Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS

DENGAN INKOTINENSIA URINE

DISUSUN OLEH KLP 4

ASTRI WAHYUNI

DESKI YULIA

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER


STIKES HANG TUAH TANJUNGPINANG
T.A 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Melemahnya kekuatan otot dasar panggul (ODP) dapat menyebabkan berbagai
gejala yang mengganggu kualitas hidup dan merupakan masalah umum pada wanita dalam
fungsi reproduksi, bukan hanya karena perubahan anatomi ODP dalam kehamilan dan
proses persalinan, namun juga karena trauma yang terjadi pada proses tersebut. Trauma
dasar panggul selama persalinan sekarang diketahui sebagai faktor etiologi utama terhadap
gangguan ODP seperti inkontinensia urin, prolaps organ pelvis dan inkontinensia
fekal. Hampir 50% wanita yang pernah melahirkan akan menderita prolaps organ
genitourinaria, 40% akan disertai dengan inkontinensia urin dan sekitar 4,2% akan
mengalami inkontinensia fekal. Evaluasi kekuatan ODP merupakan parameter yang
penting dalam pokok persoalan klinik dan ilmiah sehubungan
dengan kelemahan dasar
(Abrams P, Cardozo L, Fall M, 2002; Patric H, 2002; Djuana AA, Manuaba IBGF, 2004)
panggul.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa jenis inkontinensia urin yang terbanyak


pada wanita post partum adalah stress inkontinensia urin (SIU) yang didefinisikan sebagai
pengeluaran urin yang tidak dapat dikontrol, disebabkan karena tekanan intravesika
cenderung melebihi tekanan penutupan uretra, yang berhubungan dengan aktivitas tubuh
(batuk, tertawa, kegiatan fisik) sedangkan kandung kemih tidak berkontraksi. Beberapa
penelitian klinis dan epidemiologis mengindikasikan bahwa wanita yang mengalami
persalinan pervaginam memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami SIU dibandingkan
nulipara dan wanita yang menjalani seksiosesarea. Hal ini kemungkinan besar berkaitan
dengan terjadinya kerusakan dasar panggul akibat proses persalinan pervaginam yang
menyebabkan perubahan neurologik pada dasar panggul sehingga menimbulkan efek
langsung pada konduksi nervus pudendus, mempengaruhi kontraksi vagina dan tekanan
penutupan uretra. Insiden SIU post partum diperkirakan terjadi pada
hampir 34% wanita. (Abrams P, Cardozo L, Fall M, 2002; Reilly, 2002; Rortveit G, Kjersti A, Hannestad YS, 2003; Eason E,
Labrecoue M, Marcoux S, Mondor M, 2004)

Peschers menyatakan bahwa kekuatan ODP terpengaruh segera setelah persalinan


pervaginam dan akan kembali normal dalam waktu dua bulan. Pada primipara yang
mengalami persalinan pervaginam didapati penurunan kekuatan ODP sebesar 22% selama
kehamilan dan 35% pada post partum. Mascharenhas T mengukur kekuatan ODP dengan
perineometri dan digital pada 66 primigravida antepartum, 6 minggu post partum dan 6
bulan post partum dengan hasil terdapat penurunan kekuatan ODP yang bermakna pada
wanita yang melahirkan
(Peschers UM, Schaer GN, 1997;Mascharenhas T,
pervaginam dibanding seksiosesarea (p=0,049). Silveira F,
Patricio B, 2001; Coffey SW, Wilder E, Majsak MJ, Stolove R, 2002)

Persalinan pervaginam juga merupakan faktor utama yang berkontribusi untuk


terjadinya SIU. Hal ini tidak hanya disebabkan karena kondisi kehamilan yang menyebaban
perubahan mekanik dan hormonal, namun juga terjadi kerusakan jaringan otot dan
persyarafan. Pada persalinan pervaginam terjadi regangan kuat pada saat proses persalinan
yang mengakibatkan kelemahan dan kerusakan ODP, sehingga menyebabkan berkurangnya
tahanan tekanan penutupan uretra terhadap tekanan kandung kemih. Regangan kuat
tersebut juga mengenai bladder neck, otot-otot sfingter uretra dan ligamentumnya.
Beberapa faktor risiko yang telah diteliti dapat meningkatkan kejadian SIU pada wanita
post partum adalah usia, paritas, cara melahirkan, berat bayi lahir, episiotomi, ruptur
(Culligan PJ, Heit M,
perineum spontan, lingkar kepala bayi, ekstraksi vakum atau forsep. 2000;
Viktrup L, Lose G, 2000; Eason E, Labrecoue M, Marcoux S, Mondor M, 2004)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa melemahnya kekuatan otot


dasar panggul akibat hamil dan persalinan dapat menyebabkan SIU, namun penelitian
mengenai rerata selisih kekuatan otot dasar pangul sebelum dan sesudah persalinan spontan
terhadap stress inkontinensia urin masih belum ada sampai saat ini. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perbedaan rerata selisih kekuatan otot dasar
panggul sebelum dan
sesudah persalinan spontan antara kelompok stress inkontinensia urin dengan kelompok
normal.

B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan rerata selisih kekuatan otot dasar panggul sebelum dan
sesudah persalinan spontan antara kelompok inkontinensia urin dengan kelompok normal?

C. Tujuan Penelitian
Mengetahui perbedaan rerata selisih kekuatan otot dasar panggul sebelum dan
sesudah persalinan spontan antara kelompok inkontinensia urin dengan kelompok normal.

D. Kerangka Pemikiran
Dasar panggul merupakan struktur kompleks yang terdiri dari sekelompok otot
yang terdiri dari otot levator ani (iliokoksigeus, pubokoksigeus dan puborektalis) dan otot
koksigeus. Otot dasar panggul mempunyai 3 fungsi utama, yaitu: kontrol sfingter,
penyokong organ abdominopelvis, dan sebagai fungsi seksual. Otot dasar panggul berbeda
dengan kebanyakan otot skelet lainnya yaitu: mempunyai sifat tonus yang konstan, kecuali
pada saat berkemih defikasi dan saat manuver valsava; mampu berkontraksi dengan cepat
misalnya saat batuk atau bersin sehingga bisa mempertahankan kontinensia; dan dapat
berdistensi
selama proses persalinan untuk lewatnya bayi yang kemudian akan berkontraksi untuk

kembali kefungsi normal. (Barber MD, Bremer RE, Thor KB 2002;Coffey SW, Wilder E, Majsak MJ, Stolove R, 2002)

Piliansjah (2003) dalam suatu penelitian deskriptif melakukan pengukuran kekuatan


otot dasar panggul (ODP) dengan perineometer. Dari 50 orang perempuan nulipara,
primipara dan multipara yang datang ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM),
didapatkan kecenderungan melemahnya kekuatan otot dasar panggul antara primipara dan
multipara, walaupun pada para 2 dan 3 menunjukkan hasil yang sama. Penelitian
mendapatkan bahwa hampir semua
perempuan yang melahirkan anak pertama secara pervaginam akan mengalami denervasi
parsial pada dasar panggul, namun semua denervasi yang terjadi adalah ringan dan hampir
semuanya mendekati normal dalam dua bulan post partum.(Piliansjah T, Somad NM, 2003; Eason E,

Labrecoue M, Marcoux S, Mondor M, 2004)

Dietz (2002) membandingkan tiga teknik yang berbeda dalam menilai kekuatan
ODP yaitu pemeriksaan digital, perineometri dan ultrasonografi (USG). Penelitian ini
melibatkan 48 perempuan dengan disfungsi saluran kemih bawah dan atau prolaps organ
panggul. Didapatkan korelasi kuat antara perineometri dan palpasi, dengan nilai kappa 0,73
(konfidens interval 95%), sedangkan parameter ultrasonografi yang mempunyai hubungan
kuat hanyalah mobilitas leher kandung kemih saja. Pengukuran dengan perineometer
dianggap sebagai baku emas dalam menilai kekuatan otot dasar panggul. Teknik terbaru
adalah dengan cara melakukan ultrasonografi transperineal, yang dapat menentukan elevasi
leher kandung kemih, perubahan sudut antara sambungan uretrovesika dan batas
(Isherwood PJ, Rane A, 2000; MacLennan AH,
simfisis serta perubahan inklinasi uretra proksimal. Taylor AW,
Wilson DH, Wilson D, 2000; Dietz HP, Jarvis SK, Vancaillie T, 2002; Chaliha, Charlotte, 2006)

Stress inkontinensia urin merupakan bentuk inkontinensia urin (IU) yang paling
banyak terjadi, didefinisikan sebagai pengeluaran urin yang tidak dapat dikontrol,
disebabkan karena tekanan intravesika cenderung melebihi tekanan penutupan uretra, yang
berhubungan dengan aktivitas tubuh (batuk, tertawa, kegiatan fisik) sedangkan kandung
kemih tidak berkontraksi. Beberapa faktor resiko obstetrik seperti kehamilan, paritas, cara
lahir, persalinan pervaginam dengan bantuan vakum ataupun forsep, episiotomi, ruptur
perineum baik akibat episiotomi ataupun ruptur perineum spontan, riwayat SIU saat hamil
dan berat lahir
bayi, telah dilaporkan oleh beberapa peneliti mempengaruhi angka SIU post partum. (Culligan

PJ, Heit M, 2000; Viktrup L, Lose G, 2000;Eason E, Labrecoue M, Marcoux S, Mondor M, 2004)

Selama kehamilan terdapat perubahan pada traktus urinarius bawah yang


disebabkan oleh pengaruh hormonal. Mukosa uretra akan tampak hiperemis dan membesar,
epitel transisional akan berubah menjadi skuamosa akibat peningkatan hormon estrogen.
Uretra secara pasif akan memanjang sampai 5 cm karena kandung kemih akan terdesak
oleh turunnya kepala bayi dan besarnya uterus.
Penelitian menyatakan bahwa tekanan penutupan uretra meningkat dari 61 cmH2O menjadi
73 cmH2O. Peningkatan ini akan menjaga agar wanita hamil tetap kontinen. Kandung
kemih akan bergeser ke arah anterior dan superior sesuai dengan usia gestasi sehingga
kandung kemih akan lebih cenderung berada di abdomen daripada di pelvis pada trimester
ketiga. Hormon estrogen akan menyebabkan hipertrofi otot detrusor sementara hormon
progesteron akan menyebabkan hipotonia otot detrusor sesuai dengan peningkatan
kapasitas kandung kemih. Sebagai reaksi efek progesteron di atas maka tekanan kandung
kemih meningkat dari 9 cmH2O pada awal kehamilan menjadi 20 cmH2O pada
(Eason E, Labrecoue M, Marcoux
hamil cukup bulan dan akan kembali normal saat post partum. S,

Mondor M, 2004; De Lancey JO, 2008)

Persalinan spontan dibagi menjadi tiga tahap yaitu: kala I dimulai saat awal serviks
berdilatasi sampai dilatasi lengkap, kala ll dimulai ketika dilatasi serviks sudah lengkap
dan berakhir ketika janin lahir, kala lll dimulai segera setelah janin lahir, dan berakhir
ketika lahirnya plasenta serta selaput ketuban janin. Pada akhir kala ll oksiput mencapai
dasar panggul pada posisi oksipitoanterior. Proses ini mendorong kepala melalui introitus
vagina menghasilkan penurunan ke arah bawah dari dasar panggul, sehingga sebagian
besar tekanan uterus diarahkan ke perineal body dan anorektum. Selanjutnya penurunan
janin mendorong kepala lebih maju sehingga oksiput dilahirkan dan meningkatnya
regangan di sekitar pubis. Saat puncak kepala, dahi serta wajah lahir, terjadi regangan serta
tekanan
ke belakang arah sfingter anal. Selama kala ll struktur dasar panggul mempunyai risiko

kerusakan yang tinggi. (Santoro GA, Budi Iman, 2002; De Lancey JO, 2008)
Kerusakan dasar panggul terjadi terutama pada proses persalinan pervaginam
pertama yang diakibatkan oleh penekanan pada jaringan lunak. Proses kala ll persalinan
akan menimbulkan tekanan antara kepala bayi dengan dinding vagina rata-rata 100-230
mmHg. Bila keadaan ini terjadi dalam waktu yang lama maka tekanan obstetrik ini dapat
menimbulkan perubahan fisik secara permanen. Persalinan sebagai faktor yang
menyebabkan terjadinya stress inkontinensia urin pada wanita telah dinyatakan oleh
beberapa studi yang melihat hubungan antara paritas dan stress inkontinensia urin. Ada
beberapa penjelasan
yang dapat disimpulkan: (Daneshgari F, Moore C, 2007; Goldberg RP, Kwon C, Gandhi S, 2007; De Lancey JO, 2008)

1. Persalinan merusak dasar panggul karena terjadinya regangan kuat sehingga terjadi
kerusakan dan kelemahan otot serta jaringan ikat.
2. Kerusakan dapat juga ditimbulkan oleh laserasi dan episiotomi karena dapat
menyebabkan pergeseran organ pelvis dari posisi yang seharusnya.
Viktrup (2000) menyatakan bahwa kejadian SIU post partum berhubungan bermakna
secara klinis dan statistik dengan persalinan pervaginam dan beberapa faktor resiko
obstetrik seperti: lama kala ll, berat bayi lahir, dan lingkar kepala bayi. Wilson (1996)
melakukan studi retrospektif mengenai prevalensi stress inkontinensia urin pada wanita 3
bulan pasca melahirkan pervaginam dan didapatkan dari 1505 responden terdapat 516
responden (34,3%) dengan inkontinensia urin dan yang terbanyak adalah jenis SIU (n=360;
23,9%). Pada responden primipara (n=607) 62,60% mengalami stress inkontinensia urin
dimana onsetnya mulai selama kehamilan, 19,4% menyatakan bahwa onsetnya pada saat
sebelum hamil dan 17,6% onsetnya begitu setelah lahir. Maclennan (2000) melakukan
studi cross sectional untuk mengetahui prevalensi kejadian SIU pada wanita dihubungkan
dengan usia, paritas dan cara melahirkan. Dari 1546 wanita yang diwawancara, SIU terjadi
pada 322 wanita (20,8%). Berdasarkan data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa SIU
dipengaruhi oleh kekuatan otot dasar
panggul. Sedangkan kekuatan otot dasar panggul itu sendiri, dipengaruhi oleh proses

(Wilson J, Potters AE, 1996; Viktrup L, Lose G, 2000; MacLennan AH, Taylor AW, Wilson DH,
kehamilan dan persalinan.
2000)

E. Hipotesis Penelitian
Perbedaan rerata selisih kekuatan otot dasar panggul sebelum dan sesudah
persalinan spontan pada kelompok stress inkontinensia urin lebih besar daripada kelompok
normal.

F. Manfaat Penelitian
1. Keilmua
Sebagai data dasar untuk mengetahuiperbedaan rerata selisih kekuatan otot dasar panggul sebelum
dan sesudah persalinan spontan antara kelompok stress inkontinensia urin dengan kelompok
normal.
2. Pelayanan
Meningkatkan pelayanan obstetri dengan adanya pemeriksaan kekuatan otot
dasar panggul sebelum dan sesudah persalinan spontan terhadap kejadian stress
inkontinensia urin.
3. Penelitian
Menggugah penelitian selanjutnya tentang faktor-faktor resiko yang
berhubungan dengan kelemahan otot dasar panggul dan stress inkontinensia urin.

BAB II KAJIAN

PUSTAKA

2.1 Inkontinensia Urinae

2.1.1 Pengertian

Inkontinensia urinae menurut International Continence Society (ICS)

didefinisikan sebagai keluarnya urinae tanpa disadari (involunter) atau tidak bisa ditahan

akibat disfungsi otot dasar panggul karena trauma atau penyebab lain pada saraf

pudendal yang dapat menimbulkan masalah sosial dan higiene (Lapitan, 2001).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa jenis inkontinensia urinae yang terbanyak pada

wanita pasca partus adalah inkontinensia urinae tipe stres (Viktrup, 2002). Inkontinensia

urinae tipe stres didefinisikan sebagai pengeluaran urinae yang tidak dapat dikontrol,

disebabkan karena tekanan intravesika cenderung melebihi tekanan penutupan uretra

yang berhubungan dengan aktivitas tubuh seperti batuk, bersin, tertawa atau kegiatan

fisik, sedangkan kandung kemih tidak berkontraksi (Junizaf, 2002).

Inkontinensia urinae bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu gejala yang

menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta menurunkan kualitas hidup.

Dampak negatif kondisi ini adalah dijauhi orang lain karena penderita mengalami

kelemahan otot dasar panggul yang mengakibatkan tidak bisa menahan miksi sehingga

berbau pesing, terjadi infeksi di daerah kemaluan, tidak dapat beraktivitas dengan baik

dan tidak nyaman dalam hubungan seksual sehingga dapat menurunkan kualitas hidup
seseorang (Santoso, 2008).

7
8

2.1.2 Klasifikasi Inkontinensia Urinae

Menurut Trimutiara (2010), inkontinensia urinae berdasarkan sifat

reversibilitasnya dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

a. Inkontinensia urinae akut (Transient incontinence):

Inkontinensia urinae ini terjadi secara mendadak dan biasanya berkaitan

dengan kondisi sakit akut.

b. Inkontinensia urinae kronik (Persisten incontinence):

Tidak berkaitan dengan kondisi akut dan dikelompokkan menjadi beberapa

tipe: stress, urge, overflow, mixed.

Gambar 2.1
Inkontinensia urinae tipe stres
(Sumber:http://www.singhealth.com.sg/PatientCare/ConditionsAndTreatments

/Pages/Stress-Incontinence.aspx)

2.1.3 Inkontinensia Urinae Tipe Stres Pasca Partus Normal

Pasca partus normal dapat menyebabkan gangguan dasar panggul

sebagai konsekuensi dari regangan dan lemahnya otot serta jaringan ikat

selama proses partus akibat dari produksi hormon progesteron dan relaksin

selama kehamilan dan partus, regangan selama partus normal dapat

mengganggu saraf pudendus dan saraf-saraf di pelvis sehingga bersamaan


dengan lemahnya otot dan jaringan ikat menyebabkan kontraksi penutupan

uretra tidak adekuat, karena tekanan intravesika cenderung melebihi tekanan

uretra yang berhubungan dengan aktivitas tubuh seperti tertawa, bersin atau

batuk secara tidak sadar urinae keluar, selanjutnya pada saat melakukan

hubungan seksual klien merasa tidak nyaman karena harus memakai pembalut

akibat urinae yang keluar tanpa bisa ditahan, sedangkan kandung kemih tidak

berkontraksi (Daneshgari dan Moore, 2007).

Menurut Golberg, et.al., (2003) yang melakukan penelitian

berdasarkan analisa univariat wanita dengan riwayat partus normal secara

bermakna lebih cenderung untuk mengalami inkontinensia urinae tipe stres

dibandingkan dengan tanpa partus normal dengan nilai rata-rata (n=201)

sejumlah 50,4% yang secara bermakna lebih tinggi jika dibandingkan wanita

tanpa partus normal sebelumnya 39%. Penelitian selanjutnya pada nulipara

didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu 10%, dan meningkat

sampai 20% pada wanita dengan 5 anak. Kemudian wanita multiparitas

mempunyai resiko 1,46 kali untuk terjadi inkontinensia urinae tipe stres

dibandingkan dengan primiparitas mempunyai risiko 1,5 kali (Daneshgari dan

Moore, 2007).
2.1.4 Faktor Risiko Inkontinensia Urinae

Faktor risiko inkontinensia urinae adalah sebagai berikut:

1) Faktor kehamilan dan persalinan

a. Efek kehamilan pada inkontinensia urinae tampaknya bukan sekedar

proses mekanik, inkontinensia urinae pada perempuan hamil dapat

terjadi dari awal kehamilan hingga masa nifas.

b. Prevalensi inkontinensia urinae meningkat selama kehamilan dan

beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah persalinan.

c. Tingginya usia, paritas dan berat badan bayi tampaknya juga

berhubungan dengan inkontinensia urinae.

2) Wanita dengan massa indeks tubuh lebih tinggi cenderung lebih banyak

mengalami inkontinensia urinae.

3) Menopause juga cenderung menjadi kontributor untuk risiko terjadinya

inkontinensia urinae (Huang, et.al., 2007).

2.1.5 Prognosis Inkontinensia Urinae Pasca Partus Normal

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa rata-rata keberhasilan

melatih otot dasar panggul untuk mencegah inkontinensia urinae dilaporkan

sebesar 56%-75% (Freeman, 2004). Ibu pasca partus dengan inkontinensia

urinae menetap selama tiga bulan setelah melahirkan dan yang menerima

latihan otot dasar panggul mengalami penurunan kejadian daripada ibu pasca

partus yang tidak mendapatkan perawatan latihan (menurun sekitar 20%)

setelah 12 bulan. Terlihat bahwa semakin sering dalam menjalankan program,

maka efeknya semakin besar (Callahan, et.al., 2004). Insiden mencapai 40%
dan 20% disertai gejala yang berat, kebanyakan kasus inkontinensia meningkat

setelah partus dengan angka insidensi pasca partus normal dengan

inkontinensia urinae tipe stres tepatnya mencapai 15%. Mengapa inkontinensia

urinae tipe stres harus muncul saat pasca partus normal masih belum jelas,

tetapi ternyata memiliki efek pada proses kelahiran pervaginam atau normal.

Jika perlekatan pelvis fasia dan fungsi sfingter tidak mengalami kerusakan saat

kelahiran, maka perubahan dalam masa antenatal kembali seperti kondisi

belum hamil dengan kembalinya fungsi uretra secara normal dan tidak terjadi

inkontinensia. Namun, jika struktur ini mengalami kerusakan saat proses partus

atau selama kondisi tidak hamil sudah lemah, maka usaha untuk perbaikan

tidak akan memberi hasil yang baik. Pada studi yang tidak dipublikasikan pada

wanita yang diteliti ulang selama 6 tahun setelah proses partus, ditemukan 30%

wanita dengan rerata onset baru wanita dengan kontinensia 3 bulan pasca

partus, dan 27% dari mereka akan terjadi perbaikan secara spontan setelah 6

tahun (Anonim, 2011).

2.2 Anatomi dan Fisiologi

2.2.1 Anatomi Sistem Urinaria Bagian Bawah

Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas kandung kemih dan uretra

yang keduanya harus bekerja secara sinergis untuk dapat menjalankan

fungsinya dalam menyimpan (storage) dan mengeluarkan (voiding) urinae.

Pada perbatasan antara kandung kemih dan uretra berupa sfingter uretra

interna. Sfingter interna ini selalu tertutup pada saat fase pengisian (filling) atau

menyimpan, dan terbuka pada saat isi kandung kemih penuh dan saat miksi
atau pengeluaran (evacuating). Sfingter ini membuka pada saat miksi sesuai

dengan perintah dari korteks serebri (Ganong, 2003).

Gambar 2.2
Kandung Kemih Wanita (Alcamo, 2003)
Jika terjadi kerusakan dinding kandung kemih, maka visko elastisitas

dan komplians kandung kemih menurun, yang berarti pengisian urinae pada

volume tertentu menyebabkan kenaikan tekanan intravesika yang cukup

besar (Purnomo, 2003).

2.2.2 Anatomi Dasar Panggul (Pelvic Floor)

Dasar panggul membentuk landasan bagi panggul dan terdiri atas

otot perineum, fasia dan levator ani profunda, serta otot koksigeus. Dasar

panggul adalah diafragma muskuler yang memisahkan kavum pelvis di

sebelah atas dengan ruang perineum di sebelah bawah. Sekat ini dibentuk

oleh otot levator ani, otot koksigeus dan seluruhnya ditutupi oleh fasia

parietalis (Lubis, 2009).

Menurut Roger (2003), dasar panggul terdiri dari organ pelvis di luar

peritoneum, fasia endopelvis, dan tiga lapisan grup otot yang terdiri dari otot

diafragma pelvis lapisan terdalam, otot diafragma uroginetalis lapisan

tengah, dan lapisan terluar adalah otot sfingter, rektum dan traktus

uroginetalis.
Gambar 2.3
Pelvis Tampak Sisi Samping (Alcamo, 2003)

2.2.3 Anatomi Tulang Panggul (Pelvis)

Tulang panggul atau pelvis merupakan komposisi dari tiga buah

tulang yaitu dua tulang kokse (coxae), tulang sakrum (sacrum), dan tulang

koksigeus (coccygeus). Tulang kokse terdiri dari tulang ilium, tulang pubis,

dan tulang iskium. Tulang pubis terdiri dari ramus superior ossis pubis dan

ramus inferior ossis pubis. Kedua ramus tersebut dibatasi oleh foramen

obturatorium. Tulang koksigeus terbentuk dari tiga atau empat vertebra

yang berangsur mengecil dari atas ke arah bawah (Alcamo, 2003).

2.2.4 Otot-Otot Dasar Panggul (Pelvic Floor Muscle)

Otot-otot dasar panggul memegang peranan penting dalam

menyokong kandung kemih, harus mampu berkontraksi secara volunter

(cepat pada satu waktu) dan dapat mempertahankan tonus istirahat secara

berkelanjutan. Penyokong organ pelvis yang utama ada pada otot levator

ani, saat otot ini berkontraksi, leher kandung kemih terangkat dan

membantu menahan gaya yang timbul dari setiap peningkatan tekanan intra

abdominal atau intra uretra (Trimutiara, 2010).


A. Diafragma pelvis (lapisan terdalam) terdiri dari:

Gambar 2.4
Diafragma Pelvis (Alcamo, 2003)

1) Otot levator ani, otot levator ani terdiri dari 3 regio otot yakni otot

puborektalis, pubokoksigeus, dan iliokoksigeus. Kontinensia

dipertahankan terutama oleh serabut medial levator ani. Pada serabut

otot ini terdapat kombinasi serabut slow twitch dalam respon postural

dan fast twitch untuk stimulus yang bersifat mendadak.

2) Otot iskiokoksigeus, berfungsi menyangga isi pelvis dan sebagai

stabilitas sendi sakroiliaka (Bobak, 2004).

B. Diafragma urogenital (lapisan tengah), merupakan lapisan muskulo

membran yang terletak superfisial dari diafragma pelvis. Berfungsi

menekan uretra dan dinding depan vagina, menyangga tubuh perineal

dan introitus (Bobak, 2004).

C. Lapisan terluar dibentuk oleh otot bulbospongiosus, iskhiokavernosus,

bulbokavernosus, dan tranfersus perinei superfisialis (Bobak, 2004).

D. Otot perineum, bagian atas dan bawah dibatasi oleh permukaan bawah

otot dasar panggul dan kulit antara panggul dan paha, bagian lateral

dengan ramus iskiopubis diantara anus dengan komissura posterior, dan

bagian posterior dibatasi oleh tulang koksik (Bobak, 2004).


2.2.5 Disfungsi Otot Dasar Panggul

Disfungsi dasar panggul dapat menimbulkan berbagai gejala yang

mengganggu kualitas hidup seperti inkontinensia urinae, inkontinensia alvi,

prolaps organ panggul, dan disfungsi seksual. Kebanyakan disfungsi dasar

panggul dihubungkan dengan kelemahan dasar panggul setelah persalinan,

terutama pada persalinan primer dan meningkat pada persalinan sekunder

(Junizaf, 2002). Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan otot dasar

panggul melemah sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik. Kekendoran

otot-otot yang melingkari vagina sering disebabkan oleh proses kelahiran

anak melalui vagina. Hampir 50% wanita yang pernah melahirkan akan

menderita prolaps organ genitourinaria dan 40% disertai inkontinensia

urinae. Diantara kondisi ini inkontinensia urinae tipe stres merupakan salah

satu yang paling tinggi prevalensinya (Wyman, 2003).

Faktor multiparitas memegang peranan penting dalam peningkatan

kejadian inkontinensia urinae tipe stres yaitu lebih tinggi dibandingkan

dengan primiparitas (64,96% : 7,09%). Proporsi inkontinensia urinae setelah

6 minggu partus normal lebih tinggi dibandingkan dengan partus

perabdominam (44,44% : 15,5%), demikian pula pasca partus pervaginam

dengan alat mempunyai proporsi 55% dibandingkan dengan 39,74% pasca

partus normal (Bajuadji, 2004). Hal ini menginformasikan bahwa angka

kejadian inkontinensia urinae tipe stres cukup tinggi sehingga memerlukan

penanganan yang sungguh-sungguh dan sesuai.


2.2.6 Pengukuran Kekuatan Otot Dasar Panggul (Pelvic Floor Muscle)

Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengevaluasi fungsi

dan kekuatan otot dasar panggul yaitu metode untuk menilai kontraksi otot

dan metode untuk menilai kuantitas kekuatan otot. Metode untuk menilai

kuantitas kekuatan otot yaitu menggunakan Manometer, cara ini telah

dilakukan Kegel menggunakan alat yang dimasukkan ke vagina untuk

mengukur kekuatan otot dasar panggul yang disebut “Perineometer”.

Perineometer menggunakan satuan mmHg dan memiliki skala 0-12 mmHg,

dimana otot dasar panggul dikatakan baik bila pada pengukuran didapatkan

nilai kekuatan otot dasar panggul ≥ 8 mmHg (Kari dan Sherburn, 2005).

Dari penelitian Rahmani (2011), Perineometer terbukti dapat

diandalkan untuk pengukuran kekuatan dan daya tahan tingkat tinggi. Hasil

menunjukkan bahwa perineometer tampaknya menjadi metode yang sangat

handal untuk mengukur kekuatan otot dasar panggul dan daya tahan saat

pengukuran dilakukan dalam subjek yang sama.

2.3 Fisiologi Otot

Otot merupakan kumpulan banyak serabut-serabut otot halus yang berjalan

sejajar. Satu serabut otot terdiri dari banyak miofibril, dan satu miofibril terdiri

dari banyak sarkomer yang berjalan secara seri. Sarkomer merupakan unit

kontraktil pada miofibril dan merupakan komposisi tumpang tindih yang

terbentuk dari protein-protein kontraktil aktin (filamen tipis) dan miosin (filamen

tebal) yang membentuk cross-bridges. Sarkomer ini membuat otot mempunyai

kemampuan untuk berkontraksi dan relaksasi (Ganong, 2003).


Filamen tipis tersusun dari aktin, tropomiosin dan troponin, sedangkan

filamen tebal tersusun dari miosin dengan diameter kurang lebih dua kali diameter

filamen tipis. Troponin terdiri atas 3 sub unit yakni troponin I, T dan C. Filamen

tebal merupakan barisan yang membentuk pita A (A-band) yang padat dan

filamen tipis membentuk pita I (I-band) yang kurang padat (Ganong, 2003).

Molekul tropomiosin adalah filamen panjang yang terletak pada alur

antara dua rantai aktin. Molekul troponin merupakan unit globular kecil yang

terletak berselang seling sepanjang molekul tropomiosin. Troponin T

menghubungkan komponen troponin lainnya dengan tropomiosin, troponin I

menghambat pengaruh timbal balik miosin dengan aktin, dan troponin C

mengandung tempat ikatan untuk Ca2+ yang mengawali kontraksi. Sedangkan

proses yang menyebabkan pemendekan unsur-unsur kontraktil otot adalah

pergeseran filamen tipis pada filamen tebal. Lebar jalur A adalah tetap, sedangkan

garis-garis Z (kedua ujung sarkomer) saling mendekati apabila otot berkontraksi

dan saling menjauhi apabila otot dalam keadaan istirahat (Sherwood, 2001).

Berbagai otot yang berbeda memiliki sifat yang berbeda pula sesuai

dengan sifat serabut-serabutnya. Setiap motor neuron spinal mensarafi hanya satu

jenis serabut otot, sehingga seluruh serabut otot dari satu motor unit ada dari jenis

yang sama. Terdapat dua jenis serabut otot atas dasar sentakan kontraksi dan

kecepatan daya hantar aksonnya yakni kedut otot lambat atau tipe I (slow twitch

fiber) dan kedut otot cepat atau tipe II (fast twitch fiber). Umumnya unit otot

lambat mendapat persarafan dari motor neuron yang halus, mempunyai daya

tahan terhadap kelelahan dan merupakan unit yang paling banyak digunakan.
Serabut otot lambat berwarna lebih merah, responnya lambat, mempunyai waktu

kerut yang panjang, dapat menyesuaikan diri untuk kontraksi yang memanjang,

lambat guna menahan sikap atau stabilisasi. Sedangkan otot cepat berwarna lebih

pucat, mempunyai waktu kerut yang pendek, cepat otot ini khusus untuk gerakan-

gerakan yang halus dan terampil (Sherwood, 2001).

2.4 Neurofisiologi Kandung Kemih dan Uretra

Menurut Freeman (2004), pada dasarnya berkemih adalah suatu refleks

spinal yang dirangsang dan dihambat oleh pusat di otak, seperti halnya

perangsangan defekasi. Urinae yang masuk ke dalam kandung kemih tidak

menimbulkan tekanan intra vesikal yang berarti sampai kandung kemih benar-

benar terisi penuh. Seperti otot polos lainnya, otot kandung kemih juga

mempunyai sifat elastis bila diregangkan. Pengosongan kandung kemih

melibatkan banyak faktor seperti tekanan intra vesikal yang dihasilkan oleh

sensasi rasa penuh merupakan berkontraksinya kandung kemih secara volunter.

Sistem saluran kemih bagian bawah mendapatkan inervasi dari serabut

saraf aferen yang berasal dari kandung kemih dan uretra serta serabut saraf eferen

berupa sistem parasimpatik, simpatik dan somatik. Serabut saraf aferen dari

dinding kandung kemih menerima impuls reseptor regangan dari kandung kemih

yang dibawa oleh nervus pelvikus ke korda spinalis S 2-4 dan diteruskan sampai ke

otak melalui traktus spinothalamikus. Sinyal ini akan memberikan informasi

kepada otak tentang volume urinae di dalam kandung kemih. Impuls ini dibawa

oleh nervus pudendus menuju korda spinalis S2-4 (Huang, et.al., 2007).
Serabut eferen parasimpatik berasal dari korda spinalis S2-4 dibawa oleh

nervus pelvikus dan memberikan inervasi pada otot detrusor. Asetilkolin (Ach)

adalah neurotransmitter yang berperan dalam penghantaran sinyal saraf

kolinergik, yang setelah berikatan dengan reseptor muskarinik menyebabkan

kontraksi otot detrusor. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa

kontraksi detrusor dan terbukanya sfingter uretra. Sedangkan serabut saraf

simpatik berasal dari korda spinalis thorako-lumbal (T10-L2) yang dibawa oleh

nervus hipogastrikus menuju kandung kemih dan uretra (Huang, et.al., 2007).

Pada saat kandung kemih sedang terisi terjadi stimulasi pada sistem

simpatik yang mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna (menutupnya leher

kandung kemih), dan inhibisi sistem parasimpatik berupa relaksasi otot detrusor.

Kemudian pada saat kandung kemih terisi penuh akan timbul keinginan untuk

miksi, timbul stimulasi sistem parasimpatik dan menyebabkan kontraksi otot

detrusor serta inhibisi sistem simpatik yang menyebabkan relaksasi sfingter

interna (terbukanya leher kandung kemih). Miksi kemudian terjadi jika relaksasi

sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi tekanan intra uterina

(Huang, et.al., 2007).

2.4.1 Mekanisme Berkemih Normal

Berkemih adalah proses dimana terjadi penyimpanan urinae dan

pengosongan urinae. Dua proses ini terus terjadi dalam setiap proses

kehidupan. Proses penyimpanan berawal dari pembentukan urinae di ginjal.

Darah dari arteriola aferen mengandung glukosa, garam, protein dan urea

mengalir ke dalam glomerulus dan menyaring darah serta melepas zat yang
tidak dibutuhkan seperti garam, air dan urea masuk ke dalam kapsul bowmen.

Sekresi yang tidak dibutuhkan dilepas lebih banyak dalam proses

penyaringan aliran darah. Glukosa, air dan sebagian garam diserap kembali

dari tubulus kontortik proksimal. Kemudian akan masuk ke fase tubular

reabsorbsi. Dari 180 lt plasma difiltrasi akan menjadi 178,5 lt diabsorbsi

kembali menjadi 1,5 lt menjadi urinae. Kapasitas reabsorbsi tubulus meliputi

air 99%, natrium 99,5%, glukosa 100%, urea 50% dan phenol 0% (Ganong,

2003).

Pada orang dewasa sehat, kerja kandung kemih dapat dibagi dalam

dua fase; fase pengisian, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar

urinae yang masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan

kandung kemih berfungsi sebagai pompa serta menuangkan urinae melalui

uretra dalam waktu relatif singkat. Pada keadaan normal selama fase

pengisian tidak terjadi kebocoran urinae, walaupun kandung kemih penuh

atau tekanan intra abdominal meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-

loncat sehingga memperbesar keinginan miksi. Pada fase pengosongan, isi

seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat

mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar,

tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih

yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga

meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung

kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme

penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka uretra tetap
tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat,

sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra, uretra

membuka dan urinae memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-

otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu

fase pengeluaran. Frekuensi berkemih yang normal adalah 8 kali perhari (saat

tidur terbangun untuk miksi maksimal 1 kali) dengan asupan cairan yang

normal 2000-2500 ml perhari (Ganong, 2003).

2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Berkemih

A. Persarafan Otot Dasar Panggul

Otot dasar panggul merupakan otot skeletal yang berada di bawah

kontrol kesadaran (volunter) saraf motorik yang dapat dikontraksikan

secara aktif sehingga akan berespon terhadap suatu teknik latihan sama

seperti otot skeletal lainnya. Otot-otot dasar panggul dipersarafi oleh

pleksus pudendus yang merupakan sistem persarafan yang berasal dari

nervus sakralis S2,3,4 dan kadang S2-5 (Bobak, 2004).

B. Fungsi Otot Dasar Panggul

Menurut Doughty dan Burns (2006), fungsi otot dasar panggul adalah:

1) Menyangga organ pelvis dan isi abdomen terutama ketika berdiri.

2) Mempertahankan tekanan intra abdominal.

3) Memelihara sudut anorektal dan menutup uretra.

4) Menyangga beban dari tulang punggung (trunk).

5) Stabilisasi pelvispinal dan engikat perineum.

6) Fungsi seksual dan suportir sfingter (Pangkahila, 2005).


2.4.3 Disfungsi Kandung Kemih dan Uretra

Pada keadaan normal urinasi merupakan suatu proses pengaliran

urinae yang sebelumnya ditampung dalam kandung kemih melalui saluran

uretra. Urinae yang ditampung di dalam kandung kemih akan meregangkan

dinding kandung kemih. Saat kapasitas kandung kemih mencapai 200 ml,

regangan pada dindingnya akan menyampaikan sinyal ke otak sehingga kita

menyadari bahwa kandung kemih mulai penuh dan timbul rasa ingin buang

air kecil (Wiknjosastro, 2002). Kemudian sinyal tersebut akan memicu

kontraksi dari otot dinding kandung kemih sehingga akan mendorong urinae

yang ditampung menuju saluran uretra. Tetapi, urinae hanya bisa keluar jika

katup uretra bagian dalam dan bagian luar terbuka. Untuk membuka katup

uretra diperlukan kendali dari otot dasar panggul untuk mengontrol

keluarnya urinae. (Ganong, 2003).

Kegagalan sistem vesiko uretra pada fase pengisian menyebabkan

inkontinensia urinae. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kelainan pada

kandung kemih atau pada sfingter (uretra). Kelainan pada kandung kemih

dapat berupa overaktivitas detrusor dan menurunnya komplians kandung

kemih. Kelainan pada uretra dapat berupa hipermobilitas uretra dan

defisiensi sfingter intrinsik. Kelainan yang berasal dari kandung kemih

menyebabkan suatu inkontinensia urge sedangkan kelainan dari jalan keluar

(outlet) menyebabkan manifestasi berupa inkontinensia stress (Purnomo,

2003).
2.5 Analisa Problematik Fisioterapi Menurut Klasifikasi ICF

Problematik fisioterapi pada stres inkontinensia urinae yang terangkum

dalam komponen International Classification of Functioning, Disability and

Health (ICF) oleh WHO (2001) adalah sebagai berikut:

2.5.1 Body Function and Structure Impairment

Adalah problematik anatomi yang terjadi yaitu kelemahan otot dasar

panggul setelah melahirkan normal (ICF: s620 sructure of pelvic floor) dan

problematik fisiologi sehingga tidak bisa mengontrol buang air kecil (ICF:

b6202 urinary continence), dan terjadi gangguan fungsi seksual (ICF b640:

sexual function).

2.5.2 Activity Limitation and Participation Restriction

Adalah keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti

pekerjaan rumah, berjalan, lari dan bekerja (ICF d640: doing housework).

Adanya gangguan berupa hambatan fungsi seksual saat hubungan suami istri

(ICF b6400: function of sexual arousal phase). Penderita mengalami hambatan

untuk beraktivitas sosial dilingkungannya seperti berbelanja, hal ini dapat

mengakibatkan penderita tidak percaya diri dan merasa kurang dibutuhkan oleh

masyarakat dan lingkungannya (ICF d6200: shopping, informal social

relationships). Selain itu penderita juga mengalami hambatan untuk olahraga

dan rekreasi (ICF d920: recreation and leisure).


2.5.3 Causative factor

1) Faktor internal

a. Umur sangat mempengaruhi kekuatan otot dasar panggul dan

tingkat inkontinensia urinae.

b. Berat badan berpengaruh pada daya tahan otot dasar panggul.

c. Paritas berulang.

d. Perubahan hormonal saat kehamilan dan persalinan.

e. Gangguan neurologi seperti cedera pada saraf pudendus.

2) Faktor eksternal

a. Lingkungan tempat tinggal dengan tata rumah yang bertingkat

dapat berpengaruh terhadap faktor penyebab.

b. Pekerjaan yang berat seperti mengangkat, naik turun tangga,

berdiri atau duduk lama juga sangat berpengaruh.

2.6 Latihan Otot Dasar Panggul (Kegel Exercise)

2.6.1 Definisi Kegel exercise

Kegel exercise merupakan satu seri latihan untuk membangun kembali

kekuatan otot dasar panggul. Terjadinya kelemahan otot dasar panggul pada

wanita pasca partus bisa dilatih untuk dikuatkan kembali dengan metode

Kegel. Metode tersebut diperkenalkan oleh dr. Arnold Kegel pada tahun 1945

seorang obstetric dan ginekologi dari California. Latihan otot dasar panggul

harus dimulai sesegera mungkin setelah persalinan untuk mencegah

hilangnya kendali kortikal pada otot-otot perineum pasca partus normal atau

pervaginam (Pangkahila, 2005).


2.6.2 Tujuan Kegel Exercise

Tujuan kegel exercise adalah untuk meningkatkan tonus dan fungsi

otot dasar panggul pada pasien hamil dan setelah melahirkan yang tidak

mampu mengontrol keluarnya urinae (biasanya inkontinensia urinae tipe

stres). Hal ini bisa terjadi sebagai akibat dari menahan beban janin dalam

kandungan, dan akibat dorongan kepala bayi saat proses kelahiran melalui

vagina. Kerusakan otot dasar panggul ini bisa mengakibatkan terjadinya

prolap dengan derajat keparahan tergantung bagian mana dari otot

pubokoksigeus yang lebih lemah. Kemudian bisa menurunkan kualitas

hubungan seksual ketika wanita tersebut sampai pada fase orgasme karena

otot pubokoksigeus tidak bisa berkontraksi secara maksimal (Pangkahila,

2005).

2.6.3 Teknik Kegel Exercise

Teknik Kegel exercise menurut Neumann, et.al., (2006):

A. Kedutan perlahan tipe I (slow twitch)

Mengencangkan anus seperti menahan defekasi, lalu kerutkan uretra

dan vagina seperti menahan berkemih. Tahan dengan kuat selama

mungkin 10 detik dengan tetap bernapas secara normal, istirahat 10

detik. Lalu ulangi dengan perlahan sebanyak mungkin sampai 10 kali.

B. Kedutan cepat tipe II (fast twitch)

Setelah melakukan gerakan kedutan lambat, ulangi latihan dengan

mengencangkan dan mengendurkan dengan lebih cepat sampai 10 kali


tanpa menahan kontraksi. Untuk merencanakan latihan otot dasar

panggul secara mandiri, harus diingat lamanya dalam detik.

Prosedur latihan otot dasar panggul dapat diingat dan dilakukan

bersama aktivitas yang berkaitan dengan bayi misalnya menyusui,

memandikan bayi dan lainnya. Aktivitas ini dapat dilakukan sambil

duduk di kamar mandi setiap habis berkemih, ini adalah posisi santai

untuk mengkontraksikan otot-otot tersebut (Price, et.al., 2010).

Cara latihan menurut Carriere (2002), untuk mengetahui letak

otot dasar panggul yang akan dilatih sebelum latihan secara kelompok

dilakukan sebagai berikut:

1) Latihan dasar 1

Duduk di kursi yang keras atau duduk bersila dengan badan tegak,

kemudian pasien diminta menghayal untuk menahan keluarnya angin.

Panggul dan paha tidak boleh bergerak. Pada pasien diingatkan bahwa

hanya anus yang berkontraksi, bisa dirasakan timbulnya kerutan pada

kulit di sekitar anus tertarik masuk ke dalam menjauhi dari tempat

duduknya.

2) Latihan dasar 2

Pasien diminta untuk menghayal bahwa kandung kemihnya penuh saat

menunggu toilet yang kosong sehingga harus mengencangkan lubang

kencing agar tidak keluar sebelum jongkok atau duduk di kloset.


3) Latihan dasar 3

Posisi tidur telentang, kedua lutut ditekuk, ujung jari tangan

diletakkan di perineum, kemudian diminta menghayal seakan-akan

ada seseorang yang akan menancapkan tongkat ke perineum. Reaksi

yang timbul adalah perineum menjauhi jari yang ditempelkan tadi.

4) Latihan dasar 4

Posisi sama, letakkan satu jari di tulang ekor dan jari tangan lainnya di

tulang pubis, kemudian diminta mengkontraksikan otot dasar panggul,

bila benar maka akan merasakan gerakan tulang menjauh dari jari

yang ditempelkan.

Pada tahap awal lakukanlah kontraksi selama 5 hitungan dan

istirahat 5 hitungan. Lakukan beberapa kali sehingga bisa merasakan

benar letak otot dasar panggul tersebut. Setelah mampu melakukan

dengan benar, mulailah berlatih 10 kali ulangan. Kemudian secara

perlahan naikkan hitungan kontraksinya hingga bisa menahan

kontraksi selama 15 hitungan, dengan istirahat 10 hitungan

diantaranya. Jumlah kontraksi kira-kira 100 kali dalam 10 sesi

sepanjang hari dari pagi, siang, sore dan malam. Untuk menghindari

kebosanan lakukan variasi dengan latihan dalam posisi merangkak.

Berikan bekal latihan kegel exercise untuk di rumah (home programe)

berupa petunjuk latihan.


Menurut Pangkahila (2005), untuk meningkatkan kekuatan

otot dan daya tahan otot, latihan kontraksi harus dilakukan secara

briefly (singkat), multiple (berulang-ulang), maximally (maksimal),

dan daily (setiap hari).

2.6.4 Mekanisme Peningkatan Kekuatan Otot Dasar Panggul pada

Kegel Exercise

Latihan otot dasar panggul atau “kegel exercise” dapat membantu

memulihkan dan memperkuat otot-otot yang mengelilingi dan mendukung

kandung kemih. Otot-otot ini dikenal sebagai otot pubokoksigeus. Latihannya

bersifat isometrik dimana otot ini tidak terjadi perubahan panjang otot tetapi

beban kerja otot meningkat, dengan peningkatan otot dasar panggul secara

mekanik dapat mengangkat organ pelvis sehingga memberikan tempat pada

kandung kemih kembali ke ukuran semula (Wilson, et.al., 2014).

Beberapa penelitian latihan dasar panggul terjadi perubahan

signifikan dengan pemeliharaan hasil yang baik hampir 2 bulan setelah

perawatan. Pada penderita merasa kontrol kandung kemihnya telah meningkat

sampai setelah 3-6 minggu, kebanyakan melihat peningkatan setelah beberapa

minggu latihan secara rutin dan terus-menerus. Karena akan terjadi proses

adaptasi secara keseluruhan berupa banyaknya serabut dari otot yang bekerja

sehingga akan meningkatkan rekrutmen motor unit dari otot dasar panggul.

Peningkatan rekrutmen motor unit otot dasar panggul akan meningkatkan

kekuatan otot sehingga mempengaruhi daya tahan dan kemampuan untuk

menahan berkemih (Lubis, 2009).


2.7 Biofeedback

Terapi biofeedback melibatkan penggunaan instrumen elektronik atau

mekanik untuk menyampaikan informasi kepada klien tentang aktivitas otot dasar

panggul dan kandung kemih mereka. Tujuan dari terapi ini adalah untuk

menurunkan disfungsi kandung kemih dengan melatih seseorang untuk mengubah

refleks dan kontrol kandung kemih. Kebanyakan perangkat biofeedback

menggunakan informasi layar visual berupa nilai angka atau suara yang

menyatakan kontraksi otot dan tekanan sfingter. Tanpa biofeedback, otot-otot

panggul yang lemah memberikan sensasi atau umpan balik yang terbatas setelah

kontraksi otot panggul, sehingga tidak dicapai kontraksi otot maksimal.

Biofeedback biasanya didasarkan pada pengukuran aktivitas otot-otot dasar

panggul atau tekanan yang dihasilkan oleh vagina atau anus (Levefre, 2000).

Biofeedback merupakan sebuah metode untuk memberikan individu

dengan informasi tentang tubuh mereka, dimana menggunakan suatu alat yang

dapat membantu untuk memastikan apakah latihan sudah dilakukan dengan benar,

karena dengan biofeedback kita dapat melihat hasil dari kekuatan kontraksi otot

dasar panggul dengan melihat nilai angka yang ditunjukkan alat tersebut,

kemudian bisa ditingkatkan menggunakan suara untuk penyemangat sehingga

tercapai angka yang diharapkan. Biofeedback adalah suatu bagian dari prosedur

teurapetik yang menggunakan instrument untuk mengukur, memproses dan

memberikan umpan balik dengan tepat kepada pasien dalam melakukan latihan

(Lubis, 2009).
Salah satu perangkat yang dapat digunakan sebagai biofeedback adalah

perineometer PFX2 sekaligus untuk menilai kekuatan otot dasar panggul

(Isherwood dan Rane, 2000). Indikasi pemakaian biofeedback berdasarkan The

Association Continence Advise (2007):

(1) Penderita dengan stres inkontinensia urinae.

(2) Penderita dengan sindrom kandung kemih yang hiperaktif.

(3) Inkontinensia campuran.

(4) Penderita dengan inkontinensia fekal.

(5) Penderita yang tidak mampu mengkontraksikan otot dasar panggul.

(6) Penderita dengan disfungsi dasar panggul (Morkved, et.al., 2002).

2.7.1 Kombinasi Biofeedback dan Kegel Exercise

Biofeedback dapat dikombinasikan dengan kegel exercise untuk

membantu pasien agar lebih yakin, percaya dan meningkatkan proses

psikologi dalam pengontrolan secara sadar terhadap otot-otot dasar panggul.

Ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul, kandung

kemih, dan gangguan detrusor hiperaktif serta hipoaktif. Penghambatan

kandung kemih menggunakan terapi biofeedback dapat digunakan untuk

mengendalikan inkontinensia urinae tipe stres. Protokol biofeedback yang

paling konsisten pengurangan gejalanya adalah memperkuat kontraksi otot

dasar panggul bersamaan dengan melihat angka yang dihasilkan sehingga ada

umpan balik berupa peningkatan nilai otot dalam penghambatan kontraksi

perut dan kandung kemih. (Neumann, et.al., 2006).


Dengan pemberian latihan kombinasi kegel exercise dan biofeedback

akan mempermudah melakukan kontraksi otot dasar panggul secara selektif

dan benar sehingga diharapkan hasil yang dicapai lebih optimal dan efisien.

2.7.2 Teknik Kombinasi Biofeedback dan Kegel Exercise.

Biofeedback yang digunakan pada kegel exercise adalah menggunakan

perineometer PFX2, dilakukan setelah latihan kegel exercise. Tekniknya

sebagai berikut:

a. Sebelum latihan persiapan alat dalam kondisi steril.

b. Persiapan pasien tidur telentang dengan posisi kepala disanggah bantal

dan kedua lutut ditekuk 900, pasien telah mengosongkan kandung kemih

agar dapat kosentrasi pada saat latihan.

c. Persiapan terapis untuk pengukuran dan latihan berada di samping

pasien. Selama pengukuran dan latihan, pasien diminta melihat angka

pada alat perineometer yang diletakkan di samping pasien. Probe

dimasukkan ke vagina pada posisi yang benar dan ditahan terapis agar

tidak berubah posisi, pasien diminta untuk latihan kontraksi otot dasar

panggul sekuatnya sampai tercapai nilai yang diinginkan sambil melihat

angka pada alat, sehingga pasien mendapat informasi kekuatan kontraksi

ototnya. Latihan selanjutnya dengan cara yang sama minta pasien lebih

bersemangat saat melakukan kontraksi sambil mengeluarkan suara „hup‟

agar dapat tercapai hasil yang lebih tinggi atau meningkat dari nilai

sebelumnya sesuai yang diinginkan. Kemudian catat nilai kekuatan


kontraksi otot dasar panggul hasil pengukuran dan latihan, hasil

pengukuran dan latihan diberitahu kepada pasien.

d. Setelah pengukuran dan latihan semua alat dibersihkan, probe dicuci

dengan sabun dan dikeringkan. Kassa dan kondom bekas pakai dibuang

di tempat sampah.

2.7.3 Mekanisme Peningkatan Kekuatan Otot Dasar Panggul

dengan Kombinasi Biofeedback dan Kegel Exercise

Prinsip latihan pada kegel exercise sebenarnya adalah melatih

untuk mengisolasi gerakan otot, misalnya mencoba menghentikan dan

memulai pengeluaran urinae dan cara mengatur kontraksi otot dasar panggul.

Sedangkan protokol biofeedback yang paling konsisten dalam pengurangan

gejalanya adalah memperkuat kontraksi otot dasar panggul bersamaan dengan

penghambatan kontraksi perut dan kandung kemih (Lubis, 2009).

Studi tentang berbagai aplikasi dari biofeedback dikombinasikan

dengan kegel exercise atau pelatihan kandung kemih melaporkan perbaikan

54-87% pada inkontinensia urinae di berbagai kelompok pasien dengan

beberapa prosedur yang berbeda (Lapitan, 2001).

Anatomi yang berkaitan dengan sistem kendali kontinensia urinae

ada beberapa komponen penting yang berperan ialah otot levator ani yang

berjalan dari tulang pubis menuju ke sfingter ani di balik rektum untuk

menyokong organ pelvis, dihubungkan oleh fasia yang berperan pasif dalam

mekanisme kontinensia, hubungan fasia ini dengan otot levator ani

merupakan elemen penting dalam sistem kendali ini. Hubungan tersebut


memungkinkan kontraksi aktif otot pelvis untuk memicu elevasi leher vesika,

dan relaksasinya menyebabkan penurunan leher vesika. Aktivitas konstan

normal otot levator ani menyokong leher vesika dalam proses miksi normal.

Bagaimana latihan biofeedback dapat menjaga uretra tertutup rapat walaupun

tekanan dalam vesika meningkat pada waktu batuk keras tanpa dapat

mendesak urinae keluar melalui uretra?. Individu dengan lapisan penyokong

yang kuat, uretra akan ditekan antara tekanan abdominal dan fasia pelvis pada

arah yang sama. Kondisi tersebut diibaratkan saat ketika lapisan di bawah

uretra tidak stabil dan tidak memberikan tahanan yang kokoh terhadap

tekanan abdominal yang menekan uretra, maka tekanan yang berlawanan

akan menyebabkan hilangnya penutupan uretra (Santoso, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Kustini (2011), bahwa dengan

pelatihan core stability exercise dan kegel exercise pada wanita multipara

yang dilakukan di Rumah Sakit Setia Mitra Jakarta Selatan selama 8 minggu

pelatihan diperoleh hasil yang sangat signifikan, sebelum dan sesudah

pelatihan terjadi peningkatan kekuatan otot dasar panggul yang sangat

berperan penting dalam menentukan penurunan tingkat inkontinensia urinae

tipe stres yang akan diteliti.

Penelitian lain oleh Widiastuti (2011), menemukan hasil yang

signifikan mengenai kombinasi latihan kegel exercise dengan biofeedback.

Hasil memperlihatkan kombinasi latihan kegel exercise dengan biofeedback

meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan inkontinensia urinae sebesar

91% dibandingkan kelompok kontrol tanpa biofeedback yaitu sebesar 55%.

Anda mungkin juga menyukai