Anda di halaman 1dari 8

MODUL PELATIHAN PENINGKATAN KAPABILITAS MANAJERIAL

KEPALA SMK BERBASIS INDUSTRI

KARAKTER CEO
[CEO CHARACTER]

MODUL PELATIHAN
PENINGKATAN
KAPABILITAS MANAJERIAL
KEPALA SMK BERBASIS INDUSTRI

DIREKTORAT KEMITRAAN DAN PENYELARASAN DUNIA USAHA DAN DUNIA INDUSTRI


DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN VOKASI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
[ KARATER
DANCEO ] i
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
TAHUN 2020
MODUL PELATIHAN PENINGKATAN KAPABILITAS MANAJERIAL
KEPALA SMK BERBASIS INDUSTRI

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik


Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Te ntang Pedoman O rganisasi
dan Tata Kerja Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah:

Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disingkat SMK, adalah


salah satu bentuk Satuan Pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai
lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan
dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.

Susunan organisasi SMK terdiri atas:


a) Kepala
b) Wakil Kepala
c) Subbagian Tata Usaha
d) Kelompok Jabatan Fungsional

MODUL
KARAKTER CEO (CEO CHARACTER)
Disusun oleh: DR. IR. RACHMAT PAMBUDY, MS dan DR. IR. BURHANUDDIN, MM

Deskripsi:
Mata diklat ini membekali peserta dengan kemampuan mengaktualisasikan karakter penting
dalam bekerja yang harus dimiliki oleh seorang CEO sukses.

Hasil Pembelajaran:
Setelah mengikuti pembelajaran ini diharapkan peserta mampu mengaktualisasikan karakter
penting dalam bekerja yang harus dimiliki oleh seorang CEO di SMK.

Pokok Bahasan:
1. CEO DNA
2. Visioner (Visionary)
3. Takes initiative
4. Demonstrates entrepreneurial creativity
5. Takes risk
6. Takes responsibility
7. Decision Making
8. Agility Mindset

@ FEM IPB 2020 Tim Pelatihan dan Peningkatan Kapabilitas Manajerial Kepala SMK Berbasis Industri

Kerjasama antara:
DIREKTORAT KEMITRAAN DAN PENYELARASAN DUNIA USAHA DAN DUNIA INDUSTRI
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN VOKASI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
dan
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

[ KARATER CEO ] 2
KEWIRAUSAHAAN:
PENDIDIKAN SMK MASA DEPAN
Wirausaha adalah orang-orang (pemilik usaha) yang berusaha untuk
menghasilkan nilai, melalui penciptaan atau perluasan kegiatan ekonomi,
dengan mengidentifikasi dan memanfaatkan produk-produk baru, proses atau
pasar (Entrepreneurs are those persons (business owners) who seek to
generate value, through the creation or expansion of economic activity, by
identifying and exploiting new products, processes or markets).

Kewirausahaan adalah seni atau ilmu inovasi dan pengambilan risiko.


Karakteristik kewirausahaan adalah fokus pada aktivitas wirausaha yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Inovasi dalam kewirausahaan yang
bertanggung jawab terhadap perbaikan ekonomi masyarakat. Hal ini yang
membedakan wirausaha dengan investor, manajer dan pengusaha. Oleh
karena itu, penciptaan usaha kecil baru kewirausahaan mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi. Joseph A. Schumpeter adalah pelopor yang
menciptakan hubungan utama antara kewirausahaan dan pertumbuhan
ekonomi dengan pernyataannya bahwa tindakan pengusaha sebagai inovator
(pencipta inovasi) adalah cara yang paling penting dari pembangunan
ekonomi di masyarakat.

Sebagai negara dengan jumlah pulau terbesar di dunia, Indonesia memiliki


keanekaragaman sumber kekayaan yang sangat fantastis. Namun kekayaan alam
yang melimpah ini tidak mampu membuat Indonesia naik kelas, dari negara
berkembang menjadi negara maju. Walaupun untuk menjadi negara maju tidak
otomatis didorong oleh penguasaan terhadap sumberdaya, namun penguasaan
terhadap keanegaragaman sumberdaya dapat menjadi alat tawar dalam
memanfaatkan sumberdaya tersebut untuk kepentingan pembangunan Indonesia.
Faktanya, eksploitasi besar-besaran, sejak jaman penjajahan belanda hingga
sekarang, terhadap sumberdaya alam tidak sepenuhnya dinikmati oleh rakyat
Indonesia.

Pada umumnya kewirausahaan dipandang sebagai elemen penting dalam bisnis,


sehingga seorang wirausaha (entrepereneur) dikonotasikan sebagai pebisnis. Jika
pandangan ini yang dipahami, maka seharusnya jumlah entrepreneur di Indonesia
setara dengan jumlah pelaku bisnis, baik itu bisnis besar maupun bisnis kecil.
Dengan demikian, kewirausahaan harus dipandang secara lebih tajam dalam
pembangunan sumberdaya manusia Indonesia, karena yang menggerakkan
pembangunan tidak hanya kalangan bisnis. Oleh karena itu, dalam konteks
pembangunan sumberdaya manusia, kewirausahaan dapat dipahami dalam dua
perspektif, dalam perspektif individu dan dalam perspektif aktivitas (bisnis atau non-
bisnis). Dalam persepetif individu, seorang wirausaha adalah ahlinya dalam
mengambil resiko (Cantillon, 1755/1931), kreatif, inovatif, dan bermotivasi tinggi,
serta berani mengambil resiko dalam mengejar tujuannya (Meredith et al., 1991).
Dalam perspektif aktivitas, kewirausahaan adalah orang yang mengawinkan ide-ide
kreatif dengan tindakan yang bertujuan dan berstruktur dari suatu bisnis (Zimmerer
and Scarborough, 2005). Kewirausahaan tidak hanya sekedar orang yang
mengelola bisnis saja secara rutin akan tetapi berkaitan juga dengan kepemimpinan
(joseph schumpeter, 1951), karena didalamnya terdapat prilaku: (1) mengambil
inisiatif, (2) mengorganisasi sumberdaya melalui mekanisme sistem ekonomi dan
sosial, dan (3) keinginan untuk mengambil resiko dan menerima kegagalan
(Shapero, 1975).

Dalam konteks pembangunan, kewirausahaan adalah proses dinamis untuk


menciptakan kemajuan dan kesejahteraan secara bertahap. Kemajuan diciptakan
oleh sumberdaya manusia yang mengasumsikan bahwa resiko, waktu, dan profesi
merupakan komitmen dari nilai barang atau jasa (produk). Bisa jadi produk itu tidak
baru atau tidak unik, yang pasti nilai yang didapat berasal dari kemampuan dalam
mengalokasi sumberdaya alam dan kapasitas skill sumberdaya manusianya (Robert
C. Ronstadt, 1984). Oleh karena itu, kewirausahaan merupakan pengetahuan yang
menggambarkan kemampuan untuk mengenali atau menciptakan peluang dan
mengambil tindakan yang bertujuan untuk mewujudkan produk yang inovatif.

Jadi, pengembangan kewirausahaan bukan hanya ditujukan pada pencapaian


realisasi keuntungan, tetapi juga mendorong aktivitas produksi melalui ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, pandangan bahwa kewirausahaan tidak bisa
dipelajari, karena dianggap seni (bakat), terbantahkan. Apa kewirausahaan dapat
diajarkan? Bukankah dunia kerja membutuhkan lebih dari hanya keterampilan
manajemen saja, tetapi membutuhkan daya inovatif dan kreativitas untuk
mengembangkan produknya. Ini berarti bahwa pendidikan kewirausahaan adalah
bentuk yang paling cocok dalam mengembangkan pengetahuan kewirausahaan
untuk membentuk kapasitas sumberdaya manusia pembangunan. Pendidikan
kewirausahaan bertujuan tidak hanya mentransfer pengetahuan, sikap, dan
keterampilan (membentuk perilaku), tetapi juga memotivasi, mengembangkan
kreasi, menangkap peluang, dan berani mengambil resiko untuk merealisasikan ide
inovatif dalam situasi dan kondisi lingkungan yang selalu berubah. Dengan
demikian, pendidikan kewirausahaan merupakan jawaban dari kesenjangan antara
lembaga penghasil sumberdaya manusia terampil (lembaga pendidikan misalnya)
dengan dunia nyata (dunia kerja).

Pada negara-negara maju, konsep pendidikan kewirausahaan telah dikembangkan


justru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Berbagai penelitian menunjukkan
hubungan yang signifikan antara pendidikan kewirausahaan dengan penciptaan
lapangan kerja dan kinerja bisnis. Menurut penelitian Raposo dan do Paço (2011),
tumbuhnya bisnis-bisnis baru didorong oleh pendidikan kewirausahaan, karena
pendidikan kewirausahaan membentuk karakter, terutama anak-anak muda, yang
mandiri dan bertanggung jawab serta membentuk pemikir-pemikir inovatif yang
tujuannya berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan masyarakat yang
berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa melalui pendidikan kewirausahaan, selain
terjadi transfer ilmu pengetahuan yang membekali dalam mengelola sumberdaya
alam, juga terjadi transfer keterampilan dalam meningkatkan kapasitas teknik,
memahami situasi lingkungan yang berubah-ubah, dan menciptakan rencana aksi
pengelolaan sumberdaya alam lokal yang berkelanjugan. Hal demikian terjadi
karena dalam intensi utama pendidikan kewirausahaan adalah mengenali kualitas
diri dan menyelaraskannya dengan perubahan yang dihadapi. Resistensi terhadap
perubahan hanya akan membuat sulit mengembangkan diri dan menangkap peluang
pengembangan lapangan kerja, sehingga sumberdaya alam yang melimpah tidak
bisa dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Justru yang terjadi, negara lain yang
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Apakah ini buah dari sistem pendidikan
selama ini?

Pada dasarnya agak sulit untuk membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu
negara sebagai akibat dari pendidikan kewirausahaan. Namun, dengan mempelajari
tingkat inovasi di berbagai sektor pembangunan dan dikombinasi dengan
munculnya produk dan bisnis baru serta sektor pembangunan baru, maka paradigma
hubungan kewirausahaan dengan pertumbuhan ekonomi lebih mudah dipahami.
Walaupun menentang prinsip-prinsip ekonomi dasar, seperti model ekuilibrium,
maksimisasi profit, dan fungsi produksi, namun memasukkan disiplin ilmu lain,
seperti pskologi, sosiologi, dan bahkan ilmu alam sekalipun akan membuka pikiran
yang out of the box. Penelitian Pittaway dan Cope (2006) merekomendasikan
Pemerintah untuk mengalokasikan anggaran dalam mempromosikan dan
mengembangkan pendidikan kewirausahaan, supaya kinerja investasi
pembangunan efisien karena dijalankan oleh sumberdaya manusia yang
berintegritas.

Oleh karena itu, Pemerintah harus mempertimbangkan untuk memasukkan konsep


kewirausahaan tidak hanya pada kurikulum pendidikan tetapi juga pada struktur
lembaga pendidikan. Jika demikian, maka efek kewirausahaan tidak hanya pada
berkembangnya sektor pendidikan saja, tetapi pada hampir seluruh sumberdaya
manusia di semua sektor pembangunan, yakni dalam konteks membangun karakter
bangsa. Hal ini karena kewirausahaan tidak saja berdampak pada pembentukan
perilaku, namun mendorong pemangku kepentingan bangsa ini melakukan
perubahan dan inovasi, menghadapi dan menikmati ketidakpastian yang tinggi dan
kompleks (Gibb, 2007). Selain itu, efek multidimensi itu terjadi karena kebutuhan-
kebutuhan pengguna lulusan lembaga pendidikan, secara khusus Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), diekplorasi oleh pendidikan kewirausahaan sebagai
tuntutan kebijakan pemerintah.

Dengan kata lain, eksistensi kewirausahaan tidak lagi hanya di dunia bisnis, tetapi
merambah ke dunia pendidikan. Jadi, memasukkan kewirausahaan ke SMK
diyakini meningkatkan jumlah wirausaha. Kolstad dan Wiig (2011) yang meneliti
1900 perusahaan di Malawi menyimpulkan bahwa ada pengaruh pendidikan
kewirausahaan terhadap kinerja bisnis di Malawi. Hal ini mengindikasikan bahwa
walaupun dampaknya tidak segera, namun pendidikan kewirausahaan tetap
memberikan efek bola salju (snowball effect). Bahkan Nelson dan Johnson (1997)
mengingatkan bahwa efek jangka panjang dari pendidikan kewirausahaan di Kenya
adalah pada pertumbuhan ekonomi Kenya. Lalu, bagaimana dengan SMK di
Indonesia?

Relevansi SMK menjadi pendidikan kewirausahaan adalah sejalan dengan


perubahan oritensi lulusan SMK, dari mencari pekerjaan (job seeker) ke
menciptakan pekerjaan (job creator). Banyak lulusan SMK telah terbukti dapat
menjadi pemimpin yang sukses, seperti Burhanuddin Abdullah yang pernah
menjadi Gubernur Bank Indonesia dan Andi Hakim Nasution yang menjadi Rektor
IPB University. Hal ini bisa terjadi karena pendidikan kewirausahaan membentuk
karakter lulusan yang terus menerus belajar, otentik, mandiri, dan kreatif.

Kebutuhan bangsa Indonesia terhadap wirausaha masih sangat besar, sehingga


melalui pendidikan kewirausahaan, SMK dapat menghasilkan lulusan yang mampu
memobilisasi sumberdaya alam dan modal sosial serta yang juga penting adalah
meningkatkan akses masyarakat marginal ke pendidikan kewirausahaan. Dengan
demikian, SMK akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, baik
pembangunan daerah maupun nasional, dari kemampuan lulusan menstimulasi
lahirnya bisnis baru dan berinovasi dalam bisnis yang berjalan serta membuat
kebijakan yang mensejahterakan. Hal ini berarti terobosan baru bagi pendidikan
SMK dalam mengelola sumberdaya melalui membangun kapasitas lembaga,
mensinergikan pemangku kepentingan eksternal dan pemerintahan dalam kegiatan
pendidikan dengan melakukan intervensi pembelajaran untuk mengidentifikasi
kebutuhan masyarakat di masa depan.

Walaupun tidak mudah menyelaraskan kebutuhan masyarakat di masa depan


dengan aktivitas pendidikan kewirausahaan, namun dengan intensi yang tinggi
terjadinya pertukaran informasi dan pengalaman antar pemangku kepentingan
pendidikan kewirausahaan, akan mampu mengurangi gap yang ada. Kuip dan
Verheul (2003) mengingatkan bahwa dalam perspektif teoritis yang relevan pada
pendidikan kewirausahaan adalah memberikan gambaran yang luas dari state of
the art pembagunan suatu daerah, karena perbedaan budaya cenderung berperan
dalam mengembangkan program pengajaran kewirausahaan yang efektif.
Penelitian Huber et al. (2012) menyimpulkan bahwa pendidikan kewirausahaan
lebih efektif mempengaruhi aspek non-kognitif dari pada aspek kognitif. Hal ini
mengindikasikan bahwa pendidikan kewirausahaan sangat direkomendasikan.

Finlandia, yang sering dijadikan patok duga (benchmark) pendidikan telah


memasukkan kewirausahaan kedalam kurikulum pendidikannya dan para pengajar
di Finlandia memiliki kompetensi kewirausahaan. Hal ini selain membuka prospek
karir baru, juga akan memperkuat peran lembaga pendidikan dalam mendukung
pertumbuhan bisnis yang berorientasi internasional dalam mentransfer pengetahuan
akademik dan inovasi (Ministry of Education, 2009). Hal seperti ini yang
dipandang sebagai reformasi pendidikan di Eropa (European Commission, 2102).
Menurut Smith dan Petersen (2006), melakukan perubahan untuk mendukung
produktivitas, berpikir dan mengelola sumberdaya diluar kebiasaan, menciptakan
organisasi baru, menginspirasi dan memimpin orang lain dapat menjadi agen dari
perbaikan kurikulum pendidikan secara terus-menerus.

Pendidikan kewirausahaan diduga kuat akan berdampak pada pembangunan


ekonomi dan sosial yang inklusif dan partisipatif pada lingkungan global yang
semakin kompetitif. Pendidikan kewirausahaan memungkinkan untuk berbagi dan
mengembangkan alat-alat baru yang inovatif, serta pendekatan dan metode
pengajaran baru. Pendidikan kewirausahaan memberikan peluang pada SMK untuk
menjadi center of excellent bagi pembangunan bangsa Indonesia secara
keseluruhan pada masa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia
tergantung pada kemampuan pendidikan tinggi kewirausahaan untuk menghasilkan
entrepreneur: intrapreneur, sociopreneur, technopreneur, dan entrepreneurial
education sebagai pemimpin-pemimpin masa depan.

Program penguatan kepala SMK berjiwa wirausaha akan memberikan dampak luas
pada berbagai profesi dalam membangun bangsa ke depan. Dimulai dari kepala
sekolah sebagai penggerak, dibekali dengan memahami (1) DNA CEO, (2)
Visioner, (3) Mengambil Inisiatif, (4) Menunjukkan Kreativitas Kewirausahaan, (5)
Mengambil Resiko, (6) Mengambil Tanggung Jawab, (7) Pengambilan Keputusan,
dan (8) Pola Pikir Agility, secara serentak berkontribusi pada gelombang kreativitas
dan daya inovatif bangsa.
Daftar Pustaka

Barakat, S. and T. Hyclak. 2009. Entrepreneurship Education in an Entrepreneurial Community. Centre for
Entrepreneurial Learning. University of Cambridge, UK.
Cantillon, R. 1755/1931. Essai sur la Nature du Commerce en Général. London, UK: MacMillan. Also: Edited
with an English translation by Henry Higgs, London: MacMillan (1931).
European Commission. 2012. Entrepreneurship Education at School in Europe National Strategies, Curricula
and Learning Outcomes. EACEA P9 Eurydice and Policy Support. ISBN 978 -92-9201-252-6.
doi:10.2797/80384.
Gibb, A. 2007. Enterprise In Education: Educating Tommorrows Entrepreneurs. Pentti Mankinen 2007.
Durham University
HEInnovate. 2014. The Entrepreneurial Higher Education Institution: A Review of the Concept and Its
Relevance Today. https://heinnovate.eu/intranet/tef/downloads/HEInnovate_Analytical%20paper. pdf. Honig,
B. 2004 Entrepreneurship Education: Toward a Model of Contingency -Based Business Planning.
Academy of Management Learning and Education Vol. 3, No. 3, 258–273.
Huber, LR., R. Sloof, and MV. Praag. 2012. The Effect of Early Entrepreneurship Education: Evidence from a
Randomized Field Experiment. IZA Discussion Paper No. 6512. JEL Classification.
Jack, SL and AR. Anderson. 1999. Entrepreneurship education within the enterprise culture : Producing
reflective practitioners. International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research Vol. 5 No. 3.
Centre for Entrepreneurship, University of Aberdeen, UK.
Kolstad, I and A. Wiig. 2011. Education and entrepreneurial success. JEL Codes: L 26, J24, C30.
Kauffman Foundation. 2006. Entrepreneurship in American Higher Education: A Report from the Kauffman
Panel on Entrepreneurship Curriculum in Higher Education. Kansas City, Missouri.
Kuip, Ivd and I. Verheul. 2003. Early Development of Entrepreneurial Qualities: the Role of Initial Education.
SCALES-paper N200311. JEL-code: I20, M13.
Lee, SM. D. Chang, and SB. Lim 2005. Impact of Entrepreneurship Education: A Comparative Study of the
U.S. and Korea. International Entrepreneurship and Management Journal 1, 27–43. Springer Science +
Business Media, Inc. Manufactured in The United States.
Lorz, M. 2011. The Impact of Entrepreneurship Education on Entrepreneurial Intention. Dissertation.
University of St. Gallen, School of Management, Economics, Law, Social Sciences and International
Affairs. Bamberg.
Meredith, GG., RE. Nelson and RA. Neck. 1991. The Practice of Entrepreneurship. Lagos: University Press.
Ministry of Education. 2009. Guidelines for entrepreneurship education. Publications of the Ministry of
Education 2009:9. Department for Education and Science Policy, Finland.
Nelson, RE and SD. Johnson. 1997. Entrepreneurship Education as a Strategic: Approach to Economic
Growth in Kenya. Journal Of Industrial Teacher Education Volume 35 Number 1.
Pittaway, L and J. Cope. 2006. Entrepreneurship Education: A Systematic Review of the Ev idence. Working
Paper 002. National Council for Graduate Entrepreneurship, Sheffield University Management School.
Raposo, M and A. do Paço. 2011. Entrepreneurship education: Relationship between education and
entrepreneurial activity. Psicothema Vol. 23, no 3. ISSN 0214 - 9915 CODEN PSOTEG.
Ras, P. 2007. An Entrepreneurial Education Model For The Namibian Higher Education System. Acta
Commercii 2007. University of Pretoria, South Africa.
Ronstadt R. C. Entrepreneurship: Text, Cases and Notes – Consilience, 1984. - ISBN-13: 978-0930204112
Schumpeter J. A. Change and the Entrepreneur, in Essays of J. A Schumpeter, ed. R. V. Clemence // Addison
– Wesley, 1951. p. 255
Shapero, A. 1975. Entrepreneurship and Economic Development, Wisconsin: Project ISEED, LTD.
Smith, K and JL. Petersen. 2006. What Is Educational Entrepreneurship? Educational Entrepreneurship:
Realities, Challenges, Possibilities. edited by Frederick M. Hess. Harvard Education Press.
The Quality Assurance Agency (QAA) for Higher Education. 2012. Enterprise and entrepreneurship
education: Guidance for UK higher education providers. ISBN 978 1 8497 9 692.
Weber, R.. G. von Graevenitz, and D. Harhoff. 2009. The Effects of Entrepreneurship Education. Discussion
Paper No. 269. JEL Classification: D83, J24, L26, M13.
Zimmerer, TW and NM. Scarborough. 2005. Essential of Entrepreneurship and Small Business. Prentice Hall,
New Jersey.

Anda mungkin juga menyukai