalisme dan manajerial dan pengembangan profesi.
a. Kewajiban Sekolah
MBS menawarkan keleluasaan pengelolan sekolah, guru dan pengelolaan sistem pendidikan profesional.
Oleh karenanya maka pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban serta monitoring dan
tuntutan pertanggungjawaban (akuntabel) yang relatif tinggi, untuk menjamin bahwa sekolah selain
memiliki otonomi juga mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi
harapan masyarakat sekolah.
Dengan MBS diharapkan dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan
motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta
mengefesienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih.
Manajemen berbasis sekolah menuntut perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan
tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah, kareana pelaksanaan MBS dimungkinkan
beroperasi meningkatkan peranan yang bersifat profesional dan manajerial.
e. Pengembangan Profesi
Didalam MBS pemerintah harus dapat menjamin bahwa semua unsur penting tenaga kependidikan
menerima pengembangan profesi yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara efektif, agar sekolah
dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan
profesi yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga kependidikan untuk MBS.
MBS yang ditawarkan sebagai bentuk operasional desentralisasi pendidikan akan memberikan wawasan
baru terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain dari
bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar,
pengelolaan sumberdaya manusia dan pengelolaan sumber dana dan administrasi.
Salah satu alasan mengapa MBS diperlukan adalah karena MBS merupakan proses pemberdayaan.
Pemberdayaan merupakan istilah yang sangat populer dalam era reformasi. Pemberdayaan
dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat dalam perekonomiannya, hak-haknya
yang memiliki posisi yang seimbang dengan yang lain yang telah lebih dulu mapan kehidupannya.
Manajemen berbasis sekolah merupakan konsep pemberdayaan sekolah dalam rangka peningkatan
mutu dan kemandirian sekolah. Untuk dapat memahami dan menerapkan MBS sebagai proses
pemberdayaan terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, antara lain: Pemberdayaan
berhubungan dengan upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk memegang kontrol atas diri
dan lingkungannya. Adanya kesamaan dan kesepadanan kedudukan dalam hubungan kerja.
Menggunakan pendekatan partisifatif. Pendidikan untuk keadilan.
Semua proses di atas merupakan ciri proses pemberdayaan, ciri-ciri inilah yang merupakan tahapan
dasar dalam MBS. Berdasarkan hal tersebut, maka karakteristik pemberdayaan sebagai berikut:
a. Penyusunan kelompok kecil, pemberdayaan difokuskan pada kelompok kecil yang mandiri. Kelompok
ini diharapkan tumbuh secara alamiah dan pada gilirannya perlu dibentuk koalisi di antara para anggota
kelompok.
b. Pengalihan tanggungjawab, dalam MBS terjadi pengalihan dari pemerintah kepada sekolah untuk
dapat memberdayakan diri dan lingkungannya.
c. Pimpinan oleh para partisipan, dengan melatih kontrol atau pengambilan keputusan maka diharapkan
mendorong semua aspek organisasi. Kepemimpinan dan pemimpin diharapkan lahir secara alamiah
dalam proses ini.
d. Guru sebagai pasilitator, guru diharapkan sebagai pembimbing proses dan nara sumber. Komitmen
guru sangat diharapkan dalam hal ini.
e. Proses bersifat demokratis dan hubungan kerja yang luwes, segala sesuatu yang dalam MBS
dirundingkan bersama dalam kedudukan yang sederajat dan diputuskan dengan musyawarah.
f. Merupakan integrasi antara refleksi dan aksi, pengalaman dari masing-masing partisipan akan
menghasilkan fokus yang melibatkan setiap orang yang terlibat melalui aksi dan reaksi yang sama dan
menimbulkan keinginan untuk menghadapi resiko bersama.
g. Metoda yang mendorong kepercayaan diri, metoda yang digunakan bersifat meningkatkan
keterlibatan aktif, dialog, dan aktivitas kelompok secara mandiri.
h. Meningkatkan derajat kemandirian sosial, ekonomi, dan politik sebagai proses pemberdayaan
kedudukan partisipan dalam masyarakat meningkat dalam hal-hal khusus tertentu.
Suatu sekolah dikatakan efektif apabila mengacu pada kinerja unit organisasi suatu lembaga. Kinerja
lembaga dapat diperlihatkan melalui output lembaga tersebut, yang pada gilirannya diukur sesuai
dengan prestasi rata-rata siswa pada akhir masa pendidikan formal mereka di lembaga tersebut
tersebut.
Studi Scheerens (dalam Surya Dharma, 2006) yang dilakukan pada negara maju dan negara berkembang
menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan keefektifan sekolah. Pengoperasian faktor-
faktor ini menurut prilaku menghasilkan sejumlah indikator keefektifan sekolah seperti berikut: Prestasi,
orientasi, harapan tinggi; Kepemimpinan pendidikan; Konsensus dan kohesi antar staf; Kualitas
kurikulum/kesempatan belajar; Iklim sekolah; Potensi evaluatif; Keterlibatan orangtua; Iklim kelas; dan
waktu belajar.
Menurut Surya Dharma (2000), efektifitas sekolah dipengaruhi oleh kompetensi kepala sekolah,
Motivasi kerja kepala sekolah dan supervisi pengajaran yang dilakukannya. Disamping ketiga faktor
tersebut keefektifn sekolah juga dipengaruhi oleh iklim sekolah, dan kinerja guru. Tidak ada faktor
tunggal, langsung atau tidak, yang mempengaruhi keefektifan sekolah, semua variabel dalam kerangka
konseptual tersebut berinteraksi dalam mempengaruhi keefektifan sekolah.
Kompetensi profesional kepala sekolah dalam semua jenjang dan jenis pendidikan agar mampu
melaksanakan fungsinya. Kompetensi yang dimiliki dapat menjadi landasan dalam menjalankan peranan
dan tanggung jawabnya sebagai administrator, manajer, pemimpin, dan supervisor pendidikan. Kepala
sekolah perlu memiliki kompetensi administrasi, manajemen, kepemimpinan, dan supervisi pendidikan,
karena peran mereka sehari-hari adalah mengelola dan memimpin sekolah.
Dalam menyiapkan jabatan kepala sekolah, ada lima kelompok kompetensi yang diperlukan untuk
memenuhi fungsi dasar kepala sekolah yaitu program instruksional, kepegawaian, kesiswaan, sumber-
sumber fisik dan finansial, dan hubungan masyarakat dan sekolah.
Dalam mengkaji peran kepemimpinan kepala sekolah kompetensi kepala sekolah, berdasarkan peran
utamanya. Berdasarkan peran administratif agar kepala sekolah disediakan pengetahuan untuk
meningkatkan kompetensi manajemen sekolah, pengembangan program dan kurikulum, undang-
undang pendidikan/peraturan sekolah, supervisi pengajaran, dan hubungan sosial. Di samping
kompetensi ini, kepala sekolah juga perlu memiliki keterampilan-keterampilan konseptual, teknis dan
sosial terutama dalam meningkatkan keefektifan sekolah. Kompetensi kepala sekolah juga
mempengaruhi kinerjanya dan berdampak pada kinerja organisasi.
Motivasi kerja seperti halnya motivasi pada umumnya merupakan kondisi yang menggiatkan seseorang
untuk melakukan pekerjaan tertentu, secara tekun, sungguh-sungguh, dan berkesinambungan. Motivasi
kerja sebagai suatu sistem dari kekuatan internal dan kekuatan eksternal. Motivasi dikonsepsikan
sebagai kekuatan internal yang mendorong seseorang mengupayakan berbagai cara dan merupakan
kekuatan eksternal atau kondisi lingkungan pemicu terhadap dorongan internal.
Motivasi juga dikonsepsikan sebagai kondisi yang mengarahkan perilaku seseorang pada objek-objek
tertentu. Kekuatan internal dan kekuatan eksternal dapat meningkatkan intensitas dorongan dan arah
perilaku, atau sebaliknya justru menurunkan intensitas dan mengarahkan perilaku ke objek lain..
Motivasi kerja merupakan indikator adanya kesungguhan dan ketekunan pada diri seseorang dalam
melakukan pekerjaan secara berkesinambungan.
Segala sesuatu yang mendorong munculnya aktivitas pada seseorang baik itu faktor internal atau faktor
eksternal adalah motivasi. Motivasi yang timbul karena faktor internal disebut dengan motivasi intrinsik.
Motivasi yang timbul karena faktor eksternal disebut motivasi ekstrinsik. Konsep motivasi kerja di sini
didasarkan pada konsep motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsi, karena kedua motivasi tersebut sama-
sama merupakan faktor penyebab timbulnya perilaku. Individu melakukan tugas-tugasnya bisa karena
dorongan untuk mendapatkan sesuatu seperti gaji, pangkat atau insentif-insentif lain yang eksternal dan
bisa pula karena yang bersangkutan memang manyukai pekerjaan yang menjadi tugas kewajibannya
karena sesuai dengan minat dan kemampuan yang dimiliki.
Kepala sekolah pada umumnya dianggap juga sebagai supervisor pengajaran di sekolah yang
dipimpinnya, karena bertanggung jawab mengkoordinasikan semua program pengajaran di sekolahnya
itu, Piet A. Sahertian, (2000). Agar kepala sekolah efektif dalam perbaikan pengajaran, maka ia perlu
memahami dan menggunakan pola atau pendekatan supervisi yang dianggap sesuai dengan keadaan
yang dihadapinya. Sebagian besar faktor yang mendorong perbaikan kurikulum adalah perilaku supervisi
yang digunakan oleh kepala sekolah terhadap para guru, sehingga kiranya perlu bagi supervisor
berperilaku kolaboratif, direktif, ataupun nondirektif sesuai dengan pertimbangannya., Hendiyat
Soetopo dan Wasty Soemanto (1984).
Pola kolaboratif dalam kepemimpinan sekolah dapat diwujudkan dalam partisipasi guru dalam
pengambilan keputusan yang dampaknya meningkatkkan pembelajaran. Disamping itu semangat kerja
dan sikap positif terhadap sekolah dapat tetap terpelihara. Jadi terdapat hubungan antara perasaan ikut
serta (partisipasi) dalam pengambilan keputusan dan tingkat komitmen individu dalam organisasi.
Demikian juga persepsi bawahan dalam keterlibatannya dalam pengambilan keputusan memiliki
hubungan kepuasan di mana bawahan bekerja.
Iklim sekolah memiliki hubungan yang erat dengan iklim organisasi. Iklim orgnisasi adalah lingkungan
psikologis dari suatu organisasi. Iklim organisasi juga berhubungan dengan persepsi karyawan,
keinginan, serta lingkungan sosial dalam suatu organisasi (Arni Muhammad, 2004). Jadi iklim organisasa
adalah situasi lingkungan kerja yang secara langsung atau tidak langsung dialami oleh setiap anggota
organisasi dan mempengaruhi perilakunya.
Berkaitan dengan sekolah sebagai suatu organisasi, iklim sekolah adalah karakteristik dari keseluruhan
lingkungan sekolah. Karakteristik internal terjadi karena adanya saling keterkaitan antara faktor-faktor
personal, sosial, dan budaya yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam lingkungan
sekolah. Jadi iklim sekolah meliputi aspek materi, sosial, sistem sosial, dan budaya organisasi.
2.3.5. Kinerja Guru
Usaha pengembangan kinerja guru malalui kepala sekolah yang perlu dilakukan untuk mencapai
keefektifan sekolah adalah:
Sejalan dengan pergeseran struktur kewenangan penyelenggaran pendidikan dalam MBS merupakan
momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sistem manajemen pendidikan di sekolah.
Pembangunan pendidikan yang selama ini lebih banyak didominasi oleh pemerintah sudah seharusnya
dirombak karena terbukti kurang efektif, efesien, dan produktif. Sehubungan dengan itu, keberhasilan
implementasi MBS dalam rangka desentralisasi pendidikan sedikitnya dapat dilihat dari tiga dimensi,
yaitu efektivitas, efesiensi, dan produktivitas. Ketiga dimensi tersebut saling berkaitan satu sama lain
dan pengaruh mempengaruhi.
2.4.1. Efektifitas
Dalam memaknai efektivitas setiap orang memberi arti yang berbeda, sesuai sudut pandang dan
kepentingan masing-masing. Dalam Daryanto, (1997) dikemukakan bahwa efektivitas berarti ada
efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) manjur atau mujarab, dapat membawa hasil. Jadi
efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang
dituju. Bagaimana suatu oraganisasi berhasil memanfaatkan sumber daya dalam usaha partisifasi aktif
dari anggota mewujudkan tujuan operasional.
Berdasarkan hal di atas dapat dikemukakan bahwa efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua
tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan adanya partisifasi aktif dari anggota. Dengan
demikian, efektivitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah,
menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya, sumber dana, dan
sumber belajaruntuk mewujudkan tujuan sekolah. Memperhatikan dan memahami uraian diatas, maka
barometer efektivitas dapat dilihat dari kualitas program, ketepatan penyusunan, kepuasan, keluwesan,
dan adaptasi serta motivasi, semangat kerja, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, pendayagunaan
sarana dan prasarana dan sumber belajar dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.
2.4.2. Efesiensi
Efesiensi merupakan aspek yang sangat penting dalam manajemen berbasis sekolah umumnya
dihadapkan pada masalah kelangkaan sumber dana, dan secara langsung berpengaruh terhadap
kegiatan manajemen. Jika efektivitas membandingkan antara rencana dengan tujuan yang dicapai, maka
efesiensi lebih difokuskan pada perbandingan antara input atau sumber daya dengan output. Suatu
kegiatan dikatakan efesien jika tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian
sumber daya yang minimal. Input pendidikan adalah sumber daya yang dugunakan untuk melaksanakan
kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Sumber daya
berkaitan dengan nilai, serta faktor manusia dan ekonomi. Adapun output atau keluaran adalah segala
sesuatu yang dikelola dan dihasilkan di sekolah, yaitu berapa banyak yang dihasilkan dan sebepara baik
sekolah dapat mengelolanya.
Keluaran tersebut dapat berupa perubahan perilaku baik dalam aspek kognitif, psikomotor maupun
efektif, pada pengelola sekolah, peserta didik, kepala sekolah, guru, maupun pegawai lain yang ada di
sekolah. Selain dianalisis dari komponen input dan output, maka efisiensi dapat dibedakan menjadi
efisiens internal dn eksternal. Efisiensi internal menunjukkan perbandingan antara prestasi belajar dan
masukan biaya pendidikan, sedangkan efisiensi eksternal dihubungkan dengan metoda cost-benefit
analysis, yaitu perbandingan keuntungan finansial pendidikan, yang biasanya diukur dari penghasilan
lulusan dengan dengan seluruh junglah dana yang dikeluarkan untuk pendidikannya. Dalam
meningkatkan efisiensi MBS, maka analisis serta pengkajian data dan informasi perlu dilakukan secara
terus menerus dan mendalam agar setiap unit kerja di sekolah dapat melaksanakan MBS yang efisien.
2.4.3. Produktivitas
Konsep produktivitas pada awalnya dikalikan dengan nilai ekonomis suatu kegiatan, yakni bagaimana
mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya dan dana sekecil mungkin.
Produktivitas dalam dunia pendidikan berkaitan dengan keseluruhan proses penataan dan penggunaan
sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan yang efektif dan efisien. Thomas (1982)
mengemukakan bahwa produktivitas pendidikan dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu:
a. Meninjau produktivitas sekolah dari segi keluaran administratif, yaitu seberapa besar layanan yang
dapat diberikan dalam suatu proses pendidikan baik guru, kepala sekolah maupun pihak lain yang
berkepentingan.
b. Meninjau produktivitas dari keluaran perubahan perilaku, yaitu dengan melihat nilai-nilai yang
diperoleh peserta didik sebagai gambarn dari prestasi akademik yang telah dicapai dalam perioda
belajar tertentu di sekolah.
c. Meninjau produktivitas sekolah dari keluaran ekonomis, yang berkaitan dengan pembiayaan layanan
pendidikan di sekolah. Hal ini sangat berkaitan dengan cakupan harga layanan yang diberikan
(pengorbanan atau cost) dan perolehan yang dihasilkan oleh layanan itu atau disebut peningkatan nilai
baik.
Manajemen berbasis sekolah merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas
pada tingkat sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah
leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas
kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan (masyarakat) setempat. Pada MBS, sekolah dituntut
untuk secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan
mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber baik kepada masyarakat maupun
pemerintah.
Indikator penting mutu pendidikan yang banyak disepakati adalah ketercapaian tujuan pendidikan dan
prestasi pembelajaran. Proposisi tentang berbagai variabel penting yang mempengaruhi efektivitas
sekolah meliputi kompetensi kepala sekolah, motivasi kerja kelapa sekolah, supervisi pengajaran, iklim
sekolah, kinerja kepala sekolah, dan kinerja guru. Dengan penerapan MBS diharapkan lebih membuka
peluang untuk meningkatkan efektivitas sekolah secara keseluruhan.
III. PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut ditas , maka dapat ditarik bebarapa kesimpulan antara lain:
3.1.1. Memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan, dan
sumberdaya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya, sekolah sebagai lembaga
pendidikan yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dapat
mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah. Sekolah dapat mengembangkan
sendiri program-program sesuai kebutuhannya. Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu
pendidikan masing-masing kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah. Sekolah dapat melakukal
persaingan sehat dengan sekolah lain untujk meningkatkan mutu pendidikan.
3.1.2. Sekolah dikatakan efektif apabila mengacu pada kinerja unit organisasi suatu lembaga. Kinerja
lembaga dapat diperlihatkan melalui output lembaga tersebut, yang pada gilirannya diukur sesuai
dengan prestasi rata-rata siswa pada akhir masa pendidikan formal mereka di lembaga tersebut.
Efektifitas sekolah dipengaruhi oleh kompetensi kepala sekolah, motivasi kerja kepala sekolah, dan
supervisi pengajaran yang dilakukannya.
3.1.3. Efektivitas manajemen berbasis sekolah, keberhasilan melaksanakan semua tugas pokok sekolah,
menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya, sumber dana, dan
sumber belajaruntuk mewujudkan tujuan sekolah. Barometer efektivitas dapat dilihat dari kualitas
program, ketepatan penyusunan, kepuasan, keluwesan, dan adaptasi serta motivasi, semangat kerja,
tercapainya tujuan, ketepatan waktu, pendayagunaan sarana dan prasarana dan sumber belajar dalam
meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan ditas, maka dapat disampaikan beberapa saran antara
lain:
3.2.1. Kepada pemerintah pusat agar tidak ragu-ragu lagi untuk menerapkan desentralisasi di bidang
pendidikan.
3.2.2. Pada pemerintah Propensi, Kabupaten, Kota agar melaksanakan desentralisasi di bidang
pendidikan sebagai amanat bukan beban, menyiapkan sarana dan prasana sesuai dengan kebutuhan
daerah masing-masing.
3.2.3. Masyarakat juga harus ikut aktif ambil bagian dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas
pendidikan di Indonesia
IPS
REVIEW PENDIDIKAN IPS Konsep dan Pembelajaran Oleh Dr. Sapriya, M.Ed (Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung)
BAB 1
© Kurikulum 1975 IPS sebagai salah satu nama mata pelajaran yang diberikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Mata pelajaran IPS merupakan sebuah mata pelajaran integrasi dari
mata pelajaran Sejarah, Geografi, Ekonomi serta mata pelajaran sosial lainnya.
© Ciri khas IPS sebagai mata pelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah sifatnya
terpadu (integrated) dari sejumlah mata pelajaran dengan tujuan agar mata pelajaran ini lebih
bermakna bagi peserta didik disesuaikan dengan lingkungan, karakteristik dan kebutuhan peserta didik.
© Sedangkan istilah Pendidikan IPS menurut Prof. Nu’man Soemantri digunakan pada tingkat
perguruan tinggi sebagai sub disiplin ilmu atau cabang dari disiplin ilmu tetapi belum dikenal secara baik.
© Dalam istilah asing untuk Pendidikan IPS istilah yang sering digunakan adalah Sosial Studies, Sosial
Education, Sosial Studies Education, Sosial Science Education, Citizenship Education, Studies of Society
and Environment.
1896-1897 : Pengertian IPS awal kelahirannya Sosial Studies .menurut National Herbart Society
papers of 1896-1897 yang menegaskan bahwa Sosial Studies sebagai delimiting the sosial science for
pedagogical use (upaya untuk membatasi ilmu-ilmu sosial untuk penggunaan secara pedagogic) Dalam
buku karya Saxe (1991) berjudul sosial studies in Schools: A history of the early Years
1913 : Sosial Studies adalah a specific field to utilization of sosial sciencies data as a force in the
improvement of human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial sebagai
tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia) Selanjutnya pengertian sosial studies diatas
sebagai dasar dalam dokumen :Statement of the Chairman of Committee on Sosial Studies (CSS) Sosial
studies sebagai specially selected from the sosial sciences for the purpose of improving the lot or the
poor and suffering urban worker Dikemukakan oleh Heber Newton
1937 : Sosial studies are the sosial sciences simpliefied for pedagogical purpose Dikemukan
oleh Edgar Wesley dan dijadikan definisi resmi sosial studies oleh “The United States of Education
Standart terminology for Curriculum and Instruction
1993 : Pendidikan IPS adalah studi terpadu dari ilmu sosial dan humaniora untuk
mempromosikan kompetensi sipil. Dalam program sosial, studi sosial terkoordinasi, menggambar studi
sistematis pada disiplin sebagai antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu
politik, pshicology, agama, dan sosiologi, serta konten yang sesuai dari humaniora, matematika dan ilmu
alam. Tujuan utama dari ilmu sosial adalah untuk membantu orang muda mengembangkan kemampuan
untuk membuat keputusan dan beralasan untuk kepentingan publik sebagai warga budaya yang
beragam, masyarakat demokratis di dunia yang saling tergantung pagar dijadikan rujukan lengkap
murah Dalam, Berbagai aktifitas Pendidikan paling lengkap dan dijadikan rujukan dalam berbagai
aktifitas pendidikan
Menurut Prof. Nu’man Soemantri yang dikemukakan dalam Forum Komunikasi II Himpunan Sarjana
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosal Indonesia (HISPIPSI sekarang dibah menjadi Himpunan Sarjana
Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, disingkat HISPISI) Pendidikan IPS adalah persekolahan dan
pendidikan IPS perguruan tinggi.
Pengertian Pendidikan IPS yang berlaku untuk pendidikan dasar dan menengah adalah
penyederhanaan/adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia
yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.Yang
dimaksud istilah penyederhanaan adalah bahwa tingkat kesukaran bahan sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan minat peserta didik
Sedangkan Pengertian Pendidikan IPS yang berlaku untuk perguruan tinggi adalah seleksi dari disiplin
ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara
ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
Adanya pembedaan definisi membawa konsekuensi bahwa PIPS dapat di bedakan menjadi dua yaitu
PIPS
© sebagai mata pelajaran (dalam dalam kurikulum sekolah mualai SD, SMP/MTS, SMA/MA/SMK
sesuai dengan UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39)
© kajian akademik. Sedangkan sebagai kajian akademik disebut juga IPS sebagai pendidikan disiplin
ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu lain yang relevan, dikemas secara psikologis, pedagogis dan sosial
kultural untuk tujuan pendidikan.
e. IPS sebagai pengembangan diri individu (Sosial Studies as personal development of the individual)
Menurut Soemantri PIPS sebagai pendidikan disiplin ilmu dan pendidikan disiplin ilmu sosial.menurut
Dufty (1986) karakteristik disiplin ilmu adalah (1) community of scholars (2) a body of thinking,
speaking, writing by these scholars (3) a method of approach to knowledge.
© Landasan Filosofis : Memberikan aspek pemikiran yang mendasar yang menentukan apa
obyek kajian. Aspek-aspeknya meliputi;
· Aspek epistemologis : bagaimana cara, proses atau metode membangun dan mengembangkan PIPS
hingga menentukan pengeta sebagai pendidikan disiplin ilmu yang dibangun serta dikembangkan dan
manfaat PIPS
© Landasan politis : Memberikan sistem gagasan mendasar untuk menentukan arah dan
garis kebijakan dalam politik pendidikan dari PIPS
© Landasan psikologis : Memberikan sistem gagasan mendasar untuk menentukan cara-cara PIPS
membangun struktur tubuh disiplin pengetahuannya baik dalam tataran personal maupun komunal
© Landasan Religius : Memberikan sistem gagasan mendasar tentang nilai-nilai, norma, etika
dan moral yang menjadi jiwa (roh) yang melandasi keseluruhan bangunan PIPS, khususnya pendidikan
Indonesia
BAB 2
Nama IPS dikenal di Indonesia sebgai hasil kesepakatan para ahli ketika Seminar Nasional tentang Civic
Education tahun 1972 di Tawangmangu, Solo. Sedangkan dinegara lain lebih dikenal dengan nama sosial
studies.
© Untuk materi IPS jenjang pendidikan dasar nerupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri
© di SMP berarti gabungan (integrated) dari sejumlah mata pelajaran atau disiplin ilmu
© Sedangkan di SMA bisa berarti program studi (Program IPS) yang kedua bias berarti sejumlah mata
pelajaran yang termasuk kedalam disiplin ilmu-ilmu sosial meliputi: Sosiologi, Geografi, Ekonomi,
Antropologi dan Sejarah
lmu-Ilmu Sosial
Para ahli ilmu-ilmu sosial telah memerinci sekitar 8 disiplin ilmu sosial yang mendukung program sosial
studies yaitu:
· Antropologi : Para ahli antropologi mempelajari tentang budaya manusia mulai dari
kebudayaan prasejarah (kebudayaan yang diviptakan sebelum lahirnya zaman sejarah) juga kebudayaan
pada zaman modern saat ini. Para ahli antropologi dibedakan menjadi beberapa spesialisasi. Pertama,
ahli antropologi sosial (antropologi budaya kedua, ahli etnografi. Ketiga, ahli antropologi bahasa
Keempat, ahli antropologi fisik (biologi). Kelima ahli arkeologi. Keenam ahli primatologi
· Ilmu Ekonomi : Suatu studi tentang bagaimana langkanya sumber-sumber dimanfaatkan untuk
memenuhi keinginan-keinginan manusia yang tidak terbatas. Pentingnya manajemen kelangkaan secara
khusus dibagi kedalam dua bagian: analisis ekonomi dan kebijakan ekonomi. Ilmu sosial ekonomi-bagian
yang berhubungan dengan analisis ekomomi dibagi kedalam dua bidang utama: ekonomi mikro dan
ekonomi makro.
· Ilmu Politik : mempelajari kebijakan umum (public policies) . mereka tertarik dengan
perkembangan dan penggunaan kekuasaan manusia didalam masyarakat khususnya yeng tercermin
dalam pemerintahan
BAB 3
Perkembangan Pendidikan IPS sebagai mata pelajaran di Indonesia erat kaitannya dengan
perkembangan Sosial Studies di Negara lain yang telah maju
Berdasarkan hasil rumusan Dewan Direktur NCSS tahun 1992 mengenai Sosial Studies sehingga
menunjukkan bahwa materi Sosial Studies semakin meluas karena merupakan gabungan dari berbagai
disiplin ilmu, bukan hanya ilmu sosial melainkan juga dari humanities, metematika bahkan agama. Dari
definisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa sosial studies untuk Amerika Serikat menggunakan
pendekatan integrasi (Integrated Approach)
Perkembangan Sosial Studies di dunia khususnya Amerika Serikat telah banyak mempengaruhi
pemikiran IPS (PIPS) di Indonesia.
© Kurikulum tahun 1964-1968 : Dalam kurikulm 1964 ada perubahan pengajaran dalam
ilmu IPS disitilahkan Dimyati pendekatannya bersifat korelatif. Pada kurikulum 1968 istilah IPS muncul
dalam Seminar Nasional Tentang Civic Education di Tawangmangu Solo. Pada tahun 1972-1978 IPS
pertama kali muncul dalam dunia persekolahan yakni dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung
© Kurikulum tahun 1975 dan 1984 : IPS sebagai mata pelajaran diberikan untuk jenjang SD, SMP,
SMA menggunakan pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum yang berbasis pada
materi pembelajaran (Content Based Curriculum). Kurukulum 1975 menampilkan pendidikan IPS dalam
empat profil sebagai berikut: (1) pendidikan moral Pancasila menggantikan pendidikan
kewarganegaraan Negara
(3) pendidikan IPS terkonfederasi meliputi matpel geografi, sejarah, ekonomi dan koperasi di SMP
(4) pendidikan IPS terpisah-pisah mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA
atau sejarah dan geografi untuk SPG. Sedangkan pada kurikulum 1984 pelajaran IPS tidak banyak
mengalami perubahan artinya kurikulum yang berlaku adalah kurikulum 1975
1.1 Fakta adalah data yang spesifik tentang peristiwa, objek, orang dan hal-hal yang terjadi
(peristiwa)
1.2 Konsep adalah kata-kata atau frase yang mengelompok, berkategori dan memberi arti terhadap
kelompok fakta yang berkaitan
1.3 Generalisasi adalah ungkapan/pertanyaan dari dua atau lebih konsep yang saling terkait
- Menafsirkan data
- Menyimpulkan
- Merencanakan
- Menyarankan apa yang akan ditimbulkan dari suatu peristiwa atau perbuatan
- Mengidentifikasi akibat dari perbuatan dan pengaruh ucapan terhadap orang lain
Aspek yang penting dari pendekatan pembelajaran IPS khususnya dalam inkuiri sosial, siswa mampu
mengungkapkan gagasan pemahaman dan perasaannya secara jelas, efektif dan kreatif.
Keyakinan yang telah dipegang oleh seseorang dan umumnya hasil belajar bukan sekedar menanamkan
atau menyampaikan informasi semata.
Peran guru dalam dimensi nilai sangat besar terutama dalam melatih siswa sesuai dengan langkah-
langkah pembelajaran di kelas.
B. Struktur PIPS
· Model inkuiri
· Problem Solving
· Berpikir kritis
· Pengambilan keputusa
1. Atribut : karakteristik atau sifat sejumlah benda, peristiwa atau ide yang dapat
dibedakan
3. Generalisasi : Suatu pengertian (berupa pernyataan) yang dibentuk oleh sejumlah konsep
yang saling berkaitan dan kebenarannya masih perlu diuji.
4. Konstruk : Suatu organisasi dari generalisasi dan konsep yang saling berkaitan.
BAB 5
Ada dua isi pokok dalam pembaharuan sosial studies di Amerika Serikat yaitu:
· Perumusan bahan pembelajaran dan strategi pembelajaran untuk sosial studies. Di dalam bahan
pembelajaran diorganisasikan secara terpadu (Integrated), bukan hanya antar disiplin ilmu-ilmu sosial
melainkan juga antar disiplin ilmu sosial, ilmu alam dan humanitis.
· Strategi belajar yang diusulkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan
masalah dan mengambil keputusan.
Di Australia, pembaharuan sosial studies dengan cara belajar inkuiri. Ada tiga aktivitas utama dalam
pendekatan inkuiri, yakni :
1. Tahap investigation ialah kegiatan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam meneliti,
memproses dan mengintrepresikan data dan informasi.
2. Tahap communication ialah kegiatan untuk mengembangkan kecakapan siswa dalam penggunaan
bermacam-macam bentuk komunikasi
3. Tahap participation ialah kegiatan mengembangkan kecakapan dan rasa percaya diri siswa dalam
kerja kelompok dan dalam proses pengambilan keputusan
2. Kurikulum 1968 mata pelajaran di sekolah dibedakan menjadi pendidikan jiwa Pancasila,
pembinaan pengetahuan dasar dan pembinaan kecakapan khusus
3. Kurikulum 1975 dikemukakan secara eksplisit istilah mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial yang
merupakan perpaduan dari mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi
4. Kurikulum 1984 menggunakan pendekatan integratif dan stuktural untuk IPS SMP, pendekatan
disiplin terpisah untuk SMA dan untuk SD pendekatan integratif.
5. Kurikulum 1994 IPS kajiannya geografi, sosiologi, antropolog, tata Negara dan sejarah sedangkan
untuk SD bahan pokoknya pengetahuan sosial dan sejarah
6. Kurikulum KTSP beserta Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dengan panduan yang dikeluarkan BSNP
Menurut Savage dan Armstront (1996) untuk mendorong siswa mengembangkan kemampuan berfikir
dalam IPS melalui :
1. Kemampuan berpikir kreatif (creative thinking)
BAB 6
Konsep ITM dimasukkan dalam pembelajaran IPS memberikan kontribusi secara langsung terhadap misi
pokok IPS, khususnya dalam mempersiapkan warga Negara sebagai berikut :
Ada tiga altenatif pendekatan atau srategi untuk mengembangkan ITM dalam pembelajaran IPS yakni :
b. Membuat keputusan yang rasional yang dapat digunakan dalam penelitian dan pemecahan
masalah krusial
d. Memahami kemajuan dalam IPTEK merupakan bagian integral dari warisan masyarakat terdahulu
e. Sadar akan banyaknya pilihan untuk berkarir dibidang ilmu dan teknologi
d. Identifikasi tindakan
e. Rencana tindakan
3. Sistem dukungan
4. Strategi instruksional
BAB 7
PENDIDIKAN GLOBAL
Pendidikan global merupakan upaya untuk menanamkan suatu pandangan (perspective) tentang dunia
kepada para siswa dengan memfokuskan bahwa ada keterkaitan antar budaya, umat manusia dan
kondisi alam. Fokus pendidikan global adalah hal-hal mendunia yang berciri pluralism, interdependensi
dan perubahan.
Tujuan pendidikan global, mengembangkan knowledge, skills, dan attitudes yang diperlukan secara
efektif dalam dunia yang sumber daya alamnya semakin menipis dan ditandai oleh keragaman etnis,
pluralism budaya dan semakin saling ketergantungan.
· Kemajuan teknologi
· Perdagangan antarnegara
· Pertukaran budaya
· Pariwisata
· Persaingan pasar
Adanya saling ketergantungan antarbangsa menimbulkan bentuk-bentuk kerja sama dalam segala
bidang yang akhirnya menimbulkan konflik dan persaingan. Misalnya MEE, Masyarakat Ekonomi Eropa,
APEC. Proses ini adalah proses globalisasi yang berpengaruh pula dalam dunia pendidikan. Era
globalisasi telah mengharuskan kita mengubah cara pandang terhadap diri sendiri maupun terhadap
orang lain, jika tidak mengikuti maka akan terisolir. Dalam era globalisasi tak ada satu bangsa yang dapat
menghindar dari arus ini. Globalisasi menurut pengertian World Bank adalah fenomena yang tak
terhindarkan dalam sejarah kehidupan manusia. Fenomena ini membawa seluruh belahan dunia
menjadi semaikn dekat satu sama lain.
Hubungannya dengan pendidikan adalah adanya saling keterkaitan atau ketergantungan hidup di dunia
ini menimbulkan peningkatan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan ketrampilan profesional
dari warga dunia yang menjadi syarat dalam memahami dimensi global baik dari fenomena politik,
ekonomi maupun budaya.
1. Human values
2. Global system
Kajian tentang nilai manusia pasti berhubungan dengan nilai-nilai yang sifatnya universal, secara historis
termaktub dalam The Universal Declaration of Human Rights oleh PBB tahun 1948, yaitu, hak atas life,
liberty, property, equality, justice, freedom of religion, free speech. Nilai-nilai ini berasal dari tradisi
budaya, nasional dan nilai-nilai agama.
Kajian nilai manusia juga akan ditemukan perbedaan nilai manusia, bahwa kita di dunia ini adalah
beragam, keragaman ini meliputi perasaan, pikiran, gaya hidup dan pandangan dunia tiap masyarakat.
Pendidikan global berusaha membantu siswa dalam melihat kebersamaan dalam keragaman atau
dikenal dengan istilah unity in diversity, kita bersatu dalam kebhinnekaan, keberagaman. Hal ini tepat
dan sesuai dengan sejarah bangsa Indonesia dengan dasar falsafahnya Pancasila, dan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Kajian sistem global meliputi sistem ekonomi dunia, sistem politik global, sistem ekologi, sistem
teknologi. Sementara kajian tentang masalah-masalah dan isu-isu global meliputi isu-isu perdamaian
dan keamanan, isu-isu pembangunan, isu-isu lingkungan dan isu-isu hal asasi manusia. Kajian sejarah
hubungan antarbangsa dan saling ketergantungan masih sangat minim.
Kesimpulannya adalah para pendidik harus berusaha mendorong pemikiran dan dialog agar para siswa
memiliki dasar untuk mengembangkan perspektif global.
BAB 8
Salah satu desain pembelajaran IPS yang sangat dianjurkan adalah desain pembelajaran inkuiri (Inquiry
Approach). Secara umum istilah “Inquiry“ berkaitan dengan masalah dan penelitian untuk menjawab
masalah, berikut istilah inkuiri menurut beberapa ahli :
Partisipasi sosial adalah keterlibatan siswa dalam belajar berfikir peka terhadap masalah-masalah sosial
dan bertindak sesuai dengan kedudukan dan fungsinya guna memper siapkan diri terjun dalam
kehidupan masyarakat. Kosasih Djhiri(1979) mengemukakan bahwa anak muda perlu berturut serta
dalam realita kehidupan bukan hanya sebagai penonton melainkan langsung sebagai pelaku. Namun
sebelum dan selama dalam proses partisipasi tersebut, para remaja perlu dibina, dijembatani, dan
dibimbing sehingga tidak akan terjadi gap(kesenjangan) yang terlalu lebar antara generasi baru dan
lama.
Lebih lanjut, Kosasih Djahiri(1979) mengemukakan beberapa keuntungandan hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam menentukan kegiatan partisipasi sosial adalah:
· Bahwa kegiatan kemasyarakatan yang melibatkan siswa memiliki kegunaan timbale balik, baikbagi
siswa maupun bagi masyarakat setempat;
· Bahwa kegiatan tersebut akan mendapat bantuan atau dukungan pihak lain sepanjang kegiatan itu
bersifat positif;
· Bahwa kegiatan tersebut akan merangsang, menbantu, dan mengembangkan intelektual, etika,
dan moral siswa;
· Bahwa kegiatan partisipasi sosial akan membentuk siswa memiliki kematangan dan kemampuan
untuk bekerja di masyarakat;
· Agar kegiatan tersebut berhasil guna maka program pembelajaran hendaknya disusun secara
sistimatis dan terorganisir sehingga sesuai dengan tingkat pengetahuan, mekemampuan,
danperkembangan siswa.
Langkah-Langkah Kegiatan Partisipasi Sosial
· Pembelajaran konsep
· Diskusi kelas
· Diskusi kelas
· Penyimpulan proyek
Pembelajaran IPS memerlukan tindakan nyata(real action) baik ketika menerapkan teori ataupun dalam
rangka melakukan percobaan di masyarakat. Welton dan Mallan (1988) menyarankan bahwa untuk
belajar partisipasi idalam masyarakat, maka siswa perlu dibelajarkan sejumlah ketrampilan sebagai
berikut:
· Belajar dalam kelompok secara efektif, meliputi belajar mengorganisir, merencanakan, mengambil
keputusan, dan mengambil tindakan.
Bagaimana bentuk kegiatan partisipasi sosial yang dapat dipelajarkan dalam IPS?
Kosasih Djahiri(1979) mengemukakan sejumlah kegiatan kemasyarakatan antara lain sebagai berikut: (1)
kegiatan sosial politik, (2)proyek kemasyarakatan, (3) pro yek sosial (sukarelawan), (4) studi
kemasyarakatan, (5) pemagangan, dan (6) program model. Hal tersebut dapat diwujutkan dengan berpa
rtisipasi membantu pemerintah berkampanye mensukseskan pembangunan, keluarga berencana,
membantu korban banjir, membantu dalam bidang kemanusiaan seperti PMR, polisi sekolah, dan
sebagainya. Apabila kondisi tidak memungkinkan dilaksanakan partisipasi sesungguhnya maka kegiatan
partisipasi sosial dapat dilakukan melalui simulasi dan permainan (games).
BAB 11
Jenjang SD/MI
Pengorganisasian materi pelajaran IPS di jenjang SD/MI menganut pendekatan terpadu (integrated),
yaitu materi pelajaran dikembangkan dan disusun tidak mengacu disiplin ilmu yang terpisah, melainkan
mengacu pada pada aspek kehidupan nyata (Factual/real). Dalam Permendiknas (2006) di kemukakan
bahwa IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu
sosial, serta memuat materi geografi, sejarah, sosiologi, dan ekonomi.
Jenjang SMP/MTs
Untuk jenjang SMP/MTs, pengorganisasian mater pelajaran IPS menggunakan pendekatan korelasi
(correlated), artinya materi pelajaran dikembangkan dan disusun mengacu pada beberapa disiplin ilmu
secara terbatas kemudian dikaitkan dengan aspek kehidupan nyata (factual/real). Melalui pembelajaran
IPS peserta didik diarahkan menjadi warga negara yang demokratis dan bertangguang jawab, serta
warga dunia yang cinta damai.
Jenjang SMA/MA/SMK
Berikut ini merupakan Kriteria yang ditunjukkan oleh angka kematian per tahun (Maman Rumanta,
2019: 4.6), seperti: