Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Proteksi radiasi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan atau

teknik yang mempelajari masalah kesehatan manusia mapun lingkungan

dan berkaitan dengan pemberian perlindugan kepada seseorang atau

kelompok orang ataupun keturunannya terhadap suatu kemungkinan yang

dapat merugikan kesehatan akibat paparan radiasi (Akhadi, 2000). Upaya

proteksi radiasi harus dilakukan dengan menerapkan 3 asas meliputi

justifikasi, optimisasi dan limitasi. Asas justifikasi ini setiap kegiatan yang

berhubungan dengan paparan radiasi harus dilakukan pengkajian yang

cukup mendalam. Sedangkan asas optimisasi sering dikenal juga dengan

prinsip ALARA (As Low As Reasonably Achievable) serta asas limitasi

agar dosis yang telah di tetapkan dan semua resiko paparan radiasi yang

cukup tinggi dapat ditangani. Prinsipnya adalah untuk mencegah bahaya

radiasi, membatasi waktu penyinaran dengan sesingkat mungkin dan

menggunakan alat pelindung diri (Akhadi, 2000).

Alat pelindung diri (APD) adalah kelengkapan yang harus digunakan

oleh pekerja radiasi untuk mengurangi resiko kerja dan menjaga

keselamatan pekerja dan orang di sekelilingnya. Alat pelindung diri yang

biasa digunakan oleh pekerja radiasi adalah lead apron, thyroid shield,

gonad shield, gloves, dan kaca mata google (Grover , 2002).

1
2

Menurut Stanford University (2017), lead apron (celemek timbal)

adalah salah satu alat pelindung diri yang dirancang untuk melindungi

tubuh dari radiasi sinar-X yang berbahaya. Menurut PERKA BAPETEN

NO.8 Tahun 2011 Body lead apron yang setara dengan 0,2 atau 0,25

mmPb, untuk penggunaan pesawat sinar-X radiologi diagnostik, dan untuk

lead apron dengan ketebalan 0,35 mmPb atau 0,5 mmPb unruk

penggunaan pesawat sinar-X Intervensional.

Cara perawatan alat pelindung diri perlu dilakukan dengan benar agar

tidak terjadi kerusakan ataupun patahan internal. Kesalahan yang sering

terjadi dalam perawatan lead apron seperti di letakkan di punggung kursi,

di meja, di atas tabir dan lain sebagainya serta meletakkan dengan cara di

tumpuk dapat menyebabkan patahan internal dan mengalami kerusakan

akibat gravitasi. Saat lead apron tidak digunakan, maka sebaiknya

diletakkan dengan posisi horizontal dan tidak bertumpuk (Grover, 2002).

Menurut lloyd (2001), pengujian lead apron dapat dilakukan 1

tahun sekali untuk melihat kondisi fisik lead apron tersebut sesuai dengan

kebutuhan. Metode pengujian yang digunakan untuk menguji lead apron

tersebut adalah dengan cara menggunakan fluoroscopy dan menggunakan

pesawat radiografi konvensional. Menurut Lambert dan Mc Keon (2001),

pengujian dilakukan 12-18 bulan sekali, pengujian ini dilakukan untuk

melihat adanya patahan, robekan, lubang, dan lipatan lead apron. Lead

apron tidak layak digunakan apabila kerusakan lebih dari 15 mm2 pada

daerah yang vital, serta kerusakan lebih dari 670 mm2 pada daerah non
3

vital. Daerah vital lead apron adalah area yang memiliki kerusakan

melebihi 15 mm² pada sekitar organ chest dan pelvis. Sedangkan daerah

non vital adalah area lead apron yang memiliki kerusakan melebihi dari

670 mm² di sepanjang lapisan, di area tumpang tindih atau pada area lead

apron bagian belakang (Stanford University, 2017). Menurut Oyar (2012),

lead apron yang mengalami kebocoran adalah lead apron yang mengalami

patahan atau retakan 4 mm dan lubang 2 mm.

Pada instalasi Radiologi RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten,

mempunyai 24 lead apron yang berada pada ruang radiologi induk, pada

ruang Instalasi Bedah Sentral (IBS), pada ruang Instalasi Gawat Darurat

(IGD), dan pada ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Dari 24 lead

apron, ke 14 lead apron diantaranya sudah pernah diuji setahun yang lalu,

sedang 10 lead apron lainnya diuji 3 bulan yang lalu dan 10 lead apron

tersebut baru saja dibeli akhir tahun 2018 serta jarang sekali digunakan.

Diantara 24 lead apron tersebut memiliki ciri-ciri yang berbeda, 1 lead

apron yang berwarna tosca cream dengan ketebalan sisi bagian depan

sebesar 0,5 mm Pb, 6 lead apron dengan warna biru muda dengan

ketebalan 0,5 mm Pb dibeli pada tahun 2008, 6 lead apron dengan warna

biru elektrik dengan ketebalan sisi bagian depan 0,35 mm Pb dibeli pada

tahun 2013, 2 lead apron model vest and skirt dengan ketebalan vest sisi

bagian depan 0,5 mm Pb dan belakang 0,3 mm Pb, skirt dengan ketebalan

sisi bagian depan 0,3 mm Pb dan sisi bagian belakang 0,3 mm Pb dibeli

pada tahun 2014, dan 10 lead apron berwarna biru dongker sisi depan dan
4

belakang dengan ketebalan 0,5 mm Pb yang dibeli pada tahun 2018.

Perawatan lead apron di Instalasi Radiologi RSUP dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten berdasarkan observasi secara langsung peletakan pada

Unit Radiologi Induk pada rak khusus, namun pada rak khusus tersebut

peletakannya hanya di tumpuk satu sama lain dalam satu rak, pada ruang

Instalasi Bedah Sentral (IBS) peletakkan lead apron hanya di tumpuk di

atas brankard, dan pada ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) peletakkan di

gantung pada gantungan baju, sedang pada ruang Pediatric Intensive Care

Unit (PICU) diletakan diatas mobile unit. Dikarenakan keterbatasan alat

yaitu mengenai tingginya faktor eksposi yang digunakan dan jumlah

eksposi yang digunakan dalam pengujian lead apron di RSUP dr.Soeradji

Tirtonegoro Klaten penguji hendak menguji 7 dari 24 lead apron yang di

curigai mengalami keretakan namun masih digunakan, diketahui dari hasil

pengujian satu tahun yang lalu oleh radiografer di RSUP dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten. Lead apron dengan yang akan diuji yaitu 6 lead

apron berwarna biru elektrik, dan 1 lead apron berwarna tosca cream. Ke

tujuh Lead apron tersebut merupakan lead apron yang sangat sering

digunakan untuk dokter, perawat dan untuk pemeriksaan menggunakan

pesawat sinar-X intervensional, sekaligus sering digunakan oleh keluarga

pasien pada pemeriksaan tertentu seperti pemeriksaan pediatrik dan pasien

non kooperatif.

Pada Instalasi Radiologi RSUP dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten belum

ada kegiatan rutin untuk pengujian dan perawatan lead apron. Maka dari
5

itu agar lead apron tersebut dapat melindungi petugas dari bahaya radiasi

maka penulis ingin mengangkatnya menjadi sebuah Karya Tulis Ilmiah

yang berjudul “PENGUJIAN KELAYAKAN LEAD APRON DI

INSTALASI RADIOLOGI RSUP dr. SOERADJI TIRTONEGORO

KLATEN”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hasil pengujian kelayakan lead apron di instalasi radiologi

RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?

2. Bagaimana rencana tindak lanjut hasil pengujian lead apron di

instalasi radiologi RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hasil pengujian kelayakan lead apron di instalasi

radiologi RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

2. Untuk mengetahui rencana tindak lanjut hasil pengujian lead apron di

instalasi radiologi RSUP dr .Soeradji Tirtonegoro Klaten berdasarkan

standar pengujian.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan untuk pembaca dan

penulis mengenai pengujian kelayakan lead apron serta memberikan

hasil mengenai pengujian lead apron dengan menggunakan metode

radiografi di Instalasi Radiologi RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro

Klaten.
6

2. Manfaat Praktik

Berguna sebagai bahan masukan khususnya bagi Instalasi Radiologi

agar dapat mengetahui kelayakan lead apron di Instalasi Radiologi

RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten masih sesuai standar untuk

digunakan sebagai alat Proteksi Radiasi.

E. Keaslian Penelitian

1. Lambert (2001), “INSPECTION OF LEAD APRON: CRITERIA FOR

REJECTION”. Pengujian lead apron dilakukan 12-18 bulan sekali

untuk melindungi integritas lead apron, dengan menggunakan

fluoroscopy. Persamaannya sama-sama menguji lead apron.

Perbedaannya pada pengujian ini menggunakan pesawat radiografi

konvensional.

2. Pratama (2014) “PENGUJIAN LEAD APRON DI INSTALASI

RADIOLOGI RUMAH SAKIT ROEMANI MUHAMMADIYAH

SEMARANG”. Hasil penelitian ini berupa menguji alat pelindung diri

(lead apron) sejumlah 6 dengan meggunakan pesawat sinar-X

fluoroscopy dan menghasilkan 2 diantaranya lead apron mengalami

robekan dan patahan namun tidak melebihi dari 670 mm² sehingga

masih layak digunakan, 4 lainnya lead apron masih dalam kondisi baik.

Dalam penelitian ini persamaanya adalah sama - sama menguji lead

apron. Perbedaanya adalah waktu pelaksanaan, tempat dan metode

yang berbeda. Pada metode sebelumnya penelitian menggunakan


7

pesawat sinar-X fluoroscopy, sedangkan penelitian ini menggunakan

pesawat radiografi konvensinal.

3. Nikmawati (2018), “EVALUASI PERFORMANCE LEAD APRON DI

INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT ROEMANI

MUHAMMADIYAH SEMARANG”. Hasil penelitian ini berupa menguji

lead apron sejumlah 7 buah dengan hasil 5 lead apron masih layak

digunakan dan 2 lead apron tidak layak digunakan. Persamaannya adalah

sama-sama-sama menguji lead apron dengan pesawat radiografi

konvensinal sedangkan perbedannya pada waktu, tempat, yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai