Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MODEL STRATEGI DAN MEDIA PEMBELAJARAN IPA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Ilmu Pengetahuan Alam

Dosen Pengampuh : Isbullah, M. Pd

OLEH KELOMPOK 6
1. MUSTIKA PRAMITA : 202202901260069
2. DINA ZAERA OKTA : 202202901260066
3. NURMIYANTI : 202202901260055
4. ITA SULISTIANA : 202202901260058
5. VINA NURUL HUDA : 202202901260050

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) NURUL HAKIM


TAHUN 2022
1
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan taufik-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata
kuliah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan judul Model Strategi Dan Media Pembelajaran
IPA.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya
pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu kami mengharapkan segala
bentuk saran dan msukan yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan adalah proses penting bagi kehidupan manusia, karena dengan pendidikan
manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahui dan menggali sumber daya manusia
yang berkualitas. Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Manusia di mana pun berada akan membutuhkan pendidikan, karena fungsi utama
pendidikan adalah memanusiakan manusia, yaitu mengembangkan seluruh potensi manusia
yang ada ke arah lebih baik.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajardan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensidirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Keberhasilan suatu pendidikan adalah harapan dari setiap orang tua dan lembaga
pendidikan. Untuk keberhasilan dalam pendidikan tersebut, maka peserta didiklah yang
menjadi peran utama dalam keberhasilan pendidikan ini, dengan memperoleh pengalaman
atau perubahan perilaku dari tiga ranah yaitu ranah pengetahuan (kognitif), ranah sikap
(afektif), dan ranah keterampilan (psikomotor). Dalam konteks pendidikan itu sendiri ketiga
ranah ini tidak dapat dipisahkan antara satu dan yang lainnya, sehingga pendidikan ini akan
melahirkan manusia yang berkualitas.
Selanjutnya menurut Undang- Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 37 ayat 1 yang berbuny “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan social, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan
olahraga, keterampilan/kejujuran, dan mjatan lokal”. Hal ini menunjukkan bahwa IPA
merupakan salah satu mata pelajaran yang harus diajarkan pada siswa tingkat dasar. Mata
pelajaran IPA wajib diajarkan kepada siswa SD dikarenakan dalam mata pelajaran ini
menanamkan pola berpikir ilmiah sejak dini.
Diperkuat dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dinyatakan
bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam
secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa
fakta fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk

3
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam
menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada
pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitarsecara ilmiah.
Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta
didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) menyatakan bahwa mata pelajaran IPA
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) memperoleh keyakinan
terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan
keteraturan alam ciptaan-Nya, 2) mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-
konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, 3)
mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang
saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat, 4) mengembangkan
keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat
keputusan, 5) meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan
melestarikan lingkungan alam, 6) meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan
segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan, 7) memperoleh bekal pengetahuan,
konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
Sains merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai
pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki
sikap ilmiah, hal ini dikemukakan oleh Sumanto dkk (dalam Putra, 2013:40). Dalam
pendidikan sains juga menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung
untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam
sekitar secara ilmiah. Pendidikan sains diarahkan untuk “mencari tahu” dan “berbuat”,
sehingga bisa membantu siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam
sekitar.
Pendidikan yang berkualitas dalam proses pembelajarannya tidak terlepas dari
penggunaan bahan ajar, strategi, dan media pembelajaran. Meningkatkan kualitas pendidikan
bergantung pada pemahaman seorang guru terhadap tugasnya dan tidak terlepas dari
bagaimana cara menggunakan media pembelajaran. Media pembelajaran merupakan satu
diantara kunci keberhasilan dalam proses pembelajaran di kelas.
Menurut Arsyad (2013:3) kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara
harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’, atau ‘pengantar’. Dalam bahasa Arab, media adalah
perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Gerlache dan Ely

4
(dalam Arsyad, 2013) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah
manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu
memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam hal ini, guru, buku teks, dan
lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses
belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat- alat grafis, photografis, atau elektronis
untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Di lain
pihak, Association Of Education Tecnology (dalam Sundayana, 2013) memberi batasan
tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan
untuk menyampaikan pesan atau informasi. Apabila media itu membawa pesan-pesan
atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran
maka media itu disebut media pengajaran. Sedangkan menurut Anitah, dkk (2008: 6.11)
media pembelajaran merupakan saluran atau jembatan dari pesan- pesan pembelajaran
(messages) yang disampaikan oleh sumber pesan (guru) kepada penerima pesan (siswa)
dengan maksud agar pesan- pesan tersebut dapat diserap dengan cepat dan tepat sesuai
dengan tujuannya. Fungsi utama media pembelajaran, yaitu sebagai sarana bantu untuk
mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih efektif. Dengan fungsi ini, media pembelajaran
harus dijadikan bagian integral dari keseluruhan proses situ sendiri. Fungsi lain yaitu untuk
mempercepat proses belajar sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses
pembelajaran dan mengurangi verbalisme(salah penafsiran).
Dalam proses pembelajaran pemanfaatan media pembelajaran oleh guru sangatlah
penting, hal ini bertujuan agar indikator- indikator dalam pembelajaran dapat tercapai.
Ketercapaian dalam proses pembelajaran dapat dilihat dari adanya perubahan perilaku peserta
didik dalam tiga ranah yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu guru juga harus
membiasakan peserta didik terlibat aktif dalam situasi pembelajaran. Penggunaan media yang
bervariasi dapat merangsang peserta didik lebih aktif belajar. Oleh karena itu, sekolah dan
lembaga perlu memperhatikan ketersediaan media pembelajaran dan juga perlu
memperhatikan guru dalam memanfaatkan media pembelajaran tersebut.
Penggunaan media pembelajaran sangat penting dalam proses pembelajaran IPA.
Karena pada mata pelajaran IPA peserta didiik mempelajarai, menjelaskan, serta
menginvestigasi fenomena alam dengan semua aspeknya yang bersifat empiris. Sehingga
peserta didik akan menyaksikan secara langsung bahkan peserta didik dapat memperagakan
secara langsung hal- hal mengenai pelajaran yang sedang dilaksanakan.
Sebelum melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus memikirkan segala hal yang
akan dilakukan didalam kelas. Hal penting yang harus difikirkan adalah pendekatan dan

5
metode apa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan sifat yang akan menjadi objek
pembelajaran. Dalam bebrapa pembahasan kata pendekatan seringkali dirangkai dengan kata
metode sebab kedua kata tersebut memang berhubungan erat satu sama lain.

1. 2. Rumusan Masalah
1. Apa saja model dan strategi pembelajaran IPA
2. Bagaimana penerapan model dan strategi pada pembelajaran IPA
3. Apa saja media yang digunakan pada pembelajaran IPA

1.3. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui macam-macam model pembelajaran IPA


2. Dapat Menjelaskan penerapan model pada pembelajaran IPA
3. Mengetahui media apa saja yang digunakan dalam penerapan pembelajaran IPA

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Model-model Pembelajaran

2.1.1. Contextual Teaching And Learning

A. Pengertian

Contextual teaching and learning (CTL) merupakan konsep belajar yang memandang
bahwa anak akan belajar lebih baik dan lebih bermakna jika anak “bekerja” dan “mengalami”
sendiri apa yang dipelajarinya, bukan sekedar “mengetahuinya” (Kadir 2013). Sanjaya (2010)
menjelaskan bahwa CTL adalah suatu pembelajaran yang menekankan kepada proses
keterlibatan siswa secara penuh untuk menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata. Sehingga mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan mereka. Pembelajaran CTL merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari- hari.

Pendapat lain dikemukakan oleh Johnson (2014) yang mengatakan bahwa CTL
merupakan sebuah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa dalam melihat makna
di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan
konteks dalam kehidupan keseharian mereka, meliputi konteks keadaan pribadi, sosial dan
budaya mereka. Ada delapan komponen berikut yang sangat penting di dalamnya,
diantaranya: membuat keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti,
melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerjasama, berpikir kritis dan
kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi,
dan menggunakan penilaian autentik.

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa CTL merupakan konsep belajar yang
melibatkan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan
konsep yang dipelajarinya dan mengaitkannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki siswa dalam kehidupan sehari-hari.

B. Langkah-langkah

Sanjaya (2010) menjelaskan bahwa ada tujuh langkah, diantaranya:

7
1. Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun struktur kognitif siswa


berdasarkan pengalaman. Pengetahuan berasal dari luar dan di konstruksikan dari dalam diri
seseorang, oleh sebab itu pengetahuan terbentuk dari dua faktor penting, yaitu objek yang
diamati dan kamampuan untuk menginterpretasi objek tersebut.

2. Inquiri

Inquiri adalah pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis.
Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, melainkan proses menemukan
sendiri.

3. Bertanya (questioning)

Bertanya dipandang sebagai rasa keingintahuan setiap individu dan membangkitkan motivasi
belajar siswa. Dalam setiap proses pebelajaran bertanya selalu digunakan. Oleh karena itu,
kemampuan guru untuk mengembangkan teknik-teknik bertanya sangat diperlukan.

4. Masyarakat belajar (learning community)

Melalui penerapan pembelajaran secara kelompok yang anggotanya bersifat heterogen,


membantu siswa untuk saling mendiskusikan, bertukar informasi dan bertukar pengalaman.
Kerjasama saling memberi dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu
permasalahan.

5. Pemodelan (Modeling)

Memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa dan mengindari
siswa dari pembelajaran yang teoritis-abstrak. Proses ini tidak terbatas pada guru saja,
melainkan guru memanfaatkan siswa yang memiliki kemampuan.

6. Refleksi (Reflection)

Pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dengan mengurutkan kembali kejadian-


kejadian pembelajaran yang telah dilalui siswa. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar
itu dimasukan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari
pengetahuannya.

8
7. Penilaian nyata (authentic assessment)

Pengumpulan informasi tentang perkembangan belajar yang dilalui siswa. Penilaian ini
diperlukan untuk mengetahuai apakah siswa benar-benar belajar atau tidak dan dilakukan
secara terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung.

C. Kelebihan dan Kelemahan

Hudson dan Wishler (dalam Setyowati, 2017) menyatakan bahwa CTL memiliki kelebihan
mampu membantu siswa membangun pengetahuan mereka sendiri dengan cara membimbing
mereka. Siswa diwajibkan untuk secara aktif mengeksplorasi konten untuk mencapai tujuan,
memecahkan masalah, menyelesaikan sebuah proyek, atau menjawab pertanyaan. Sutardi &
Sudirjo (2007) mengungkapkan keunggulan dari pembelajaran kontekstual diantarannya:
mengutamakan dunia nyata, berpikir tingkat tinggi, pembelajaran berpusat pada siswa dan
melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran.

Adapun kekurangan model pembelajaran CTL menurut Muslich (dalam Rahayuningsih


dkk., 2013) yaitu: a) dalam proses pembelajaran dengan model CTL akan nampak jelas
antara siswa yng memiliki kemampuan unggul dan biasa; b) tidak meratanya pengetahuan
yang didapatkan siswa; c) bagi siswa yang tertinggal dalam proses pembelajaran CTL akan
mengalami kesulitan untuk mengejar karena dalam pembelajaran ini kesuksesan siswa
tergantung dari keaktifan dan usaha sendiri. Kelana (2015) menjelaskan bahwa kelemahan
CTL, diantaranya: sulitnya membuat siswa aktif secara keseluruhan, guru harus memiliki
kemampuan yang mendalam dalam mengkontekstual materi yang diberikan kepada siswa dan
ketika siswa di dalam kelas jumlah banyak, memerlukan penanganan yang ekstra dari guru.

2.1.2. Discovery Learning

A. Pengertian

Definisi dari discovery learning (belajar penemuan) sendiri banyak dikemukakan oleh para
ahli. Menurut Anitah (2009) discovery learning adalah proses pembelajaran yang melibatkan
siswa dalam pemeccahan masalah untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.
Harapannya, melalui penemuan ini, siswa akan belajar secara intensif dengan mengikuti
langkah investigasi atau pendekatan ilmiah. Sementara itu, Bruner (Schunk, 2012)
mendefiniskan discovery learning sebagai penguasaan pengetahuan untuk diri sendiri. Belajar
penemuan melibatkan aktivitas siswa seperti mencari, menelusuri, mengolah, dan
menyelidiki. Dalam kegiatan ini, siswa mempelajari dan menemukan pengetahuan baru yang

9
relevan dengan materi dan berbagai keterampilan seperti menguji hipotesis, merumuskan
masalah, dan mengumpulkan informasi.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa discovery learning merujuk pada proses
pembelajaran dimana siswa berusaha sendiri mencari permasalahan dengan modal
pengetahuan yang dimiliki untuk kemudian menghasilkan pengetahuan baru yang benar-
benar bermakna melalui serangkaian proses penyelidikan ilmiah. Dalam discovery learning,
siswa belajar melalui partisipasi secara aktif di kelas untuk memperoleh pengalaman dan
melakukan eksperimen sehingga siswa akan menemukan konsep dan prinsip pengetahuan itu
sendiri. Pengetahuan yang didapat dengan proses ini akan bertahan lama dan lebih mudah
diingat karena siswa mencari, melakukan, dan memperoleh sendiri sehingga lebih mudah
diingat. Belajar penemuan ini akan melatih keterampilan kognitif siswa untuk menemukan
dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain. Peran guru dalam pembelajaran ini
adalah sebagai fasilitator memberikan bimbingan dan arahan apabila siswa menemukan
kesulitan dalam proses penyelidikan. Dengan begitu, siswa akan memiliki rasa keingintahuan
yang tinggi, dan memiliki motivasi untuk bekerja terus hingga menemukan jawaban-jawaban
atas permasalahan yang akan dipecahkan.

B. Langkah-langkah

Yerizon et al., (2018) mengemukakan bahwa ada lima langkah dalam discovery learning,
yaitu:

1. Stimulation (Stimulasi atau pemberian rangsangan)

Pada tahap ini siswa diahdapkan pada situasi dan sesuatu yang dapat menimbulkan
kebingungan. Guru kemudian meanjutkan untuk tidak memberi pencerahan atau generalisasi
afar timbul keinginan dalam diri siswa untuk menyelidiki sendiri. Selain itu, guru dapat
memulai pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, memberikan anjuran membaca buku,
dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah kepada lagkah pemecahan masalah.

2. Problem statement (Identifikasi masalah) Setelah stimulasi, langkah selanjutnya adalah


guru siswa diberi kesempatan oleh guru untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah
yang relevan dengan bahan ajar, kemudian ssiwa memilih salah satu untuk kemudian
dirumuskan dalam bentuk hipotesis.

10
3. Data collection (Pengumpulan data)

Ketika siswa sedang mengeksplorasi, maka guru memberi siswa kesempatan untuk
mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-banyaknya. Tahap ini berfungsi untuk
menjawab pertanyaan atau membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan dengan cara
mengumpulkan informasi melalui membca literatur, mengamati objek, melakukan
wawancara dengan narasumber, melakukan eksperimen atau ui coba, dan kegiatan lainnya.

4. Data processing (Pengolahan data)

Tahap ini merupakan tahap dimana siswa mengolah data dan informasi yang telah diperoleh
melalui penafsiran. Semua informasi dari berbagai sumber kemudian diolah, diklasifikasikan,
ditabulasi, atau dihitung dan dianalisis serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu
sehingga mendapatkan sebuah hasil.

5. Verification (Pembuktian)

Pada tahap ini, siswa melakukan pemeriksaan secara cermat dan teliti untuk membuktikan
benar atau tidaknya hipotesis yang telah dirumuskan di awal melalui temuan alternatif
kemudian dihubungkan dengan hasil data processing dan verification. Hal ini bertujuan agar
siswa dapat menemukan suatu konsep, teori, dan pemahaman melalui contoh yang dekat
dalam keseharian siswa.

6. Generalization (Penarikan kesimpulan)

Tahap terakhir ini adalah proses menarik sebuah simpulan yang dapat dijadikan oleh siswa
sebagai prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian dan masalah yang sama dengan
tetap memperhatikan hasil verifikasi. Hasil verifikasi tersebut kemudian menjadi dasar dalam
merumuskan prinsip- prinsip yang mendasari generalisasi.

C. Kelebihan dan Kelemahan

Suryosubroto (2002) mengemukakan beberapa keunggulan dan kelemahan Discovery


Learning. Keunggulannya diantaranya:

1. Membantu siswa mengembangkan penguasaan keterampilan dan proses kognitif.

2. Pengetahuan yang diperoleh sifatnya pribadi dan mungkin merupakan suatu


pengetahuan yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertiannya berada dalam
retensi dan transfer jangka panjang.

11
3. Membangkitkan minat belajar pada siswa.

4. Memberi kesempatan kepada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya
sendiri.

5. Siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya sehingga ia lebih merasa terlibat dan
termotivasi untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek penemuan khusus.

6. Membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri


sendiri melalui proses penemuan.

7. Memungkinkan siswa sanggup mengatasi kondisi yang mengecewakan.

8. Membantu perkembangan siswa untuk menemukan kebenaran akhir dan mutlak.

Sedangkan kelemahan discovery learning menurut Suryosubroto (2002) adalah:

1. Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa
yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan
hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan
menimbulkan frustasi.

2. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan
masalah lainnya.

3. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan


mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat
perhatian.

4. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh


siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

2. 2. Media Pembelajaran

Penggunaan media dalam pembelajaran merupakan salah satu tuntutan mendesak bagi
guru. Karena itu, guru dituntut untuk senantiasa akrab dengan media dalam pembelajaran.
Kendati demikian, guru sering beranggapan bahwa menggunakan media dalam proses
pembelajaran adalah sesuatu yang merepotkan dan menyita banyak waktu dan cenderung
membuat siswa tidak konsentrasi dalam belajar karena perhatianya akan tertuju pada media
saja. Selain itu, media sering dianggap sebagai hiburan sedangkan belajar adalah sesuatu hal

12
yang serius. Jika dipahami dengan baik, sesungguhnya bahwa belajar kalau dilakukan dengan
cara menyenangkan akan membuat materi yang sulit dapat dipelajari dengan mudah. Tulisan
ini ingin mengafirmasi urgensitas dan pentingnya penggunaan media.

Beberapa media yang dapat digunakan pada pembelajaran IPA diantaranya ;

2. 2.1. Media Visual

Pengertian Media VisualMedia visual merupakan media komunikasi bersifat visual


yang ditampilkan dalam bentuk sketsa, gambar, foto, diagram, tabel, torso dan benda
visual lainya yang merupakan benda asli atau replikasinya. Menurut Heinich,
R.et.al,(1996:66),bahwa salah satu definisi dari media visual adalah berperan dalam
mengkonkritkan ide yang abstrak. Selanjutnya, media visual dapat mempermudah
memahami informasi yang sulit. Dengan menggunakan media visual dalam proses
pembelajaran dapat menghindari penyampaian informasi yang bersifat verbal.Selanjutnya,
Rezba et.al, (1995:20) kegiatan pembelajaran dengan menggunakan media visual
dapatmengefektifkan komunikasi antara siswa dengan guru dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian maka proses belajar semakin efektif dan menyenangkan.Selanjutnya
Smaldino et.al, (2008, p. 55)mengatakan media visual dapat memainkan banyak peran
yang mungkinterjadi dalam proses pembelajaran seperti menyediakan petunjuk
serta ide yang nyata, membuat ide abstrak menjadi konkrit, memotivasi belajar
siswa, perhatian secara langsung, mengulang informasi dalam situasi yang berbeda,
memanggil konsep yang ada di ingatan jangka panjang untuk diproses kembali,
memberikan kemudahan dalam memahami informasi.Menurut Rose &Nicholl
(2002:94) dengan mengidentifikasi kekuatan visual, auditori, dan kinestetik
siswa mampu memainkan berbagai strategi yang menjadikan pemerolehan informasi
lebih mudah daripada sebelumnya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh
Robert Ornstein (Rose & Nicholl 2002:136-137) menunjukan bahwa proses berpikir
adalah kombinasi kompleks kata, gambar, skenario, warna, bahkan suara dan musik.
Dengan demikian proses menyajikan dan menangkap isi pelajaran dalam peta-peta
konsep mendekati operasi alamiah dalam berpikir. Selanjutnya dikatakan bahwa
pencatatan secara visual berlangsung sepanjang sejarah manusia, dimana kebanyakan
anak-anak membuat sketsa dan melukis saat hendak menyajikan gagasan-gagasan
baru.Dari pengertian di atas maka media visual memiliki peran penting dalam proses
pembelajaran seperti penggunaan waktu yang efektif, dapat menembus batas ruang

13
dan waktu, dapat memotivasi belajar siswa serta mengubah konsep abstrak mejadi
konkrit karena kehadiaran media visual. Selain itu, media visual juga mampu membangun
konsep berpikir siswa dalam menyampaikan ide dan gagasannya dalam bentuk
gambar. Oleh karena itu penggunaan media visual dalam proses pembelajaran sangat
diperlukan mengingat tahapan perkembangan anak usia SD yang secara umum masih
pada tingkat operasional konkrit.Fungsi Media Visual dalam PembelajaranPesan-pesan
visual sangat efektif dalam memperjelas informasi, bahkan lebih jauh lagidapat
mempengaruhi sikap seseorang, membentuk opini masyarakat dan lain-lain. Beberapa
penelitian menunjukan hasil bahwa "pengajaran akan lebih efektif apabila obyek dan
kejadian yang menjadi bahan pengajaran dapat divisualisasikan secara realistik
menyerupai keadaan sebenarnya, namun tidak berarti bahwa media harus selalu
mempunyai keadaan yang sebenarnya. Menurut Muijs &Reynolds (2005 : 194) visual
learners learn best by looking at pictures, graphs, slides, demonstration, films, etc.
Colourful, bright graphics can help these learners retain information. Dari penjelasan di
atas dapat diartikan bahwa pelajar dengan tipe belajar visual paling baik belajar dengan
melihat gambar, grafik, slide, demonstrasi, film dan lain-lain. Grafis warna warni
dapat membantumereka menyimpan informasi.Berdasarkan hasil penelitian yang
dikemukakan dalam Sanaky (2009:23) menunjukkan bahwa pengetahuan seseorang
diperoleh dari pengalaman pendengaran 11%, dari pengalaman penglihatan 83%,
Sedangkan kemampuan daya ingat yaitu diperoleh dari 20% dari apa yang didengar,
dan 50% dari pengalaman penglihatan. Menurut Baugh dalam Achsin (1986) yang
dikutip dari Azhar Arsyad, (2009:10) bahwa pemerolehan hasil belajar melalui indra
pandang (mata) dan indra pendengaran (telinga) sangat menonjol perbedaanya.
Kurang lebih 90 % hasil belajar seseorang diperoleh melalui indra pandang, dan hanya
sekitar 5% serta 5% lagi dengan indra lainya. Menurut Dale (1969) dalam Azhar
Arsyad (2009:10) memperkirakan bahwa pemerolehan hasil belajar melalui indra pandang
bekisar 75%, melalui indra pendengaran sekitar 13% dan indra lainya 12 %. Selanjutnya
Levie & Lentz (1982) dalam Azhar Arsyad (2009:16-17) mengemukakan empat fungsi
media visual antara lain: (a) fungsi atensi; dapat menarik dan mengarahkan perhatian
siswa untuk berkonsentrasi pada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna
visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran, (b) fungsi afektif;
dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar teks yang bergambar, (c)
fungsi kognitif; dapat memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat
informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar, (d) fungsi kompensatoris;

14
media visual dapat memberikan konteks untuk memahami teks serta membantu siswa
yang lemah dalam membaca dan mengorganisasikan informasi dalam teks dan
mengingatnya kembali.Daripenjelasan tentang fungsi media di atas terlihat bahwa
media memiliki peran sebagai wahana penyalur pesan atau informasi belajar sehingga
mengkondisikan seseorang untuk belajar. Halini disebabkan karena secara umum
media mampu memperjelas pesan agar tidak verbalistik, mengatasi keterbatasan
ruang, waktu, tenaga dan daya indera serta dapat menimbulkan gairah belajar dan
meningkatkan minat siswa untuk belajar. Dalam penelitian ini akan mengunakan media
visual dalam bentuk gambar, foto, dan torso yang sesuai dengan materi pembelajaran.

2. 2. 2. Media Pembelajaran Literasi

Media Pembelajaran IPA berbasis literasi sains dikembangkan berdasarkan


materi “Benda dan Sifatnya” yang terdapat pada standar kompetensi dan kompetensi
dasar kurikulum 2006. Media pembelajaran IPA berbasis literasi sains terdiri dari tiga
produk, yaitu alat peraga SIBENCA, suplemen bahan ajar, dan LKS, dimana pada
setiap bagiannya saling melengkapi dan digunakan pada materi Benda dan Sifatnya di
kelas IV SD Negeri Tugurejo 01 Kota Semarang. Stošić(2015) mengemukakan bahwa,
penerapan teknologi pendidikan dapat meningkatkan keterampilan dan karakteristik
kognitif pada anak-anak. Dikaitkan dengan penelitian ini, penggunaan media
pembelajaran IPA sebagai salah satu teknologi dalam pembelajaran sangatlah
penting. Selain itu, pengembangan media pembelajaran IPA juga pernah dilakukan
oleh Basri, dkk (2013), dan menyatakan bahwa media pembelajaran IPA dapat
memotivasi peserta didik dalam belajarnya. Meskipun sama-sama mengembangkan
media pembelajaran IPA, akan tetapi media yang dikembangkan Basri sangatlah
berbeda dengan penelitian ini. Perbedaantersebut dapat dilihat dari segi produk
pengembangan, maupun variabel yang diteliti. Produk pada penelitian Basri adalah
media pembelajaran interaktif pada pembelajaran IPA untuk meningkatkan motivasi
belajar siswa, sedangkan dalam penelitian ini, produk yang dikembangkan adalah
media pembelajaran IPA berbasis literasi sains untuk di uji kevalidan,
keefektifan, dan kepraktisannya dalam pembelajaran.Dunia Internasional menempatkan
Indonesia di posisi yang rendah pada bidang sains berdasarkan hasil yang telah dirilis
oleh TIMSS & PISA, posisi tersebut disebabkan oleh banyak faktor diantaranya
adalah rendahnya kualitas proses pembelajaran. Kegiatan pembelajaran hendaklah
dilaksanakan dengan cara berpusat pada siswa (student center) dengan membentuk

15
kelompok-kelompok diskusi baik dalam praktikum atau penyelesaian masalah.
Sebagaimana hal menurut Sarwi & Liliasari (2009), Pembelajaran secara kooperatif dapat
meningkatkan keterampilan berfikir kritis, sehingga produk pengembangan
hendaknya dilakukan dengan menambah dan mengadaptasi komponen yang seharusnya ada
dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran yang dilaksanakan telah melakukan
adaptasi dengan mengintegrasikan strategi kooperatif dalam penerapan media
pembelajaran IPA berbasis literasi sains. Keterampilan berfikir kritis juga
dioptimalkan didalamnya melalui percobaan, dimana siswa dituntut menemukan
pengetahuan berdasarkan pengalaman atau aktivitas belajar (konstruktivisme).Media
pembelajaran IPA berbasis literasi sains yang dikembangkan mengacu pada dua teori,
yaitu teori kognitivisme dan teori konstruktivisme. Teori kognitivisme berasaskan
proses pemikiran disebalik tingkah laku. Perubahan tingkah laku digunakan sebagai
petunjuk terhadap proses yang berlaku dalam fikiran pelajar (wicaksono, et al 2015).
Media pembelajaran IPA berbasis literasi sains dapat membuat siswa memperoleh
pengetahuan baru melalui proses yang akan dilakukan oleh siswa itu sendiri, sedangkan
pengetahuan lama atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya diperoleh
siswa, berdasarkan hasil belajarnya sebelum menggunakan media pembelajaran ini.
Pengetahuan diperoleh siswa pada saat belajar menggunakan media pembelajaran IPA
berbasis literasi adalah tentang benda dan sifatnya. Selain memperoleh
pengetahuan, siswa memperoleh pengalaman langsungcara melakukan penyelidikan atau
investigasi, dan mengasah keterampilan berfikir, serta dapat mengaitkan hubungan antara
apa yang telah dipelajari disekolah dengan lingkungan disekitarnya. Sebagaimana
Nasrul (2014) mengemukakan bahwa, pembelajaran kontekstual memiliki efek pada
kemampuan berpikir kritis siswa.Selanjutnya muatan isi, materi, dan rancangan proses
penerapan media pembelajaran hasil pengembangan mengacu pada teori
konstruktivisme. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007) mengemukakan
bahwa teori konstruktivisme mendasarkan pada pengalaman langsung, belajar
mengajar secara aktif, melihat siswa sebagai pihak yang aktif yang harus
dikembangkan peluangnya dalam mengkonstruksi bidang pemikiran, serta siswa belajar
bagaimana ia membentuk pemahaman mengenai dunia disekitarnya. Media pembelajaran
yang telah dikembangkan menuntut siswa untuk mandiri dalam belajar, dimana
pembelajaran dimulai dengan praktikum terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar siswa
dapat merasakan langsung pengalaman belajar kontekstual. Sebagaimana menurut Glynn
(2004), terdapat empat aspek yang dapat mendorong pembelajaran kontekstual, yaitu: 1)

16
interaksi kolaboratif dengan siswa, 2) tingkat aktivitas yang tinggi dalam pembelajaran,
3) konteks berkaitan dengan dunia nyata, dan 4) integrasi konten sains dengan konten
yang lainnya. Pada akhir pembelajaran, penjelasan dilakukan oleh guru dengan
memberikan penguatan dan klarifikasi apabilah ditemukan konsep yang kurang tepat.

17
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.   Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari- hari.
2.  Dalam discovery learning, siswa belajar melalui partisipasi secara aktif di kelas untuk
memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen sehingga siswa akan
menemukan konsep dan prinsip pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang didapat
dengan proses ini akan bertahan lama dan lebih mudah diingat karena siswa mencari,
melakukan, dan memperoleh sendiri sehingga lebih mudah diingat.
3.    Media visual sangat mempengaruhi siswa dalam proses pembelajaran, terutama
dalam hal memahami materi IPA. Sehingga guru dituntut lebih kreatif lebih
kreatif untuk mencari dan menggunakan media agar kegiatan pembelajaran
menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi siswa. Karena perannya sebagai
penyalur pesan, maka media menjadi penting dalam kegiatan pembelajaran di
kelas, dimana media mampu menghadirkan suatu obyek yang dianggap abstrak
menjadi bersifat konkrit.
4.   Media pembelajaran IPA dikembangkan sesuai dengan karakteristik literasi
sains, dimana literasi sains merupakan tujuan utama dari pendidikan IPA. Media
pembelajaran IPA berbasis literasi sains juga disesuaikan dengan standar
kompetensi maupun kompetensi dasar yang terdapat pada jenjang SD.

18
DAFTAR PUSTAKA

Fida Aulia, 2016. “Pemanfaatan Media Pembelajaran Ipa Sebagai Sumber Belajar
Siswa Kelas V Sd Negeri Gugus Srikandi Kecamatan Semarang Barat”. Semarang.
Universitas Negeri Semarang.

Jajang Bayu Kelana, M.Pd dan Duhita Savira Wardani, M.Pd.2022.”Model


Pembelajaran IPA SD”. Edutrimedia Indonesia

Kanisius Supardi, 2017, “Inovasi Pendidikan Dasar”, 169 Jurnal, Volume 1 Nomor 2 Juli

Azimi dan Ani Rusilowati dan Sulhadi, 2017, “Pengembangan Media Pembelajaran IPA
Berbasis Literasi Sains untuk Siswa Sekolah Dasar” Pancasakti Science Education Journal, 2
(2), Oktober -(149)

19

Anda mungkin juga menyukai