Anda di halaman 1dari 33

PROPOSAL

PENGEMBANGAN MODUL KIMIA BAHAN ALAM

BERBASIS KEARIFAN LOKAL TRADISI SAMPURU

MASYARAKAT BIMA PADA MATERI TERPENOID

OLEH

NURUL AIN

( 15.231.008 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS SAINS TEKNIK DAN TERAPAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN MANDALIKA MATARAM

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan sebuah proses yang digunakan oleh setiap

individu guna untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, wawasan, serta dalam

mengembangkan sikap dan keterampilan. Adapun tujuan dari pendidikan

yaitu menciptakan sumber daya manusia yang handal melalui proses kegiatan

pembelajaran di sekolah maupun di perguruan tinggi. Sumber daya manusia

yang handal apabila dapat bertindak sebagai penggerak utama dalam

melestarikan dan menciptakan sumber daya alam yang dapat digunakan untuk

kelangsungan hidup manusia di bumi (Umiarso dan Zamroni, 2011). Proses

kegiatan pembelajaran dapat diperoleh dimana saja dan kapan saja. Kimia

bahan alam merupakan salah satu mata kuliah wajib yang ditempuh di

semester VI oleh mahasiswa program studi pendidikan kimia. Mata kuliah

kimia bahan alam mempelajari senyawa metabolit sekunder yang terkandung

dalam tumbuhan, pengertian senyawa bahan alam, klasifikasi, struktur,

biosintesis, metode is olasi dan identifikasi senyawa golongan terpenoid,

steroid, flavonoid, polifenol, alkaloid (RPS Kimia Bahan Alam, 2018).

Senyawa metabolit sekuder dapat diperoleh dari berbagai jenis tanaman yang

ada di Indonesia. Berdasarkan data dari Indonesian Biodoversity Strategy and

Action Plan (IBSAP), Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman

hayati yang melimpah yang dibuktikan dengan tumbuh suburnya berbagai

jenis tumbuhan. Keanekaragaman tumbuhan tersebut merupakan sumber dari


senyawa metabolit sekunder yang diketahui memiliki banyak manfaat, salah

satunya dijadikan sebagai obat tradisional dari generasi ke generasi secara

turun temurun oleh masyarakat (Raharjo, 2013).

Kabupaten Bima merupakan salah satu daerah di Propinsi NTB yang

memiliki kekayan alam melimpah terutama tumbuhan obat. Potensi tumbuhan

obat tersebut dimanfaatkan dan dikelolah oleh masyarakat di setiap

Kecematan yang ada di Kabupaten Bima sebagai hasil alam yang berguna

bagi kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan dan pemanfaatan berbagai

tumbuhan obat tradisional oleh masyarakat pada umumnya didasarkan pada

pengetahuan lokal dan kebijakan yang telah dipatuhi sebagai tradisi dan

hukum adat yang diwariskan secara turun temurun.

Masyarakat Desa Dena Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima,

Nusa Tenggara Barat memiliki banyak sekali kearifan lokal. Kearifan lokal

tersebut tidak hanya yang berfokus pada budaya dan tradisi namun juga aspek

kesehatan, salah satunya adalah masyarakat selalu menggunakan tradisi

”sampuru” yang artinya mengunyah rempah-rempah seperti pinang, daun

sirih, kapur, cengkeh, pala, merica dan jahe, lalu disemburkan kepada

seseorang, berkhasiat menghangatkan/menyegarkan badan seperti badan yang

sakit, pegal-pegal, kedinginan, untuk ibu-ibu hamil yang selesai melahirkan

dan ibu-ibu menyusui, serta untuk anak-anak yang sering mengompol.

Direktorat Jendral Penjaminan Mutu Pendidikan dan Tenaga

Kependidikan (2008) megungkapkan modul berupa bahan ajar cetak yang

disusun untuk dipergunakan oleh mahasiswa untuk dapat dipelajari secara

mandiri. Artinya, mahasiswa dapat melaksanakan kegiatan belajar tanpa


adanya pengajar yang membimbing proses belajar mengajar secara langsung.

Modul yang baik memiliki karakteristik sebagai berikut: self instruction, self

contained, stand alone, adaptive dan user friendly. Dengan penggunaan

modul sebagai panduan kegiatan praktikum diharapkan dapat meningkatkan

pemahaman mahasiswa.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan melakukan penelitian

yang berjudul “Pengembangan Modul Praktikum Kimia Bahan Alam

Berbasis Kearifan Lokal Tradisi Sampuru Masyarakat Bima Pada Materi

Terpenoid”

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain :

1. Bagaimana bentuk pengembangan modul kimia bahan alam berbasis

kearifan lokal tradisi sampuru masyarakat Bima pada materi terpenoid?

2. Bagaimana kelayakan modul kimia kimia bahan alam berbasis kearifan

lokal tradisi sampuru masyarakat Bima pada materi terpenoid?

3. Bagaimana respon peserta didik terhadap modul kimia bahan alam

berbasis kearifan lokal tradisi sampuru masyarakat Bima pada materi

terpenoid?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian pengembangan ini yaitu :

1. Untuk mengetahui bentuk mengembangan modul kimia bahan alam

berbasis kearifan lokal tradisi sampuru masyarakat Bima pada materi

terpenoid?
2. Untuk mengetahui kelayakan modul kimia kimia bahan alam berbasis

kearifan lokal tradisi sampuru masyarakat Bima pada materi terpenoid?

3. Untuk mengetahui respon peserta didik terhadap modul kimia bahan alam

berbasis kearifan lokal tradisi sampuru masyarakat Bima pada materi

terpenoid?

3.1 Manfaat Penelitian

Dengan penelitian ini hasilnya dapat bermanfaat :

3.1.1 Bagi Peserta Didik

Hasil penelitian mampu memberikan sumber belajar yang bervariasi

bagi peserta didik agar dapat belajar secara mandiri dan dapat

memotivasi peserta didisk dalam proses pembelajaran untuk mencapai

pengusaan kompetensi.

3.1.2 Bagi Pendidik

Hasil penelitian ini dapat membantu pendidik untuk mendapatkan

bahan ajar yang menarik dan menambah wawasan mengenai bahan

ajar berbasis kearifan lokal serta mempermudah pendidik dalam

melatih kemandirian peserta didik dalam belajar.

3.1.3 Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan untuk

mengembangkan bahan ajar yang layak dan menarik bagi peserta didik

dan menambah referensi penelitian pendidikan, khususnya

pengembangan bahan ajar.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Definisi Pengembangan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2002

Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan

memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya

untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi

yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru. Pengembangan adalah suatu proses

yang dipakai untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Penelitian

ini mengikuti suatu langkah-langkah secara siklus. Langkah penelitian atau proses

pengembangan ini terdiri atas kajian tentang temuan penelitian produk yang akan

dikembangkan, mengembangkan produk berdasarkan temuan-temuan tersebut,

melakukan uji coba lapangan sesuai dengan latar di mana produk tersebut akan

dipakai, dan melakukan revisi terhadap hasil uji lapangan (Punaji Setyosari, 2013:

222-223).

Pada hakikatnya pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun

non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan

bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing,

mengembangkan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh, selaras, pengetahuan,

keterampilan sesuai dengan bakat, keinginan serta kemampuan kemampuan sebagai

bekal atas prakarsa sendiri untuk menambah, meningkatkan, mengembangkan diri ke

arah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal dan pribadi

mandiri (Iskandar Wiryokusumo dalam Afrilianasari ; 2014)


Pengembangan adalah suatu sistem pembelajaran yang bertujuan untuk

membantu proses belajar peserta didik, yang berisi serangkaian peristiwa yang

dirancang untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar yang

bersifat internal atau segala upaya untuk menciptakan kondisi degan sengaja agar

tujuan pembelajaran dapat tercapai (Gagne dan Brings dalam Warsita, 2003: 266)

Dari beberapa pendapat para ahli yang ada ditarik kesimpulan bahwa pengembangan

merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar, terencana dan terarah untuk

membuat atau memperbaiki, sehingga menjadi produk yang semakin bermanfaat

untuk meningkatkan dan mendukung serta meningkatkan kualitas sebagai upaya

menciptakan mutu yang lebih baik.

2.1.2 Modul Sebagai Bahan Ajar

2.1.2.1 Pengertian Modul

Modul merupakan bahan ajar cetak yang dapat mendukung proses

pembelajaran sebagai penyalur pesan yang bisa disebut dengan istilah visual verbal.

Russel (dalam Sungkono, 2003) menjelaskan bahwa modul merupakan suatu paket

belajar yang berkenaan dengan suatu unit bahan pelajaran. Dengan menggunakan

modul peserta belajar dapat menyelesaikan bahan belajarnya secara mandiri atau

individual. Dengan menggunakan modul, peserta belajar dapat mengukur dan

mengontrol kemampuan serta intensitas belajarnya. Modul dapat digunakan kapan

saja dan dimana saja. Lama penggunaan modul tidak tertentu, tergantung mengelola

waktu belajarnya, karena penggunaan modul bersifat fleksibel.

Modul dapat dirumuskan sebagai unit yang lengkap dan berdiri sendiri dan

terdiri atas su atu unit rangkaian kegiatan yang disusun membantu mahasiswa

mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas, (Nasution,

2003). Pendapat lain mengatakan bahwa Modul ialah bahan belajar yang dirancang
secara sistematik berdasarkan kurikulum tertentu dan dikemas dalam bentuk satuan

pembelajaran terkecil dan memungkinkan dipelajari secara mandiri dalam satuan

waktu tertentu, (Purwanto dkk, 2007).

Sudjana dan Rifai (2002) makna modul menurut istilah asalnya, adalah alat

ukur yang lengkap, merupakan unit yang berfungsi secara mandiri, terpisah tetapi

juga dapat berfungsi sebagai kesatuan dari seluruh unit lainnya. Modul merupakan

jenis kesatuan kegiatan belajar yang terencana, dirancang untuk membantu para

mahasiswa secara individual dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Modul bisa

dipandang sebagai paket program pengajaran yang terdiri dari komponen-komponen

yang berisi tujuan belajar, bahan ajar, metode belajar, alat atau media, serta sumber

belajar dan sistem evaluasinya.

Majid (2008) mengatakan bahwa pembelajaran dengan modul memungkinkan

mahasiswa yang memiliki kecepatan tinggi dalam belajar maka akan lebih cepat

menyelesaikan satu atau lebih kompetensi dasar dibandingkan dengan mahasiswa

yang lainnya. Oleh sebab itu, modul harus menggambarkan kompetensi dasar yang

akan dicapai oleh mahasiswa, disajikan dengan menggunakan bahasa yang baik,

menarik, dan dilengkapi dengan gambar atau ilustrasi.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, pada dasarnya modul adalah sebuah

bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang mudah

dipahami oleh mahasiswa sesuai dengan tingkat pengetahuan dan usianya agar dapat

membantu mereka dalam belajar secara mandiri dengan bantuan atau tanpa bimbingan

yang minimal dari pendidik. Dengan demikian mengisyaratkan bahwa dalam

penyusunan modul memiliki arti penting bagi kegiatan pembelajaran. Arti penting ini

diantaranya adalah fungsi, tujuan, dan kegunaan modul bagi kegiatan pembelajaran,

(Prastowo, 2014).
2.1.2.2 Fungsi dan Tujuan Modul

Modul memiliki fungsi dalam membantu terlaksanakannya proses

pembelajaran. Fungsi modul menurut Prastowo (2015: 107-108) dapat dijelaskan

sebagai berikut :

1. Sebagai bahan ajar mandiri. Mahasiswa dapat belajar sendiri dengan

menggunakan modul tanpa harus adanya guru.

2. Pengganti fungsi pendidik. Dalam hal ini, modul dapat menggantikan guru

untuk menjelaskan suatu materi sehingga pembuatannya dengan bahasa yang

mudah dipahami oleh mahasiswa.

3. Sebagai alat evaluasi. Mahasiswa dapat mengukur kemampuan memahami

materi melalui modul yang telah dipelajari.

4. Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa. Hal ini karena modul berisi mengenai

materi yang harus dipelajari oleh mahasiswa.

Modul juga memiliki tujuan dalam pembuatannya. Tujuan pembuatan modul

dalam pembelajaran menurut Prastowo (2015: 108-109) dapat dijelaskan sebagai

berikut :

1. Supaya mahasiswa dapat belajar mandiri baik dengan bimbingan guru maupun

tidak dengan bimbingan guru.

2. Supaya peran guru tidak terlalu dominan dan otoriter dalam pembelajaran.

3. Untuk melatih kejujuran pada mahasiswa.

4. Mengakomodasi tingkat kecepatan belajar mahasiswa. Mahasiswa yang

memiliki tingkat belajar yang cepat akan dapat menyelesaikan modul dengan

cepat, sedangkan mahasiswa yang tingkat belajarnya lambat diharapkan untuk

dapat mengulangi mempelajari materi melalui modul.

5. Supaya mahasiswa dapat mengukur tingkat pemahaman materi secara sendiri.


2.1.2.3 Langkah-langkah Pengembangan Modul

Menurut Prastowo (2015: 112-113) modul paling tidak memiliki tujuh unsur

yaitu judul, petunjuk belajar, kompetensi, informasi pendukung, latihan-latihan,

lembar kerja, dan evaluasi. Selain itu, ada pendapat lain dari Surahman (Prastowo,

2015: 113-114) mengenai struktur modul yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Judul modul. Bagian judul modul berisi nama modul.

2. Petunjuk umum. Bagian ini berisi penjelasan langkah-langkah yang akan

ditempuh dalam pembelajaran seperti kompetensi dasar, pokok bahasan,

indikator, dan lainnya.

3. Materi modul. Bagian ini berisi materi secara rinci yang akan diberikan.

4. Evaluasi Semester. Evaluasi ini untuk mengukur kompetensi yang dikuasai

mahasiswa.

Terdapat beberapa prosedur yang harus dilakukan dalam penyusunan modul.

Prosedur penulisan modul menurut Depdiknas (2008: 12-16) dapat dijelaskan sebagai

berikut :

1. Analisis Kebutuhan Modul

Tahap ini adalah menentukan kompetensi, tujuan , dan judul modul.

Langkah analisis kebutuhan modul dapat dilakukan dengan :

a) Menetapkan kompetensi berdasarkan garis besar program pembelajaran.

b) Mengidentifikasi ruang lingkup kompetensi.

c) Mengidentifikasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang akan

dikembangkan.

d) Menentukan judul modul sesuai materi.

e) Kegiatan analisis dilakukan pada awal pengembangan modul.

2. Penyusunan Draft
Proses ini merupakan pengorganisasian materi pembelajaran menjadi

satu kesatuan yang utuh dan sistematis. Proses ini dapat dilaksanakan melalui

langkah sebagai berikut :

a) Menetapkan judul modul.

b) Menetapkan kemmapuan yang harus dicapai mahasiswa.

c) Menetapkan kemampuan spesifik yang menunjang tujuan akhir.

d) Menetukan garis-garis besar (outline) modul.

e) Mengembangkan materi berdasarkan garis-garis besar.

f) Memeriksa ulang draft yang telah dihasilkan.

Dalam penyususnan draft modul minimal dapat mencakup :

a) Judul modul

b) Kompetensi yang akan dicapai

c) Tujuan yang akan dicapai mahasiswa

d) Materi pelatihan yang berisi pengetahuan, keterampilan, dan sikap

e) Prosedur atau kegiatan pelatihan untuk mempelajari modul

f) Soal-soal latihan atau tugas yang harus dikerjakan mahasiswa

g) Evaluasi untuk mengukur kemampuan mahasiswa

h) Kunci jawaban dari soal, latihan, atau evaluasi

3. Uji Coba

Uji coba draft modul merupakan penggunaan modul pada mahasiswa

dalam jumlah terbatas. Hal ini untuk mengetahui keterlaksanaan dan manfaat

modul dalam pembelajaran. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah :

a) Menggandakan jumlah modul sebanyak peserta yang akan mengikuti uji

coba.

b) Menyusun instrumen untuk uji coba.


c) Mendistribusikan instrumen dan draft modul pada peserta uji coba.

d) Menginformasikan kepada peserta tentang tujuan uji coba dan kegiatan

yang harus dilakukan peserta.

e) Mengumpulkan kembali draft modul dan instrumen uji coba.

f) Memproses dan menyimpulkan hasil pengumpulan masukan melalui

instrumen uji coba.

Dalam uji coba, terdapat dua jenis yaitu uji coba dalam

kelompok kecil dan uji coba lapangan. Uji coba kelompok kecil dilakukan

pada 2-4 mahasiswa, sedangkan uji coba lapangan dilakukan pada 20-29

mahasiswa

4. Validasi

Validasi dilakukan untuk mendapat persetujuan atau pengesahan

kesesuaian modul dengan kebutuhan. Validasi dilakukan dengan melibatkan

ahli ataupun praktisi sesuai bidang yang terkait dalam modul. Validasi dapat

dimintakan dari beberapa pihak seperti ahli materi, ahli bahasa, dan ahli

metode. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah :

a) Menyiapkan dan menggandakan draft modul sesuai jumlah validator.

b) Menyususn instrumen pendukung validasi.

c) Mendistribusikan draft modul dan instrumen kepada peserta validator.

d) Mengumpulkan kembali draft modul dan instrumen yang telah diisi

validator.

e) Memproses dan menyimpulkan hasil masukan dari para validator.

5. Revisi

Perbaikan merupakan proses menyempurnakan modul setelah

mendapat masukan dari kegiatan uji coba dan validasi. Proses ini bertujuan
untuk melakukan finalisasi atau penyempurnaan akhir modul. Perbaikan

modul harus mencakup aspek antara lain :

a) Pengorganisasian materi pelajaran.

b) Penggunaan metode instruksional.

c) Penggunaan bahasa

d) Pengorganisasian tata tulis dan layout.

2.1.3 Kearifan Lokal

2.1.3.1 Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang

menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang

berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri (Wibowo, 2015).

Identitas dan Kepribadian tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan hidup

masyarakat sekitar agar tidak terjadi pergesaran nilai-nilai. Kearifan lokal adalah

salah satu sarana dalam mengolah kebudayaan dan mempertahankan diri dari

kebudayaan asing yang tidak baik.

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai

strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal

dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam

bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat local wisdom atau

pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat local genious

(Fajarini, 2014). Berbagai strategi dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjaga

kebudayaannya. Hal senada juga diungkapkan oleh Alfian (2013) Kearifan lokal

diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan

yang berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi

kebutuhan mereka. Berdasarkan pendapat Alfian itu dapat diartikan bahwa kearifan
lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah mentradisi dilakukan oleh sekelompok

masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan

keberadaannya oleh masyarakat hukum adat tertentu di daerah tertentu. Berdasarkan

pengertian di atas dapat diartikan bahwa local wisdom (kearifan lokal) dapat dipahami

sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,

bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Selanjutnya Istiawati, (2016) berpandangan bahwa kearifan lokal merupakan

cara orang bersikap dan bertindak dalam menanggapi perubahan dalam lingkungan

fisik dan budaya. Suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh

dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat dari yang sifatnya

berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai dengan yang profan (bagian

keseharian dari hidup dan sifatnya biasa-biasa saja). Kearifan lokal atau local wisdom

dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana,

penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Menurut Rusilowati dkk, (2015) pada penelitiannya yang berjudul “ Natural

Disaster Vision Learning SETS integrated in Subject of Physics-Based Local

Wisdom” menjelaskan bahwa kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang berlaku

dalam suatu masyarakat, yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam

bertingkah laku sehari-hari, serta menggambarkan cara bersikap dan bertindak untuk

merespon perubahan-perubahan yang khas dalam lingkungan fisik maupun cultural.

2.1.3.2 Macam-Macam Kearifan Lokal

Haryanto (2014) menyatakan bentuk-bentuk kearifan lokal adalah

Kerukunan beragaman dalam wujud praktik sosial yang dilandasi suatu kearifan dari

budaya. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa budaya (nilai,

norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus).
Nilai-nilai luhur terkait kearifan lokal meliputi Cinta kepada Tuhan, alam semester

beserta isinya, Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, Jujur, Hormat dan santun,

Kasih sayang dan peduli, Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah,

Keadilan dan kepemimpinan, Baik dan rendah hati, Toleransi, cinta damai, dan

persatuan.

Hal hampir serupa dikemukakan oleh Wahyudi (2014) kearifan lokal

merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi

seluruh aspek kehidupan, berupa Tata aturan yang menyangkut hubungan antar

sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu maupun

kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam kepemerintahan dan adat, aturan

perkawinan antar klan, tata karma dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.4 Tradisi Sampuru

Pemanfaatan tumbuhan lokal sebagai sumber obat-obatan merupakan

alternatif ke depan yang dapat dikembangkan, tumbuhan obat dapat menjadi alternatif

pilihan untuk mengobati berbagai jenis penyakit, selain itu efek negatif yang

ditimbulkan dari penggunaan obat tradisional lebih kecil dibandingkan penggunaan

obat kimia buatan (modern) (Metananda, 2012).

Sampuru merupakan tradisi yang sering dilakukan masyarakat Suku Bima-

Dompu dari zaman dulu hingga sekarang yang memanfaatkan tumbuhan obat, meski

hanya sebagian orang saja yang melakukannya. Mama istilah Mbojo (Bima dan

Dompu) yang dilakukan untuk sampuru yang artinya mengunyah rempah-rempah

seperti pinang, daun sirih, kapur, cengkeh, pala, merica dan jahe, lalu disemburkan

kepada seseorang, berkhasiat menghangatkan/ menyegarkan badan seperti badan


yang sakit, pegal-pegal, kedinginan, untuk ibu-ibu hamil, selesai melahirkan dan

menyusui, anak-anak yang sering mengompol. Kombinasi aneka bahan herbal ini

akan membuat proses sampuru menghasilkan sensasi rasa hangat dan pedas. Setelah

disembur biasanya didiamkan beberapa saat hingga kering. Agar rasa hangatnya lebih

meresap maka dapat juga dengan cara menutupinya dengan kain pada bagian-bagian

yang disemburi. Sampuru ini merupakan tradisi lama yang harus tetap dipertahankan

dan harus lebih dikembangkan untuk menjaga nilai tradisi dan kebiasaan lama Suku

Bima Dompu agar tetap terjaga keutuhan kearifan lokalnya.

Biasanya tanaman herbal (obat) dapat menghasilkan senyawa-senyawa

metabolit sekunder yang bersifat toksik dan dapat digunakan untuk mengobati

berbagai jenis penyakit pada manusia, misalnya tradisi sampuru ini. Golongan

senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid dan

triterpenoid (Harborne, 1987). Untuk mengkaji secara ilmiah senyawa penting yang

terdapat pada tumbuhan obat tradisional yang dapat bermanfaat terhadap kesehatan

dan berfungsi sebagai obat, maka perlu adanya ekstraksi senyawa metabolit sekunder

dan uji fitokimia.

Pada tanaman obat yang digunakan pada tradisi sampuru ini diantaranya

pinang, daun sirih, kapur, cengkeh, pala, merica dan jahe, masing-masing memiliki

kandungan senyawa yang berbeda-beda, dan sudah banyak penelitian sebelumnya

yang telah melakukan penelitian kandungan metabolisme sekunder serta uji fitokimia

dari obat-obat tradisional ini.

Menurut Mamonto,dkk., (2014) menyatakan bahwa kulit biji pinang

mempunyai potensi sebagai antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 46,67 pada ekstrak

metanol. Selain itu, menurut Revina Petrina, dkk., (2017) menyatakan bahwa kulit biji

pinang sirih (Areca catechu L) mempunyai sifat antioksidan yang kuat dengan nilai
IC50 sebesar 7,695 ppm. Antioksidan memiliki peran penting untuk mencegah

kerusakan jaringan sel disebabkan adanya radikal bebas. Antioksidan mendonasikan

satu atau lebih elektron mengarah pada senyawa oksidan satu atau lebih sehingga

menjadi stabil. Antioksidan dapat juga mengeleminasi senyawa radikal bebas didalam

tubuh sehingga tidak dapat menginduksi suatu penyakit (Kikuzaki,dkk, 2002).

Selanjutnya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Afifah Rukmini, dkk

(2020) bahwa pada tumbuhan daun sirih (Piper Batle) terdapat salah satu

senyawa metabolit sekunder yaitu senyawa flavonoid yang bekerja menghambat fase

penting dalam biosintesis prostaglandin, yaitu pada lintasan siklooksigenase. Daun

Sirih telah dibuktikan memiliki daya antibakteri. Minyak dan ekstraknya dapat

melawan beberapa bakteri Gram positif dan Gram negatif (Candrasari, 2012).

Menurut Yadav (2014), daun Piper betle menunjukkan perantara yang sangat baik

dari fenolik dengan aktivitas antimutagenik, antitumor, antibakterial, dan antioksidan.

Pada daun cengkeh mengandung senyawa kimia berupa flavonoid,

triterpenoid, fenolat, dan tanin yang merupakan senyawa bersifat antibakteri (Huda,

Rodhiansyah, & Ningsih, 2018). Daun cengkeh juga diketahui mengandung senyawa

eucalyptol, kariofilen, αcardinol, dan limonene (Mohammed, Ahmed, & Hussien,

2015).

Hasil uji fitokimia ekstrak metanol tumbuhan pala mengandung senyawa

alkaloid, flavonoid, terpenoid dan tanin, sedangkan ekstrak etil asetat mengandung

senyawa alkaloid, flavonoid dan terpenoid. (Ginting, dkk, 2014). Berdasarkan hasil

penelitian dapat disimpulkan bahwa kualitas minyak atsiri buah pala yang didapat,

yaitu nilai indeks bias 1,475 sesuai dengan SNI 06-2388- 2006 dan dari hasil uji

toksisitas menunjukkan nilai LC50 sebesar 5, 192 ppm dan dapat dikatakan minyak
atsiri tumbuhan pala bersifat toksik dengan ditunjukkan hasil fitokimia yaitu minyak

atsiri buah pala mengandung senyawa terpenoid, flavonoid dan saponin.

Lada hitam merupakan salah satu tanaman yang telah terbukti memiliki

aktivitas antibakteri. Ekstrak etanol buah lada hitam memiliki aktivitas antibakteri

terhadap bakteri gram positif S. aureus dengan daya hambat > 10 mm (Pundir dan

Pranay, 2010). Erturk (2006) juga melaporkan bahwa ekstrak etanol dari buah lada

hitam memiliki daya hambat terhadap bakteri S. aureus dan Staphylococcus

epidermidis sebesar 12,5 mm dan 15 mm. Kandungan kimia dari buah lada hitam

adalah alkaloid, fenol, tanin, kumarin, saponin, flavonoid, glikosida, dan minyak atsiri

(Nahak dan Sahu, 2011; Trivedi et al., 2011). Senyawa aktif seperti seperti flavonoid,

tanin, alkaloid, terpenoid, minyak atsiri dan senyawa fenolik telah diteliti memiliki

aktivitas terhadap bakteri P. acnes (Singh et al., 2011).

Tanaman jahe telah dilaporkan memiliki kandungan senyawa metaboli

sekunder dan aktivitas antioksidan. Jahe dibudidayakan dan dimanfaatkan secara

umum dihampir seluruh wilayah Indonesia sebagai rempah-rempah, bumbu masak,

obat-obatan, bahan kosmetik, parfum, serta bahan makanan dan miuman (Kartika

dkk., 2017). Berdasarkan bentuk, ukuran dan warna rimpanganya, jahe umum

dibedakan atas tiga jenis yakni jahe merah, jahe putih/kuning besar (jahe gajah) dan

jahe putih/kuning kecil (jahe emprit) (Boer dan Karimuna, 2013). Hamad., dkk (2017)

melaporkan infusa rimpang jahe gajah (Zingiber officinale Roscoe) positif

mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, terpenoid namun negatif tanin dan steroid.

Sementara itu, Koban., dkk (2016) melaporkan ekstrak total metanol, fraksi n-heksana

dan fraksi etil asetat jahe merah (Z. officinale var. Amarum), ketiganya positif

mengandung alkaloid, flavonoid, fenolik, triterpenoid, steroid (hanya pada frkasi

nheksana) dan negatif saponin serta memiliki antioksidan sangat baik dengn masing-
masing nilai IC50 berturut-turut adalah 32,19 ppm; 35,63 ppm; dan 25,69 ppm.

Mayfi., dkk (2017) melaporkan bahwa ekstrak etanol hasil maserasi jahe emprit yang

berasal dari Bogor, Jawa Barat positif mengandung senyawa flavonoid, saponin,

triterpenoid/ steroid, serta fenol dan negatif alkalod dan tanin. Sukaeshi dan

Wiendarlina (2018) melaporkan bahwa jahe emprit dalam sediaan cair berbasis

bawang putih memiliki aktivitas antioksidan sangat kuat dengan nilai IC50 sebesar

3,310 µg/mL. Penelitian lain oleh Adnyane., dkk (2003) melaporkan bahwa aktivitas

antioksidan oleoresin jahe emprit berdasrkan kemampuannya dalam menghambat

oksidasi asam linoleat, secara in vitro lebih besar dari -tokeferol.

Berdasarkan beberapa penelitian cabe jawa diketahui memiliki kandungan

kimia alkaloid, tanin, minyak atsiri dan saponin (Kumar, 2013; Dahiya, 2011). Singh

et al., (2011) melaporkan bahwa golongan senyawa kimia tanin, alkaloid, minyak

atsiri memiliki efektivitas terhadap bakteri P. acnes.

Senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada buah cabe jawa salah

satunya adalah terpenoid. Terpenoid merupakan komponen-komponen tumbuhan

yang mempunyai bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan

disebut sebagai minyak atsiri (Harbone, 1987). Komponen minyak atsiri terbanyak

pada buah cabe jawa asal Cina dilaporkan terdiri dari β-caryophillen (33.44%), 3-

caren (7.58%), eugenol (7.39%), dlimonen (6.70%), zingiberen (6.68%) dan kubenol

(3.64%) (Jamal et al., 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh LiChing & Jiau-

Ching (2009), menyimpulkan bahwa eugenol yang terkandung dalam suatu ekstrak

berpotensi sebagai larvasida. Bahan aktif minyak atsiri cabe jawa memiliki

kandungan utama terpenoid. Terpenoid sendiri terdiri dari n-oktanol, linanool, terpinil

asetat, sitronelil asetat, piperin, alkaloid, saponin, polifenol, resin (kavisin) (Aulia,

2009).
2.2 Hakikat Ilmu Kimia dan Pembelajaran Kimia

Hakikat ilmu Kimia mencakup dua hal, yaitu Kimia sebagai produk dan Kimia

sebagai proses. Kimia sebagai produk meliputi sekumpulan pengetahuan yang terdiri atas

fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip kimia. Kimia sebagai proses meliputi

keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap yang dimiliki oleh para ilmuwan untuk

memperoleh dan mengembangkan pengetahuan Kimia. Keterampilan-keterampilan

tersebut disebut keterampilan proses, dan sikap-sikap yang dimiliki para ilmuwan disebut

sikap ilmiah.

Menurut NA, Mudzakir & Hernani (2013) mengungkapkan, Kimia merupakan

bagian dari rumpun sains, karena itu pembelajaran kimia juga merupakan bagian dari

pembelajaran sains. Pembelajaran sains diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta

didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar serta prospek pengembangan lebih

lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pembelajaran Kimia disini akan membahas tentang metabolit sekunder,

khususnya senyawa terpenoid. Metabolit sekunder adalah golongan senyawa yang

terkandung dalam tubuh mikroorganisme, flora dan fauna yang terbentuk melalui proses

metabolisme sekunder yang disintesis dari banyak senyawa metabolisme primer, seperti

asam amino, asetil koenzim A, asam mevalonat dan senyawa antara dari jalur shikimate

(Herbert, 1995).

Metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan telah lama manusia gunakan

sebagai obat-obatan, pewarna, insektisida, (Karuppusamy 2009). Salah satu fungus

metabolit sekunder yang menonjol bagi manusia adalah pemanfaatan sebagai obat. Badan

kesehatan dunia memperkirakan 60-80% penduduk dunia masih menggantungkan

kesehatannya yang berasal dari tumbuhan (Joy dkk, 1998; Fabricant and Farnsworth
2001; Tripathi and Tripathi 2003), dan 25% obat modern yang telah diekstraksi langsung

dari tumbuhan.

Senyawa metabolit sekunder diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama, yaitu :

terpenoid, fenolik, dan senyawa yang mengandung nitrogen. Pada penelitian ini akan

dibahas lebih khusnya mengenai senyawa terpenoid.

Terpenoid adalah kelompok senyawa metabolit sekunder yang terbesar, dilihat

dari jumlah senyawa maupun variasi kerangka dasar strukturnya. Terpenoid ditemukan

berlimpah dalam tanaman tingkat tinggi, meskipun demikian, dari penelitian diketahui

bahwa jamur, organisme laut dan serangga juga menghasilkan terpenoid. Selain dalam

bentuk bebasnya, terpenoid di alam juga dijumpai dalam bentuk glikosida, glikosil ester

dan iridoid. Terpenoid juga merupakan komponen utama penyusun minyak atsiri.

Senyawa- senyawa yang termasuk dalam kelompok terpenoid diklasifikasikan

berdasarkan jumlah atom karbon penyusunnya.

Adapun standar kompetensi yang diinginkan dicapai setelah proses pembelajaran

selesai yaitu :

Standar Kompetensi : Mahasiswa mampu memahami aspek-aspek senyawa bahan alam,

meliputi pengertian senyawa bahan alam, klasifikasi, struktur, sifat, asal-usul biogenesis,

biosintesis, cara isolasi, dan identifikasi yang meliputi golongan senyawa terpenoid, ,

serta beberapa contoh senyawa bahan alam yang berguna, yang ditemukan pada famili

tumbuhan tertentu.

Kompetensi Dasar : Memahami dan menjelaskan tentang metabolit sekunder

Indikator  Menjelaskan pengertian metabolit sekunder


 Mejelaskan jenis-jenis metabolit sekunder
:  Menjabarkan struktur dari metabolit sekunder
 Menjelaskan kandungan metabolit sekunder pada
tanaman obat tradisi sampuru.
 Menjelaskan manfaat dari tanaman obat yang
digunakan pada tradisi sampuru.
 Menjelaskan struktur dan sifat-sifat terpenoid, dan
asal-usul biogenesis terpenoid
2.3 Penelitian Yang Relevan

Berikut hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini :

2.3.1 Penelitian yang dilakukan oleh Farida Nur Kumala dan Prihatin Sulistyowati (2016)

tentang : “Pengembangan Bahan Ajar IPA Berbasis Kearifan Lokal”. Jurnal

Inspirasi Pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil validasi segi materi,

tampilan dan bahasa masing-masing sebesar 81,25%, 87,5%, 91,7%. Dengan

demikian bahan ajar IPA berbasis kearifan lokal efektifitas digunakan dalam

meningkatkan hasil belajar dan aktivitas peserta didik.

2.3.2 Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Riza, R. Arizal Firmansyah, Muhammad

Zammi, Djuniadi, Djuniadi (2020) tentang : “Pengembangan Modul Kimia Berbasis

Kearifan Lokal Kota Semarang Pada Materi Larutan Asam Dan Basa”. Jipva (Jurnal

Pendidikan Ipa Veteran 4(1) . Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas modul

kimia berorientasi kearifan lokal dibuktikan dengan vallidasi ahli dan angket

tanggapan peserta didik. validasi ahli materi dan ahli media kategori “sangat baik”

dengan persentase sebesar 85,3% dan 87,3%.

2.3.3 Penelitian yang dilakukan oleh Ayu Lestari, Nasrudin, Rahmanpiu (2020). Tentang :

Senyawa Metabolit Sekunder Dan Aktivitas Antioksidan Seduhan Serbuk Rimpang


Jahe Emprit (Zingiber Officinale Var. Rubrum) 5 (2) . Hasil penelitian menunjukkan

bahwa golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada sampel segar,

serbuk, dan seduhan serbuk rimpang jahe emprit (Z. officinale var. Rubrum) adalah

alkaloid (kecuali sampel segar), flavonoid, saponin, terpenoid, dan fenolik.

2.4 Kerangka Berfikir

Pembelajaran seyogyanya merupakan proses yang penting bagi peserta didik.

Pembelajaran kimia di sekolah cenderung hanya terfokus pada teori dan konsep saja tanpa

mengaitkannya dengan kearifan lokal daerah setempat. Hal ini membuat wawasan peserta

didik tentang ilmu kimia menjadi terbatas. Padahal sudah seharusnya peserta didik

mengetahui tentang penerapan ilmu kimia dalam kehidupan sehari-hari khususnya yang

berkaitan dengan kearifan lokal daerah setempat. Pembelajaran kimia yang berorintasi

pada kearifan lokal merangkul peserta didik untuk ikut berperan mengambil tindakan,

menjadikan mereka lebih dekat dan mengenal fenomena yang ditemukan pada lingkungan

sehari-hari.

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 36

ayat 3 bahwa kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran harus

memperhatikan salah satunya yaitu potensi daerah dan lingkungan tempat tinggal

peserta didik. Sebagaimana amanah undang-undang tersebut maka pembelajaran harus

berbasis keunggulan lokal. Berdasarkan hal di atas, kearifan lokal dapat dijadikan

sebagai salah satu cara untuk menjalankan kurikulum 2013 yang memiliki karakteristik

pengaplikasian pendidikan yang diperoleh peserta didik di sekolah pada lingkungan

masyarakat. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta

berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat

lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Ada banyak isu-isu sosial yang dijumpai pada kalangan masyarakt seperti yang
terjadi di Desa Dena Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat,

salah satunya adalah masyarakat selalu menggunakan tradisi ”sampuru” yang artinya

mengunyah rempah-rempah seperti pinang, daun sirih, kapur, cengkeh, pala, merica dan

jahe, lalu disemburkan kepada seseorang, berkhasiat menghangatkan/menyegarkan

badan seperti badan yang sakit, pegal-pegal, kedinginan, untuk ibu-ibu hamil yang

selesai melahirkan dan ibu-ibu menyusui, serta untuk anak-anak yang sering

mengompol.

Dari kebiasaan-kebiasaan arif tersebut dikaji aspek literasi sains terutama pada

bidang kimia untuk mengetahui kandungan kimia apa saja yang terdapat pada bahan

alam tersebut. Melek literasi terutama literasi sains sangat penting diterapkan kepada

peserta didik untuk lebih memahami persoalan lingkungan di sekitar mereka.

Untuk mewujudkannya tentu pendidik sebagai subjek penting dalam proses

pembelajaran selain dapat memberikan pengajaran yang baik melalui strategi, dan metode

pembelajaran namun alat bantu dalam proses pembelajaran seperti bahan ajar sangat

dibutuhkan sebagai sumber belajar bagi peserta didik. Akan tetapi peneliti menemukan

adanya permasalahan bahwa bahan ajar yang digunakan meskipun buku paket dapat

membantu peserta didik dalam proses pembelajaran namun peserta didik cenderung bosan

dalam menggunakan buku paket. Dengan demikian sangat minimnya bahan ajar yang

digunakan pendidik serta sumber belajar yang sangat terbatas bagi peserta didik sehingga

dapat mempengaruhi motivasi belajar peserta didik.

Selanjutnya kerangka berfikir digambarkan pada bagan berikut :

Belum tersedianya bahan ajar berupa modul khususnya yang berbasis kearifan lokal

Modul sebagai bahan ajar dapat menunjang pencapaian tujuan pembelajaran dan
pembelajaran menjadi lebih efektif

Konsep kearifan lokal yang ada di masyarakat dapat disisipkan dalam proses belajar
disekolah sebagai kajian yang dapat menambah pengetahuan serta wawasan peserta didik

Dikembangkannya modul berbasis kearifan lokal yang menyajikan materi kimia pokok
Proses pembelajaran bermakna dan mengembangkan wawasan serta pengetahuan peserta
didik pada bidang keilmuan.
Sebagai sarana memperkenalkan kearifan lokal yang memiliki nilai luhur dan penting
ditransmisikan kepada peserta didik.

BAB III

METODELOGI PENGEMBANGAN

3.1 Model Pengembangan

Penelitian dan pengembangan (Research and Development/R&D)adalah suatu

proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau

menyempurnakan produk yang telah ada, yang dapat dipertanggungjawabkan

(Sukmadinata, 2008). Penelitian pengembangan adalah suatu proses yang digunakan

untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk yang digunakan dalam

pendidikan dan pembelajaran (Syahruddin, 2011).

Model pengembangan yang digunakan dalam pengembangan modul kimia bahan

alam berbasis kearifan lokal adalah model pengembangan 4-D (four D model) yang

dikembangkan oleh Thiagarajan dan Semmel pada tahun 1974. Alas an pemilihan model

ini karena : a) Model ini disusun secara terprogram dengan urutan-urutan kegiatan yang

sistematis dalam upaya pemecahan masalah belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan

karakteristik mahasiswa. b) model ini khusus digunakan pad pengembangan bahan ajar

pembelajaran bukan rancangan pemeblajarannya. c) Model 4-D sudah banyak digunakan

dalam penelitian pengembangan media pembelajaran.

Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian keterbatasan pengembangan

bahwa model 4-D yang diadopsi dalam penelitian pengembangan ini terbatas dengan
tahap define, design, serta develop, dan tidak pada tahap disseminate dengan beberapa

penyesuaian berdasarkan kebutuhan pengembangan.

Analisis awal akhir

Analisis mahasiwa
Define
(Pendefinisian)
Analisis materi Analisis tugas

Spesifikasi Tujuan Pembelajaran

Penyusunan teks
Design
Pemilihan metode (Perancangan)

Pemilihan Format

Rancangan Awal

Develop
Validasi Ahli
(Pengembangan)

Uji Pengembangan

Uji Validasi
Disseminate
Pengemasan (Penyebaran)

Penyebaran

Gambar. Desain penelitian pengembangan perangkat pemeblajaran 4-D

(Thiagarajan, Semmel & Semmel, 1974).


3.2 Prosedur Pengembangan Modul

Prosedur pengembangan adalah pemaparan lebih lanjut mengenai langkah-

langkah yang akan ditempuh dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah

dirumuskan dalam model pengembangan 4-D. Berdasarkan model pengembangan

sebagaimana dijelaskan diatas, prosedur penelitian dalam penelitian ini dapat dijelaskan

sebagaimana terdapat pada gambar dibawah ini :

Pengidentifikasian
● Analisis awal akhir
Perancangan Desain Produk
● Analisis tugas
● Modul pegangan dosen
● Analisis konsep
● Perumusan tujuan pembelajaran

Pengembangan validasi produk


Pengembangan uji coba
● Validasi produk awal oleh ahli
● Ujicoba terbatas (Revisi III)
dan praktisi (Revisi I dan II)

Penyebaran produk akhir


● Produk akhir yang sudah layak
diimplemetasikan

Gambar. Prosedur Pengembangan Penelitian Diadaptasi Dari Thiagarajan,

Semmel & Semmel.


Berdasarkan model pengembangan yang dipilih, maka tahap-tahap yang ditempuh

diantaranya sebagai berikut :

3.2.1 Tahap pendefinisian (Difine)

Kegiatan pada tahap ini dilakukan untuk menetapkan dan mendefinisikan

syarat-syarat pengembangan. Dalam model lain, tahap ini sering dinamakan analisis

kebutuhan. Tiap-tiap produk tentu membutuhkan analisis yang berbeda-beda. Tahap

Difine meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

1. Analisis awal-akhir (Front-end Amalysis), analisis mahasiswa (Learner

Analysis), dan analisis konsep (Concept Analysis)

Kegiatan analisis awal akhir meliputi analisis mahasiswa dan analisis

konsep dikaji latar belakang munculnya gagasan peneliti untuk pengembangkan

modul pembelajaran kimia bahan alam berbasis kearifan lokal dengan pendekatan

sains teknologi masyakat dalam menumbuhkan kemampuan literasi sains yang

akan mendukung kegiatan belajar mengajar dikelas.

Pada analisis konsep (Concept Analysis) ini dilakukan dengan

mengidentifikasi konsep-kosnep utama yang akan diajarkan menyusun secara

sistematis dan merinci konsep-konsep yang relevan.

2. Analisis tugas (Task Analysis)

Analisis tugas dilakukan dengan merinci tugas isi matapelajaran dalam

bentuk garis besar. Analisis ini mencakup analisis struktur isi.

3. Spesifikasi tujuan pembelajaran (Specifying Instructional Objectives)

Rumusan tujuan pembelajaran didasarkan atas analisis konsep dan analisis

tugas hingga dapat menjadi lebih profesioanl dan dinyatakan dengan tingkah laku

yang dapat diamati. Pada analisis tugas telah tercantum analisis kurikulum,
diantaranya yang berisi Kometensi Dasar (KD) sebagai dasar penyusunan tujuan

pembelajaran. Dengan menuliskan tujuan pembelajaran, penelitian dapat

mengetahui kajian apa saja yang akan ditampilkan dalam bahan ajar.

3.2.2 Tahap Perancangan (Design)

Tahap design meliputi kegiatan format selection dan initial design. Kegiatan

format selection dilakukan dengan mendeskripsikan spesifikasi hasil pengembangan

yang dilakukan. Kegiatan initial design dilakukan dengan mendeskripsikan secara

lebih mendetail spesifikasi hasil pengembangan yang telah disebutkan pada bagian

firmat selection.

3.2.3 Tahap Pengembangan (Develop)

Tahap develop meliput kegiatan penilaian dari para ahli merupakan tahap uji

kelayakan hasil pengembangan, sedangkan tes pegembangan merupakan tahap uji

penggunaan hasil pengembangan untuk dapat diaplikasikan dalam pembelajaran

dengan topic metebosme sekunder terpenoid. Masing-masing kegiatan dalam tahap

develop dijelaskan sebagai berikut :

1. Penilaian dari ahli (Expert Appraisal)

Penilaian dari para ahli ditempuh melalui kegiatan kajian kritis oleh para

ahli bidang isi/materi dan oleh bidang pembelajaran baik secara kuantitatif

mauoun kualitatif terhadap hasil pengembangan. Pada pengembangan ini

dilakukan penilaian hanya sebatas ahli bidang bahan ajar pembelajaran.

Angket penilaian dari bidang isi/materi dan ahli bidang pembelajaran

menghasilkan data kuantitatif dan kualitatif interprestasi hasil analisis data

kuantitatif dijadikan sebagai acuan untuk mendeskripsikan tingkat kelayakan hasil

pengembangan berdasarkan kriteria kelayakan yang telah ditentukan. Data

kualitaif berisi tanggapan dan saran perbaikan dari bidang isi/materi dan ahli
bidang pembelajaran. Interprestasi hasil analisis data kuantitatif bersama dengan

data kualitatif kegiatan penilaian dari ahli dijadikan sebagai acuan untuk

melakukan reevisi I dan II.

2. Tes Ppengembangan (Develop Testing)

Tes pengembangan ditempuh melalui kegiatan ujicoba hasil

pengembangan. Kegaiatan tes pengembangan yang dilakukan tervatas pada tes

awal (initial testing). Tes awal merupakan tahap ujicoba hasil pengembangan

terhadap subjek ujicoba perorangan. Beberapa subjek ujicoba perorangan yang

telah dipilih diminta untuk menggunakan hasil pengembangan dalam suatu

kondisi pembelajaran yang bebas. Selanjutnya setiap subjek ujicoba perorangan

diminta untuk memberikan tanggapan dan saran perbaikan terhadap hasil

pengembangan. Hasil pada kegiatan tes awal digunakan sebagai acuan untuk

revisi III. Subjek uji coba perorangan yang telah dipilih adalah mahasiswa

Undikma Mataram sampai mendapatkan poduk yang layak.

3. Ujicoba Hasil Pengembangan

Uji coba dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kelayakan hasil

pengembangkan. Hal-hal penting yang berkaitan dengan uji coba hasil

pengembangan dijelaskan sebagai berikut :

a) Uji Validasi Bahan Ajar

 Ujicoba Kelayakan Tim Ahli

Uji kelayakan tim ahli bertujuan untuk memberikan penilain kelayakan

serta tanggapan dan saran perbaikan terhadap penggunaan bahan ajar.

 Ujicoba Kelompok Kecil


Dalam hal ini yang melakukan uji coba kelompok kecil adalah

mahasiswa Undikma Mataram

3.3 Jenis Data

Jenis data yang diperoleh terdiri atas data kuantitatif dan data kualitatif. Data ini

merupakan data yang berkaitan dengan validasi dan tanggapan dari dosen ahli, dan

tanggapan mahasiswa tentang modul pembelajaran kimia bahan alam berbasis kearifan

lokal dengan pendekatan sains teknologi masrakat dalam menumbuhkan kemampuan

literasi sains yang dikembangkan. Data kuantitatif terdiri atas data angket hasil penilaian

kelayakan hasil pengembangan yang telah diisi oleh ahli bidang isi/materi dan ahli bidang

pembelajaran pada kegiatan penilain dari ahli maupun dari subjek uji coba perorangan

pada tahap tes awal.

3.4 Instrumen Pengumpulan Data

Instrument yang digunakan untuk mengmpulkan data adalah angket (kuisioner).

Menurut Arikunto (2011) angket merupakan daftar pertanyaan yang diberikan kepada

orang lain dengan maksud agar orang yang diberi tersebut bersedia memberikan respon

sesuai dengan permintaan pengguna. Angket cocok digunakan bila jumlah responden

cukup besar dan tersebar di wilayah yang luas. Lebih lanjut Arikunto menguraikan

keuntungan dari menggunakan angket sebagai instrument pengumpulan data, yaitu :

1. Tidak memerlukan hadirnya peneliti

2. Dapat dibgikan secara serentak kepada banyak responden

3. Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatnnya masing-masing dan menurut

waktu senggang responden

4. Dapat dibuat anonym sehingga responden bebas, jujur, dan tidak malu-malu

menjawab, dan
5. Dapat dibuat standar bagi semua responden dapat diberi pertanyaan yang benar-benar

sama.

Angket dalam penelitian ini digunakan untuk menguji kelayakan isi/materi hasil

pengembangan.

3.5 Teknik Analisis Data

Data-data yang telah diperoleh dikelompokkan berdasarkan keperluan tujuan

analisis. Tujuan analisis adalah deskripsi tingkat kelayakan hasil pengembagan.data-data

yang termasuk dalam keperluan analisis deskripsi kelayakan hasil pengembangan adalah

data kuantitatif yang diperoleh melalui kegiatan Expert Appraisal dan Developmental

Testing. Data kuantitatif dianalisis menggunakan teknik deskriptif gabungan kuantitatif –

kualitatif untuk menentukan tingkat kelayakan yang diadaptasi dari uraian Arikunto

(2010) tentang teknik analisis deskriptif kulitatif, yaitu menggunakan rumus presentasi

yang dituliskan sebagai beriku :

skor dari responden


Preentasi kelayakan = x 100%
skor maksimal

Tingakat kelayakan hasil pengembangan dideskripsikan dengan

mengkonfirmasikan presentasi hasi penskoran yang dicapai dengan kriteris kelayakan

sebagaimana disajikan pada tabel dibawah ini :

Tabel . Kriteria Presentasi Skor Penilaian Berdasarkan BSNP

No Presentasi hasil penilaian Interprestasi


1 81,25% < skor ≤ 100% Sangat layak
2 62,50% < skor ≤ 81,25% Layak
3 43,75% < skor ≤ 62,50% Kurang layak
4 25% < skor ≤ 43,75% Tidak layak
Sumber : berdasarkan BSNP dalam Muhafid (2013)

Anda mungkin juga menyukai