Anda di halaman 1dari 14

LEKSIKAL PENANDA UKURAN WAKTU BAHASA JAWA PADA

MASYARAKAT DESA KLOPODUWUR, KECAMATAN BANJAREJO,


KABUPATEN BLORA, JAWA TENGAH

JAVANESE LEXICAL MARKER OF TIME AMONG SOCIETY OF


KLOPODUWUR VILLAGE, BANJAREJO, BLORA, EAST JAVA

Siti Raudloh
Kantor Bahasa Provinsi NTB

Tanggal naskah masuk: 1 Mei 2012


Tanggal revisi terakhir: 20 November 2012

Abstract

This study is aimed at describing the lexical marker of time, during day and night, in Klopoduwur
village community. The data are collected through interview technique and then analyzed by using
intralingual identity method. The result of analysis shows that Javanese has rich number of lexical
markers of time which are not found in other languages. The word ‘wayah’ is only equaled to the
words which mean ‘circular or repetitive’. Alignment of words either in the form of free morpheme or
polimorfemis on the formation of lexical marker of time measurement has a grammatical meaning
'time' and metaphorical meanings.

Keywords: lexical, word alignment, metaphorical meaning

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan leksikal penanda ukuran waktu dalam sehari semalam
pada masyarakat Desa Klopoduwur. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode cakap
dan metode simak. Selanjutnya untuk menganalisis data menggunakan metode padan intraligual. Hasil
analisis menunjukkan bahwa bahasa Jawa sangat kaya akan leksikal-leksikal penanda ukuran waktu
yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Kata ‘wayah’ hanya bisa dijajarkan dengan kata yang
mempunyai pesan makna ‘melingkar atau berulang’. Penjajaran kata baik yang berupa morfem bebas
maupun polimorfemis pada pembentukan leksikal penanda ukuran waktu mempunyai makna
gramatikal ’waktu’ dan makna metaforis.

Kata kunci: leksikal, penjajaran kata, makna metaforis

1. Pendahuluan Bahasa adalah representasi fonologis


Bahasa pada dasarnya merupakan yang digunakan sebagai kebiasaan
salah satu karakteristik murni hasil untuk menunjukkan makna dan
peradaban manusia dan merupakan kegiatan sosial, kebudayaan, fisik,
metode non-instingtif untuk fisiologi, mental, dan psikologis1.
mengomunikasikan gagasan, perasaan, Bahasa yang kita kenal sekarang ini
dan keinginan dengan bantuan simbol merupakan produk masyarakat masa
yang dihasilkan dengan sukarela. lampau, dipelihara dan dikembangkan,

46
… Kabupaten Blora Jawa Tengah (Siti Raudloh) |47

serta diwariskan secara turun-temurun. Kajian ini memaparkan bentuk-


Bahasa tumbuh dan berkembang bentuk leksikon penanda ukuran waktu
sejalan dengan masyarakat dan budaya bahasa Jawa pada masyarakat Desa
penuturnya. Bahasa merupakan suatu Klopoduwur, khususnya leksikon
yang tidak dapat dipisahkan dari penanda ukuran waktu dalam sehari
kehidupan manusia karena dengan semalam (24 jam). Menarik untuk
bahasa, manusia dapat mengungkapkan diteliti karena secara historis Desa
segala hal yang ada dalam pikiran dan Klopoduwur merupakan pusat
perasaannya, yakni berkomunikasi2. berkembangnya ajaran Samin
Dalam berkomunikasi, manusia Surosentiko yang memiliki latar
memproduksi ujaran-ujaran yang belakang sejarah yang menarik
berupa kalimat, frasa, klausa, kata atau perhatian para ahli. Menurut Nurudin3,
leksikon. Leksikon dalam sebuah masyarakat Samin terbentuk dari
bahasa sengat banyak jumlahnya, munculnya seorang tokoh bernama asli
misalnya leksikon kesusastraan, R. Kohar yang lahir di Desa
leksikon bidang pertanian, leksikon Plosokediren, Randublatung, Blora
bidang kesehatan, leksikon penanda pada tahun 1859, anak dari R.
sifat, leksikon penanda waktu, dan lain- Surowijoyo (atau Samin Sepuh). Agar
lain. lebih merakyat nama R. Kohar diganti
Berbicara masalah leksikon menjadi Samin dan setelah menjadi
penanda waktu, dalam konsep bahasa guru kebatinan (dalam masyarakat
Indonesia ada waktu pagi, siang, sore, Jawa pengaruh guru kebatinan atau
petang, malam, tengah malam, dan dini paranormal amat kuat) nama itu
hari. Waktu-waktu tersebut tidak dilengkapi dengan Surosentiko,
mempunyai batasan yang jelas, sehingga menjadi Samin Surosentiko
misalnya, ketika kita mengatakan dan bergelar Panembahan
“Selamat pagi, Pak”, batasan pagi itu Suryongalam. Oleh pengikut
dari pukul berapa sampai dengan pukul Saminisme sering disebut Ki (Kyai)
berapa. Apakah orang juga akan Samin Surosentiko atau Ki (Kyai)
menyapa “Selamat pagi, Pak” ketika Saminsurontiko. Sebagai guru
situasi itu terjadi pada pukul 10.00. kebatinan Ki Samin menciptakan
Lain halnya dalam bahasa Jawa kita istilah-istilah khusus yang dapat
mengenal penamaan waktu untuk pukul memperkaya variasi bahasa Jawa di
10.00 yaitu “wayah wisan gawe”, Blora dan menyebar yang dibawa oleh
Pukul 17.30 yaitu Tibra layu para pengikutnya.
(sandikolo). Kekayan leksikal bahasa
Jawa tersebut menunjukkan keragaman
budaya dalam kehidupan masyarakat
Jawa.
48| Mabasan, Vol. 6 No. 2, Juli—Desember 2012
1.1 Landasan Teori ‘kata’, ‘ucapan’, atau ‘cara berbicara’5.
1.1.1 Leksikon dan Kosakata Dalam linguistik aliran Britania
Secara etimologi leksikal adalah digunakan istilah leksis . Kridalaksana7
6

bentuk adjektiva dari kata leksikon mendefinisikan leksikon adalah


yang terlebih dahulu menurunkan kata komponen bahasa yang memuat semua
leksem. informasi tentang makna dan
Dalam kajian linguistik istilah pemakaian kata dalam bahasa, atau
leksem digunakan dalam dua bidang kekayaan kata yang dimiliki seorang
subkajian, yaitu kajian morfologi dan pembicara, penulis, atau suatu bahasa;
kajian semantik. Dalam kajian kosakata atau perbendaharaan kata.
morfologi, leksem diartikan sebagai Selanjutnya, Chaer8 menjelaskan,
‘bentuk’ yang akan menurunkan istilah leksikon lazim digunakan untuk
sebuah atau sejumlah kata4. Sebagai mewadahi konsep “kumpulan leksem”
sebuah bentuk, leksem belum dari satu bahasa, baik kumpulan sacara
digunakan dalam satu ujaran; yang keseluruhan maupun secara sebagian.
digunakan dalam ujaran yang nyata Dalam kepustakaan Indonesia kita
adalah kata. Misalnya bentuk PUKUL mempunyai leksikon Malaysia9 yang
(dalam konvensi ‘morfologi’ leksem berisi sejumlah kata bahasa Malaysia
ditulis dengan huruf kapital semua) yang secara semantik dan gramatika
adalah sebuah leksem yang dapat berbeda-beda dengan kata-kata dalam
menurunkan kata-kata memukul, bahasa Indonesia.
dipukul, terpukul, pukul, pukulan, Dari uraian di atas, dapat
pemukul, pemukulan, dan sebagainya, disimpulkan bahwa dalam peristilahan
sedangkan dalam kajian semantik sekarang barangkali istilah leksikon ini
istilah leksem digunakan untuk bisa disepadankan dengan istilah
mewadahi konsep satuan bahasa yang kosakata yang sudah lazim digunakan
memiliki satu satuan makna. Oleh dalam pemelajaran bahasa. Kata
karena prinsipnya adalah satuan leksikon yang berstatus nomina
makna, maka bentuk-bentuk seperti memiliki bentuk adjektivanya yang
meja, kucing, keras kepala, juga sudah lazim digunakan yaitu
menamakan, dan menganaktirikan leksikal, dalam arti bersifat leksikon,
adalah termasuk dalam konsep leksem. seperti terdapat pada frase makna
Jadi, secara semantik yang disebut leksikal, kajian leksikal, dan semantik
leksem bisa berupa kata dasar, kata leksikal.
gabung, kata berimbuhan, maupun Istilah kosakata muncul ketika
bentuk-bentuk yang disebut ungkapan para linguis Indonesia sedang giat-
atau idiom. giatnya mencari kata atau istilah yang
Leksikon berasal dari kata tidak berbau barat. Asal-usul kata ini
Yunani kuno lexicon yang berarti menurut Notosudirjo10 berasal dari
… Kabupaten Blora Jawa Tengah (Siti Raudloh) |49

bahasa Sansekerta koca yang berarti sudah, sedang, dan akan adalah
‘perbendaharaan’, ‘kekayaan’, keterangan waktu. Padahal keterangan
‘khazanah’, dimajemukkan dengan kata waktu, dan keterangan lainnya, sebagai
khata yang berarti ‘kata’. Dalam fungsi sintaksis memberi keterangan
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata terhadap keseluruhan kalimat.
‘kosakata’ didaftarkan sebagai sebuah Posisinya pun dapat dipindahkan ke
entri yang ditulis serangkai dan diberi awal kalimat atau ke tempat lain;
makna ‘perbendaharaan kata’. sedangkan kala terikat pada verbanya
Berdasarkan penjelasan di atas, atau predikatnya. Penyebab kekeliruan
dalam kajian ini yang dimaksudkan ke itu barangkali karena kata-kata seperti
dalam satuan kosakata hanyalah butur- sudah, sedang, dan akan itu “sejenis”
butir leksikal (lexical items) penanda dengan kata-kata kemarin, tadi, dan
ukuran waktu bahasa Jawa baik yang besok yang menyatakan waktu; dan
berupa morfem dasar (bebas dan kata yang terakhir ini memang dapat
terikat) maupun yang berupa gabungan mengisi fungsi keterangan. Mungkin
morfem dalam bentuk kata juga karena dalam tata bahasa
berimbuhan, berulang, maupun bentuk tradisional, istilah keterangan
majemuk . digunakan untuk dua macam konsep,
yaitu konsep fungsi sintaksis, dan
1.1.2 Konsep Kala dan Keterangan konsep kategori sintaksis.
Waktu Dalam membicarakan waktu,
Kala atau tenses adalah informasi Benveniste12 dalam membedakan tiga
dalam kalimat yang menyatakan waktu pengertian, yaitu: (1) Waktu fisis
terjadinya perbuatan, kejadian, (temps physique), yakni waktu yang
tindakan, atau pengalaman yang secara alamiah kita alami, yang
disebutkan di dalam predikat Chaer11, sifatnya sinambung, Iinear, dan tak
Kala ini lazimnya menyatakan waktu terhingga. Waktu fisis berjalan terus
sekarang, sudah lampau, dan akan tanpa dapat kita alami lagi. (2) Waktu
datang. Beberapa bahasa menandai kronis (temps chronique), yakni waktu
kala itu secara morfemis; artinya, yang dipikirkan kembali atau
pertanyaan kala itu ditandai dengan dikonseptualisasikan oleh manusia
bentuk kata tertentu pada verbanya. berdasarkan suatu atau sejumlah
Bahasa Indonesia tidak menandai kala peristiwa yang ditetapkan secara
secara morfemis, melainkan secara konvensional oleh suatu masyarakat
leksikal. Dalam bahasa Indonesia sebagai titik acuan dalam waktu fisis.
banyak orang yang mengelirukan (3) Waktu kebahasaan (temps
konsep kala dengan konsep keterangan hnguistigice), yakni waktu yang
waktu sebagai fungsi sintaksis; dilibatkan dalam tuturan kita dan dalam
sehingga mereka mengatakan kala sistem bahasa yang kita pakai. Ketiga
50| Mabasan, Vol. 6 No. 2, Juli—Desember 2012
pengertian mengenai waktu yang diisi atau diduduki oleh kategori-
dikemukakan Benveniste itu sangat kategori tertentu. Fungsi itu mungkin
penting untuk memahami konsep diisi satu kata atau lebih. Dua kata atau
manusia tentang waktu. Bagi manusia, lebih yang mengisi fungsi sintaksis
waktu yang sebenarnya dirasakan ialah tertentu di sebut frasa14.
waktu fisis. Manusia hidup di dalam Dilihat dari persamaan dan
waktu yang terus berjalan tanpa dapat perbedaan distribusi frasa dengan
kembali lagi ke waktu lampau. Akan unsur-unsurnya, frasa dibedakan atas
tetapi, dengan mengkonseptualisasi frasa endosentris dan frasa eksosentris.
waktu manusia dapat menjelajahinya, Disebut frasa endosentris bila distribusi
sehingga, ia dapat mengarungi sejarah, frasa secara keseluruhan sama dengan
masa kini, dan hari depannya. Bahkan semua atau salah satu unsurnya,
manusia dapat membayangkan waktu sedangkan kalau tidak ada satu pun dari
dalam sesuatu pembagian yang unsur frasa itu yang mempunyai
beraturan. Untuk menetapkan distribusi yang sama dengan frasa itu
pembagian yang beraturan itu, biasanya sendiri, disebut frasa eksosentrik15.
manusia menentukan secara Selanjutnya, Soedjarwo16
konvensional suatu peristiwa sebagai menyebutkan, frasa endosentris yang
titik acuan dalam waktu fisis dan memiliki satu unsur yang sama dengan
kemudian menetapkan pula keseluruhan frasa itu disebut frasa
pembagiannya dalam sejumlah endosentris atributif, sedangkan frasa
penggalan. Misalnya tahun 1 Saka endosentris yang semua unsurnya
konon dihubungkan saat mendaratnya mempunyai distribusi yang sama
Ajisaka di Pulau Jawa. Ada pula yang dengan frasa itu sendiri, disebut frasa
mengabarkan, bahwa permulaannya endosentris yang koordinatif.
adalah saat Raja Sariwahana Ajisaka Dalam bahasa Indonesia, ada tiga
naik tahta di India13. Selanjutnya tahun macam sarana untuk membangun
dibagi atas bulan (12 bulan), bulan (30 hubungan struktural pada tataran frasa.
hari), minggu (7 hari), dan hari (24 Ketiga sarana itu ialah penjajaran,
jam, atau satu putaran bumi, atau jarak perangkaian, dan persendian.
waktu antara matahari terbit dan Penjajaran artinya penyebutan atau
matahari terbit, atau antara matahari peletakan kata-kata dalam urutan
terbenam dan matahari terbenam). langsung. Dengan penjajaran itu dapat
dinyatakan bermacam-macam
17
1.1.3 Penjajaran Kata dalam Frase hubungan makna . Perangkaian ialah
Dalam sebuah kalimat ada penggunaan kata perangkai, atau oleh
fungsi-fungsi sintaksis tertentu yang Sudaryanto18, disebut peligaturan.
disebut subjek, predikat, objek, dan Kata perangkai digunakan apabila
keterangan. Fungsi-fungsi sintaksis itu hubungan makna antara unsur-unsur
… Kabupaten Blora Jawa Tengah (Siti Raudloh) |51

dalam frasa itu tidak cukup jelas 2.1 Leksikal Penanda Ukuran
dinyatakan dengan penjajaran. Waktu dalam Sehari Semalam
Sedangkan persendian merupakan Leksikon penanda ukuran waktu
bagian dari intonasi. dalam sehari semalam (24) jam bahasa
Jawa masyarakat Desa Klopoduwur
1.1.4 Teori Semantik adalah sebagai berikut:
Untuk menggali makna leksikal (1) Wayah Byar [wayah byar].
penanda ukuran waktu, digunakan Leksikal penanda ukuran waktu ini
pendekatan semantik, khususnya terdiri atas dua leksikon, yaitu wayah
tentang makna. Djajasudarma19 yang berarti ‘waktu; wanci; masa’ dan
menyebutkan pada dasarnya kata itu byar yang berarti ‘terbuka; menjadi
memiliki makna kognitif (denotatif, terang’. Jadi wayah byar bisa diartikan
deskriptif), makna konotatif, dan waktu ketika matahari terbuka atau
makna emotif. Kata dengan makna terbit, menurut ukuran waktu jam
kognitif digunakan pada kehidupan nasional kira-kira pukul 06.00. Semula
sehari-hari dan bidang teknik. Kata bumi diselimuti oleh kegelapan malam
konotatif di dalam bahasa Indonesia kemudian matahari terbit dan seketika
cenderung negatif, sedangkan kata itu menjadi terang. Dalam kamus
emotif memiliki makna positif. bahasa Jawa ditemukan kata ambyar
Selain jenis makna yang telah yang berarti ‘bertebaran’, dengan
disebutkan di atas, masih banyak jenis- demikian kata byar merupakan bentuk
jenis makna berdasarkan berbagai dasar yang menunjukkan makna
sumber yang dikemukakan oleh para emotif, bahwa waktu itu benar-benar
ahli bahasa, yaitu: makna sempit, luas, matahari terbit, sehingga wayah byar
leksikal, gramatikal, referensial, ini memiliki makna simbolis tentang
kontruksi, idesional, proposisi, pusat, awal mula orang beraktifitas.
piktorial, idiomatik, dan metaforis. Wayah byar merupakan jenis
frasa endosentris atributif yang
2. Hasil dan Pembahasan berstruktur Adv + A. Hubungan makna
Berdasarkan data yang diperoleh, yang timbul dari disejajarkannya kata
ditemukan 24 leksikal penanda ukuran wayah dan byar adalah makna
waktu dalam satu hari (24 jam) pada idiomatis, yaitu menunjukkan waktu
masyarakat Desa Klopoduwur. Berikut tertentu ketika matahari sudah terbit.
ini akan dipaparkan masing-masing Contoh: Mbah Lasio mele’an sampek
leksikon penanda ukuran waktu wayah byar
tersebut secara berturut-turut. ‘Mbah Lasio begadang sampai
pukul 06.00.
(2) Wayah Gumatel [wayah
gumat∂l]. Leksikal penanda ukuran
52| Mabasan, Vol. 6 No. 2, Juli—Desember 2012
waktu ini terdiri atas dua leksikon, Jadi wayah pecat sawet berarti waktu
yaitu wayah dan gumatel. Wayah barati ketika para petani melepaskan kayu
‘waktu; wanci’, sedangkan gumatel penggandeng sapi waktu membajak
secara khusus tidak di temukan dalam sawah untuk beristirahat sejenak.
kamus bahasa Jawa, kecuali kata dasar Biasanya waktu ini dipergunakan oleh
gatel ‘gatal’ yang mendapat sisipan petani untuk mindho (sarapan kedua)
(infiks) um menjadi gumatel. Kata dan memberi makanan binatang
gumatel mengandung makna emotif, ternaknya sebelum melanjutkan
yaitu makna yang timbul akibat adanya pekerjaannya. Menurut perkiraan
reaksi pembicara atau sikap pembicara waktu nasional wayah pecat sawed
terhadap sesuatu yang dipikirkan atau kira-kira pukul 10.00. Selain wayah
dirasakan, Sipley20. Saat mendengar pecat sawed masyarakat Desa
kata wayah gumatel seseorang akan Klopoduwur menyebut waktu ini
berfikir bagaimana polah tingkah orang dengan wayah wisan gawe [wayah
yang badannya merasa gatal. Dengan wisan gawe] yang artinya tidah jauh
demikian wayah gumatel memiliki berbeda dengan wayah pecat sawed.
makna simbolis tentang waktu ketika Wisan berarti ‘sudah; selesai’ dan gawe
orang sedang sibuk-sibuknya bekerja, berarti ‘pekerjaan; membajak’.
yaitu kira-kira pukul 09.00. Selain Wayah Pecat sawed termasuk
wayah gumatel penanda waktu ini juga jenis frasa endosentris atributif dengan
disebut wayah lingsir wetan [wayah susunan berlapis-lapis. Lapisan-lapisan
liηsIr wetan] yang berarti waktu ketika itu berupa rangkaian unsur pusat dan
matahari condong ke arah timur. unsur tambahan. Unsur pusat pecat dan
Penjajaran morfem bebas unsur tambahan sawed pada pecad
wayah dengan morfem polimofemis sawed menjadi unsur pusat pada wayah
gumatel pada frasa endosentris pecad sawed. Hubungan makna yang
atributif wayah gumatel mempunyai timbul dari disejajarkannya kata
makna metaforis, yaitu mengibaratkan wayah, pecat dan sawed adalah makna
waktu ketika orang sibuk bekerja metaforis, yaitu menunjukkan waktu
dengan orang yang sibuk menggaruk tertentu.
badannya karena merasa gatal. (4) Wayah Tengange [wayah
(3) Wayah Pecat sawed [wayah t∂ηaηe]. Leksikal penanda ukuran
p∂cat saw∂d]. Leksikal penanda ukuran waktu ini terdiri atas dua leksikon,
waktu ini terdiri atas tiga leksikon, yaitu wayah sebagaimana yang telah
yaitu wayah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dan tengange. Dalam
dijelaskan di atas, pecat berarti ‘lepas; kamus bahasa Kawi-Jawa tengange
bebas; dikeluarkan; terpisah’ dan berarti ‘srengenge sederengipun lingsir
sawed berarti ‘kayu penggandeng sapi wetan’. Jadi wayah tengange berarti
atau kerbau waktu membajak sawah’. waktu ketika matahari condong ke
… Kabupaten Blora Jawa Tengah (Siti Raudloh) |53

timur dari titik tertinggi. Menurut sebagai penanda datangnya waktu


perkiraan waktu nasional wayah shalat dzuhur. Selanjutnya leksikon bar
tengange kira-kira pukul 11.30. sebagai unsur tambahan pada frasa
Wayah Tengange termasuk endosentris atributif wayah bar bedhuk
jenis frasa endosentris atributif yang mempunyai arti ‘bubar; setelah; usai’.
berstruktur Adv + A. Hubungan makna Jadi wayah bar bedhuk berarti waktu
yang timbul dari disejajarkannya kata setelah shalat dzuhur, atau menurut
wayah dan tengange adalah makna perkiraan waktu nasional kira-kira
metaforis, yaitu menunjukkan waktu pukul 13.00. Hubungan makna yang
tertentu. timbul dari disejajarkannya kata
(5) Wayah bedhuk [wayah wayah, bar dan behuk adalah makna
b∂dUk]. Leksikal penanda waktu ini gramatikal ‘waktu’.
terdiri atas dua leksikon, yaitu wayah (7) Wayah Lingsir Kulon
dan bedhuk. Wayah berarti ‘waktu; [wayah liηsIr kul⊃n]. Leksikal
wanci’ dan bedhuk berarti ‘bedhuk’. penanda ukuran waktu ini terdiri atas
Wayah bedhuk berarti waktu ketika tiga leksikon, yaitu wayah, lingsir, dan
saat shalat dzuhur tiba yang biasanya kulon. Lingsir berarti ‘bergerak dari
ditandai dengan dipukulnya beduk di tempatnya; bergerak ke samping;
masjid-masjid sebagai media panggilan bergerak ke bawah (dari titik tinggi);
untuk melaksanakan ibadah sholat, atau sudah miring; sudah condong’. Kulon
menurut perkiraan waktu nasional kira- berarti ‘barat’. Jadi lingsir kulon berarti
kira pukul 12.00. Meskipun masyarakat waktu ketika matahari mulai bergerak
Desa Klopoduwur mengenal waktu condong ke arah barat, menurut
beduk, namun masjid yang berada di perkiraan waktu nasional kira-kira
Desa Klopoduwur tidak ditemukan lagi pukul 14.00.
beduk. Mereka tidak lagi memakai Wayah lingsir kulon termasuk
beduk dan menggantikannya dengan jenis frasa endosentris atributif dengan
mikrofon. susunan berlapis-lapis. Lapisan-lapisan
Wayah bedhuk termasuk jenis itu berupa rangkaian unsur pusat dan
frasa endosentris atributif yang unsur tambahan. Unsur pusat lingsir
berstruktur Adv + N. Hubungan makna dan unsur tambahan kulon pada
yang timbul dari disejajarkannya kata lingsir kulon menjadi unsur pusat pada
wayah dan beduk adalah makna wayah lingsir kulon. Hubungan
metaforis, yaitu menunjukkan waktu makna yang timbul dari
tertentu. disejajarkannya kata wayah, lingsir,
(6) Wayah bar bedug [wayah dan kulon adalah makna metaforis,
bar b∂dUk]. Sebagaimana telah yaitu menunjukkan waktu tertentu.
dijelaskan di atas wayah bedhuk (8) Wayah Ngasar [wayah
berarti waktu ketika ditabuhnya beduk ηasar]. Sebagaimana halnya dengan
54| Mabasan, Vol. 6 No. 2, Juli—Desember 2012
wayah bedhuk, wayah ngasar perkiraan waktu nasional wayah
menunjukkan masuknya waktu salat tengange kira-kira pukul 17.00
asar. Meskipun biasanya panggilan Wayah tunggang gunung
untuk ibadah salat asar ini juga termasuk jenis frasa endosentris
menggunakan beduk, tapi masyarakat atributif dengan susunan berlapis-
Desa Klopoduwur tidak menyebutnya lapis. Sebagaimana yang telah
dengan wayah bedhuk asar tapi hanya dijelaskan di atas. Frasa ini berstruktur
menyebut wayah ngasar. Menurut Adv + V + N. Hubungan makna yang
perkiraan waktu nasional wayah ngasar timbul dari disejajarkannya kata
ini kira-kira pukul 15.00. wayah, tunggang dan gunung adalah
Penjajaran dua morfem bebas makna metaforis, yaitu mengibaratkan
wayah dan ngasar dalam frasa ini waktu ketika matahari berada di
mengandung makna gramatikal punggung gunung dengan waktu
‘waktu’. tertentu.
(9) Wayah bar ngasar [wayah (11) Wayah tibra layu [wayah
bar ηasar] Sebagaimana telah tibr⊃ layu]. Leksikal penanda waktu
dijelaskan di atas wayah ngasar ini terdiri atas tiga leksikon, wayah,
menunjukkan masuknya waktu salat tibra, dan layu. Tibra dalam kamus
asar. Selanjutnya leksikon bar sebagai bahasa Jawa berarti ‘kuat; keras’ dan
unsur tambahan pada frasa endosentris layu berarti ‘menghilang’, selain wayah
atributif wayah bar ngasar mempunyai tibra layu waktu ini juga disebut
arti ‘bubar; setelah; usai’. Jadi wayah dengan wayah sandekolo [wayah
bar ngasar berarti waktu setelah salat sandek⊃l⊃], yang berarti ‘gurat merah
asar, atau menurut perkiraan waktu di langit senja; senjakala; petang hari’.
nasional kira-kira pukul 15.30. Jadi wayah Tibra layu atau wayah
Hubungan makna yang timbul dari sandekolo berarti waktu ketika
disejajarkannya kata wayah, bar, dan matahari terbenam dan tampak guratan
ngasar adalah makna gramatikal ‘ merah di langit atau menurut perkiraan
waktu’. waktu nasional kira-kira pukul 17.30.
(10) Wayah Tunggang gunung Wayah tibra layu termasuk
[wayah tuηgaη gunuη]. Leksikal jenis frasa endosentris atributif dengan
penanda waktu ini terdiri atas tiga susunan berlapis-lapis. Lapisan-lapisan
leksikon, yaitu wayah, tunggang, dan itu berupa rangkaian unsur pusat dan
gunung. Tunggang berarti ‘tumpak’ unsur tambahan. Unsur pusat tibra dan
gunung ‘gunung’. Tunggang gunung unsur tambahan layu pada tibra layu
berarti waktu menjelang sore hari menjadi unsur pusat pada wayah tibra
ketika matahari di atas punggung layu. Hubungan makna yang timbul
gunung sebelah barat. Menurut dari disejajarkannya kata wayah, tibra
… Kabupaten Blora Jawa Tengah (Siti Raudloh) |55

dan layu adalah makna metaforis, yaitu dan bocah berarti ‘anak kecil’. Dengan
menunjukkan waktu tertentu. demikian, wayah sirep bocah bisa
(12) Wayah Maghrib, diartikan waktu ketika anak-anak kecil
[wayah magrIb], sama halnya dengan sudah tidur, atau kira-kira pukul 20.00.
yang telah dijelaskan di atas wayah Wayah sirep bocah termasuk
maghrib menunjukkan masuknya jenis frasa endosentris atributif dengan
waktu salat maghrib. Selain wayah susunan berlapis-lapis. Lapisan-lapisan
maghrib waktu ini juga desebut dengan itu berupa rangkaian unsur pusat dan
wayah surup [wayah surUp]. Surup unsur tambahan. Unsur pusat sirep dan
berarti ‘turun; terbenamnya (matahari, unsur tambahan bocah pada sirep
bulan, bintang); petang hari’ jadi bocah menjadi unsur pusat pada wayah
wayah surup berarti waktu ketika sirep bocah. Penjajaran tiga morfem
matahari benar-benar terbenam, atau bebas wayah, sirep, dan bocah pada
menurut perkiraan waktu nasional kira- frasa ini mempunyai makna metaforis,
kira pukul 18.00. yaitu menunjukkan waktu tertentu
Penjajaran dua morfem bebas ketika anak-anak sudah tidur.
wayah dan maghrib atau surup pada (17) Wayah Sirep wong
frasa endosentris atributif memiliki [wayah sir∂p w⊃η], sebagaimana telah
makna gramtikal ‘waktu’. dijelaskan pada wayah sirep bocah di
(13) Wayah bar maghrib atas, wayah sirep wong berarti waktu
[wayah bar magrIb], sama halnya ketika orang-orang dewasa tidur, kira-
dengan wayah bar dzuhur dan wayah kira pukul 23.00.
bar asar yang telah dijelaskan diatas. (18) Wayah bedhuk bengi
Wayah bar maghrib menunjukkan [wayah b∂dUk b∂ηi]. Wayah bedhuk
waktu setelah salat maghrib, kira-kira bengi ini kebalikan dari wayah bedhuk
pukul 18.30. pada siang hari yang menunjukkan
(14) Wayah Ngisak [wayah waktu masuknya salat dzuhur. Yang
ηisa?], sama dengan wayah maghrib, membedakannya adalah wayah bedhuk
wayah ngisak menunjukkan masuknya bengi tidak ditandai dengan dipukulnya
waktu salat isya, kira-kira pukul 19.00. beduk di masjid, tetapi ditandai dengan
(15) Wayah bar ngisak dipukulnya kentongan para penduduk
[wayah bar ηisa?], yaitu waktu setelah desa yang sedang ronda malam, kira-
salat isya, kira-kira pukul 20.00. kira pukul 24.00. Pada umumnya orang
(16) Wayah Sirep bocah Jawa menyebut waktu ini dengan
[wayah sir∂p bocah]. Leksikal penanda wayah tengah wengi.
ukuran waktu ini terdiri atas tiga (19) Wayah Lingsir wengi
leksikon, yaitu wayah sebagaimana [wayah liηsIr w∂ηi] kira-kira pukul
dijelaskan di atas, sedangkan sirep 01.00. Kata lingsir yang dijajarkan
berarti ‘sunyi; tanpa suara; tidur; diam’, dengan kata wengi berbeda dengan
56| Mabasan, Vol. 6 No. 2, Juli—Desember 2012
kata lingsir yang dijajarkan dengan terutama bagi mereka yang tinggal di
kata wetan dan kulon. Makna lingsir pedesaan. Misalnya ketika ayam jantan
yang dijajarkan dengan kata wetan dan berkokok yang pertama kali,
kulon ada kaitannya dengan matahari masyarakat Desa Klopoduwur
yang bergerak kesamping dari titik menyebutnya dengan Wayah Jago
tertinggi, sedangkan kata lingsir yang kluruk sepisan kira-kira pukul 03.00.
dijajarkan dengan kata wengi Wayah jago kluruk sepian
mempunyai arti ‘mundur; berkurang; termasuk jenis frasa endosentris
susut’. Jadi lingsir wengi bisa diartikan atributif dengan susunan berlapis-
waktu ketika malam mulai berkurang lapis. Lapisan-lapisan itu berupa
atau susut. rangkaian unsur pusat dan unsur
Contoh: Malinge kira-kira mlebu omah tambahan. Unsur pusat jago dan unsur
kuwi wayah lingsir wengi pas tambahan kluruk pada jago kluruk
sing duwe omah turu pules. menjadi unsur pusat pada wayah jago
‘Pencuri masuk rumah itu pukul 01.00 kluruk; wayah jago kluruk pada
ketika penghuninya tidur lelap’. gilirannya menjadi unsur pusat pula
(20) Wayah Titiyoni [wayah setelah mendapat unsur tambahan
titiy⊃ni]. Leksikal penanda waktu ini sepisan menjadi wayah jago kluruk
terdiri atas dua leksikon, yaitu wayah sepisan. Hubungan makna yang timbul
artinya sudah dijelaskan di atas dan dari disejajarkannya kata wayah, jago,
titiyoni. Dalam kamus bahasa Jawa kluruk dan sepisan adalah makna
tidak ditemakan kata ini, kecuali kata metaforis, yang menunjukkan waktu
titi dan yoni. titi artinya ‘hari menurut tertentu.
peredaran bulan’ dan yoni artinya (22) Wayah subuh [wayah
‘sempurna; kekuatan gaib; sakti’, subUh], sama dengan wayah ngasar,
sedangkan dalam kamus bahasa Kawi- maghrib, dan ngisak. Wayah subuh
Jawa ditemukan kata titisoni yang menunjukkan masuknya waktu salat
artinya ‘sirep; tidur’. Menurut penulis subuh. Masyarakat Desa Klopoduwur
makna wayah titiyoni adalah sama juga menyebut waktu ini dengan wayah
dengan titisoni, yaitu waktu ketika jago kluruk ping pidho [wayah jago
orang-orang sedang nyenyak tidur atau klurU? piη pindho] kira-kira pukul
sirep, menurut ukuran waktu nasional 04.00.
kira-kira pukul 02.00. (23) Wayah Jago kluruk ping
(21) Wayah Jago kluruk telu [wayah jago klurU? piη t∂lu].
sepisan [wayah jago klurU? s∂pisan]. Sebagaimana dijelaskan di atas,
Zaman dulu masyarakat Jawa belum leksikal penanda ukuran waktu ini
mengenal jam, maka untuk menandai mempunyai arti ketika ayam jantan
waktu, mereka menggunakan tanda- berkokok untuk yang ketiga kalinya,
tanda alam yang ada di sekitarnya,
… Kabupaten Blora Jawa Tengah (Siti Raudloh) |57

atau menurut perkiraan waktu nasional saput lemah. Hubungan makna yang
kira-kira pukul 05.00. timbul dari disejajarkannya kata
Wayah jago kluruk ping telu wayah, saput dan lemah adalah makna
termasuk jenis frasa endosentris metaforis, yaitu menunjukkan waktu
atributif dengan susunan berlapis- tertentu.
lapis. Lapisan-lapisan itu berupa
rangkaian unsur pusat dan unsur 3. Simpulan dan Saran
tambahan. Unsur pusat jago dan unsur 3.1 Simpulan
tambahan kluruk pada jago kluruk Berdasarkan pembahasan di atas,
menjadi unsur pusat pada wayah jago beberapa hal yang menarik dapat
kluruk; wayah jago kluruk pada disimpulkan bahwa bahasa Jawa sangat
gilirannya menjadi unsur pusat pula kaya akan leksikal-leksikal penanda
setelah mendapat unsur tambahan ping ukuran waktu yang tidak dimiliki oleh
telu menjadi wayah jago kluruk ping bahasa lain di dunia. Dalam sehari
telu. Hubungan makna yang timbul semalam masyarakat Jawa Desa
dari disejajarkannya kata wayah, jago, Klopoduwur mengenal 24 leksikal
kluruk, dan ping telu adalah makna penanda ukuran waktu. Leksikal-
metaforis, yang menunjukkan waktu leksikal tersebut selalu diawali dengan
tertentu. kata wayah (waktu, masa). Kata wayah
(24) Wayah saput lemah hanya bisa dijajarkan dengan kata yang
[wayah sapUt l∂mah], leksikal penanda mempunyai arti hierarki tak bercabang
ukuran waktu ini terdiri atas tiga yang berbentuk spiral (helical), yaitu
leksikon, yaitu wayah sebagaimana hierarki yang mempunyai cabang atau
yang dijelaskan di atas, saput berarti pesan melingkar dan berulang,
‘tutup; penutup’ dan lemah berarti misalnya periode waktu dalam sehari
‘tanah; bumi’. Jadi wayah saput lemah semalam (wayah byar, wayah pecat
berarti waktu ketika tanah mulai sawed, wayah linsir wengi, dll.), dan
remang-remang di pagi hari, yaitu musim (wayah rendeng, wayah ketigo,
ketika bumi yang tertutup kegelapan wayah laboh, dll.).
malam mulai tersingkap oleh fajar Penjajaran kata baik yang berupa
timur. Menurut perkiraan waktu morfem bebas maupun polimorfemis
nasional kira-kira pukul 05.30. pada pembentukan leksikal penanda
Wayah saput lemah termasuk ukuran waktu yang berbentuk frasa
jenis frasa endosentris atributif dengan endosentris atributif mempunyai
susunan berlapis-lapis. Lapisan-lapisan makna gramatikal ’waktu’ dan makna
itu berupa rangkaian unsur pusat dan metaforis.
unsur tambahan. Unsur pusat saput dan Atribut atau unsur tambahan
unsur tambahan lemah pada saput frasa endosentris atributif pada leksikal
lemah menjadi unsur pusat pada wayah penanda ukuran waktu, dapat
58| Mabasan, Vol. 6 No. 2, Juli—Desember 2012
mendahului atau mengikuti unsur 3.2 Saran
pusat. Dengan kata lain unsur Penggalian makna penanda
tambahan itu dapat terletak di kanan ukuran waktu pada penelitian ini masih
atau di kiri unsur pusat, atau sangat dangkal, kiranya penelitian
susunannya ada yang MD ada pula selanjutnya bisa menggali makna-
yang DM. hal ini terjadi karena frasa makna yang terkandung dalam leksikal
endosentris atributif mempunyai penanda ukuran waktu tidak terbatas
susunan yang berlapis-lapis, misalnya pada waktu dalam sehari semalam,
wayah jago kluruk ping telu, wayah tetapi juga waktu dalam satu minggu,
lingsir kulon, dan lain-lain. pasaran, bulan, tahun, windu, wuku,
dan musim.

DAFTAR PUSTAKA
1
Ma’mur, Ilzamudin. 2006. Pijar-pijar Pemikiran Bahasa dan Budaya. Jakarta: CV.
Diadit Media.
2
Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
3
Nurudin. 2003. Agama Tradisional Potret Kearifan Masyarakat Samin dan
Tengger. Yogyakarta: LKiS.
4
Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: PT
Rineka Cipta.
5
Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
6
Kushartanti. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
7
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
8
Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
9
Kridalaksana, Harimurti. 1974. Leksikon Malaysia. Jakarta: Lembaga Riset
Kebudayaan Nasional.
10
Notosudirjo, Suwandi. 1979. Pengetahuan Bahasa Indonesia: Etimologi. Jakarta :
PT. Mutia
11
Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: PT
Rineka Cipta.
… Kabupaten Blora Jawa Tengah (Siti Raudloh) |59

12
Benveniste,1974. http://www.lontar.ui.ac.id// http://www.lontar.ui.ac.id// diunduh
tanggal 16 Juni 2012.
13
Purwadi. 2006. Petungan Jawa Menentukan Hari Baik dalam Kalender Jawa.
Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
14
Verhar, J.W.M. 2008. Azas-Azas Linguistik Umum. Cetakan Ketiga. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
15
Soedjarwo. 1989. Penjajaran Kata dalam Frasa. Pidato Pengukuhan Guru Besar
dalam Ilmu Bahasa Indonesia. Semarang: Fakultas Sastra Universitas
Diponegoro.
16
Soedjarwo. 1989. Penjajaran Kata dalam Frasa. Pidato Pengukuhan Guru Besar
dalam Ilmu Bahasa Indonesia. Semarang: Fakultas Sastra Universitas
Diponegoro.
17
Soedjarwo. 1989. Penjajaran Kata dalam Frasa. Pidato Pengukuhan Guru Besar
dalam Ilmu Bahasa Indonesia. Semarang: Fakultas Sastra Universitas
Diponegoro.
18
Soedjarwo. 1989. Penjajaran Kata dalam Frasa. Pidato Pengukuhan Guru Besar
dalam Ilmu Bahasa Indonesia. Semarang: Fakultas Sastra Universitas
Diponegoro.
19
Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung:
Refika Aditama.
20
Mansoer, Pateda. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai