Anda di halaman 1dari 22

PROSEDUR PERAWATAN DAN PENGUJIAN

LEAD APRON

Disusun sebagai syarat untuk memenuhi tugas


Praktek Kerja Lapangan 4

Oleh :
M. TOHRI GAZALI
NIM:17.01.045

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK RONTGEN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA HUSADA
SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas limpahan

rahmat dan berkat-Nya, hingga penulis dapat menyelesaikan Makalah PKL 4

yang berjudul “Prosedur Perawatan dan Pengujian Lead Apron di Instalasi

Radiologi”.

Makalah ini disusun sebagai syarat untuk memenuhi tugas Praktek Kerja

Lapangan 4. Pada Kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih

kepada:

1. Ibu Dr. Hargianti Dini Iswandari, drg., MM., selaku Ketua STIKES Widya

Husada Semarang.

2. Ibu Nanik Suraningsih, S.ST., M.Kes., selaku Ketua Prodi D-III Teknik

Rontgen STIKES Widya Husada Semarang.

3. Ibu/Bapak Dosen pengajar serta Staf Prodi D-III Teknik Rontgen Stikes

Widya Husada Semarang.

4. Orang tua tercinta dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan,

semangat serta doa.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak

kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun untuk perbaikan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Semarang, Februari 2020

ii
Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................iii

DAFTAR ISI.......................................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................2

1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan ..........................................................................................2

BAB II TUJUAN PUSTAKA..................................................................................3

2.1 Radisi.............................................................................................................3

2.2 Sinar-X........................................................................................................... 3

2.3 Pembentukan Sinar-X....................................................................................3

2.4 Efek Biologi Radiasi.......................................................................................4

2.5 Proteksi Radiasi.............................................................................................5

2.6 Perlengkapan Proteksi Radisi........................................................................8

2.7 Perawatan Lead Apron................................................................................11

2.8 Program Kendali Mutu.................................................................................11

2.9 Pengujian Lead Apron.................................................................................11

BAB III PENUTUP..............................................................................................13

3.1 Kesimpulan .................................................................................................13

3.2 Saran........................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tabung sinar-X (Bushberg dkk, 2012)..............................................4

Gambar 2.2 Lead Apron (Hiswara 2015)..............................................................9

Gambar 2.3 Pelindung Tiroid (Hiswara 2015).......................................................9

Gambar 2.4 Tirai (Hiswara 2015)........................................................................10

Gambar 2.5 Ilustrasi pembaginan lead apron.....................................................12


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Aryawijayanti, dkk., (2015), radiasi merupakan pemancaran

energi dalam bentuk gelombang atau partikel yang dipancarkan oleh sumber

radiasi atau zat radioaktif. Radiasi dipancarkan dari sumber radiasi ke segala

arah. Semakin dekat tubuh dengan sumber radiasi maka paparan radiasi

yang diterima semakin besar. Paparan radiasi sebagian akan menjadi

pancaran hamburan saat mengenai materi. Radiasi hamburan ini akan

menambah jumlah dosis radiasi yang diterima. Untuk mencegah paparan

radiasi tersebut dapat dilakukan dengan menjaga jarak pada tingkat yang

aman dari sumber radiasi.

Peningkatan kualitas dan keamanan dalam pemeriksaan dengan

radiasi pengion memerlukan upaya perlindungan radiasi yang baik. Tujuan

perlindungan atau proteksi radiasi yang baik merupakan upaya untuk

meminimalkan radiasi yang mungkin berlebihan. Upaya ini dilaksanakan

bersama oleh ahli radiologi, praktisi rujukan, teknologi, organisasi

profesional, badan internasional, dan peraturan sangat penting. Filosofi dan

tujuan perlindungan radiasi yang dijelaskan oleh Komisi Internasional

tentang perlindungan radiologis berlaku untuk perlindungan petugas

kesehatan, pasien, dan anggota masyarakat (Vetter dkk, 2016).

Alat pelindung diri (APD) merupakan suatu alat yang dipakai untuk

melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja,

dimana secara teknis dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan


kerja yang terjadi (Zahara dkk, 2017). Perlengkapan proteksi radiasi yang

harus tersedia
pada suatu fasilitas radiodiagnostik adalah lead apron, pelindung tiroid,

sarung tangan, kacamata, pelindung gonad, tirai Pb (Hiswara, 2015).

Lead apron biasanya memiliki ketebalan 0,5 mm Pb. Ini kira-kira

setara dengan 2 HVL, yang seharusnya mengurangi paparan kerja hingga

25%. Pengukuran aktual menunjukkan bahwa lead apron mengurangi

paparan hingga sekitar 10% karena sinar-X yang tersebar adalah insiden

pada apron pada sudut miring. Ketebalan normal untuk lead apron adalah

0,25 mm, 0,5 mm, dan 1 mm Pb (Bushong, 2017). Berdasarkan

KEMENKES, No. 12, (2009) Uji lead apron bertujuan untuk menjamin bahwa

peralatan proteksi radiasi dapat memberikan perlindungan optimal ketika

digunakan. Frekuensi dilakukan pengujian setahun sekali dan jika

diperlukan. Penyimpanan atau peletakan lead apron Pb sebaiknya tidak

dilipat dan digantung karena dapat menyebabkan kerusakan sehingga dapat

mengurangi fungsinya sebagai peralatan proteksi radiasi.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk menyusun makalah

ini dengan judul “PROSEDUR PERAWATAN DAN PENGUJIAN LEAD

APRON DI INSTALASI RADIOLOGI“.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana prosedur

perawatan dan pengujian lead apron di instalasi rasiologi?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui prosedur pera

watan dan pengujian lead apron di instalasi rasiologi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Radiasi

Menurut Aryawijayanti, dkk., (2015), radiasi merupakan pemancaran

energi dalam bentuk gelombang atau partikel yang dipancarkan oleh sumber

radiasi atau zat radioaktif. Radiasi dipancarkan dari sumber radiasi ke segala

arah. Semakin dekat tubuh dengan sumber radiasi maka paparan radiasi

yang diterima semakin besar. Paparan radiasi sebagian akan menjadi

pancaran hamburan saat mengenai materi. Radiasi hamburan ini akan

menambah jumlah dosis radiasi yang diterima. Untuk mencegah paparan

radiasi tersebut dapat dilakukan dengan menjaga jarak pada tingkat yang

aman dari sumber radiasi.

2.2 Sinar-X

Sinar-X adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis

dengan gelombang radio, panas, dan sinar ultraviolet, dengan panjang

gelombang yang sangat pendek. Sinar-X bersifat heterogen, panjang

gelombangnya bervariasi dan tidak terlihat. Perbedaan antara sinar-X

dengan sinar elektromagnetik lainnya juga terletak pada panjang gelombang,

dimana panjang gelombang sinar-X sangat pendek yaitu hanya 1/10.000

panjang gelombang cahaya yang kelihatan. Karena panjang gelombang

yang pendek itu, sinar-X dapat menembus benda-benda (Rasad, 2018).

2.3 Pembentukan Sinar-X

Untuk pembuatan sinar-X diperlukan sebuah tabung rontgen hampa

udara dimana terdapat elektron-elektron yang diarahkan dengan kecepatan


tinggi pada suatu sasaran (target). Dari proses tersebut terjadi suatu

keadaan
dimana energi elektron sebagian besar diubah menjadi panas (99%) dan

sebagian kecil (1%) di ubah menjadi sinar-X (Rasad 2018).

Gambar 2.1 Tabung sinar-X (Bushberg dkk, 2012)

Keterangan gambar :
1. Soket kabel
2. Masukkan tabung sinar-X
3. Bellow ekspansi
4. Pelindung timah
5. Minyak transformator
6. Katoda
7. Port keluaran
8. Anoda
9. Gulungan stator
10. Anoda rotor

2.4 Efek Biologi Radiasi

Efek biologis dari radiasi pada manusia terjadi baik pada individu yang

diradiasi sendiri (efek somatik) atau pada keturunan mereka (efek keturunan

atau genetik). Efek somatik dibagi menjadi efek deterministik (juga dikenal

sebagai reaksi jaringan) dan efek stokastik, di mana turun temurun dan

genetik semua efeknya berasal dari stokastik saja (Dance dkk, 2014)

a. Efek Deterministik

Efek deterministik dihasilkan dari kehilangan atau kerusakan sel yang

diinduksi radiasi, misalnya deskuamasi lembab dari kardiologi intervensi.

Sebagian besar organ atau jaringan tubuh tidak terpengaruh oleh


hilangnya beberapa sel. Namun, jika jumlah sel yang hilang cukup besar,

ada bahaya yang dapat diamati dan, karenanya, kehilangan fungsi

jaringan / organ. Di atas tingkat dosis tertentu, yang disebut dosis

ambang, keparahan efeknya tentu meningkat dengan meningkatnya dosis

ambang ini bervariasi dari satu efek ke efek lainnya. Efek deterministik

dapat terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah terpapar (mis.

Reaksi kulit dini) atau mungkin memerlukan berbulan-bulan atau

bertahun-tahun sebelum ekspresi (mis. Perkembangan katarak lensa

mata).

b. Efek Stokastik

Efek stokastik, di sisi lain adalah efek probabilistik. Ini berarti bahwa

kemungkinan terjadinya suatu efek, tetapi bukan keparahannya, adalah

fungsi dari dosis - probabilitas meningkat dengan dosis. Efek ini

diasumsikan tidak menunjukkan dosis ambang di bawahnya yang tidak

dapat terjadi. Efek stokastik utama yang menjadi perhatian pada tingkat

radiologi diagnostik tipikal adalah kanker dan efek genetik. Ini adalah efek

yang sangat terlambat karena tidak muncul sampai bertahun-tahun

setelah paparan radiasi.

2.5 Proteksi radiasi

2.5.1 Definisi Proteksi Radiasi Eksternal

Proteksi radiasi eksternal adalah upaya proteksi terhadap segala

macam sumber radiasi yang berada di luar tubuh manusia, dan dapat

dilakukan dengan menggunakan satu atau beberapa teknik berikut,

yaitu membatasi waktu pajanan, memperbesar jarak dari sumber, dan

menggunakan penahan radiasi (Hiswara 2015).


2.5.2 Definisi Proteksi Radiasi Eksternal

Proteksi radiasi eksternal adalah upaya proteksi terhadap segala

macam sumber radiasi yang berada di luar tubuh manusia, dan dapat

dilakukan dengan menggunakan satu atau beberapa teknik berikut,

yaitu membatasi waktu pajanan, memperbesar jarak dari sumber, dan

menggunakan penahan radiasi (Hiswara 2015).

2.5.3 Prinsip Proteksi Radiasi

Untuk mencapai tujuan proteksi dan keselamatan dalam

pemanfaatan diperlukan prinsip utama proteksi radiasi. Kerangka

konseptual dalam prinsip proteksi radiasi ini terdiri atas pembenaran

(justifi kasi), optimisasi proteksi, dan pembatasan dosis (Hiswara,

2015).

1. Pembenaran (justifikasi)

Suatu pemanfaatan harus dapat dibenarkan jika menghasilkan

keuntungan bagi satu atau banyak individu dan bagi masyarakat

terpajan untuk mengimbangi kerusakan radiasi yang

ditimbulkannya. Kemungkinan dan besar pajanan yang diperkirakan

timbul dari suatu pemanfaatan harus diperhitungkan dalam proses

pembenaran.

2. Optimisasi

Dalam kaitan dengan pajanan dari suatu sumber tertentu

dalam pemanfaatan, proteksi dan keselamatan harus

dioptimisasikan agar besar dosis individu, jumlah orang terpajan,

dan kemungkinan terjadinya pajanan ditekan serendah mungkin

(ALARA, as low as reasonably achievable), dengan


memperhitungkan faktor ekonomi dan sosial, dan dengan

pembatasan bahwa dosis yang diterima sumber memenuhi

penghambat dosis. Dalam hal pajanan medik, tujuan optimisasi

adalah untuk melindungi pasien. Dosis harus dioptimisasikan

konsisten dengan hasil yang diinginkan dari pemeriksaan atau

pengobatan, dan risiko kesalahan dalam pemberian dosis dijaga

serendah mungkin.

3. Pembatasan dosis

Jika prosedur pembenaran dan optimisasi telah dilakukan

dengan benar, sebenamya nilai batas dosis hampir tidak perlu

diberlakukan. Namun, nilai batas ini dapat memberikan batasan

yang jelas untuk prosedur yang lebih subyektif ini dan juga

mencegah kerugian individu yang berlebihan, yang dapat timbul

akibat kombinasi pemanfaatan. Nilai batas dosis (NBD) adalah

dosis terbesar yang diizinkan yang dapat diterima oleh pekerja

radiasi dan anggota masyarakat dalam jangka waktu tertentu tanpa

menimbulkan efek genetik dan somatik yang berarti akibat

pemanfaatan tenaga nuklir. Prinsip pembatasan dosis tidak

diberlakukan pada kegiatan intervensi (kegiatan yang dilakukan

untuk mengurangi atau menghindari terjadinya atau kemungkinan

terjadinya pajanan radiasi) mengingat dalam pelaksanaan kegiatan

ini melibatkan banyak pajanan radiasi yang tidak dapat dielakkan.

Nilai Batas Dosis (NBD) yang saat ini berlaku diberikan pada Tabel

2.1. Nilai pada aplikasi dosis efektif adalah NBD untuk penyinaran

seluruh tubuh, dan dimaksudkan untuk mengurangi peluang


terjadinya efek stokastik. Sedang nilai pada aplikasi dosis ekivalen

tahunan adalah NBD untuk penyinaran organ atau jaringan tertentu,

dan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya efek deterministik

pada organ atau jaringan tersebut.

Tabel 2.1 Nilai batas dosis.


Aplikasi Pekerja Radiasi Masyarakat
Umum
Dosis efektif 20 mSv per tahun, 1 mSv per tahun
dirataratakan selama
periode 5 tahun
Dosis ekivalen
tahunan pada:
Lensa mata 20 mSv 15 mSv
Kulit 500 mSv 50 Sv
Tangan dan kaki 500 mSv

2.6 Perlengkapan Proteksi Radiasi

Perlengkapan proteksi radiasi wajib disediakan oleh Pemegang Izin

dan digunakan oleh pekerja radiasi yang relevan, terutama dokter spesialis

radiologi dan dokter yang berkompeten lainnya. Penggunaan perlengkapan

proteksi radiasi dimaksudkan untuk memastikan agar nilai batas dosis bagi

pekerja tidak terlampaui (Hiswara, 2015). Perlengkapan proteksi radiasi yang

harus tersedia pada suatu fasilitas radiodiagnostik adalah sebagai berikut :

a. Apron

Apron yang setara dengan 0,2 mm Pb, atau 0,25 mm Pb untuk

penguunaan pesawat sinar-X radiodiagnostik dan 0,35 mm Pb, atau 0,5

mm Pb untuk pesawat sinar-X radiologi intervensional. Tebal kesetaraan

timah hitam harus diberi tanda permanen dan jelas pada apron tersebut.

Contoh lead apron ditampilkan pada gambar 2.6.


Gambar 2.2 Lead Apron (Hiswara, 2015)

b. Pelindung tiroid

Pelindung tiroid yang terbuat dari bahan yang setara dengan 1 mm

Pb. Contoh Pelindung tiroid ditampilkan pada gambar 2.7.

Gambar 2.3 Pelindung tiroid (Hiswara, 2015)

c. Sarung tangan

Sarung tangan proteksi yang digunakan untuk flouroskopi harus

memberikan kesetaraan atenuasi paling kurang 0,25 mm Pb pada 150

kVp. Proteksi ini harus dapat melindungi secara keseluruhan, mencakup

jari dan pergelangan tangan.

d. Kacamata
Kacamata yang terbuat dari bahan yang setara dengan 1 mm Pb.
e. Pelindung gonad

Pelindung gonad yang setara dengan 0,2 mm Pb, atau 0,25 mm Pb

untuk penggunaan pesawat sinar-X radiodiagnostik, dan 0,35 mm Pb,

atau 0,5 mm Pb untuk pesawat sinar-X radiologi intervensional. Tebal

kesetaraan timah hitam harus diberi tanda permanen dan jelas pada

apron tersebut. Proteksi ini harus dengan ukuran dan bentuk yang sesuai

untuk mencegah gonad secara keseluruhan dari paparan berkas utama.

f. Tirai Pb

Tirai yang digunakan oleh radiografer harus dilapisi dengan bahan

yang setara dengan 1 mm Pb, dengan ukuran tinggi 2 m dan lebar 1 m.

Contoh Tirai Pb ditampilkan pada gambar 2.8.

Gambar 2.4 Tirai Pb

2.7 Perawatan Lead Apron

Menurut KEMENKES no. 1250 tahun 2009, penyimpanan lead apron

tidak tidak boleh di gantung dan dilipat karena akan menyebabkan

kerusakan yang akan mengurangi fungsinya sebagai peralatan proteksi

radiasi. Jika lead apron tidak digunakan harus disimpan di rak khusus apron
dengan posisi lead apron terlentang. Lead apron harus di radiografi atau

dikorosi setiap tahun untuk kerusakan. Jika retak, sobek, atau berlubang,

pakaian mungkin perlu diganti (Bushong, 2017).

2.8 Program Kendali Mutu

Berdasarkan KEMENKES, No. 1250, (2009) program kendali mutu

adalah program yg berlaku bagi semua peralatan yang berhubungan dengan

penggunaan sinar-X untuk tujuan diagnostik pada manusia. Uji alat

pelindung diri (pengujian lead apron) merupakan bagian dari program

kendali mutu. Uji lead apron bertujuan untuk menjamin bahwa peralatan

proteksi radiasi dapat memberikan perlindungan optimal ketika digunakan.

Frekuensi dilakukan setahun sekali dan jika diperlukan. Penyimpanan atau

peletakan lead apron Pb sebaiknya tidak dilipat dan digantung karena dapat

menyebabkan kerusakan sehingga dapat mengurangi fungsinya sebagai

peralatan proteksi radiasi. Apabila lead apron tidak digunakan, maka

sebaiknya disimpan di rak khusus apron dengan posisi lead apron

terlentang.

2.9 Pengujian Lead Apron

Pengujian apron dilakukan selama setahun sekali. Dilakukan dengan

menggunakan pesawat fluoroscopy atau menggunakan pesawat

konvensional dengan diberi kV tinggi. Pengujian dengan fluoroscopy

dilakukan dengan cara merentangkan lead apron di atas meja pemeriksaan

kemudian dilakukan penyinaran dengan fluoroscopy, hasil pengujian dilihat

di monitor (Bushong, 2017). Jika ada cacat pada area yang tidak kritis yang

jumlah semua cacatnya melebihi 670 mm2, atau setara dengan lubang

bundar berdiameter 29 mm maka Apron harus di ganti. Jika cacat berada di


area kritis, seperti apron harus diganti jika jumlah yang cacat melebihi 11

mm2, atau setara dengan lubang bundar berdiameter 3,8 mm (Lambert dkk,

2018). Menurut Oyar, (2012), lubang pada daerah sensitif tidak boleh lebih d

ari 2 mm dan retakan atau patahan pada daerah sensitif dan tidak sensitif tid

ak boleh lebih dari 4mm. prosedur pengujian lead apron yaitu :

a. Lead apron dibagi menjadi empat kuadran kemudian diberi tanda atau

kode untuk membedakan masing-masing kuadran seperti pada gambar

3.1.

a. Meletakkan imaging plate atau kaset ukuran 35 x 43 cm diatas meja

pemeriksaan.

b. Letakkan lead apron kuadran 1 diatas imaging plate atau kaset yang

sudah di siapkan.

c. Lakukan ekposi sebanyak 3 kali dengan 80 kV, 320 mA, dan 50 ms pada

kuadran 1 lead apron.

d. Ulangi langkah dari c sampai e pada kuadran 2,3, dan 4.

e. Melakukan pengukuran dan evaluasi dari hasil pengujian lead apron dan

memasukkan data hasil ke dalam tabel hasil pengujian lead apron.

Gambar 2.5 Ilustrasi Pembagian Lead Apron


Keterangan gambar :
1. Kuadran I (bagian kanan atas)
2. Kuadran II (bagian kiri atas)
3. Kuadran III (bagian kanan bawah)
4. Kuadran IV (bagian kiri bawah)
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Untuk penyimpanan lead apron tidak tidak boleh di gantung dan dilipat

karena akan menyebabkan kerusakan yang akan mengurangi fungsinya

sebagai peralatan proteksi radiasi. Jika lead apron tidak digunakan harus

disimpan di rak khusus apron dengan posisi lead apron terlentang. Selain itu

lead apron juga harus di uji untuk menjamin bahwa peralatan proteksi

radiasi dapat memberikan perlindungan optimal ketika digunakan dengan

frekuensi dilakukan setahun sekali dan jika diperlukan.

3.2 Saran

Perawatan yang baik dan benar serta pengujian lead apron tiap

setahun sekali diharapkan bisa dilaksanakan dengan teratur di Instalasi

Radiologi untuk menjamin kelayakan dari Lead apron saat digunakan.


DAFTAR PUSTAKAl

Bushong, S T. 2017. Radiologic Science for Technologists Physics, Biology, and


Protection. : Julie Eddy
Hiswara, E. 2015. Buku Pintar Proteksi dan Keselamatan Radiasi di Rumah
Sakit. Jakarta: BATAN Press
Kepmenkes RI. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1250/Menkes/SK/XII/2009 Tentang Pedoman Kendali Mutu (Quality
Control) Peralatan Radiodiagnostik. Jakarta: Mentri Kesehatan
Rasad, S. 2018. Radiologi Diagnostic. Jakarta: dr. Hendra Utama, Sp.FK

Anda mungkin juga menyukai