Makalah Inkotininsia Urine Pada Kehamilan
Makalah Inkotininsia Urine Pada Kehamilan
ASTRI WAHYUNI
DESKI YULIA
A. Latar Belakang
Melemahnya kekuatan otot dasar panggul (ODP) dapat menyebabkan berbagai
gejala yang mengganggu kualitas hidup dan merupakan masalah umum pada wanita dalam
fungsi reproduksi, bukan hanya karena perubahan anatomi ODP dalam kehamilan dan
proses persalinan, namun juga karena trauma yang terjadi pada proses tersebut. Trauma
dasar panggul selama persalinan sekarang diketahui sebagai faktor etiologi utama terhadap
gangguan ODP seperti inkontinensia urin, prolaps organ pelvis dan inkontinensia
fekal. Hampir 50% wanita yang pernah melahirkan akan menderita prolaps organ
genitourinaria, 40% akan disertai dengan inkontinensia urin dan sekitar 4,2% akan
mengalami inkontinensia fekal. Evaluasi kekuatan ODP merupakan parameter yang
penting dalam pokok persoalan klinik dan ilmiah sehubungan
dengan kelemahan dasar
(Abrams P, Cardozo L, Fall M, 2002; Patric H, 2002; Djuana AA, Manuaba IBGF, 2004)
panggul.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan rerata selisih kekuatan otot dasar panggul sebelum dan
sesudah persalinan spontan antara kelompok inkontinensia urin dengan kelompok normal?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui perbedaan rerata selisih kekuatan otot dasar panggul sebelum dan
sesudah persalinan spontan antara kelompok inkontinensia urin dengan kelompok normal.
D. Kerangka Pemikiran
Dasar panggul merupakan struktur kompleks yang terdiri dari sekelompok otot
yang terdiri dari otot levator ani (iliokoksigeus, pubokoksigeus dan puborektalis) dan otot
koksigeus. Otot dasar panggul mempunyai 3 fungsi utama, yaitu: kontrol sfingter,
penyokong organ abdominopelvis, dan sebagai fungsi seksual. Otot dasar panggul berbeda
dengan kebanyakan otot skelet lainnya yaitu: mempunyai sifat tonus yang konstan, kecuali
pada saat berkemih defikasi dan saat manuver valsava; mampu berkontraksi dengan cepat
misalnya saat batuk atau bersin sehingga bisa mempertahankan kontinensia; dan dapat
berdistensi
selama proses persalinan untuk lewatnya bayi yang kemudian akan berkontraksi untuk
kembali kefungsi normal. (Barber MD, Bremer RE, Thor KB 2002;Coffey SW, Wilder E, Majsak MJ, Stolove R, 2002)
Dietz (2002) membandingkan tiga teknik yang berbeda dalam menilai kekuatan
ODP yaitu pemeriksaan digital, perineometri dan ultrasonografi (USG). Penelitian ini
melibatkan 48 perempuan dengan disfungsi saluran kemih bawah dan atau prolaps organ
panggul. Didapatkan korelasi kuat antara perineometri dan palpasi, dengan nilai kappa 0,73
(konfidens interval 95%), sedangkan parameter ultrasonografi yang mempunyai hubungan
kuat hanyalah mobilitas leher kandung kemih saja. Pengukuran dengan perineometer
dianggap sebagai baku emas dalam menilai kekuatan otot dasar panggul. Teknik terbaru
adalah dengan cara melakukan ultrasonografi transperineal, yang dapat menentukan elevasi
leher kandung kemih, perubahan sudut antara sambungan uretrovesika dan batas
(Isherwood PJ, Rane A, 2000; MacLennan AH,
simfisis serta perubahan inklinasi uretra proksimal. Taylor AW,
Wilson DH, Wilson D, 2000; Dietz HP, Jarvis SK, Vancaillie T, 2002; Chaliha, Charlotte, 2006)
Stress inkontinensia urin merupakan bentuk inkontinensia urin (IU) yang paling
banyak terjadi, didefinisikan sebagai pengeluaran urin yang tidak dapat dikontrol,
disebabkan karena tekanan intravesika cenderung melebihi tekanan penutupan uretra, yang
berhubungan dengan aktivitas tubuh (batuk, tertawa, kegiatan fisik) sedangkan kandung
kemih tidak berkontraksi. Beberapa faktor resiko obstetrik seperti kehamilan, paritas, cara
lahir, persalinan pervaginam dengan bantuan vakum ataupun forsep, episiotomi, ruptur
perineum baik akibat episiotomi ataupun ruptur perineum spontan, riwayat SIU saat hamil
dan berat lahir
bayi, telah dilaporkan oleh beberapa peneliti mempengaruhi angka SIU post partum. (Culligan
PJ, Heit M, 2000; Viktrup L, Lose G, 2000;Eason E, Labrecoue M, Marcoux S, Mondor M, 2004)
Persalinan spontan dibagi menjadi tiga tahap yaitu: kala I dimulai saat awal serviks
berdilatasi sampai dilatasi lengkap, kala ll dimulai ketika dilatasi serviks sudah lengkap
dan berakhir ketika janin lahir, kala lll dimulai segera setelah janin lahir, dan berakhir
ketika lahirnya plasenta serta selaput ketuban janin. Pada akhir kala ll oksiput mencapai
dasar panggul pada posisi oksipitoanterior. Proses ini mendorong kepala melalui introitus
vagina menghasilkan penurunan ke arah bawah dari dasar panggul, sehingga sebagian
besar tekanan uterus diarahkan ke perineal body dan anorektum. Selanjutnya penurunan
janin mendorong kepala lebih maju sehingga oksiput dilahirkan dan meningkatnya
regangan di sekitar pubis. Saat puncak kepala, dahi serta wajah lahir, terjadi regangan serta
tekanan
ke belakang arah sfingter anal. Selama kala ll struktur dasar panggul mempunyai risiko
kerusakan yang tinggi. (Santoro GA, Budi Iman, 2002; De Lancey JO, 2008)
Kerusakan dasar panggul terjadi terutama pada proses persalinan pervaginam
pertama yang diakibatkan oleh penekanan pada jaringan lunak. Proses kala ll persalinan
akan menimbulkan tekanan antara kepala bayi dengan dinding vagina rata-rata 100-230
mmHg. Bila keadaan ini terjadi dalam waktu yang lama maka tekanan obstetrik ini dapat
menimbulkan perubahan fisik secara permanen. Persalinan sebagai faktor yang
menyebabkan terjadinya stress inkontinensia urin pada wanita telah dinyatakan oleh
beberapa studi yang melihat hubungan antara paritas dan stress inkontinensia urin. Ada
beberapa penjelasan
yang dapat disimpulkan: (Daneshgari F, Moore C, 2007; Goldberg RP, Kwon C, Gandhi S, 2007; De Lancey JO, 2008)
1. Persalinan merusak dasar panggul karena terjadinya regangan kuat sehingga terjadi
kerusakan dan kelemahan otot serta jaringan ikat.
2. Kerusakan dapat juga ditimbulkan oleh laserasi dan episiotomi karena dapat
menyebabkan pergeseran organ pelvis dari posisi yang seharusnya.
Viktrup (2000) menyatakan bahwa kejadian SIU post partum berhubungan bermakna
secara klinis dan statistik dengan persalinan pervaginam dan beberapa faktor resiko
obstetrik seperti: lama kala ll, berat bayi lahir, dan lingkar kepala bayi. Wilson (1996)
melakukan studi retrospektif mengenai prevalensi stress inkontinensia urin pada wanita 3
bulan pasca melahirkan pervaginam dan didapatkan dari 1505 responden terdapat 516
responden (34,3%) dengan inkontinensia urin dan yang terbanyak adalah jenis SIU (n=360;
23,9%). Pada responden primipara (n=607) 62,60% mengalami stress inkontinensia urin
dimana onsetnya mulai selama kehamilan, 19,4% menyatakan bahwa onsetnya pada saat
sebelum hamil dan 17,6% onsetnya begitu setelah lahir. Maclennan (2000) melakukan
studi cross sectional untuk mengetahui prevalensi kejadian SIU pada wanita dihubungkan
dengan usia, paritas dan cara melahirkan. Dari 1546 wanita yang diwawancara, SIU terjadi
pada 322 wanita (20,8%). Berdasarkan data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa SIU
dipengaruhi oleh kekuatan otot dasar
panggul. Sedangkan kekuatan otot dasar panggul itu sendiri, dipengaruhi oleh proses
(Wilson J, Potters AE, 1996; Viktrup L, Lose G, 2000; MacLennan AH, Taylor AW, Wilson DH,
kehamilan dan persalinan.
2000)
E. Hipotesis Penelitian
Perbedaan rerata selisih kekuatan otot dasar panggul sebelum dan sesudah
persalinan spontan pada kelompok stress inkontinensia urin lebih besar daripada kelompok
normal.
F. Manfaat Penelitian
1. Keilmua
Sebagai data dasar untuk mengetahuiperbedaan rerata selisih kekuatan otot dasar panggul sebelum
dan sesudah persalinan spontan antara kelompok stress inkontinensia urin dengan kelompok
normal.
2. Pelayanan
Meningkatkan pelayanan obstetri dengan adanya pemeriksaan kekuatan otot
dasar panggul sebelum dan sesudah persalinan spontan terhadap kejadian stress
inkontinensia urin.
3. Penelitian
Menggugah penelitian selanjutnya tentang faktor-faktor resiko yang
berhubungan dengan kelemahan otot dasar panggul dan stress inkontinensia urin.
BAB II KAJIAN
PUSTAKA
2.1.1 Pengertian
didefinisikan sebagai keluarnya urinae tanpa disadari (involunter) atau tidak bisa ditahan
akibat disfungsi otot dasar panggul karena trauma atau penyebab lain pada saraf
pudendal yang dapat menimbulkan masalah sosial dan higiene (Lapitan, 2001).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa jenis inkontinensia urinae yang terbanyak pada
wanita pasca partus adalah inkontinensia urinae tipe stres (Viktrup, 2002). Inkontinensia
urinae tipe stres didefinisikan sebagai pengeluaran urinae yang tidak dapat dikontrol,
yang berhubungan dengan aktivitas tubuh seperti batuk, bersin, tertawa atau kegiatan
Dampak negatif kondisi ini adalah dijauhi orang lain karena penderita mengalami
kelemahan otot dasar panggul yang mengakibatkan tidak bisa menahan miksi sehingga
berbau pesing, terjadi infeksi di daerah kemaluan, tidak dapat beraktivitas dengan baik
dan tidak nyaman dalam hubungan seksual sehingga dapat menurunkan kualitas hidup
seseorang (Santoso, 2008).
7
8
Gambar 2.1
Inkontinensia urinae tipe stres
(Sumber:http://www.singhealth.com.sg/PatientCare/ConditionsAndTreatments
/Pages/Stress-Incontinence.aspx)
sebagai konsekuensi dari regangan dan lemahnya otot serta jaringan ikat
selama proses partus akibat dari produksi hormon progesteron dan relaksin
uretra yang berhubungan dengan aktivitas tubuh seperti tertawa, bersin atau
batuk secara tidak sadar urinae keluar, selanjutnya pada saat melakukan
hubungan seksual klien merasa tidak nyaman karena harus memakai pembalut
akibat urinae yang keluar tanpa bisa ditahan, sedangkan kandung kemih tidak
sejumlah 50,4% yang secara bermakna lebih tinggi jika dibandingkan wanita
didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu 10%, dan meningkat
mempunyai resiko 1,46 kali untuk terjadi inkontinensia urinae tipe stres
Moore, 2007).
2.1.4 Faktor Risiko Inkontinensia Urinae
2) Wanita dengan massa indeks tubuh lebih tinggi cenderung lebih banyak
urinae menetap selama tiga bulan setelah melahirkan dan yang menerima
latihan otot dasar panggul mengalami penurunan kejadian daripada ibu pasca
maka efeknya semakin besar (Callahan, et.al., 2004). Insiden mencapai 40%
dan 20% disertai gejala yang berat, kebanyakan kasus inkontinensia meningkat
urinae tipe stres harus muncul saat pasca partus normal masih belum jelas,
tetapi ternyata memiliki efek pada proses kelahiran pervaginam atau normal.
Jika perlekatan pelvis fasia dan fungsi sfingter tidak mengalami kerusakan saat
belum hamil dengan kembalinya fungsi uretra secara normal dan tidak terjadi
inkontinensia. Namun, jika struktur ini mengalami kerusakan saat proses partus
atau selama kondisi tidak hamil sudah lemah, maka usaha untuk perbaikan
tidak akan memberi hasil yang baik. Pada studi yang tidak dipublikasikan pada
wanita yang diteliti ulang selama 6 tahun setelah proses partus, ditemukan 30%
wanita dengan rerata onset baru wanita dengan kontinensia 3 bulan pasca
partus, dan 27% dari mereka akan terjadi perbaikan secara spontan setelah 6
Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas kandung kemih dan uretra
Pada perbatasan antara kandung kemih dan uretra berupa sfingter uretra
interna. Sfingter interna ini selalu tertutup pada saat fase pengisian (filling) atau
menyimpan, dan terbuka pada saat isi kandung kemih penuh dan saat miksi
atau pengeluaran (evacuating). Sfingter ini membuka pada saat miksi sesuai
Gambar 2.2
Kandung Kemih Wanita (Alcamo, 2003)
Jika terjadi kerusakan dinding kandung kemih, maka visko elastisitas
dan komplians kandung kemih menurun, yang berarti pengisian urinae pada
otot perineum, fasia dan levator ani profunda, serta otot koksigeus. Dasar
sebelah atas dengan ruang perineum di sebelah bawah. Sekat ini dibentuk
oleh otot levator ani, otot koksigeus dan seluruhnya ditutupi oleh fasia
Menurut Roger (2003), dasar panggul terdiri dari organ pelvis di luar
peritoneum, fasia endopelvis, dan tiga lapisan grup otot yang terdiri dari otot
tengah, dan lapisan terluar adalah otot sfingter, rektum dan traktus
uroginetalis.
Gambar 2.3
Pelvis Tampak Sisi Samping (Alcamo, 2003)
tulang yaitu dua tulang kokse (coxae), tulang sakrum (sacrum), dan tulang
koksigeus (coccygeus). Tulang kokse terdiri dari tulang ilium, tulang pubis,
dan tulang iskium. Tulang pubis terdiri dari ramus superior ossis pubis dan
ramus inferior ossis pubis. Kedua ramus tersebut dibatasi oleh foramen
(cepat pada satu waktu) dan dapat mempertahankan tonus istirahat secara
berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang utama ada pada otot levator
ani, saat otot ini berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan
membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan intra
Gambar 2.4
Diafragma Pelvis (Alcamo, 2003)
1) Otot levator ani, otot levator ani terdiri dari 3 regio otot yakni otot
otot ini terdapat kombinasi serabut slow twitch dalam respon postural
D. Otot perineum, bagian atas dan bawah dibatasi oleh permukaan bawah
otot dasar panggul dan kulit antara panggul dan paha, bagian lateral
anak melalui vagina. Hampir 50% wanita yang pernah melahirkan akan
urinae. Diantara kondisi ini inkontinensia urinae tipe stres merupakan salah
dan kekuatan otot dasar panggul yaitu metode untuk menilai kontraksi otot
dan metode untuk menilai kuantitas kekuatan otot. Metode untuk menilai
dimana otot dasar panggul dikatakan baik bila pada pengukuran didapatkan
nilai kekuatan otot dasar panggul ≥ 8 mmHg (Kari dan Sherburn, 2005).
diandalkan untuk pengukuran kekuatan dan daya tahan tingkat tinggi. Hasil
handal untuk mengukur kekuatan otot dasar panggul dan daya tahan saat
sejajar. Satu serabut otot terdiri dari banyak miofibril, dan satu miofibril terdiri
dari banyak sarkomer yang berjalan secara seri. Sarkomer merupakan unit
terbentuk dari protein-protein kontraktil aktin (filamen tipis) dan miosin (filamen
filamen tebal tersusun dari miosin dengan diameter kurang lebih dua kali diameter
filamen tipis. Troponin terdiri atas 3 sub unit yakni troponin I, T dan C. Filamen
tebal merupakan barisan yang membentuk pita A (A-band) yang padat dan
filamen tipis membentuk pita I (I-band) yang kurang padat (Ganong, 2003).
antara dua rantai aktin. Molekul troponin merupakan unit globular kecil yang
pergeseran filamen tipis pada filamen tebal. Lebar jalur A adalah tetap, sedangkan
dan saling menjauhi apabila otot dalam keadaan istirahat (Sherwood, 2001).
Berbagai otot yang berbeda memiliki sifat yang berbeda pula sesuai
dengan sifat serabut-serabutnya. Setiap motor neuron spinal mensarafi hanya satu
jenis serabut otot, sehingga seluruh serabut otot dari satu motor unit ada dari jenis
yang sama. Terdapat dua jenis serabut otot atas dasar sentakan kontraksi dan
kecepatan daya hantar aksonnya yakni kedut otot lambat atau tipe I (slow twitch
fiber) dan kedut otot cepat atau tipe II (fast twitch fiber). Umumnya unit otot
lambat mendapat persarafan dari motor neuron yang halus, mempunyai daya
tahan terhadap kelelahan dan merupakan unit yang paling banyak digunakan.
Serabut otot lambat berwarna lebih merah, responnya lambat, mempunyai waktu
kerut yang panjang, dapat menyesuaikan diri untuk kontraksi yang memanjang,
lambat guna menahan sikap atau stabilisasi. Sedangkan otot cepat berwarna lebih
pucat, mempunyai waktu kerut yang pendek, cepat otot ini khusus untuk gerakan-
spinal yang dirangsang dan dihambat oleh pusat di otak, seperti halnya
menimbulkan tekanan intra vesikal yang berarti sampai kandung kemih benar-
benar terisi penuh. Seperti otot polos lainnya, otot kandung kemih juga
melibatkan banyak faktor seperti tekanan intra vesikal yang dihasilkan oleh
saraf aferen yang berasal dari kandung kemih dan uretra serta serabut saraf eferen
berupa sistem parasimpatik, simpatik dan somatik. Serabut saraf aferen dari
dinding kandung kemih menerima impuls reseptor regangan dari kandung kemih
yang dibawa oleh nervus pelvikus ke korda spinalis S 2-4 dan diteruskan sampai ke
kepada otak tentang volume urinae di dalam kandung kemih. Impuls ini dibawa
oleh nervus pudendus menuju korda spinalis S2-4 (Huang, et.al., 2007).
Serabut eferen parasimpatik berasal dari korda spinalis S2-4 dibawa oleh
nervus pelvikus dan memberikan inervasi pada otot detrusor. Asetilkolin (Ach)
kontraksi otot detrusor. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa
simpatik berasal dari korda spinalis thorako-lumbal (T10-L2) yang dibawa oleh
nervus hipogastrikus menuju kandung kemih dan uretra (Huang, et.al., 2007).
Pada saat kandung kemih sedang terisi terjadi stimulasi pada sistem
kandung kemih), dan inhibisi sistem parasimpatik berupa relaksasi otot detrusor.
Kemudian pada saat kandung kemih terisi penuh akan timbul keinginan untuk
interna (terbukanya leher kandung kemih). Miksi kemudian terjadi jika relaksasi
sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi tekanan intra uterina
pengosongan urinae. Dua proses ini terus terjadi dalam setiap proses
Darah dari arteriola aferen mengandung glukosa, garam, protein dan urea
mengalir ke dalam glomerulus dan menyaring darah serta melepas zat yang
tidak dibutuhkan seperti garam, air dan urea masuk ke dalam kapsul bowmen.
penyaringan aliran darah. Glukosa, air dan sebagian garam diserap kembali
air 99%, natrium 99,5%, glukosa 100%, urea 50% dan phenol 0% (Ganong,
2003).
Pada orang dewasa sehat, kerja kandung kemih dapat dibagi dalam
dua fase; fase pengisian, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar
urinae yang masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan
uretra dalam waktu relatif singkat. Pada keadaan normal selama fase
tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih
yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga
penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka uretra tetap
tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat,
membuka dan urinae memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-
otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu
fase pengeluaran. Frekuensi berkemih yang normal adalah 8 kali perhari (saat
tidur terbangun untuk miksi maksimal 1 kali) dengan asupan cairan yang
secara aktif sehingga akan berespon terhadap suatu teknik latihan sama
Menurut Doughty dan Burns (2006), fungsi otot dasar panggul adalah:
dinding kandung kemih. Saat kapasitas kandung kemih mencapai 200 ml,
menyadari bahwa kandung kemih mulai penuh dan timbul rasa ingin buang
kontraksi dari otot dinding kandung kemih sehingga akan mendorong urinae
yang ditampung menuju saluran uretra. Tetapi, urinae hanya bisa keluar jika
katup uretra bagian dalam dan bagian luar terbuka. Untuk membuka katup
kandung kemih atau pada sfingter (uretra). Kelainan pada kandung kemih
2003).
2.5 Analisa Problematik Fisioterapi Menurut Klasifikasi ICF
panggul setelah melahirkan normal (ICF: s620 sructure of pelvic floor) dan
problematik fisiologi sehingga tidak bisa mengontrol buang air kecil (ICF:
b6202 urinary continence), dan terjadi gangguan fungsi seksual (ICF b640:
sexual function).
pekerjaan rumah, berjalan, lari dan bekerja (ICF d640: doing housework).
Adanya gangguan berupa hambatan fungsi seksual saat hubungan suami istri
mengakibatkan penderita tidak percaya diri dan merasa kurang dibutuhkan oleh
1) Faktor internal
c. Paritas berulang.
2) Faktor eksternal
kekuatan otot dasar panggul. Terjadinya kelemahan otot dasar panggul pada
wanita pasca partus bisa dilatih untuk dikuatkan kembali dengan metode
Kegel. Metode tersebut diperkenalkan oleh dr. Arnold Kegel pada tahun 1945
seorang obstetric dan ginekologi dari California. Latihan otot dasar panggul
hilangnya kendali kortikal pada otot-otot perineum pasca partus normal atau
otot dasar panggul pada pasien hamil dan setelah melahirkan yang tidak
stres). Hal ini bisa terjadi sebagai akibat dari menahan beban janin dalam
kandungan, dan akibat dorongan kepala bayi saat proses kelahiran melalui
hubungan seksual ketika wanita tersebut sampai pada fase orgasme karena
2005).
duduk di kamar mandi setiap habis berkemih, ini adalah posisi santai
otot dasar panggul yang akan dilatih sebelum latihan secara kelompok
1) Latihan dasar 1
Duduk di kursi yang keras atau duduk bersila dengan badan tegak,
Panggul dan paha tidak boleh bergerak. Pada pasien diingatkan bahwa
duduknya.
2) Latihan dasar 2
4) Latihan dasar 4
Posisi sama, letakkan satu jari di tulang ekor dan jari tangan lainnya di
bila benar maka akan merasakan gerakan tulang menjauh dari jari
yang ditempelkan.
sepanjang hari dari pagi, siang, sore dan malam. Untuk menghindari
otot dan daya tahan otot, latihan kontraksi harus dilakukan secara
Kegel Exercise
bersifat isometrik dimana otot ini tidak terjadi perubahan panjang otot tetapi
beban kerja otot meningkat, dengan peningkatan otot dasar panggul secara
minggu latihan secara rutin dan terus-menerus. Karena akan terjadi proses
adaptasi secara keseluruhan berupa banyaknya serabut dari otot yang bekerja
sehingga akan meningkatkan rekrutmen motor unit dari otot dasar panggul.
mekanik untuk menyampaikan informasi kepada klien tentang aktivitas otot dasar
panggul dan kandung kemih mereka. Tujuan dari terapi ini adalah untuk
menggunakan informasi layar visual berupa nilai angka atau suara yang
panggul yang lemah memberikan sensasi atau umpan balik yang terbatas setelah
panggul atau tekanan yang dihasilkan oleh vagina atau anus (Levefre, 2000).
dengan informasi tentang tubuh mereka, dimana menggunakan suatu alat yang
dapat membantu untuk memastikan apakah latihan sudah dilakukan dengan benar,
karena dengan biofeedback kita dapat melihat hasil dari kekuatan kontraksi otot
dasar panggul dengan melihat nilai angka yang ditunjukkan alat tersebut,
tercapai angka yang diharapkan. Biofeedback adalah suatu bagian dari prosedur
memberikan umpan balik dengan tepat kepada pasien dalam melakukan latihan
(Lubis, 2009).
Salah satu perangkat yang dapat digunakan sebagai biofeedback adalah
dasar panggul bersamaan dengan melihat angka yang dihasilkan sehingga ada
dan benar sehingga diharapkan hasil yang dicapai lebih optimal dan efisien.
sebagai berikut:
dan kedua lutut ditekuk 900, pasien telah mengosongkan kandung kemih
dimasukkan ke vagina pada posisi yang benar dan ditahan terapis agar
tidak berubah posisi, pasien diminta untuk latihan kontraksi otot dasar
ototnya. Latihan selanjutnya dengan cara yang sama minta pasien lebih
agar dapat tercapai hasil yang lebih tinggi atau meningkat dari nilai
dengan sabun dan dikeringkan. Kassa dan kondom bekas pakai dibuang
di tempat sampah.
memulai pengeluaran urinae dan cara mengatur kontraksi otot dasar panggul.
ada beberapa komponen penting yang berperan ialah otot levator ani yang
berjalan dari tulang pubis menuju ke sfingter ani di balik rektum untuk
menyokong organ pelvis, dihubungkan oleh fasia yang berperan pasif dalam
normal otot levator ani menyokong leher vesika dalam proses miksi normal.
tekanan dalam vesika meningkat pada waktu batuk keras tanpa dapat
yang kuat, uretra akan ditekan antara tekanan abdominal dan fasia pelvis pada
arah yang sama. Kondisi tersebut diibaratkan saat ketika lapisan di bawah
uretra tidak stabil dan tidak memberikan tahanan yang kokoh terhadap
pelatihan core stability exercise dan kegel exercise pada wanita multipara
yang dilakukan di Rumah Sakit Setia Mitra Jakarta Selatan selama 8 minggu