Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 4
MODUL RESPIRASI

Disusun Oleh:
Kelompok 4

Hafizh Febriansyah I1011171057


Lovi Antika Putri I1011191006
Zahlah Ninanda I1011191023
Orlana Devina Siambaton Munthe I1011191031
Gabriella Stephanie Minami I1011191045
Krisna Mahesa Jodhi I1011191063
Tirtalia Annisa I1011191065
Rizqi Mulyadin I1011191071
Akbar Nur Sapendy I1011191077
Noval Ardianto Siringo Ringo I1011191092

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Tn. Pulmo, 30 tahun datang dengan keluhan batuk. Dialami sejak satu bulan
terakhir sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya batuk kering kemudian batuk
kadang-kadang ada lendir, warna kuning. Riwayat batuk darah dua kali, pada 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, warna merah segar, tidak bercampur makanan. Tn.
Pulmo juga demam, ada riwayat menggigil dan berkeringat malam serta nafsu makan
menurun 1 bulan terakhir, berat badan menurun lebih kurang 5 kg. Tidak ada riwayat
pengobatan sebelumnya. Pasien sangat khawatir penyakitnya ini menular kepada
anaknya yang masih berumur 2 tahun dan mengganggu kesehatan istrinya yang
sedang hamil 3 bulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
BB = 50 kg, TB = 165 cm, IMT = 18,37 kg/m, Tanda vital : Tekanan Darah : 120/80
mmHg
Nadi : 100 x/menit, regular; Pernapasan : 22 x/menit ; Suhu : 37,8 C
Pembesaran kelenjar limfe leher; Paru Inspeksi: Simetris, skar (-), retraksi (-);
Palpasi: Vokal fremitus simetris, nyeri tekan (-); Perkusi: Sonor pada semua lapang
paru; Auskultasi: Vesikuler (+/+) dan suara paru kanan melemah, ronchi (+/+).

1.2 Klarifikasi dan Definisi


1. Ronkhi: Bunyi dengan nada rendah, sangat kasar terdengar baik inspirasi
maupun ekspirasi akibat terkumpulnya sekret dalam trakea atau bronkus.
2. Batuk darah/hemoptisis: Membatukkan darah dari paru atau ekspektorasi
darah akibat pendarahan pada saluran napas di bawah laring atau pendarahan
yang keluar dari saluran napas di bawah laring
3. Vokal (taktil) fremitus: Palpasi dinding dada untuk mendeteksi perubahan
intensitas getaran yang dibuat dengan kata-kata tertentu yang diucapkan
dalam nada dan suara yang konstan yang menunjukkan patologi paru yang
mendasarinya.

1.3 Kata Kunci


1. Laki-laki 30 tahun
2. Batuk berlendir warna kuning
3. Nafsu makan dan berat badan menurun
4. Demam
5. Batuk 1 bulan terakhir
6. Batuk berdarah
7. Menggigil dan berkeringat pada malam hari
8. Khawatir menular
9. Takipnea
10. Suara paru kanan melemah
11. Ronkhi (+)

1.4 Rumusan Masalah


Tn. Pulmo 30 tahun mengeluh batuk sejak 1 bulan terakhir dengan riwayat
batuk kering yang berlendir kuning, hemoptisis, menggigil, demam, berkeringat
malam, nafsu makan dan berat badan menurun. Pasien takut penyakit ini menular.
1.5 Analisis Masalah

1.6 Hipotesis
Tn. Pulmo mengalami tuberkulosis paru.

1.7 Pertanyaan Diskusi


1. Sputum
a. Klasifikasi
b. Mekanisme pembentukan
2. Tuberkulosis Paru
a. Definisi
b. Etiologi
c. Faktor resiko
d. Epidemiologi
e. Mekanisme penularan
f. Klasifikasi
g. Manifestasi klinis
h. Diagnosis
i. Pemeriksaan penunjang
j. Komplikasi
k. Tatalaksana
l. Edukasi
m. Prognosis
3. Kanker paru
a. Definisi
b. Etiologi
c. Faktor resiko
d. Patofisiologi
e. Manifestasi klinis
4. Mekanisme terjadinya keluhan terkait penyakit yang diderita pasien:
a. Batuk berdarah
b. Menggigil
c. Keringat pada malam hari
5. Studi kasus:
a. Mengapa pasien mengalami penurunan berat badan dan nafsu makan?
b. Bagaimana pengaruh penyakit yang diderita pasien terhadap anak usia 2
tahun dan istri yang sedang hamil 3 bulan?
6. Jelaskan penyakit-penyakit yang disertai keluhan batuk berdarah!
7. Bagaimana pemeriksaan fisik pada paru?
8. Interpretasi hasil pemeriksaan!
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sputum
2.1.1 Klasifikasi
Sputum adalah lendir yang dibatukkan dari saluran udara bagian bawah.
Proses ini dikenal sebagai ekspektorasi. Ekspektorasi sputum bukan hal yang normal,
di mana selalu ada penyebab patologis yang mendasarinya. Warna sputum pun
bervariasi. Sputum kuning-hijau menunjukkan adanya infeksi bakteri, sedangkan
warna jingga sampai coklat menunjukkan adanya darah dalam lendir, dan sputum
berdarah dari paru-paru menunjukkan bahwa adanya penyakit serius.1
Klasifikasi sputum dan kemungkinan penyebabnya:2
1. Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan
kemungkinan berasal dari sinus atau saluran hidung bukan berasal dari
saluran napas bagian bawah.
2. Sputum banyak sekali dan purulen kemungkinan proses supuratif.
3. Sputum yang terbentuk perlahan dan terus meningkat kemungkinan tanda
bronkitis /bronkiektasis.
4. Sputum kekuning-kuningan kemungkinanproses infeksi
5. Sputum hijau kemungkinan proses penimbunan nanah, warna hijau ini
dikarenakan adanya verdoperoksidase, sputum hijau ini sering ditemukan
pada penderita bronkhiektasis karena penimbunan sputum dalam bronkus
yang melebar dan terinfeksi.
6. Sputum merah muda dan berbusa kemungkinan tanda edema paru akut.
7. Sputum berlendir, lekat, abu-abu/putih kemungkinan tanda bronchitis
kronik.
8. Sputum berbau busuk kemungkinan tanda abses paru/bronkhiektasis.
9. Berdarah atau hemoptisis sering ditemukan pada Tuberculosis.
10. Berwarna-biasanya disebabkan oleh pneumokokus bakteri (dalam
pneumonia).
11. Bernanah, warna dapat memberikan petunjuk untuk pengobatan yang
efektif pada pasien bronkitis kronis.
12. Warna (mukopurulen) berwarna kuning-kehijauan menunjukkan bahwa
pengobatan dengan antibiotik dapat mengurangi gejala.
13. Warna hijau disebabkan oleh Neutrofil myeloperoxidasen. Berlendir putih
susu atau buram sering berarti bahwa antibiotictidak akan efektif dalam
mengobati gejala. Informasi ini dapat berhubungan dengan adanya infeksi
bakteri atau virus meskipun penelitian saat ini tidak mendukung
generalisasi itu.
14. Berbusa putih-mungkin berasal dari obstruksi atau bahkan edema.

2.1.2 Mekanisme Pembentukan


Orang dewasa normal bisa memproduksi mucus sejumlah 100 ml dalam
saluran napas setiap hari. Mucus ini diteruskan ke faring dengan mekanisme
pembersihan silia dari epitel yang melapisi saluran pernapasan. Keadaan abnormal
produksi mucus yang berlebihan (karena gangguan fisik, kimiawi atau infeksi yang
terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan
secara normal sehingga mucus ini banyak tertimbun. Bila hal ini terjadi membran
mukosa akan terangsang dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intra thorakal
dan intra abdominal yang tinggi, dibatukkan udara keluar dengan akselerasi yg cepat
beserta membawa sekret mucus yang tertimbun tadi. Mucus tersebut akan keluar
sebagai sputum. Sputum yang dikeluarkan oleh seorang pasien hendaknya dapat
dievaluasi sumber, warna, volume, dan konsistensinya, kondisi sputum biasanya
memperlihatkan secara spesifik proses kejadian patologis pada pembentukan sputum
itu sendiri.3
2.2 Tuberkulosis Paru
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis tipe humanus.4

2.2.2 Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini
memiliki morfologi berbentuk basil atau batang dengan ukuran panjang 1-4/ μm dan
tebal 0,3-0,6/ μm. Dinding sel bakteri ini biasanya banyak mengandung lipid (asam
lemak), peptidoglikan dan arabinomannan. Bakteri ini merupakanan bakteri tahan
asam dimana karena stuktur dinding selnya ini lah yang menyebabkan dia tahan
terhadap larutan asam dan alkohol. Unsur penyusun dinding selnya ini lah yang
membuat bakteri ini juga lebih tahan terhadap rangsang kimia dan fisik.
Mycobacterium tuberculosis dapat hidup pada udara yang kering dan dingin akan
tetapi tidak tahan terhadap panas. Bakteri ini dapat bertahan hidup dalam lemari es
dalam waktu yang lama karena berada dalam fase dorman.5
Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit dalam makrofag karena
makrofag memiliki banyak kandungan lipid. Bakteri ini bersifat aerob dan lebih
menyukai jaringan yang kandungan oksigennya tinggi.5

2.2.3 Faktor resiko


Adapun beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya
tuberkulosis paru ini, antara lain:6
1) Infeksi HIV
Koinfeksi HIV adalah faktor risiko imunosupresif yang paling kuat untuk
mengembangkan penyakit TB aktif. Afrika Selatan memiliki prevalensi infeksi
HIV tertinggi dan memiliki insiden TB tertinggi sebelum era HIV/AIDS. Di
enam negara Afrika bagian selatan dengan prevalensi HIV dewasa lebih dari
20%, perkiraan tingkat pemberitahuan kasus TB adalah dari 461 hingga 719 per
100.000 per tahun; sebagai perbandingan, tingkat pemberitahuan di AS adalah 5
per 100.000 per tahun. Koinfeksi HIV sangat meningkatkan kemungkinan
reaktivasi infeksi laten TB dan meningkatkan perkembangan TB yang cepat
setelah infeksi primer atau reinfeksi dengan TB. Studi di negara-negara dengan
prevalensi HIV yang tinggi juga menunjukkan bahwa variasi spasial dan
temporal dalam kejadian TB sangat terkait dengan prevalensi infeksi HIV. Studi
individu yang dilakukan di negara-negara TB dengan beban tinggi dan rendah
telah mengaitkan peningkatan insiden TB dengan infeksi HIV.
2) Malnutrisi
Penelitian telah menunjukkan bahwa malnutrisi (kekurangan mikro dan
makro) meningkatkan risiko TB karena gangguan respon imun. Penyakit TB
sendiri dapat menyebabkan malnutrisi karena penurunan nafsu makan dan
perubahan proses metabolisme. Hubungan antara malnutrisi dan TB telah
ditunjukkan dengan uji coba vaksin BCG yang dilakukan di Amerika Serikat
selama akhir 1960-an yang memperkirakan bahwa anak-anak yang kekurangan
gizi dua kali lebih mungkin untuk tertular penyakit TB dibandingkan dengan
rekan-rekan mereka yang mendapat nutrisi yang tepat. Pemeriksaan Kesehatan
dan Gizi Nasional pertama (NHANES-1) dan Studi Tindak Lanjut Epidemiologi
NHANES-1 (NHEFS) yang dilakukan selama 1982-84 dari AS di antara orang
dewasa melaporkan peningkatan risiko TB dari enam hingga sepuluh kali lipat
pada individu yang kekurangan gizi.
3) Diabetes
Diabetes telah terbukti meningkatkan risiko penyakit TB aktif.
Diperkirakan saat ini 70% penderita diabetes tinggal di negara berpenghasilan
rendah dan menengah, dan angka ini terus meningkat di daerah endemik TB,
termasuk India dan Afrika sub-Sahara. Sebuah tinjauan sistematis yang
membandingkan 13 penelitian yang meneliti hubungan antara diabetes dan TB
menemukan bahwa pasien diabetes memiliki sekitar tiga kali lipat peningkatan
risiko mengembangkan TB bila dibandingkan dengan mereka yang tidak
diabetes. Studi juga menemukan hasil yang lebih buruk di antara pasien diabetes
dengan Alisjahbana et al. dalam studi prospektif mereka menunjukkan bahwa
pasien dengan TB dan DM memiliki tingkat kultur BTA-positif 22,2% pada
akhir pengobatan dibandingkan dengan hanya 6,9% dari mereka yang tidak
menderita diabetes. Tinjauan lain tentang hasil pengobatan di antara pasien
dengan DM dan TB menemukan bahwa risiko kematian adalah 1,89 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes, dengan risiko
meningkat menjadi lima kali lebih tinggi pada mereka dengan DM setelah
penyesuaian untuk potensi pembaur.
4) Pemakaian Alkohol >40 g/hari
Alkohol telah diakui sebagai faktor risiko yang kuat untuk penyakit TB,
dan meta-analisis baru-baru ini dari studi epidemiologi molekuler telah
menetapkan alkohol sebagai faktor risiko untuk pengelompokan (atau penularan
TB baru-baru ini) di kedua tinggi (OR = 2,6 , CI = 2.13–3.3) dan negara dengan
insiden rendah (OR = 1.4, CI = 1.1–1.9). Sebuah tinjauan sistematis dari 3 kohort
dan 18 studi kasus kontrol menyimpulkan bahwa risiko TB aktif meningkat
secara substansial (RR = 2,94, 95% CI = 1,89–4,59) di antara orang yang minum
lebih dari 40 g alkohol per hari dan/atau memiliki gangguan penggunaan alkohol.
Alasan peningkatan risiko termasuk perubahan dalam sistem kekebalan,
khususnya dalam mengubah molekul pensinyalan yang bertanggung jawab untuk
produksi sitokin.
5) Perokok aktif
Hubungan antara merokok dan TB telah dipelajari dalam beberapa
tinjauan sistematis. Bates dan rekan, dalam meta-analisis mereka dari 24 studi
tentang efek merokok pada TB, menunjukkan bahwa risiko relatif penyakit TB
tinggi di antara perokok dibandingkan dengan bukan perokok dan bahwa ada
bukti yang jelas bahwa penyebab merokok tetap menjadi faktor risiko infeksi dan
penyakit TB, dengan tambahan risiko kematian pada orang dengan TB aktif. Lin
dkk. melakukan tinjauan sistematis dan meta-analisis yang meneliti peran
merokok, polusi udara dalam ruangan pada TB dari 38 penelitian. Dalam analisis
mereka terhadap enam penelitian yang secara khusus memeriksa reaktivitas
tuberkulin di antara perokok, OR gabungan untuk infeksi TB laten (LTBI) adalah
2,08 dan 1,83 pada titik batas TST 5 dan 10 mm dan efek merokok pada LTBI
tetap ada bahkan setelah penyesuaian alkohol.
6) Polusi udara di dalam ruangan
Di negara berkembang, persentase penggunaan bahan bakar padat untuk
memasak lebih dari 80%. Kayu bakar atau asap biomassa sebelumnya telah
diakui sebagai faktor risiko independen untuk penyakit TB dalam studi kasus
kontrol yang dilakukan di India dan Brasil. Data terbatas tentang mekanisme
asap biomassa menyebabkan penyakit paru kronis namun; penelitian pada hewan
telah menunjukkan bahwa asap kayu akut mengganggu fungsi fagositosis
makrofag, kepatuhan permukaan, dan pembersihan bakteri. Juga pembakaran
biomassa terbukti melepaskan partikel besar (PM) seperti karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida, formaldehida, dan hidrokarbon poliaromatik yang dapat
mengendap jauh ke dalam alveoli dan dapat menyebabkan kerusakan yang cukup
besar.
Selain itu, ada juga faktor resiko tuberkulosis paru menurut Kementrian
Kesehatan RI, antara lain sebagai berikut.7

1. Gambaran karakteristik
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Status gizi
d. Imunisasi BCG
e. Status ekonomi
2. Faktor lingkungan
a. Kepadatan hunian
b. Ventilasi rumah
3. Perilaku
4. Faktor risiko pajanan
a. Riwayat kontak
b. Lama kontak
5. Penyakit penyerta

2.2.4 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh
dunia. Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 8,6 juta kasus (8,3-9,0
juta) diperkirakan terjadi pada tahun 2012, sekitar 2,9 di antaranya terjadi pada
wanita. Sebagian besar kasus diperkirakan berada di Asia dan Afrika (masing-masing
58% dan 27%), dengan insiden tertinggi di India (kisaran 2,0-2,4 juta) dan Cina (0,9
1,1 juta), bersama-sama menyumbang 38% dari jumlah total dari kasus.8
Tingkat kejadian TB global perlahan menurun dari 1997 hingga 2001, dengan
peningkatan pada 2001 (karena meningkatnya jumlah kasus di antara pasien
terinfeksi HIV di Afrika). Selanjutnya, tingkat pengurangan rata-rata 1,3% per tahun
telah diamati sejak 2002, mencapai 2,2% antara 2010 dan 2011.8
Kematian TB diperkirakan mencapai 1,3 juta kematian (1,0–1,6 juta) pada
tahun 2012, termasuk 320.000 (300.000 – 340.000) kasus terkait HIV. Penurunan
45% dalam angka kematian TB telah diamati secara global sejak 1990.8
Sedangkan, berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014,
prevalensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per
100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar
257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.9
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya
semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih
lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya.9
2.2.5 Mekanisme penularan
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Hospes definitif yang akan menjadi tempat infeksi
bakteri tersebut biasanya tidak mengetahui patogen masuk ke dalam tubuh dan pada
akhirnya tubuh manusia tidak siap untuk melawan. Jika pertahanan imun gagal, tubuh
hospes akan semakin berisiko untuk terkena penyakit yang parah. Beberapa faktor
yang memengaruhi daya tahan tubuh hospes, yaitu faktor adanya penyakit penyerta,
fisiologi, dan lingkungan.10
Cara penularan TB adalah sebagai berikut :11
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan
BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja
terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji < dari 5.000
kuman/ cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB
BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan
kultur negatif dan Foto thoraks positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik
renik dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk dan bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3.000 percikan dahak.

2.2.6 Klasifikasi
Berdasarkan American Thoracic Society klasifikasi TB berdasarkan aspek
kesehatan masyarakat, yaitu:5
1. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif,
tes tuberkulin negatif.
2. Kategori I : Terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Di sini riwayat
kontak positif, tes tuberkulin negatif.
3. Kategori II : Terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberkulin positif,
radiolgis, dan sputum negatif.
4. Kategori III : Terinfeksi tuberkulosis dan sakit.
Sedangkan klasifikasi yang banyak dipakai di Indonesia, berdasarkan kelainan
klinis, radiologis, dan mikrobiologis, yaitu:5
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberkulosis paru tersangka
a. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Sputum BTA negatif, tetapi tanda-
tanda lain positif
b. Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA negatif dan
tanda-tanda lain juga meragukan

2.2.7 Manifestasi klinis


Gejala umum yang paling sering terlihat pada pasien tuberkulosis paru adalah
demam dengan derajat rendah. Demam muncul di sore hari dan mungkin tidak
disertai dengan gejala yang jelas. Dengan penurunan suhu tubuh, biasanya saat tidur
pasien akan di malam hari. Keringat di malam hari merupakan gejala klasik penyakit
tuberkulosis paru.12
Gejala lainnya adalah toksemia, seperti malaise, lekas marah, kelemahan,
kelelahan yang tidak biasa, sakit kepala, dan penurunan berat badan. Limfadenopati
dapat terjadi ketika bakteri sudah menyebar pada sistem limfatik pasien. Dengan
berkembangnya nekrosis kaseasi dan pencairan kaseasi di paru secara bersamaan,
pasien biasanya akan merasakan beberapa gejala distres pernapasan seperti batuk
berdahak kronik (dalam waktu lama). Biasanya batuk disertai hemoptisis ringan.
Selain itu, pasien akan merasakan nyeri dada yang terlokalisir dan pleuritik. Sesak
napas juga dapat terjadi biasanya menunjukkan bahwa penyakit tersebut tersebar luas
dengan keterlibatan paru dan parenkim paru yang luas atau karena adanya obstruksi
trakeobronkial. Hal ini biasanya terjadi pada akhir perjalanan penyakit.12,13
Pada pemeriksaan fisik, pada penderita tuberkulosis paru dapat ditemukan
kelainan seperti napas yang pendek, takipnea, clubbing finger. Clubbing finger
disebabkan karena oksigenasi yang kurang pada tubuh pasien. Selain itu, pasien
biasanya mengalami wasting (hilangnya lemak tubuh dan jaringan) yang merupakan
akibat dari respon imun terhadap inflamasi.13

2.2.8 Diagnosis
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan
klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Keluhan dan
hasil anamnesis meliputi keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci
berdasar keluhan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang
meliputi:14
1. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu
atau lebih.
2. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien
TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
3. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang dengan
faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat
penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan
bahan kimia yang berrisiko menimbulkan paparan infeksi paru.

Selain itu, untuk menegakkan diagnosis, dibutuhkan pemeriksaan


laboratorium:

a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga
untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-
Pagi (SP):
a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur. Dapat
dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bilamana pasien
menjalani rawat inap.
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.
TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-
Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk
identifikasi Mycobacterium tuberkulosis. Pemeriksaan tersebut diatas
dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Dalam menjamin
hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji dahak yang berkualitas.
Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung terhadap pemeriksaan TCM,
biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem transportasi contoh uji. Hal ini
bertujuan untuk menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap
pemeriksaan tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian
langsung ke laboratorium.
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1. Pemeriksaan foto toraks
2. Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu.
c. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi
M.tb terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium
yang telah lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan
sertifikat nasional maupun internasional.
d. Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.

2.2.9 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
tuberkulosis paru adalah sebagai berikut:
1. Uji Tuberkulin
Pemeriksaan tuberkulin biasa dilakukan di puskesmas atau fasilitas
kesehatan lainnya. Tes Tuberkulin atau dikenal dengan tes Mantoux adalah 0,1
ml PPD (Purified Protein Derivative) yang mengandung 5 unit tuberkulin yang
diinjeksikan secara intradermal atau intrakutan, biasanya pada lengan bawah dan
dilakukan penilaian ukuran daerah indurasi setelah 48 – 72 jam.15
Hasil pengukuran indurasi pada uji tuberkulin dinyatakan dalam satuan
milimeter. Secara umum, indurasi >10 mm dinyatakan sebagai positif. Hasil
positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB secara alamiah. Apabila
diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan bahwa uji tuberkulin negatif. Diameter
5−9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan
teknis, keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M. atipik. Pada keadaan
tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais), maka cut-off point
hasil positif yang digunakan adalah ≥5 mm. Keadaan imunokompromais ini
dapat dijumpai pada pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili,
pertusis, varisela, dan pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang (≥2
minggu).15
2. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF (bila terdapat pada fasilitas kesehatan)
Xpert MTB/RIF adalah pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
(uji molekuler) menggunakan platform GeneXpert. Xpert MTB/RIF adalah tes
tunggal yang dapat mendeteksi M. tuberculosis dan resistensi rifampisin dalam
waktu dua jam setelah tes, dengan lama pemeriksaan yang minimal.16
3. Pemeriksaan Mikroskopik Basil Tahan Asam
Bakteri tahan asam yang juga dikenal sebagai basil tahan asam atau BTA
adalah sekelompok bakteri yang memiliki karakteristik tahan asam. Hal ini
berarti bahwa sekali bakteri diwarnai, warnanya tidak dapat dihilangkan
menggunakan asam yang digunakan dalam proses tersebut. Spesimen berasal
dari sputum yang diperoleh dengan beberapa cara misalnya batuk, induksi
sputum yang dilakukan dengan pemberian aerosolized warm hypertonic saline
(3-5 %) secara inhalasi, bronkoskopi, dan aspirasi gastrik. Sputum purulen dan
mukopurulen dianggap sebagai spesimen yang baik untuk pemeriksaan
mikroskopik ini. Sampel suboptimal termasuk spesimen mukoid, mukosaliva,
dan saliva. Penting untuk membedakan spesimen sputum saliva dari saliva dan
lendir, karena yang terakhir tidak mewakili status paru-paru dan dapat
memberikan hasil negatif palsu.17
Spesimen sputum harus dikumpulkan dalam wadah plastik 50 ml, tertutup
sekrup, transparan biasanya digunakan untuk mendorong penahanan yang aman.
Transparansi wadah memungkinkan inspeksi visual spesimen untuk menilai
konsistensi dan kualitasnya. Pelabelan sampel yang sesuai dengan nama pasien
dan tanggal pengambilan harus dipastikan. Sampel yang dikumpulkan harus
disimpan pada suhu 2 hingga 8°C sampai diangkut ke laboratorium. Menurut
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika, setidaknya 3 sampel
dahak berturut-turut, masing-masing dikumpulkan pada interval 8 hingga 24 jam,
dengan setidaknya satu sampel menjadi ekspektorat pagi hari, diperlukan untuk
diagnosis.17
Pemeriksaan mikrokopik BTA diindikasikan untuk kasus dugaan
tuberkulosis. Mikroskopik positif mengkonfirmasi adanya basil tahan asam.
Namun, harus hati-hati untuk tidak menafsirkan hasil positif sebagai M.
tuberculosis karena pewarnaan Ziehl-Neelsen hanya menunjukkan adanya
bakteri/struktur tahan asam. Hasil mikroskopik tahan asam dapat dilaporkan
menurut standar berikut:17
 Tidak ada basil tahan asam Ini diinterpretasikan sebagai apusan negatif.
Pasien dianggap berpotensi tidak menular.
 1-2 bidang BTA/300 (+/-) Ini ditafsirkan sebagai positif lemah, meragukan,
atau tidak meyakinkan. Pasien dianggap mungkin tidak menular.
 1-9 BTA/100 bidang (1+) Ini ditafsirkan sebagai cukup positif dan menular.
 1-9 BTA/10 bidang (2+) Ini juga ditafsirkan sebagai cukup positif dan
menular.
 1-9 BTA/1 bidang (3+) Ini ditafsirkan sebagai sangat positif. Pasien
dianggap sangat menular.
 >9 BTA/1 bidang (+4) Ini juga ditafsirkan sebagai sangat positif dan pasien
dianggap sangat menular.
4. Rontgen Thoraks
Pada pasien dengan sputum BTA positif, foto thorax berperan penting
dalam menilai luas lesi serta komplikasi yang terjadi. Pada akhir pengobatan TB,
foto thorax berperan dalam penilaian sekuele di paru serta di pleura.18
Ada beberapa gambaran radiologi thorax yang khas pada Tuberkulosis
paru. Pola kelainan tersebut yaitu kelainan di apek berupa infiltrat, ditemukan
kavitas atau ditemukannya nodul retikuler. Sensitivitas dan spesifisitas foto
thorax dalam mendiagnosis Tuberkulosis yaitu 86% dan 83% apabila ditemukan
ketiga pola kelainan diatas. Tuberkulosis paru minimal ditemukan 1 dari 3 pola
kelainan diatas. Gambaran klasik TB paru post primer yaitu kelainan di apek
disebabkan karena tekanan oksigen di apeks paru lebih tinggi sehingga bakteri
berkembang lebih baik.18
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis dan
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di paru yang
disebut kavitas. Kavitas terdapat pada 19-50% kasus. Kavitas Tuberkulosis
biasanya berdinding tebal dan irreguler. Jarang dijumpai air-fluid level dan bila
adaair-fluid level dapat menunjukkan abses anaerob atau superinfeksi.
Penyebaran endobronkial bisa menimbulkan gambaran foto thorax yang berupa
kelainan noduler yang berkelompok pada lokasi tertentu paru.Setelah imunitas
selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi
secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi.18
Efusi Tuberkulosis merupakan akibat dari reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap antigen-antigen Mycobacterium tuberculosis di dalam rongga pleura.
Foto thorax menunjukkan efusi unilateral pada 95% kasus. Pada 50% kasus efusi
Tuberkulosis disertai infiltrat parenkim.18

2.2.10 Komplikasi
Kebanyakan pasien tuberkulosis memiliki perjalanan penyakit yang relatif
jinak. Komplikasi lebih sering terlihat pada pasien yang disertai faktor risiko penyakit
lainnya. Beberapa komplikasi yang terkait dengan tuberkulosis adalah:19
1. Kerusakan paru-paru yang luas
2. Kerusakan ganglia simpatis serviks yang mengarah ke sindrom Horner.
3. Acute respiratory distress syndrome
4. Penyebaran milier (TB diseminata) termasuk meningitis TB.
5. Empiema
6. Pneumotoraks
7. Amiloidosis sistemik
Tuberkulosis paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tuberkulosis paru
dibedakan menjadi dua, yaitu:20
a. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
b. Komplikasi pada stadium lanjut:
Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut adalah:
1) Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok
hipovolemik,
2) Kolaps lobus akibat sumbatan duktus,
3) Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru,
4) Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah,
5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya.

2.2.11 Tatalaksana[7]
A. Pengobatan TBC Paru
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni:
1. Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4–5 macam obat anti TB
per hari dengan tujuan mendapatkan konversi sputum dengan cepat
(efek bakteri sidal), menghilangkan keluhan dan mencegah efek
penyakit lebih lanjut, mencegah timbulnya resistensi obat
2. Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2
macam obat per hari atau secara intermitten dengan tujuan
menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi), mencegah
kekambuhan pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni
kurang dari 33 kg, 33 – 50 kg dan lebih dari 50 kg.
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis
(hilangnya keluhan, nafsu makan meningkat, berat badan naik dan
lain-lain), berkurangnya kelainan radiologis paru dan konversi sputum
menjadi negatif. Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan
pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8
bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. BTA
dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan.
Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan
dalam evaluasi pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto dapat
dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk
perbandingan bila nantsi timbul kasus kambuh.
B. Perawatan bagi Penderita Tuberkulosis
Perawatan yang harus dilakukan pada penderita tuberkulosis adalah :
1. Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah
orang terdekat yaitu keluarga.
2. Mengetahui adanya gejala efek samping obat dan merujuk bila
diperlukan
3. Mencukupi kebutuhan gizi seimbang penderita
4. Istirahat teratur minimal 8 jam per hari
5. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan
kedua, kelima dan enam
6. Menciptakan lingkungan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan
yang baik
C. Pencegahan penularan TBC
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah, sebagai berikut:
1. Menutup mulut bila batuk
2. Membuang dahak tidak di sembarang tempat. Buang dahak pada
wadah tertutup yang diberi lisol
3. Makan makanan bergizi
4. Memisahkan alat makan dan minum bekas penderita
5. Memperhatikan lingkungan rumah, cahaya dan ventilasi yang baik
6. Untuk bayi diberikan imunisasi BCG

2.2.12 Edukasi[21]
1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai seluk beluk
penyakit dan pentingnya pengawasan dari salah seorang keluarga untuk
ketaatan konsumsi obat pasien.
2. Kontrol secara teratur.
3. Pola hidup sehat

2.2.13 Prognosis
Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai dengan
ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis menjadi kurang baik.21
Di negara-negara dengan tingkat TB yang rendah, kekambuhan biasanya
terjadi dalam waktu 12 bulan setelah pengobatan TB selesai. Di negara-negara
dengan tingkat TB yang lebih tinggi, sebagian besar kambuh setelah pengobatan yang
tepat, yang terjadi lebih banyak adalah kasus reinfeksi daripada kasus kekambuhan.
Prognosis yang buruk ditandai dengan adanya keterlibatan TB ekstrapulmoner, pada
orang tua, dan riwayat pengobatan sebelumnya yang buruk. Untuk kasus dengan
resistensi obat, pasien dengan resistensi hanya rifampisin saja mempunyai prognosis
yang lebih baik daripada kasus MDR-TB tetapi mempunyai risiko yang lebih tinggi
terjadi kegagalan pengobatan.22,23
Prognosis tuberkulosis bervariasi karena bisa menjadi penyakit multi-sistem
dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Karakteristik pasien seperti usia, status
kekebalan, penyakit penyerta, waktu memulai pengobatan, dan kepatuhan memiliki
dampak yang signifikan terhadap hasil. Secara umum, pengobatan berhasil pada
sekitar 85% kasus. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan tingkat kematian
mencapai 15 persen.24

2.3 Kanker Paru


2.3.1 Definisi
Kanker paru merupakan kanker yang onsetnya dimulai dari paru-paru dimana
terjadi pertumbuhan sel abnormal yang sangat cepat dan tidak terkendali.
Pertumbuhan sel yang tidak normal tersebut dipicu oleh kerusakan DNA diantaranya
adanya delesi pada bagian DNA, inaktivasi gen supresor tumor, aktivasi
protoonkogen menjadi onkogen, tidak terjadinya apoptosis dan aktivitas dari enzim
telomerase.25

2.3.2 Etiologi
Sekitar 90% kanker paru terjadi pada perokok aktif atau mereka yang baru
saja berhenti merokok. Terdapat korelasi yang hampir linear yang telah diketahui
antara frekuensi kanker paru dan jumlah kotak rokok yang diisap pertahun.
Peningkatan risiko mencapai 60 kali lebih besar pada perokok berat/pecandu
(habitual) (dua pak sehari selama 20 tahun) dibandingkan dengan yang bukan
perokok. Karena hanya 1% perokok berat yang menderita kanker paru, maka faktor
predisposisi lain pasti juga berperan pada patogenesis penyakit yang mematikan ini.
Meskipun merokok dan pengaruh lingkungan yang lain merupakan penyebab kanker
paru yang utama, telah diketahui pula bahwa tidak semua orang yang terpajan asap
tembakau akan mengalami kanker. Kemungkinan bahwa efek mutagenik karsinogen
juga ditentukan oleh faktor herediter (genetik).4

2.3.3 Faktor Resiko[26]


1. Rokok, cerutu, dan merokok pipa
Merokok tembakau adalah faktor risiko paling penting untuk kanker
paru-paru. Rokok, cerutu, dan merokok pipa semuanya meningkatkan
risiko kanker paru-paru. Merokok tembakau menyebabkan sekitar 9 dari 10
kasus kanker paru-paru pada pria dan sekitar 8 dari 10 kasus kanker paru-
paru pada wanita. Penelitian telah menunjukkan bahwa merokok rokok
rendah tar atau rendah nikotin tidak menurunkan risiko kanker paru-paru.
Studi juga menunjukkan bahwa risiko kanker paru-paru dari
merokok meningkat dengan jumlah rokok yang dihisap per hari dan jumlah
tahun merokok. Orang yang merokok memiliki sekitar 20 kali risiko kanker
paru-paru dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok.
2. Asap rokok
Terpapar asap tembakau bekas juga merupakan faktor risiko kanker
paru-paru. Asap rokok adalah asap yang berasal dari pembakaran rokok
atau produk tembakau lainnya, atau yang dihembuskan oleh perokok.
Orang yang menghirup asap rokok terkena agen penyebab kanker yang
sama dengan perokok, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil.
Menghirup asap rokok disebut perokok pasif atau tidak disengaja.
3. Sejarah keluarga
Memiliki riwayat keluarga kanker paru-paru merupakan faktor
risiko kanker paru-paru. Orang dengan kerabat yang menderita kanker
paru-paru mungkin dua kali lebih mungkin menderita kanker paru-paru
dibandingkan orang yang tidak memiliki saudara yang menderita kanker
paru-paru. Karena kebiasaan merokok dalam keluarga dan anggota
keluarga terpapar asap rokok, sulit untuk mengetahui apakah peningkatan
risiko kanker paru-paru berasal dari riwayat keluarga kanker paru-paru atau
dari paparan asap rokok.
4. Infeksi HIV
Terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV), penyebab
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), dikaitkan dengan risiko
kanker paru-paru yang lebih tinggi. Orang yang terinfeksi HIV mungkin
memiliki lebih dari dua kali risiko kanker paru-paru dibandingkan mereka
yang tidak terinfeksi. Karena tingkat merokok lebih tinggi pada mereka
yang terinfeksi HIV daripada mereka yang tidak terinfeksi, tidak jelas
apakah peningkatan risiko kanker paru-paru berasal dari infeksi HIV atau
dari paparan asap rokok.
5. Faktor risiko lingkungan
1) Paparan radiasi: Terkena radiasi merupakan faktor risiko kanker paru-
paru. Radiasi bom atom, terapi radiasi, tes pencitraan, dan radon
adalah sumber paparan radiasi:
2) Radiasi bom atom: Terkena radiasi setelah ledakan bom atom
meningkatkan risiko kanker paru-paru.
3) Terapi radiasi: Terapi radiasi ke dada dapat digunakan untuk
mengobati kanker tertentu, termasuk kanker payudara dan limfoma
Hodgkin. Terapi radiasi menggunakan sinar-x, sinar gamma, atau jenis
radiasi lain yang dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru.
Semakin tinggi dosis radiasi yang diterima, semakin tinggi risikonya.
Risiko kanker paru-paru setelah terapi radiasi lebih tinggi pada pasien
yang merokok dibandingkan bukan perokok.
4) Tes pencitraan: Tes pencitraan, seperti CT scan, memaparkan pasien
pada radiasi. CT scan spiral dosis rendah memaparkan pasien pada
radiasi yang lebih sedikit daripada CT scan dosis tinggi. Dalam
skrining kanker paru-paru, penggunaan CT scan spiral dosis rendah
dapat mengurangi efek berbahaya dari radiasi.
5) Radon: Radon adalah gas radioaktif yang berasal dari pemecahan
uranium di bebatuan dan tanah. Itu merembes melalui tanah, dan bocor
ke udara atau pasokan air. Radon dapat memasuki rumah melalui
retakan di lantai, dinding, atau fondasi, dan kadar radon dapat
menumpuk seiring waktu.
Studi menunjukkan bahwa tingkat gas radon yang tinggi di
dalam rumah atau tempat kerja meningkatkan jumlah kasus baru
kanker paru-paru dan jumlah kematian yang disebabkan oleh kanker
paru-paru. Risiko kanker paru-paru lebih tinggi pada perokok yang
terpapar radon daripada bukan perokok yang terpapar radon. Pada
orang yang tidak pernah merokok, sekitar 26% kematian yang
disebabkan oleh kanker paru-paru telah dikaitkan dengan paparan
radon.
6) Paparan di tempat kerja: Studi menunjukkan bahwa terpapar zat
berikut meningkatkan risiko kanker paru-paru.
 Asbes
 Arsenik
 Kromium
 Nikel
 Berilium
 Kadmium
 Tar dan jelaga.
Zat ini dapat menyebabkan kanker paru-paru pada orang yang
terpapar di tempat kerja dan tidak pernah merokok. Ketika tingkat
paparan zat-zat ini meningkat, risiko kanker paru-paru juga meningkat.
Risiko kanker paru-paru bahkan lebih tinggi pada orang yang terpapar
dan juga merokok.
7) Polusi udara
Studi menunjukkan bahwa tinggal di daerah dengan tingkat
polusi udara yang lebih tinggi meningkatkan risiko kanker paru-paru.
8) Suplemen beta karoten pada perokok berat
Mengkonsumsi suplemen beta karoten (pil) meningkatkan
risiko kanker paru-paru, terutama pada perokok yang merokok satu
bungkus atau lebih sehari. Risikonya lebih tinggi pada perokok yang
minum setidaknya satu minuman beralkohol setiap hari.
2.3.4 Patofisiologi
Penyebab pasti kanker paru belum diketahui, namun paparan atau inhalasi
berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab
utama, disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik,dan lain-lain.
Dari beberapa kepustakaan, telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru sangat
berhubungan dengan kebiasaan merokok. Lombard dan Doering (1928) melaporkan
tingginya insiden kanker paru pada perokok dibandingkan dengan yang tidak
merokok. Terdapat hubungan antara rata-rata jumlah rokok yang dihisap per hari
dengan tingginya insiden kanker paru. Dikatakan bahwa 1 dari 9 perokok berat akan
menderita kanker paru. Laporan beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok
pasif pun berisiko terkena kanker paru. Diperkirakan 25% kanker paru dari pasien
bukan perokok berasal dari perokok pasif. Terdapat perubahan/mutasi beberapa gen
yang berperanan dalam kanker paru, yakni proto oncogen, tumor supressor gene, dan
gene encoding enzyme.27
Patofisiologi kanker paru-paru sangat kompleks dan tidak sepenuhnya
dipahami. Dihipotesiskan bahwa paparan berulang terhadap karsinogen, khususnya
asap rokok, menyebabkan displasia epitel paru. Jika paparan berlanjut, itu
menyebabkan mutasi genetik dan mempengaruhi sintesis protein. Ini, pada gilirannya,
mengganggu siklus sel dan meningkatkan karsinogenesis. Mutasi genetik yang paling
umum bertanggung jawab untuk perkembangan kanker paru-paru adalah MYC,
BCL2, dan p53 untuk kanker paru-paru sel kecil (SCLC) dan EGFR, KRAS, dan p16
untuk kanker paru-paru non-sel kecil (NSCLC).28
Kanker paru primer terbagi menjadi dua jenis, yaitu kanker paru bukan sel
kecil dan kanker paru sel kecil. Kanker paru bukan sel kecil terdiri dari
adenokarsinoma, karsinoma sel skuamosa dan karsinoma sel besar. Masing-masing
dari kanker ini memiliki patofisiologi yang berbeda.29,30,31

a. Kanker Paru Bukan Sel Kecil


Paparan agen yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya kanker paru. Di Amerika, perokok aktif
berkaitan dengan 90% kasus kanker paru. Paparan agen yang berasal dari
lingkungan maupun pekerjaan berkaitan dengan 9-15% kasus kanker paru.29,31,32
Asap rokok mengandung lebih dari 300 jenis zat yang berbahaya dan 40
diantaranya merupakan karsinogen poten. Hidrokarbon poliaromatik dan
nitrosamine ketone yang berasal dari nikotin diketahui dapat menyebabkan
kerusakan DNA dan membentuk DNA adducts pada hewan coba. Benzo-A-pyrine
juga menginduksi pensinyalan molekular seperti Akt dan mutasi dari p53 dan
tumor suppressor gene lainnya.29,31
Faktor risiko lingkungan yang paling sering menyebabkan kanker paru
adalah asbestos. Berdasarkan studi, paparan radon berkaitan dengan 10% kanker
paru dan polusi udara luar berkaitan dengan 1-2% kasus. Penyakit paru seperti
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), fibrosis paru dan tuberkulosis berkaitan
dengan peningkatan angka kejadian kanker paru.29,31
b. Kanker Paru Sel Kecil [29,30,33]
Kanker paru sel kecil merupakan karsinoma neuroendokrin yang bersifat
agresif, tumbuh cepat, sangat sensitif pada kemoterapi dan radiasi, sering
bermetastasis pada fase dini dan sering menyebabkan gejala paraneoplastik.
Kanker paru sel kecil berasal dari peribronkial dan menginfiltrasi
submukosa bronkus. Metastasis luas dapat terjadi pada onset awal dari penyakit
ini, dengan penyebaran tersering pada limfonodi mediastinum, hati, tulang,
kelenjar adrenal dan otak. Berbagai hormon peptida diproduksi oleh sel kanker dan
menyebabkan sindrom paraneoplastik, yang paling sering adalah syndrome of
inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH) dan syndrome of
ectopic adrenocorticotropic hormone production. Fenomena autoimun juga dapat
menyebabkan gangguan neurologik seperti lambert eaton syndrome.

2.3.5 Manifestasi Klinis


Kanker paru memberikan manifestasi klinis berdasarkan tempat kejadian.
Untuk tumor yang tumbuh setempat (lokal/ primer) manifestasi dapat berupa
hemoptisis, kehilangan berat badan yang nyata, penurunan nafsu makan, sesak nafas,
nyeri pada dada dan punggung, kelelahan/kelemahan badan dan batuk. Kanker paru
dengan penyebaran intratorakal memberikan gejala seperti penurunan suara nafas dan
sesak nafas, penurunan suara jantung disertai pembesaran jantung, kesulitan menelan,
peninggian diafragma, pembengkakan wajah, edema ekstremitas, suara serak, batuk
yang jarang, nyeri dada pleura, ptosis, miosis, facial anhidrosis, serta nyeri pun-gung
dan otot sepanjang servikal 8 - torakal 3. Kanker yang sudah bermetastase jauh
biasanya ditandai dengan kelemahan, penurunan berat badan, anoreksia,
hepatomegali, nyeri, fraktur pada tulang, peningkatan alkalin fosfatase,
limfadenopati, nyeri kepala, kejang, mual, muntah, perubahan status mental,
insufisiensi adrenal, dan nodul subkutan.34,35
Gejala awal kanker paru tidak khas. Oleh karena itu, sebagian besar pasien
dengan kanker paru dating ke rumah sakit setelah stadium lanjut. Gejala pada kanker
paru dapat disebabkan oleh lesi primer, pertumbuhan local tumor, invasi atau
obstruksi struktur sekitar, gejala sistemik, endokrin, metastasis, atau sindrom
paraneoplastic. Gejala dan tanda metastasis pada kanker paru diantaranya:36
1. Anamnesis: penurunan berat badan tidak terncana >5 kg, nyeri tulang fokal, nyeri
kepala, kelemahan ekstermitas, dan perubahan kesadaran.
2. Pemeriksaan fisik: limfadenopati >1 cm, disfonia, sindrom vena kava superior,
nyeri tekan tulang, hepatomegaly, deficit neurologis, papiladema, dan massa
jaringan lunak.
3. Laboratorium: hematokrit rendah (<40% laki-laki, <35% perempuan), peningkatan
fostase alkalin, peningkatan enzim hati dan kalsium.

2.4 Mekanisme Terjadinya Keluhan Terkait Penyakit yang Diderita Pasien


2.4.1 Batuk Berdarah[37]
Dua sistem vaskular arteri memasok darah ke paru-paru: arteri pulmonalis dan
arteri bronkial. Arteri pulmonalis menyediakan 99% darah arteri ke paru-paru dan
terlibat dalam pertukaran gas. Arteri bronkial memasok makanan ke saluran udara
ekstra dan intrapulmonal dan arteri pulmonalis (vasa vasorum), tanpa terlibat dalam
pertukaran gas. Kelenjar getah bening dan saraf mediastinum, pleura visceral,
esofagus, vasa vasorum aorta, dan vena pulmonalis juga disediakan oleh arteri
bronkial.
Terdapat anastomosis kapiler kompleks antara arteri pulmonalis dan arteri
bronkial sistemik. Ketika sirkulasi paru terganggu (misalnya, pada penyakit
tromboemboli, gangguan vaskulitis, atau pada vasokonstriksi hipoksia), suplai
bronkus meningkat secara bertahap menyebabkan hiperaliran dalam pembuluh
anastomosis, yang menjadi hipertrofik dengan dinding tipis dan cenderung pecah ke
dalam alveoli dan bronkus, menimbulkan hemoptisis. Demikian juga, pada gangguan
inflamasi kronis, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, tuberkulosis, penyakit paru
mikotik, dan abses paru, serta pada penyakit neoplastik, pelepasan faktor
pertumbuhan angiogenik mendorong neovaskularisasi dan remodeling pembuluh
paru, dengan keterlibatan pembuluh darah sistemik kolateral. Pembuluh darah baru
dan kolateral ini rapuh dan rentan pecah ke saluran udara.
Dalam kasus hemoptisis berat yang memerlukan pengobatan, sumber
perdarahan berasal dari arteri bronkial dan pulmonal pada 90% dan 5% kasus,
masing-masing. Pada 5% kasus yang tersisa, hemoptisis dapat berasal dari arteri
sistemik nonbronkial. Sangat jarang, hemoptisis telah dilaporkan berasal dari vena
paru dan bronkial dan kapiler. Sebuah studi baru-baru ini oleh Noë et el menunjukkan
bahwa perdarahan dari arteri bronkial dapat terjadi bersamaan dengan perdarahan dari
arteri nonbronkial dan pulmonal pada pasien yang sama.

2.4.2 Menggigil
Keluhan menggigil pada pasien memiliki hubungan dengan demam yang
dialaminya. Demam dilaporkan terjadi pada 60-85% pasien yang menderita TB paru.
Demam merupakan akibat kenaikan set point karena adanya infeksi. Demam pada
infeksi terjadi akibat mikroorganisme merangsang makrofag atau PMN membentuk
PE (faktor pirogenendogenik) seperti IL-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor), dan
IFN (interferon). Zat ini bekerja pada hipotalamus dengan bantuan enzim
cyclooxygenase pembentuk prostaglandin. Prostaglandin-lah yang meningkatkan set
point hipotalamus. Hal ini mengakibatkan produksi panas pada tubuh. 38,39 Jaras
efferent menggigil berasal dari hipotalamus posterior yang berlanjut menjadi middle
fore brain bundle. Peningkatan tonus otot yang terjadi selama proses menggigil
berasal dari perubahan neuronal yang terjadi di daerah formasi reticular mesensefalik,
dorso lateral pons dan medula. Sinkronisasi gerakan motorik yang terjadi selama
menggigil disebabkan karena proses inhibisi yang hilang timbul pada sel Renshaw.40
Pusat motorik untuk menggigil terletak berdekatan dengan daerah sentral pada
hipotalamus posterior diantara impuls-impuls dan reseptor dingin datang. Hal ini
secara normal dihambat oleh impuls-impuls dari daerah preoptik yang sensitif
terhadap panas di daerah hipotalamus anterior, tetapi ketika impuls melebihi ambang
batas maka pusat motor untuk menggigil ini menjadi teraktivasi sehingga mengirim
impuls secara bilateral ke dalam motor neuron anterior spinal cord (tulang belakang).
Pada awalnya hal ini meningkatkan tonus otot ke seluruh tubuh, tetapi ketika tonus
otot meningkat di atas level tertentu maka terjadilah.40
Pusat motorik primer untuk menggigil terletak di bagian dorsomedial
hipotalamus posterior dekat dinding ventrikel ketiga. Area ini biasanya dihambat oleh
sinyal dari pusat panas di area preoptik-hipotalamus anterior tetapi dirangsang oleh
sinyal dingin dari kulit dan sumsum tulang belakang. Oleh karena itu, seperti yang
ditunjukkan oleh peningkatan tiba-tiba dalam “produksi panas”, pusat ini menjadi
aktif ketika suhu tubuh turun bahkan sepersekian derajat di bawah tingkat suhu kritis.
Kemudian mentransmisikan sinyal yang menyebabkan menggigil melalui saluran
bilateral ke batang otak, ke dalam kolom lateral sumsum tulang belakang, dan
akhirnya ke neuron motorik anterior. Sinyal-sinyal ini tidak berirama dan tidak
menyebabkan guncangan otot yang sebenarnya. Sebaliknya, mereka meningkatkan
tonus otot rangka di seluruh tubuh dengan memfasilitasi aktivitas neuron motorik
anterior. Ketika sinyal ini meningkat di atas titik treshold tertentu maka akan terjadi
menggigil. Menggigil ini merupakan hasil dari osilasi umpan balik dari mekanisme
refleks regangan gelendong otot.41

2.4.3 Keringat pada malam hari


Infeksi Mtb umumnya menyebabkan induksi sejumlah besar sitokin. Sitokin
efektor, di antaranya IFN-γ, TNF-α, IL-12, IL-17, IL-23 dan granulocyte-macrophage
colony s imulating factor (GM-CSF) memiliki peran penting dalam respons imun
mukosa terhadap Mtb.42,43 IFN-γ merupakan sitokin utama yang terlibat dalam
respons imun terhadap Mtb, dan fungsi utamanya adalah mengaktivasi makrofag
untuk memerankan fungsi anti-mikrobialnya.43
IFN-γ dan jalur sinyal TLR menginduksi aktivasi autofagi di dalam sel
makrofag, yang kemudian produksi ubiquitin untuk berkonjugasi dengan lisosom dan
terjadilah phagolysosome fusion yang berfungsi sebagai anti mikroba.44
TNF-α adalah mediator yang penting bagi respons imun yang disekresi oleh
makrofag teraktifasi dan sel epitel paru, yang mampu memicu reaksi fase akut pada
respons terhadap infeksi Mtb. Sitokin ini bersinergi dengan IFN-γ, menstimulasi
produksi RNI, lalu memediasi fungsi makrofag terhadap Mtb, dan juga memicu
migrasi sel imun ke situs infeksi dan berperan pada pembentukan granuloma yang
mengontrol progresivitas penyakit.43,44
TNF-α mampu berperan banyak dalam respons imun host, tetapi beberapa
bukti menunjukkan bahwa sitokin ini berhubungan dengan respons imunopatogenesis
tuberkulosis, bahkan sebagai sitokin utama yang dapat menyebabkan destruksi
jaringan paru. Dengan meningkatkan produksi TNF-α, Mtb dapat memiliki
kemampuan untuk menembus epitel alveolar setelah infeksi. Seperti IFN-γ, TNF-α
merupakan komponen yang penting untuk aktivasi makrofag, serta induksi apoptosis
dan nekrosis makrofag yang terinfeksi. Meskipun berperan penting dalam imunitas
host terhadap infeksi Mtb, kelebihan produksi TNF-α pada TB paru dapat
menyebabkan demam, kelemahan, keringat malam, nekrosis, dan penurunan berat
badan secara progresif.42

2.5 Studi Kasus


2.5.1 Mengapa Pasien Mengalami Penurunan Berat Badan dan Nafsu Makan?
Nafsu makan pada kebanyakan penyakit paru, penderita akan merasakan
kemunduran yang terasa, pada karsinoma paru, kemunduran akan lebih parah dan
lebih progresif (dalam beberapa minggu saja sudah terasa kemunduran yang berat.
Pada tuberkulosis, kemunduran nafsu makan tidak berlangsung secara drastis dan
dirasakan sejak beberapa bulan sampai beberapa tahun. Keluhan menurunnya nafsu
makan pada umumnya akan terefleksi pada keluhan semakin turunnya berat badan
seperti yang ada pada kasus.45
Penyakit tuberkulosis bersifat radang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan
turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini
makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara teratur.5
Pada penyakit paru akut (pneumonia, pneumotoraks jenis ventil, statu
asmathicus, dll) nafsu makan juga akan mundur sekali sejak mulai menderita
penyakit tersebut. Sebaliknya, ada beberapa penyakit paru kronis yang sama sekali
tidak berpengaruh terhadap nafsu makan , misalnya bronkitis kronis (terutama bila
tahap dini) dan bronkiektasis tanpa komplikasi.45

2.5.2 Pengaruh Penyakit yang Diderita Pasien terhadap Anak Usia 2 Tahun
dan Istri yang Sedang Hamil 3 Bulan[46,47]
Orang dengan TB paru aktif menghasilkan droplet nuclei yang mengandung
M. tuberculosis melalui batuk, bernyanyi, berteriak, bersin, atau aktivitas ekspirasi
kuat lainnya. Dalam sebuah studi tentang kontak rumah tangga di Peru, kasus indeks
BTA-positif dikaitkan dengan risiko infeksi yang lebih tinggi pada kontak rumah
tangga antar anggota keluarga. Kontak dekat dari kasus tuberkulosis menular rentan
untuk terinfeksi dan jika terinfeksi akan berkembang menjadi tuberkulosis, terutama
dalam tahun pertama setelah terpapar. Kontak yang berusia <5 tahun atau terinfeksi
HIV memiliki risiko terbesar terkena tuberkulosis. Berdasarkan paparan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa Tn. Pulmo sangat beresiko untuk menularkan penyakit
yang diderita ke anggota keluarganya, terutama ke anaknya yang berusia 2 tahun,
yang lebih beresiko mengidap tuberkulosis dibandingkan dengan anak usia >5 tahun.
Terkait dengan istrinya yang sedang hamil, terdapat banyak penelitian
mengenai tuberculosis dan kehamilan. Ibu hamil juga memiliki resiko terinfeksi TB.
Bayi yang lahir dari ibu dengan penyakit TB yang tidak diobati kemungkinan
memiliki berat lahir lebih rendah daripada bayi yang lahir dari ibu tanpa TB. Namun,
untuk kasus transmisi TB dari ibu ke janin secara prenatal terbilang jarang, resiko
penularan postnatal lebih beresiko. Namun, tetap terdapat resiko bayi mengidap
tuberkulosis kongenital. Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi yang jarang
terjadi pada infeksi tuberkulosis in utero. Tuberkulosis kongenital merupakan akibat
dari penyebaran hematogen melalui vena umbilikalis ke hati janin atau dengan
menelan dan aspirasi cairan ketuban yang terinfeksi. Jadi pada kasus Tn. Pulmo,
beliau juga harus mencegah transmisi tuberculosis ke istrinya, karena tetap terdapat
resiko istri dan bayi tertular.

2.6 Penyakit-Penyakit yang Disertai Keluhan Batuk Berdarah


Etiologi hemoptisis:48,49
a. Infeksi: tuberkulosis, staphylococcus, klebsiella, legionella, jamur, virus.
b. Kelainan paru seperti bronkitis, bronkiektasis, emboli paru, kistik fibrosis,
emfisema bulosa.
c. Neoplasma: kanker paru, adenoma bronchial, tumor metastasis.
d. Kelainan hematologi: disfungsi trombosit, trombositopenia, disseminated
intravascular coagulation (DIC).
e. Kelainan jantung: mitral stenosis, endokarditis tricuspid.
f. Kelainan pembuluh dara: hipertensi pulmoner, malformasi arterivena,
aneurisma aorta.
g. Trauma: jejas toraks, rupture bronkus, emboli lemak.
h. Iatrogenik: akibat tindakan bronkoskopi, biopsi paru, kateterisasi swan-
ganz, limfangiografi.
i. Kelainan sistemik: sindrom goodpasture, idiopathic pulmonary
hemosiderosis, systemic lupus erytematosus, vaskulitis (granulomatosis
wagener, purpura henoch schoenlein, sindrom chrug-strauss).
j. Obat / toksin: aspirin, antikoagulan, penisilamin, kokain.
k. Lain-lain: endometriosis, bronkiolitiasis, fistula bronkopleura, benda
asing, hemoptisis kriptogenik, amyloidosis.

2.7 Pemeriksaan Fisik pada Paru[50]


a. Inspeksi
Pada pemeriksaan inspeksi sistem respirasi dilakukan secara
menyeluruh dan sistematis. Prosedur pemeriksaan inspeksi toraks
dilakukan dalam dua keadaan, yaitu inspeksi yang dilakukan dalam
keadaan statis dan dalam keadaan dinamis. Inspeksi diawali dengan
pengamatan pada keadaan statis, terhadap keadaan umum pasien, kepala
(adanya edema di muka), mata (konjungtiva, kelopak mata), leher (
Jugular Venous Presure, deviasi trakea) tangan (clubbing finger, kuku),
kaki (edema tungkai) dan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan toraks
seperti kelainan bentuk dinding toraks, dll.
1) Inspeksi toraks dalam keadaan statis
Pada pemeriksaan inspeksi dalam keadaan statis yang dinilai
antara lain; bagai mana memproyeksikan batas lobus paru ke dinding
dada, garis garis imajiner dan penenda anatomis pada dinding dada,
bentuk dada apakah ada kelaian atau tidak serta ada tidaknya kelaian
struktur tulang dinding dada.
2) Bentuk dada
Besar rongga toraks bervariasi berdasarkan umur, pada orang
dewasa diameter anterior – posterior lebih kecil dari diameter
transversal, sedangkan pada anak diameter antero posterior dengan
diameter tranversal hampir sama.
3) Inspeksi toraks dalam keadaan dinamis
Pergerakan pernapasan pengembangan rongga toraks terjadi
akibat aktivitas otot pernapasan dan secara pasif kemudian terjadi
ekspirasi, frekwensi pernapasan normal orang dewasa 14-18/mnt, dan
pada bayi baru lahir normal 44x/menit dan secara gradual berkurang
dengan bertambahnya umur.
b. Palpasi
Pada pemeriksaan palpasi sistem respirasi dapat dilakukan
pemeriksaan palpasi trakea, palpasi KGB leher dan supra clavikula, palpasi
keseluruhan dinding dada, pemeriksaan pengembangan dinding thoraks dan
pemeriksaan Tactil fremitus dinding toraks: Selain itu dengan palpasi dapat
juga menentukan kelainan di perifer seperti kondisi kulit; (basah atau
kering), adanya demam, arah aliran vena dikulit pada vena yang
terbendung (venaectasi), tumor dll.
1) Pengembangan dinding toraks
Pemeriksaan pengembangan dinding toraks dengan cara
pemeriksa menempelkan tangan pada dinding toraks bagian bawah
dengan kedua ibu jari bertemu pada garis tengah tubuh ( mid sternalis /
vertebralis) dan jari yang lain mengarah sisi kiri dan kanan dinding
toraks, pasien disuruh inspirasi dalam sambil memperhatikan
pergerakan dari kedua ibu jari pemeriksa apakah pergerakan simetris
atau ada yang tertinggal).
2) Pemeriksaan fremitus
Pemeriksa menempelkan telapak tangan dan jari jari tangan
pada dinding dada. kemudianpasien disuruh mengucapkan kata kata
seperti 77, dengan nada yang sedang. Bandingkan getaran yang timbul
antara hemithorax kiri dan kanan secara simetris dengan cara
menyilangkan tangan pemeriksa secara bergantian.
c. Perkusi
Perkusi adalah jenis pemeriksaan fisik yang berdasarkan interpretasi
dari suara yang dihasilkan oleh ketokan pada dinding toraks. Metoda ini
tetap penting walaupun pemeriksaan radiologi toraks sudah makin
berkembang, oleh karena dengan pemeriksaan fisik yang baik bisa
memprediksi kelainan yang ada dalam rongga toraks sebelum pemeriksaan
radiologi dilakukan.
Pada pemeriksaan perkusi penderita bisa dalam posisi tidur dan
bisa dalam posisi duduk. Pemeriksa menggunakan jari tengah tangan kiri
yang menempel pada permukaan dinding toraks, tegak lurus dengan iga
atau sejajar dengan iga disebut sebagai flexi meter. Sementera jari tengah
tangan kanan digunakan sebagai pemukul (pengetok) disebut flexor.
Perkusi pada diding toraks depan dapat dilakukan pada posisi tidur
telentang, jika pasien duduk kedua tangan pada paha dengan flexi pada
sendi siku. Perkusi dimulai dari lapangan atas paru menuju ke lapangan
bawah sambil membandingkan bunyi perkusi antara hemi toraks kanan dan
hemi toraks kiri. Pemeriksaan perkusi dinding toraks belakang dilakukan
pada posisi pasien duduk membelakangi pemeriksa, jika pasien tidur oleh
karena, tidak dapat duduk maka untuk perkusi daerah punggung, posisi
pasien dimiringkan kekiri dan kekanan bergantian.
d. Auskultasi
Auskultasi paru dilaksanakan secara indirect yaitu dengan memakai
stetoskop. Sebelum ditemukan stetoskop auskultasi dilakukan secara direct
dengan menempelkan telinga pemeriksa pada permukaan tubuh orang
sakit. Ada dua tipe dari stetoskop yaitu Bell type untuk mendengar nada-
nada yang lebih rendah dan Bowel atau membran type untuk nada-nada
yang lebih tinggi. Umumnya setiap stetoskop dilengkapi dengan kedua tipe
ini. Posisi penderita sebaiknya duduk seperti melakukan perkusi. Kalau
pasien tidak bisa duduk, auskultasi dapat dilaksanakan dalam posisi tidur.
Pasien sebaiknya disuruh bernapas dengan mulut tidak melalui hidung.

2.8 Interpretasi Hasil Pemeriksaan!


A. Pemeriksaan Fisik
1) Indeks Massa Tubuh
Pasien diketahui memiliki berat badan 50 kg, tinggi badan 165 kg,
dengan indeks massa tubuh 18,37 kg/m. Berdasarkan kriteria Asia Pasifik
dan WHO, pasien sudah termasuk dalam kelompok underweight.51

Tabel 1. Klasifikasi obesitas menurut pedoman WHO dan Asia-Pasifik[51]


2) Tanda-tanda Vital

Hasil Pemeriksaan
Parameter Range Normal Interpetasi
Pasien
Tekanan Darah 120/80 mmHg < 120 sistole dan Prehipertensi[52]
<80 diastole[52]
Nadi (heart rate) 100x/menit 60-100x/menit[52] Normal[52]
Pernapasan
22x/menit 12-20x/menit[52] Takipnea[52]
(respiratory rate)
Suhu Tubuh 37,8°C 36,5°C–37,2°C[53] Subfebris[53]

Tabel 2. Interpretasi hasil pemeriksaan TTV pasien


3) Pembesaran Kelenjar Limfe
Limfadenopati merupakan salah satu manifesasi klinis pada pasien
tuberkulosis. Biasanya limfadenopati terjadi pada pasien yang
imunocompromise. Limfadenopati dapat terjadi ketika bakteri sudah
menyebar pada sistem limfatik pasien.54,55
4) Pemeriksaan Fisik Paru

Parameter Hasil Pemeriksaan Pasien Interpretasi


Inspeksi[56]
Dinding dada Simetris Normal
Skar (-) Normal
Retraksi (-) Normal
Palpasi[56]
Vokal fremitus Simetris Normal
Nyeri Tekan (-) Normal
Perkusi[56]
Lapang Paru Sonor Normal
Auskultasi
Bunyi vesikuler (+/+) Normal[56]
Suara paru Suara paru kanan melemah Adanya infiltrat[57]
Mukus pada apeks
Ronchi (+/+)
paru[57]
Tabel 3. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik paru pasien

B. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium

Hasil
Range
Parameter Pemeriksaan Interpretasi
Normal[58]
Pasien
Eritrosit 4,7 juta 4,4 - 5,6 x 106 Normal -
sel/mm3
Hb 12 g/dL 13 - 18 g/dL Turun Anemia defisiensi
besi yang terjadi
pada pasien TB[9]
Ht 38% 40% - 50 % Turun Anemia defisiensi
besi yang terjadi
pada pasien TB[59]
MCV 80,4 80-100 Normal -
MCH 25,5 26-34 Turun Anemia [60]
MCHC 31,7 32-36 Turun Anemia [60]
Trombosit 419 150-440 Normal -
Sputum ++- - Ditemukan 1- Positif BTA[61]
10 BTA
dalam 1
lapang
pandang
LED 96 mm/jam <15mm/1 jam Meningkat Infeksi
akut/kronik[58]
Leukosit 11.860 3200 – Meningkat Infeksi
10.000/mm3 akut/kronik[58]
Neutrofil 77% 36-73% Meningkat Infeksi akut[58]
Limfosit 10% 15-45% Normal -
Monosit 10% 0-11% Normal -
Eosinofil 1,6% 0-6% Normal -
Basofil 0,2% 0-2% Normal -
Tabel 4. Interpretasi pemeriksaan laboratorium darah
2) Foto Thorax AP
Pada hasil pemeriksaan foto thoraks pasien, ditemukan adanya
infiltrat fibroektasis (+) di kedua lapang paru dengan dominasi pada area
paru kanan atas. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai
adalah bagian apeks (puncak) paru. Oleh karena itu, gambaran radiologi
thoraks yang khas pada Tuberkulosis paru, biasanya berupa kelainan di
apeks berupa infiltrat, ditemukan kavitas, atau ditemukannya nodul
retikuler. Sensitivitas dan spesifisitas foto thorax dalam mendiagnosis
Tuberkulosis yaitu 86% dan 83% apabila ditemukan ketiga pola kelainan
diatas. Tuberkulosis paru minimal ditemukan 1 dari 3 pola kelainan
diatas.62
Selain itu, pada foto thoraks pasien ditemukan juga adanya
penumpulan dari sudut kostofrenikus. Penumpulan sudut kostofrenikus
adalah tanda klasik efusi pleura. Efusi pleura merupakan tanda dari
adanya tuberkulosis paru. Ukuran efusi pleura dapat bervariasi dari efusi
kecil hingga masif yang melenyapkan sudut kostofrenikus.63,64
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Hipotesis diterima. Tn. Pulmo mengalami tuberkulosis paru.


DAFTAR PUSTAKA

1. Jabbar R, Saeed M, Rasheed F, Iram S, Imran AA, Saeed S, Ahmad M. Pathogens


Causing Pneumonia Among Cancer Patients. Annals of PIMS. 2016;18(15):191-5.

2. Sylvia AP. Lorainne MW. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.


Jakarta: EGC; 2011.

3. A, Sylvia., M, Lorraine. Patofisiologi Edisi 6 Vo 2 Konsep Klinis Proses- Proses


Penyakit. Jakarta : EGC. 2015.

4. Kumar V, Abbas, Aster. Buku Ajar Patologi Robbins. 9th ed. Elsevier Saunders;
2015.

5. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 6.
Jakarta: InternaPublishing; 2014.

6. Narasimhan P, Wood J, Macintyre CR, Mathai D. Risk factors for


tuberculosis. Pulm Med. 2013;2013:828939. doi:10.1155/2013/828939

7. Depkes RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. JAKARTA:


Kementrian Kesehatan RI.

8. Sulis, G., Roggi, A., Matteelli, A., & Raviglione, M. C. (2014). Tuberculosis:
epidemiology and control. Mediterranean journal of hematology and infectious
diseases, 6(1), e2014070. https://doi.org/10.4084/MJHID.2014.070

9. Kemenkes RI. (2018). Tuberkulosis (TB). Tuberkulosis, 1(april), 2018.


www.kemenkes.go.id

10. Tortora GJ, Funke BR, Case CL. Microbiology : an introduction. 10th ed.
USA : Pearson Benjamin Cummings ; 2010.
11. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Indonesia Bebas
Tuberkulosis. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Kementerian Kesehatan RI 2014

12. Lyon SM, Rossman MD. Pulmonary Tuberculosis. In: Schlossberg D.


Tuberculosis and Nontuberculous Mycobacterial Infections. Washington DC:
American Society for Microbiology. pp. 283–298.

13. Leshinsky SS. Pulmonary Tuberculosis; Improving Diagnosis and


Management. Journal of American Academy of Physician Assistants.
2016;29(2):20-5.

14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016


Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

15. Nuriyanto AR. Manifestasi Klinis, Penunjang Diagnosis dan Tatalaksana


Tuberkulosis Paru pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika.
2018;1(2):62-70.

16. Shapiro AE, Ross JM, Schiller I, Dendukuri N, Steingart KR, Horne DJ.
Xpert MTB/RIF and Xpert Ultra assays for pulmonary tuberculosis and
rifampicin resistance in adults irrespective of signs or symptoms of pulmonary
tuberculosis. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2020;7:1-18.

17. Bayot ML, Mirza TM, Sharma S. Acid Fast Bacteria. In: StatPearls. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2021.

18. Madjawati A. Uji Diagnostik Gambaran Lesi Foto Thorax pada Penderita
dengan Klinis Tuberkulosis Paru. Mutiara Medika. 2010;10(2):180-8.

19. Adigun R, Singh R. Tuberculosis. [Updated 2020 Oct 27]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/
20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan 2005. Jakarta.
2006.

21. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Praktik Klinis


Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta; 2014.

22. Herchline, TE. Tuberculosis Treatment & Management: Approach


Considerations, Treatment During Pregnancy, Treatment in Children. 25 Oktober
2016 [dikutip 26 Juni 2017]; Tersedia pada:
http://emedicine.medscape.com/article/230802-treatment.

23. Centers for Disease Control and Prevention. Treatment of Tuberculosis.


American Thoracic Society, CDC, and Infectious Diseases Society of America.
MMWR 2003;52(No. RR-11): p.12

24. Alzayer Z, Al Nasser Y. Primary Lung Tuberculosis. In: StatPearls. Treasure


Island (FL): StatPearls Publishing; 2021

25. De Groot, et al.. The Epidemiology of Lung Cancer. Translational Lung


Cancer Research, 7(3). 2018. 220-233.

26. PDQ Screening and Prevention Editorial Board. Lung Cancer Prevention
(PDQ®): Patient Version. 2020 Mar 27. In: PDQ Cancer Information Summaries
[Internet]. Bethesda (MD): National Cancer Institute (US); 2002-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK66063/

27. Lung Cancer. In: Brown KK, Lee-Chiong T, Chapman S, Robinson G, et al.
Oxford American Handbook of Pulmonary Medicine. Oxford:Oxford University
Press; 2009. p.161-86

28. Siddiqui F, Siddiqui AH. Lung Cancer. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing. 20 November 2020
29. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Kanker Paru. 2017.

30. TanWW. Small Cell Lung Cancer. In: KarimNA, editors. Medscape
[Internet]. May 2018. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/280104-overview 

31. TanWW. Non-Small Cell Lung Cancer. In: KarimNA, editors. Medscape
[Internet]. July 2018. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/279960-overview 

32. NCCN. Non-Small Cell Lung Cancer. 2018.

33. NCCN. Small Cell Lung Cancer. 2018

34. Zulkifli A. Kanker Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III (6th ed).
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2014.

35. Kelly M, Latimer, Timothy F. Lung Cancer: Diagnosis, Treatment, Principles,


and Screening. Florida. 2015: 251-55

36. Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4.
Jakarta: Media Aesculapius. 2014; jilid 2; 975-981.

37. Larici AR, Franchi P, Occhipinti M, et al. Diagnosis and management of


hemoptysis. Diagn Interv Radiol. 2014;20(4):299-309.
doi:10.5152/dir.2014.13426

38. Ismoedijanto. Demam pada Anak. Sari Pediatri. 2000;2(2):103-8.

39. Rosha D. Prolonged Fever During the Treatment Of Pulmonary Tuberculosis.


Med J Armed Forces India. 2002;58(2):127-129.

40. Ganong, W. F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta:
EGC
41. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11 th Ed. Philadelphia:
Elsevier Inc; 2016.

42. Li W, Deng G, Li M, Liu X, Wang Y. Roles of Mucosal Immunity against


Mycobacterium tuberculosis Infection. Tuberculosis research and treatment ;
2012.

43. Cavalcanti YV, Brelaz MC, Neves JK, Ferraz JC, Pereira VR. Role of TNF-
Alpha, IFN-Gamma, and IL-10 in the Development of Pulmonary Tuberculosis.
Pulmonary medicine ; 2012

44. Dheda K, Schwander SK, Zhu B, van Zyl-Smit RN, Zhang Y. The
immunology of tuberculosis: from bench to bedside. Respirology ;
2010;15(3):433–50.

45. Danusantoso, Halim. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Edisi 2. Jakarta: EGC ;
2012.

46. Churchyard, G., Kim, P., Shah, N. S., Rustomjee, R., Gandhi, N., Mathema,
B., Dowdy, D., Kasmar, A., & Cardenas, V. (2017). What We Know about
Tuberculosis Transmission: An Overview. Journal of Infectious Diseases,
216(Suppl 6), S629–S635. https://doi.org/10.1093/infdis/jix362

47. Disease, T. B., Infection, T. B., & Women, P. (2021). Tuberculosis ( TB )


Pregnancy. https://www.cdc.gov/tb/topic/populations/pregnancy/default.htm

48. Rasmin M. Editorial: Hemoptisis. J Respir Indo. 2009;29(2):53-4.

49. Kreit JW. Hemoptysis. Dalam: Albert RK, Spiro SG, Jett JR editor
(penyunting). Clinical Respiratory Medicine. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2008. hlm. 311-36.
50. Medison I, Sabri YS, Yanni FF. Penuntun Skills Lab Blok 2.6 Gangguan
Respirasi Pemeriksaan Paru Lengkap. Padang : Fakultas Kedokteran Univesitas
Andalas ; 2016.

51. Lim JU, Lee JH, Kim JS, et al. Comparison of World Health Organization and
Asia-Pacific body mass index classifications in COPD patients. Int J Chron
Obstruct Pulmon Dis. 2017;12:2465-2475.

52. Melyana, Sarotama A. Implementasi Peringatan Abnormalitas Tanda-Tanda


Vital pada Telemedicine Workstation. Jurnal UMJ. 2019;2:1-9.

53. Zein U. Demam. Medan: USU Press; 2012.

54. Thakkar K, Ghaisas SM, Singh M. Lymphadenopathy: Differentiation


between Tuberculosis and Other Non-Tuberculosis Causes like Follicular
Lymphoma. Front Public Health. 2016;4:31.

55. Leshinsky SS. Pulmonary Tuberculosis; Improving Diagnosis and


Management. Journal of American Academy of Physician Assistants.
2016;29(2):20-5.

56. Reyes FM, Modi P, Le JK. Lung Exam. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2021

57. Darlina D. Manajemen Pasien Tuberkulosis Paru. Jurnal PSIK-FK Unsyiah.


2011;2(1):27-31.

58. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Interpretasi Data Klinik; 2011.

59. Gil-Santana L, Cruz LAB, Arriaga MB, et al. Tuberculosis-associated anemia


is linked to a distinct inflammatory profile that persists after initiation of
antitubercular therapy. Sci Rep. 2019;9(1):1381.
60. Sadewo. Gambaran Status Anemia Pada Pasien Tuberkulosis Paru di Unit
Pengobatan Penyakit Paru-paru Provinsi kalimantan Barat Tahun 2010-2012.
Jurnal Cerebellum. 2016;2(3):590-599.

61. Lestari EP. Teknik Sentrifugasi Untuk Meningkatkan Penemuan Batang


Tahan Asam Dari Sputum Suspek Tuberkulosis. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Airlangga. 2008. Skripsi.

62. Madjawati A. Uji Diagnostik Gambaran Lesi Foto Thorax pada Penderita
dengan Klinis Tuberkulosis Paru. Mutiara Medika. 2010;10(2):180-8.

63. Blanchette MA, Grenier JM. Subtle radiographic presentation of a pleural


effusion secondary to a cancer of unknown primary: a case study. J Can Chiropr
Assoc. 2014;58(3):273-279.

64. Reuter H. Pleural Effusion and Empyema in Adult Tuberculosis. In: Schaaf
HS. Tuberculosis. NY: Elsevier; 2009.

Anda mungkin juga menyukai