I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam
berpikir. Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula
berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah.
Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir,
manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan
lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif.
Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak
keliru. Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang
dimaksud dengan "berpikir". Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri
(majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada
dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).
Kita sudah begitu sering berpikir. Rasa-rasanya berpikir begitu mudah.semenjak kecil
kita sudah biasa melakukannya. Setiap hari kita berdialog dengan diri kita sendiri, berdialog
dengan orang lain, berbicara , menulis, membaca suatu uraian dan lain-lain.
Namun apabila diselidiki lebih lanjut, dan terutama bila harus diraktekkan sungguh-
sungguh ternyata berpikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan yang cukup sukar juga.
Keinsafan akan adanya kesulitan-kesulitan mendorong orang untuk memikirkan caranya ia
berpikir, serta meneliti asas-asas hukum yang harus mengatur pemikiran manusia agar dapat
mencapai kebenaran. Dengan demikian, timbullah suatu ilmu yang disebut logika. Sebagai
pelopor ilmu logika adalah Aristoteles (348-322 SM) dengan karyanya yang terkenal dengan
judul To Organon.
Lapangan penerapan logika sangatlah luas, bukan hanya di bidang ilmu pengetahuan
saja tetapi di seluruh bidang kehidupan. Sebab, sebagai makhluk yang berakal, kita harus
menggunakan akal sehat di segala bidang kehidupan karena hal ini sangatlah dibutuhkan
dewasa ini. Bangsa kita sedang mengalami suatu masa peralihan yang cepat.
Dalam menghadapi persoalan yang sulit ini sangatlah dibutuhkan orang yang cakap
berpikir, menalar sendiri, dengan objektif, rasionala dan kritis,dan yang mendasarkan
tindakan-tindakannya atas alasan-alasan yang tepat, bukan atas emosi atau prasangka.
9
B. RUMUSAN MASALAH
a) Sebutkan macam-macam ta’rif ?
b) Jelaskan syarat-syarat ta’rif!
c) Bagaimana ta’rif (definisi) dalam wacana para ahli logika dan filosof ?
C. TUJUAN
a) Menyebutkan macam-macam ta’rif beserta penjelasannya secara terperinci
b) Menjelaskan syarat-syarat ta’rif
c) Menjelaskan pendapat para ahli logika dan filosof mengenai ta’rif (definisi)
9
BAB II
PEMBAHASAN
9
qadhiyah (kalimat-kalimat) yang darinya ditarik natijah (kesimpulan). Jika ta’rif
lafadz tidak jelas, maka kesimpulan yang dihasilkan mungkin sekali keliru atau
salah.
َ َس َو ْالف
ص ِل القَ ِر ْيبَ ْي ِن ِ اَ ْن يَ ُكوْ نَ بِ ْال ِج ْن
Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan
jenis qarib dan fashal qarib.
Contoh: Manusia adalah hewan yang dapat berfikir (al-insan hayawan al-nathiq)
Hewan adalah jins qarib kepada manusia karena tidak ada lagi jins di bawahnya.
Sedangkan dapat berfikir adalah fashal qarib baginya.
9
a) Ta’rif Rasm Tam
َّ ب َو ْالخَ ا
ص ِة ِ اَ ْن يَ ُكوْ نَ بِ ْال ِج ْن
ِ س القَ ِر ْي
Penjelasan sesuatu (mu’arraf yang didefinisikan) dengan menggunakan jenis qarib
dan khashah.
Contoh: Manusia adalah hewan yang mampu belajar kitab.
Hewan adalah jins qarib bagi manusia, sedangkan mampu belajar kitab adalah
khashah baginya.
ع هُ َو ْالقَلَ ُم
ُ ْاليَ َر
Sesuatu yang menyerupai bambu runcing adalah pena.
9
C. SYARAT-SYARAT TA’RIF
`Ta’rif menjadi benar dan dapat diterima, jika syarat-syaratnya terpenuhi, antara lain:
1. Ta’rif harus jami’ mani’ (muththarid mun’akis)
Secara lughawi, jami’ berarti mengumpulkan dan mani’ adalah melarang. Dalam ilmu
mantik, jami’ berarti mengumpulkan semua satuan yang dita’rifkan ke dalam ta’rif.
Sedangkan mani’ berarti melarang masuk segala satuan hakekat lain dari yang
dita’rifkan ke dalam ta’rif tersebut. Oleh Karena itu, ta’rif tidak boleh lebih umum atau lebih
khusus dari yang dita’rifkan.
Contoh:
Manusia adalah hewan yang berakal.
2. Ta’rif harus lebih jelas dari yang dita’rifkan (an yakuna audlah min al-mu’raf).
3. Ta’rif harus sama pengertiannya dengan yang dita’rifkan. Karena itulah ta’rif tidak dianggap
benar dan tidak bisa diterima sebagai ta’rif (definisi), jika keadaannya tidak sama dengan
yang didefinisikan.
4. Ta’rif tidak berputar-putar. Maksudnya jangan sampai terjadi ta’rif dijelaskan oleh yang
dita’rifi (an yakuna khaliyan min al-dawar).
5. Ta’rif bebas dari penggunaan kata majazi dan kata yang mngandung banyak makna (an
yakuna khaliyan min al-majaz wa al-musytarakat).
9
ii). Lafal AW dalam ta’rif rosm, seperti: manusia adalah hewan yang bisa tertawa atau menangis
atau berfikir.
Dengan demikian, para ahli logika berpendapat bahwa definisi yang dianggap paling
sempurna adalah ta’rif had tam. Sekalipun demikian, para filosof berpendapat bahwa untuk
mendapatkan definisi had tam dari segala sesuatu itu, harus mengenal lebih dahulu esensi
segala sesuatu tersebut, sebab apa saja yang dianggap sebagai had tam, misalnya dalam
mendefinisikan manusia dan sebagainya, tidak akan terlepas dari berbagai macam
kemungkinan sebagai salah satu pilihan dan kelonggaran.
Oleh sebab itu, criteria yang telah dibuat oleh para ahli logika tentang had tam akan
kehilangan nilai yang sebenarnya, lantaran sifat pesimistis para filosof terhadap had tam yang
hakikatnya menjadi tanggung jawab mereka.
9
BAB III
KESIMPULAN
9
DAFTAR PUSTAKA
Sambas, Syukriadi. 2000. Mantik kaidah berpikir Islam. Bandung: PT Remaja Rusdakarya
Hasan, Ali. 1995. Ilmu Mantiq (Logika). Jakarta : Pedoman Ilmu jaya
al-Hasyimy, Muhammad Ma’shum Zainy. 2008. Zubdatul Mantiqiyah (teori Berfikir Logis),
Jombang: Darul Hikmah