Anda di halaman 1dari 84

i

PENGARUH SKEPTISME PROFESIONAL, PENGALAMAN AUDITOR,


BEBAN KERJA, TIPE KEPRIBADIAN DAN INDEPENDENSI
TERHADAPA KEMAMPUAN AUDITOR INTERNAL DALAM
MENDETEKSI KECURANGAN DI INSPEKTORAT PROVINSI RIAU

OLEH

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS RIAU


PEKANBARU
2021
ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................
DAFTAR TABEL.............................................................................................
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
1.1 Latar Belakang...................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................
1.4 Manfaat Penelitian.............................................................................
1.5 Sistematika Penulisan........................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKAN DAN HIPOTESIS.....................................


2.1 Tinjauan Teoritis...............................................................................
2.1.1 Teori Agensi................................................................................
2.1.2 Teori Artribusi.............................................................................
2.1.3 Audit Internal...............................................................................
2.1.4 Skeptisme Profesional.................................................................
2.1.5 Pengalaman Auditor....................................................................
2.1.6 Beban Kerja.................................................................................
2.1.7 Tipe Kepribadian.........................................................................
2.1.8 Independensi................................................................................
2.2 Penelitian Terdahulu...........................................................................
2.3 Kerangka Pemikiran...........................................................................

BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................


3.1 Lokasi Penelitian..........................................................................
3.2 Populasi dan Sampel.....................................................................
3.2.1 Populasi..............................................................................
3.2.2 Sampel................................................................................
3.3 Jenis dan Sumber Data..................................................................
3.4 Metode Pengumpulan Data...........................................................
3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...............................
3.5.1 Variabel Dependen...........................................................
3.5.1.1 Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi
Kecurangan ....................................................................
3.5.2 Variabel Independen........................................................
3.5.2.1 Skeptisme Profesional...........................................
3.5.2.2 Pengalaman Auditor..............................................
3.5.2.3.Beban Kerja...........................................................
3.5.2.4.Tipe Kepribadian...................................................
3.5.2.5.Independensi.........................................................
iii

3.6 Metode Analisis Data...................................................................


3.6.1 Uji Validitas.....................................................................
3.6.2 Uji Reliabilitas .................................................................
3.6.3 Uji Asumsi Klasik............................................................
3.6.4 Pengujian Hipotesis..........................................................
3.6.5 Analisis Regresi Berganda...............................................

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Grafik Kasus Kerugian Negara.........................................................


Tabel 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu................................................................
Tabel 3.1 Definisi Operasional.........................................................................
v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Model Penelitian...........................................................................


1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuntutan dalam perwujudan good governance di Indonesia yang semakin

meningkat berimplikasi pada sistem pengelolaan keuangan secara akuntabel dan

transparan. Hal ini tidak terpisahkan oleh adanya sistem pengendalian dan

pengawasan di setiap instansi pemerintah yang secara sistematis terdiri dari proses

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga pertanggungjawaban secara

efektif, efisien dan terkendali. Dalam mengefektifkan penyelenggaraan sistem

pengendalian, audit internal merupakan satuan pengawas intern dan pembina

penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah.

Pengawasan dilaksanakan oleh aparat pengawasan intern yaitu inspektorat.

Dengan demikian audit internal merupakan lembaga yang secara langsung

menerima dampak atas pendekatan pencegahan, pendeteksian dan

penginvestigasian terhadap kecurangan (fraud). Sejalan dengan pernyataan

standar profesional audit internal (2004 dalam Tunggal 2012:13) yang

menerangkan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai

untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji adanya indikasi kecurangan.

Inspektorat memiliki posisi yang sangat strategis, sebagai kata lisator dan

dinamisator dalam menyukseskan pembangunan daerah yang berkaitan dengan

kelancaran jalannya pemerintahan daerah, optimalnya pembangunan, pembinaan

aparatur daerah, dan sebagainya. Sehingga inspektorat daerah sebagai pengawas


2

internal dapat menjadi tombak untuk mewujudkan akuntabilitas dan transparansi

menuju good governance. Namun, di sisi lain fakta di Indonesia menunjukkan

masih banyak terjadi ketimpangan dalam pengawasan intern khususnya di instansi

pemerintahan. Berikut data kasus korupsi dan kerugian negara yang diolah

melalui data Indonesia Corruption Watch (ICW) dari tahun 2015 - 2019

Tabel 1.1

Grafik kasus korupsi dan kerugian Negara

Sumber : Indonesia Corruption Watch (ICW), 2019

Berdasarkan grafik diatas, Selama empat tahun terakhir kerugian negara terus

memuncak. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, kerugian negara

melonjak hampir tiga kali lipat dari Rp3,1 triliun menjadi Rp8,4 triliun, selama

2015 - 2019. Dikutip dari cnnindonesia(2020) bahkan untuk ditahun 2020

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat negara telah mengalami kerugian

sebesar Rp39,2 triliun dari praktik korupsi sepanjang semester I tahun 2020.

Peningkatan kerugian negara membuktikan bahwa di Indonesia tidak pernah

redup akan kasus korupsi. Hal tersebut perlu diperhatikan oleh pemerintah untuk

lebih mampu dalam mendeteksi kecurangan-kecurangan yang terjadi agar tidak

menimbulkan potensial peningkatan kerugian negara.


3

Selain itu, faktanya kecurangan juga ditemukan di Provinsi Riau. Ini

dibuktikan dengan hasil temuan audit LKPD Pemerintah Provinsi Riau dan 12

Kab/Kota se-Riau dalam dua tahun 2018-2019, khususnya atas ketidakpatuhan

terhadap perundang-undangan, yang menimbulkan dampak finansial mencapai

Rp91,4 miliar, diantaranya terdapat kerugian negara mencapai Rp46,6 miliar,

berpotensi merugikan negara Rp10,4 miliar dan adanya kekurangan penerimaan

negara/daerah mencapai Rp34,2 miliar. Temuan yang dapat menimbulkan

kerugian negara cukup tinggi dan terjadi kenaikan dari tahun 2018 sebesar Rp19,8

miliar, naik pada tahun 2019 mencapai Rp26,8 miliar. Adapun temuan yang

menimbulkan kerugian negara terjadi pada beberapa kasus, di antaranya,

kekurangan volume pada pekerjaan fisik dan pengadaan barang jasa, perjalan

dinas ganda/tidak sesuai kondisi senyatanya, spesifikasi pekerjaan/barang tidak

sesuai ketentuan. (GoRiau.com.2020).

Selain itu, LKPD pemerintah daerah (Pemda) se-Riau tahun 2018-2019

secara berturut-turut mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Dikutip

dari berita Goriau.com (2020) Opini tersebut bertolak belakang dengan hasil

pemeriksaan, karena ditemukan cukup banyak permasalahan dalam pengelolaan

keuangan daerah, khususnya atas ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan

yang dapat berakibat pada kerugian negara, potensi kerugian, kekurangan

penerimaan, juga ditemukan adanya penyimpangan administasi yang tidak

menimbulkan dampak finansial.

Pemerintahan Provinsi Riau kerap kali disandung berita mengenai kecurangan

yang merugikan Negara. Provinsi Riau menjadi salah satu wilayah dengan kasus
4

korupsi tertinggi (Kompas.com,2020). Berdasarkan data dari Ketua Komisi

Pemberantasan Korupsi, Provinsi Riau menduduki posisi ke empat setelah

Provinsi Jawa Barat,Jawa Timur dan Sumatera Utara. Hal ini juga didukung

dengan kasus korupsi pada tahun 2020 yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah

Provinsi Riau. Dikutip dari berita NewDetik.com korupsi yang dilakukan

berkaitan dana anggaran rutin di kantor Bapeda Siak pada tahun 2014-2017 dan

kerugian negara mencapai angka Rp 1,8 miliar.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kecurangan pada sektor

pemerintahan terkhususnya di Provinsi Riau masih belum dapat diatasi dengan

baik. Banyaknya kasus kecurangan yang merugikan negara, seharusnya menjadi

perhatian pemerintah untuk meningkatkan kinerja pemerintahan dalam rangka

mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) yang mengarah pada

pemerintahan yang bersih (clean government), salah satunya melalui sistem

pengawasan yang efektif, dengan meningkatkan peran dan fungsi Aparat

Pengawas Intern Pemerintah (APIP) terkhususnya dalam mendeteksi kecurangan-

kecurangan yang terjadi pada pegawai pemerintahan.

Penelitian Beasley et al. (2001) yang didasari pada AAERs (Accounting and

Auditing Releases) yang telah dikutip oleh Noviyanti (2008) dan faradina (2016)

menyatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi

kecurangan adalah rendahnya tingkat skeptisme professional yang dimiliki oleh

auditor. auditor dituntun untuk menggunakan kemahiran profesionalnya dalam

merencanakan dan melaksanakan pekerjaan auditnya. Dalam penggunaan

kemahiran profesionalnya, auditor diharuskan untuk menerapkan skeptisme


5

profesionalnya. Sikap kritis terhadap bukti audit serta mencari pembuktian atas

bukti tersebut harus dimiliki auditor agar kecurangan yang dilakukan dapat

terdeteksi. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartan dan Waluyo

(2016) dan Adnyani, dkk (2014) menunjukkan bahwa skeptisme professional

memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kemampuan auditor mendeteksi

kecurangan. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gusti dan Nia

(2017) yang menyatakan bahwa skeptisme professional tidak berpengaruh

terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Selain skeptisme profesional, pengalaman audit dapat mempengaruhi auditor

dalam mendeteksi kecurangan. Dalam mendeteksi kecurangan tentunya auditor

membutuhkan keahlian khusus dalam ilmu audit. Pencapaian keahlian dimulai

dengan pendidikan formal, yang selanjutnya melalui pengalaman dan praktek

audit (SPAP, 2001). Rahmawati dan Winarna (2012) dalam risetnya menemukan

fakta bahwa auditor, expectation gap terjadi karena kurangnya pengalaman dan

pengetahuan yang dimiliki hanya sebatas pada bangku kuliah saja. Pengalaman

audit ditunjukkan dengan jam terbang dalam melakukan prosedur audit terkait

dengan pemberian opini atas laporan auditnya. Auditor yang mempunyai

pengalaman yang berbeda, akan berbeda pula dalam memandang dan menanggapi

informasi yang diperoleh selama melakukan pemeriksaan dan juga dalam

memberi kesimpulan audit terhadap obyek yang diperiksa berupa pemberian

pendapat. Menurut Libby dan Frederick (1990) pengalaman yang dimiliki auditor

akan mempengaruhi pekerjaan auditnya, mereka menemukan bahwa semakin

banyak pengalaman auditor semakin dapat menghasilkan berbagai dugaan dalam


6

menjelaskan temuan audit. Karena berbagai alasan seperti diungkapkan di atas,

pengalaman kerja telah dipandang sebagai salah satu faktor penting.

Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hanjani

(2014) dan Faradina (2016) bahwa pengalaman auditor mempengaruh secara

positif terhadap kemampuan audit dalam mendeteksi kecurangan. Namun hal

tersebut juga tidak didukung oleh penelitian Dewi dan Windhy(2019) bahwa

pengalaman auditor tidak berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam

mendeteksi kecurangan.

Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuan auditor dalam

mendeteksi kecurangan ialah beban kerja seorang auditor. Liswan (2011:3)

menyatakan bahwa proses audit yang dilakukan ketika ada tekanan workload akan

menghasilkan kualitas audit yang lebih rendah dibandingkan dengan ketika tidak

ada tekanan workload yang akan semakin menganggu konsisten auditor dalam

mendeteksi kecurangan. Setiawan dan Fitriany (2011) dalam jurnalnya

menyatakan bahwa tingginya beban kerja akan menyebabkan kelelahan dan

dysfuncional behavior sehingga menurunkan kemampuannya dalam menemukan

kecurangan. Tetapi jika beban kerja auditor tersebut rendah, auditor akan

memiliki lebih banyak waktu untuk mengevaluasi bukti yang ditemukan, sehingga

auditor semakin bisa meningkatkan kemampuannya dalam mendeteksi

kecurangan.

Lopez dan Peters (2011) menyatakan bahwa ketika berada pada busy

season yaitu pada periode kuartal pertama awal tahun, auditor diminta untuk
7

menyelesaikan beberapa kasus pemeriksaan yang mengakibatkan auditor

kelelahan dan menurunnnya kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Anto,et al.(2020) bahwa

beban kerja berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi

kecurangan. Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Ranu dan Merawati (2017) yang menyatakan beban kerja tidak berpengaruh

terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Sementara itu, dari segi karakteristik perilaku auditor (tipe kepribadian) Sikap

seorang individu, salah satunya dapat ditentukan melalui tipe kepribadian yang

dimiliki seorang auditor. Menurut Noviyanti (2008) dalam Randua (2017)

menyatakan bahwa tipe kepribadian seseorang menjadi salah satu faktor yang

menentukan sikap yang dimiliki oleh individu tersebut, termasuk sikap skeptisme

yang terdapat pada diri individu tersebut. Dengan kata lain perbedaan karakteristik

individual yang melekat dalam diri seseorang akan mempengaruhi sikap

seseorang. Jadi dapat dikatakan bahwa perbedaan tipe kepribadian seseorang

menjadi dasar atau salah satu faktor yang menentukan sikap yang dimiliki oleh

individu tersebut, termasuk kemampuan yang terdapat pada diri individu tersebut.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Randua (2017) yang

menyatakan bahwa tipe kepribadian berpengaruh terhadap kemampuan auditor

dalam mendeteksi kecurangan. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan

Ranu dan Merawati (2017) yang menyatakan tipe kepribadian tidak berpengaruh

terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.


8

Faktor penting lainnya yang dapat menjadi salah satu pendorong kemampuan

audit dalam mendeteksi kecurangan ialah independensi. Auditor bersikap

independen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan yang diauditnya.

Jika dalam melaksanakan tugasnya seorang auditor mampu mendeteksi tindak

kecurangan, ia harus tetap mengungkapkannya sekalipun berada dalam tekanan

pihak tertentu. Dengan menggunakan independensi, kemampuan auditor dalam

mendeteksi kecurangan akan menjadi lebih baik dan setelah kecurangan

terdeteksi, auditor tidak terlibat dalam mengamankan praktik kecurangan tersebut

(Widiyastuti dan Pamudji, 2019).

Hal ini sejalan dengan penelitian Andyani, dkk (2014), Hartan, dkk (2016),

dan Putra (2017) yang menyatakan bahwa independensi berpengaruh positif dan

signifikan terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan. Namun berbeda

pada penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2015) bahwa independesi tidak

berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti kembali terkait

faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan auditor internal dalam

mendeteksi kecurangan. Penelitian merupakan pengembangan dari pada

Penelitian sebelumnya yaitu Faradina (2016) Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman

Audit Dan Tipe Kepribadian Terhadap Skeptisme Profesional Dan Kemampuan

Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan (Studi Empiris Pada Kap Di Kota Medan,

Padang Dan Pekanbaru). Penggunaan variabel yang dirujuk pada penelitian

sebelumnya karena banyak indikasi factor-faktor yang membuat auditor belum


9

maksimal dalam mendeteksi kecurangan terutama pada organisasi pemerintah.

Ketidak konsistenan hasil membuat peneliti ingin melakukan pengembangan

penelitian dengan menggunakan objek yang berbeda.

Selain itu perbedaan pada penelitian ini dengan sebelumnya ialah pada objek

penelitian yang mencoba menggunakan audit internal pemerintahan yaitu

inspektorat. Sehingga bisa mengetahui apa saja yang membuat audit internal

pemerintah tekhususnya di Provinsi Riau dalam mendeteksi kecurangan di

pemerintahan Provinsi Riau mengingat jumlah kasus tindakan kecurangan sangat

tinggi. Pada penelitian ini, mencoba menggunakan factor internal dan eksternal

yang mendukung karateristik auditor dalam bekerja. Sehingga diharapkan dapat

membantu mengetahui permasalahan mengapa lemahnya auditor internal dalam

mendeteksi kecurangan yang berakibatkan kecurangan banyak terjadi hingga saat

ini.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada penelitian

ini terdapat penambahan variabel independen baru yaitu variabel independen.

Karena menurut peneliti audit internal dalam mendeteksi kecurangan didalam

pemerintahan wajib memiliki sikap independensi yang kuat agar audit internal

dapat bekerja dengan baik untuk pemerintahan. Sikap indepensi pada audit

internal akan membatu audit tidak terlibat dalam suatu kejahatan.

Berdasarkan latar belakang dan fenomena yang ada di atas, peneliti tertarik

untuk menguji kembali variabel-variabel tersebut dengan beberapa perbedaan dari

penelitian sebelumnya karena belum adanya konsistensi hasil pada penelitian


10

terdahulu dan juga untuk mengembangkan penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya yang telah diteiliti oleh peneliti terdahulu dengan skripsi yang

berjudul “ PENGARUH SKEPTISME PROFESIONAL, PENGALAMAN

AUDITOR, BEBAN KERJA, TIPE KEPRIBADIAN DAN INDEPENDENSI

TERHADAP KEMAMPUAN AUDITOR INTERNAL DALAM

MENDETEKSI KECURANGAN DI INSPEKTORAT PROVINSI RIAU ”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka

permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah Skeptisme Profesional berpengaruh terhadap Kemampuan Auditor

Internal dalam Mendeteksi Kecurangan?

2. Apakah Pengalaman Auditor berpengaruh terhadap Kemampuan Auditor

Internal dalam Mendeteksi Kecurangan?

3. Apakah Beban Kerja berpengaruh terhadap Kemampuan Auditor Internal

dalam Mendeteksi Kecurangan?

4. Apakah Tipe Kepribadian berpengaruh terhadap Kemampuan Auditor

Internal dalam Mendeteksi Kecurangan?

5. Apakah Independensi berpengaruh terhadap Kemampuan Auditor Internal

dalam Mendeteksi Kecurangan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan tujuan:


11

1. Menguji dan menganalisis pengaruh Skeptisme Profesional terhadap

Kemampuan Auditor Internal dalam Mendeteksi Kecurangan

2. Menguji dan menganalisis pengaruh Pengalaman Auditor terhadap

Kemampuan Auditor Internal dalam Mendeteksi Kecurangan

3. Menguji dan menganalisis pengaruh Beban Kerja terhadap Kemampuan

Auditor Internal dalam Mendeteksi Kecurangan

4. Menguji dan menganalisis pengaruh Tipe Kepribadian terhadap

Kemampuan Auditor Internal dalam Mendeteksi Kecurangan

5. Menguji dan menganalisis pengaruh Independensi terhadap Kemampuan

Auditor Internal dalam Mendeteksi Kecurangan

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini akan lebih memperdalam ilmu pengetahuan, terutama

pengetahuan dalam bidang audit internal mengenai kemampuan audit

dalam mendeteksi kecurangan.

2. Penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan untuk pihak yang

ingin mempelajari audit internal dan diharapkan dapat menjadi bahan

referensi dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang sejenis.

3. Pemerintah daerah dapat menggunakan penelitian ini sebagai bahan acuan

dalam membantu meningkatkan kemampuan audit internal dalam

mendeteksi kecurangan pada pemerintahan Provinsi Riau


12

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara umum bagian-bagian yang akan

dibahas dalam penelitian ini, maka penulis menguraikan secara ringkas isi

masing-masing bab dengan sistematika berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini berisi Landasan Teori Penelitian terdahulu,

kerangka pemikiran, perumusan hipotesis, dan model penelitian

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bagian ini berisi Metode Penelitian yang terdiri dari lokasi

penelitian, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, teknik

pengumpulan data, variabel penelitian dan definisi operasional,dan

metode analisis data.serta pengujian hipotesis.


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Teori Agensi

Teori agensi merupakan sebuah teori mengenai hubungan antarapemegang

saham dengan manajemen dalam suatu kontrak yaitu manajemen melakukan

beberapa jasa untuk nama para pemegang saham. Dengan kata lain, manajemen

direkrut oleh para pemegang saham untuk bekerja dengan memperhatikan

kepentingan pemegang saham, yaitu bertindak yang terbaik bagi para pemegang

saham. Teori agensi ini menunjukkan bahwa kepemilikan dalam bentuk

pemegang saham dalam suatu perusahaan terpisah dengan manajemen yang

mengontrol perusahaan tersebut (Mohamed dan Handley-Schachler, 2015).

Perbedaan kepentingan yang dirasakan manajer akan menyebabkan

masalah agensi sehingga dapat terjadi kecurangan laporan keuangan. Dalam suatu

perusahaan, manajer diarahkan oleh pemegang saham untuk mencapai objektif

perusahaan. Maka dari itu, manajemen perlu mempersiapkan laporan keuangan

yang dapat diandalkan kepada pemegang saham guna untuk mengurangi resiko

agensi, yaitu resiko dimana manajemen gagal dalam melaksanakan tugas yang

diarahkan. Manajer dapat memprioritaskan kepentingan pribadinya sendiri

dibandingkan kepentingan pemegang saham dengan melakukan sejumlah cara

demi keuntungannya sendiri, yaitu dengan melakukan kecurangan dan

memanipulasi angka pada laporan keuangan.


14

2.1.2 Teori Atribusi

Teori atribusi mempelajari proses bagaimana seseorang

menginterpretasikan suatu peristiwa, alasan, atau sebab perilakunya

(Suartana, 2010). Suartana, (2010) menjelaskan bahwa teori atribusi

merupakan teori yang dikembangkan oleh Fritz Heider (1958). Fritz

Heider berargumentasi bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh

kombinasi antara kekuatan internal dan eksternal. Kekuatan internal

(internal forces) yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang,

seperti kemampuan atau usaha. Kekuatan eksternal (external forces), yaitu

faktor-faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam pekerjaan atau

keberuntungan. Contohnya ketika atlet lari berhasil mencapai finish

pertama kali dan mendapatkan keberhasilan maka usaha dan kemampuan

serta kesulitan tugas dan faktor keberuntungan telah menghinggapi atlet

tersebut.

Pada dasarnya teori atribusi mengemukakan bahwa ketika

mengobservasi perilaku seorang individu, kita berupaya menentukan

perilaku tersebut disebabkan secara internal atau eksternal. Perilaku yang

disebabkan secara internal adalah perilaku yang dipengaruhi oleh kendali

pribadi seorang individu yang berasal dari dalam diri seperti ciri

kepribadian, motivasi atau kemampuan. Perilaku yang disebabkan secara

eksternal dianggap sebagai akibat atau sebab-sebab diluar dari individu,

yaitu individu tersebut dianggap telah dipaksa berperilaku apa yang

diinginkan orang lain.


15

Karakteristik personal seorang auditor merupakan salah satu

penentu yang mempengaruhi hasil audit yang dihasilkan. Atribusi internal

maupun eksternal dapat mempengaruhi evaluasi pekerjaan individu. Hal

tersebut akan membantu auditor dalam bekerja untuk mendeteksi

kecurangan. Teori atribusi dapat digunakan untuk mendukung penelitian

ini. Teori atribusi dapat dihubungkan dengan karakteristik seorang auditor

dalam kemampuannya mendeteksi kecurangan. Menurut teori atribusi

pengendalian internal adalah perasaan yang dialami seseorang bahwa dia

mampu memengaruhi kinerjanya melalui kemampuan, keahlian, dan

usahanya.

Variabel skeptisme professional, tipe kepribadian, independensi

menjadi salah satu factor yang berasal dari internal. Variabel tersebut

dapat membentuk karateristik seorang auditor dan membantunya dalam

bekerja. Tidak hanya itu, untuk variabel pengalaman dan beban kerja

menjadi factor eksternal yang mendukung karateristik auditor dalam

bekerja. Faktor-faktor tersebut dapat membuat karateristik seorang auditor

semakin baik atau sebaliknya. Semakin baik factor-faktor tersebut

membentuk karateristik auditor, maka akan mampu mendorong auditor

bekerja sesuai kode etik dan mampu mendeteksi kecurangan dengan

menyatakan apa adanya sesuai fakta.

2.1.3 Audit Internal


16

Faktor utama diperlukannya audit internal adalah meluasnya rentang kendali

yang dihadapi instansi di pemerintah provinsi yang memilki ribuan pegawai serta

mengelola kegiatan yang bervariasi sesuai bidang yang ada. Sehingga, berbagai

penyimpangan dan ketidakwajaran dalam menyelenggarakan laporan keuangan

daerah ataupun yang bersifat non keuangan merupakan potensial masalah nyata

yang harus dihadapi. Untuk mendeteksi dan mencegah berbagai masalah yang ada

pada sistem birokrasi pemerintahan maka diperlukan audit internal untuk

melakukan pengawasan serta pembinaan. Oleh karena itu, diperlukan pengujian

dan pengevaluasian pada kegiatan-kegiatan dalam pemerintahan tersebut.

2.1.3.1 Pengertian Audit Internal

Konsorsium organisasi profesi Auditor Internal Indonesia menyatakan definisi

audit internal yang sepenuhnya mengikuti definisi yang dikembangkan oleh The

Institute of Internal Auditors Inc. (IIA) yang dikutip oleh Tunggal (2012: 13)

Dalam bukunya yang berjudul pedoman pokok audit internal: Audit internal

adalah kegiatan assurance dan konsultasi yang independen dan obyektif, yang

dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan operasi

organisasi.

Definisi lain dalam buku Tunggal (2012: 3) menurut Sawyer: “Internal


auditing is a systematic, objectif appraisal by internal auditor ofthe diverse
operation and control within on organization to determinewhether (1) financial
and operating information is accurate and reliable;(2) risk to the enterprise are
identified and minimized;(3) externalregulations and acceptable internal policies
and procudere are followed;(4) satisfactory operating criteria are met;
(5)resources are used efficientlyand economically and;6) the organization’s
objectives are effectivelyachieved-all for th purpose of consulting with
management and forassisting member of the organization in the effecive
discharge of theirresponsibilities”
17

Definisi menurut Sawyer secara jelas diterangkan bahwa audit internal

merupakan tonggak utama dalam mendukung keefektifan suatu organisasi dalam

mencapai tujuannya, serta efisiennya terhadap penggunaan seluruh sumber daya

yang ada. Tercapainya tujuan secara efektif dan efisien dalam organisasi yaitu

melalui perbaikan manajemen risiko terhadap integrity risk yang akan timbul

dalam organisasi melalui identifikasi ataupun meminimalisirnya. Keandalan

informasi keuangan dan operasi merupakan salah satu kriteria yang dimasukkan

dalam proses audit internal. Uraian di atas menunjukkan bahwa audit internal

memberikan kontribusi terhadap operasi dan pengendalian secara objektif dan

sitematis dalam pencapaian tujuan organisasi. Selanjutnya IIA’S Board of

Directors memperbarui definisi audit internal disebabkan definisi yang

dikeluarkan oleh sawyer tidak mengikat lagi kebutuhan stakeholders seiring

perkembangan dunia bisnis dan teknologi.

Berikut definisi yang telah diperbarui yang dikeluarkan oleh IIA’S Board of

Directors yang ditulis oleh Tunggal (2012:4): Internal auditing is an indepent,

objective assurane and consulting activitydesigned to add value and improve an

organization/operation. It help anorganization accomplish its objectives by

bringing a systematis, disciplined approach to evaluate and improve to

effectiveness of risk management,control and governance processes.

2.1.3.2 Fungsi dan Tanggung Jawab Audit Internal

Menurut Hartadi (2006), fungsi audit internal adalah melaksanakan kegiatan

bebas dan memberi saran-saran suatu fungsi pengendalian manajemen guna


18

mengukur dan meneliti efektivitas sistem pengendalian intern. Tanggung jawab

audit internal ditulis oleh Hartadi (2006) dalam bukunya Internal Auditing: Suatu

Tinjauan Sistem Informasi Manajemen dan cara pelaporannya yaitu:

1. Menilai prosedur dan menilai hal-hal yang saling berhubungan, terdiri

dari:

a) Memberi pendapat efisiensi atau kelayakan prosedur

b) Mengembangkan atau memperbaiki prosedur

c) Menilai personalia d) Ide-ide seperti pembuatan standar.

2. Verifikasi dan analisis data, yang menyangkut:

a) Penelaahan data yang dihasilkan sistem akuntansi guna membuktikan

bahwa laporan-laporan yang dihasilkan adalah benar (valid).

b) Membuat analisis-analisis lebih lanjut untuk memberi dasar/membantu

penyimpulan-penyimpulannya.

3. Verifikasi kelayakan yaitu: Prosedur akuntansi atau kebijakan lainnya

yang telah dilakukan

a) Prosedur operasi/kegiatan yang mengikuti peraturan-peraturan

pemerintah telah dilaksanakan

b) Kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan kontrak yang

berjalan telah dipatuhi.

Sedangkan fungsi perlindungan audit internal yaitu:

1) Menghindari dan menemukan penggelapan, ketidakjujuran

atau kecurangan.
19

2) Memeriksa semua kekayaan dalam organisasi.

3) Meneliti transaksi dengan pihak luar.

4) Melatih dan memberi bantuan kepada pegawai/staf terutama

bidang akuntansi.

5) Jasa-jasa lainnya termasuk penyelidikan khusus yaitu dengan

membantu pihak luar seperti, kantor akuntan (yang memeriksa

laporan keuangan secara periodik), atau konsultan lainnya

yang berkepentingan dengan data kegiatan di dalam

organisasi.

4. Aktivitas Audit Internal Kosasih (2009) dalam bukunya berjudul

Auditing: Prinsip dan Prosedur memaparkan aktivitas audit internal.

Aktivitas audit internal menyangkut dua hal yaitu: financial audit atau

pemeriksaan keuangan adalah verifikasi eksistensi kekayaan dan

meyakinkan bahwa pengamanannya cukup dan apakah sistemakuntansi

dan sistem pelaporan dapat dipercaya termasuk pembahasan internal

control. Selanjutnya yaitu operational/management audit atau

pemeriksaan pengelolaan merupakan perluasan jangkauan internal

auditing ke seluruh tingkat operasi dari perusahaan, tidak terbatas pada

keuangan dan pembukuan. Dari pernyataan di atas diterangkan bahwa

financial audit memusatkan pemeriksaannya pada informasi keuangan dan

operasi dalam hal ini untuk memperoleh kebenaran atas proses

pencatatannya. Sedangkan, management auditing berfokus pada

keekonomisan dan efisiensi penggunaan sumber daya perusahaan dalam


20

rangka pencapaian tujuan organisasi, atau dengan kata lain, menilai

efektivitas kinerja organisasi tersebut.

2.1.3.3 Perbedaan Auditor Internal dan Auditor Eksternal

Berikut perbedaan audit internal dan auditor eksternal yang dielaborasikan:

1. Perbedaan Misi

Auditor internal memiliki tanggung jawab utama yang tidak terbatas pada

pengendalian internal berkaitan dengan tujuan reliabilitas pelaporan keuangan

saja, namun juga melakukan evaluasi desain dan implementasi pengendalian

internal, manajemen risiko, dan governance dalam pemastian pencapaian tujuan

organisasi. Selain tujuan pelaporan keuangan, auditor internal juga mengevaluasi

efektivitas dan efisiensi serta kepatuhan aktivitas organisasi terhadap ketentuan

perundang-undangan dan kontrak, termasuk ketentuan- ketentuan internal

organisasi. Sedangkan audit eksternal memiliki tanggung jawab utama dalam

memberikan opini atas kewajaran pelaporan keuangan organisasi, terutama dalam

penyajian posisi keuangan dan hasil operasi dalam suatu periode. Mereka juga

menilai apakah laporan keuangan organisasi disajikan sesuai dengan prinsip-

prinsip akuntansi yang diterima secara umum, diterapkan secara konsisten dari

periode ke periode, dan seterusnya. Opini ini akan digunakan para pengguna

laporan keuangan, baik di dalam organisasi terlebih di luar organisasi, antara lain

untuk melihat seberapa besar tingkat reliabilitas laporan keuangan yang disajikan

oleh organisasi tersebut.


21

2. Perbedaan Organisasional

Dalam organisasi auditor internal merupakan bagian integral di mana klien

utama mereka adalah manajemen dan dewan direksi, serta dewan komisaris,

termasuk komite-komite yang ada. Biasanya auditor internal merupakan karyawan

organisasi yang bersangkutan. Meskipun dalam perkembangannya pada saat ini

dimungkinkan untuk dilakukan outsourcing atau co-sourcing internal auditor,

namun sekurang-kurangnya penanggung jawab aktivitas audit internal (CAE)

tetaplah bagian integral dari organisasi. Sementara auditor eksternal sebaliknya,

dimana auditor eksternal merupakan pihak ketiga alias bukan bagian dari

organisasi. Mereka melakukan penugasan berdasarkan kontrak yang diatur dengan

ketentuan perundang- udangan maupun standar profesional yang berlaku untuk

auditor eksternal.

3. Perbedaan Pemberlakuan Secara umum,

Fungsi audit internal tidak wajib bagi organisasi. Namun demikian, untuk

perusahaan yang bergerak di industri tertentu, seperti perbankan, dan juga

perusahaan-perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia diwajibkan untuk

memiliki auditor internal. Perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN) juga

diwajibkan untuk memiliki auditor internal. Sementara itu, pemberlakuan

kewajiban untuk dilakukan audit eksternal lebih luas dibandingkan audit internal.

Perusahaan-perusahaan yang listing, badan-badan sosial, hingga partai politik

dalam keadaankeadaan tertentu diwajibkan oleh ketentuan perundang-undangan

untuk dilakukan audit eksternal.


22

4. Perbedaan fokus dan Orientasi

Auditor internal lebih berorientasi ke masa depan, yaitu kejadian- kejadian

yang diperkirakan akan terjadi, baik yang memiliki dampak positif (peluang),

maupun dampak negatif (risiko), serta bagaimana organisasi bersiap terhadap

segala kemungkinan pencapaian tujuannya. Sedangkan, auditor eksternal berfokus

pada akurasi dan biasa dipahaminya kejadian-kejadian historis sebagaimana

terefleksikan pada laporan keuangan organisasi.

5. Perbedaan Kualifikasi

Kualifikasi yang diperlukan untuk seorang auditor internal tidak harus seorang

akuntan, namun juga teknisi, personil marketing, insinyur produksi, serta personil

yang memiliki pengetahuan dan pengalaman lainnya tentang operasi organisasi

sehingga memenuhi syarat untuk melakukan audit internal. Berbeda dengan

auditor eksternal yang harus memiliki kualifikasi akuntan yang mampu

memahami dan menilai risiko terjadinya errors dan irregularities, mendesain audit

untuk memberikan keyakinan memadai dalam mendeteksi kesalahan material,

serta melaporkan temuan tersebut. Pada kebanyakan negara, termasuk di

Indonesia, auditor perusahaan publik harus menjadi anggota badan profesional

akuntan yang diakui oleh ketentuan perundang-undangan.

6. Perbedaan Timing

Auditor internal melakukan review terhadap aktivitas organisasi secara

berkelanjutan. Sedangkan auditor eksternal biasanya melakukan secara

periodik/tahunan
23

2.1.3.4 Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan

Dewasa ini kecurangan merupakan tindakan yang sifatnya kontinyu dan

memang sulit dalam upaya menghapuskan tindakan tersebut, meski telah

adaupaya internal audit dalam suatu organisasi dikarenakan kecurangan itu sendri

telah membudaya serta sifat manusia yang terkadang mempunyai sifat serakah

yang akhirnya dapat memicu hal tersebut. Meski demikian, internal audit tetap

berupaya dalam meminimalisir kecurangan dalam organisasi dengan

mengupayakan pencegahan dini, serta memberikan pembinaan-pembinaan dalam

sebuah perusahaan atau organisasi. AICPA bersama dengan organisasi

profesional, menerbitkan Management Anti Fraud Program and Controls :

Guidance to Prevent, Deter, and Detect Fraud.

Dalam pedoman tersebut, mengungkapkan tiga unsur untuk mencegah,

menghalangi, dan mendeteksi kecurangan:

1. budaya jujur dan etika yang tinggi;

2. tanggung jawab manajemen untuk mengevaluasi resiko kecurangan

3. pengawasan oleh komite audit.

Mencakup ketiga hal di atas, maka pengendalian internal merupakan cara yang

paling efektif dalam mencegah dan menghalangi kecurangan. Namun, penciptaan

lingkungan pengendalian yang efektif tidak luput dari adanya nilaiatau norma

yang dianut dalam perusahaan tersebut. Dengan adanya nilai dan norma dapat
24

membantu menciptakan budaya jujur dan etika yang tinggi. Penciptaan budaya

jujur dan etika yang tinggi menurut Tunggal (2012:220) mencakup enam unsur :

1. Tone at the top.

Manajemen dan dewan direksi berada pada posisi atas. Dalam hal ini

menajemen dan dewan direksi selaku pemberi arahan terhadap karyawannya serta

tidak membiarkan karyawan yang tidak menanamkan kejujuran dan perilaku etis.

2. Menciptakan lingkungan kerja positif.

Semangat karyawan akan semakin meningkat jika dalam perusahaannya

iamerasa lebih santai, namun tetap memiliki dedikasi yang tinggi. Dengan

demikian, karyawan tidak merasa terabaikan dalam lingungannya, misalnya

seorang karyawan yang tidak mendapatkan tekanan berlebihan, ancaman dan

sebagainya.

3. Mempekerjakan dan mempromosikan pegawai yang tepat.

Perusahaan sebaiknya memprioritaskan karyawan untuk mendapat promosi

atau mempekerjakan berdasarkan tingkat kejujuranya agar karyawan didalamnya

dapat lebih kompeten dan menanamkan kejujurannya sehingga dapat membantu

pencegahan terjadinya kecurangan. Hal demikian dimaksudkan agar lebih

mengefektifkan pencegahan atau menghalangi kecurangan.

4. Pelatihan.
25

Pelatihan merupakan tool serta menjadi pegangan bagi karyawan dalam

perusahaan agar mampu menerapkan perilaku etisnya. Pelatihan merupakan

bagian yang penting dalam pengendalian anti kecurangan ini.

5. Konfirmasi.

Adakalanya pegawai mengkonfirmasikan tanggung jawab serta perilaku

mereka selama bekerja tanpa melaporkan suatu tindakan yang melanggar. Hal ini

dapat mengokohkan kebijakan kode perilaku dan juga membantu pegawai untuk

tidak melakukan kecurangan.

6. Disiplin.

Setiap pegawai harus mengetahui bahwa mereka akan dimintai

pertanggungjawaban jika tidak mengikuti kode perilaku perusahaannya atau

melanggar nilai dan norma, sehingga pegawai akan merasa enggan untuk berbuat

tidak etis yang merujuk pada kecurangan.

2.1.3.5 Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan

Kemampuan auditor mendeteksi kecurangan berarti proses menemukan

atau menentukan suatu tindakan ilegal yang dapat mengakibatkan salah saji dalam

pelaporan keuangan yang dilakukan secara sengaja (Widiyastuti dan Pamudji,

2019). Berikut adalah gambaran secara garis besar pendeteksian kecurangan oleh

ACFE (Amrizal, 2004:12-15):

1. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)


26

Kecurangan dalam penyajian laporan keuangan umumnya dapat dideteksi

melalui analisis laporan keuangan sebagai berikut :

a. Analisis Vertikal, yaitu teknik yang digunakan untuk menganalisis

hubungan antara item-item dalam laporan laba rugi, neraca, atau laporan arus kas

dengan menggambarkannya dalam persentase.

b. Analisis Horizontal, yaitu teknik untuk menganalisis persentasepersentase

perubahan item laporan keuangan selama beberapa periode laporan.

c. Analisis Rasio, yaitu alat untuk mengukur hubungan antara nilai-nilai item

dalam laporan keuangan.

2. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)

Teknik untuk mendeteksi kecurangan-kecurangan kategori ini sangat

banyak variasinya. Namun, pemahaman yang tepat atas pengendalian intern yang

baik dalam pos-pos tersebut akan sangat membantu dalam melaksanakan

pendeteksian kecurangan. Dengan demikian, terdapat banyak sekali teknik yang

dapat dipergunakan untuk mendeteksi setiap kasus penyalahgunaan aset. Masing-

masing jenis kecurangan dapat dideteksi melalui beberapa teknik yang berbeda.

a. Analytical review Suatu review atas berbagai akun yang mungkin menunjukkan

ketidakbiasaan atau kegiatan-kegiatan yang tidak diharapkan.

b. Statistical sampling Metode deteksi ini akan efektif jika ada kecurigaan

terhadap satu attributnya.


27

c. Vendor or outsider complaints Komplain/keluhan dari konsumen, pemasok,

atau pihak lain merupakan alat deteksi yang baik yang dapat mengarahkan auditor

untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

d. Site visit – observation Observasi ke lokasi biasanya dapat mengungkapkan

ada tidaknya pengendalian intern di lokasi-lokasi tersebut.

2. Korupsi (Corrpution) Sebagian besar kecurangan ini dapat dideteksi melalui

keluhan dari rekan kerja yang jujur, laporan dari rekan, atau pemasok yang tidak

puas dan menyampaikan komplain ke perusahaan. Pendeteksian atas kecurangan

ini dapat dilihat dari karakteristik si penerima maupun si pemberi

2.1.4 Skeptisme Profesional

Skeptisme profesional adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu

mempertanyakan dan melakukan evaluasi secra kritis terhadap bukti pemeriksaan

atau hal-hal lain selama pemeriksaan. Skeptisme profesional berarti pemeriksa

tidak menganggap bahwa pihak yang bertanggungjawab adalah tidak jujur, tetapi

juga tidak menganggap bahwa kejujuran pihak yang bertanggungjawab tdak

dipertanyakan lagi (SPKN, 2017). Hurtt (2010:152-155) menyatakan terdapat tiga

tingkatan dengan enam karakteristik skeptisme profesional yang berkaitan dengan

cara auditor memeriksa bukti:

A. Pengujian bukti (examination of evidence) yang meliputi:

1) Questioning Mind
28

Karakteristik yang pertama adalah pikiran yang selalu mempertanyakan

sesuatu. Skeptisme profesional memerlukan pikiran yang selalu

mempertanyakan apakah informasi dan bukti-bukti yang diperoleh

menunjukkan bahwa slah saji material karena kecurangan telah terjadi.

2) Suspension of Judgement

Aspek kedua dari skeptisme profesional adalah karakteristik penundaan

keputusan sampai memperoleh bukti yang cukup untuk dijadikan dasar

pengambilan keputusan

3) Search for Knowledge

Karakteristik search for knowledge berbeda dengan questioning mind,

search for knowledge lebih dari rasa ingin tahu terhadap pengetahuan secara

umum dan tidak selalu termotivasi untuk memverifikasi sebuah kesimpulan

atau memperoleh informasi yang spesifik.

B. Pemahaman mengenai penyedia bukti (understanding evidence providers)

yang terdiri dari:

4) Interpersonal Understanding

Aspek penting untuk memeriksa bukti audit adalah pemahaman

interpersonal yang berkaitan dengan pemahaman motivasi dan integritas dari

individu-individu yang memberikan bukti.

C. Inisiatif seseorang untuk melakukan tindakan berdasarkan pada bukti yang

diperolehnya (acting on the evidence) terdiri dari:

5) Autonomy
29

Setiap auditor harus objektif dalam mengevaluasi bukti-bukti audit untuk

menentukan apakah bukti tersebut cukup untuk membuat sebuah keputusan.

Hal ini mendukung karakteristik percaya diri ketika auditor memutuskan

sendiri tingkat bukti yang diperlukan untuk menerima sebuah hipotesis

tertentu.

6) Self-Esteem

Dalam penelitian psikologi, harga diri ditandai sebagai kepercayaan

terhadap kemampuan sendiri. Harga diri memungkinkan auditor untuk

menolak upaya persuasi dan menantang asumsi atau kesimpulan lain.

2.1.5 Pengalaman Audit

2.1.5.1 Pengertian Pengalaman Audit

Pengalaman sangatlah penting diperlukan dalam rangka kewajiban seorang

pemeriksa terhadap tugasnya untuk memenuhi standar audit. Pengetahuan seorang

auditor dimulai dengan pendidikan formal, yang diperluas melalui pengalaman-

pengalaman selanjutnya dalam praktik audit. Untuk memenuhi persyaratan

sebagai seorang profesional, auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)

bahwa persyaratan yang dituntut dari seorang auditor independen adalah orang

yang memiliki pendidikan dan pengalaman yang memadai yang biasanya

diperoleh dari praktik-praktik dalam bidang auditing sebagai auditor independen.


30

Pengalaman audit adalah pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan

laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan

yang pernah dilakukan. Auditor yang mempunyai pengalaman yang berbeda, akan

berbeda pula dalam memandang dan menanggapi informasi yang diperoleh

selama melakukan pemeriksaan dan juga dalam memberi kesimpulan audit

terhadap obyek yang diperiksa berupa pemberian pendapat. Semakin banyak

pengalaman seorang auditor, maka Pertimbangan Tingkat Materialitas dalam

laporan keuangan perusahaan akan semakin tepat. Selain itu, semakin tinggi

tingkat pengalaman seorang auditor, semakin baik pula pandangan dan tanggapan

tentang informasi yang terdapat dalam laporan keuangan, karena auditor telah

banyak melakukan tugasnya atau telah banyak memeriksa laporan keuangan dari

berbagai jenis industry ( Novanda 2012 : 28 ).

Pengalaman audit yang dimaksud di sini adalah pengalaman auditor dalam

melakukan audit laporan keuangan dari segi lamanya waktu maupun banyaknya

penugasan yang pernah ditangani (Suraida: 2005).

Auditor yang mempunyai pengalaman yang berbeda, akan berbeda pula dalam

memandang dan menanggapi informasi yang diperoleh selama melakukan

pemeriksaan dan juga dalam memberi kesimpulan audit terhadap obyek yang

diperiksa berupa pemberian 35 pendapat Seorang karyawan yang memiliki

pengalaman kerja yang tinggi akan memiliki keunggulan dalam beberapa hal

diantaranya:

1. Mendeteksi kesalahan
31

2. Memahami kesalahan dan,

3. Mencari penyebab munculnya kesalahan

Purnamasari (20015:15), memberikan kesimpulan bahwa seorang pegawai

yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan memiliki keunggulan dalam

beberapa hal diantaranya mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan dan

mencari penyebab munculnya kesalahan. Berbagai macam pengalaman yang

dimiliki individu akan mempengaruhi pelaksanaan suatu tugas. Sedangkan

Mulyadi (2010:24) mendefinisikan pengalaman auditor adalah. “Seseorang

auditor harus mempunyai pengalaman dalam kegiatan auditnya, pendidikan

formal dan pengalaman kerja dalam profesi akuntan merupakan dua hal

penting dan saling melengkapi. Pemerintah mensyaratkan pengalaman kerja

sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai akuntan dengan reputasi baik di

bidang audit bagi akuntan yang ingin memperoleh izin praktik dalam profesi

akuntan publik.”

PSA No.4 Standar Umum juga menjelaskan bahwa: “Seberapa tinggi

kemampuan seseorang dalam bidang auditing, ia tidak dapat memenuhi

persyaratan yang ditegaskan dalam standar auditing, jika ia tidak memiliki

pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing.” Di bidang

audit, pengalaman audit yang dimiliki seorang auditor merupakan faktor yang

dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Pengalaman audit merupakan

faktor penting dalam memprediksi dan mendeteksi kinerja auditor, karena

auditor yang berpengalaman lebih memiliki ketelitian yang tinggi mengenai

kecurangan dari pada yang kurang atau belum berpengalaman. Berbagai


32

penelitian audit menunjukan bahwa semakin berpengalaman seorang auditor

semakin mampu dia menghasilkan kinerja yang baik dalam tugas-tugas yang

semakin kompleks ( Libby 1995 dikutip oleh Koroy 2005).

Penggunaaan pengalaman didasarkan pada asumsi bahwa tugas yang

dilakukan secara berulang-ulang memberikan peluang untuk belajar

melakukannya dengan yang terbaik. Secara psikis, pengalaman akan

membentuk pribadi seseorang yang membuat seseorang lebih bijaksana dalam

berfikir maupun bertindak, karena pengalaman seseorang akan merasakan

posisinya dia dalam keadaan baik dan saat dalam keadaan buruk sekalipun.

Bawono dan Singgih (2011) menyatakan bahwa pekerjaan yang secara

berulang-ulang dilakukan juga menjadi faktor yang dapat meningkatkan

pengalaman dan membuatnya menjadi lebih cepat dan lebih baik dalam

menyelesaikan tugas-tugas, serta individu tersebut lebih mengetahui

hambatanhambatan yang mungkin dialaminya.

Dari definisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengalaman

dapat memperdalam dan memperluas kemampuan seseorang dalam

melakukan suatu pekerjaan, Semakin berpengalaman seseorang melakukan

pekerjaan yang sama, maka akan semakin terampil dan semakin cepat dalam

menyelesaikan pekerjaan tersebut.

2.1.5.2 Kriteria Pengalaman Auditor

Penilaian yang baik adalah yang dilakukan secara obyektif oleh orang yang

ahli (kompeten) dan cermat (due care) dalam melaksanakan tugasnya. Untuk
33

menjamin obyektivitas penilaian, pelaku audit (auditor) baik secara pribadi

maupun institusi harus independen terhadap pihak yang diaudit (auditi), dan untuk

menjamin kompetensinya, seorang auditor harus memiliki keahlian dibidang

auditing dan mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai bidang yang

diauditnya. Sedangkan kecermatan dalam melaksanakan tugas ditunjukkan oleh

perencanaan yang baik, pelaksanaan kegiatan sesuai standar dan kode etik,

supervisi yang diselenggarakan secara aktif terhadap tenaga yang digunakan

dalam penugasan, dan sebagainya.

2.1.6 Beban Kerja Auditor

2.1.6.1 Pengertian Beban Kerja

Beban kerja (workload) merupakan salah satu aspek dalam meningkatkan

produktivitas perusahaan dan kualitas jasa yang dihasilkan oleh karena itu beban

kerja harus sesuai dengan kapasitasnya dan diperhatikan oleh setiap perusahaan

agar kegiatan perusahaan berjalan efektif dan efisien serta jasa yang dihasilkan

berkualitas. Menurut Permendagri No.12 tahun 2008 Beban kerja adalah besaran

pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan/unit organisasi dan merupakan

hasil kali antara volume kerja dan norma waktu.

Liswan (2011:3) menyatakan bahwa proses audit yang dilakukan ketika ada

tekanan workload akan menghasilkan kualitas audit yang lebih rendah

dibandingkan dengan ketika tidak ada tekanan workload. Dengan adanya beban

kerja yang dihadapi oleh karyawan, seorang karyawan tidak dapat melakukan

pekerjaannya dengan maksimal karena pekerjaan yang banyak tidak didukung


34

dengan waktu yang cukup dalam mengerjakan pekerjaan tersebut. Sehingga

auditor dalam melakukan tugasnya tidak bisa menghasilkan kualitas audit yang

baik Pengertian beban kerja menurut L. Hardi Pranoto dan Retnowati (2015:2)

adalah: “Beban kerja adalah tindakan yang bertujuan untuk mengetahui jumlah

waktu yang diperlukan karyawan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.”

Menurut Adil Kurnia (2010) dalam jurnalnya menyatakan pengertian beban

kerja (workload), yaitu : “Beban kerja adalah suatu proses analisa terhadap waktu

yang digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam menyelesaikan

tugas-tugas suatu pekerjaan (jabatan) atau kelompok jabatan (unit kerja) yang

dilaksanakan dalam keadaan atau kondisi normal.” Sedangkan Tarwaka yang

dikutip oleh Murdiyani, (2010) mengemukakan bahwa setiap pekerjaan

merupakan beban bagi yang bersangkutan. Beban tersebut dapat berupa beban

fisik maupun mental.

Sementara Grounewegen yang dikutip oleh Murdiyani (2010) mendefinisikan

beban kerja sebagai jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh sekelompok

atau seseorang dalam waktu tertentu. Berdasarkan definisi diatas dapat diartikan

bahwa beban kerja (workload) adalah keseluruhan waktu yang digunakan oleh

seseorang dalam melakukan aktivitas atau kegiatan selama jam kerja.

2.1.6.2 Dimensi Beban Kerja

Menurut Munandar (2001:381-384), mengklasifikasikan beban kerja kedalam

faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan sebagai berikut :

1. Tuntutan Fisik.
35

Kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal

disamping dampaknya terhadap kinerja pegawai, kondisi fisik berdampak pula

terhadap kesehatan mental seorang tenaga kerja.

2. Tuntutan tugas

Kerja shif/kerja malam sering kali menyebabkan kelelahan bagi para pegawai

akibat dari beban kerja yang berlebihan. Beban kerja berlebihan dan beban kerja

terlalu sedikit dapat berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Beban kerja dapat

dibedakan menjadi dua katagori yaitu :

a. Beban kerja terlalu banyak/sedikit “ Kuantitatif” yang timbul akibat dari

tugas tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk

diselesaikan dalam waktu tertentu.

b. Beban kerja berlebihan/terlalu sedikit Kualitatif yaitu jika orang merasa

tidak mampu untuk melaksanakan suatu tugas atau melaksanakan tugas tidak

menggunakan keterampilan dan atau potensi dari tenaga kerja Beban kerja terlalu

sedikit dapat menyebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah

kesemangat dan motivasi yang rendah untuk kerja, karena pegawai akan merasa

bahwa dia tidak maju maju dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat

dan keterampilannya.

Sedangkan menurut Tarwaka (2011:131) performansi kerja manusia terdiri

dari tiga dimensi ukuran beban kerja yaitu:


36

1. Beban waktu (Time Load) yang menunjukkan jumlah waktu yang tersedia

dalam perencanaaan, pelaksanaan, monitoring tugas. Beban 28 waktu sangat dekat

hubungannya dengan penggunaan waktu yang menjadi metode utama dalam

mengevaluasi seseorang dalam menyelesaikan tugas tugasnya. Beban waktu

tergantung pada ketersediaan waktu senggang dan tumpang tindih yang terjadi di

antara tugas-tugas.

2. Beban usaha mental (Mental Effort ) yang berarti banyaknya usaha mental

dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Beban usaha mental adalah sebuah

indikator tentang jumlah perhatian atau tuntutan mental yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan sebuah pekerjaan. Dengan beban usaha mental yang rendah maka

konsentrasi dan perhatian yang dibutuhkan untuk mengerjakan sebuah tugas akan

minimal jumlahnya dan oleh karena itu kinerja hampir menjadi sesuatu yang

otomatis.

Secara umum hal ini disebabkan oleh kompleksitas tugas dan jumlah

informasi yang harus diproses oleh seorang operator untuk melakukan tugas

tersebut dengan baik. Tuntutan yang tinggi oleh usaha mental membutuhkan

perhatian atau konsentrasi total yang disebabkan oleh adanya kompleksitas tugas

atau jumlah informasi yang harus diproses. Aktivitas-aktivitas seperti melakukan

kalkulasi, membuat keputusan, mengingat atau menyimpan informasi dan

pemecahan masalah adalah contoh- contoh usaha mental.

3. Beban tekanan psikologis (Psylogical Stress) yang menunjukkan tingkat

resiko pekerjaan, kebingungan dan frustasi. Beban tekanan psikologis mengacu


37

pada kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya kebingungan, frustasi

yang terkait dengan kinerja tugas, sehingga membuat penyelesaian tugas menjadi

lebih sulit untuk dilaksanakan. Pada tekanan dengan level rendah maka seseorang

akan merasa relatif rileks, begitu tekanan meningkat maka akan terjadi distraksi

dan aspek-aspek yang bersangkutan yang terkait dengan tugas yang disebabkan

oleh faktor-faktor yang ada dalam lingkungan individu. Faktor-faktor tersebut

meliputi hal-hal seperti motivasi, kelelahan, rasa takut, tingkat kemampuan,

temperatur, kebisingan, vibrasi, atau ketenangan.

2.1.6.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Beban Kerja Auditor

Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja dalam penelitian Aminah

Soleman (Jurnal Arika, 2011:85) adalah sebagai berikut :

1. Faktor eksternal: Beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti:

a. Tugas (Task). Meliputi tugas bersifat seperti, stasiun kerja, tata ruang

tempat kerja, kondisi ruang kerja, kondisi lingkungan kerja, sikap kerja.

b. Organisasi kerja. Meliputi lamanya waktu kerja, waktu istirahat, shift kerja,

sistem kerja dan sebagainya.

c. Lingkungan kerja. Lingkungan kerja ini dapat memberikan beban tambahan

yang meliputi, lingkungan kerja fisik, lingkungan kerja miniawi, lingkungan

kerja bioligis dan lingkungan kerja psikologis.

2. Faktor internal; adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh akibat dari

reaksi beban kerja eksternal yang berpotensi sebagai stresor, meliputi


38

faktor somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi

kesehatan, dan sebagainya), dan faktor psiksi (motivasi, persepsi,

kepercayaan, keinginan, kepuasan, dan sebagainya).

2.1.6.4 Pengukuran Beban Kerja

Pengukuran beban kerja dapat dilakukan dalam berbagai prosedur, namun

O’Donnell & Eggemeier (dalam Muskamal, 2010) telah menggolongkan secara

garis besar ada tiga kategori pengukuran beban kerja. Tiga kategori tersebut yaitu:

1. Pengukuran subjektif, yakni pengukuran yang didasarkan kepada penilaian

dan peloporan oleh pekerja terhadap beban kerja yang dirasakannya dalam

menyelesaikan suatu tugas. Pengukuran jenis ini pada umumnya

menggunakan skala penilaian (ratting scale).

2. Pengukuran kinerja, yaitu pengukuran yang diperoleh melalui pengamatan

terhadap aspek-aspek perilaku/aktivitas yang ditampilkan oleh pekerja.

Salah satu jenis dalam pengukuran kinerja adalah pengkuruan yang diukur

berdasarkan waktu. Pengukuran kinerja dengan menggunakan waktu

merupakan suatu metode untuk mengetahui waktu penyelesaian suatu

pekerjaan yang dikerjakan oleh pekerja yang memiliki kualifikasi tertentu,

di dalam suasana kerja yang telah ditentukan serta dikerjakan dengan suatu

tempo kerja tertentu (Whitmore, 1987).

3. Pengukuran fisiologis, yaitu pengukuran yang mengukur tingkat beban

kerja dengan mengetahui beberapa aspek dari respon fisilogis pekerja

sewaktu menyelesaikan suatu tugas/pekerja tertentu. Pengukuran yang


39

dilakukan biasanya pada refleks pupil, pergerakan mata, aktivitas otot dan

respon-respon tubuh lainnya.

2.1.6.5 Manfaat Pengukuran Beban Kerja

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008 Tentang

Pedoman Analisis Beban Kerja Di Lingkungan Departemen Dalam Negeri Dan

Pemerintah Daerah dalam Muskamal (2010) menjelaskan bahwa dilakukannya

pengukuran beban kerja memberikan beberapa manfaat kepada organisasi, yakni:

1. Penataan/ penyempurnaan struktur organisasi.

2. Penilaian prestasi kerja jabatan dan prestasi kerja unit.

3. Bahan penyempurnan sistem dan prosedur kerja.

4. Sarana peningkatan kinerja kelembagaan.

5. Penyusunan standar beban kerja jabatan/ kelembagaan, penyusunan daftar

susunan pegawai atau bahan penetapan eselonisasi jabatan struktural

6. Penyusunan rencana kebutuhan pegawai secara riil sesuai dengan beban

kerja organisasi.

7. Program mutasi pegawai dari unit yang berlebihan ke unit yang

kekurangan.

8. Program promosi pegawai.

9. Reward and punishment terhadap unit atau penjabat.

10. Bahan penyempurnaan program diklat.

11. Bahan penetapan kebijakan bagi pimpinan dalam rangka peningkatan

pendayagunaan sumber daya manusia.

12. Beban kerja memberikan beberapa keuntungan bagi organisasi.


40

2.1.7 Tipe Kepribadian

Tipe kepribadian yaitu, faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang/

individu akan kemampuannya secara personal mampu mempengaruhi kinerja

serta perilakunya. Goleman yang dikutip oleh Suartana (2010:148)

mengemukakan untuk menjadi auditor yang mampu melaksanakan tanggung

jawabnya dengan menjunjung tinggi etika profesinya, kecerdasan intelektual

hanya menyumbang 20%, sedangkan 80% dipengaruhi oleh bentuk-bentuk

kecerdasan lain, salah satunya adalah kecerdasan emosional. Kecerdasan

emosional disini sangat erat hubungannya dengan kepribadian. sehingga tipe

kepribadian auditor dapat mempengaruhi perilaku auditor dalam bertindak.

Robbins (2013:133) mengemukakan ketika berbicara tentang kepribadian,

bukan berbicara mengenai seseorang yang tampan, sikap yang positif dalam

kehidupannya atau wajah yang selalu tersenyum. Ketika psikolog berbicara

tentang kepribadian, hal ini berarti konsep dinamis yang menjelaskan

pertumbuhan dan perkembangan dari sistem psikologi seseorang secara

keseluruhan. Gordon Allport dalam Robbins (2013:133) mengemukakan,

“personality is the dynamic organization within the individual of those

psychophysical systems that determine his unique adjustment to his environment”.

Yang artinya "Kepribadian adalah organisasi yang dinamis dalam individu dari

sistem psikologi yang menentukan penyesuaian unik untuk lingkungannya".


41

Robbins yang dikutip oleh Sopiah (2008:15) mengemukakan bahwa kepribadian

merupakan cara seseorang bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.

Sementara Yankova (2015:34) mendefinisikan personality sebagai agregat

interaktif dari karakteristik individu yang mempengaruhi respon seseorang

terhadap lingkungan atau singkatnya adalah pola sifat bawaan seseorang. Menurut

Carl G. Jung yang dikutip oleh Noviyanti (2008) seseorang dapat dibedakan tipe

kepribadiannya berdasarkan pada preferensinya. Berdasarkan teori psikologi

tersebut, diciptakan Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) yang dikembangkan

oleh Katharine Cook Briggs dan putrinya yang bernama Isabel Briggs Myers.

Robbins (2013:135) menjelaskan bahwa MBTI merupakan instrumen

penilaian kepribadian yang paling luas digunakan di dunia. Mudrika (2011)

menyebutkan bahwa MBTI bersandar pada empat dimensi utama yang saling

berlawanan (dikotomis) yaitu:

1. Ekstrovert vs Introvert (E vs I)

Dimensi EI melihat sumber energi seseorang berasal dari luar atau dalam

(dirinya). Ekstrovert merupakan tipe kepribadian yang menyukai dunia luar.

Mereka senang bergaul, berinteraksi sosial, beraktifitas dengan orang lain,

serta berfokus pada dunia luar. Sebaliknya, dimensi introvert menyukai dunia

dalam (diri sendiri). Introvert senang menyendiri, merenung, membaca dan

tidak begitu suka bergaul dengan banyak orang, mampu bekerja sendiri, penuh

konsentrasi serta fokus.

2. Sensing vs Intuition (S vs N)
42

Dimensi SN melihat cara individu memproses data. Tipe sensing

memproses data berdasar fakta yang konkrit, praktis, realistis dan melihat data

apa adanya. Mereka menggunakan pedoman pengalaman dan data konkrit

serta memilih cara-cara yang sudah terbukti. Tipe sensing berfokus pada masa

kini. Sementara tipe intuition memproses data dengan melihat pola dan

hubungan, pemikir abstrak, konseptual serta melihat berbagai kemungkinan

yang dapat terjadi. Mereka berpedoman imajinasi, memilih cara unik, dan

berfokus pada masa depan. Tipe intuition sangat inovatif, penuh inspirasi dan

ide unik.

3. Thinking vs Feeling (T vs F)

Dimensi ketiga melihat bagaimana orang mengambil keputusan. Thinking

adalah mereka yang selalu menggunakan logika dan kekuatan analisa untuk

mengambil keputusan. Mereka cenderung berorientasi pada tugas dan objektif,

terkesan kaku dan keras kepala. Tipe thinking menerapkan prinsip dengan

konsisten. Sementara feeling adalah mereka yang melibatkan perasaan, empati

serta nilai-nilai yang diyakini ketika hendak mengambil keputusan. Mereka

berorientasi pada hubungan dan subjektif. Tipe feeling sering terkesan memihak,

mereka empatik dan menginginkan harmoni.

4. Perceiving vs Judging (P vs J)

Dimensi terakhir melihat derajat fleksibilitas seseorang. Judging di sini bukan

berarti judgemental (menghakimi). Judging diartikan sebagai tipe orang yang

selalu bertumpu pada rencana yang sistematis, serta senantiasa berpikir dan
43

bertindak teratur (tidak melompat-lompat). Mereka tidak suka hal-hal mendadak

dan di luar perencanaan. Tipe judging ingin merencanakan pekerjaan dan

mengikuti rencana itu.

Orang dengan dimensi judging bagus dalam penjadwalan, penetapan struktur

dan perencanaan step by step. Sementara tipe perceiving adalah mereka yang

bersikap fleksibel, spontan, adaptif, dan bertindak secara acak untuk melihat

beragam peluang yang muncul. Perubahan mendadak tidak masalah dan

ketidakpastian membuat mereka bergairah. Orang dengan dimensi perceiving

bagus dalam menghadapi perubahan dan situasi mendadak. Seseorang dapat

dibedakan tipe kepribadiannya berdasarkan pada preferensinya.

Menurut Noviyanti (2008) yang menjadi inti dari tipe kepribadian dijelaskan

sebagai berikut:

1. Extraversion (E) maka indikator yang digunakan:

a. Menemukan dan mengembangkan ide dengan berdiskusi

b. Lebih suka komunikasi langsung (tatap muka )

2. Introversion (I), maka indikator yang digunakan

a. Menemukan dan mengembangkan ide dengan merenung

b. Lebih suka komunikasi tidak langsung (telp, surat, e-mail)

3. Sensing (S) maka indikator yang digunakan:

a. Menggunakan pengalaman sebagai pedoman

b. Menarik kesimpulan dengan lama dan hati-hati

4. Intuition (N) maka indikator yang digunakan:


44

a. Menggunakan imajinasi dan perenungan sebagai pedoman

b. Menarik kesimpulan dengan cepat sesuai naluri.

5. Thinking (T) maka indikator yang digunakan:

a. Mengambil keputusan berdasarkan logika dan aturan main

b. Menghargai seseorang karena skill dan faktor teknis.

6. Feeling (F) maka indikator yang digunakan:

a. Mengambil keputusan berdasarkan perasaan pribadi dan kondisi orang

lain

b. Menghargai seseorang karena sifat dan perilakunya

7. Judging (J) maka indikator yang digunakan

a. Terencana, Memiliki deadline jelas

b. Berpegang teguh pada pendirian

8. Perceiving (P) maka indikator yang digunakan:

a. Aturan, jadwal dan target yang mengikat dan Membebani

b. Pendirian masih bisa berubah tergantung situasi nantinya

2.1.5.1 Faktor Penentu Kepribadian

Terdapat tiga faktor utama terbentuknya kepribadian seseorang, Sumadi (2011),

dikutip oleh Robbins (2003) mengatakan bahwa Penentu kepribadian dianggap

terbentuk dari beberapa faktor di antaranya adalah:

1. Faktor keturunan, Keturunan merujuk pada faktor-faktor yang ditentukan

sejak lahir. Ukuran fisik, wajah yang menarik, jenis kelamin, temperamen,

komposisi dan refleksi otot, level energi dan ritme biologis adalah
45

karateristik yang umumnya dianggap entah sepenuhnya atau secara

substansial dipengaruhi oleh siapa orang tua mereka.

2. Faktor lingkungan, Di antara faktor-faktor yang memberikan tekanan

pada formasi kepribadian kita adalah budaya kita dibesarakan, kondisi

awal kita, norma di tengah keluarga, teman, kelompok sosial dan

pengaruhpengaruh lain yang kita alami. Lingkungan dimana kita berada

memberikan peran yang penting dalam membentuk kepribadian kita.

3. Faktor situasi, mempengaruhi efek dari keturunan dan lingkungan

terhadap kepribadian. Kepribadian seorang individu, walaupun umumnya

stabil dan konsisten, justru berubah dalam situasi-situasi yang berbeda.

Permintaan yang bervariasi dari situasi yang berbeda menimbulkan aspek

yang berbeda dari kepribadian seseorang.

2.1.8 Independensi

Independensi adalah suatu sikap dan tindakan dalam melaksanakan

pemeriksaan untuk tidak memihak kepada siapapun dan tidak dipengaruhi

oleh siapapun (SPKN, 2017:16). Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik

menyatakan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang

akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam

pelaksanaan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan

objektivitas. Setiap auditor harus independen dari semua kepentingan yang

bertentangan atau pengaruh yang tidak layak. Auditor juga harus menghindari
46

situasi yang bisa menimbulkan kesan pada pihak ketiga, bahwa ada

pertentangan kepentingan 26 dan objektivitasnya sudah tidak dapat

dipertahankan (Agoes dan Ardana, 2017).

Menurut Agoes dan Ardana (2017:146), dalam profesi akuntan publik

istilah independensi dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:

a. Independence in fact

Independence in fact menekankan sikap mental dalam mengambil

keputusan dan tindakan yang semata-mata didasarkan atas pertimbangan

profesionalisme dari dalam diri yang bersangkutan tanpa campur tangan,

pengaruh, atau tekanan dari pihak luar.

b. Independence in appearance

Independence in appearance artinya menurut pandangan orang lain,

seorang auditor secara fisik tidak mempunyai hubungan darah (kepentingan

langsung) dengan audit yang dapat menimbulkan keraguan bagi pihakluar

tentang kenetralan auditor dalam memberikan keputusan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Haura fadina (2016) meneliti tentang pengaruh beban kerja, pengalaman audit

dan tipe kepribadian terhadap skeptisme professional dan kemampuan auditor

dalam mendeteksi kecurangan. Variabel independen dalam penelitian ini adalah

beban kerja, pengalaman audit dan tipe kepribadian. Variabel dependen dalam
47

penelitian ini adalah kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan dengan

variabel mediasi yaitu skeptisme professional. Objek penelitian ini di KAP Kota

Medan, Padang dan Pekanbaru. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa

hanya variabel beban kerja, pengalaman audit dan tipe kepribadian berpengaruh

terhadap skeptisme professional dan juga berpengaruh terhadap kemampuan

auditor dalam mendeteksi kecurangan pada kantor akuntan publik.

Julio Hardi Peuranda (2019) meneliti tentang pengaruh independensi,

kompetensi dan skeptisme professional terhadap kemampuan auditor dalam

mendeteksi kecurangan. Variabel independen dalam penelitian ini adalah

independensi, kompetensi dan skeptisme professional. Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah kemampuan auditor dalam mendeteksi kecuranga. Hasil

dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hanya variabel independensi,

kompetensi dan skeptisme professional berpengaruh terhadap kemampuan auditor

dalam mendeteksi kecurangan.

Yati (2017) meneliti tentang pengaruh beban kerja, pengalaman audit dan

skeptisme professional terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi

kecurangan. Variabel independen dalam penelitian ini adalah beban kerja,

pengalaman audit dan skeptisme professional Variabel dependen dalam penelitian

ini adalah kemampuan auditor dalam mendeteksi kecuranga. Hasil dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa hanya variabel beban kerja, pengalaman audit

dan skeptisme professional berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam

mendeteksi kecurangan.
48

Meliantha Fawdy Randua (2017) meneliti tentang pengaruh beban kerja,

pengalaman audit dan tipe kepribadian terhadap skeptisme professional dan

kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Variabel independen dalam

penelitian ini adalah beban kerja, pengalaman audit dan tipe kepribadian. Variabel

dependen dalam penelitian ini adalah kemampuan auditor dalam mendeteksi

kecurangan dengan variabel mediasi yaitu skeptisme professional. Objek

penelitian ini di Kantor Inspektorat Padang. Hasil dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa hanya variabel beban kerja, pengalaman audit dan tipe

kepribadian berpengaruh terhadap skeptisme professional dan juga berpengaruh

terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Euis Sawitri (2018) meneliti tentang pengaruh beban kerja, pengalaman audit

dan tipe kepribadian terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah beban kerja, pengalaman audit

dan tipe kepribadian Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kemampuan

auditor dalam mendeteksi kecuranga. Objek penelitian ini ialah KAP Kota

Bandung. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hanya beban kerja,

pengalaman audit dan tipe kepribadian berpengaruh terhadap kemampuan auditor

dalam mendeteksi kecurangan.

T Festi Theressa (2014) meneliti tentang peran audit internal terhadap

pencegahan kecurangan. Objek penelitian ini ialah perbankan Kota Pekanbaru.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah peran audit internal. Variabel

dependen dalam penelitian ini pencegahan kecurangan. Hasil dalam penelitian ini
49

menunjukkan bahwa dengan adanya peran audit internal dapat berpengaruh

terhadap pencegahan kecurangan

Trinanda Hanum Hartan dan Indarto Waluyo (2016) meneliti tentang

pengaruh Skeptisme Profesional, independensi dan kompetensi terhadap

kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Variabel independen dalam

penelitian ini adalah beban kerja, pengalaman audit dan tipe kepribadian Variabel

dependen dalam penelitian ini adalah kemampuan auditor dalam mendeteksi

kecuranga. Objek penelitian ini ialah kantor inspektorat Yogyakarta. Hasil dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa Skeptisme Profesional, independensi dan

kompetensi berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi

kecurangan.

Nyoman Adnyani dan Anantawikrama Tungga Atmaja dan Nyoman Trisna

Herawati (2014) meneliti tentang Pengaruh Skeptisme Profesional Auditor,

Independensi, dan Pengalaman Auditor Terhadap Tanggungjawab Auditor Dalam

Mendeteksi Kecurangan dan Kekeliruan Laporan Keuangan (Studi Kasus Pada

KAP Wilayah Bali). Variabel independen dalam penelitian ini adalah Skeptisme

Profesional Auditor, Independensi, dan Pengalaman Auditor Variabel dependen

dalam penelitian ini adalah tanggungjawab Auditor Dalam Mendeteksi

Kecurangan dan Kekeliruan Laporan Keuangan. Objek penelitian ini ialah KAP

Kota Bali Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Skeptisme Profesional

Auditor, Independensi, dan Pengalaman berpengaruh signifikan secara parsial dan

simultan terhadap tanggung jawab auditor dalam mendeteksi kecurangan


50

Toufiq Agung Pratomo dan Sugito Putra (2017) meneliti tentang Pengaruh

Independensi, Kompetensi, dan Pengalaman Auditor Aparat Pengawas Intern

Pemerintah (APIP) Terhadap Pendeteksian Fraud dengan Skeptisisme Profesional

Sebagai Variabel Intervening Pada Perwakilan BPKP Provinsi Kepulauan Riau.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah Independensi, Kompetensi, dan

Pengalaman Auditor Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Pendeteksian

Fraud dan skeptisme professional sebagai variabel mediasi. Objek penelitian ini

ialah Perwakilan BPKP Provinsi Kepulauan Riau. Hasil dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa Independensi, Kompetensi, dan Pengalaman berpengaruh

positif dan signifikan terhadap Independensi, Kompetensi, Pengalaman, dan

Skeptisme Profesional berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendeteksian

fraud.
63

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Nama Judul Variabel Terkait Penelitian Hasil


1 Haura Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman X1: Beban Kerja Pada penelitian ini menyatakan bahwa
Fadina Audit Dan Tipe X2: Pengalaman Audit beban kerja, pengalaman audit, tipe
(2016) Kepribadian Terhadap Skeptisme X3: Tipe Kepribadian kepribadian berpengaruh terhadap
Profesional Z: Skeptisme Profesional memapuan auditor dalam mendeteksi
Dan Kemampuan Auditor Dalam Y : Kemampuan Auditor dalam kecurangan dengan dimediasi oleh
Mendeteksi Kecurangan Mendeteksi Kecurangan skeptisme profesional
(Studi Empiris Pada Kap Di Kota
Medan, Padang Dan Pekanbaru)
2 Julio Herdi Pengaruh Independensi, Kompetensi dan X1: Independensi Pada penelitian ini menyatakan bahwa
Peuranda Skeptisme Profesional terhadap X3: Skeptisme Profesional independensi dan skeptisme profesional
(2019) Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Y : Kemampuan Auditor dalam berpengaruh terhadap memapuan auditor
Kecurangan dengan Pelatihan Audit Mendeteksi Kecurangan dalam mendeteksi kecurangan.
Kecurangan sebagai Variabel Moderasi
3 Yati (2017) Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman X1: Beban Kerja Pada penelitian ini menyatakan bahwa
Audit Dan Skeptisisme Profesional X2: Pengalaman beban kerja, pengalaman dan skeptisme
Terhadap Kemampuan Auditor Dalam X3: Skeptisme Profesional profesional berpengaruh terhadap
Mendeteksi Kecurangan Y : Kemampuan Auditor dalam memapuan auditor dalam mendeteksi
Mendeteksi Kecurangan kecurangan.
4 Randua, Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman X1: Beban Kerja Pada penelitian ini menyatakan bahwa
64

Meliantha Audit Dan Tipe Kepribadian Terhadap X2: Pengalaman Audit beban kerja, pengalaman audit, tipe
Fawdy Skeptisme Profesional Dan Kemampuan X3: Tipe Kepribadian kepribadian berpengaruh terhadap
(2017) Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan Z:Skeptisme Profesional memapuan auditor dalam mendeteksi
(Studi Kasus Pada Kantor Inspektorat Y : Kemampuan Auditor dalam kecurangan dengan dimediasi oleh
Kota Padang). Mendeteksi Kecurangan skeptisme profesional
5 Euis Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman X1: Beban Kerja Pada penelitian ini menyatakan bahwa
Sawitri Audit Dan Tipe Kepribadian Terhadap X2: Pengalaman Audit beban kerja, pengalaman dan tipe
(2018) Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi X3: Tipe Kepribadian kepribadian berpengaruh terhadap
Kecurangan (Studi Pada 9 Kap Di Kota Y : Kemampuan Auditor dalam memapuan auditor dalam mendeteksi
Bandung). Mendeteksi Kecurangan kecurangan.
6 T Festi Pengaruh Peran X1: Audit Internal Pengaruh peran audit
Theresa, Audit Internal Y : Pencegahan Kecurangan internal terhadap
(2014) Terhadap pencegahan kecurangan
Pencegahan diuji melalui uji t. dimana
Kecurangan diperoleh sebesar 6,695
(Studi Empiris lebih besar dari pada
Pada Perbankan tabel sebesar 2,010.
Di Pekanbaru) Maka dapat disimpulkan
bahwa Hal diterima yang
berarti terdapat pengaruh
yang signifikan dari
65

peran audit internal


terhadap pencegahan
kecurangan.
7 Trinanda Pengaruh Skeptisme Profesional, X1: Skeptisme Profesional Skeptisme Profesional, Independensi, dan
Hanum Independensi, dan Kompetensi X2: Independensi Kompetensi berpengaruh positif dan
Hartan dan Terhadap Kemampuan X3: Kompetensi signifikan secara parsial dan simultan
Indarto Auditor Mendeteksi Kecurangan Y : Kemampuan Auditor dalam terhadap kemampuan auditor mendeteksi
Waluyo (Studi Empiris pada Mendeteksi Kecurangan kecurangan.
(2016) Inspektorat Daerah Istimewa
Yogyakarta)
8 Nyoman Pengaruh Skeptisme Profesional X1: Skeptisme Profesional Skeptisme Profesional Auditor,
Adnyani, Auditor, Independensi, dan Pengalaman X2: Independensi Independensi, dan Pengalaman
Anantawikr Auditor Terhadap Tanggungjaw ab X3: Pengalaman Auditor berpengaruh signifikan secara parsial dan
ama Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan Y : Tanggung Jawab Auditor simultan terhadap tanggung jawab auditor
Tungga dan Kekeliruan Laporan Keuangan dalam Mendeteksi Kecurangan dalam mendeteksi kecurangan
Atmadja, (Studi Kasus Pada KAP Wilayah Bali)
dan
Nyoman
Trisna
Herawati
(2014)
9 Toufiq Pengaruh Independensi, Kompetensi, X1: Independensi Independensi, Kompetensi, dan
66

Agung dan Pengalaman Auditor Aparat X2: Pengalaman Auditor Pengalaman berpengaruh positif dan
Pratomo Pengawas Intern Pemerintah (APIP) Y : Pendekteksian Fraud signifikan terhadap Skeptisme
Sugito Terhadap Pendeteksian Fraud dengan Z: Skeptisme Profesioanl Profesional. Independensi, Kompetensi,
Putra Skeptisisme Profesional Sebagai Pengalaman, dan Skeptisme Profesional
(2017) Variabel Intervening Pada Perwakilan berpengaruh positif dan signifikan
BPKP Provinsi Kepulauan Riau terhadap pendeteksian fraud.
67

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran menggambarkan hubungan dari variabel independen,

yaitu Skeptisme Profesional (X1), Pengalaman Auditor (X2), Beban Kerja (X3),

Tipe Kepribadian(X4) dan Independensi (X5) terhadap variabel dependen

Kemampuan Auditor Internal Mendeteksi Kecurangan (Y).

2.3.1 Pengaruh Skeptisme Profesional Terhadap Kemampuan Auditor

Internal Mendeteksi Kecurangan

Skeptisme profesional merupakan suatu konsep yang penting dalam

mempengaruhi kemampuan seorang auditor internal. Hal ini sebagaimana

tercermin dalam Pernyataan Standar Umum Audit, baik audit internal atau

eksternal di sektor swasta atau sektor publik yang mengatur kewajiban auditor

untuk melaksanakan tugasnya secara cermat dan hati-hati, salah satunya

dengan menerapkan skeptisme profesional. Dalam hal ini, skeptisme

profesional adalah sikap yang harus dimiliki oleh auditor, baik auditor internal

atau eksternal di sektor swasta atau sektor publik (Kartikasari, 2017:77).

Seorang auditor yang skeptis, tidak akan menerima begitu saja penjelasan

dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh alasan, bukti

dan konfirmasi mengenai obyek yang dipermasalahkan. Tanpa menerapkan

skeptisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang

disebabkan oleh kekeliruan saja dan sulit untuk menemukan salah saji yang

disebabkan oleh kecurangan, karena kecurangan biasanya akan

disembunyikan oleh pelakunya (Noviyanti, 2008:103). Penelitian ini didukung


68

oleh Adnyani (2014), Hartan dan Waluyo (2016), dan Putra (2017) yang

menyatakan bahwa skeptisme profesional berpengaruh terhadap kemampuan

auditor mendeteksi kecurangan.

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang dapat diambil adalah

bahwa :

H1: Skeptisme Profesional Berpengaruh Terhadap Kemampuan Auditor

Internal Mendeteksi Kecurangan

2.3.2 Pengaruh Pengalaman Auditor Terhadap Kemampuan Auditor

Internal Mendeteksi Kecurangan

Semakin lama seseorang menjadi auditor, semakin banyak penugasan

yang ditangani dan semakin banyak jenis kasus yang ditangani maka dapat

dikatakan auditor internal tersebut semakin berpengalaman, pengalaman

tersebut akan meningkatkan kesadaran auditor jika terjadi kekeliruan. Auditor

internal yang berpengalaman juga akan lebih paham terkait penyebab

kekeliruan yang terjadi, apakah karena murni kesalahan baik manusia atau alat

ataukah kekeliruan karena kesengajaan yang berarti fraud (Anggriawan,

2014:110).

Suraida (2015) menyatakan bahwa auditor yang berpengalaman akan

memperlihatkan tingkat perhatian selektif yang lebih tinggi terhadap informasi

yang relevan. Auditor yang berpengalaman juga akan membuat keputusan

yang relatif lebih baik. Oleh karena itu auditor yang lebih tinggi

pengalamannya akan lebih tinggi skeptisme profesionalnya Penelitian ini


69

didukung oleh penelitian Putra (2017) yang menyatakan bahwa pengalaman

berpengaruh terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan.

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang dapat diambil adalah

bahwa :

H2: Pengalaman Auditor Berpengaruh Terhadap Kemampuan Auditor

Internal Mendeteksi Kecurangan

2.3.3 Pengaruh Beban Kerja Terhadap Kemampuan Auditor Internal

Mendeteksi Kecurangan

Beban kerja (workload) adalah jumlah pekerjaan yang harus dilakukan oleh

seseorang. Beban kerja adalah frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing

pekerjaan dalam jangka waktu tertentu (Irwandy, 2017). Beban kerja merupakan

banyaknya jumlah pekerjaan yang harus dilakukan oleh seseorang dalam kurun

waktu tertentu, dan berkaitan dengan Theory of Planned Behavior dimana beban

kerja akan mempengaruhi sikap dan kemampuan auditor untuk mendeteksi fraud,

ketika beban kerja auditor tinggi dan banyak tugas-tugas yang harus

diselesaikannya mengakibatkan auditor tidak maksimal dalam melakukan

pemeriksaan. Anto,et al.(2020) menyatakan bahwa beban kerja memiliki pengaruh

terhadap pendeteksian auditor atas fraud, hal ini menunjukkan semakin besar

beban kerja seorang auditor, maka semakin rendah kemampuan auditor dalam

pendeteksian fraud.

Beban kerja (workload) merupakan salah satu aspek dalam meningkatkan

produktivitas perusahaan dan kualitas jasa yang dihasilkan oleh karena itu beban
70

kerja harus sesuai dengan kapasitasnya dan diperhatikan oleh setiap sumber daya

manusianya agar kegiatan perusahaan berjalan efektif dan efisien serta jasa yang

dihasilkan berkualitas. Semakin besar kapasitas beban kerja yang dimiliki auditor

internal yang tidak sesuai kapasitas kerjanya maka semakin rendah kualitas audit

yang dihasilkan dan kemampuan mendeteksi kecurangan meningkat. Setiawan

dan Fitriany (2011) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa tingginya beban

kerja akan menyebabkan kelelahan dan dysfuncional behavior sehingga

menurunkan kemampuannya dalam menemukan kecurangan. Tetapi jika beban

kerja auditor tersebut rendah, auditor akan memiliki lebih banyak waktu untuk

mengevaluasi bukti yang ditemukan, sehingga auditor semakin bisa meningkatkan

kemampuannya dalam mendeteksi kecurangan

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang dapat diambil adalah

bahwa :

H3: Beban Kerja Berpengaruh Terhadap Kemampuan Auditor Internal

Mendeteksi Kecurangan

2.3.4 Pengaruh Tipe Kepribadian Terhadap Kemampuan Auditor

Internal Mendeteksi Kecurangan

Perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor baik itu faktor

internal maupun faktor eksternal. Tipe kepribadian merupakan salah satu

faktor internal yang mempengaruhi kemampuan auditor internal mendeteksi

kecurangan. Menurut Goleman dalam Suartana (2010:148) untuk menjadi

auditor yang mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan menjunjung


71

tinggi etika profesinya, kecerdasan intelektual hanya menyumbang 20%,

sedangkan 80% dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kecerdasan lain, salah

satunya adalah kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional disini, sangat erat hubungannya dengan

kepribadian. Dari segi karakteristik perilaku auditor (tipe kepribadian) Sikap

seorang individu, salah satunya dapat ditentukan melalui tipe kepribadian

yang dimiliki seorang auditor, termasuk sikap skeptic yaitu sikap kritis dalam

menilai bukti yang ada. Semakin baik tipe kepribadian yang dimiliki auditor

cenderung akan mempengaruhi auditor dalam pengambilan keputusan

berdasarkan fakta yang ditemukan. Masing-masing preferensi tipe kepribadian

memiliki ciri yang berbeda-beda. Ciri yang berbeda menyebabkan perbedaan

dalam individu mengembangkan sikap untuk menyikapi suatu kondisi dalam

pengambilan keputusan. Sehingga kemampuan mendeteksi kecurangan

dipengaruhi oleh kepribadian masing-masing.

H4: Tipe Kepribadian Berpengaruh Terhadap Kemampuan Auditor Internal

Mendeteksi Kecurangan

2.3.5 Pengaruh Independensi Terhadap Kemampuan Auditor Internal

Mendeteksi Kecurangan

Independensi adalah sikap tidak memihak atau sikap bebas dari pengaruh

mana pun dalam melakukan auditing atas laporan keuangan. Sikap

independensi juga bisa disebut sebagai sikap netral. Tidak terpengaruh dari
72

pihak manapun. Sikap ini lah yang harus dimiliki oleh auditor dalam hal

melakukan tugas audit atas laporan keuangan (Simanjuntak, 2015:3).

Lastanti (2005) dalam Widiyastuti dan Pamudji (20019) menyatakan

bahwa sikap independensi diperlukan agar auditor bebas dari kepentingan dan

tekanan pihak manapun, sehingga dapat mendeteksi ada tidaknya kecurangan

pada perusahaan yang di auditnya dengan tepat, dan juga setelah kecurangan

terdeteksi, auditor tidak ikut mengamankan praktik kecurangan tersebut.

Adnyani (2014), Hartan dan Waluyo (2016), dan Putra (2017) juga

menyebutkan bahwa independensi berpengaruh terhadap kemampuan auditor

mendeteksi kecurangan. Apabila sikap independensi auditor meningkat, maka

kemampuan dalam mendeksi kecurangan juga akan meningkat.

H5: Independensi Berpengaruh Terhadap Kemampuan Auditor Internal

Mendeteksi Kecurangan
73

Gambar 2.1.

Model Penelitian

Skeptisme
Profesional
(X1)

Pengalaman
Auditor (X2)

Beban Kerja
Kemampuan
(X3)
Auditor
Mendeteksi
Kecurangan (Y)
Tipe
Kepribadian
(X4)

Independensi
(X5)
74

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di inspektorat Provinsi Riau yang berlokasi di Jl.

Cut Nyak Dien, Jadirejo, Kec. Sukajadi, Kota Pekanbaru, Riau, 28156. Penelitian

ini diarahkan pada inspektorat di Provinsi Riau pada tahun 2021, yang

merupakan instansi pemerintah yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan

dikalangan pemerintahan.

3.2 Populasi dan Sampel

Menurut Sekaran (2011:64), populasi adalah keseluruhan kelompok orang,

peristiwa, atau hal yang ingin peneliti investigasi. Sedangkan menurut Sugiyono

(2014:61), Populasi adalah wilayah generalisasi terdiri atas obyek/subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu, ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Populasi yang digunakan seluruh

auditor internal pada inspektorat Provinsi Riau yang berjumlah 47 orang (sumber:

Inspektorat Provinsi Riau,2020). Auditor disini berarti seluruh aparat inspektorat

yang melakukan pemeriksaan keuangan di inspektorat Provinsi Riau.

Menurut sugiyono (2013:81) Sampel adalah sebagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel dalam penelitian ini

adalah seluruh populasi (sensus). Alasan penggunaan sensus karena elemen-

elemen populasi yang relatif sedikit.


75

3.3 Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif.

Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka, atau data kuantitatif yang

diangkakan (scoring). Jadi data tersebut dapat berupa angka atau skor dan

biasanya diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data yang jawabannya

berupa rentang skor atau pertanyaan yang diberi bobot (Sugiyono, 2015:13).

Kemudian sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data

primer. Pengertian data primer menurut Sugiyono (2015:403) adalah sumber data

yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data primer dalam

penelitian ini berupa opini, sikap, pengalaman, atau karakteristik dari inspektorat

Provinsi Riau. Sumber data dalam penelitian ini berupa kuisioner yang disebar

kepada auditor internal di inspektorat Provinsi Riau.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner merupakan suatu daftar pertanyaan

mengenai topik penelitian tertentu yang diberikan kepada responden, baik secara

individual maupun kelompok, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi

permasalahan didalam penelitian. Kuesioner yang diberikan merupakan kuesioner

secara langsung yaitu responden mengisi sendiri jawaban dari pertanyaan di

kuesioner yang diajukan. Kuesioner yang diberikan kepada auditor internal

pemerintah yang bekerja di inspektorat Provinsi Riau.


76

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik Personally-

administered questionnaires adalah kuesioner yang diberikan oleh si peneliti

sendiri dan diisi secara pribadi oleh responden. Kuesioner yang dibagikan

tergolong kuesioner tertutup, yaitu kuesioner yang pilihan jawaban pertanyaan

sudah disediakan dan responden hanya mengisi dengan cara memberi tanda

terhadap pilihan jawaban yang sesuai dengannya.

3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

Menurut Sekaran (2011:115) variabel adalah atribut-atribut penelitian

yang akan dijui oleh peneliti yang dapat membedakan atau membawa variasi pada

nilai. Nilai bisa berbeda pada berbagai waktu untuk objek atau orang yang sama,

atau pada waktu yang sama untuk objek atau orang yang berbeda.

3.5.1 Variabel Dependen

Variabel dependen sering disebut sebagai variabel output, kriteria, dan

konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat.

Variabel terikat merupakan variabel yang menjadi perhatian utama peneliti

( sekaran, 2011:117). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kemampuan

auditor internal dalam mendeteksi kecurangan

3.5.1.1 Kemampuan Auditor Internal (Y)


77

Kemampuan auditor mendeteksi kecurangan berdasarkan pengertian

Widiyastuti dan Pamudji (2019) .berarti proses menemukan atau menentukan

suatu tindakan ilegal yang dapat mengakibatkan salah saji dalam pelaporan

keuangan yang dilakukan secara sengaja dapat diartikan sebagai keahlian auditor

dalam menemukan ada atau tidaknya suatu tindak kecurangan pada pelaporan

keuangan. Pendeteksian kecurangan berdasar penggolongan kecurangan oleh

ACFE terdiri dari: (1) Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement

Fraud); (2) Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation); (3) Korupsi (Amrizal,

2004:13) dalam Putra (2017).

Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan instrumen variabel yang

digunakan oleh Putra (2017). Variabel ini digali menggunakan pernyataan yang

berskala 1 sampai 5 menggunakan skala likert. Masing-masing pertanyaan diukur

dengan skala likert 1-5 yaitu STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), N

(netral), S (setuju), SS (sangat setuju).

3.5.2 Variabel Independen

Variabel independen sering disebut sebagai variabel stimulus. Dalam

bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas adalah

variabel yang mengambil variabel terikat, entah secara positif maupun secara

negatif. Jika terdapat variabel bebas, variabel terikat pun akan hadir, dan dengan

setiap unit kenaikan dalam variabel bebas, terdapat pula kenaikan atau penurunan

dalam variabel terikat, (sekaran, 2011:117). Variabel independen dalam penelitian


78

ini adalah skeptisme professional, pengalaman auditor, beban kerja, tipe

kepribadian dan independensi.

3.5.2.1 Skeptisme Profesional (X1)

Skeptisme profesional berarti pemeriksa tidak menganggap bahwa pihak

yang bertanggungjawab adalah tidak jujur, tetapi juga tidak menganggap bahwa

kejujuran pihak yang bertanggungjawab tdak dipertanyakan lagi (SPKN, 2017).

Hurt, et. al (2010:152) mengatakan bahwa skeptisisme profesional dicerminkan

dengan sikap interogatif, kehati-hatian dalam mengambil keputusan, rasa ingin

tahu, pemahaman interpersonal, percaya diri dan keyakinan dalam mengambil

keputusan.

Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan instrumen variabel yang

digunakan oleh Hurt, et. al (2010). Variabel ini digali menggunakan pernyataan

yang berskala 1 sampai 5 menggunakan skala likert.Masing- dengan skala likert

1-5 yaitu STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), N (netral), S (setuju), SS

(sangat setuju).

3.5.2.2 Pengalaman Auditor (X2)

Menurut Adnyani (2014) pengalaman merupakan suatu proses

pembelajaran dan pertambahan perkembangan potensi bertingkah laku, baik dari

pendidikan formal maupun non formal. Pengalaman audit dapat diperoleh dari

lamanya waktu maupun banyaknya penugasan (Suraida, 2015).


79

Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan instrumen variabel yang

digunakan oleh Aulia (2013). Variabel ini digali menggunakan pernyataan yang

berskala 1 sampai 5 menggunakan skala likert. Masing-masing pertanyaan diukur

dengan skala likert 1-5 yaitu STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), N

(netral), S (setuju), SS (sangat setuju).

3.5.2.3 Beban Kerja (X3)

Menurut Permendagri No.12 tahun 2008 Beban kerja adalah besaran

pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan/unit organisasi dan merupakan

hasil kali antara volume kerja dan norma waktu. Beban kerja harus sesuai dengan

kapasitasnya dan diperhatikan oleh setiap perusahaan agar kegiatan perusahaan

berjalan efektif dan efisien serta jasa yang dihasilkan berkualitas.

Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan instrumen variabel yang

digunakan oleh Tarwaka (2011). Variabel ini digali menggunakan pernyataan

yang berskala 1 sampai 5 menggunakan skala likert. Masing-masing pertanyaan

diukur dengan skala likert 1-5 yaitu STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), N

(netral), S (setuju), SS (sangat setuju).

3.5.2.4 Tipe Kepribadian (X4)

Noviyanti (2008), menyatakan bahwa tipe kepribadian seseorang menjadi

salah satu faktor yang menentukan sikap yang dimiliki oleh individu tersebut,

termasuk sikap skeptisme yang terdapat pada diri individu tersebut. Auditor
80

dengan tipe kepribadian ST dan NT berdasarkan teori Myers-Briggs cenderung

lebih memiliki sikap skeptis. Karena auditor tersebut memiliki ciri-ciri

kepribadian yang selalu berpikiran masuk akal dalam membuat keputusan

berdasarkan pada fakta yang ada. Sehingga auditor dengan tipe kepribadian ST

dan NT lebih skeptis untuk mendeteksi kecurangan dibandingkan dengan tipe

kepribadian yang lain.

Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan instrumen variabel yang

digunakan oleh Noviyanti (2008), Variabel ini digali menggunakan pernyataan

yang berskala 1 sampai 5 menggunakan skala likert. Masing-masing pertanyaan

diukur dengan skala likert 1-5 yaitu STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), N

(netral), S (setuju), SS (sangat setuju).

3.5.2.5 Independensi (X5)

Independen sering diartikan sebagai merdeka, bebas, tidak memihak, tidak

dalam tekanan pihak tertentu, netral, objektif, memiliki integritas, dan tidak dalam

posisi konflik kepentingan (Agoes dan Ardana, 2017:110). Dalam menjalankan

tugasnya, auditor harus selalu mempertahankan sikap mental independen dalam

memberikan jasa profesionalnya. Sikap mental independen tersebut harus meliputi

independensi dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance).

Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan instrumen variabel yang

digunakan oleh Hartan (2017). Variabel ini digali menggunakan pernyataan yang

berskala 1 sampai 5 menggunakan skala likert. Masing-masing pertanyaan diukur


81

dengan skala likert 1-5 yaitu STS (sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), N

(netral), S (setuju), SS (sangat setuju).

Tabel 3.1
Definisi Operasional
No Variabel Indikator Pengukuran
1 Y 1. Kecurangan Laporan Skala Likert
Kemampuan Auditor Internal Keuangan (Financial (1-5)
dalam mendeteksi kecurangan Statement Fraud)
2. Penyalahgunaan aset (Asset
Sumber : Widiyastuti dan Misappropriation)
Pamudji (2019) & Putra (2017) 3.Korupsi
2 X1 1. Questioning Mind Skala Likert
Skeptisme Profesional 2. Suspencion of Judgement (1-5)
3. Search for Knowledge
Sumber : SPKN (2017) dan 4. Interpersonal
Hurt, et. al (2010) Understanding
5. Autonomy
6. Self-Esteem

3 X2 1. Pengalaman dalam bidang Skala Likert


Pengalaman Audit audit (1-5)
2. Intensitas tugas
Sumber : Suraida ( 2015) dan
Aulia (2013)

4 X3 1. Beban waktu (Time Load) Skala Likert


Beban Kerja 2. Beban usaha mental (1-5)
(Mental Effort)
Sumber : Permendagri No.12 3. Beban usaha mental
tahun 2008 dan Tarwaka (Mental Effort)
(2011)

5 X4 1. Extraversion Skala Likert


2. Interversion (1-5)
Tipe Kepribadian 3. Sensing
4. Intiution
Sumber : Noviyanti (2008), 5. Thinking
6. Feeling
7. Judging
8. perceiving
6 X5 1. Independence in fact
Independensi 2. Independence in
82

appearance
Sumber: Agoes dan Ardana,
(2017) & Hartan (2017)

3.6 Metode Analisis Data

3.6.1 Analisis Deskriptif

Statistik deskripstif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data

dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul

sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk

umum atau generalisasi. Analisis deskriptif menggambarkan tentang ringkasan

data-data seperti mean, standar deviasi, maksimal, minimal, varian, modus dan

lainlain (Delfi, Tiara; Anugerah, Rita; A, 2014).

3.6.2 Uji Kualitas Data

3.6.2.1 Uji Validitas

Uji Validitas merupakan tingkat dimana suatu alat pengukur mengukur

apa yang seharusnya diukur. Uji validitas dengan metode ini dilakukan dengan

cara mengkorelasi skor jawaban yang diperoleh pada masing-masing item dengan

skor total dari keseluruhan item. Hasil korelasi tersebut harus signifikan

berdasarkan ukuran statistik tertentu dengan menetapkan taraf α sebesar 5%.

Setiap item dikatakan valid jika memiliki nilai korelasi lebih besar dari r tabel dan

α = 5% atau r hitung > r tabel (Ghozali, 2011).

3.6.2.2 Uji Reliabilitas


83

Uji reliabilitas atau keandalan instrument dalam penelitian ini dimaksudkan

untuk mengetahui sejauh mana suatu pengukuran dapat memberikan hasil yang

konsisten bila dilakukan pengukuran kembali terhadap gejala yang sama dengan

alat pengukuran yang sama (Ghozali, 2011). Pengujian terhadap reliabilitas

kuesioner dilakukan dengan metode cronbach alpha. Menurut Ghozali (2011:48)

untuk menghitung reabilitas, suatu peneliti menggunakan uji reabilitas dengan

batasan nilai maksimum 0,6. Apabila koefisien Alpha yang dihasilkan lebih besar

dari 0,6 maka instrumen lebih reliabel untuk digunakan pada penelitian ini.

3.6.3 Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik digunakan untuk mengetahui apakah hasil estimasi regresi

yang dilakukan terbebas dari bias yang mengakibatkan hasil yang diperoleh tidak

valid dan dapat dipergunakan untuk menguji hipotesis dan menarik kesimpulan.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian asumsi klasik yang terdiri dari uji

normalitas, uji multikolinieritas, dan uji heteroskedisitas sebelum melakukan

pengujian hipotesis.

3.6.3.1 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel

dependen dan variabel independen mempunyai distribusi data yang normal atau

tidak. Cara pengujian normalitas ini dengan melakukan uji statistik kolmogorov-

smirnov. Data yang terdistribusi normal memiliki tingkat signifikan lebih dari
84

0,05, sedangkan sebaliknya data yang tidak terdistribusi normal memiliki tingkat

signifikan lebih kecil dari 0,05.

3.6.3.2 Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi

yang digunakan ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen).

Cara melakukan uji multikolinieritas dengan menghitung besarnya nilai VIP

(Variance Inflation Factor) dan nilai toleransi. Jika nilai toleransi lebih dari 0.10

atau 10% dan nilai VIP (Variance Inflation Factor) kurang dari 10, maka tidak

ada kolerasi antar variabel independen atau terbebas dari multikolinearitas antar

variabel independen (Ghozali, 2011).

3.6.3.3 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi

terjadi ketidaksamaan variance dan residual satu pengamatan kepengamatan lain

tetap, maka disebut Homoskesdatisitas dan jika berbeda disebut

Heterokesdatisitas. Model regresi yang baik adalah Homoskesdatisitas atau tidak

terjadi Heteroskedastisitas (Ghozali, 2011). Cara melakukan uji

heteroskedastisitas yaitu dengan uji glefser. Apabila model regresi mengalami

heteroskesdatisitas, maka signifikan lebih kecil dari 0,05. Sebaliknya jika model

regresi tidak terjadi heteroskesdatisitas, maka signifikan lebih besar dari 0,05.
85

3.6.4 Uji Hipotesis

3.6.4.1 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien

determinasi adalah diantara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan

variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen sangat

terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen

menjelaskan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi

variabel dependen (Ghozali, 2011).

3.6.4.2 Uji T

Uji t bertujuan untuk mengetahui seberapa pengaruh satu variabel independen

secara individual dalam menjelaskan variasi variabel dependen (Ghozali, 2011).

Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel. Jika > atau

nilai signifikan t < 0,05 maka keputusannya adalah menerima Hi dan menolak H0

pada α = 5%. Adapun langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pengujian ini

adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan hipotesis H0 ; βi = 0 berarti tidak ada pengaruh Xi terhadap Y

dimana i adalah variabel 1 (X1), 2 (X2), 3 (X3),4 (X4) dan 5 (X5).

2. Menentukan tingkat signifikan pada uji satu sisi α = 0,05.

3. Membandingkan besaran signifikansi t masing-masing variabel yang

diperoleh dari hasil pengujian dengan program SPSS.


86

3.7 Analisis Regresi Linear Berganda

Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan Analisis Regresi

Linear Berganda. Analisis Regresi Linear Berganda adalah analisis yang

digunakan untuk mengetahui pengaruh antara dua atau lebih variabel independen

terhadap variabel dependennya (Luh et al., 2014). Analisis ini dilakukan dengan

menggunakan bantuan program komputer. Statistical Package For Social

Science (SPSS) versi 23 for windows.

Pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi linear berganda,

dengan persamaan sebagai berikut :

Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + e

Keterangan:

Y = Kemampuan auditor internal dalam mendeteksi kecurangan

α = Konstanta

β1...5 = Koefisien Regresi

X1 = Skeptisme profesional

X2 = Pengalaman auditor

X3 = Beban Kerja

X4 = Tipe Kepribadian

X5 = Independensi

e = Standar Eror
87

Hipotesis bisa diterima jika hasil regresi menunjukkan tingkat signifikansi di

bawah 0,05 (p<0,05). Hipotesis ditolak jika hasil regresi menunjukkan hasil

signifikansi di atas 0,05 (p>0,05).


88

DAFTAR PUSTAKA

Arens, Alvin A., Elder, Randal J., dan Beasley, Mark S, 2011. Auditing and
Assurance Service An Integrated Approach-An Indonesian Adaptation,
Buku 1, Salemba Empat, Jakarta.

American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), 2002. Statement on


Auditing Standards (SAS) No. 99,” Consideration of Fraud in Financial
Statement Audit”: New York

Anggriawan, Eko F. (2014). Pengaruh Pengalaman Kerja, Skeptisme Profesional


dan Tekanan Waktu terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi
Fraud. Jurnal Nominal, Vol.3, No.2, 101-116

Dewi, Rozmita dan Apandi, Nelly Nur, 2012. Gejala Fraud Dan Peran Auditor
Internal Dalam Pendeteksian Fraud Di Lingkungan Perguruan
Tinggi(Studi Kualitatif). Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.

Dewi Larasati dan Windhy Puspitasari. 2019. Pengaruh pengalaman,


independensi, skeptisme professional auditor, penerapan etika dan beban
kerja terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Jurnal
Akuntansi Trisakti Volume 6 Nomor 1 Februari 2019:31-42

Faradina, Haura. (2016). Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman Audit Dan Tipe
Kepribadian Terhadap Skeptisme Profesional Dan Kemampuan Auditor
Dalam Mendeteksi Kecurangan. JOM Fekon, Vol.3 No.1 (Februari) 2016

Hutasuhut, Ririn. 2012. Pentingnya Audit Internal Dalam Mendeteksi Kecurangan


Pada Inspektorat Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara. Skripsi. Medan.
Fakultas Ekonomi Uiversitas Sumatera Utara.

Hasni Yusrianti, 2015 Pengaruh Pengalaman Audit, Beban Kerja, Task Specific
Knowledge Terhadap Pendeteksian Kecurangan Laporan Keuangan (Studi
Pada Kap Di Sumatera Bagian Selatan), Jurnal Manajemen dan Bisnis
Sriwijaya Vol.13 No.1 Maret 2015.

Harvarindo.2012. Pedoman Pokok Audit Internal. Jakarta. Harvarindo.

Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). (2001). Standar Profesional Akuntan Publik.


Salemba Empat, Jakarta

Ida, Suraida, 2015. “Pengaruh Etika, Kompetensi, Pengalaman Audit dan Risiko
Audit terhadap Skeptisisme Profesional Auditor dan Ketepatan Pemberian
Opini Akuntan Publik”. Sosiohumaniora, Vol. 7 No.3, 186-202.
89

Januarti, I. 2011. Analisis Pengaruh Pengalaman Auditor, Komitmen Profesional,


Orientasi Etis dan Nilai Etika Organisasi terhadap persepsi &
Pertimbangan Etis. Paper Dipresentasikan pada Simposium Nasional
Akuntansi XIV, Aceh

Liswan Setiawan dan Fitriany, 2011. “Pengaruh Workload dan Spesialisasi


Auditor terhadap Kualitas Audit dengan Kualitas Komite Audit Sebagai
Variabel Pemoderasi”. Jurnal dan Prosiding Simposium Nasional
Akuntansi, Vol. 14.

Karyono. 2013. Forensic Fraud. Yogyakarta : Penerbit ANDI

Lopez, Maria A. Leach., William W. Stammerjohan., Dan John T. Rigsby Jr


(2011), an update pada anggaran partisipasi, locus of control, dan
pengaruh pada kinerja manajerial meksiko dan kepuasan kerja. Journal of
Applied Bussiness, Vol. 24, No 3 hal. 121-134

Messier William F. dan Margareth Boh. (2003). Auditing and Assurance: A


Systematic Approach (3th edition). USA : McGraw-Hill.

Mohamed, N., & Handley-Schachler, M. (2015). Roots of Responsibilities to


Financial Statement Fraud Control. Procedia Economics and Finance,
28(April), 46–52. https://doi.org/10.1016/S2212-5671(15)01080-1

Mulyadi. 2010. Sistem Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat.

Novita, Ulfa. 2014. Pengaruh Pengalaman, Beban Kerja dan Pelatihan terhadap
Skeptisme Profesional dan Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi
Kecurangan. Skripsi Universitas Riau.

Nasution, Hafifah dan Fitriany. 2012. Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman Audit
dan Tipe Kepribadian terhadap Skeptisme Profesional dan Kemampuan
Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan. Jurnal dan Prosiding
SimposiumNasional Akuntansi, Vol. 15.

Noviyanti, S. 2008. Skeptisme Profesional Auditor Dalam Mendeteksi


Kecurangan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 5 (1), 102-125.

Pranoto, L.Hardi, dan Retnowati, (2015), Analisis Beban Kerja, Jakarta: PPM
Manajemen,

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No.60 tahun 2008 Tentang Sistem


Pengendalian Intern Pemerintah.
90

Robbins, Stephen P, 2003, Perilaku Organisasi, Jilid 2, Jakarta: PT. Indeks


Kelompok Gramedia,

Rinaldy Bima, Muhammad, 2011. Fungsi Inspektorat Dalam Penyelenggaraan


Pemerintahan Daerah Di Kota Makassar. Jurnal Ilmiah Ishlah, Vol.13 No.

Soleman, Aminah, 2011 Analisis Beban Kerja Ditinjau Dari Faktor Usia Dengan
Pendekatan Recommended Weiht Limit. Jurnal Arika, Vol.05 No.02.

Suartana, W. (2010). Akuntansi Keperilakuan: Teori dan Implementasi. Andi.

Tunggal, Widjaja. 2011. Pengantar kecurangan Korporasi. Jakarta.


Harvarindo.2012. Pedoman Pokok Audit Internal. Jakarta. Harvarindo.

Tuanakotta, T. M., .2014. Mendeteksi Manipulasi Laporan Keuangan, Salemba


Empat, Jakarta.

Wardhini, Meta. 2010. Peranan Audit Internal dalam Pencegahan Fraud (Studi
Kasus PT. PLN Distribusi Jabar). Skripsi. Bandung. Fakultas Ekonomi
Universitas Widyatama.

Widiyastuti, Marcelina, dan Sugeng Pamudji. 2019. “Pengaruh Kompetensi,


Independensi, Dan Profesionalisme Terhadap Kemampuan Auditor Dalam
Mendeteksi Kecurangan (Fraud)”. VALUE ADDED, Vol.5, No.2, Maret
2019 – Agustus 2019.

Wilopo, 2016. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kecenderungan


Kecurangan Akuntansi : Studi Pada Perusahaan Publik dan Badan Usaha
Milik Negara, SNA IX Padang, STIE Pebanas, Surabaya.

Zamzami, Faiz, dkk. 2014. Audit Keuangan Sektor Publik Untuk Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

https://nasional.kompas.com/read/2020/10/12/21132481/kpk-periksa-dua-
tersangka-kasus-proyek-jembatan-di-kampar

https://amanahnews.com/read/detail/65168/oknum-asn-kampar-ditahan-kpk
%C2%A0

https://www.antaranews.com/berita/1910576/sekdaprov-riau-diduga-korupsi-dan-
rugikan-negara-rp18-miliar
91

https://nasional.kompas.com/read/2020/06/24/20174921/firli-beberkan-wilayah-
dengan-kasus-korupsi-terbanyak

Anda mungkin juga menyukai