Anda di halaman 1dari 5

Ilmu Mantiq (Pengertian Ta'rif)

A. PENDAHULUAN

Telah kita ketahui bersama bahwa ilmu mantiq merupakan ilmu yang menjadi tatanan
berfikir manusia yang dapat memelihara otak dari kesalahan berfikir.

Dan dalam ilmu mantik terdapat pula pembahasan tentang takrif beserta macam-
macamnya, dan takrif tersebut akan kita bahas dalam pembahasan kali ini.

B. PENGERTIAN DEFINISI ( ‫)تعريف‬

Definisi secara etimologi berarti pengertian atau batasan sesuatu. Takrif disebut juga
al qaul al-syarih (ungkapan yang menjelaskan). Dengan demikian, takrif menyangkut adanya
sesuatu yang dijelaskan, penjelasannya itu sendiri, dan cara menjelaskannya.

Al-Jurzani menjelaskan pengertian takrif sebagai berikut:

َ ‫ْرفَةَ َشي ٍْئ‬


‫آخَر‬ ِ ‫ِعبَا َرةٌ ع َْن ِذ ْك ِر َشي ٍْئ تَ ْست َْل ِز ُم َمع‬
ِ ‫ْرفَتَهُ َمع‬

“Takrif adalah penjelasan tentang penuturan sesuatu, yang dengan mengetahuinya


akan melahirkan suatu pengetahuan yang lain.”

Takrif juga disebut al-had, yaitu

‫قَوْ ٌل دَا ٌّل َعلَى َما ِهيَ ِة ال َّشي ِْئ‬

“Kalimat yang menunjukkan hakikat sesuatu.”

Pengertiam logis tentang persoalan objek pikir merupakan upaya memahami


maknanya dalam membentuk sebuah keputusan dan argumentasi ilmiah yang menjadi pokok
bahasan mantik. Dan dalam praktiknya mesti menguasai bahan pembentukan takrif, yaitu
kulliyah al-Khams.

Sedangkan menurut istilah ahli logika (mantiq), ta’rif atau definisi adalah teknik
menjelaskan sesuatu yang dijelaskan, untuk diperoleh suatu pemahaman secara jelas dan
terang, baik dengan menggunakan tulisan maupun lisan, dan dalam ilmu mantiq dikenal
dengan sebutan (qaul syarih). Dalam bahasa Indonesia, ta’rif tersebut dapat diungkapkan
dengan perbatasan dan definisi.

1
C. PEMBAGIAN TA’RIF

Ta’rif dibagi menjadi 2 macam, yaitu:

I. DEFINISI RILL / LOGIS

1) Ta’rif Had ( Analitik )

Ta’rif dengan had, adalah ta’rif yang menggunakan rangkaian lafadz kulli jins dan
fashl.

Contoh: Manusia adalah hewan yang berfikir.

Hewan adalah jins ,dan yang berfikir adalah fashl bagi manusia.

Ta’rif had ada 2, yaitu ta’rif had tam dan ta’rif had naqish :

a) Ta’rif Had Tam

‫نس َو ْالفَصْ ِل القَ ِر ْيبَي ِْن‬


ِ ‫اَ ْن يَ ُكوْ نَ بِ ْال ِْج‬

“Penjelasan sesuatu dengan menggunakan jenis qarib dan


fashal qarib.”

Contoh: Manusia adalah hewan yang dapat berfikir (al-insan hayawan al-nathiq)

Hewan adalah jins qarib kepada manusia karena tidak ada lagi jins di bawahnya.
Sedangkan dapat berfikir adalah fashal qarib baginya.

b) Ta’rif Had Naqish

ْ َ‫ب فَق‬
‫ط‬ ِ ‫ب اَوْ بِ ْالفَصْ ِل القَ ِر ْي‬
ِ ‫نس البَ ِع ْي ِد َو ْالفَصْ ِل القَ ِر ْي‬
ِ ‫اَ ْن يَ ُكوْ نَ بِ ْال ِْج‬

“Penjelasan sesuatu dengan menggunakan jenis ba’id dan


fashal qarib, atau hanya fashal qarib.”[2]

Contoh: Manusia adalah tubuh yang dapat berfikir ( al-insan jism al-nathiq).

Jism adalah jins ba’id bagi manusia dan,

dapat berfikir adalah fashl qarib baginya.

2
Contoh: Manusia adalah yang dapat berfikir (hanya fashal qarib saja).

2) Ta’rif Rasm

Ta’rif dengan rasm adalah ta’rif yang menggunakan jins dan ‘irdhi khas. Contoh:
Manusia adalah hewan yang dapat tertawa.

Hewan adalah jins dan tertawa adalah ‘irdhi khas (sifat khusus) manusia.

Ta’rif rasm ada 2, yaitu ta’rif rasm tam dan ta’rif rasm naqish

a) Ta’rif Rasm Tam

َّ ‫ب َو ْالخَ ا‬
‫ص ِة‬ ِ ‫اَ ْن يَ ُكوْ نَ بِ ْال ِْج‬
ِ ‫نس القَ ِر ْي‬

“Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis qarib


dan khashah.”

Contoh: Manusia adalah hewan yang mampu belajar kitab.

Hewan adalah jins qarib bagi manusia, sedangkan

mampu belajar kitab adalah khashah baginya.

b) Ta’rif Rasm Naqish

ْ َ‫ص ِة فَق‬
‫ط‬ َّ ‫ص ِة اَوْ بِ ْال َخا‬
َّ ‫س البَ ِع ْي ِد َو ْال َخا‬
ِ ‫اَ ْن يَ ُكوْ نَ بِ ْال ِج ْن‬

“Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis ba’id


dan khashah atau dengan khashah saja.”

Contoh: Manusia adalah jism (tubuh) yang bisa ketawa.

Jism adalah jins ba’id bagi manusia dan

bisa tertawa adalah khashah baginya.

Contoh: Manusia adalah yang tertawa.(dengan khashah saja)

II. DEFINISI NOMINAL / LAFADZ

Ta’rif nominal / lafadz

َ ْ‫تَ ْبيِيْنُ ال َّشي ِْئ بِاللَّ ْف ِظ اَو‬


ُ‫ض ُح ِم ْنه‬

3
“Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan kata muradif
(sinonim) yang lebih jelas dari mu’arraf.”[3]

Contoh:

Menjelaskan pengertian arca dengan kata patung.

Menjelaskan pengertian nirwana dengan kata surga.

SYARAT-SYARAT TA’RIF

Ta’rif menjadi benar dan dapat diterima, jika syarat-syaratnya terpenuhi, antara lain:

1) Ta’rif harus jami’ mani’ (muththarid mun’akis). Secara lughawi, jami’ berarti
mengumpulkan dan mani’ adalah melarang. Dalam ilmu mantik, jami’ berarti mengumpulkan
semua satuan yang dita’rifkan ke dalam ta’rif. Sedangkan mani’ berarti melarang masuk
segala satuan hakekat lain dari yang dita’rifkan ke dalam ta’rif tersebut. Oleh Karena itu,
ta’rif tidak boleh lebih umum atau lebih khusus dari yang dita’rifkan.

Contoh:

Manusia adalah hewan yang berakal.

2) Ta’rif harus lebih jelas dari yang dita’rifkan (an yakuna audlah min al-mu’raf).

3) Ta’rif harus sama pengertiannya dengan yang dita’rifkan. Karena itulah ta’rif
tidak dianggap benar dan tidak bisa diterima sebagai ta’rif (definisi), jika keadaannya tidak
sama dengan yang didefinisikan.

4) Ta’rif tidak berputar-putar. Maksudnya jangan sampai terjadi ta’rif dijelaskan


oleh yang dita’rifi (an yakuna khaliyan min al-dawar).

5) Ta’rif bebas dari penggunaan kata majazi dan kata yang mngandung banyak
makna (an yakuna khaliyan min al-majaz wa al-musytarakat).[4]

E. KESIMPULAN

Takrif (al-ta’rif) secara etimologi berarti pengertian atau batasan sesuatu. Takrif
disebut juga al qaul al-syarih (ungkapan yang menjelaskan) atau al-had, yaitu

4
‫قَوْ ٌل دَا ٌّل َعلَى َما ِهيَ ِة ال َّشي ِْئ‬

“Kalimat yang menunjukkan hakikat sesuatu.”

Sedangkan ta’rif secara mantiki adalah teknik menerangkan baik dengan tulisan
maupun lisan, yang dengannya diperoleh yang jelas tentang sesuatu yang diterangkan /
diperkenalkan.

Ta’rif dibagi menjadi 2 macam, yaitu: ta’rif rill (had dan rasm), ta’rif nominal.

Syarat-syarat ta’rif, yaitu harus jami’ mani’, harus lebih jelas dari yang dita’rifkan,
harus sama pengertiannya dengan yang dita’rifkan, tidak berputar-putar, bebas dari
penggunaan kata majazi dan kata yang mngandung banyak makna.

DAFTAR PUSTAKA

Ø Sambas, Syukriadi. 2000. Mantik kaidah berpikir Islam. Bandung: PT Remaja


Rusdakarya

Ø Hasan, Ali. 1995. Ilmu Mantiq (Logika). Jakarta : Pedoman Ilmu jaya

Ø al-Hasyimy, Muhammad Ma’shum Zainy. 2008. Zubdatul Mantiqiyah (teori


Berfikir Logis), Jombang: Darul Hikmah

[1]

[2] Ibid, h.66

[3] M. Ai Hasan, Ilmu Mantiq (Logika), (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya), h.46

[4] Syukriadi, h.68

Anda mungkin juga menyukai