Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) adalah instalasi pengolahan air


limbah yang dirancang hanya menerima atau mengolah lumpur tinja yang
diangkut oleh (truk tinja). Pengolahan lumpur tinja di IPLT merupakan
pengolahan lanjutan karena lumpur tinja yang telah diolah di tanki septik
belumlayak untuk dibuang ke media lingkungan. IPLT merupakan salah satu
upaya terencana untuk meningkatkan pengolahan dan pembuangan limbah yang
ramah lingkungan. Struktur Intalasi Pengolahan Lumpur Tinja hampir sama
dengan IPAL air limbah domestik yaitu harus kedap air, memiliki struktur yang
kuat dan diharapkan memiliki umur bangunan yang lama ( >10 tahun).
Air limbah domestik berdasarkan karakteristiknya dibagi manjadi dua yaitu
grey water dan black water. Grey water adalah limbah domestik yang berasal dari
bekas cucian piring, air bekas mandi dan cuci baju. Black water adalah air limbah
domestik yang dikeluarkan melalui toilet urinoir dan bidet. Kedua jenis air limbah
domestik ini harus dilakukan pengolahan sebelum dibuang ke badan air. Air
limbah domestik yang masuk ke dalam badan air akan mencemari air tanah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 Pulau Jawa
memiliki luas 6,77% dengan populasi 59,94% penduduk dari seluruh Indonesia.
Berdasarkan data tersebut Pulau Jawa memiliki potensi yang besar untuk
mengalami pencemaran air tanah akibat limbah domestik. Berdasarkan data
Japan International Coorporation Agency (JICA) pada tahun 1989 total air
limbah di DKI Jakarta sebesar 1.316.113 m3/hari dengan persentasi 78.9% sumber
air limbah berasal dari limbah domestik. Dan pada tahun 2010 total air limbah di
DKI Jakarta sebesar 2.588.250 m3/hari dengan persentasi 72.7% sumber air
limbah berasal dari limbah domestik (Idaman 2017).
PD PAL Jaya adalah perusahaan daerah milik Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta yang bergerak di bidang jasa layanan pengelolaan air limbah domestik
masyarakat kota Jakarta melalui sistem perpipaan, jasa layanan pengelolaan air
limbah sistem setempat, dan Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT). Dengan
diterbitkannya Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2013 PD PAL Jaya mulai
menggembangkan Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT) yang sebelumnya
dikelola Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. Layanan Lumpur Tinja
Terjadwal (LLTT) ini melayani seluruh area DKI Jakarta. Lumpur tinja dari
program LLTT akan disalurkan ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).
PD PAL Jaya memiliki dua IPLT yaitu IPLT Duri Kosambi di Jakarta Barat dan
IPLT Pulo Gebang di Jakarta Timur.

1.2. Tujuan
Rumusan masalah pada karya tulis ini diantaranya:
a. Mengetahui struktur bangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja di IPLT
Pulo Gebang
b. Mengetahui pengaruh karakteristik limpur tinja terhadap proses pengolahan
di IPLT.
c. Mengetahu perawatan yang dilakukan terhadap struktur bangunan

1.3. Rumusan masalah


Rumusan masalah pada karya tulis ini antara lain:
a. Bagaimana gambaran struktur bangunan untuk Instalasi Pengolahan Lumpu
r Tinja di IPLT Pulo Gebang?
b. Bagaimana pengaruh karakteristik limpur tinja terhadap proses pada Instala
si Pengolahan Lumpur Tinja di IPLT Pulo Gebang?
c. Bagaimana perawatan yang dilakukan oleh PD PAL Jaya untuk mengatasi i
ssue pengaruh karakteristik terhadap struktur Instalasi Pengolahan Lumpur
Tinja di IPLT Pulo Gebang?
1.4. Ruang lingkup
Rumusan masalah pada karya tulis ini antara lain:
a. Bangunan pada IPLT Pulo Gebang dengan system konvensional atau sistem
kolam.
b. Kandungan/ karakteristik dari lumpur tinja sebelum diolah di IPLT Pulo Ge
bang.
c. Pengaruh karakteristik terhadap proses pengolahan di IPLT Pulo Gebang.
d. Perawatan terhadap stuktur yang dilakukan di IPLT Pulo Gebang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pengolahan limbah cair pada umumnya dilakukan pada instalasi pengolahan


yang terdiri dari uni-unit proses yang dilakukan secara fisik, kimiawi maupun
biologi. Instalasi pengolahan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian yaitu
pengolahan air limbah dan pengolahan lumpur tinja. Pengolahan air limbah
(IPAL) biasanya hanya digunakan untuk mengolah air limbah grey water yang
berasal dari limbah oil and grease atau limbah cair yang mengandung bahan B3.
Pada umumnya IPAL terdapat pada lokasi umum misalnya pada rumah sakit,
industri, dan kawasan rekreasi yang nantinya akan disatukan dan diolah kembali
pada IPAL terpusat yang dimiliki oleh suatu perkotaan. Berbeda dengan IPAL,
pengolahan lumpur tinja/ lumpur septictank hanya terletak pada beberapa
pengolahan yang berada di setiap kota, sistem IPLT dilakukan dengan sistem
terpusat. IPLT seharusnya melakukan pengolahan lumpur tinja yang dialirkan dari
setiap pemukiman warga, tetapi kenyataannya di Indonesia lumpur tinja dari
setiap pemukiman tidak memiliki sistem pengaliran secara otomatis menuju
pengolahan lumpur tinja terpusat sehingga sampai saat ini pengambilan lumpur
tinja yang ingin diolah hanya dilakukan secara konvensional dengan
menggunakan truk tinja yang diambil tergantung permintaan warga.

2.1 Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja


2.1.1 Definisi Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja
Menurut KepMenLH Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Limbah Domestik, pengolahan air limbah domestik adalah upaya pengolahan
yang dilakukan dengan cara tertentu secara bersama-sama (kolektif) melalui
pengolahan limbah domestik terpadu sebelum dibuang ke air permukaan agar air
limbah yang dimaksud dapat memenuhi baku mutu air limbah yang ditetapkan.
Air limbah domestik yang dimaksud merupakan air limbah yang berasal dari
kegiatan rumah tangga, perumahan, rumah susun, apartemen, perkantoran, rumah
dan kantor rumah dan toko, rumah sakit, mall, pasar swalayan, balai pertemuan,
hotel, industri, dan sekolah berupa air kotor/tinja (black water).
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nokor
04/PRT/M/2017 tentang Penyelenggaraan Sistem Pengolahan Air Limbah
Domestik, Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja adalah instalasi pengolahan air
limbah yang dirancang hanya menerima dan mengolah lumpur tinja yang berasal
dari subsistem pengolahan setempat agar memenuhi persyaratan untuk dibuang ke
lingkungan atau dimanfaatkan untuk keperluan tertentu.
Menurut Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang
Persampahan, air limbah merupakan semua cairan yang berasal dari kegiatan
proses produksi dan kegiatan usaha lainnya yang tidak dimanfaatkan kembali dan
dapat digolongkan sebagai jenis sampah. Pengelolaan air kotor adalah kegiatan
penyedotan lumpur tinja dan pengolahannya di dalam Instalasi Pengolahan Air
Kotor (IPAK). Pengelolaan air kotor pada setiap rumah tangga terdiri dari dua
basis yaitu basis permintaan (tidak terjadwal) dan basis terjadwal. Basis
permintaan (tidak terjadwal) adalah pelayanan penyedotan limbah air kotor rumah
tangga berdasarkan permintaan masyarakat. Sedangkan basis terjadwal adalah
pelayanan penyedotan air kotor limbah rumah tangga yang dijadwalkan secara
berkala atau periodik.

2.1.2 Definisi Lumpur Tinja


Lumpur tinja secara umum didefinisikan sebagai bahan cair dan padat yang
berbentuk setengah padatan yang berasal dari hasil pengumpulan, penyimpanan
dan kombinasi pengolahan kotoran (black water) dengan atau tanpa air limbah
(grey water) selama pembersihan yang berasal dari daerah pemukiman ataupun
daerah komersial (USAID, 2014). Lumpur tinja adalah seluruh isi tangki septik,
cubluk tunggal atau endapan lumpur dari underfloor unit pengolahan air limbah
lainnya yang pembersihannya dilakukan dengan mobil (Anonim, 2009). Instalasi
Pengolahan Lumpur Tinja, yang selanjutnya disebut IPLT, adalah instalasi
pengolah air limbah yang didesain untuk hanya menerima lumpur tinja melalui
mobil atau gerobak tinja (tanpa perpipaan) (Anonim, 2009). Sedangkan septictank
berasal dari kata septic, yang berarti pembusukan secara anaerobik. Nama
septictank dipergunakan karena dalam sistem ini terlibat proses pembusukan yang
dilakukan oleh kuman-kuman pembusuk yang sifatnya anaerob
Lumpur tinja biasanya ditandai dengan grit dan lemak dalam jumlah besar,
bau yang sangat menusuk, kapasitas besar untuk busa pada agitasi, sedikitnya
pengendapan (settling) dan karakteristik dewatering, serta padatan tinggi dan
konten organik. Kekuatan limbah yang tinggi disebabkan oleh akumulasi lumpur
dan sampah di septictank. Biasanya, septictank akan mempertahankan 60 sampai
70 persen dari padatan tersuspensi seperti minyak dan lemak yang ada. Limbah ini
memiliki daya apung yang besar atau padatan tersuspensi (seperti feses yang
sebagian hancur, kertas, kulit sayuran) dan padatan sangat kecil dalam suspensi
koloid, serta polutan. Jika dilihat dari penampilan dan kandungan sangat
berbahaya dikarenakan mengandung organisme patogen yang dapat membawa
bibit penyakit dalam jumlah yang banyak. (Mara, 1976). Sebagian besar padatan
tersuspensi mengendap ke bagian bawah tangki, lemak dan minyak serta bahan
apung lainnya yang dipertahankan diantara inlet dan outlet baffle. Selama waktu
tertentu, lumpur dan sampah dapat membangun ke titik di mana ia menempati dari
20 sampai 50 persen dari total volume septictank.
Selain menjadi limbah yang sangat terkonsentrasi, karakteristik lumpur tinja
bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lain. Variasi ini disebabkan beberapa faktor,
termasuk jumlah orang yang memanfaatkan tangki septik dan memasak,
kebiasaan dalam penggunaan air, ukuran tangki dan desain, kondisi iklim,
frekuensi memompa, dan penggunaan peralatan sungai seperti penggiling sampah,
pelunak air dan mesin cuci.

2.1.3 Karakteristik Lumpur Tinja


Pengelolaan lumpur tinja tidak terbatas hanya pengolahan lumpur tetapi
melibatkan seluruh rantai layanan dari akumulasi di sistem terpusat (on-site
system) untuk menggunakan kembali. Menurut Mara (1976), karakteristik lumpur
tinja terbagi menjadi tiga yaitu karakteristik yang ditinjau dari karakteristik
kimiawi, fisik, dan biologi.

2.1.3.1 Karakteristik Kimiawi


Karakteristik kimiawi lumpur tinja pada umumnya mengandung unsur-
unsur kimia yang terkandung dalam lumpur tinja seperti terdapat kandungan
nutrisi, pH dalam lumpur tinja dan logam berat pada lumpur tinja. Kandungan
nutrisi dalam lumpur tinja yaitu nitrogen dan fosfor, sedangkan untuk pH dalam
lumpur tinja bersifat basa yaitu berkisar 6-9 dikarenakan mengandung Amonium
(NH3), nitrat / nitrit (NO3-N / NO2-N) dan nitrogen organik, Amonia (NH4).
Logam berat dalam lumpur tinja biasanya berasal dari sumber-sumber bahan
kimia rumah tangga yang mengandung konsentrasi jejak logam berat, pencucian
logam berasal dari pipa dan kontaminasi lumpur tinja di truk pengangkut dari
beban limbah industri sebelumnya.

2.1.3.2 Karakteristik Fisik


Karakteristik fisik membuat lumpur tinja sulit untuk ditangani dan
diperbaiki. Lemak, grit, dan padatan besar yang tinggi dalam lumpur tinja dapat
menyumbat pipa dan pompa. Sifat anaerob hasil lumpur tinja dengan adanya
senyawa berbau, dengan frekuensi yang lebih besar ketika lumpur tinja terkena
kondisi turbulen yang dapat terjadi pada IPAL atau selama debit untuk lahan
pertanian. Kesadahan juga bisa menjadi masalah dalam proses saat terjadinya
proses aerobic (masuknya udara) ke dalam lumpur tinja tersebut.
Banyak faktor yang mempengaruhi karakteristik fisik lumpur tinja,
termasuk kebiasaan pengguna, ukuran septictank, desain dan frekuensi memompa,
karakteristik pasokan air dan bahan pipa, kehadiran perlengkapan konservasi air
dan pembuangan sampah; penggunaan bahan kimia rumah tangga dan kesadahan
serta iklim.
Tabel 2.1 Karakteristik Lumpur Tinja Dengan Parameter Konvensional
Konsentrasi (mg/L)
Parameter
Rata – rata Minimum Maksimum
TS 34.106 1.132 130.475
TVS 23.100 353 71.402
TSS 12.862 310 93.378
VSS 9.027 95 51.500
BOD 6.480 440 78.600
COD 31.900 1.500 703.000
Total kjeldahl nitrogen 588 66 1.060
Ammonia nitrogen 97 3 116
Total phosphorus 210 20 760
Alkalinitas 970 522 4.190
Lemak 5.600 208 23.368
pH - 1.5 12.6
Sumber : U.S Environment Protection Agency, 1994

Tabel 2.2 Baku Mutu Limbah Cair Domestik


Individual/
Parameter Satuan Komunal
Rumah Tangga

pH - 6–9 6-9

KMnO4 mg / L 85 85

TSS mg / L 50 50

Amoniak mg / L 10 10

Minyak & Lemak mg / L 10 20

Senyawa Biru Metilen mg / L 2 2

COD mg / L 100 80

BOD mg / L 75 50

Sumber : PerGub DKI Jakarta No.122 Tahun 2005

2.1.3.3 Karakteristik Biologi


a. Patogen di Lumpur Tinja
Lumpur tinja mengandung sejumlah besar mikroorganisme patogen yang
menimbulkan bahaya bagi operator pekerja dengan lumpur dan potensi
penggunaan kembali. Organisme patogen ditemukan dalam air limbah dapat
diekskresikan oleh manusia dan hewan yang terinfeksi dengan penyakit atau yang
pembawa penyakit menular tertentu seperti tipus, demam paratifoid, disentri, diare
dan kolera. Patogen organisme yang ditemukan dalam air limbah dapat
diklasifikasikan menjadi empat macam yaitu, bakteri, protozoa. cacing. dan virus.
Organisme patogen bakteri berasal dari manusia biasanya menimbulkan penyakit
dari gastroin saluran testinal, seperti demam tifoid dan paratifoid, diare, dan
kolera. Konsentrasi organisme sebagai indikator pada lumpur tinja, ditemukan
berada di kisaran yang sama seperti yang ditemukan di lumpur primer yang tidak
diolah berasal dari pengolahan limbah perkotaan.
Umumnya pengukuran patogen untuk menilai risiko kesehatan yaitu jumlah
coliforms adalah kelompok bakteri yang digunakan untuk menunjukkan
kontaminasi feses air dan memberikan indikasi pengurangan patogen dalam
proses pengolahan. Serta, telur cacing juga digunakan sebagai indikator efektivitas
pengolahan karena prevalensi mereka di negara-negara berpenghasilan rendah
hingga menengah, menolak inaktivasi dan risiko kesehatan untuk orang-orang
yang terpapar bakteri patogen.

Tabel 2.3 Jenis Bakteri Patogen di Lumpur Tinja


Organisme Penyakit Ditemukan
Virus Poliomyelitis Ditemukan di effluen yang
Hepatitis berasal dari pengolahan biologis
Vibrio cholerae Cholera Ditransmisikan oleh kotoran dan
pencemar air
Salmonella thyphi Typhoid fever Terdapat pada kotoran dan
effluen, kadang menjadi
epidemics
Salmonella paratyphi Paratyphoid Terdapat pada kotoran dan
fever effluen, kadang menjadi
epidemics
Salmonella spp Food poisoning Terdapat pada kotoran dan
effluen
Shigella spp Bacillary Pencemar air yang menjadi
dysentery sumber utama infeksi
Bacillus anthracis Anthrax Ditemukan pada kotoran.
Memiliki spora yang resistant
dengan pengolahan
Brucella spp Brucellosis Diduga kemungkinan berada
pada limbah juga
Mycobacterium Tuberculosis Diisolasi dari limbah dan aliran
tuberculosis tercemar, dapat menular
Leptospira Leptospirosis Berasal dari tikus selokan
iceterohaemorrhagiae
Entamoeba histolytica Dysentery Penyebaran kontaminasi pada
air dan lumpur yang digunakan
menjadi pupuk. Umumnya
bakteri ini terdapat pada cuaca
panas
Taenia spp Tapeworms Telur sangat resistant, berada
pada lumpur tinja dan effluen
kotoran
Ascaris spp Nematode Berbahaya pada kotoran effluen
Enterobius spp worms dan saat penggunaan lumpur
kering menjadi pupuk
Sumber : Hawkes, 1971

b. Bau
Karakteristik bau yang selalu ada pada lumpur tinja adalah bau yang
disebabkan karena adanya hidrogen sulfida, yang diproduksi oleh konversi
anaerobik sulfat untuk sulfida. Senyawa yang menyebabkan bau saat menangani
lumpur tinja adalah sulfida, merkaptan, amina, aldehida, skatoles dan asam
organik (Tchobanoglous et al, 2003).
Intensitas bau bervariasi pada siang hari di instalasi pengolahan lumpur tinja
saat menerima lumpur tinja. Ini dikarenakan bahwa setiap truk yang penuh lumpur
tinja jumlahnya dapat bervariasi sehubungan dengan jumlah gas berbau yang
dilepaskan ketika lumpur tinja dikosongkan atau diangin-anginkan di instalasi
pengolahan.

Tabel 2.4 Bau Akibat Air Limbah yang Belum Diolah


Senyawa Pembentuk Bau Kualitas Bau
Amino Fishy
Ammonia Ammoniacal
Diaminies Decayed illesh
Hidrogen sulfide Rotten eggs
Mercaptans (ex : methyl dan ethyl) Decayed cabbage
Mercaptans (ex : T- butyl dan cartyl) Skunks
Organik sulfida Rotten cabbage
Skatole Fecal matter
Sumber : Tchobanoglous et al, 2003

2.1.4 Unit Pengolahan Lumpur Tinja


Lumpur tinja pada umumnya dikumpulkan dari kota dan pemukiman
kemudian dikembalikan ke tanah atau digunakan kembali. Agar tidak terjadi
pencemaran maka untuk mengembalikan lumpur tinja tersebut ke tanah ataupun
digunakan kembali harus dilakukan pengolahan agar tanah tidak terjadi
pencemaran akibat kontaminasi lumpur tinja yang belum diolah tersebut.
Pengolahan yang dilakukan untuk lumpur tinja pada umumnya sama dengan
pengolahan yang dilakukan dengan air limbah yaitu dengan melakukan unit
operasi dan proses. Unit operasi adalah metode untuk pengolahan lumpur tinja
yang dilakukan secara fisik, sedangkan unit proses adalah metode pengolahan
lumpur tinja yang dilakukan dengan bantuan secara kimiawi ataupun biolois agar
dapat menghilangkan kontaminan tersebut. Unit proses secara kimiawi dapat
dibantu oleh bantuan koagulan yang memiliki senyawa kimia nantinya
membentuk reaksi kimia dan unit proses secara biologis dapat dibantu dengan
bantuan mikrobiologi yang tumbuh pada lumpur tinja untuk mengurai materi
organik yang bersifat biodegradable. Menurut Tchobanoglous et al (2003), unit
operasi dan proses dalam pengolahan lumpur tinja meliputi satu rangkaian proses
yang terdiri dari tujuh tingkat pengolahan diantaranya pengolahan awal
(preliminary treatment), pengolahan primer (primary treatment), pengolahan
primer lanjutan (advanced primary treatment), pengolahan sekunder dengan
penghilangan nutrisi (secondary with nutrient removal), pengolahan tersier
(tertiary), dan pengolahan lanjutan (advanced).
Pada pengolahan awal, padatan besar seperti benda besar, kain dan
kerikil yang terbawa oleh air limbah diangkut karena dapat merusak peralatan.
Pengolahan awal biasanya memiliki tiga fungsi penting yaitu penghilangan bahan
padatan yang akan diolah, perlindungan unit untuk unit pengolahan selanjutnya,
dan peningkatan kinerja unit pengolahan selanjutnya. Operasi unit pengolahan
awal pada pengolahan air limbah maupun pengolahan lumpur tinja meliputi layar,
shredders atau penggiling, grit removal, dan aliran pemerataan.
Pada pengolahan primer, operasi fisik seperti sedimentasi, digunakan
untuk menghilangkan sampah dan partikel besar yang tidak dapat dihilangkan di
ruang grit. Sampah yang terdiri dari lemak, minyak, plastik, daun, kain, rambut,
dan bahan apung lainnya. Pengolahan primer adalah proses pertama dalam
instalasi pengolahan air limbah untuk menghilangkan fraksi yang signifikan dari
partikel organik (padatan tersuspensi). Padatan tersuspensi berkontribusi untuk
Biochemical Oxygen Demand (BOD5) dari air limbah. Dengan demikian,
menghapus padatan tersuspensi juga mengurangi BOD5. Proses ini penting karena
pengurangan padatan tersuspensi dan BOD5 menurunkan kebutuhan oksigen,
menurunkan tingkat konsumsi energi, dan mengurangi masalah operasional
dengan proses pengolahan hilir biologis.
Pada pengolahan sekunder, proses biologi dan kimia yang digunakan
untuk menghilangkan sebagian besar bahan organik.

Tabel 2.5 Tingkatan dan Deskripsi Unit Pengolahan Lumpur Tinja


Tingkat Pengolahan Deskripsi

Awal (Preliminary) Pada proses ini, padatan yang terbawa oleh air
limbah seperti kain, tongkat, kayu, kerikil dan
minyak dihilangkan guna untuk menghindari
masalah operasional dan menjaga unit pengolahan
operasi dan proses
Primer (Primary) Pada proses ini, padatan tersuspensi dan bahan
organik dari limbah cair dihilangkan
Primer lanjutan (Advanced Pada proses ini, padatan tersuspensi dan bahan
primary) organik dari air limbah dihilangkan dengan cara
penambahan koagulan atau adanya proses filtrasi
Sekunder (Secondary) Pada proses ini, material biodegradable organik
(dalam larutan atau suspensi) dan padatan
tersuspensi dihilangkan. Selain itu, pada proses ini
terdapat proses desinfeksi pertama.
Sekunder dengan Pada proses ini, materi organik biodegradable,
penghilangan nutrisi padatan tersuspensi, dan nutrisi (nitrogen, fosfor,
atau keduanya nitrogen dan fosfor) dihilangkan
Tersier (Tertiary) Pada proses ini, padatan tersuspensi residual
dihilangkan menggunakan filtrasi media granular
atau microscreens. Pada proses ini juga terdapat
proses desinfeksi kedua dan penghilangan nutrisi
pada air limbah guna menjadi pengaruh faktor
pertumbuhan mikroorganisme
Lanjutan (Advanced) Pada proses ini, bahan terlarut dan tersuspensi
yang tersisa dihilangkan melalui pengolahan
biologis, air hasil dari pengolahan biologis normal
akan digunakan kembali
Sumber : Tchobanoglous et al, 2003

Tahap perencanaan IPLT sebagai berikut :


1. Perhitungan timbulan lumpur tinja di wilayah pelayanan
2. Penentuan daerah pelayanan IPLT
Daerah atau kawasan pelayanan ditentukan berdasarkan Zona Prioritas
pelayanan SPALD-S yang telah di tentukan pada rencana induk
3. Penentuan Kapasitas IPLT
Kapasitas IPLT ditentukan dengan menghitung jumlah sarana sanitasi
setempat yang berada di daerah pelayanan. Apabila data jumlah sanitasi
setempat sulit didapat atau diinventarisasi, maka dapat menggunakan
pendekatan minimal 60% penduduk pada zona prioritas
4. Penentuan alternative unit pengolahan lumpur tinja
Pengolahan lumpur tinja dapat menggunakan dua metode yang ditentukan
berdasarkan karakteristik lumpur tinja yang akan diolah, yaitu :
a) Pengolahan IPLT dengan pemisahan padatan dan cairan.
Penerapan metode ini dilakukan jika karakteristik lumpur tinja
yang masuk ke IPLT berupa lumpur tinja yang sudah diolah dan
tinja yang belum diolah. Untuk mengurangi beban pengolahan
biologi, lumpur hasil pengolahan pada unit pemekatan, diolah lebih
lanjut pada unit stabilisasi untuk mengurangi konsentrasi pencemar
sebelum dibuang kebadan air penerima
b) Pengolahan IPLT tanpa pemisahan padatan dan cairan terlebih
dahulu. Metode ini dapat digunakan jika karakteristik lumpur rinja
yang masuk IPLT berupa lumpur tinja yang telah mengalami
pengolahan di unit pengolahan setempat, sehingga memiliki beban
organic yang rendah
5. Perhitungan desain unit pengolahan lumpur tinja
6.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Struktur Bangunan IPLT Pulo Gebang


Pada unit – unit pengolahan lumpur tinja di IPLT Pulo Gebang rata – rata
struktur bangunan menggunakan beton bertulang yang kuat, rapi dan kedap air.
Beton bertulang adalah kombinasi dari beton serta tulangan baja, yang bekerja
secara bersama-sama untuk memikul beban yang ada. Tulangan baja akan
memberikan kuat tarik yang tidak dimiliki oleh beton. Selain itu tulangan baja
juga mampu memikul beban tekan, seperti digunakan pada elemen kolom beton
(Agus Setiawan, 2013). Konsep perencanaan struktur beton bertulang mengacu
pada SNI 03-2847-2013 tentang Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan
Gedung yang membahas terkait metode LRFD (Load and Resistance Factor
Design) yang berbasis kekuatan (Direktorat Jendral Cipta, 2017).
Bangunan konstruksi dari beton bertulang kedap air berfungsi sebagai
penahan beban yang bekerja karena sifatnya tahan terhadap getaran, tidak
termakan karat serta tahan terhadap gempa. Fungsi lainnya yaitu untuk
menurunkan kebutuhan oksigen biokimia dan suspended solid serta pembusukan
dari lumpur yang terendapkan dari effluent lumpur tinja bak pengumpul.
(Oktarina & Helmi, 2013). Unit pengolahan lumpur tinja dibuat dengan
memperhatikan beda ketinggian untuk memastikan terjadinya aliran dari unit
proses yang satu ke unit selanjutnya. Konstruksi yang terlihat rapi salah satu
contoh pada bak kontrol dan dasar memiliki plesteran yang rata dan dibuat dengan
kemiringan tertentu sehingga air limbah dapat mengalir ke dalam saluran. Namun
jika konstruksi bak kontrol tidak rapi dan dasar kontrol terlihat rata tanpa
kemiringan yang memadai. Belokan saluran pada bak kontrol memiliki siku yang
tajam, sehingga dapat menghambat aliran air limbah. Perbedaan tersebut dapat
dilihat pada gambar 3.1.
A
B

Gambar 3.1 A. Pembangunan Bak Kontrol rapi dan B. Pembangunan Bak Kontrol
tidak rapi

Kelebihan penggunaan beton bertulang sebagai bahan konstruksi utama


adalah sebagai berikut:

1. Kuat tekan beton bertulang relatif lebih tinggi dari bahan lain konstruksi
lain.
2. Memiliki ketahanan yang tinggi terhadap api dan air. Tidak berkarat
karena air dan pada kasus kebakaran dengan intensitas rata-rata, struktur
dengan ketebalan penutup beton tertentu hanya mengalami kerusakan pada
permukaannya saja.
3. Struktur beton bertulang sangat kokoh.
4. Biaya pemeliharaan beton bertulang hampir sangat rendah
5. Durabilitas yang tinggi. Beton bertulang lebih awet dan tahan lama
dibandingkan dengan bahan lain. Normalnya sebuah struktur beton
bertulang dapat digunakan sampai jangka waktu yang sangat lama dengan
tidak kehilangan kemampuan menahan bebannya. Hal tersebut karena
hukum kimia proses pemadatan semen yang semakin lama akan semakin
membatu.
6. Untuk bahan pondasi tapak, dinding basement, tiang tumpuan jembatan,
dan semacamnya, beton bertulanglah pilihan paling hemat biaya.
7. Beton bertulang bisa dibuat dalam banyak bentuk untuk beragam fungsi
dan kegunaan, seperti bentuk pelat, balok. dari bentuk sederhana seperti
kolom hingga berbentuk atap kubah yang rumit.
8. Material beton bertulang bisa dibuat dari bahan-bahan lokal yang murah
seperti pasir, kerikil, dan air dan relatif hanya membutuhkan sedikit semen
dan tulangan baja.
9. Dibanding struktur baja, pembuatan dan instalasi konstruksi beton
bertulang lebih mudah dan cukup dengan tenaga berkeahlian rendah.
Kekurangan penggunaan beton bertulang sebagai bahan konstruksi utama adalah
sebagai berikut:
1. Waktu pengerjaan beton bertulang lebih lama.
2. Kualitas beton bertulang variatif bergantung pada kualifikasi para
pembuatnya
3. Dibutuhkan bekisting penahan pada saat pengecoran beton agar tetap di
tempatnya sampai beton tersebut mengeras. Berat beton sendiri sangat
besar (2,4 t/m3), sehingga konstruksi harus memiliki penampang yang
besar.
4. Diperlukannya penopang sementara untuk menjaga agar bekisting tetap
berada pada tempatnya sampai beton mengeras dan cukup kuat untuk
menahan beratnya sendiri.
5. Biaya bekisting reltif mahal hingga sepertiga atau dua pertiga dari total
biaya sebuah struktur beton.

6. Rendahnya kekuatan per satuan berat dari beton mengakibatkan beton


bertulang menjadi berat. Ini akan sangat berpengaruh pada struktur-
struktur bentang-panjang dimana berat beban mati beton yang besar akan
sangat mempengaruhi momen lentur.

7. Bervariasinya sifat-sifat beton dan proporsi - campuran serta


pengadukannya.

8. Proses penuangan dan perawatan beton tidak bisa kontrol dengan


ketepatan maksimal, berbeda dengan proses produksi material struktur
lain.

3.2. Proses Pengolahan Lumpur Tinja IPLT Pulo Gebang


Instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT) adalah instalasi pengolahan air
limbah yang didesain hanya menerima lumpur tinja melalui mobil (truk tinja).
Lumpur tinja diambil dari unit pengola limbah tinja seperti tangki septik dan
cubluk tunggal ataupun endapan lumpur dari unit pengolahan air limbah lainya.
IPLT dirancang untuk mengolah lumpur tinja sehingga tidak membahayakan bagi
kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitarnya (Oktarina & Helmi, 2013).
Pengolahan lumpur tinja pada IPLT dibuat untuk dapat menstabilkan
senyawa organik dan meningkatkan padatan yang terkandung dalam lumpur tinja
sampai memenuhi persyaratan untuk dibuang ke lingkungan atau dimanfaatkan
untuk kepentingan tertentu (Putri, 2015). Pada IPLT Pulo Gebang untuk
pengolahan lumpur tinja menggunakan sistem Konvensional. Lumpur tinja yang
diolah dengan sistem konvensional memerlukan waktu yang cukup lama yaitu 28-
30 hari, hal ini yang menjadi salah satu pertimbangan penggunaan sistem
konvensional lebih sedikit dibandingkan sistem mekanik, namun kelebihan dari
sistem konvensional yaitu kemudahan serta biaya operasi dan pemeliharaan yang
lebih terjangkau dibandingkan menggunakan sistem mekanik. Berikut badan alir
proses pengolahan lumpur tinja secara konvensional yang dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1.
Alur Sistem
Pengolahan
Sumber : Buku Panduan IPLT Pulo Gebang 2017
Urutan proses pengolahan lumpur tinja pada IPLT Pulo Gebang secara
konvensional adalah sebagai berikut:
3.2.1. Bak Penerimaan
Bak penerimaan merupakan unit penerima lumpur tinja dari truk tinja. Pada
bak penerimaan terdapat saringan berupa penangkap butiran pasir (treese) dan bar
screen untuk menyaring sampah padat sehingga terjadi pemisahan antara lumpur
beserta sampah padat dan pasir dengan cairan limbah. Saringan tersebut berguna
untuk melindungi pompa, katup, perpipaan dan perlengkapan lainnya dari
kerusakan akibat penyumbatan kotoran (Fadila, 2018). Bak penerimaan berfungsi
untuk mengatur agar debit aliran lumpur yang masuk ke unit berikutnya menjadi
konstan dan tidak berfluktuasi serta menghomogenkan karakteristik lumpur tinja
yang masuk ke IPLT. Berikut bak penerimaan lumpur tinja yang dapat dilihat
pada Gambar 3.2.1.

Gambar 3.2.1 Bak Penerimaan


Lumpur Tinja
Sumber : Dokumentasi IPLT Pulo Gebang
Bahan Kontruksi: beton bertulang (Direktorat Jendral Cipta, 2017).

3.2.2. Kolam Aerasi Lumpur Tinja (Aerobic sludge digester)


Terdiri dari 8 (delapan) unit bak aerasi yang secara bergantian diisi dengan
lumpur air kotor/tinja masing-masing hari pertama sampai hari keenam (proses
aerasi untuk masing-masing bak 6 hari). Pada hari ke-7 dan 8 bak aerasi
dikosongkan/dipompa untuk selanjutnya diisi kembali pada hari ke-9 dan diaerasi
kembali selama 6 hari. Jadi setiap bak aerasi menerima tinja baru dari kendaraan
pelayanan penyedotan dari septictank setiap 8 hari sekali; termasuk 2 hari untuk
pengosongan/pemeliharaan. Tujuan dari aerasi adalah untuk menurunkan BOD
dan COD dengan cara memompakan udara. Di dalam kolam aerasi air hasil
pengolahan (mengandung bakteri pengurai/lumpur aktif) mengalami proses aerasi.
Proses aerasi juga untuk mengaktifkan dan memperbanyak bakteri
pengurai/lumpur aktif yang berguna dalam menghasilkan air yang lebih baik
mutunya (Fadila, 2018).
Aerasi dilakukan selama 144 jam (6 hari) berturut turut dengan
menggunakan bantuan blower. Sebelum diisi air kotor baru, dalam bak pencerna
harus ada lumpur aktif setinggi batas dasar kemiringan (kurang lebih 40 m 3),
maksudnya adalah untuk pembibitan bakteri pencerna, sehingga mempermudah
jalannya aerasi (sebagai starter). Didalam bak aerasi terdapat aerator yang
digunakan saat pengolahan di bak aerasi, mesin aerator tersebut akan bekerja
selama 12 jam perharinya. Fungsi kolam Aerasi sebagai tempat berlangsungnya
proses dekomposisi limbah cair secara biologis dalam kondisi aerobik dengan
memanfaatkan lumpur aktif dan suplai udara ke dalam pengolahan. Berikut kolam
aerasi yang dapat dilihat pada Gambar 3.2.2.

Gambar 3.2.2. Kolam Aerasi


Sumber : Dokumentasi IPLT Pulo
Gebang
Bahan Konstruksi : Beton bertulang kedap air
Banyak bak : 8 bak bersekat
Dimensi : P= 15,10 meter ; L= 2,14 meter / 1 bak T=2 meter

Kelebihan :
 Memiliki ketahanan yang baik terhadap shock loading;
 Kemampuan mereduksi bakteri patogen tinggi;
 Kebutuhan lahan lebih rendah dari sistem WSP dan biaya operasi lebih
rendah dari unit lumpur aktif lain;
 Tidak memiliki masalah yang berarti terhadap serangga dan bau.
Kekurangan :
 Efluen dan lumpur yang ditimbulkan memerlukan pengolahan lebih lanjut;
 Membutuhkan desain dari seorang ahli dan pemantauan saat konstruksi;
 Membutuhkan waktu operasional full time dan pemeliharaan oleh operator
dengan keahlian khusus;
 Membutuhan energi listrik yang terus menerus;
 Biaya operasional sedang hingga tinggi, tergantung luas lahan dan
penggunaan listrik (Direktorat Jendral Cipta, 2018).

3.2.3. Kolam Pengendapan Lumpur (Sludge Storage Tank)


Kolam ini beroperasi tanpa adanya oksigen terlarut. Limbah cair dari kolam
aerasi dialirkan menggunakan pompa permanent dengan pipa aliran masuk ke
kolam lumpur. Lumpur tinja akan mengendap selama 3-6 bulan sebelum
dipompakan ke bak hanggar pengering lumpur, sedangkan limbah cair akan
mengalir secara overflow menuju kolam fakultatif. Konsentrasi lumpur relatif
kecil dibandingkan dengan volume cairan, sehingga kolam lumpur dapat diisi
secara terus-menerus sampai tinggi endapan lumpur mencapai separuh
tinggi/kedalaman kolam lumpur. Kolam lumpur berfungsi untuk memisahkan
lumpur dan airnya dengan cara mengendapkan serta menguraikan zat organik
(BOD dan COD) dan padatan tersuspensi dengan cara anaerobik (tanpa oksigen).
Berikut kolam pengendapan lumpur yang dapat dilihat pada Gambar 3.2.3.

Gambar 4. Kolam Pengendapan Lumpur


Sumber : Dokumentasi IPLT Pulo Gebang

Bahan Konstruksi : Beton bertulang kedap air


Dimensi : P= 125 meter ; L= 20 meter T=2 meter
3.2.4. Hanggar Pengering
Lumpur yang mengendap pada kolam Pengendapan Lumpur tadi dikuras
secara rutin setiap 6 bulan sekali lalu lumpurnya di alirkan menggunakan pompa
ke Hanggar pengeringan lumpur (Sludge Drying bed). Hanggar pengering
berfungsi sebagai bak penampung lumpur untuk mengeringkan lumpur dengan
alami (cahaya matahari dan angin). Cara pengisian hanggar yaitu lumpur dialirkan
ke dalam hanggar pengering menggunakan pompa. Bentuk fisik hanggar
pengering yaitu hanggar memiliki atap untuk mencegah masuknya air hujan.
Metode pengeringan, Hanggar pengering menggunakan penyaring filter
pasir, batu split dan ijuk berfungsi sebagai media penyaring untuk memisahkan
cairan dan padatan lumpur sehingga air yang tersaring akan keluar melalui
drainase.. Pengeringan lumpur terjadi secara alami dengan lama waktu
pengeringan selama 6 bulan. Kapasitas hanggar menampung lumpur sebesar 1600
m3. Lumpur yang dihasilkan ini belum dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh
IPLT Pulo Gebang.

Gambar 3.2.4. Hanggar Pengering


Sumber : Dokumentasi IPLT Pulo Gebang
Bahan Konstruksi : Beton bertulang kedap air
Dimensi : P= 40 meter ; L= 40 meter T=1 meter

3.2.5. Kolam Fakultatif


Kolam fakultatif merupakan kolam yang memiliki lapisan aerob dan lapisan
anaerob. Kolam Fakultatif berfungsi untuk menguraikan dan menurunkan
konsentrasi bahan organik yang ada di dalam limbah yang telah diolah pada
Kolam Anaerobik. Di dalam sistem Kolam Fakultatif, air limbah berada pada
kondisi aerobik dan anaerobik pada waktu yang bersamaan. Waktu tinggal di
dalam Kolam Fakultatif 6-10 hari. Pada kondisi aerob, material organik akan
diubah oleh mikroba (bakteri) menjadi karbon dioksida, amonia, dan phosphat.
Selanjutnya, phospat akan digunakan oleh algae sebagai sumber nutrien sehingga
terjadi simbiosis yang saling menguntungkan. Sementara itu, pada kondisi
anaerob, materi organik akan diubah menjadi gas seperti methane, hidrogen
sulfida, dan amonia serta lumpur sebagai produk sisa. Gas yang dihasilkan oleh
mikroba anaerob selanjutnya digunakan oleh mikroba aerob dan algae (Putri,
2015).
Lumpur yang terbentuk sangat kaya akan mikroba anaerob yang akan terus
mencerna (digest) dan memperlambat proses pengendapan lumpur ke dasar
kolam. Lumpur yang mengendap harus dikuras secara periodik bergantung pada
iklim, disain kolam dan program pemeliharaan yang dijalankan. Namun sebagai
patokan umum, periode pengurasan dilakukan antara 5- 10 tahun. Kolam
Fakultatif dapat dilihat pada Gambar 3.2.5.

Gambar 3.2.5. Kolam Fakultatif


Sumber : Dokumentasi IPLT Pulo Gebang

Bahan Konstruksi : Beton bertulang kedap air


Dimensi : P=118,40 meter ; L=17 meter T=2 meter
Kelebihan Kolam Fakultatif
 Sangat efektif menurunkan jumlah atau konsentrasi bakteri patogen hingga
(60-99)%
 Mampu menghadapi beban yang berfluktuasi
 Operasi dan perawatan mudah sehingga tidak memerlukan keahlian tinggi
 Biaya operasi dan perawatan murah
Kelemahan Kolam Fakultatif
 Kolam Fakultatif ini memerlukan luas lahan yang besar
 Waktu tinggal yang lama, bahkan beberapa literatur menyarankan waktu
tinggal antara (20- 150) hari
 Jika tidak dirawat dengan baik, maka kolam dapat menjadi sarang bagi
serangga seperti nyamuk
 Berpotensi mengeluarkan bau

 Memerlukan pengolahan lanjutan terutama akibat pertumbuhan algae pada


kolam

3.2.6. Kolam Maturasi


Kolam Maturasi digunakan untuk mengolah air limbah yang berasal dari
Kolam aerasi dan biasanya disebut sebagai kolam pematangan. Kolam ini
merupakan rangkaian akhir dari proses pengolahan aerobik air limbah sehingga
dapat menurunkan konsentrasi padatan tersuspensi (SS) dan BOD yang masih
tersisa didalamnya. Kolam maturasi didesain untuk mengurangi bakteri koliform
yang berasal dari tinja daripada untuk pengurangan BOD (Putri, 2015).
Menurut Kusnoputranto (1984) sejumlah besar bakteri koliform akan dapat
dihilangkan dalam waktu penahanan 5 hari. Fungsi adanya kolam maturasi adalah
untuk merombak lumpur (sludge) dan untuk menentukan kualitas effluent pada
tingkat akhir. Kolam maturasi juga bertugas sebagai penampung air yang telah
diolah sebelum masuk ke bak kontrol. Pada kolam maturasi tidak ditambahkan
aerator, kolam ini sangat mengandalkan oksigen diudara dan cahaya matahari.
Kolam maturasi dapat dilihat pada gambar 3.2.6.

Gambar 3.2.6. Kolam Maturasi


Sumber : Dokumentasi IPLT Pulo Gebang
Bahan Konstruksi : Beton bertulang kedap air
Dimensi : P=69,56 meter ; L=20 meter T=2 meter
Kelebihan :
 Konstruksi sederhana; dan
 Biaya operasional rendah karena tidak membutuhkan energi listrik dalam
operasinya.
Kekurangan :
 Kebutuhan lahan besar (Direktorat Jendral Cipta, 2018).

3.2.7. Bak Kontrol


Bak kontrol merupakan bak penampung limbah cair yag berasal dari kolam
maturasi. Bak tersebut difungsikan sebagai indicator baik atau buruknya kualitas
air limbah yang dihasilkan di IPLT. Bak kontrol terbuat dari beton bertulang
kedap air. Pada bak ini biasanya ditambahkan bioindicator sebagai penentu
kualitas akhir dari pengolahan lumpur tinja sebelum di buang ke badan air.

Gambar 3.2.7 Bak Kontrol


Sumber : Dokumentasi IPLT Pulo Gebang
3.3 Perawatan Yang Dilakukan Terhadap Struktur Bangunan Di IPLT Pulo
Gebang

Perawatan yang dilakukan di IPLT Pulo Gebang adalah sebagai berikut:

 Pemeriksaan terhadap perpipaan inlet dan Outlet dilakukan setiap hari,


apabila ditemukan terjadi penyumbatan segera dilakukan pembersihan
oleh operator.
 Secara periodik dilakukan pengujian laboratorium dengan parameter uji
BOD, COD, TSS, N, P antara 3 - 6 bulan sekali untuk mengetahui
performance dari kolam Anaerobik.
 Pembersihan permukaan kolam dilakukan setiap hari, apabila ditemukan
material padatan (sampah) yang mengapung segera diambil untuk
menghindari penyumbatan pipa inlet dan outlet
 Pemeriksaan dan pembersihan bak kontrol antara kolam anaerobik dan
fakultatif dilakukan setiap hari.
 Pemompaan lumpur dilakukan setiap ± 3 bulan sekali.
BAB 1V

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
 Pada unit – unit pengolahan lumpur tinja di IPLT Pulo Gebang rata – rata
struktur bangunan menggunakan beton bertulang yang kuat, rapi dan
kedap air.
 Konstruksi yang terlihat rapi salah satu contoh pada bak kontrol dan dasar
memiliki plesteran yang rata dan dibuat dengan kemiringan tertentu
sehingga air limbah dapat mengalir ke dalam saluran.
 Material beton bertulang bisa dibuat dari bahan-bahan lokal yang murah
seperti pasir, kerikil, dan air dan relatif hanya membutuhkan sedikit semen
dan tulangan baja.
 Proses Pengolahan Lumpur Tinja IPLT Pulo Gebang Instalasi pengolahan
lumpur tinja (IPLT) adalah instalasi pengolahan air limbah yang didesain
hanya menerima lumpur tinja melalui mobil (truk tinja).
 Lumpur tinja diambil dari unit pengola limbah tinja seperti tangki septik
dan cubluk tunggal ataupun endapan lumpur dari unit pengolahan air
limbah lainya.
 Pengolahan lumpur tinja pada IPLT dibuat untuk dapat menstabilkan
senyawa organik dan meningkatkan padatan yang terkandung dalam
lumpur tinja sampai memenuhi persyaratan untuk dibuang ke lingkungan
atau dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu (Putri, 2015).
 Lumpur tinja yang diolah dengan sistem konvensional memerlukan waktu
yang cukup lama yaitu 28-30 hari, hal ini yang menjadi salah satu
pertimbangan penggunaan sistem konvensional lebih sedikit dibandingkan
sistem mekanik, namun kelebihan dari sistem konvensional yaitu
kemudahan serta biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih terjangkau
dibandingkan menggunakan sistem mekanik.
 Alur Sistem Pengolahan Sumber : Buku Panduan IPLT Pulo Gebang 2017
Urutan proses pengolahan lumpur tinja pada IPLT Pulo Gebang secara
konvensional adalah sebagai berikut:
1. Pada bak penerimaan terdapat saringan berupa
penangkap butiran pasir (treese) dan bar screen
untuk menyaring sampah padat sehingga terjadi
pemisahan antara lumpur beserta sampah padat dan
pasir dengan cairan limbah.
2. Bak penerimaan berfungsi untuk mengatur agar
debit aliran lumpur yang masuk ke unit berikutnya
menjadi konstan dan tidak berfluktuasi serta
menghomogenkan karakteristik lumpur tinja yang
masuk ke IPLT.
3. Kolam Aerasi Lumpur Tinja (Aerobic sludge
digester) Terdiri dari 8 (delapan) unit bak aerasi
yang secara bergantian diisi dengan lumpur air
kotor/tinja masing-masing hari pertama sampai hari
keenam (proses aerasi untuk masing-masing bak 6
hari).
4. Pada hari ke-7 dan 8 bak aerasi
dikosongkan/dipompa untuk selanjutnya diisi
kembali pada hari ke-9 dan diaerasi kembali selama
6 hari.
 Fungsi kolam Aerasi sebagai tempat berlangsungnya proses dekomposisi
limbah cair secara biologis dalam kondisi aerobik dengan memanfaatkan
lumpur aktif dan suplai udara ke dalam pengolahan.
 Kelebihan : Memiliki ketahanan yang baik terhadap shock loading;
Kemampuan mereduksi bakteri patogen tinggi; Kebutuhan lahan lebih
rendah dari sistem WSP dan biaya operasi lebih rendah dari unit lumpur
aktif lain; Tidak memiliki masalah yang berarti terhadap serangga dan bau.
 Kekurangan : Efluen dan lumpur yang ditimbulkan memerlukan
pengolahan lebih lanjut; Membutuhkan desain dari seorang ahli dan
pemantauan saat konstruksi; Membutuhkan waktu operasional full time
dan pemeliharaan oleh operator dengan keahlian khusus; Membutuhan
energi listrik yang terus menerus; Biaya operasional sedang hingga tinggi,
 Lumpur tinja akan mengendap selama 3-6 bulan sebelum dipompakan ke
bak hanggar pengering lumpur, sedangkan limbah cair akan mengalir
secara overflow menuju kolam fakultatif.
 Konsentrasi lumpur relatif kecil dibandingkan dengan volume cairan,
sehingga kolam lumpur dapat diisi secara terus-menerus sampai tinggi
endapan lumpur mencapai separuh tinggi/kedalaman kolam lumpur.
 Kolam lumpur berfungsi untuk memisahkan lumpur dan airnya dengan
cara mengendapkan serta menguraikan zat organik (BOD dan COD) dan
padatan tersuspensi dengan cara anaerobik (tanpa oksigen).
 Hanggar Pengering Lumpur yang mengendap pada kolam Pengendapan
Lumpur tadi dikuras secara rutin setiap 6 bulan sekali lalu lumpurnya di
alirkan menggunakan pompa ke Hanggar pengeringan lumpur (Sludge
Drying bed).
 Metode pengeringan, Hanggar pengering menggunakan penyaring filter
pasir, batu split dan ijuk berfungsi sebagai media penyaring untuk
memisahkan cairan dan padatan lumpur sehingga air yang tersaring akan
keluar melalui drainase. Pengeringan lumpur terjadi secara alami dengan
lama waktu pengeringan selama 6 bulan.
 Kolam Fakultatif Kolam fakultatif merupakan kolam yang memiliki
lapisan aerob dan lapisan anaerob.
 Kolam Fakultatif berfungsi untuk menguraikan dan menurunkan
konsentrasi bahan organik yang ada di dalam limbah yang telah diolah
pada Kolam Anaerobik.
 Di dalam sistem Kolam Fakultatif, air limbah berada pada kondisi aerobik
dan anaerobik pada waktu yang bersamaan.
 Lumpur yang terbentuk sangat kaya akan mikroba anaerob yang akan terus
mencerna (digest) dan memperlambat proses pengendapan lumpur ke
dasar kolam.
 Lumpur yang mengendap harus dikuras secara periodik bergantung pada
iklim, disain kolam dan program pemeliharaan yang dijalankan.
 Bahan Konstruksi : Beton bertulang kedap air Dimensi P=118,40 meter ;
L=17 meter T=2 meter
 Kelebihan Kolam Fakultatif : Sangat efektif menurunkan jumlah atau
konsentrasi bakteri patogen hingga (60-99)%, Mampu menghadapi beban
yang berfluktuasi, Operasi dan perawatan mudah sehingga tidak
memerlukan keahlian tinggi, Biaya operasi dan perawatan murah
Kelemahan Kolam Fakultatif
 Kolam Fakultatif ini memerlukan luas lahan yang besar, Waktu tinggal
yang lama, bahkan beberapa literatur menyarankan waktu tinggal antara
(20- 150) hari , Jika tidak dirawat dengan baik, maka kolam dapat menjadi
sarang bagi serangga seperti nyamuk, Berpotensi mengeluarkan bau,
Memerlukan pengolahan lanjutan terutama akibat pertumbuhan algae pada
kolam
 Kolam Maturasi Kolam Maturasi digunakan untuk mengolah air limbah
yang berasal dari Kolam aerasi dan biasanya disebut sebagai kolam
pematangan.
 Berdasarkan data yang diperoleh dari IPLT Pulogebang Bulan April 2021,
Tingkat Keasaman berada di angka 7,93, kadar TSS 34,00 Angka BOD
45,30, Angka COD 62,94 dan Ammonia 11,89 yang seluruh parameter
tersebut sudah memenuhi syarat menurut peraturan yang berlaku
kesimpulannya ini membuktikan jika pengolahan dan struktur bangunan
yang dipilih cukup bagus untuk mendegredasi limbah berbahaya agar air
dapat dibuang ke badan air.
4.2. Saran
Sebaiknya pertahankan cara pengolahan dan pemilihan struktur bangunan
untuk dapat mendegradasi limbah berbahaya agar air dapat dibuang ke badan
air.
DAFTAR PUSTAKA

DIREKTORAT JENDRAL CIPTA KARYA KEMENTRIAN PEKERJAAN


UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT. 2018. Panduan Perencanaan
Teknik Terinci Bangunan Pengolahan Lumpur Tinja. Jakarta

DIREKTORAT JENDRAL CIPTA KARYA KEMENTRIAN PEKERJAAN


UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT. 2017. Pedoman Perencanaan
Teknik Terinci Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Jakarta

OKTARINA D. & HELMI H. 2013. Perencanaan Instalasi Pengolahan Lumpur


Tinja Sistem Kolam Kota Palembang (Studi Kasus: IPLT Sukawinatan).
Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan Vol.1, No.1

SETIAWAN A. 2013. Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD Edisi


Kedua (Berdasarkan SNI 03-1729-2002). Penerbit Erlangga.

PUTRI N.C. 2015. Kajian Implementasi Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja di


Indonesia. Tugas Akhir. Teknik Sipil dan Perencanaan. Teknik Lingkungan.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

FADILA H. 2018. Pemanfaatan Lumpur Tinja Sebagai Pupuk Kompos


Pada Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) Pulo Gebang. Skripsi.
Teknik. Teknik Lingkungan. Universitas Sahid. Jakarta

7.

Anda mungkin juga menyukai