PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Rumusan masalah pada karya tulis ini diantaranya:
a. Mengetahui struktur bangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja di IPLT
Pulo Gebang
b. Mengetahui pengaruh karakteristik limpur tinja terhadap proses pengolahan
di IPLT.
c. Mengetahu perawatan yang dilakukan terhadap struktur bangunan
pH - 6–9 6-9
KMnO4 mg / L 85 85
TSS mg / L 50 50
Amoniak mg / L 10 10
COD mg / L 100 80
BOD mg / L 75 50
b. Bau
Karakteristik bau yang selalu ada pada lumpur tinja adalah bau yang
disebabkan karena adanya hidrogen sulfida, yang diproduksi oleh konversi
anaerobik sulfat untuk sulfida. Senyawa yang menyebabkan bau saat menangani
lumpur tinja adalah sulfida, merkaptan, amina, aldehida, skatoles dan asam
organik (Tchobanoglous et al, 2003).
Intensitas bau bervariasi pada siang hari di instalasi pengolahan lumpur tinja
saat menerima lumpur tinja. Ini dikarenakan bahwa setiap truk yang penuh lumpur
tinja jumlahnya dapat bervariasi sehubungan dengan jumlah gas berbau yang
dilepaskan ketika lumpur tinja dikosongkan atau diangin-anginkan di instalasi
pengolahan.
Awal (Preliminary) Pada proses ini, padatan yang terbawa oleh air
limbah seperti kain, tongkat, kayu, kerikil dan
minyak dihilangkan guna untuk menghindari
masalah operasional dan menjaga unit pengolahan
operasi dan proses
Primer (Primary) Pada proses ini, padatan tersuspensi dan bahan
organik dari limbah cair dihilangkan
Primer lanjutan (Advanced Pada proses ini, padatan tersuspensi dan bahan
primary) organik dari air limbah dihilangkan dengan cara
penambahan koagulan atau adanya proses filtrasi
Sekunder (Secondary) Pada proses ini, material biodegradable organik
(dalam larutan atau suspensi) dan padatan
tersuspensi dihilangkan. Selain itu, pada proses ini
terdapat proses desinfeksi pertama.
Sekunder dengan Pada proses ini, materi organik biodegradable,
penghilangan nutrisi padatan tersuspensi, dan nutrisi (nitrogen, fosfor,
atau keduanya nitrogen dan fosfor) dihilangkan
Tersier (Tertiary) Pada proses ini, padatan tersuspensi residual
dihilangkan menggunakan filtrasi media granular
atau microscreens. Pada proses ini juga terdapat
proses desinfeksi kedua dan penghilangan nutrisi
pada air limbah guna menjadi pengaruh faktor
pertumbuhan mikroorganisme
Lanjutan (Advanced) Pada proses ini, bahan terlarut dan tersuspensi
yang tersisa dihilangkan melalui pengolahan
biologis, air hasil dari pengolahan biologis normal
akan digunakan kembali
Sumber : Tchobanoglous et al, 2003
Gambar 3.1 A. Pembangunan Bak Kontrol rapi dan B. Pembangunan Bak Kontrol
tidak rapi
1. Kuat tekan beton bertulang relatif lebih tinggi dari bahan lain konstruksi
lain.
2. Memiliki ketahanan yang tinggi terhadap api dan air. Tidak berkarat
karena air dan pada kasus kebakaran dengan intensitas rata-rata, struktur
dengan ketebalan penutup beton tertentu hanya mengalami kerusakan pada
permukaannya saja.
3. Struktur beton bertulang sangat kokoh.
4. Biaya pemeliharaan beton bertulang hampir sangat rendah
5. Durabilitas yang tinggi. Beton bertulang lebih awet dan tahan lama
dibandingkan dengan bahan lain. Normalnya sebuah struktur beton
bertulang dapat digunakan sampai jangka waktu yang sangat lama dengan
tidak kehilangan kemampuan menahan bebannya. Hal tersebut karena
hukum kimia proses pemadatan semen yang semakin lama akan semakin
membatu.
6. Untuk bahan pondasi tapak, dinding basement, tiang tumpuan jembatan,
dan semacamnya, beton bertulanglah pilihan paling hemat biaya.
7. Beton bertulang bisa dibuat dalam banyak bentuk untuk beragam fungsi
dan kegunaan, seperti bentuk pelat, balok. dari bentuk sederhana seperti
kolom hingga berbentuk atap kubah yang rumit.
8. Material beton bertulang bisa dibuat dari bahan-bahan lokal yang murah
seperti pasir, kerikil, dan air dan relatif hanya membutuhkan sedikit semen
dan tulangan baja.
9. Dibanding struktur baja, pembuatan dan instalasi konstruksi beton
bertulang lebih mudah dan cukup dengan tenaga berkeahlian rendah.
Kekurangan penggunaan beton bertulang sebagai bahan konstruksi utama adalah
sebagai berikut:
1. Waktu pengerjaan beton bertulang lebih lama.
2. Kualitas beton bertulang variatif bergantung pada kualifikasi para
pembuatnya
3. Dibutuhkan bekisting penahan pada saat pengecoran beton agar tetap di
tempatnya sampai beton tersebut mengeras. Berat beton sendiri sangat
besar (2,4 t/m3), sehingga konstruksi harus memiliki penampang yang
besar.
4. Diperlukannya penopang sementara untuk menjaga agar bekisting tetap
berada pada tempatnya sampai beton mengeras dan cukup kuat untuk
menahan beratnya sendiri.
5. Biaya bekisting reltif mahal hingga sepertiga atau dua pertiga dari total
biaya sebuah struktur beton.
Gambar 1.
Alur Sistem
Pengolahan
Sumber : Buku Panduan IPLT Pulo Gebang 2017
Urutan proses pengolahan lumpur tinja pada IPLT Pulo Gebang secara
konvensional adalah sebagai berikut:
3.2.1. Bak Penerimaan
Bak penerimaan merupakan unit penerima lumpur tinja dari truk tinja. Pada
bak penerimaan terdapat saringan berupa penangkap butiran pasir (treese) dan bar
screen untuk menyaring sampah padat sehingga terjadi pemisahan antara lumpur
beserta sampah padat dan pasir dengan cairan limbah. Saringan tersebut berguna
untuk melindungi pompa, katup, perpipaan dan perlengkapan lainnya dari
kerusakan akibat penyumbatan kotoran (Fadila, 2018). Bak penerimaan berfungsi
untuk mengatur agar debit aliran lumpur yang masuk ke unit berikutnya menjadi
konstan dan tidak berfluktuasi serta menghomogenkan karakteristik lumpur tinja
yang masuk ke IPLT. Berikut bak penerimaan lumpur tinja yang dapat dilihat
pada Gambar 3.2.1.
Kelebihan :
Memiliki ketahanan yang baik terhadap shock loading;
Kemampuan mereduksi bakteri patogen tinggi;
Kebutuhan lahan lebih rendah dari sistem WSP dan biaya operasi lebih
rendah dari unit lumpur aktif lain;
Tidak memiliki masalah yang berarti terhadap serangga dan bau.
Kekurangan :
Efluen dan lumpur yang ditimbulkan memerlukan pengolahan lebih lanjut;
Membutuhkan desain dari seorang ahli dan pemantauan saat konstruksi;
Membutuhkan waktu operasional full time dan pemeliharaan oleh operator
dengan keahlian khusus;
Membutuhan energi listrik yang terus menerus;
Biaya operasional sedang hingga tinggi, tergantung luas lahan dan
penggunaan listrik (Direktorat Jendral Cipta, 2018).
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pada unit – unit pengolahan lumpur tinja di IPLT Pulo Gebang rata – rata
struktur bangunan menggunakan beton bertulang yang kuat, rapi dan
kedap air.
Konstruksi yang terlihat rapi salah satu contoh pada bak kontrol dan dasar
memiliki plesteran yang rata dan dibuat dengan kemiringan tertentu
sehingga air limbah dapat mengalir ke dalam saluran.
Material beton bertulang bisa dibuat dari bahan-bahan lokal yang murah
seperti pasir, kerikil, dan air dan relatif hanya membutuhkan sedikit semen
dan tulangan baja.
Proses Pengolahan Lumpur Tinja IPLT Pulo Gebang Instalasi pengolahan
lumpur tinja (IPLT) adalah instalasi pengolahan air limbah yang didesain
hanya menerima lumpur tinja melalui mobil (truk tinja).
Lumpur tinja diambil dari unit pengola limbah tinja seperti tangki septik
dan cubluk tunggal ataupun endapan lumpur dari unit pengolahan air
limbah lainya.
Pengolahan lumpur tinja pada IPLT dibuat untuk dapat menstabilkan
senyawa organik dan meningkatkan padatan yang terkandung dalam
lumpur tinja sampai memenuhi persyaratan untuk dibuang ke lingkungan
atau dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu (Putri, 2015).
Lumpur tinja yang diolah dengan sistem konvensional memerlukan waktu
yang cukup lama yaitu 28-30 hari, hal ini yang menjadi salah satu
pertimbangan penggunaan sistem konvensional lebih sedikit dibandingkan
sistem mekanik, namun kelebihan dari sistem konvensional yaitu
kemudahan serta biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih terjangkau
dibandingkan menggunakan sistem mekanik.
Alur Sistem Pengolahan Sumber : Buku Panduan IPLT Pulo Gebang 2017
Urutan proses pengolahan lumpur tinja pada IPLT Pulo Gebang secara
konvensional adalah sebagai berikut:
1. Pada bak penerimaan terdapat saringan berupa
penangkap butiran pasir (treese) dan bar screen
untuk menyaring sampah padat sehingga terjadi
pemisahan antara lumpur beserta sampah padat dan
pasir dengan cairan limbah.
2. Bak penerimaan berfungsi untuk mengatur agar
debit aliran lumpur yang masuk ke unit berikutnya
menjadi konstan dan tidak berfluktuasi serta
menghomogenkan karakteristik lumpur tinja yang
masuk ke IPLT.
3. Kolam Aerasi Lumpur Tinja (Aerobic sludge
digester) Terdiri dari 8 (delapan) unit bak aerasi
yang secara bergantian diisi dengan lumpur air
kotor/tinja masing-masing hari pertama sampai hari
keenam (proses aerasi untuk masing-masing bak 6
hari).
4. Pada hari ke-7 dan 8 bak aerasi
dikosongkan/dipompa untuk selanjutnya diisi
kembali pada hari ke-9 dan diaerasi kembali selama
6 hari.
Fungsi kolam Aerasi sebagai tempat berlangsungnya proses dekomposisi
limbah cair secara biologis dalam kondisi aerobik dengan memanfaatkan
lumpur aktif dan suplai udara ke dalam pengolahan.
Kelebihan : Memiliki ketahanan yang baik terhadap shock loading;
Kemampuan mereduksi bakteri patogen tinggi; Kebutuhan lahan lebih
rendah dari sistem WSP dan biaya operasi lebih rendah dari unit lumpur
aktif lain; Tidak memiliki masalah yang berarti terhadap serangga dan bau.
Kekurangan : Efluen dan lumpur yang ditimbulkan memerlukan
pengolahan lebih lanjut; Membutuhkan desain dari seorang ahli dan
pemantauan saat konstruksi; Membutuhkan waktu operasional full time
dan pemeliharaan oleh operator dengan keahlian khusus; Membutuhan
energi listrik yang terus menerus; Biaya operasional sedang hingga tinggi,
Lumpur tinja akan mengendap selama 3-6 bulan sebelum dipompakan ke
bak hanggar pengering lumpur, sedangkan limbah cair akan mengalir
secara overflow menuju kolam fakultatif.
Konsentrasi lumpur relatif kecil dibandingkan dengan volume cairan,
sehingga kolam lumpur dapat diisi secara terus-menerus sampai tinggi
endapan lumpur mencapai separuh tinggi/kedalaman kolam lumpur.
Kolam lumpur berfungsi untuk memisahkan lumpur dan airnya dengan
cara mengendapkan serta menguraikan zat organik (BOD dan COD) dan
padatan tersuspensi dengan cara anaerobik (tanpa oksigen).
Hanggar Pengering Lumpur yang mengendap pada kolam Pengendapan
Lumpur tadi dikuras secara rutin setiap 6 bulan sekali lalu lumpurnya di
alirkan menggunakan pompa ke Hanggar pengeringan lumpur (Sludge
Drying bed).
Metode pengeringan, Hanggar pengering menggunakan penyaring filter
pasir, batu split dan ijuk berfungsi sebagai media penyaring untuk
memisahkan cairan dan padatan lumpur sehingga air yang tersaring akan
keluar melalui drainase. Pengeringan lumpur terjadi secara alami dengan
lama waktu pengeringan selama 6 bulan.
Kolam Fakultatif Kolam fakultatif merupakan kolam yang memiliki
lapisan aerob dan lapisan anaerob.
Kolam Fakultatif berfungsi untuk menguraikan dan menurunkan
konsentrasi bahan organik yang ada di dalam limbah yang telah diolah
pada Kolam Anaerobik.
Di dalam sistem Kolam Fakultatif, air limbah berada pada kondisi aerobik
dan anaerobik pada waktu yang bersamaan.
Lumpur yang terbentuk sangat kaya akan mikroba anaerob yang akan terus
mencerna (digest) dan memperlambat proses pengendapan lumpur ke
dasar kolam.
Lumpur yang mengendap harus dikuras secara periodik bergantung pada
iklim, disain kolam dan program pemeliharaan yang dijalankan.
Bahan Konstruksi : Beton bertulang kedap air Dimensi P=118,40 meter ;
L=17 meter T=2 meter
Kelebihan Kolam Fakultatif : Sangat efektif menurunkan jumlah atau
konsentrasi bakteri patogen hingga (60-99)%, Mampu menghadapi beban
yang berfluktuasi, Operasi dan perawatan mudah sehingga tidak
memerlukan keahlian tinggi, Biaya operasi dan perawatan murah
Kelemahan Kolam Fakultatif
Kolam Fakultatif ini memerlukan luas lahan yang besar, Waktu tinggal
yang lama, bahkan beberapa literatur menyarankan waktu tinggal antara
(20- 150) hari , Jika tidak dirawat dengan baik, maka kolam dapat menjadi
sarang bagi serangga seperti nyamuk, Berpotensi mengeluarkan bau,
Memerlukan pengolahan lanjutan terutama akibat pertumbuhan algae pada
kolam
Kolam Maturasi Kolam Maturasi digunakan untuk mengolah air limbah
yang berasal dari Kolam aerasi dan biasanya disebut sebagai kolam
pematangan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari IPLT Pulogebang Bulan April 2021,
Tingkat Keasaman berada di angka 7,93, kadar TSS 34,00 Angka BOD
45,30, Angka COD 62,94 dan Ammonia 11,89 yang seluruh parameter
tersebut sudah memenuhi syarat menurut peraturan yang berlaku
kesimpulannya ini membuktikan jika pengolahan dan struktur bangunan
yang dipilih cukup bagus untuk mendegredasi limbah berbahaya agar air
dapat dibuang ke badan air.
4.2. Saran
Sebaiknya pertahankan cara pengolahan dan pemilihan struktur bangunan
untuk dapat mendegradasi limbah berbahaya agar air dapat dibuang ke badan
air.
DAFTAR PUSTAKA
7.