Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS JURNAL

GANGGUAN OKSIGENASI : ASMA

TASYA MELANGGA PUTRI


NIM. 2122. 0070
KEPERAWATAN DASAR PROFESI

PEMBIMBING : APRIYANI, M.KEP

INSTITUT ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI MUHAMMADIYAH


PENDIDIKAN PROFESI NERS
PALEMBANG
BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI

Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan

karena hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang mengakibatkan peradangan,

penyempitan ini bersifat sementara ( Wahid & Suprapto, 2013). Asma merupakan

penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, bersifat reversibel dimana trakea dan

bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu serta mengalami

peradangan atau inflamasi (Padila, 2013).

Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan

bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan

nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun

sebagai hasil pengobatan (Muttaqin, 2008). Menurut Murphy dan Kelly (2011) Asma

merupakan penyakit obstruksi jalan nafas, yang reversibel dan kronis, dengan

karakteristik adanya mengi. Asma disebabkan oleh spasme saluran bronkial atau

pembengkakan mukosa setelah terpajam berbagai stimulus. Prevalensi, morbiditas dan

mortalitas asma meningkat akibat dari peningkatan polusi udara.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa asma

merupakan penyempitan jalan napas yang disebabkan karena hipersensitivitas cabang-

cabang trakeobronkhial terhadap stimuli tertentu dengan karakteristik adanya mengi

serta mengalami peradangan atau inflamasi.


B. ETIOLOGI

Obstruksi jalan nafas pada asma disebabkan oleh :

a. Kontraksi otot sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan napas

b. Pembengkakan membrane bronkus

c. Bronkus berisi mucus yang kental

Adapun faktor predisposisi pada asma, yaitu :

a. Genetik

Diturunkannya bakat alergi dari keluarga dekat, akibat adanya bakat alergi ini

penderita sangat mudah terkena asma apabila dia terpapar dengan faktor

pencetus.

Adapun faktor pencetus dari asma adalah :

a. Alergen

Merupakan suatu bahan penyebab alergi. Dimana ini dibagi menjadi tiga, yaitu :

1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu

binatang, serbuk bunga, bakteri, dan polusi

2) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan dan obat-obataan

tertentu seperti penisilin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.

3) Kontaktan, seperti perhiasan, logam, jam tangan, dan aksesoris lainnya

yang masuk melalui kontak dengan kulit.

b. Infeksi saluran pernapasan

Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus influenza

merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma

bronkhial, diperkirakan dua pertiga penderita asma dewasa serangan asmanya

ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan (Nurarif & Kusuma, 2015).

c. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa yang dingin sering mempengaruhi asma, perubahan

cuaca menjadi pemicu serangan asma.

d. Lingkungan kerja

Lingkungan kerja merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-15% klien

asma. Misalnya orang yang bekerja di pabrik kayum polisi lalu lintas, penyapu

jalanan.

e. Olahraga

Sebagian besar penderita asma akan mendapatkan serangan asma bila sedang

bekerja dengan berat/aktivitas berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan asma.

f. Stress

Gangguan emosi dapat menjadi pencetus terjadinya serangan asma, selain itu juga

dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma harus

segera diobati penderita asma yang mengalami stres harus diberi nasehat untuk

menyelesaikan masalahnya. (Wahid & Suprapto, 2013).

C. MANIFESTASI KLINIK

Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk, dispnea,

dan wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Asma biasanya bermula

mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan

lambat, wheezing. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, yang

mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan setiap otot-otot aksesori

pernpasan. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Serangan asma dapat

berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan.

Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu yang
lebih berat, yang disebut “status asmatikus’, kondisi ini mengancam hidup ( Smeltzer

& Bare, 2002).

Menurut (Padila, 2013) adapun manifestasi klinis yang dapat ditemui pada

pasien asma, diantaranya ialah :

a. Stadium dini

Faktor hipersekresi yang lebih menonjol

1) Batuk berdahak disertai atau tidak dengan pilek

2) Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul

3) Wheezing belum ada

4) Belum ada kelainan bentuk thorak

5) Ada peningkatan eosinofil darah dan IgE

6) BGA belum patologis

Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan :

1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum

2) Wheezing

3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi

4) Penurunan tekanan parsial O2

b. Stadium lanjut/kronik

1) Batuk, ronchi

2) Sesak napas berat dan dada seolah-olah tertekan

3) Dahak lengket dan sulit dikeluarkan

4) Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)

5) Thorak seperti barel chest

6) Tampak tarikan otot stenorkleidomastoideus

7) Sianosis
8) BGA PaO2 kurang dari 80%

9) Terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kiri dan kanan pada Ro paru

10) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik

D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a. Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan sputum

Pemeriksaan untuk melihat adanya :

a) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dan kristal

eosinopil

b) Spiral curshman, yakni merupakan castcell ( sel cetakan) dari cabang

bronkus.

c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus

d) Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat

mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.

2) Pemeriksaan darah

a) Analisa Gas Darah pada umumnya normal akan tetapi dapat terjadi

hipoksemia, hipercapnia, atau sianosis.

b) Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH

c) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang diatas 15.000/mm 3 yang

menandakan adanya infeksi

d) Pemeriksaan alergi menunjukkan peningkatan IgE pada waktu

serangan dam menurun pada saat bebas serangan asma.

b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien asma dapat dilakukan berdasarkan

manifestasi klinis yang terlihat, riwayat, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium (

Sujono riyadi & Sukarmin, 2009). Adapun pemeriksaan penunjang yang

dilakukan adalah :

1) Tes Fungsi Paru

Menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara tepat diagnosis

asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan

spirometri dilakukan sebelum atau sesudah pemberian aerosol bronkodilator

(inhaler atau nebulizer), peningkatan FEV1 atau FCV sebanyak lebih dari

20% menunjukkan diagnosis asma. Dalam spirometry akan mendeteksi :

a) Penurunan forced expiratory volume (FEV)

b) Penurunan paek expiratory flow rate (PEFR)

c) Kehilangan forced vital capacity (FVC)

d) Kehilangan inspiratory capacity ( IC)

(Wahid & Suprapto, 2013)

2) Pemeriksaan Radiologi

Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflamasi paru

yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta

diafragma yang menurun. Pada penderita dengan komplikasi terdapat

gambaran sebagai berikut :

a) Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak-bercak di hilus akan

bertambah

b) Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin bertambah

c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase paru.

d) Dapat menimbulkan gambaran atelektasis paru.


e) Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada paru.

3) Pemeriksaan tes kulit

Dilakukan untuk mencari faktor alergen yang dapat bereaksi positif pada

asma secara spesifik

4) Elektrodiografi

a) Terjadi right axis deviation

b) Adanya hipertropi otot jantung Right Bundle Branch Bock

c) Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardia, SVES, VES, atau terjadi depresi

segmen ST negatif

5) Scanning paru

Melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan

asma tidak menyeluruh pada paru-paru

( Wahid & Supraptop, 2013)

E. PENTALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN

Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk pasien asma yaitu:

a. Prinsip umum dalam pengobatan asma:

1) Menghilangkan obstruksi jalan napas.

2) Menghindari faktor yang bisa menimbulkan serangan asma.

3) Menjelaskan kepada penderita dan keluarga mengenai penyakit asma dan

pengobatannya.

b. Pengobatan pada asma

1) Pengobatan farmakologi

a) Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran napas. Terbagi menjadi dua

golongan, yaitu:
1) Adrenergik (Adrenalin dan Efedrin), misalnya terbutalin/bricasama.

Antagonis beta 2 adrenergik (salbutamol mg atau fenetoral 2,5 mg atau

terbutalin 10 mg). Inhalasi nebulisasi dan pemberian yang dapat diulang

setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian antagonis beta 2 adrenergik

dapat secara subcutan atau intravena dengan dosis salbutamol 0,25 mg

dalam larutan dekstrose 5%.

2) Santin/teofilin (Aminofilin), Aminophilin intravena 5-6 mg per kg, jika

sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup

diberikan setengah dosis.

b) Kromalin

Bukan bronkhodilator tetapi obat pencegah seranga asma pada penderita

anak. Kromalin biasanya diberikan bersama obat anti asma dan efeknya

baru terlihat setelah satu bulan.

c) Ketolifen

Mempunyai efek pencegahan terhadap asma dan diberikan dalam dosis dua

kali 1mg/hari. Keuntungannya adalah obat diberikan secara oral.

d) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg jika tidak ada respon maka

segera penderita diberi steroid oral.

2) Pengobatan non farmakologi atau secara sederhana

a) Memberikan penyuluhan

b) Menghindari faktor pencetus

c) Pemberian cairan, anjurkan untuk minum air hangat 1500-2000ml per hari

d) Fisioterapi dada dan batuk efektif membantu pasien untuk mengeluarkan

sputum dengan baik

e) Pemberian oksigen jika perlu


f) Usaha agar pasien mandi air hanga setiap hari

g) Berikan posisi tidur yang nyaman (semi fowler)

(Wahid & Suprapto, 2013)

3) Pengobatan selama status asmathikus

a) Infus D5:RL = 1 : 3 tiap 24 jam

b) Pemberian oksigen nasal kanul 4 L permenit

c) Aminophilin bolus 5mg/ KgBB diberikan pelan-pelan selama 20 menit

dilanjutkan drip RL atau D5 mentenence (20 tpm) dengan dosis 20 mg/kg

bb per 24 jam

d) Terbutalin 0.25 mg per 6 jam secara sub kutan

e) Dexametason 10-2- mg per 6 jam secara IV

f) Antibiotik spektrum luas

(Padila, 2013)
BAB II

PEMBAHASAN

1. Kasus

Klien A berumur 32 tahun datang ke Rs dengan keluhan sesak disertai dengan


batuk basah berdarah. Terdapat bunyi wheezing di ICS 2 mid clavicula sinistra, dari
hasil pengkajian TD. 130/80 mmhg. N. 88 x/menit. RR 28 x/m. Suhu 37 oC. Klien
tampak sesak. Gelisah. Klien berbicara dengan pelan (berhenti sebentar-bentar).
Frekuensi nafas cepat. Klien mengambil nafas panjang, posisi klien dengan posisi
setengah duduk, kalau batuk klien langsung duduk.

2. Pertanyaan Klinis
Apakah terdapat pengaruh terhadap pemberian terapi oksigenasi untuk
mengatasi gangguan pernapasan dengan posisi semi fowler dan fowler pada klien
Ny. A ?
3. PICO
P : Pasien Ny. A berumur 32 tahun
I : Terapi Oksigenasi
C : Tidak ada pembanding
O : Memberikan terapi oksigen dengan posisi semi fowler untuk mengatasi yang
menyebabkan gangguan pernafasan

4. Searching Literature (Journal)


Setelah dilakukan Searching Literature (journal) di Goggle Sholar, didapatkan 180
journal yang terkait dan dipilih 1 jurnal dengan judul “Efektivitas Pemberian
Oksigen Terhadap Perubahan Saturasi “
a. Jurnal tersebut sesuai dengan kasus
b. Jurnal tersebut up to date
5. VIA
a) Validity
- Desain : Jenis penelitian yang digunakan eksperimental dan rancangan
penelitian Quasy Experiment yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk
mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan ccara melibatkan
kelompok kontrol disamping kelompok eksperimental.
- Sampel : Sampel yang diteliti sebanyak 20 pasien asma bronkial
persisten ringan. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik non-probability sampling dengan cara purposive-
sampling yang dibagi menjadi 10 sampel untuk kelompok intervensi dan
10 sampel untuk kelompok kontrol.
- Kriteria inklusi dan eksklusi : Pemilihan kelompok intervensi adalah
10 pasien pertama yang datang ke IGD sedangkan kelompok kontrol
adalah 10 pasien berikutnya yang datang ke IGD. Pengumpulan data
dilakukan secara primer dan sekunder. Secara primer diperoleh dari hasil
observasi selama 15 menit pada saat pasien yang mendapat serangan asma
bronkhial persisten ringan datang berobat. Sedangkan secara sekunder
diperoleh dari laporan tahunan instalasi rekam. Instrumen yang digunakan
pada penelitian ini adalah observasi, dalam tabel tersebut tercatat
karakteristik responden dan saturasi oksigen sesudah dan sebelum
pemberian posisi semi fowler dan fowler pada pemberian terapi nasal
kanul, untuk pengukuran nilai saturasi oksigen menggunakan pulsa
oximetry.
- Randomisasi : Tidak dilakukan randomisasi dalam pengambilan
sampel, dilakukan pemberian teknik pengambilan sampel dengan
menggunakan teknik purposive sampling. Sampel pada penelitian ini
dengan besar sampel yaitu 20. Penelitian ini membahas menguji efektivitas
suatu perlakuan terhadap suatu besaran variabel yang ingin ditentukan.

b) Importance dalam hasil


- Karakteristik subjek :
Karakteristik subjek dalam penelitian ini meliputi faktor usia, faktor
jenis kelamin, faktor nutrisi, faktor ekspansi paru serta cara pemberian
oksigen.
- Beda proporsi :
Data prevalensi asma berdasarkan karakteristik umur menunjukkan
angka kejadian asma pada usia 40-60 tahun sebesar 4,8%, sedangkan pada
usia 20-39 tahun sebesar 2,8%. Dapat disimpulkan bahwa usia merupakan
salah satu faktor dari kejadian asma, dikarenakan semakin bertambahnya
usia, maka fungsi paru akan menurun.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang ada, dapat kita simpukan
bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor dari kejadian asma
bronkial , dikarenakan volume dan kapasitas seluruh paru-paru pada
wanita kir-kira 20-25% lebih kecil dari pada pria. Selain itu, adanya
perbedaan pada paru dan ukuran jalan napas (airway) antara laki-laki dan
perempuan juga mempengaruhi oksigenasi. Pada saat anak-anak, ukuran
paru dan jalan napas pada anak laki-laki lebih kecil dibandingkan pada
anak perempuan, sedangkan pada saat dewasa (usia ≥ 40 tahun) ukuran
paru dan jalan napas pada perempuan lebih kecil dibandingkan pada laki-
laki, sehingga perempuan lebih berisiko terkena serangan asma pada saat
dewasa.
Pada faktor nutrisi, pasien yang obesitas mengakibatkan penurunan
ekspansi paru, gizi yang buruk menjadi anemia sehingga daya ikat oksigen
berkurang, diet yang tinggi lemak menimbulkan arteriosklerosis.
Pada faktor ekspansi paru juga bepengaruh terhadap oksigen.
Pengaturan posisi semi fowler dan fowler merupakan cara untuk
meningkatkan ekspansi dada dan ventilasi paru serta menurunkan upaya
pernapasan. Tujuan pengaturan posisi semi fowler dan fowler untuk
membantu mengatasi masalah kesulitan bernapas dan mempertahankan
kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.
Cara pemberian oksigen juga berpengaruh terhadap oksigenasi dalam
tubuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
oksigen nasal kanul sebanyak 2 liter per menit dapat meningkatkan
oksigen sekitar 4,56%, sedangkan pada pemberian oksigen nasal kanul
sebanyak 3 liter per menit dapat meningkatkan oksigen sekitar 5,64%.
- Beda mean
Hasil penelitian pada gambar 6.1 terkait nilai saturasi pada
pemberian oksigen sebelum dan sesudah pengaturan posisi semi fowler
pada pasien asma bronkial persisten ringan menghasilkan peningkatan
saturasi oksigen dengan rata-rata saturasi oksigen (SpO 2) 93.10%,
sebelum dilakukan pengaturan posisi semi fowler dan setelah pemeberian
terapi oksigen dengan posisi semi fowler nilai rata-rata saturasi meningkat
menjadi 98.00%.
Berdasarkan gambar 6.2 terlihat bahwa rata-rata saturasi
oksigen dari 10 reponden saat datang ke IGD sekitar 92.60%, setelah
pemberian terapi oksigen dengan posisi fowler nilai rata-rata saturasi
meningkat menjadi 98.00%.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan efektivitas
antara pemberian oksigen dengan posisi semi fowler dengan fowler
terhadap perubahan saturasi pada pasien asma. Pada prinsipnya oksigen
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor usia, jenis kelamin, nutrisi,
ekspansi paru serta cara pemberian oksigen.
- Nilai p value
Hasil analisis menggunakan uji t independen pada pemberian oksigen
pada posisi semi fowler dan fowler pada pasien asma menunjukkan tidak
ada perbedaan efektivitas pemberian oksigen pada posisi semi fowler
dengan fowler terhadap perubahan saturasi pada pasien asma bronkial
persisten ringan. Nilai t hitung berdasarkan uji t-independen yaitu 0.000,
sedangkan nilai t tabel sebesar 2,101. Nilai P value berdasarkan uji t-
independen yaitu 1.000, sehingga dapat disimpulkan jika nilai t hitung < t
tabel (0.000 < 2.101) dan P value (1.000 > 0.05) maka Ho diterima.
c) Applicability
- Dalam diskusi : Mengidentifikasi hasil penelitian yang telah
dilakukan pada responden bahwa asma bronkial persisten ringan
merupakan inflamasi kronik jalan napas yang menyebabkan rendahnya
nilai saturasi oksigen (91-95%). Pemberian terapi oksigen, pengaturan
posisi semi fowler dan fowler dapat mengurangi risiko penurunan
pengembangan dinding dada. Rata-rata kenaikan saturasi oksigen pada
posisi semi fowler yaitu 4.8%, sedangkan rata-rata kenaikan saturasi
oksigen pada posisi fowler yaitu 5.4%, sehingga tidak ada perbedaan nilai
saturasi antara posisi semi fowler dan fowler. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sucahyono, W. Tahun 2012 dengan judul “
Identifikasi Penempatan Posisi terhadap Saturasi Oksigen pada Pasien
Paru Obstruksi Kronis” yang menunjukkan bahwa rata-rata kenaikan
saturasi oksigen pada posisi semi fowler yaitu 2.87% dan rata-rata
kenaikan saturasi pada posisi fowler yaitu 4.99% (Sucahyono, 2012).
- Karakteristik klien : faktor usia, faktor jenis kelamin, faktor nutrisi,
faktor ekspansi paru , cara pemberian oksigen.
- Fasilitas biaya : Tidak dicantumkan jumlah biaya yang
digunakan
6. Diskusi ( membandingkan jurnal dan kasus)
Berdasarkan jurnal menunjukkan bahwa hasil analisis menggunakan uji t
independen pada pemberian oksigen pada posisi semi fowler dan fowler pada pasien
asma menunjukkan tidak ada perbedaan efektivitas pemberian oksigen pada posisi
semi fowler dengan fowler terhadap perubahan saturasi pada pasien asma bronkial
persisten ringan. Nilai t hitung berdasarkan uji t-independen yaitu 0.000, sedangkan
nilai t tabel sebesar 2,101. Nilai P value berdasarkan uji t-independen yaitu 1.000,
sehingga dapat disimpulkan jika nilai t hitung < t tabel (0.000 < 2.101) dan P value
(1.000 > 0.05) maka Ho diterima.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan efektivitas antara
pemberian oksigen dengan posisi semi fowler dengan fowler terhadap perubahan
saturasi pada pasien asma. Pada prinsipnya oksigen dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu faktor usia, jenis kelamin, nutrisi, ekspansi paru serta cara pemberian oksigen.
BAB III

KESIMPULAN

Asma merupakan suatu penyakit peradangan kronis pada saluran pernapasan dengan
kerakteristik berupa hipersensitivitas, edema mukosa dan produksi mukus (Smeltzer, et al,
2010). Hal ini dapat menyebabkan peradangan dan penyempitan yang sifatnya berulang
namun reversible (Price dan Wilson, 2006). Pada pasien yang mengalami serangan asma
bronkial, dapat mengakibatkan timbulnya gejala seperti sesak nafas, nafas cepat, (> 24 kali
permenit) dan dad terasa berat. Dengan adanya manifestasi klinis sesak serta dada terasa
berat, pasien asma diindikasikan untuk mendapatkan terapi oksigen (Setyohadi, dkk, 2015).

Efek pemberian terapi oksigen dapat dilihat melalui nilai saturasi oksigen. Saturasi
oksigen merupakan kemampuan hemoglobin mengikat oksigen yang ditujukan sebagai
derajat kejenuhan atau saturasi (SaO2) (Wahyuningsih, 2015). Metode yang paling sederhana
untuk mengurangi risiko penurunan pengembanga dinding dada yaitu dengan pengaturan
posisi saat istirahat. Posisi fowler merupakan posisi tempat tidur dimana posisi kepala dan
tubuh ditinggikan 45o hingga 60o dimana posisi lutut mungkin/mungkin tidak dalam posisi
tertekuk, sedangkan posisi semi fowler merupakan posisi tempat tidur dimana posisi kepala
dan tubuh ditinggikan 15o hingga 45o .
DAFTAR PUSTAKA

http://ejurnal.poltekkesjakarta3.ac.id/index.php/JKep/article/view/278

https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-
sitiistian-6715-2-
babii.pdf&ved=2ahUKEwi5htSWsbrsAhVv73MBHdfPA3MQFjADegQIARAB&usg=AOv
Vaw2hBtwnZ6AVv3MB93u2hVIk

https://www.nerslicious.com/posisi-pasien/

Anda mungkin juga menyukai