Anda di halaman 1dari 16

PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KARTU INDONESIA

PINTAR TERHADAP PRESTASI SISWA

Mata Kuliah : Metode Penelitian Kuantitatif

Dosen Pengampu : Utami Sulistiana, S.P., M.P.

Disusun Oleh Kelompok 7

1. Oktaviani Askusriyana (17520240)


2. Beben Meira Sudiharto (17520190)
3. Mikhael Zanuardi (17520198)
4. Joni Prianto (17520201)
5. Ariana Febrianti (17520213)
6. Chrismas Rico Lauranda (17520209)

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”

YOGYAKARTA
2018

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Perkembangan jaman yang semakin modern terutama pada era


globalisasi seperti sekarang ini menuntut adanya sumber daya manusia
yang berkualitas tinggi. Peningkatan sumber daya manusia merupakan
persyaratan mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu
bagian penting dalam peningkatan sumber daya manusia adalah melalui
pendidikan formal terhadap anak-anak bangsa. Namun dalam menempuh
pendidikan masih banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan
anak-anak mereka karena keterbatasan biaya. Untuk itu pemerintah
menghadirkan Kartu Indonesia Pintar untuk membantu meringan kan
biaya dan meningkatkan prestasi belajar siswa.

Program Indonesia Pintar (PIP) melalui Kartu Indonesia Pintar


adalah pemberian bantuan tunai kepada anak usia sekolah (usia 6-21
tahun) yang berasal dari keluarga miskin, rentan miskin: pemilik kartu
keluarga sejahtera (KKS), peserta program keluarga harapan (PKH), yatim
piatu, penyandang disabilitas, korban bencana alam/musibah. Program
Indonesia Pintar (PIP) merupakan bagian dari penyempurnaan program
Bantuan Siswa Miskin (BSM).

Kartu Indonesai Pintar atau KIP merupakan salah satu program


yang dicanangkan oleh pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan.
Keberadaan Kartu Indonesia Pintar ini adalah untuk membantu warga
negara usia belajar yang tidak mempunyai biaya untuk melaksanakan
wajib belajar 9 tahun. KIP dapat membantu siswa/siswi untuk
meningkatkan prestasi belajar karena dari bantuan yang diberikan para
siswa dapat membeli kebutuhan untuk proses belajar contohnya seperti
buku-buku pelajaran di luar sekolah sehingga siswa dapat belajar di luar
jam sekolah secara mandiri.

Dalam implementasi Kartu Indonesia Pintar, sangat diperlukan


adanya kebijakan yaitu good governance sehingga Kartu Indonesia Pintar
dapat tepat sasaran.

II. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengaruh implementasi kebijakan Kartu Indonesia
Pintar terhadap prestasi belajar siswa?
III. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian kami adalah:
1. Mengetahui pengaruh implementasi kebijakan Kartu Indonesia
Pintar terhadap prestasi belajar siswa.
IV. Manfaat Penelitian
1. Bagi Instansi Dinas Pendidikan
Dapat dijadikan sebagai acuan terkait implementasi kebijakan
Kartu Indonesia Pintar.
2. Bagi Masyarakat
Sebagai tambahan pengetahuan mengenai pengaruh implementasi
kebijakan Kartu Indonesia Pintar terhadap prestasi belajar siswa.
LANDASAN TEORI

I. Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua
kata, yakni prestasi dan belajar. Untuk memahami lebih jauh
tentang pengertian prestasi belajar, peneliti menjabarkan makna
dari kedua kata tersebut.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, pengertian
prestasi adalah hasil yang telah dicapai(dari yang telah diakukan,
dikerjakan, dan sebagainya) (1991: 787). Sedangkan menurut
Saiful Bahri Djamarah (1994: 20-21) dalam bukunya Prestasi
Belajar dan Kompetensi Guru, bahwa prestasi adalah apa yang
telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan
hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Dalam buku yang
sama Nasrun harahap, berpendapat bahwa prestasi adalah
penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan siswa
berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan
kepada siswa.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi
adalah pencapaian terakhir dan terbaik dari hasil kerja keras dalam
berproses.
Selanjutnya untuk memahami pengertian tentang belajar
berikut dikemukakan beberapa pengertian belajar diantaranya
menurut Slameto (2003: 2) dalam bukunya Belajar dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya bahwa belajar ialah suatu usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Muhibbin Syah (2000: 136) bahwa belajar adalah tahapan
perubahan seluruh tingkah laku individu yang relative menetap
sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan proses kognitif. Begitu juga menurut James Whitaker
yang dikutip oleh Wasty Soemanto (1990: 98-99), belajar adalah
proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubhah melalui
latihan dan pengalaman.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas bahwa belajar
merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar dan rutin pada
seseorang sehingga akan mengalami perubahan secara individu
baik pengetahuan, keterampilan, sikap dan tingkah laku yang
dihasilkan dari proses latihan dan pengalaman individu itu sendiri
dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Winkel melalui Sunarto (1996: 162) mengatakan
bahwa “prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar
atau kemampuan seorang siswa dalam melakukan kegiatan
belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya”. Menurut Abu
Ahmadi dan Widodo Supriyono (1990: 130) prestasi belajar
merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang
mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun
dari luar (faktor eksternal) individu.
Berdasarkan beberapa batasan diatas, prestasi belajar dapat
diartikan sebagai kecakapan nyata yang dapat diukur yang berupa
pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai interaksi aktif antara
subyek belajar dengan obyek belajar selama berlangsungnya
proses belajar mengajar untuk mencapai hasil belajar.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar secara
umum menurut Slameto (2003: 54) pada garis besarnya meliputi
faktor intern dan faktor ekstern yaitu:
1) Faktor intern
Dalam faktor ini dibahas 2 faktor yaitu:
a) Faktor jasmaniah mencakup:
(1) Faktor kesehatan
(2) Cacat tubuh
b) Faktor psikologis mencakup:
(1) Intelegensi
(2) Perhatian
(3) Minat
(4) Bakat
(5) Motivasi
(6) Kematangan
(7) Kesiapan
c) Faktor kelelahan
2) Faktor ekstern
Faktor ini dibagi menjadi 3 faktor, yaitu:
a) Faktor keluarga mencakup:
(1) cara orang tua mendidik
(2) relasi antar anggota keluarga
(3) suasana rumah

C. Pengertian dan Konsep Good Governance


Good Governance adalah upaya pemerintahan yang
amanah dan untuk menciptakan good governance pemerintahan
perlu didesentralisasi dan sejalan dengan kaidah penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme
(Sumodiningrat, 1999: 251).

OECD dan World Bank mendefinisikan good


governance dengan penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, sejalan
dengan demokrasi dan dasar yang efisien, penghindaran
salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan
korupsi, baik secara politik maupun administratif,
menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and
political framework bagi tumbuhnya aktivitas
kewiraswastaan (Sedarmayanti, 2012: 10).

Governance, yang diterjemahkan menjadi tata


pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi,
politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan
negara pada semua tingkat.1 Tata pemerintahan mencakup
seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana
warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan
kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi
kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara
mereka (Marthadinata, 2017: 4)

UNDP (United Nations Development Programs) mengajukan


karakteristik Good Governance yang saling memperkuat dan tidak dapat
berdiri sendiri (Sedarmayanti, 2012: 10), sebagai berikut:

1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam


pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui
intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan
berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa
perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.
3. Transparency. Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan arus
informasi. Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat
diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat
dipahami dan dapat dipantau.
4. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani
setiap stakeholders.
5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara
kepentingan yang berbeda untuk memperoleh piliihan terbaik bagi
kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun
prosedur.
6. Effectiveness and efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai
dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang
tersedia sebaik mungkin.
7. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor
swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada
publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas initergantung pada
organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut
untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
8. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai
perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas
serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk
pembangunan semacam ini.
Sumber: (Sedarmayanti, 2012: 10-11).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik terdiri atas:

1. Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara


pemerintahan agar mampu memberikan pelayanan yang mudah, cepat,
tepat, dengan biaya terjangkau.
2. Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan
dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
3. Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjadi
kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan
memadai.
4. Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup
prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan
akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah
dan disiplin.
5. Demokrasi dan partisipasi, mendorong setiap warga untuk
mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses
pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat
baik secara langsung maupun tidak langsung.
6. Efisiensi dan efektivitas, menjamin terselenggaranya pelayanan
terhadap masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia
secara optimal dan bertanggung jawab.
7. Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat,
mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak
tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Good Governance pada esensinya merupakan pemerintahan yang


efektif dan modern, yakni suatu pemerintahan yang demokratik
(demokratic governance) yang elemen utamanya partisipasi masyarakat
(Soeprapto, 2006: 5).
Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu sentral
yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa
ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah
untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah
sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan dan pendidikan
masyarakat, selain adanya pengaruh globalisasi (Sedarmayanti, 2012: 4).

Sebenarnya kalau dicermati paradigma good


governance yang berkembang sekarang ini merupakan
trend global dan tuntutan dalam sistem politik yang
demokratis. Dalam teori dan praktek pemerintahan modern
diajarkan bahwa untuk menciptakan the good governance,
terIebih dahulu perIu dilakukan desentralisasi
pemerintahan. lni searah dengan problematika yang
dihadapi negara sedang berkembang seperti Indonesia,
yang masih disibukkan dengan agenda transisi demokrasi
seperti; pemisahan kekuasaan diantara lembaga yudikatif,
eksekutif dan legislatif; pembagian kekuasaan diantara
pemerintah pusat, regional dan lokal; pemisahanan
kekuasaan atau kewenangan antara negara dan masyarakat,
dan pemisahan antara hak individu dan kekuasaan komunal,
yang semuanya itu bermuara pada inisiatif otonomi
(Soeprapto, 2006: 6).

Definisi utama governance adalah cara-cara


penyelenggaraan kekuasaan, pengawasan, pemerintah, dan
pengaturan. Dua pengertian lainnya mengenai governance
adalah pertama: tindakan, proses, atau kekuasaan
memerintah; kedua: negara sebagai pihak yang diperintah.
Serta pengertian tambahan lainnya mengenai governance
adalah pihak atau institusi yang menciptakan institusi
pemerintah untuk dan tindakan mengatur; tindakan
memerintah dan cara-cara menjalankan kewenangan. Dari
pemahaman yang diberikan oleh Henk Addink maka unsur
dari governance terdiri dari pemerintah yang mewakili
authority (state of being governing), rakyat dan pihak
swasta yang mewakili state of being governed. Ketiga
unsur tersebut menjadi elemen penting dalam menjalankan
sebuah negara karena menurut dari Habibur Rahman dalam
bukunya “Political Science and Government” sebuah
negara harus memiliki rakyat, pemerintah, wilayah dan
kedaulatan jika salah satu dari elemen ini tidak ada maka
tidak bisa dikatakan sebuah negara (Bakry, 2010: 69).

Konsep pemerintahan yang baik (good governance)


tersebut terwujud, jika pemerintahan diselenggarakan
dengan transparan, responsif, partisipasif, taat pada
ketentuan hukum (rule of law), berorientasi pada
konsensus, adanya kebersaman, akuntabilitas dan memiliki
visi stategis. Dikatakan sebagai suatu keadaan atau kondisi,
bila dimungkinkan pemerintahan telah dijalankan sesuai
dengan asas dan konsep good governance, sehingga
keadaan pemerintah telah tertata, teratur, tertib, bersih,
tanpa cacat, baik dan cukup berwibawa. Akan tetapi secara
filosofis good governance, dimaknai sebagai tindakan atau
tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai, dan bersifat
mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi
masyarakat/ publik untuk memwujudkan nilai-nilai itu
dalam tindakan dan kehidupan sehari-hari. Pendapat diatas
menekankan , bahwa faktor utama dari terwujudnya good
governance adalah tindakan atau tingkah laku yang
didasarkan pada nilai-nilai, dalam arti nilai yang baik
(Bakry, 2010: 72).
II. Kerangka Berpikir
A. Implementasi Kebijakan Kartu Indonesia Pintar yang tepat
sasaran, ada aturan mengenai penggunaan KIP, dan dana yang
jelas akan berdampak positif terhadap peningkatan kualitas
prestasi siswa.
B. Implementasi Kebijakan Kartu Indonesia Pintar yang tidak tepat
sasaran, tidak jelas mengenai penggunaan KIP, dan dana yang
sedikit akan menimbulkan prestasi belajar siswa yang kurang baik.

III. Hipotesis
A. Mayor
Implementasi Kebijakan Kartu Indonesia Pintar yang diterapkan
pemerintah, akan mempengaruhi prestasi belajar siswa.
B. Minor
Tidak ada pengaruh antara implementasi kebijakan Kartu
Indonesia Pintar terhadap prestasi belajar siswa.
H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara
implementasi kebijakan KIP dengan prestasi
belajar siswa.
Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara implementasi
kebijakan KIP dengan prestasi belajar siswa.
PROSEDUR PENELITIAN

I. Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain pre-


experimental design (kuantitatif). Dikatakan Pre-experimental design
karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap
terbentuknya variabel dependen. Jadi hasil eksperimen yang merupakan
variabel dependen itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh variabel
independen. Hal ini dapat terjadi, karena tidak adanya variabel kontrol,
dan sampel tidak dipilih secara random. (Sugiyono, 2018 : 74).

II. Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas:


obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. (Sugiyono, 2018: 80). Populasi pada penelitian ini
adalah Siswa Kabupaten Sleman.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang


dimiliki oleh populasi tersebut. (Sugiyono, 2018: 81). Sampel pada
penelitian ini adalah siswa kelas IX A SMP 1 Sleman.

Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel


(Sugiyono, 2018: 81). Dalam penelitian ini, peneliti mengambil metode
sampling purposive. Sampling purposive adalah teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu. Dalam penelitian ini peneliti
mengambil sampel yaitu siswa yang memperoleh KIP.

III. Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematis terhadap gejala-gejala yang dalam proses pembelajaran.
b. Tes
Tea yaitu serentetan pertanyaan atau latihan serta alat yang lain
yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan
intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau
kelompok. Penggunaan teknik ini yaitu untuk mengukur
pengetahuan siswa setelah mengikuti pembelajaran.
IV. Instrumen Penelitian Data
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan mengukur fenomena
alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik fenomena disebut
variabel, dan dalam penelitian ini peneliti menggunakan instrumen
penelitian tes yaitu dengan pemberian pertanyaan-pertanyaan menegnai
materi pelajaran yang telah disampaikan dengan metode tanya jawab dan
lembar observasi aktivitas belajar siswa, yaitu dengan melihat keaktifan
siswa dalam proses pembelajaran.
V. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam pembelajaran ini adalah dengan menggunakan
sebagai berikut:
a. T-test one sample
b. Korelasi product moment
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, dan Supriyono Widodo. (1990). Psikologi Belajar. Jakarta:


Rineka Cipta

Bakry, Ryan, Mohammad. (2010). Implementasi Hak Asasi Manusia


Dalam Konsep Good Governance di Indonesia. Jakarta: Universitas
Indonesia

Djamarah, Bahri, Syaiful. (1994). Prestasi Belajar dan Kompetensi


Guru.Surabaya: Usaha Nasional

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008). Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Kemendikbud. (2016). Apa itu PIP?.


http://indonesiapintar.kemdikbud.go.id/. 11 November 2018.

Marthadinata, Randhy. (2017). Tata Pemerintahan Yang Baik (Good


Governance).http//ejournal.jambi.ac.id/index.php/annahdhah/article/vi
ewFile/98/84. 20 November 2018.

Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan


Pelatiahan Pegawai Negeri Sipil.

Santosa, Pandji. (2012). Administrasi Publik Teori dan Aplikasi


GoodGovernance. Bandung: PT Refika Aditama.

Sedarmayanti. (2012). Good Governance Kepemerintahan Yang Baik.


Bandung: Mandar Maju.

Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.


Jakarta: Rineka Cipta

Soemanto, Wasty. (1990). Psikologi Pendidikan, Landasan Kerja Pemimpin


Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Soeprapto, Riyadi. (2006). Good Governance.
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/
48006389/PENGEMBANGAN_KAPASITAS_PEMERINTAH_DAE
RAHpdf?
AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=15434
29412&Signature=vVDwwpV9SQKfZW7StkY2mTqEFH4%3D&res
ponseContentdisposition=inline%3B%20filename
%3DThe_Capacity_Building_For_Local_Governme.pdf. 27
November 2018

Sumodiningrat, G. (1999). Pemberdayaan Masyarakat & JPS.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sunarto. (1996). “Hubungan Antara Kemandirian, Penguasaan,


Keterampilan dan Aspirasi Kerja Dengan Minat Siswa-Siswi Kelas
Lanjutan SLB/YPAC Surakarta Tahun Ajaran 1995/1996”. Skripsi S1.
Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.

Syah, Muhibbin. (2000). Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru.


Bandung: Remaja Rosda Karya.

Anda mungkin juga menyukai