PEMICU 4
MODUL RESPIRASI
Disusun Oleh:
Kelompok 4
1.1 Pemicu
Tn. Pulmo, 30 tahun datang dengan keluhan batuk. Dialami sejak satu bulan
terakhir sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya batuk kering kemudian batuk
kadang-kadang ada lendir, warna kuning. Riwayat batuk darah dua kali, pada 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, warna merah segar, tidak bercampur makanan. Tn.
Pulmo juga demam, ada riwayat menggigil dan berkeringat malam serta nafsu makan
menurun 1 bulan terakhir, berat badan menurun lebih kurang 5 kg. Tidak ada riwayat
pengobatan sebelumnya. Pasien sangat khawatir penyakitnya ini menular kepada
anaknya yang masih berumur 2 tahun dan mengganggu kesehatan istrinya yang
sedang hamil 3 bulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
BB = 50 kg, TB = 165 cm, IMT = 18,37 kg/m, Tanda vital : Tekanan Darah : 120/80
mmHg
Nadi : 100 x/menit, regular; Pernapasan : 22 x/menit ; Suhu : 37,8 C
Pembesaran kelenjar limfe leher; Paru Inspeksi: Simetris, skar (-), retraksi (-);
Palpasi: Vokal fremitus simetris, nyeri tekan (-); Perkusi: Sonor pada semua lapang
paru; Auskultasi: Vesikuler (+/+) dan suara paru kanan melemah, ronchi (+/+).
1.6 Hipotesis
Tn. Pulmo mengalami tuberkulosis paru.
PEMBAHASAN
2.1 Sputum
2.1.1 Klasifikasi
Sputum adalah lendir yang dibatukkan dari saluran udara bagian bawah.
Proses ini dikenal sebagai ekspektorasi. Ekspektorasi sputum bukan hal yang normal,
di mana selalu ada penyebab patologis yang mendasarinya. Warna sputum pun
bervariasi. Sputum kuning-hijau menunjukkan adanya infeksi bakteri, sedangkan
warna jingga sampai coklat menunjukkan adanya darah dalam lendir, dan sputum
berdarah dari paru-paru menunjukkan bahwa adanya penyakit serius.1
Klasifikasi sputum dan kemungkinan penyebabnya:2
1. Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan
kemungkinan berasal dari sinus atau saluran hidung bukan berasal dari
saluran napas bagian bawah.
2. Sputum banyak sekali dan purulen kemungkinan proses supuratif.
3. Sputum yang terbentuk perlahan dan terus meningkat kemungkinan tanda
bronkitis /bronkiektasis.
4. Sputum kekuning-kuningan kemungkinanproses infeksi
5. Sputum hijau kemungkinan proses penimbunan nanah, warna hijau ini
dikarenakan adanya verdoperoksidase, sputum hijau ini sering ditemukan
pada penderita bronkhiektasis karena penimbunan sputum dalam bronkus
yang melebar dan terinfeksi.
6. Sputum merah muda dan berbusa kemungkinan tanda edema paru akut.
7. Sputum berlendir, lekat, abu-abu/putih kemungkinan tanda bronchitis
kronik.
8. Sputum berbau busuk kemungkinan tanda abses paru/bronkhiektasis.
9. Berdarah atau hemoptisis sering ditemukan pada Tuberculosis.
10. Berwarna-biasanya disebabkan oleh pneumokokus bakteri (dalam
pneumonia).
11. Bernanah, warna dapat memberikan petunjuk untuk pengobatan yang
efektif pada pasien bronkitis kronis.
12. Warna (mukopurulen) berwarna kuning-kehijauan menunjukkan bahwa
pengobatan dengan antibiotik dapat mengurangi gejala.
13. Warna hijau disebabkan oleh Neutrofil myeloperoxidasen. Berlendir putih
susu atau buram sering berarti bahwa antibiotictidak akan efektif dalam
mengobati gejala. Informasi ini dapat berhubungan dengan adanya infeksi
bakteri atau virus meskipun penelitian saat ini tidak mendukung
generalisasi itu.
14. Berbusa putih-mungkin berasal dari obstruksi atau bahkan edema.
2.2.2 Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini
memiliki morfologi berbentuk basil atau batang dengan ukuran panjang 1-4/ μm dan
tebal 0,3-0,6/ μm. Dinding sel bakteri ini biasanya banyak mengandung lipid (asam
lemak), peptidoglikan dan arabinomannan. Bakteri ini merupakanan bakteri tahan
asam dimana karena stuktur dinding selnya ini lah yang menyebabkan dia tahan
terhadap larutan asam dan alkohol. Unsur penyusun dinding selnya ini lah yang
membuat bakteri ini juga lebih tahan terhadap rangsang kimia dan fisik.
Mycobacterium tuberculosis dapat hidup pada udara yang kering dan dingin akan
tetapi tidak tahan terhadap panas. Bakteri ini dapat bertahan hidup dalam lemari es
dalam waktu yang lama karena berada dalam fase dorman.5
Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit dalam makrofag karena
makrofag memiliki banyak kandungan lipid. Bakteri ini bersifat aerob dan lebih
menyukai jaringan yang kandungan oksigennya tinggi.5
1. Gambaran karakteristik
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Status gizi
d. Imunisasi BCG
e. Status ekonomi
2. Faktor lingkungan
a. Kepadatan hunian
b. Ventilasi rumah
3. Perilaku
4. Faktor risiko pajanan
a. Riwayat kontak
b. Lama kontak
5. Penyakit penyerta
2.2.4 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh
dunia. Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 8,6 juta kasus (8,3-9,0
juta) diperkirakan terjadi pada tahun 2012, sekitar 2,9 di antaranya terjadi pada
wanita. Sebagian besar kasus diperkirakan berada di Asia dan Afrika (masing-masing
58% dan 27%), dengan insiden tertinggi di India (kisaran 2,0-2,4 juta) dan Cina (0,9
1,1 juta), bersama-sama menyumbang 38% dari jumlah total dari kasus.8
Tingkat kejadian TB global perlahan menurun dari 1997 hingga 2001, dengan
peningkatan pada 2001 (karena meningkatnya jumlah kasus di antara pasien
terinfeksi HIV di Afrika). Selanjutnya, tingkat pengurangan rata-rata 1,3% per tahun
telah diamati sejak 2002, mencapai 2,2% antara 2010 dan 2011.8
Kematian TB diperkirakan mencapai 1,3 juta kematian (1,0–1,6 juta) pada
tahun 2012, termasuk 320.000 (300.000 – 340.000) kasus terkait HIV. Penurunan
45% dalam angka kematian TB telah diamati secara global sejak 1990.8
Sedangkan, berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014,
prevalensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per
100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar
257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.9
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya
semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih
lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya.9
2.2.5 Mekanisme penularan
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Hospes definitif yang akan menjadi tempat infeksi
bakteri tersebut biasanya tidak mengetahui patogen masuk ke dalam tubuh dan pada
akhirnya tubuh manusia tidak siap untuk melawan. Jika pertahanan imun gagal, tubuh
hospes akan semakin berisiko untuk terkena penyakit yang parah. Beberapa faktor
yang memengaruhi daya tahan tubuh hospes, yaitu faktor adanya penyakit penyerta,
fisiologi, dan lingkungan.10
Cara penularan TB adalah sebagai berikut :11
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan
BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja
terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji < dari 5.000
kuman/ cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB
BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan
kultur negatif dan Foto thoraks positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik
renik dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk dan bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3.000 percikan dahak.
2.2.6 Klasifikasi
Berdasarkan American Thoracic Society klasifikasi TB berdasarkan aspek
kesehatan masyarakat, yaitu:5
1. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif,
tes tuberkulin negatif.
2. Kategori I : Terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Di sini riwayat
kontak positif, tes tuberkulin negatif.
3. Kategori II : Terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberkulin positif,
radiolgis, dan sputum negatif.
4. Kategori III : Terinfeksi tuberkulosis dan sakit.
Sedangkan klasifikasi yang banyak dipakai di Indonesia, berdasarkan kelainan
klinis, radiologis, dan mikrobiologis, yaitu:5
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberkulosis paru tersangka
a. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Sputum BTA negatif, tetapi tanda-
tanda lain positif
b. Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA negatif dan
tanda-tanda lain juga meragukan
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan
klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Keluhan dan
hasil anamnesis meliputi keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci
berdasar keluhan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang
meliputi:14
1. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu
atau lebih.
2. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien
TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
3. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang dengan
faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat
penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan
bahan kimia yang berrisiko menimbulkan paparan infeksi paru.
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga
untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-
Pagi (SP):
a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur. Dapat
dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bilamana pasien
menjalani rawat inap.
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.
TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-
Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk
identifikasi Mycobacterium tuberkulosis. Pemeriksaan tersebut diatas
dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Dalam menjamin
hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji dahak yang berkualitas.
Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung terhadap pemeriksaan TCM,
biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem transportasi contoh uji. Hal ini
bertujuan untuk menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap
pemeriksaan tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian
langsung ke laboratorium.
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1. Pemeriksaan foto toraks
2. Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu.
c. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi
M.tb terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium
yang telah lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan
sertifikat nasional maupun internasional.
d. Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.
2.2.10 Komplikasi
Kebanyakan pasien tuberkulosis memiliki perjalanan penyakit yang relatif
jinak. Komplikasi lebih sering terlihat pada pasien yang disertai faktor risiko penyakit
lainnya. Beberapa komplikasi yang terkait dengan tuberkulosis adalah:19
1. Kerusakan paru-paru yang luas
2. Kerusakan ganglia simpatis serviks yang mengarah ke sindrom Horner.
3. Acute respiratory distress syndrome
4. Penyebaran milier (TB diseminata) termasuk meningitis TB.
5. Empiema
6. Pneumotoraks
7. Amiloidosis sistemik
Tuberkulosis paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tuberkulosis paru
dibedakan menjadi dua, yaitu:20
a. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
b. Komplikasi pada stadium lanjut:
Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut adalah:
1) Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok
hipovolemik,
2) Kolaps lobus akibat sumbatan duktus,
3) Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru,
4) Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah,
5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya.
2.2.11 Tatalaksana[7]
A. Pengobatan TBC Paru
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni:
1. Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4–5 macam obat anti TB
per hari dengan tujuan mendapatkan konversi sputum dengan cepat
(efek bakteri sidal), menghilangkan keluhan dan mencegah efek
penyakit lebih lanjut, mencegah timbulnya resistensi obat
2. Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2
macam obat per hari atau secara intermitten dengan tujuan
menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi), mencegah
kekambuhan pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni
kurang dari 33 kg, 33 – 50 kg dan lebih dari 50 kg.
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis
(hilangnya keluhan, nafsu makan meningkat, berat badan naik dan
lain-lain), berkurangnya kelainan radiologis paru dan konversi sputum
menjadi negatif. Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan
pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8
bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. BTA
dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan.
Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan
dalam evaluasi pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto dapat
dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk
perbandingan bila nantsi timbul kasus kambuh.
B. Perawatan bagi Penderita Tuberkulosis
Perawatan yang harus dilakukan pada penderita tuberkulosis adalah :
1. Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah
orang terdekat yaitu keluarga.
2. Mengetahui adanya gejala efek samping obat dan merujuk bila
diperlukan
3. Mencukupi kebutuhan gizi seimbang penderita
4. Istirahat teratur minimal 8 jam per hari
5. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan
kedua, kelima dan enam
6. Menciptakan lingkungan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan
yang baik
C. Pencegahan penularan TBC
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah, sebagai berikut:
1. Menutup mulut bila batuk
2. Membuang dahak tidak di sembarang tempat. Buang dahak pada
wadah tertutup yang diberi lisol
3. Makan makanan bergizi
4. Memisahkan alat makan dan minum bekas penderita
5. Memperhatikan lingkungan rumah, cahaya dan ventilasi yang baik
6. Untuk bayi diberikan imunisasi BCG
2.2.12 Edukasi[21]
1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai seluk beluk
penyakit dan pentingnya pengawasan dari salah seorang keluarga untuk
ketaatan konsumsi obat pasien.
2. Kontrol secara teratur.
3. Pola hidup sehat
2.2.13 Prognosis
Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai dengan
ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis menjadi kurang baik.21
Di negara-negara dengan tingkat TB yang rendah, kekambuhan biasanya
terjadi dalam waktu 12 bulan setelah pengobatan TB selesai. Di negara-negara
dengan tingkat TB yang lebih tinggi, sebagian besar kambuh setelah pengobatan yang
tepat, yang terjadi lebih banyak adalah kasus reinfeksi daripada kasus kekambuhan.
Prognosis yang buruk ditandai dengan adanya keterlibatan TB ekstrapulmoner, pada
orang tua, dan riwayat pengobatan sebelumnya yang buruk. Untuk kasus dengan
resistensi obat, pasien dengan resistensi hanya rifampisin saja mempunyai prognosis
yang lebih baik daripada kasus MDR-TB tetapi mempunyai risiko yang lebih tinggi
terjadi kegagalan pengobatan.22,23
Prognosis tuberkulosis bervariasi karena bisa menjadi penyakit multi-sistem
dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Karakteristik pasien seperti usia, status
kekebalan, penyakit penyerta, waktu memulai pengobatan, dan kepatuhan memiliki
dampak yang signifikan terhadap hasil. Secara umum, pengobatan berhasil pada
sekitar 85% kasus. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan tingkat kematian
mencapai 15 persen.24
2.3.2 Etiologi
Sekitar 90% kanker paru terjadi pada perokok aktif atau mereka yang baru
saja berhenti merokok. Terdapat korelasi yang hampir linear yang telah diketahui
antara frekuensi kanker paru dan jumlah kotak rokok yang diisap pertahun.
Peningkatan risiko mencapai 60 kali lebih besar pada perokok berat/pecandu
(habitual) (dua pak sehari selama 20 tahun) dibandingkan dengan yang bukan
perokok. Karena hanya 1% perokok berat yang menderita kanker paru, maka faktor
predisposisi lain pasti juga berperan pada patogenesis penyakit yang mematikan ini.
Meskipun merokok dan pengaruh lingkungan yang lain merupakan penyebab kanker
paru yang utama, telah diketahui pula bahwa tidak semua orang yang terpajan asap
tembakau akan mengalami kanker. Kemungkinan bahwa efek mutagenik karsinogen
juga ditentukan oleh faktor herediter (genetik).4
2.4.2 Menggigil
Keluhan menggigil pada pasien memiliki hubungan dengan demam yang
dialaminya. Demam dilaporkan terjadi pada 60-85% pasien yang menderita TB paru.
Demam merupakan akibat kenaikan set point karena adanya infeksi. Demam pada
infeksi terjadi akibat mikroorganisme merangsang makrofag atau PMN membentuk
PE (faktor pirogenendogenik) seperti IL-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor), dan
IFN (interferon). Zat ini bekerja pada hipotalamus dengan bantuan enzim
cyclooxygenase pembentuk prostaglandin. Prostaglandin-lah yang meningkatkan set
point hipotalamus. Hal ini mengakibatkan produksi panas pada tubuh. 38,39 Jaras
efferent menggigil berasal dari hipotalamus posterior yang berlanjut menjadi middle
fore brain bundle. Peningkatan tonus otot yang terjadi selama proses menggigil
berasal dari perubahan neuronal yang terjadi di daerah formasi reticular mesensefalik,
dorso lateral pons dan medula. Sinkronisasi gerakan motorik yang terjadi selama
menggigil disebabkan karena proses inhibisi yang hilang timbul pada sel Renshaw.40
Pusat motorik untuk menggigil terletak berdekatan dengan daerah sentral pada
hipotalamus posterior diantara impuls-impuls dan reseptor dingin datang. Hal ini
secara normal dihambat oleh impuls-impuls dari daerah preoptik yang sensitif
terhadap panas di daerah hipotalamus anterior, tetapi ketika impuls melebihi ambang
batas maka pusat motor untuk menggigil ini menjadi teraktivasi sehingga mengirim
impuls secara bilateral ke dalam motor neuron anterior spinal cord (tulang belakang).
Pada awalnya hal ini meningkatkan tonus otot ke seluruh tubuh, tetapi ketika tonus
otot meningkat di atas level tertentu maka terjadilah.40
Pusat motorik primer untuk menggigil terletak di bagian dorsomedial
hipotalamus posterior dekat dinding ventrikel ketiga. Area ini biasanya dihambat oleh
sinyal dari pusat panas di area preoptik-hipotalamus anterior tetapi dirangsang oleh
sinyal dingin dari kulit dan sumsum tulang belakang. Oleh karena itu, seperti yang
ditunjukkan oleh peningkatan tiba-tiba dalam “produksi panas”, pusat ini menjadi
aktif ketika suhu tubuh turun bahkan sepersekian derajat di bawah tingkat suhu kritis.
Kemudian mentransmisikan sinyal yang menyebabkan menggigil melalui saluran
bilateral ke batang otak, ke dalam kolom lateral sumsum tulang belakang, dan
akhirnya ke neuron motorik anterior. Sinyal-sinyal ini tidak berirama dan tidak
menyebabkan guncangan otot yang sebenarnya. Sebaliknya, mereka meningkatkan
tonus otot rangka di seluruh tubuh dengan memfasilitasi aktivitas neuron motorik
anterior. Ketika sinyal ini meningkat di atas titik treshold tertentu maka akan terjadi
menggigil. Menggigil ini merupakan hasil dari osilasi umpan balik dari mekanisme
refleks regangan gelendong otot.41
2.5.2 Pengaruh Penyakit yang Diderita Pasien terhadap Anak Usia 2 Tahun
dan Istri yang Sedang Hamil 3 Bulan[46,47]
Orang dengan TB paru aktif menghasilkan droplet nuclei yang mengandung
M. tuberculosis melalui batuk, bernyanyi, berteriak, bersin, atau aktivitas ekspirasi
kuat lainnya. Dalam sebuah studi tentang kontak rumah tangga di Peru, kasus indeks
BTA-positif dikaitkan dengan risiko infeksi yang lebih tinggi pada kontak rumah
tangga antar anggota keluarga. Kontak dekat dari kasus tuberkulosis menular rentan
untuk terinfeksi dan jika terinfeksi akan berkembang menjadi tuberkulosis, terutama
dalam tahun pertama setelah terpapar. Kontak yang berusia <5 tahun atau terinfeksi
HIV memiliki risiko terbesar terkena tuberkulosis. Berdasarkan paparan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa Tn. Pulmo sangat beresiko untuk menularkan penyakit
yang diderita ke anggota keluarganya, terutama ke anaknya yang berusia 2 tahun,
yang lebih beresiko mengidap tuberkulosis dibandingkan dengan anak usia >5 tahun.
Terkait dengan istrinya yang sedang hamil, terdapat banyak penelitian
mengenai tuberculosis dan kehamilan. Ibu hamil juga memiliki resiko terinfeksi TB.
Bayi yang lahir dari ibu dengan penyakit TB yang tidak diobati kemungkinan
memiliki berat lahir lebih rendah daripada bayi yang lahir dari ibu tanpa TB. Namun,
untuk kasus transmisi TB dari ibu ke janin secara prenatal terbilang jarang, resiko
penularan postnatal lebih beresiko. Namun, tetap terdapat resiko bayi mengidap
tuberkulosis kongenital. Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi yang jarang
terjadi pada infeksi tuberkulosis in utero. Tuberkulosis kongenital merupakan akibat
dari penyebaran hematogen melalui vena umbilikalis ke hati janin atau dengan
menelan dan aspirasi cairan ketuban yang terinfeksi. Jadi pada kasus Tn. Pulmo,
beliau juga harus mencegah transmisi tuberculosis ke istrinya, karena tetap terdapat
resiko istri dan bayi tertular.
Hasil Pemeriksaan
Parameter Range Normal Interpetasi
Pasien
Tekanan Darah 120/80 mmHg < 120 sistole dan Prehipertensi[52]
<80 diastole[52]
Nadi (heart rate) 100x/menit 60-100x/menit[52] Normal[52]
Pernapasan
22x/menit 12-20x/menit[52] Takipnea[52]
(respiratory rate)
Suhu Tubuh 37,8°C 36,5°C–37,2°C[53] Subfebris[53]
B. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Hasil
Range
Parameter Pemeriksaan Interpretasi
Normal[58]
Pasien
Eritrosit 4,7 juta 4,4 - 5,6 x 106 Normal -
sel/mm3
Hb 12 g/dL 13 - 18 g/dL Turun Anemia defisiensi
besi yang terjadi
pada pasien TB[9]
Ht 38% 40% - 50 % Turun Anemia defisiensi
besi yang terjadi
pada pasien TB[59]
MCV 80,4 80-100 Normal -
MCH 25,5 26-34 Turun Anemia [60]
MCHC 31,7 32-36 Turun Anemia [60]
Trombosit 419 150-440 Normal -
Sputum ++- - Ditemukan 1- Positif BTA[61]
10 BTA
dalam 1
lapang
pandang
LED 96 mm/jam <15mm/1 jam Meningkat Infeksi
akut/kronik[58]
Leukosit 11.860 3200 – Meningkat Infeksi
10.000/mm3 akut/kronik[58]
Neutrofil 77% 36-73% Meningkat Infeksi akut[58]
Limfosit 10% 15-45% Normal -
Monosit 10% 0-11% Normal -
Eosinofil 1,6% 0-6% Normal -
Basofil 0,2% 0-2% Normal -
Tabel 4. Interpretasi pemeriksaan laboratorium darah
2) Foto Thorax AP
Pada hasil pemeriksaan foto thoraks pasien, ditemukan adanya
infiltrat fibroektasis (+) di kedua lapang paru dengan dominasi pada area
paru kanan atas. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai
adalah bagian apeks (puncak) paru. Oleh karena itu, gambaran radiologi
thoraks yang khas pada Tuberkulosis paru, biasanya berupa kelainan di
apeks berupa infiltrat, ditemukan kavitas, atau ditemukannya nodul
retikuler. Sensitivitas dan spesifisitas foto thorax dalam mendiagnosis
Tuberkulosis yaitu 86% dan 83% apabila ditemukan ketiga pola kelainan
diatas. Tuberkulosis paru minimal ditemukan 1 dari 3 pola kelainan
diatas.62
Selain itu, pada foto thoraks pasien ditemukan juga adanya
penumpulan dari sudut kostofrenikus. Penumpulan sudut kostofrenikus
adalah tanda klasik efusi pleura. Efusi pleura merupakan tanda dari
adanya tuberkulosis paru. Ukuran efusi pleura dapat bervariasi dari efusi
kecil hingga masif yang melenyapkan sudut kostofrenikus.63,64
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
4. Kumar V, Abbas, Aster. Buku Ajar Patologi Robbins. 9th ed. Elsevier Saunders;
2015.
5. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 6.
Jakarta: InternaPublishing; 2014.
8. Sulis, G., Roggi, A., Matteelli, A., & Raviglione, M. C. (2014). Tuberculosis:
epidemiology and control. Mediterranean journal of hematology and infectious
diseases, 6(1), e2014070. https://doi.org/10.4084/MJHID.2014.070
10. Tortora GJ, Funke BR, Case CL. Microbiology : an introduction. 10th ed.
USA : Pearson Benjamin Cummings ; 2010.
11. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Indonesia Bebas
Tuberkulosis. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Kementerian Kesehatan RI 2014
16. Shapiro AE, Ross JM, Schiller I, Dendukuri N, Steingart KR, Horne DJ.
Xpert MTB/RIF and Xpert Ultra assays for pulmonary tuberculosis and
rifampicin resistance in adults irrespective of signs or symptoms of pulmonary
tuberculosis. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2020;7:1-18.
17. Bayot ML, Mirza TM, Sharma S. Acid Fast Bacteria. In: StatPearls. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2021.
18. Madjawati A. Uji Diagnostik Gambaran Lesi Foto Thorax pada Penderita
dengan Klinis Tuberkulosis Paru. Mutiara Medika. 2010;10(2):180-8.
19. Adigun R, Singh R. Tuberculosis. [Updated 2020 Oct 27]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/
20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan 2005. Jakarta.
2006.
26. PDQ Screening and Prevention Editorial Board. Lung Cancer Prevention
(PDQ®): Patient Version. 2020 Mar 27. In: PDQ Cancer Information Summaries
[Internet]. Bethesda (MD): National Cancer Institute (US); 2002-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK66063/
27. Lung Cancer. In: Brown KK, Lee-Chiong T, Chapman S, Robinson G, et al.
Oxford American Handbook of Pulmonary Medicine. Oxford:Oxford University
Press; 2009. p.161-86
28. Siddiqui F, Siddiqui AH. Lung Cancer. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing. 20 November 2020
29. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Kanker Paru. 2017.
30. TanWW. Small Cell Lung Cancer. In: KarimNA, editors. Medscape
[Internet]. May 2018. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/280104-overview
31. TanWW. Non-Small Cell Lung Cancer. In: KarimNA, editors. Medscape
[Internet]. July 2018. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/279960-overview
34. Zulkifli A. Kanker Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III (6th ed).
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2014.
36. Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4.
Jakarta: Media Aesculapius. 2014; jilid 2; 975-981.
40. Ganong, W. F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta:
EGC
41. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11 th Ed. Philadelphia:
Elsevier Inc; 2016.
43. Cavalcanti YV, Brelaz MC, Neves JK, Ferraz JC, Pereira VR. Role of TNF-
Alpha, IFN-Gamma, and IL-10 in the Development of Pulmonary Tuberculosis.
Pulmonary medicine ; 2012
44. Dheda K, Schwander SK, Zhu B, van Zyl-Smit RN, Zhang Y. The
immunology of tuberculosis: from bench to bedside. Respirology ;
2010;15(3):433–50.
45. Danusantoso, Halim. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Edisi 2. Jakarta: EGC ;
2012.
46. Churchyard, G., Kim, P., Shah, N. S., Rustomjee, R., Gandhi, N., Mathema,
B., Dowdy, D., Kasmar, A., & Cardenas, V. (2017). What We Know about
Tuberculosis Transmission: An Overview. Journal of Infectious Diseases,
216(Suppl 6), S629–S635. https://doi.org/10.1093/infdis/jix362
49. Kreit JW. Hemoptysis. Dalam: Albert RK, Spiro SG, Jett JR editor
(penyunting). Clinical Respiratory Medicine. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2008. hlm. 311-36.
50. Medison I, Sabri YS, Yanni FF. Penuntun Skills Lab Blok 2.6 Gangguan
Respirasi Pemeriksaan Paru Lengkap. Padang : Fakultas Kedokteran Univesitas
Andalas ; 2016.
51. Lim JU, Lee JH, Kim JS, et al. Comparison of World Health Organization and
Asia-Pacific body mass index classifications in COPD patients. Int J Chron
Obstruct Pulmon Dis. 2017;12:2465-2475.
56. Reyes FM, Modi P, Le JK. Lung Exam. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2021
62. Madjawati A. Uji Diagnostik Gambaran Lesi Foto Thorax pada Penderita
dengan Klinis Tuberkulosis Paru. Mutiara Medika. 2010;10(2):180-8.
64. Reuter H. Pleural Effusion and Empyema in Adult Tuberculosis. In: Schaaf
HS. Tuberculosis. NY: Elsevier; 2009.